Alergi Kelompok 6 Fika Hilmiyatu Durry Boy Reynaldi Putri Wulandari
Definisi
• Alergi adalah gangguan yang disebabkan oleh pelepasan IgE dari sel mast dan basofil yang terpapar antigen (alergen). Gangguan ini meliputi anafilaksis, alergi rhinitis, urtikaria, asma dan dermatitis eksimatous (atopik). Alergi atopik menunjukan adanya hubungan dengan keturunan baik dalam gangguan tunggal ataupun kombinasi.
Patofisiologi
• IgE berikatan dengan permukaan sel mast dan basofil melalui reseptor yang berafinitas tinggi. Ikatan tersebut mengaktifkan sel kemudian melepaskan dan membentuk mediator-mediator baru melipti histamin, prostaglandin, leukotrien (termasuk C4, D4 dan E4, yang secara keseluruhan dikenal sebagai slow-reacting substance of anaphylaxis-SRS-A), acid hydrolases, neutral proteases, roteoglycan, and cytokines. Mediator-mediator tersebut menimbulkan kondisi patofisiologis yang terkait dengan hipersensitivitas seperti vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, kontraksi otot polos. Kemotaksis yang menarik neutrofil dan sel-sel penyebab inflamasi lainnya.
Urtikaria dan Angiodema
• Urtikaria terjadi pada superfisial dermis dan terlihat sebagai bentol bulat dengan tepi yang telah tebal dan memucat ditengahnya. Bentol tadi dapat menyatu. Angiodema berkaitan dengan lapisan kulit sebelah dalam dan dapat mencapai jaringan subkutan. Urtikaria dan angiodema dapat terjadi secara bersamaan. Gangguan ini dapat diklasifikasikan sebagai:
• Alergi yang tegantung IgE (IgE independent) termasuk atopik, sekunder terhadap allergen yang spesifik, terutama flu.
• Alergi yang dimediasi bradikinin (bradykinin-mediated) termasuk.
• Angiodema bawaan (hereditary angiodema) dan ACEI• Alergi yang diperatarai oleh komplemen (complement-
mediated) termasuk vaskultis nekrotik (necrotizing vaskulitis) serum sickness, dan reaksi terhadap produk darah
• Alergi nonimunologi karena pelepasan langsung sel mast atau obat yang mempengaruhi pelepasan mediator.
• Idiopatik
Patofisiologis
• Kondisi ini ditandai dengan pembentukan edema massif di dermis dan di jaringan subkutan pada angiodema. Edema diduga sebagai akibat dari peningkatan permeabilitas pembuluh darah karena pelepasan mediator oleh sel mast atau sel lainnya.
Diagnosis• Riwayat dengan perhatian khusus terhadap kemungkinan pemaparan
atau penggunaan dan durasi lesi. Urtikaria vaskultik khas bertahan selama 72 jam, sedangkan urtikaria konvesional sering berlangsung selama 48 jam.
Tes kulit (skin testing) terhadap makanan dan antigen yang terhirup. Provokasi fisik, misalnya pemaparan berulang dengan vibrator atau
rangsang dingin. Pemeriksaan lab : komplemen : ESR (pada urtikaria atau angiodema)
yang dimediasi oleh IgE ESR tidak meningkat dan tidak terjadi hipokomplementemia) : C1-esterase inhibitor bila riwayat mengarah pada angiodema herediter : krioglobulin, hepatitis B antigen, dan antibodi: screen autoantibodi
Biopsi kulit mungkin diperlukan.
Terapi
• Antihistamin H1 dan H2 mungkin dapat mengatasi misalnya,
Ranitidin 150 mg sehari 2 kali.Difenhidramin 25-50 mg sehari 4 kali.Hidroksizin 25-50 mg sehari 4 kali.Siproheptadin 4 mg sehari 3 kali.
Alergi Rinitis
Merupakan inflmasi pada hidung yang ditandai oleh bersin, rinorea, dan obstruksi (sumbatan) pengeluaran cairan hidung. Dapat terkait dengan gatal konjungtiva dan faring, lakrimasi, serta sinusitis. Penyebab: umunya pemaparan polen(serbuk sari bunga), kontak dengan debu yang mengandung antigen kutu debu dan bulu/kutu hewan
Patofisiologi: Pemaparan allergen pada mukosa hidung orang yang tersensitisasi menyebabkan pelepasan IgE yang merangsang sel mast, yang akan m,elepaskan mediator-mediator penyebab hyperemia mukosa, bengkak dan mengeluarkan cairan. Inflamasi pada permukaan mukosa hidung mempermudah penetrasi allergen ke jaringan lebih dalam yang merupakan tempat kontak dengan sel mast perivenuler. Sumbatan ostia sinus dapat menyebabkan sinusitis sekunder dengan atau tanpa infeksi bakteri.
