K U S T A “ Untuk Memenuhi Nilai Patologi Manusia Lanjut ” Dosen Pembimbing : Dr. Maria Poppy Herlianti, B. Sc, M. Epid Disusun Oleh Desi Anggarini Pratiwi DIII-B Semester 3
K U S T A “ Untuk Memenuhi Nilai Patologi Manusia Lanjut ”
Dosen Pembimbing : Dr. Maria Poppy Herlianti, B. Sc, M.Epid
Disusun OlehDesi Anggarini Pratiwi
DIII-B Semester 3
Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Jakarta IIJalan Hang Jebat III/F3 Kebayoran Baru, Jakarta 12120
Tahun Akademik 2014/2015
KUSTA
A. DEFINISI
Penyakit kusta adalah penyakit infeksi yang kronik,
penyebabnya ialah Mycobacterium Leprae yang pertama-tama
menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas,
sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis.
Tidak ada penyakit infeksi lain selain penyakit kusta yang
dapat menandingi keanekaragaman gambaran klinik baik dari lesi
kulit maupun lesi saraf sehingga penyakit kusta disebut “The
Greatest Imitator” (Halim, 2000). Pada kebanyakan orang yang
terinfeksi dapat asimtomatik, namun sebagian kecil
memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk
menjadi cacat, khususnya pada tangan dan kaki.
B. KLASIFIKASI (menurut WHO)
Pada tahun 1982, WHO mengembangkan klasifikasi untuk
memudahkan pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini
seluruh penderita kusta hanya dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe
Pausi basiler (PB) dan tipe Multi basiler (MB). Sampai saat
ini Kementrian Kesehatan Indonesia menerapkan klasifikasi
menurut WHO sebagai pedoman pengobatan penderita kusta. Dasar
dari klasifikasi ini berdasarkan manifestasi klinis dan hasil
pemeriksaan bakteriologi.
Tabel 1. Pedoman utama dalam menentukan klasifikasi / tipe
penyakit kusta menurut WHO (1982)
Tanda utama Pausi Basiler (PB) Multi Basiler (MB)Bercak kusta Jumlah 1 sampai
dengan 5
Jumlah lebih dari 5
Penebalan saraf
tepi yang disertai
dengan gangguan
fungsi (gangguan
fungsi bisa berupa
kurang/mati rasa
atau kelemahan otot
yang dipersarafi
oleh saraf yang
bersangkutan
Hanya satu saraf Lebih dari satu
saraf
Pemeriksaan
bakteriologi
Tidak dijumpai
basil tahan asam
(BTA negatif)
Dijumpai basil
tahan asam (BTA
positif)
Tabel 2. Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam
penentuan klasifikasi menurut WHO (1982) pada
penderita kustaKelainan kulit dan
hasil pemeriksaan
Pausi Basiler (PB) Multi Basiler (MB)
1. Bercak (makula) mati rasaa. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecilb. Distribusi Unilateral atau
bilateral asimetris
Bilateral simetris
c. Konsistensi Kering dan kasar Halus, berkilatd. Batas Tegas Kurang tegase. Kehilangan rasa Selalu ada dan Biasanya tidak
pada bercak tegas jelas, jika ada,
terjadi pada yang
sudah lanjutf. Kehilangan
kemampuan
berkeringat,
rambut rontok
pada bercak
Selalu ada dan
jelas
Biasanya tidak
jelas, jika ada,
terjadi pada yang
sudah lanjut
2. Infiltrata. Kulit Tidak ada Ada, kadang-kadang
tidak adab. Membran mukosa Tidak pernah ada Ada, kadang-kadang
tidak adac. Ciri-ciri Central healing - Punched out lesion
- Madarosis- Ginekomasti- Hidung pelana- Suara sengau
d. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang adae. Deformitas Terjadi dini Biasanya asimetris
C. ETIOLOGI
Kusta (lepra) disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae.
