1. Memahami dan Menjelaskan Penyakit Jantung Reumatik1.1
Etiologi, Epidemiologi, dan Faktor ResikoEtiologiDemam reumatik,
seperti halnya penyakit lain merupakan akibat interaksi individu,
penyabab penyakit, dan faktor lingkungan. Penyakit ini berhubungan
sangat erat dengan infeksi saluran napas bagian atas oleh
Streptococcus beta hemolyticus grup A. Berbeda dengan
glomerulonefritis yang berhubungan dengan infeksi Streptococcus di
kulit maupun saluran napas, demam reumatik agaknya tidak
berhubungan dengan infeksi Streptococcus di
kulit.EpidemiologiMeskipun individu-individu segala umur dapat
diserang oleh DR akut, tetapi DR ini banyak terdapat pada anak-anak
dan orang usia muda (5-15 tahun). Ada dua keadaan terpenting dari
segi epidemiologik pada DR akut ini yaitu kemiskinan dan kepadatan
penduduk. Tetapi pada saat wabah DR tahun 1980 di Amerika
pasien-pasien anak yang terserang juga dari kelompok ekonomi
menengah ke atas. Setelah perang dunia kedua dilaporkan bahwa di
Amerika dan Eropa insiden DR menurun, tetapi DR masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat di negara-negara berkembang.Ternyata
insiden yang tinggi dari karditis adalah pada anak muda dan
kelainan katup jantung adalah sebagai akibat kekurangan kemampuan
untuk melakukan pencegahan sekunder DR dan PJR. Dilaporkan bahwa DR
adalah penyebab utama penyakit jantung untuk usia 5-30 tahun. DR
dan PJR adalah penyebab utama kematian penyakit jantung untuk usia
di bawah 45 tahun, juga dilaporkan 25-40% penyakit jantung
disebabkan oleh PJR untuk semua umur.Pada penelitian di bawah ini
terlihat insiden DR dan PJR di Eropa dan Amerika menurun, sedangkan
di negara tropis dan subtropis masih terlihat peningkatan yang
agresif, seperti kegawatan karditis dan payah jantung yang
meningkat.Faktor ResikoFaktor-faktor predisposisi yang berpengaruh
pada timbulnya demam reumatik dan penyakit jantung reumatik
terdapat pada individunya sendiri serta pada keadaan lingkungan.
Faktor-faktor pada individu :1. Faktor genetik. Banyak demam
reumatik dan penyakit jantung reumatik terjadi pada satu keluarga
maupun anak-anak kembar.2. Jenis kelamin. Dari data-data penelitian
ditemukan tidak ada perbedaan jenis kelamin, meskipun manifestasi
klinis tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada salah satu
jenis kelamin. Misalnya gejala chorea jauh lebih sering ditemukan
pada wanita daripada laki-laki. Kelainan katup sebagai gejala sisa
penyakit jantung reumatik juga menunjukkan perbedaan jenis kelamin.
Pada orang dewasa, gejala sisa berupa stenosis mitral lebih sering
didapatkan pada wanita, sedangkan insufisiensi aorta lebih sering
ditemukan pada laki-laki.3. Golongan etnik dan ras. Data di Amerika
Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang demam
reumatik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam
dibandingkan dengan orang kulit putih. Di negara-negara barat
umumnya stenosis mitral terjadi bertahun-tahun setelah serangan
jantung reumatik akut. Tetapi data di India menunjukkan bahwa
stenosis mitral organik yang berat seringkali sudah terjadi dalam
waktu yang relatif singkat, hanya 6 bulan-3 tahun setelah serangan
pertama.4. Umur. Penyakit jantung reumatik paling sering mengenai
anak berumur antara 5-10 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun.
Tidak biasa ditemukan pada anak usia 3-5 tahun dan sangat jarang
ditemukan pada sebelum anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun.
Distribusi ini dikatakan sesuai dengan insidens infeksi
Streptococcus pada anak usia sekolah.5. Keadaan gizi dan lain-lain.
Keadaan gizi anak serta adanya penyakit-penyakit lain belum dapat
ditentukan sebagai faktor predisposisi untuk DR. Hanya telah
diketahui bahwa penderita anemia sel sabit jarang yang menderita
DR/PJR.Faktor-faktor lingkungan :1. Keadaan sosial ekonomi yang
buruk.2. Iklim dan geografi. DR adalah penyakit kosmopolit,
terbanyak ditemukan di daerah beriklim sedang, tetapi data-data
terakhir menunjukkan bahwa daerah tropis mempunyai insidens yang
lebih tinggi. Di daerah dataran tinggi, insidens DR lebih tinggi
daripada di dataran rendah.3. Cuaca. Perubahan cuaca mendadak
seringkali menyebabkan insidens infeksi saluran pernapasan bagian
atas meningkat, sehingga insidens DR juga meningkat.
