A. Skenario Nyeri Punggung Setelah JatuhSeorang perempuan
berusia 67 tahun diantar oleh keluarganya ke UGD RS dengan keluahn
nyeri di punggung setelah jatuh. Pasien mengalami jatuh ketika mau
bangun dari tempat duduknya, pasien bertumpu pada pegangan kursi
tetapi kemudian terlepas dan pasien jatuh. Setelah jatuh pasien
dibantu oleh keluarganya tetapi pasien merasakan nyeri pada
punggungnya dan pasien mengalami kesulitan untuk bangun. Hasil dari
pemeriksaan rontgen tulang vertebra pasien didapatkan kesan fraktur
kopresi V.Th 12 L 2.
B. Klarifikasi Istilah1. Fraktur : patahanya jaringan tulang
karena tekanan atau tindihan yang melebihi batas kemampuan tulang
tersebut Patahnya jaringan tulang yang merobohkan ruas tulang
akibat dari tahanan tulang diatasnya. Patahnya atau robohnya tulang
akibat dari tekanan yang melebihi batas
C. Rumusan Daftar Masalah1. Apa penyebab terjadinya jatuh pada
lansia ?2. Faktor resiko apa saja yang menyebabkan lansia terjatuh
?3. Bagaimana pola berjalan manusia secara klinis ?4. Bagaiamana
perubahan tulang pada lansia ?5. Apa saja yang dapat menyebabkan
fraktur ?6. Bagaimana hubungan terjatuh dengan timbulnya nyri
punggung pada kasus tersebut ?7. Bagaimana pendekatan klinis pada
kasus tersebut ?8. Bagaimana pelatalaksanaan pada kasus tersebut
?
1
D. Analisis Masalah1. Penyebab terjatuhFaktor intrinsik Gangguan
keseimbangan postural Kaku sendi Dizzines Densitas tulang menurun
(osteoporosis) Kelemahan otot Penurunan neurotransmitter
Idiopatik
Faktor ekstrinsik Obat obatan Trauma 2. Faktor resiko
jatuhAdanya gangguan keseimbangan, kelemahan otot, gangguan pada
sistem saraf pusat, kecelakaan (kurang lampu penerangan dalam
rumah, lantai yang licin.
3. Terdapat 2 fase dalam berjalan :a. Fase pijakan Heel stroke :
saat tumit salah satu kaki menyentuh pijakan Mid stance : saat kaki
menyentuh pijakan. Push off : sat kaki mengecilkan pijakanb. Fase
kaki berada di udara (swing fase) Acceleration ; saat kaki ada
didepan tubuh Swing trough : saat kaki berayun ke depan
Descelaritation : saat kaki bersentuhan dengan pijakan4. Penurunan
massa tulang dengan rasio mineral yang berpengaruh pada penurunan
matriks tulang sehingga mengakibatkan osteoporosis.5. Yang dapa
menyebabkan fraktur; kecelakaan, berat badan yang berlebih,
osteoporosis, sarkoma pada tulang. pada dasarnya fraktur terjadi
akibat beban yang diberikan terhadap tulang melebihi dari batas
kemampuan tulang dalam menahan beban. 6. Pengaruh usia lanjut ;
pada perempuan semakin bertambahnya usia maka siklus haid terganggu
yang melibatkan hormon estrogen pada wanita terganggu (terjadi
penurunan), hormon estrogen ini berperan terhadap densitas tulang
dan menggangu regenerasi tulang yang mengakibatkan pengeroposan
tulang, akibatnya jika ada beban yang berlebih yang di berikan pada
tulang maka akan terjadi fraktur sesuai dengan tulang yang mendapat
tekanan, akibat tekanan terjadi kerusakan tulang yang bahkan
menjepit saraf disekitar yang menyebabkan nyeri.7. Pendekatan
klinis pada kasus yaitu dengan cara anamnesis dari yang didapat
pasien perempuan usia 67 tahun, dari keadaan umum pasien tampak
sakit , nyeri punggung setelah jatuh, nyeri tersebut dipengaruhi
juga oleh posisi jatuh, kemudian lamanya ketika jatuh, dan adnya
gangguan pada aktifitas sehari-hari. Secara pemeriksaan fisik
didapatkan secara inspeksi terdapat kemerahan, dan secara palpasi
terdapat nyeri tekan pada daerah sekitar,adanya
krepitasi,deformitas serta gerakan yang sangat terbatas.8.