Penyakit ini dapat menular melalui hubungan langsung dalam
waktu yang lama. Indikasi kusta berupa ruam-ruam pada kulit
seperti panu, lalu membengkak dan lecet serta mengeluarkan
cairan. Ruam-ruam pada hidung dan ujung jari bila dibiarkan
tanpa pengobatan semakin lama bisa menyebabkan hidung dan
jari-jari putus.
Timbulnya penyakit kusta juga dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain :
1) Faktor Kuman
Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang
masih utuh (solid) bentuknya, lebih besar kemungkinan
menyebabkan penularan daripada kuman yang tidak utuh lagi.
Mycobacterium leprae bersifat tahan asam, berbentuk batang
dengan panjang 1-8 mikron dan lebar 0,2-0,5 mikron, biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel
terutama jaringan yang bersuhu dingin. Kuman kusta dapat
hidup di luar tubuh manusia antara 1 - 9 hari tergantung
suhu atau cuaca dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh
(solid) saja dapat menimbulkan penularan (Depkes RI, 2002).
2) Faktor Imunitas
Sebagian manusia atau sekitar 95% kebal terhadap penyakit
kusta. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 100
orang yang terpapar, 95 orang tidak sakit, 3 orang sembuh
sendiri tanpa obat dan 2 orang menjadi sakit. Hal ini belum
mempertimbangkan pengaruh pengobatan (Depkes RI, 2002).
3) Keadaan Lingkungan
Keadaan rumah yang sesak biasanya berkaitan dengan
kemiskinan dan merupakan faktor penyebab tingginya angka
kusta. Dan dengan meningkatnya taraf hidup serta perbaikan
imunitas merupakan faktor utama mencegah munculnya kusta.
4) Faktor Umur
Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Incidence Rate
penyakit ini meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur
10 - 20 tahun dan kemudian menurun. Prevalensinya juga
meningkat sesuai dengan umur dengan puncak umur 30 - 50
tahun, kemudian secara perlahan-lahan menurun.
5) Faktor Jenis Kelamin
Insiden maupun prevalensi pada laki-laki lebih banyak dari
pada wanita. Faktor fisiologis seperti pubertas, menopause,
kehamilan, infeksi dan malnutrisi akan mengakibatkan
perubahan klinis penyakit kusta.
D. EPIDEMIOLOGI
Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum
sepenuhnya diketahui secara pasti. Penyakit kusta tersebar di
seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis. Dapat
menyerang semua umur, frekuensi tertinggi pada kelompok umur
antara 30-50 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki
daripada wanita.
Menurut WHO (2002), diantara 122 negara yang endemik pada
tahun 1985 dijumpai 107 negara telah mencapai target eliminasi
kusta dibawah 1 per 10.000 penduduk pada tahun 2000. Pada
tahun 2006, WHO mencatat masih ada 15 negara yang melaporkan
1000 atau lebih penderita baru selama tahun 2006. Lima belas
negara ini mempunyai kontribusi 94% dari seluruh penderita
baru didunia. Indonesia menempati urutan prevalensi ketiga
setelah India dan Brazil.
Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh
propinsi dengan pola penyebaran yang tidak merata. Meskipun
pada pertengahan tahun 2000 Indonesia secara nasional sudah
mencapai eliminasi kusta namun pada tahun tahun 2002 sampai
dengan tahun 2006 terjadi peningkatan penderita kusta baru.
Pada tahun 2006 jumlah penderita kusta baru di Indonesia
sebanyak 17.921 orang. Propinsi terbanyak melaporkan penderita
kusta baru adalah Maluku, Papua, Sulawesi Utara dan Sulawesi
Selatan dengan prevalensi lebih besar dari 20 per 100.000
penduduk. Pada tahun 2010 tercatat 17.012 kasus baru kusta di
Indonesia dengan angka prevalensi 7,22 per 100.000 penduduk
sedangkan pada tahun 2011 tercatat 19.371 kasus baru kusta di
Indonesia dengan angka prevalensi 8,03 per 100.000 penduduk.