1.2 PatogenesisMeskipun sampai sekarang ada hal-hal yang belum
jelas, tetapi ada penelitian yang mendapatkan bahwa DR yang
mengakibatkan PJR terjadi akibat sensitisasi dari antigen
Streptokokus sesudah 1-4 minggu infeksi Streptokokus di faring.
Lebih kurang 95% pasien menunjukan peninggian titer antistreptoksin
O (AST), antideoksiribonukleat B (anti DNA-ase B) yang merupakan
dua macam tes yang biasa dilakukan untuk infeksi kuman
SGA.Faktor-faktor yang diduga terjadinya komplikasi pasca
Streptokokus ini kemungkinan utama adalah pertama Virulensi dan
Antigenisitas Streptokokus, dan kedua besarnya response umum dari
host dan persistensi organisme yang menginfeksi faring. Resiko
untuk kambuh sesudah pernah mendapat serangan Streptokokus adalah
50-60%.Penelitian-penelitian lain kebanyakan menyokong mekanisme
autoimunitas atas dasar reaksi antigen antibody terhadap antigen
Streptokokus. Salah satu antigen tersebut adalah protein-M
Streptokokus. Pada serum pasien DR akut dapat ditemukan antibody
dan antigen. Antibody yang terbentuk bukan bersifat kekebalan. Dan
reaksi ini dapat ditemukan pada miokard, otot skelet dan sel otot
polos. Dengan imunofloresensi dapat ditemukan imunoglobulinnya dan
komplemen pada sarkolema miokard.
1.3 MorfologiLesi yang patognomonik Demam Reumatik adalah Badan
Aschoff sebagai diagnostic histopatologi. Sering ditemukan juga
pada saat tidak adanya tanda-tanda keaktifan kelainan jantung, dan
dapat bertahan lama setelah tanda-tanda gambaran klinis menghilang,
atau masih ada keaktifan laten. Badan Aschoff ini umumnya terdapat
pada septum fibrosa intervaskular, dijaringan ikat perivaskular dan
didaerah subendotelial. Pada PJR biasanya terkena ketiga lapisan,
yaitu endokard, miokard dan perikard secara bersamaan atau
sendiri-sendiri atau kombinasi.
1.4 Manifestasi KlinisArthritis gejala mayor yang sering
ditemukan pada DR akut. Sendi yang dikenai berpindah-pindah tanpa
cacat, yang biasanya adalah sendi besar seperti lutut, pergelangan
kaki, paha, lengan, panggul, siku, dan bahu. Munculnya tiba-tiba
dengan rasa nyeri yang meningkat 12-24 jam yang diikuti dengan
reaksi radang. Nyeri ini akan menghilang secara perlahan-lahan.
Radang sendi ini jarang yang menetap lebih dari satu minggu
sehingga terlihat sembuh sempurna. Proses migrasi arthritis ini
membutuhkan waktu 3-6 minggu. Sendi-sendi kecil jari tangan dan
kaki juga dapat dikenai. Pengobatan dengan aspirin dapat merupakan
diagnosis terapetik pada arthritis yang sangat bermanfaat. Bila
tidak membaik dalam 24-72 jam, maka diagnosis akan
diragukan.Karditis merupakan manifestasi klinis yang penting dengan
insidens 40-50%, atau berlanjut dengan gejala yang lebih berat
yaitu gagal jantung. Kadang-kadang karditis itu asimtomatik dan
terdeteksi saat adanya nyeri sendi. Karditis ini bisa hanya
mengenai endokardium saja. Endokarditis terdeteksi saat adanya
bising jantung. Katup mitral yang terbanyak dikenai dan dapat
bersamaan dengan katup aorta. Katup aorta sendiri jarang dikenai.
Adanya regurgitasi mitral ditemukan dengan bising sistolik yang
menjalar ke aksila, dan kadang-kadang juga disertai bidang
mid-diastolik (bising Carey Coombs). Dengan dua dimensi
ekokardiografi dapat mengevaluasi kelainan anatomi jantung
sedangkan dengan Doppler dapat menentukan fungsi dari jantung.