Penatalaksaan pada kasus tersebut;Terapi simptomati dengan
pemberian analgetik untuk mengurangi rasa nyeri, tirah baring untuk
membuat nyaman pasien, pemberian kalsium untuk pemenuhan kebutuhan
seari-hari.
E. Sistematika Masalah
F. Sasaran Belajar1. Proses perubahan tulang pada lansia ?2.
Pengaruh estrogen terhadap tulang ?3. Perbedaan cara berjalan
dewasa dan lansia ?4. Penatalaksanaan pada kasus tersebut ?
G. Penjelasan1. Perubahan Tulang pada Lansia1.1 Perubahan
Anatomik Sistem Muskuloskeletal pada LansiaMassa tulang kontinu
sampai mencapai puncak pada usia 30-35 tahun setelah itu akan
menurun karena disebabkan berkurangnya aktivitas osteoblas
sedangkan aktivitas osteoklas tetap normal. Secara teratur tulang
mengalami turn over yang dilaksanakan melalui 2 proses yaitu;
modeling dan remodeling, pada keadaan normal jumlah tulang yang
dibentuk remodeling sebanding dengan tulang yang dirusak. Ini
disebut positively coupled jadi masa tulang yang hilang nol. Bila
tulang yang dirusak lebih banyak terjadi kehilangan masa tulang ini
disebut negatively coupled yang terjadi pada usia lanjut. Dengan
bertambahnya usia terdapat penurunan masa tulang secara linier yang
disebabkan kenaikan turn over pada tulang sehingga tulang lebih
pourus. Pengurangan ini lebih nyata pada wanita, tulang yang hilang
kurang lebih 0,5 sampai 1% per tahun dari berat tulang pada wanita
pasca menopouse dan pada pria diatas 80 tahun, pengurangan tulang
lebih mengenai bagian trabekula dibanding dengan kortek. Pada
pemeriksaan histologi wanita pasca menopouse dengan osteoporosis
spinal hanya mempunyai trabekula kurang dari 14%. Selama kehidupan
laki-laki kehilangan 20-30% dan wanita 30-40% dari puncak massa
tulang. Pada sinofial sendi terjadi perubahan berupa tidak ratanya
permukaan sendi terjadi celah dan lekukan dipermukaan tulang rawan.
Erosi tulang rawan hialin menyebabkan pembentukan kista di rongga
sub kondral. Ligamen dan jaringan peri artikuler mengalami
degenerasi Semuanya ini menyebabkan penurunan fungsi sendi,
elastisitas dan mobilitas hilang sehingga sendi kaku, kesulitan
dalam gerak yang rumit Perubahan yang jelas pada sistem otot adalah
berkurangnya masa otot terutama mengenai serabut otot tipe II.
Penurunan ini disebabkan karena otropi dan kehilangan serabut otot.