E. GAMBARAN KLINIS
Tanda awal pada lepra Bentuk lesi pada lepra
Gambaran klinis yang jelas berupa kekakuan tangan dan kaki,
clawing pada jari kaki serta pemendekan jari, bahkan mudah
terjadi perdarahan dan adanya makula dengan hilangnya rasa
tusukan (Bhopal, 2002). Keadaan tersebut terjadi pada
penderita yang sudah lanjut.
Bentuk keluhan bervariasi mulai dari keluhan anestesi di
kulit, anestesi pada tangan dan kaki. Kelainan pada kulit bisa
berupa bercak kulit yaitu macula anestetica, penebalan kulit
(papula atau plakat), nodula maupun ulcer. Pada saraf tepi
biasanya timbul penebalan saraf yang disertai peradangan
(neuritis).
Umumnya ditemukan dalam 2 bentuk Pausi basiler (PB) dan
Multi basiler (MB). Menurut WHO, untuk menentukan kusta perlu
adanya 4 kriteria yaitu :
- Ditemukannya lesi kulit yang khas.
- Adanya gangguan sensasi kulit.
- Penebalan saraf tepi.
- BTA positif dari sediaan sayatan kulit.
F. PATOFISIOLOGI
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa
hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak langsung dan
penularan dari udara. Terdapat bukti bahwa tidak semua orang
yang terinfeksi oleh Mycobacterium leprae menderita kusta. Belum
diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda
pada setiap individu. Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga
merupakan faktor penyebab penyakit ini.
Penularan penyakit ini diduga disebabkan oleh kontak
langsung antara orang yang terinfeksi dan orang yang
sehat. Dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat infeksi
untuk kontak lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per
tahun di Cebu, Philipina hingga 55,8 per 1000 per tahun
di India Selatan.
Diperkirakan bahwa dua pintu keluar Mycobacterium leprae dari
tubuh manusia adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan
bahwa pada kasus lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah
organisme di dermis kulit. Namun belum dapat dibuktikan bahwa
organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit.
Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukannya bakteri tahan
asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan
bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam
di epidermis. Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan
adanya sejumlah Mycobacterium leprae yang besar di
lapisan keratin superfisial kulit di penderita kusta
lepromatosa. Hal ini menghasilkan sebuah dugaan bahwa
organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan.
Beberapa peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Secara
umum, masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.
G. DIAGNOSIS
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari
tanda-tanda utama atau tanda kardinal, yaitu :
1.Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/lesi yang dapat berbentuk bercak keputihan
(hypopigmentasi) atau kemerahan (erithematous) yang mati rasa
(anaesthesia).
2.Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi
saraf
Gangguan fungsi saraf tepi ini biasanya akibat dari
peradangan kronis pada saraf tepi (neuritis perifer). Adapun
gangguan-gangguan fungsi saraf tepi berupa :
- Gangguan fungsi sensoris: mati rasa.
- Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau
kelumpuhan (paralise).
- Gangguan fungsi otonom: kulit kering.
3. Ditemukannya Mycobacterium leprae pada pemeriksaan
bakteriologis
H. PROGNOSIS
Prognosis penyakit kusta bergantung pada tipe kusta apa
yang diderita oleh pasien, akses ke pelayanan kesehatan dan
penanganan awal yang diterima oleh pasien.
Relaps pada penderita kusta terjadi sebesar 0,01 – 0,14 %
per tahun dalam 10 tahun. Perlu diperhatikan terjadinya
resistensi terhadap dapson atau rifampisin.
Karena berkurangnya kemampuan imunitas tubuh, kehamilan
pada pasien kusta wanita yang berusia dibawah 40 tahun dapat
mempercepat timbulnya relaps atau reaksi. Secara keseluruhan,
prognosis kusta pada anak lebih baik, karena pada anak jarang
terjadi reaksi kusta (Lewis, 2010).
I. PENCEGAHAN
Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta.
Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu
cara pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh
manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai
7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh
manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepat kuman kusta
mati. Jadi dalam hal ini penting sekali sinar matahari masuk
ke dalam rumah dan hindari tempat-tempat yang lembab.
Penting sekali untuk mengetahui dan mengerti beberapa hal
tentang penyakit kusta ini, bahwa :
Terdapat obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta.
Sekurang-kurangnya 80% dari semua orang tidak mungkin
terkena kusta.
Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang
lain.
Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-
kira 6 bulan secara teratur.
J. PEMERIKSAAN
- Pemeriksaan Serologi
Tes serologi merupakan tes diagnostik penunjang yang
paling banyak dilakukan saat ini. Selain untuk penunjang
diagnostik klinis penyakit kusta, tes serologi juga
dipergunakan untuk diagnosis infeksi Mycobacterium leprae
sebelum timbul manifestasi klinis. Uji laboratorium ini
diperlukan untuk menentukan adanya antibodi spesifik
terhadap Mycobacterium leprae di dalam darah. Dengan diagnosis
yang tepat, apalagi jika dilakukan sebelum timbul
manifestasi klinis lepra diharapkan dapat mencegah penularan
penyakit sedini mungkin.
Pemeriksaan serologis kusta yang kini banyak dilakukan
cukup banyak manfaatnya, khususnya dalam segi
seroepidemiologi kusta di daerah endemik. Selain itu
pemeriksaan ini dapat membantu diagnosis kusta pada keadaan
yang meragukan karena tanda-tanda klinis dan bakteriologis
tidak jelas. Karena yang diperiksa adalah antibodi spesifik
terhadap basil kusta maka bila ditemukan antibodi dalam
titer yang cukup tinggi pada seseorang maka bisa dicurigai
orang tersebut telah terinfeksi oleh Mycobacterium leprae. Pada
kusta subklinis seseorang tampak sehat tanpa adanya penyakit
kusta namun di dalam darahnya ditemukan antibodi spesifik
terhadap basil kusta dalam kadar yang cukup tinggi.
Beberapa jenis pemeriksaan serologi kusta yang banyak
digunakan, antara lain :
i. Uji FLA-ABS (Fluorescent leprosy Antibodi-Absorption test)
Uji ini menggunakan antigen bakteri Mycobacterium leprae
secara utuh yang telah dilabel dengan zat fluoresensi.
Hasil uji ini memberikan sensitivitas yang tinggi namun
spesivisitasnya agak kurang karena adanya reaksi silang
dengan antigen dari mikrobakteri lain.
ii. Radio Immunoassay (RIA)
Uji ini menggunakan antigen dari Mycobacterium leprae yang
dibiakkan dalam tubuh Armadillo yang diberi label radio
aktif.
iii. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination)
Uji ini berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen
sintetik PGL-1 dengan antibodi dalam serum. Uji MLPA
merupakan uji yang praktis untuk dilakukan di lapangan,
terutama untuk keperluan skrining kasus seropositif.
iv. Antibodi monoklonal (Mab) epitop MLO4 dari protein 35-
kDa Mycobacterium leprae menggunakan Mycobacterium leprae sonicate
(MLS) yang spesifik dan sensitif untuk serodiagnosis
kusta. Protein 35-kDa Mycobacterium leprae adalah suatu
target spesifik dan yang utama dari respon imun seluler
terhadap Mycobacterium leprae, merangsang proliferasi sel T
dan sekresi interferon gamma pada pasien kusta dan
kontak.
v. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Assay)
Uji ELISA pertama kali digunakan dalam bidang
imunologi untuk menganalisis interaksi antara antigen
dan antibodi di dalam suatu sampel, dimana interaksi
tersebut ditandai dengan menggunakan suatu enzim yang
berfungsi sebagai penanda.
Dalam perkembangan selanjutnya, selain digunakan
sebagai uji kualitatif untuk mengetahui keberadaan suatu
antibodi atau antigen dengan menggunakan antibodi atau
antigen spesifik, teknik ELISA juga dapat diaplikasikan
dalam uji kuantitatif untuk mengukur kadar antibodi atau
antigen yang diuji dengan menggunakan alat bantu berupa
spektrofotometer.