Miokarditis dapat bersamaan dengan endokarditis sehingga terdapat
kardiomegali atau gagal jantung. Perikarditis tidak akan berdiri
sendiri, biasanya pankarditis.Chorea chorea ini didapatkan 10% dari
DR yang dapat merupakan manifestasi klinis sendiri atau bersamaan
dengan karditis. Masa laten infeksi SGA dengan chorea cukup lama
yaitu 2-6 bulan atau lebih. Lebih sering dikenal pada perempuan
pada umur 8-12 tahun. Dan gejala ini muncul selama 3-4 bulan. Dapat
juga ditemukan pada anak ini suatu emosi yang labil di masa anak
ini suka menyendiri dan kurang perhatian terhadap lingkungannya
sendiri. Gerakan-gerakan tanpa disadari akan ditemukan pada wajah
dan anggota-anggota gerak tubuh yang biasanya unilateral. Dan
biasanya ini menghilang saat tidur.Eritema Marginatum ditemukan
kira-kira 5% dari pasien DR, dan berlangsung berminggu hingga
berbulan, tidak nyeri dan tidak gatal.Nodul Subkutanius besarnya
kira-kira 0,5-2cm, bundar, terbatas dan tidak nyeri tekan. Demam
pada DR tidak khas, dan jarang menjadi keluhan utama oleh pasien DR
ini. Pada penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti-peneliti di
berbagai Negara, dari manifestasi klinis DR yang dilaporkan oleh
Committee of Remaic Fever tahun 1992.
Perjalanan klinis DR/PJR dapat dibagi dalam 4 stadium .Stadium I
: berupa infeksi saluran napas bagian atas oleh Streptococcus beta
hemolyticus grup A. Keluhan biasanya demam, batuk, rasa sakit waktu
menelan, muntah, diare. Pada pemeriksaan fisis ditemukan eksudat di
tonsil yang menyertai tanda-tanda inflamasi, kelenjar getah bening
submandibular seringkali membesar.Stadium II : disebut juga periode
laten, ialah masa antara infeksi Streptococcus beta hemolyticus
grup A dengan permulaan gejala DR, biasanya periode ini berlangsung
1-3 minggu, kecuali chorea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan
berbulan-bulan kemudian.Stadium III : fase akut DR, saat timbulnya
pelbagai menifestasi klinis DR/PJR.Gejala peradangan umum :
penderita mengalami demam yang tidak tinggi tanpa pola tertentu,
lesu, anoreksia, lekas tersinggung, dan berat badan tampak menurun.
Anak terlihat pucat karena anemia, epistaksis, dan artralgia.
Terdapat peningkatan C-reactive protein dan leukositosis serta
meningkatnya LED, titer ASTO meninggi, dan pada EKG dijumpai
pemanjangan interval P-R.Manifestasi Spesifik : artritis
(poliartritis migrans), karditis, eritema marginatum, nodul
subkutan, dan chorea.Stadium IV : stadium inaktif. Pada stadium ini
penderita DR tanpa kelainan jantung atau penderita PJR tanpa gejala
sisa tidak menunjukkan gejala apa-apa.
1.5 Pemeriksaan dan Diagnosis BandingPemeriksaan adanya infeksi
kuman Streptokokus Grup A sangat membantu diagnostic DR yaitu :
Pada saat sebelum ditemukan infeksi SGA Pada saat ditemukan atau
menetapnya proses infeksi SGA tersebutUntuk menetapkan ada atau
pernah adanya infeksi kuman SGA ini dapat dideteksi: Dengan hapusan
tenggorok pada saat akut. Biasanya kultur SGA negative pada fase
akut itu. Bila positif ini pun belum pasti membantu diagnostic
sebab kemungkinan akibat kekambuhan dari kuman SGA itu atau infeksi
Streptokokus dengan strain yang lain. Antibody Streptokokus lebih
menjelaskan adanya infeksi Streptokokus dengan adanya kenaikan
titer ASTO dan anti DNA-seTerbentuknya antibody-antibodi ini sangat
dipengaruhi oleh umur dan lingkungan. Titer ASTO positif bila
besarnya 210 Todd pada orang dewasa dan 320 Todd pada anak-anak,
sedangkan titer pada DNA-se B120 Todd untuk orang dewasa dan 240
Todd untuk anak-anak. Dan antibody ini dapat terdeteksi pada minggu
kedua sampai minggu ketiga setelah fase akut DR atau 4-5 minggu
setelah infeksi kuman SGA di tenggorokan. Untuk inilah pencegahan
sekunder dilakukan tiap 3-5 minggu. Pada fase akut ditemukan
lekositosis, laju endapan darah yang meningkat, protein C-reactive,
mukoprotein serum. Laju endapan darah dan protein C-reactive yang
tersering diperiksa dan selalu meningkat atau positif saat fase
akut dan tidak dipengaruhi oleh obat-obat antirematik.Anemia yang
ringan sering ditemukan adalah anemia normositer normokrom karena
infeksi kronis DR. Dengan kortikosteroid anemia dapat diperbaiki.