Perubahan ini menyebabkan laju metabolik basal dan laju komsumsi
oksigen maksimal berkurang. Otot menjadi mudah lelah dan kecepatan
laju kontraksi melambat. Selain penurunan masa otot juga dijumpai
berkurangnya rasio otot dan jaringan lemak. (Spackman SS, 2006)1.2
Keadaan Rongga Mulut LansiaKehilangan gigi atau edentulisme
memiliki prevalensi yang tinggi pada lansia di seluruh dunia dan
berkaitan erat dengan status sosial ekonomi. Studi epidemologis
menunjukkan bahwa individu dengan status sosial ekonomi bawah dan
individu dengan sedikit menerima pendidikan lebih sering mengalami
edentulisme daripada individu status ekonomi lebih tinggi. Di
Indonesia, prevalensi edentulisme pada lansia usia 65 tahun ke atas
mencapai 24%, lebih rendah presentase Malaysia dan Srilangka,
tetapi lebih tinggi dari persentase Singapura, Kamboja dan
Thailand. (Spackman SS, 2006)a. Keadaan GigiUmumnya para lansia
akan mengalami pengurangan jumlah gigi. Berkurangnya gigi, terutama
gigi posterior telah diindikasikan sebagai penyebab TMD karena
kondil mandibula akan mencari posisi yang nyaman pada saat menutup
mulut. Hal inil memicu perubahan letak condilus pada fossa glenoid
dan menyebabkan TMD, serta kelainan oklusal akibat hilangnya gigi
menghasilkan stres melalui sendi dan menyebabkan ganguan fungsi
sendi. Griffin (1979)2 sebagaimana yang dikutip oleh Soikkonen
menulis bahwa degenerasi TMJ berhubungan dengan hilangnya gigi,
terutama gigi-gigi molar. (Spackman SS, 2006)Perubahan gigi geligi
pada proses penuaan menjadi faktor yang memicu terjadinya TMD dan
berkaitan dengan proses fisiologis normal, dan proses patologis
akibat tekanan fungsional dan lingkungan. Gigi geligi mengalami
diskolorisasi menjadi lebih gelap dan kehilangan email akibat
atrisi, abrasi dan erosi. Secara umum ruang pulpa menyempit dan
sensitivitas berkurang karena adanya deposisi dentin sekunder.
Resesi gingiva, hilangnya perlekatan periodontal dan tulang
alveolar merupakan perubahan jaringan periodontal yang umum
ditemukan pada lansia. Degenerasi tulang alveolar menyebabkan gigi
geligi tampak lebih panjang daripada sebelumnya. Resesi gingiva
yang terjadi secara signifikan tidak diikuti oleh peningkatan
kedalaman poket periodontal. Massa tulang, baik pada tulang
alveolar dan sendi rahang menurun pada lansia akibat menurunnya
asupan kalsium dan hilangnya mineral tulang. (Spackman SS,
2006)
Gambar 1. Gigi Geligi pada Pasien Lansia(Sumber: Burkets,
2003)b. Keadaan Saliva dan Mukosa MulutDiketahui bahwa fungsi
kelenjar saliva yang mengalami penurunan merupakan suatu keadaan
normal pada proses penuaan manusia. Lansia mengeluarkan jumlah
saliva yang lebih sedikit pada keadaan istirahat, saat berbicara,
maupun saat makan. Keluhan berupa xerostomia atau mulut kering
sering ditemukan pada orang tua daripada orang muda yang disebabkan
perubahan karena usia pada kelenjar itu sendiri. Fungsi utama dari
saliva adalah pelumasan, buffer, dan perlindungan untuk jaringan
lunak dan keras pada rongga mulut. Jadi, perubahan aliran saliva
akan mempersulit fungsi bicara dan penelanan serta menaikkan jumlah
karies gigi, dan meningkatkan kerentanan mukosa terhadap trauma
mekanis dan infeksi microbial. (Spackman SS, 2006)Berdasarkan
penelitian terjadinya degenerasi epitel saliva, atrofi, hilangnya
asini dan fibrosis terjadi dengan frekuensi dan keparahan yang
meningkat dengan meningkatnya usia. Secara umum dapat dikatakan
bahwa saliva nonstimulasi secara keseluruhan berkurang volumenya
pada lansia.(Spackman SS, 2006)Gambaran klinis jaringan mukosa
mulut lansia sehat tidak berbeda jauh dibandingkan dengan individu
muda, meski demikian riwayat adanya trauma, penyakit mukosa,
kebiasaan merokok dan adanya gangguan pada kelenjar ludah dapat
merubah gambaran klinis dan karakter histologis jaringan mulut
lansia. Kesehatan umum dan kesehatan rongga mulut saling berkaitan.