Prinsip uji ELISA adalah mengukur banyaknya ikatan
antigen antibodi yang terbentuk dengan diberi label
(biasanya berupa enzim) pada ikatan tersebut, selanjutnya
terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan
spektrofotometer dengan panjang gelombang tertentu.
Pemeriksaan ini umumnya menggunakan plat mikro untuk
tempat terjadinya reaksi. Terdapat tiga metode ELISA,
antara lain :
o Direct ELISA
Pada direct ELISA, antigen melekat pada fase solid dan
bereaksi dengan antibodi sekunder yang dilabel enzim,
kemudian ditambahkan substrat sehingga terjadi
perubahan warna yang dapat diukur dengan
spektrofotometer.
o Indirect ELISA
Pada indirect ELISA, antigen melekat pada fase solid dan
bereaksi dengan antibodi primer, kemudian dilakukan
penambahan antibodi sekunder yang dilabel enzim dan
terjadi reaksi antara antibodi primer dengan antibodi
sekunder yang dilabel enzim, kemudian ditambahkan
substrat sehingga terjadi perubahan warna yang dapat
diukur dengan spektrofotometer.
o Sandwich ELISA
Pada sandwich ELISA, prinsip kerjanya hampir sama dengan
direct ELISA, hanya saja pada sandwich ELISA, larutan
antigen yang diinginkan tidak perlu dipurifikasi.
Dalam bidang penyakit kusta, uji ELISA dapat dipakai
untuk mengukur kadar antibodi terhadap basil kusta,
misalnya antibodi anti PGL-1, antibodi anti protein 35kD,
dan lain-lain. Kelas antibodi yang diperiksa juga
ditentukan, misalnya IgM anti PGL-1, IgG anti PGL-1 dan
sebagainya. Untuk antibodi anti PGL-1 biasanya IgM lebih
dominan dibandingkan IgG. Pemeriksaan ELISA dikembangkan
menggunakan reagen poliklonal atau monoklonal yang telah
terbukti sangat spesifisik terhadap residu gula dari PGL-1
dan memungkinkan deteksi titer anti PGL-1 pada pasien
kusta atau kontak serumah. Untuk menentukan nilai ambang
(cut off) dari hasil uji ELISA ini, biasanya ditentukan
setelah mengetahui nilai setara individu yang sakit kusta
dan yang tidak sakit kusta. Di daerah Jawa Timur, nilai
ambang untuk antibodi IgM anti PGL-1 telah diketahui
sekitar 605 μ/ml.
Pada penelitian ini akan menggunakan metode indirect ELISA
untuk mengukur kadar antibodi IgM anti PGL-1 pada
penderita kusta. Salah satu keuntungan dari uji ELISA
adalah sensitif karena dapat mendeteksi dari level 0,01
μg/ml.
K. PENANGANAN
Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 danmerekomendasikan dua tipe terapi multiobat standar. Yangpertama adalah pengobatan selama 24 bulan untuk kustalepromatosa dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson. Yangkedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta tuberkuloid denganrifampisin dan dapson.
DAFTAR PUSTAKA
Gustia, Rina. Kusta (PPT). Diakses pada tanggal 7 Februari 2015.
Hariana, Arief. 2005. 812 Resep untuk Mengobati 236 Penyakit. Jakarta: Niaga Swadaya.
Informasi Kusta dan Gejalanya (doktersehat.com). Diakses pada tanggal 6Februari 2015.
Kusta. Universitas Sumatera Utara. Diakses pada tanggal 7 Februari 2015.
Penyakit Kusta. Universitas Sumatera Utara. Diakses pada tanggal 6 Februari 2015.
Suparyanto. 2010. Penyakit Kusta/Lepra (http://dr-suparyanto.blogspot.com/). Diakses pada tanggal 6 Februari 2015.