Tidak ada pola yang khas dari EKG pada DR dengan karditis. Adanya
bising sistolik dapat dibantu dengan kelainan EKG berupa interval
PR yang memanjang atau perubahan patern ST-T yang tidak
spesifik.Diagnosis DR akut didasarkan pada manifestasi klinis,
bukan hanya pada simtom, gejala atau kelainan laboratorium
patognomonis. Pada tahun 1944 Jones menetapkan criteria diagnosis
atas dasar beberapa sifat dan gejala saja. Setelah itu criteria ini
dimodifikasi pada tahun 1955 dan selanjutnya direfisi 1965, 1984
dan terakhir 1992 oleh AHA sebagai berikut :Gejala MajorGejala
MinorPoliatritis Klinis : suhu tinggiKarditis Sakit sendi
(artralgia)Korea Riwayat pernah menderita DR/PJRNodul Subkutaneus
Eritema Marginatum Lab : reaksi fase akutDitambah bukti-bukti
adanya suatu infeksi Streptokokus sebelumnya yaitu hapusan
tenggorok yang positif atau kenaikan titer tes serologi ASTO dan
anti DNA-se B. Terutama pada anak/dewasa muda aloanamnesa pada
orang tua dan keluarga sangat diperlukan.Bila ada infeksi
Streptokokus sebelumnya maka diagnosis DR/PJR didasarkan adanya :1.
Dua gejala mayor, atau2. Satu gejala mayor dengan dua gejala
minorSedangkan penyediaan fasilitas pemeriksaan kuman Streptokokus
belum meluas maka manifestasi klinis diatas harus dijadikan
pegangan diagnosis suatu DR/PJR. Tentu perlu dibedakan dengan
gejala-gejala penyakit lain seperti rematoid artristis, pegal-pegal
kaki infeksi virus, kelainan jantung bawaan dan lain-lain.Diagnosis
Banding Arthritis RheumatoidPoliartritis pada anak-anak dibawah 3
tahun atau lebih sering pada artritis reumatoid, biasanya terjadi
secara bersamaan pada sendi-sendi, simetris, tidak bermigrasi,
kurang berespon terhadap preparat salisil dibandingkan dengan
artritis pada DR. Apabila sakit bertahan lebih dari 1 minggu
meskipun sudah diberi salisil + reumatoid faktor (+) -->
diagnosis ke arah artritis reumatoid. Sickel cell Anemia/
leukemiaTerjadi pada anak dibawah 6 bulan. Adanya penurunan Hb yang
significant (< 7 g/dL). Leukositosis tanpa adanya tanda-tanda
radang. Peradangan pada metatarsal dan metakarpal. Splenomegali.
Pada perjalanan yang kronis --> kardiomegali. Diperlukan
pemeriksaan pada sumsum tulang. Artritis et causa infeksiMemerlukan
kultur dan gram dari cairan sendi. Karditis et causa virusTerutama
disebabkan oleh coxakie B dengan arbovirus dapat menyebabkan
miokarditis dengan tanda-tanda kardiomegali, aritmia dan gagal
jantung. Kardiomegali --> bising sistolik (MI). Tidak terdapat
murmur. Perikarditis akibat virus harus dibedakan dengan DR karena
pada virus disertai dengan valvulitis. Keadaan mirip choreaMultiple
tics --> merupakan kebiasaan, berupa gerakan-gerakan
repetitif.Cerbral palsy --> gerakannya lebih pelan dan lebih
ritmik. Anamnesa: kelumpuhan motorik yang sudah dapat terlihat
semenjak awal bulan. Keterlambatan perkembangan.Post ensefalitis
--> perlu pemeriksaan lab lebih lanjut, etiologi yang
bermacam-macam. Gejala klinis berupa: kaku kuduk, letargi, sakit
kepala, muntah-muntah, photofobia, gangguan bicara, kejang, dll.