Sebagai contoh, penyakit periodontal parah diasosiasikan dengan
diabetes mellitus, penyakit jantung sistemik dan penyakit paru-paru
kronis. Kehilangan gigi juga dikaitkan dengan peningkatan resiko
stroke dan kesehatan mental yang buruk. (Spackman SS,
2006)Perubahan pada mukosa mulut dengan bertambahnya usia dapat
menimbulkan kesalahan penetapan diagnosis. Varikositas pada ventral
lidah akan tampak jelas pada lansia. Berkurangnya jumlah gigi
geligi seiring dengan proses penuaan menyebabkan lidah terlihat
lebih besar atau macroglosia, tampak bercelah dan beralur dikenal
dengan fissured tongue atau dapat pula tampak berambut dikenal
dengan hairy tongue. Beberapa kondisi mukosa mulut yang sering
ditemukan pada lansia adalah keratoris friksional akibat trauma
gigitan kronis, makula melanotik, amalgam tattoo, torus, fissured
tongue dan geographic tongue. (Spackman SS, 2006)1.3 Keadaan TMJ
pada LansiaProses menua, terjadi kemunduran banyak fungsi tubuh.
Salah satu di antaranya adalah fungsi TMJ untuk mengunyah. Adanya
gangguan pada fungsi TMJ untuk mengunyah mengakibatkan berkurangnya
asupan makanan sebagai sumber gizi. (Bajpai, 2009)TMJ merupakan
sendi yang paling kompleks, sendi ini membuka dan menutup seperti
sebuah engsel dan bergeser ke depan, ke belakang dan dari sisi yang
satu ke sisi yang lainnya. Selama proses mengunyah, sendi ini
menopang sejumlah besar tekanan. Sendi ini memiliki sebuah
kartilago atau tulang rawan khusus yang disebut cakram, yang
mencegah gesekan antara tulang rahang bawah dan tulang tengkorak.
(Bajpai, 2009)
Gambar 2. Letak TMJ(Sumber: Bajpai, 2009)a. Proses perubahan
TMJStruktur dan fungsi jaringan konektif mengalami sintesis dan
degradasi makromolekul sel dan ekstraseluler secara terus-menerus.
Proses remodeling ini adalah adaptasi biologis terhadap lingkungan,
yaitu respon stres biomekanis. Adaptasi morfologi akan meminimalkan
stres biomekanis. Sejak usia dewasa muda, tulang rahang terus
mengalami remodeling. Remodeling dianggap menyebabkan penebalan
jaringan pada permukaan sendi, misalnya produksi osteosit, sebagai
respon terhadap perubahan lingkungan, misalnya sebagai kompensasi
gigi yang telah dicabut. Sedangkan kegagalan menahan stres
biomekanis menyebabkan degenerasi prematur jaringan fibrosa sendi
seperti resorpsi tulang subartikular. Akibat proses menua, jaringan
sendi mengalami reduksi sel yang progresif sehingga hanya tersisa
sedikit kondrosit dan fibroblas yang kemudian menjadi
fibrokartilago. Akibatnya terjadi penipisan meniskus sendi dan
dapat mengalami arthritis remodeling terjadi pada bagian anterior
dan posterior condyl, medial dan lateral eminensia sendi, dan atap
fossa glenoid. Derajat remodeling tidak berhubungan dengan usia
tetapi sangat berhubungan dengan kehilangan gigi. Terdapat lebih
dari 95% individu memberikan gambaran osteoartritis. Gambaran
radiografik condyl yang utama adalah sklerosis subkondral sehingga
permukaan sendi menjadi rata karena erosi dan celah sendi menjadi
sempit. Secara histologis, terlihat bahwa stres mekanis menyebabkan
pemanjangan ligamen posterior meniskus, diikuti pergeseran
ventromedial yang menyebabkan tidak adekuatnya aliran darah
sehingga terjadi iskemia di daerah tersebut dan terjadi resorpsi
tulang. (Bajpai, 2009)TMD bisa mengenai sendi dan otot-otot yang
berada di sekitarnya. Sebagian besar penyebab dari TMD adalah
gabungan dari ketegangan otot dan kelainan anatomis pada sendi,
kadang disertai faktor psikis. (Bajpai, 2009)
Tabel 1. Perubahan- perubahan Pada Mandibula Sesuai Umur (Nomura
K, 2007)BagianPada KelahiranDewasaUsia Tua
1. Simpisis menti
Ada. Kedua belahan di satukan oleh jaringan ikat, Sinostosis
terjadi pada tahun ke 2 dewasaTidak ada.Sebuah gigi median pada
setengah bagian atas melukiskan simpisis.tidak ada.Rigi median
diabsorpsi.