• Diagnosis:Riwayat akurat gejala yang terkait dengan pemaparan polen dari tanaman pada tempat tertentu, perhatiankhusus harus dilakukan pada penyebab potensial lain yang dapat mensensititasi antigen seperti hewan peliharaan.Pemeriksaan fisik: mukosa nasal mungkin berair Tes kulit: terhadap Ag yang terhisapTotal dan spesifik serum IgE mungkin meningkat
• Pencegahan :
Identifikasi dan penghindaran terpapar antigen
Terapi:
• Tujuan terapi: Meminimalisasi/mencegah gejala dengan efek samping seminimal mungkin dan biaya pengobatan rasional serta pasien dapat mempertahankan pola hidup normal.
• Penatalaksanaan 1. Terapi Non-farmakologi Terapi non-farmakologi yang paling ideal adalah dengan menghindari alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Terapi Farmakologi (Terapi Simptomatis) Medikamentosa- Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan simpatomimetik, dan kortikosteroid
Antihistamin
• yang dipakai adalah antagonis H-1. Antagonis reseptor histamin H1 berikatan dengan reseptor H1 tanpa mengaktivasi reseptor, yang mencegah ikatan dan kerja histamin. Merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik, dapat menyebabkan mengantuk. Contoh: klorfeniramin, difenhadramin.
• Generasi kedua lebih bersifat lipofobik dan memiliki ukuran molekul lebih besar sehingga lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma dan berkurang kemampuannya melintasi otak. Generasi kedua AH1 mempunyai rasio efektivitas, keamanan dan farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta bekerja cepat (kurang dari 1 jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat generasi terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi kongesti hidung contoh: Cetirizin dan Loratadin
Preparat simpatomimetik
golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Beraksi pada reseptor adrenergik pada mukosa hidung untuk menyebabkan vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang membengkak, dan memperbaiki pernapasan
Kortikosteroid
• intranasal
Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason, dan triamsinolon) dapat mengurangi hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat ini merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis alergik dan efektif terhadap kongesti hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan efek maksimal terlihat setelah beberapa hari. Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak dipertentangkan karena efek sistemik pemakaian lama dan efek lokal obat ini. Namun belum ada laporan tentang efek samping setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka panjang. Dosis steroid topikal hidung dapat diberikan dengan dosis setengah dewasa dan dianjurkan sekali sehari pada waktu pagi hari. Obat ini diberikan pada kasus rinitis alergik dengan keluhan hidung tersumbat yang menonjol.
• oral/IM
Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison, metilprednisolon, prednisolon, prednison, triamsinolon, dan betametason) poten untuk mengurangi inflamasi dan hiperreaktivitas nasal. Pemberian jangka pendek mungkin diperlukan. Jika memungkinkan, kortikosteroid intranasal digunakan untuk menggantikan pemakaian kortikosteroid oral/IM. Efek samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek samping sistemik mempunyai batas yang luas. Pemberian kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak. Pada anak kecil perlu dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat intranasal dan inhalasi.
Anafilaksis
• Anafilaksis merupakan reaksi alergi akut yang mengancam nyawa dan melibatkan banyak sistem organ.
Masifestasi klinis:• Kulit: urtikaria, angiodema, pruritus• GI: mual, sakit perut, muntah, diare• Sal. Respirasi: dyspnea, wheezing• CV: hipotensi, takikardia, aritmia
• Reaksi anafilaksis secara umum akan muncul 30 menit sampai 2 jam setelah paparan alergen pencetus
• Resiko terbesar Anafilaksis yaitu pada beberapa jam pertama
• Setelah ada pemulihan, reaksi anafilaksis bisa muncul kembali 6-8 jam setelah paparan. Sehingga pasien dipantau selama 12 jam setelah reaksi anafilaksis.
Terapi
Tujuan: • Mengurangi resiko kematian• Mengembalikan fungsi respirasi dan cardiovaskular
• Pengobatan utama: menggunakan epinefrin untuk melawan reaksi bronkokontriksi dan vasodilatasi
• Jika tekanan darah tidak pulih, diberi kristaloid secara intravena untuk mengembalikan volume intravaskular.
• Jika pasien hipotensif, diberikan vasopressor sebagai tambahan dari kristaloid. Biasanya digunakan agen vasokontriktor seperti norepinefrin atau dopamin.
• Obat lain juga digunakan mungkin dibutuhkan dalam pengobatan reaksi anafilaktik
• Histamin (H1) receptor blocker: second line, untuk mengurangi gejala anafilaksis.
• Aminofilin digunakan jika ada bronkospasme• Kortikosteroid diberikan untuk mencegah
timbulnya reaksi berulang dari anafilaksis.
• Dafpus: Harmadji S, 1993. Gejala dan Diagnosa Penyakit Alergi THT. Dalam : Kumpulan Makalah Kursus Penyegar Alergi Imunologi di Bidang THT, Bukit Tinggi.
Hassan, rusepno dkk. 1985. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 2. Jakarta: Info Medika
Irawati N, 2002. Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi, Dalam :
Kumpulan Makalah Simposium “Current Opinion In Allergy andClinical Immunology”, Divisi Alergi- Imunologi Klinik FK UI/RSUPN-CM, Jakarta:55-65.