Kelainan kongenitalKelaninan kongenital yang tersering pada
anak-anak ialah VSD (ventrikel septum defect) dan ASD (atrium
septum defect).Gambaran klinis yang mendasari:- Adanya kesamaan
pada pemeriksaan fisik dimana didapatkan bising pansistolik murmur
dengan punctum maksimum disela iga III-IV parasternal kiri.- Adanya
keluhan sesak napas akibat gagal jantungUntuk menyingkirkan
diagnosis banding ini diperlukan anamnesis yang teliti terhadap
tumbuh kembang anak. Biasanya berat badan anak menurun (pada kasus
berat) dan terdeteksi dini anak lebih kecil ( < 1 thn).
1.6 Penatalaksanaan1. Eradikasi kuman Streptococcus beta
hemolyticus grup A. Pengobatan yang adekuat terhadap infeksi
Streptococcus harus segera dilaksanakan setelah diagnosis
ditegakkan. Dianjurkan menggunakan penicilin dosis biasa selama 10
hari; pada penderita yang peka terhadap penicilin dapat diganti
dengan eritromisin. Pengobatan terhadap Streptococcus ini harus
tetap diberikan walaupun biakan usap tenggorok negatif, karena
kuman masih mungkin ada dalam jumlah sedikit di dalam jaringan
farings dam tonsil. Penisilin tidak berpengaruh terhadap demam,
gejala sendi, dan LED, tetapi insidens PJR menjadi lebih rendah
dalam pengawasan selama 1 tahun. Tetrasiklin dan sulfa tidak
digunakan untuk eradikasi kuman Streptococcus.2. Obat anti
inflamasi. Yang dipakai secara luas ialah salisilat dan steroid;
keduanya efektif untuk mengurangi gejala demam, kelainan sendi,
serta reaksi fase akut. Kedua obat ini tidak mengubah lamanya
serangan DR maupun akibat selanjutnya. Steroid tidak lebih unggul
dari salisilat terhadap gejala sisa kelainan jantung. Sampai saat
ini tidak ada bukti steroid dapat mencegah kelainan jantung,
meskipun diberikan secara dini pada awal perjalanan penyakit. Hanya
dapat dilihat dengan nyata bahwa steroid lebih cepat memperbaiki
keadaan umum anak, nafsu makan cepat bertambah, dan LED cepat
menurun. Pada umumnya para ahli memilih steroid untuk semua
penderita karditis akut terutama karditis berat, sedangkan
salisilat hanya untuk DR tanpa karditis atau karditis ringan tanpa
kardiomegali.Dosis dan lamanya pengobatan disesuaikan dengan
beratnya penyakit dan responnya terhadap pengobatan. Pada pemberian
steroid, seringkali terjadi fenomena rebound setelah obat
dihentikan, yang bermanifestasi sebagai timbulnya kembali
gejala-gejal peradangan akut. Untuk mencegah hal ini maka diberikan
salisilat pada saat dosis steroid diturunkan dan dilanjutkan
beberapa minggu setelah steroid dihentikan. Untuk keperluan ini,
dosis salisilat tidak perlu penuh 100 mg/kgBB/hari, cukup 50-75
mg/kgBB/hari.Pada pemberian salisilat jangan diberikan antasida
untuk mengurangi rangsangan pada lambung karena akan mengurangi
absorpsi salisilat sehingga kadar terapeutik tidak tercapai. Lebih
baik pakai tablet salut dan diminum setelah makan. Bila terdapat
intoksikasi salisilat (nausea, muntah, takipnea, dan tinnitus),
hentikan obat selama 1-2 hari, kemudian mulai lagi diberikan dalam
dosis yang lebih kecil. Perlu diingatkan efek samping steroid yang
hampir selalu terjadi pada penderita DR/PJR yang diberi prednison
untuk jangka waktu yang lama.Pada anak yang pernah menderita TBC
hendaknya diberikan INH (isonicotinic acid hydrazide) selama
pemberian steroid.3. Diet. Bentuk dan jenis makanan disesuaikan
dengan keadaan penderita. Pada sebagian besar kasus cukup diberikan
makanan biasa, cukup kalori, cukup protein. Tambahan vitamin dapat
dibenarkan. Bila terdapat gagal jantung, diet disesuaikan dengan
diet untuk gagal jantung.4. Istirahat dan mobilisasi. Selama
terdapat tanda-tanda peradangan akut, penderita harus istirahat di
tempat tidur. Untuk artritis cukup dalam waktu lebih kurang 2
minggu. Sedangkan untuk karditis berat dengan gagal jantung hampir
6 bulan. Mobilisasi dilakukan bertahap. Istirahat mutlak
berkepanjangan tidak diperlukan mengingat efek psikologis dan
keperluan sekolah. Penderita DR tanpa karditis atau PJR tanpa
gejala sisa atau penderita karditis dengan gejala sisa tanpa
kardiomegali, setelah sembuh tidak perlu pembatasan aktivitas.