2. Angulus
TumpulSudut kanan mendekati angulus dekstra.Tumpul 140
3. Foramen mentale
Di dekat pinggir bawah.
Di tengah di antara pinggir atas dan bawahDi dekat pinggir
atas.
4. Kanalis mandibulaisBerjalan dekat pinggir bawah.Berjalan
sejajar linea milohyoidea.Berjalan dekat pinggir atas,
5. Prosesus
Prosesus koronoideus besar dan posisi lebihtinggi dari
padaprosesus kondiloideus.Prosesus kondiloideus tinggi di atas
prosesus koronoideus.Prosesus kondiloideus sangat di belakang pada
Lansia.
6. Pinggir alveolarisBerkembang, menyelubungi lubang-lubang gigi
yang belum tumbuh
Baik bagian alveolaris maupun sub alveolaris tidak
berkembang.Bagian alveolaris diabsorpsi akibat rontoknya gigi-gigi
dan berubah menjadi rugi.
2. Pengaruh Esterogen Terhadap TulangSetelah menopause, maka
reasorpsi tulang akan meningkat, terutama pada dekade awal setelah
menopause, sehingga insiden fraktur, terutama fraktur vertebra dan
radius distal meningkat. Penurunan densitas tulang terutama pada
tulang trabekular, karena memiliki permukaan yang luas dan hal ini
dapat dicegah dengan terapi sulih estrogen. Petanda resorpsi tulang
dan formasi tulang, keduanya meningkat menunjukan adanya
peningkatan bone turnover. Estrogen juga berperan menurunkan
produksi berbagaisitokin oleh bone marrow stromal cells dan sel-sel
mononuklear, seperti IL-1, IL-6 dan TNF-a yang berperan
meningkatkan kerja osteoklas. Dengan demikian penurunan kadar
estrogen akibat menopause akan meningkatkan produksi berbagai
sitokin tersebut sehingga aktifitas osteoklas meningkat. (Guyton
& Hall, 2009)Selain peningkatan aktifitas osteoklas, menopause
juga menurunkan absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi
kalisium diginjal. Selain itu, menopause juaga menuurunkan sintesis
berbagai protein yang membawa 1,25 (OH),sehingga pemberian estrogen
akan meningkatkan konsentrasi 1,25 (OH) didalam plasma. Tetapi
pemberian estrogen transdermal tidak akan meningkatkan sintesis
protein tersebut, karena estrogen transdermal tidak diangkut
melewati hati. Walaupun demikian, estrogen transdermal tetap dapat
meningkatkan absorpsi kalsium diusus secara langsung tanpa
dipengaruhi vitamin D. (Guyton & Hall, 2009)Untuk mengatasi
keseimbangan negatif kalsium akibat menopause, maka kadar PTH akan
meningkatkan pada wanita menopause , sehingga osteoporosis akan
semakin berat. Pada menopause, kadang kala didapatkan peningkatan
kadar kalsium serum, dan hal ini disebabkan oleh menurunnya volume
plasma, meningkatkannya kadar albumin dan bikarbonat, sehingga
meningkatkan kadar kalsium yang terkait albumin dan juga kadar
kalsium dalam bentuk garam kompleks. Peningkatan bikarbonat pada
menopause terjadi penurunan rangsang respirasi, sehingga terjadi
relatif asidosis respiratorik. Walaupun terjadi peningkatan kadar
kalsium yang terkait albumin dan kalsium dalam garam kompleks,
kadar ioan kalsium tetap sama dengan keadaan premenopause. (Guyton
& Hall, 2009)
Gambar 3. Tulang normal dan osteoporosis(Sumber: Guyton &
Hall, 2009)
3. Perbedaan Cara Berjalan Dewasa dengan LansiaPerubahan gaya
berjalan terjadi seiring dengan meningkatnya usia. Kendati
perubahan tersebut tidak terlalu menonjol untuk dianggap patologis,
kondisi perubahan gaya berjalan tersebut dapat meningkatkan
kejadian jatuh. Pada umumnya orang usia lanjut tidak dapat
mengangkat atau menarik kakinya cukup tinggi sehingga cendurung
mudah terantuk (trip). Orang usia lanjut laki-laki cenderung
memiliki gaya berjalan dengan kedua kaki melebar dan langkah
pendek-pendek (wide-based, short stepped gaits); sedangkan
perempuan usia lanjut sering kali berjalan kedua kaki menyempit
(narrow based) dan gaya jalan bergoyang-goyang (wadling gait).