Penderita dengan kardiomegali menetap perlu dibatasi aktivitasnya
dan tidak diperkenankan mengikuti olahraga yang bersifat kompetisi
fisik.
1.7 PrognosisPasien tanpa komplikasi yang berat dengan pemakaian
antibiotik yang adekuat, prognosis umumnya baik . DR tidak akan
kambuh bila infeksi Streptococcus dapat diatasi. Prognosis sangat
baik bila karditis sembuh pada permulaan serangan akut DR. Selama 5
tahun pertama perjalanan penyakit DR/PJR tidak membaik bila bising
organik katup tidak menghilang .Prognosis buruk bila ditemukan
mikroorganisme yang resisten terhadap antibiotik, payah jantung,
pengobatan terlambat, bakteremia, infeksi terjadi setelah
pemasangan, pasien geriatri tanpa disertai demam, dan keadaan umum
yang buruk . Prognosis memburuk bila gejala karditisnya lebih
berat, dan ternyata DR akut dengan payah jantung akan sembuh 30%
pada 5 tahu pertama dan 40% setelah 10 tahun. Dari data penyembuhan
ini akan bertambah bila pengobatan pencegahan sekunder dilakukan
dengan baik. Ada penelitian melaporkan bahwa stenosis mitral sangat
tergantung pada beratnya karditis, sehingga kerusakan katup mitral
selama 5 tahun perama sangat mempengaruhi angka kematian DR ini.
Penelitian yang dilakukan selama 10 tahun menemukan adanya kelompok
lain terutama keolmpok perempuan dengan kelainan mitral ringan yang
menimbulkan payah jantung yang berat tanpa diketahui adanya
kekambuhan DR atau infeksi Streptococcus .
1.8 PencegahanPencegahan primer ditujukan langsung pada
streptokokus grup A pada serangan akut, dengan penggunaan obat
Penisillin V 2 juta unit/hari selama 10 hari, atau Eritromisin 40
mg/kgBB/hari selama 10 hari. Namun, pencegahan primer sangat sukar
dilaksanakan karena sangat banyaknya penduduk yang dicakup dan juga
adanya infeksi Streptokokus hemolitik grup A ini yang tidak
memperlihatkan gejala-gejala yang khas.Sedangkan pencegahan
sekunder bertujan untuk menghindari terjadinya kekambuhan demam
reumatik, maka digunakan pencegahan sekunder yang antara lain
dengan pemberian Penisillin G parentral, yang merupakan obat yang
paling baik di antara tiga obat pencegahan yang dicobakan
(Sulfadiazin, Penisillin G oral, dan suntikan benzatin penisillin G
setiap bulan).
2. Memahami dan Menjelaskan Endokarditis2.1 Etiologi dan
EpidemiologiEtiologiWalaupun banyak spesies bakteri dan fungi
kadang dapat menyebabkan endokarditis, hanya sedikit spesies
bakteri yang menjadi penyebab dari sebagian besar kasus
endokarditis. Berbagai jenis bakteri yang berbeda menimbulkan
gejala klinis yang sedikit bervariasi pada endokarditis. Hal ini
dikarenakan jalur masuk masing-masing bakteri juga berbeda. Rongga
mulut, kulit, dan saluran pernapasan atas adalah jalur masuk primer
bagi Streptococcus viridans, Staphylococcus, dan organisme HACEK
(Haemophyllus, Actinobacillus, Cardiobacterium, Eikenella, dan
Kingella) yang menyebabkan native valve endocarditis yang
didapatkan dari lingkungan. Streptococcus bovis berasal dari
saluran cerna, dan entreroccus memasuki aliran darah lewat traktus
urogenital. Native valve endocarditis nosokomial merupakan akibat
bakteremia dari infeksi kateter intravascular, luka nosokomial dan
infeksi traktus urinarius, serta prosedur invasif kronis seperti
hemodialisis. Pada bakteremia Staphylococcus aureus akibat kateter,
6-25% mengalami komplikasi menjadi
endokarditis.EpidemiologiInsidens di negara maju berkisar antara
5,9% sampai 11,6 episode per 100.000 populasi. EI biasanya lebih
sering terjadi pada pria dibandingkan perempuan 1,6 sampai 2,5.
sekitar 36-75 % pasien dengan EI katup asli (native valve
endocarditis) mempunyai faktor predisposisi : penyakit jantung
reumatik,penyakit jantung kongenital,prolaps katup mitral,penyakit
jantung degeneratif,hipertrofi septal asimetrik atau penyalahgunaan
NARKOBA intervena (PNIV). Sekitar 7-25% kasus melibatkan katup
prostetik. Faktor predisposisi tidak dapat diidentifikasi pada 25
sampai 47% pasien.
2.2 PatogenesisMekanisme terjadinya endokarditis infektif pada
pasien dengan katup normal belum diketahui dengan pasti.
Mikrotrombi steril yang menempel pada endokardium yang rusak diduga
merupakan nodus primer untuk adhesi bakteri. Faktor hemodinamik
(stress mekanik) dan proses imunologis mempunyai peranan penting
pada proses terjadinya kerusakan endokard.Adanya kerusakan endotel,
selanjutnya akan mengakibatkan deposisi fibrin dan agregasi
trombosit, sehingga akan terbentuk lesi nonbacterial thrombotis
endocardial (NBTE). Jika terjadi infeksi mikroorganisme yang masuk
dalam sirkulasi melalui infeksi fokal atau trauma, maka
endokarditis nonbakterial akan menjadi endokarditis infektif.
Faktor-faktor yang terdapat pada bakteri seperti dekstran, ikatan
fibronektin dan asam teichoic berpengaruh terhadap perlekatan
bakteri dengan matriks fibrin-trombosit pada katup
yangrusak.Tahapan Patogenesis EndokarditisKerusakan endotel
katupPembentukan thrombus fibrin-trombositPerlekatan bakteri pada
plak thrombus-trombositProliferasi bakteri local dengan penyebaran
hematogenPatogenesis endokarditis infektif pada penyalahguna
narkoba intravena(PNIV):Beberapa teori mengemukakan adanya
kerusakan endotel (endothelial injury), karena bombardier secara
terus menerus oleh partikel yang terdapat pada materi yang
diinjeksikan. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya granulasi talk
subendotel pada katup trikuspid pasien endokarditis infektif yang
diautopsi. Karena materi yang diinjeksikan secara intravena, katup
jantung yang pertama menyaring partikel adalah sisi kanan jantung.
Di samping kerusakan mekanis secara langsung, faktor lain yang juga
berperan adalah diluent (pelarut) yang dipakai dapat menyebabkan
vasospasme, kerusakan intima, dan pembentukan trombus. Selain itu
obat adiktif sendiri dapat menyebabkan kerusakan endotel. Pada
PNIV, kuman dapat berasal dari kulit yang tak steril maupun jarum
yang tak steril/spuit yang terkontaminasi kuman dan berfungsi
sebagai reservoir pada pengguna berikutnya. Oleh karena
Staphylococcus aureus merupakan kuman flora kulit normal, maka
kuman ini merupakan penyebab tersering yaitu antara 50-60%
kasus.Beberapa manifestasi klinis yang timbul pada endokarditis
merupakan akibat dari mekanisme-mekanisme, antara lain:1. Efek
destruksi lokal akibat infeksi intrakardiak. Koloni kuman pada
katup jantung atau perivalvular dapat menyebabkan kerusakan dan
kebocoran katup, terbentuk abses, atau perluasan vegetasi ke
perivalvular.2. Adanya vegetasi fragmen septik yang terlepas dapat
menyebabkan tromboemboli, seperti emboli paru (vegetasi katup
tricuspid) atau sampai keotak (vegetasi sisi kiri).3. Vegetasi akan
melepas bakteri secara terus-menerus ke dalam sirkulasi (bakteremia
kontinus) yang mengakibatkan gejala konstitusional seperti demam,
malaise, tidak nafsu makan, penurunan berat badan, dan lainnya.4.
Respon antibodi humoral dan seluler terhadap infeksi mikroorganisme
dan kerusakan jaringan akibat kompleks imun atau interaksi
komplemen-antibodi dan antigen yang tetap menetap dalam jaringan.
Manifestasi endokarditis infektif dapat berupa petekie, Oslers
node, artritis, glomerulonefritis, dan lainnya.