Orang usia lanjut cenderung untuk berjalan lebih lambat dan
meningkatkan kecepatan berjalan dengan cara meningkatkan jumlah
langkah per unit waktu dibandingkan jarak satu siklus berjalan,
serta terdapat peningkatan ayunan postural. Pada usia lanjut yang
sehat, kecepatan berjalan menurun 1-2% tiap tahunnya dan berkaitan
dengan berkurangnya panjang langkah dan jarak satu siklus berjalan.
Gerak ekstensi sendi pergelangan kaki dan rotasi pelvis menurun,
serta periode double support meningkat untuk membuat gaya berjalan
lebih stabil. Bertambahnya waktu untuk menyelesaikan satu siklus
berjalan berkaitan dengan peningkatan sebesar 5 kali resiko untuk
jatuh. (Sudoyo, 2009)Dalam pola jalan lansia ada beberapa perubahan
yang mungkin terjadi, diantaranya sebagai berikut: (Sudoyo, 2009)
Sedikit ada rigiditas pada anggota gerak, terutama anggota gerak
atas lebih dari anggota gerak bawah. Rigiditas akan hilang apabila
tubuh bergerak. Gerakan otomatis, amplitudo dan kecepatan
berkurang, seperti hilangnya ayunan tangan saat berjalan. Hilangnya
kemampuan untuk memanfaatkan gravitasi sehingga kerja otot
meningkat. Hilangnya ketepatan dan kecepatan otot, khususnya otot
penggerakan sendi panggul. Langkah lebih pendek agar merasa lebih
aman Penurunan perbandingan antara fase mengayun terhadapt fase
menumpu. Halk itu juga untuk menambah rasa aman dengan fase menumpu
pada kedua tungkai lebih lama. Penurunan rotasi badan, terjadi
karena efek sekunder kekuatan sendi. Penurunan ayunan tungkai saat
fase mengayun Penurunan sudut antara tumit dan lantai, itu mungkin
disebabkan lemahnya fleksibilitas plantar fleksor. Penurunan irama
jalan. Hal itu merupakan salah satu upaya menjaga rasa aman.
Penurunan rotasi gelang bahu dan panggul sehingga pola jalan tampak
kaku. Penurunan kecepatan ayunan lengan dan tungkai.