2.3 Manifestasi KlinisDemam merupakan gejala dan tanda yang
paling sering ditemukan pada endokarditis infektif. Demam mungkin
tak ditemukan atau minimal pada pasien usia lanjut atau pada gagal
jantung kongestif, debilitas berat, gagal ginjal kronik, dan jarang
pada endokarditis infektif katup asli yang disebabkan oleh
stafilokokus koagulase negatif. Pembesaran limpa ditemukan pada
15-50% pasien dan lebih sering pada EI subakut.Petekie merupakan
manifestasi perifer tersering, dapat ditemukan pada konjungtiva
palpebra, mukosa palatal dan bukal, ekstremitas dan tidak spesifik
pada EI. Splinter atau subungual hemorrhages merupakan gambaran
merah gelap, linear atau jarang berupa flame-shaped streak pada
dasar kuku atau jari, biasanya pada bagian proksimal. Osler nodes
biasanya berupa nodul subkutan kecil yang nyeri yang terdapat pada
jari atau jarang pada jari lebih proksimal dan menetap dalam waktu
beberapa jam atau hari, dan tak patognomonis untuk EI. Lesi Janeway
berupa eritema kecil atau makula hemoragis yang tak nyeri pada
telapak tangan atau kaki dan merupakan akibat emboli septik. Roth
spots, perdarahan retina oval dengan pusat yang pucat, jarang
ditemukan pada EI.Gejala muskuloskletal sering ditemukan berupa
artralgia dan mialgia, jarang artritis dan nyeri bagian belakang
yang prominen.Emboli sistemik merupakan sequellae klinis tersering
EI, dapat terjadi sampai 40% pasien dan kejadiannya cenderung
menurun selama terapi pemberian antibiotik yang efektif. Gejala dan
tanda neurologis terjadi pada 20-40% pasien EI dan dikaitkan dengan
peningkatan mortalitas. Strok emboli merupakan manifestasi klinis
tersering. Manifestasi klinis yang lain yaitu perdarahan
intrakranial yang berasal dari ruptur aneurisma mikotik, ruptur
arteri karena arteritis septik, kejang, dan ensefalopati
2.4 PemeriksaanDiagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis yang
cermat, pemeriksaan fisik yang teliti, dan pemeriksaan penunjang
tambahan lainnya. Pada pemeriksaan penunjang ekokardiografi bisa
ditemukan adanya vegetasi dan kerusakan katup jantung. Penegakan
diagnosis endokarditis yang biasa dipakai dengan menggunakan
criteria duke, yaitu:Diagnosis criteria duke:1. Kriteria
Patologisa. Mikroorganisme, yang ditemukan dalam kultur atau
pemeriksaan histologi di dalam vegetasi, emboli yang berasal dari
vegetasi, atau abses intrakardiak Dari pemeriksaan histologi
didapatkan adanya endokarditis aktif didalam vegetasi atau abses
intrakardiak2. Kriteria Klinisa. 2 kriteria mayor 1 kriteria mayor
dan 3 kriteria minor 5 kriteria minor
Kriteria Mayor:a. Kultur darah positif:- Mikroorganisme khas
untuk endokarditis infektif: Streptococcus viridians, Streptococcus
bovis, Grup HACEK, Staphylococcus aureus atau Enterococcus-
Bakteremia yang persisten2 kultur darah (+) dalam waktu 12 jam
terpisah 3 kultur darah (+) dalam waktu > 1 jam
terpisahb.Keterlibatan Endokardial- Ekokardiografi yang positif
dengan adanya vegetasi, abses, perforasi katup atau gangguan katup
protesac. Regurgitasi katup baruKriteria Minor:a. Adanya faktor
predisposisi: predisposis dari kondisi jantung itu sendiridan pada
penyalahguna narkoba intravenab. Demam dengan suhu > 38oCc.
Fenomena vaskular: arterial peteki, major arterial emboli, septic
pulmonary infarcts, mycotic aneurysm, perdarahan intrakranial,
perdarahan konjungtiva, dan janeway lesiond. Fenomena imunologis:
glomerulonefritis, osler nodes, roth spots, faktor rheumatoide.
Mikrobiologi/serologi: kultur darah (+) tapi tidak ditemukan
tanda-tanda pada kriteria mayor atau secara serologik terbukti
adanya infeksi aktif dari kuman-kuman penyebab endokarditis
infektif.
Gunawan, Sulistia Gan, dkk. 2009. Farmakologi dan Terapi. Edisi
5. Jakarta: FKUI.Sudoyo, Aru W. dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi V. Jakarta: InternaPublishing.
Dina Tria Febriyanti - 1102010079Page 1