4. Penatalaksanaan pada Fraktur LansiaTujuan utama tatalaksana
adalah mengembalikan pasien pada keadaan dan fungsi sebelum terjadi
fraktur. Hal ini dapat dicapai dengan operasi diikuti mobilisasi
dini. Walaupun demikian, adakalanya operasi dapat meningkatkan
risiko morbiditas dan mortalitas bila ada penyakit penyerta seperti
riwayat infark miokard. Pada keadaan ini operasi sebaiknya ditunda
hingga risiko infark berkurang. Operasi sebaiknya ditunda pula pada
pasien yang membutuhkan terapi antikoagulan segera.Tata laksana
non-operatif ditujukan pada pasien nonambulatoar dan demensia. Pada
pasien ini, target tatalaksana adalah keadaan dan fungsi sebelum
fraktur tanpa operasi. Mobilisasi dini penting untuk menghindari
komplikasi akibat tirah baring lama. (Sudoyo, 2009)Pada pasien usia
lanjut yang mengalami fraktur diperlukan penilaian geriatri yang
komprehensif. Kelompok pasien ini umumnya lemah, memiliki beberapa
masalah medis, minum banyak obat, serta acapkali sudah terdapat
demensia atau penyakit terminal lainnya. Berdasarkan data yang
dikumpulkan, dibuat pengkajian geriatri yang prinsipnya mencakup
penyakit dasar, penyakit penyerta, faktor risiko, prognosis, dan
kelayakan operasi. Bila didapatkan penyakit penyerta pada pasien
yang akan dioperasi maka dilakukan manajemen perioperatif hingga
penyakit penyerta tersebut dapat terkontrol atau terkendali.
(Sudoyo, 2009)Perlu pula dilakukan penapisan aktivitas hidup harian
sebelum dan setelah fraktur, maupun adanya gangguan fungsi kognitif
dan depresi. Aktivitas hidup harian secara sederhana dapat dinilai
dengan indeks activity daily living, (ADL) Barthel. Evaluasi fungsi
kognitif dapat secara kuantitatif menggunakan abbreviated mental
test (AMT) atau mini-mental state examination (MMSE). Adanya
depresi ditapis dengan geriatric depression scale (GDS). Persiapan
mental pasien pun harus dilakukan dimulai dengan penjelasan kepada
pasien tentang penyakit dan tatalaksananya. (Sudoyo,
2009)Obat-obatan yang digunakan pasien sebelumnya perlu dievaluasi.
Pasien harus dihindarkan dari efek samping polifarmasi. Obat yang
tidak/sedikit efektif dihentikan. Namun obat yang berefek buruk
bila dihentikan tetap diteruskan. Obat Parkinson tidak perlu
dihentikan sebelum operasi. (Sudoyo, 2009)Pada pemeriksaan fisik
dievaluasi adanya komplikasi akibat fraktur, faktor penyebab
fraktur, dan penyakit penyerta. Pemeriksaan fisik awal sangat
penting untuk mengevaluasi komplikasi yang mungkin terjadi
kemudian. Penilaian status nutrisi pasien dapat dinilai melalui
berat badan dan tinggi badan, konsentrasi albumin, dan jumlah total
limfosit. Penilaian kulit dilakukan terhadap adanya dekubitus.
Perlu dilakukan tatalaksana terhadap nyeri yang seringkali timbul
akibat fraktur. Pada keadaan tersebut pasien dapat diberikan
parasetamol 500 mg hingga dosis maksimal 3000 mg per hari. Bila
respons tidak adekuat dapat ditambahkan dengan kodein 10 mg.
Langkah selanjutnya adalah dengan menggunakan obat antiinflamasi
nonsteroid seperti ibuprofen 400 mg, 3 kali sehari. Pada keadaan
sangat nyeri (terutama bila terdapat osteoporosis), kalsitonin
50-100 IU dapat diberikan subkutan malam hari. Golongan narkotik
hendaknya dihindari karena dapat menyebabkan delirium. (Sudoyo,
2009)Selain itu, perlu diingat kemungkinan terjadinya komplikasi
pascaoperasi seperti infeksi, tromboemboli, delirium, infeksi
saluran kemih dan retensio urin, ulkus dekubitus akibat tirah
baring lama, maupun malnutrisi. (Sudoyo, 2009)Risiko infeksi dapat
diturunkan dengan pemberian antibiotik perioperatif. Untuk mencegah
tromboemboli, baik trombosis vena dalam maupun emboli paru, pasien
perlu mendapat antikoagulan selama masa perioperatif. Warfarin
diberikan dengan targel international normalized ratio (INR) 2-3.
Heparin diberikan dengan target partial thromboplastin time (aPTT)
1,5-2,5 kontrol. Low molecular weight heparin (LMWH) dapat
diberikan tanpa pengontrolan aPTT. Sebelum operasi, antikoagulan
perlu dihentikan dahulu agar perdarahan luka operasi terkendali.
Setelah operasi, antikoagulan dapat diberikan hingga 2-4 minggu
atau bila pasien sudah dapat mobilisasi. Walaupun aspirin bila
dibandingkan dengan heparin efektivitasnya lebih rendah, namun pada
keadaan pasien dengan kontraindikasi terhadap antikoagulan maka
pada pasien dapat diberikan aspirin 75-325 mg/hari atau hanya
menggunakan tindakan mekanis seperti sepatu kompresi pneumatik.
Stoking kompresi dapat menjadi tambahan dari terapi di atas.
Penggunaan aspilet dan stoking kompresi diteruskan hingga 6 minggu
setelah operasi. (Sudoyo, 2009)Delirium pasca operasi dapat dipicu
oleh gangguan elektrolit dan obat-obatan yang diberikan seperti
golongan benzodiazepin agar pasien dapat tidur atau opiat untuk
mengatasi nyeri. Fuktor preoperatif terjadi delirium pascaoperasi
adalah demensia sebelum fraktur, mobilisasi rendah sebelum fraktur,
dan MMSE rendah. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan
elekrolit berkala, evaluasi obat-obatan yang digunakan, dan pasien
diperkenalkan menggunakan pakaian, kacamata, dan alat
pendengarannya serta ditunggui keluarga. Satu anggota keluarga
tetap menunggui pasien khususnya pada malam hari. Pemindahan ruang
rawat yang tidak perlu diminimalkan. (Sudoyo, 2009)Untuk mencegah
infeksi saluran kemih dan retensio urin, kateter urin harus dilepas
segera setelah operasi, tidak boleh dipertahankan lebih dari 24-36
jam kecuali bila dibutuhkan evaluasi jumlah urin. Retensio urin
sementara dapat terjadi akibat nyeri, opiat, anestesi, atau faktor
lain. Ulkus dekubitus perlu dicegah dengan melakukan mobilisasi
dini, menjaga kesehatan kulit, dan penggunaan kasur dekubitus.
Asupan nutrisi pasien juga perlu diperhatikan untuk mencegah
malnutrisi. Umumnya pasien dapat menerima nutrisi enteral dalam
12-24 jam pascaoperasi. Suplemen protein oral harus diberikan dalam
jumlah besar, karena asupan pada masa pascaoperasi dapat kurang
dari seharusnya. Bila asupan oral tidak adekuat maka digunakan pipa
nasogastrik untuk memperbaiki keseimbangan nitrogen dan asupan
kalori. (Sudoyo, 2009)Aspek penting pada pascaoperasi adalah
mobilisasi dini untuk mencegah komplikasi akibat imobilisasi. Pada
usia lanjut dengan fraktur femur proksimal, hal ini sangat penting
agar dapat hidup tanpa tergantung pada orang lain dengan target
terapi adalah mengembalikan fungsi berjalan. Rehabilitasi harus
mulai satu hari setelah operasi dengan mobilisasi bertahap dari
tempat tidur, kursi dan selanjutnyan berdiri dan berjalan. Pada hal
pertama dapat dimulai dengan latihan kekuatan isometri dan latihan
mobilisasi. Pada hari keempat latihan berdiri dan latihan berjalan
dengan pegangan. (Sudoyo, 2009)Perencanaan pulang ke rumah
merupakan hal penting. Agar pasien dapat melakukan fungsi tanpa
ketergantungan saat kembali ke rumah, pasien harus memulihkan
kemampuan untuk melakukan aktuvitas hidup harian dasar. Kebanyakan
pemulihan terjadi pada 6 bulan pertama setelah fraktur. (Sudoyo,
2009)