Top Banner
PANDUAN PRAKTIK KLINIK ENSEFALOPATI HEPATIK DI INDONESIA 2.1 Definisi Ensefalopati hepatic (EH) adalah suatu sindrom neuropikiatri yang dapat terjadi pada penyakit hati akut dan kronik yang berat dengan manifestasi yang beragam mulai dari ringan hingga berat tanpa adanya kelainan pada otak yang mendasarinya. Manifestasi yang tampak berupa perubahan perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan kesadaran. Ensefalopati hepatik dibagi menjadi 3 tipe, yaitu EH yang berhubungan dengan gagal hati akut (tipe A) dan ditemukan terutama pada hepatitis fulminan, EH yang berhubungan dengan jalur pintas portal dan sistemik tanpa adanya kelaian intrinsik jaringan hati (tipe B), serta EH yang berhubungan dengan sirosis dan hipertensi portal (tipe C). Tipe C merupakan jenis yang paling sering ditemui pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Sedangkan, klasifikasinya terbagi menjadi ensefalopati hepatik minimal (EHM) dan EH overt dan derajat EH dibagi menjadi grade 0 hingga grade 4 berdasarkan kriteria West Haven (Tabel 1). Ensefalopati hepatik minimal merupakan suatu istilah yang digunakan apabila ditemukan defisit kognitif seperti perubahan kecepatan psikomotor dan fungsi eksekutif melalui pemerikaan psikometrik atau elektrofisiologi. Ensefalopati hepatic overt dapat dibagi menjadi episodik (EH terjadi dalam waktu singkat dengan tingkat keparahan yang berfluktuasi) dan persisten (EH
30

panduan-ensefalopati hepatik

Jul 15, 2016

Download

Documents

Rama Fadila

panduan ensefalopati hepatik
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: panduan-ensefalopati hepatik

PANDUAN

PRAKTIK KLINIK ENSEFALOPATI HEPATIK DI INDONESIA

2.1 Definisi

Ensefalopati hepatic (EH) adalah suatu sindrom neuropikiatri yang dapat terjadi pada penyakit

hati akut dan kronik yang berat dengan manifestasi yang beragam mulai dari ringan hingga berat

tanpa adanya kelainan pada otak yang mendasarinya. Manifestasi yang tampak berupa perubahan

perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan kesadaran.

Ensefalopati hepatik dibagi menjadi 3 tipe, yaitu EH yang berhubungan dengan gagal hati akut

(tipe A) dan ditemukan terutama pada hepatitis fulminan, EH yang berhubungan dengan jalur

pintas portal dan sistemik tanpa adanya kelaian intrinsik jaringan hati (tipe B), serta EH yang

berhubungan dengan sirosis dan hipertensi portal (tipe C). Tipe C merupakan jenis yang paling

sering ditemui pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Sedangkan, klasifikasinya terbagi

menjadi ensefalopati hepatik minimal (EHM) dan EH overt dan derajat EH dibagi menjadi grade

0 hingga grade 4 berdasarkan kriteria West Haven (Tabel 1). Ensefalopati hepatik minimal

merupakan suatu istilah yang digunakan apabila ditemukan defisit kognitif seperti perubahan

kecepatan psikomotor dan fungsi eksekutif melalui pemerikaan psikometrik atau elektrofisiologi.

Ensefalopati hepatic overt dapat dibagi menjadi episodik (EH terjadi dalam waktu singkat

dengan tingkat keparahan yang berfluktuasi) dan persisten (EH terjadi secara progresif dengan

gejala neurologis yang kian memberat. Klasifikasi EH terbaru mengelompokkan derajat

Ensefalopati hepatic 0 dan 1 dengan istilah covert hepatic encephalopathy serta derajat 2-4

dengan istilah overt hepatic encephalopathy.

Tabel 1. Kriteria West Haven

Derajat Kognitif dan Perilaku Fungsi Neuromuskular0 (subklinis minimal)

Asimptomatik Tidak ada

1 Gangguan tidur, penurunan konsentrasi, depresi, ansietas, dan iritabilitas

Suara monoton, tremor, penurunan kemampuan menulis, apraksia

2 Letargi, diorientasi, penurunan daya ingat

Ataksia, disartria, asteriksis

3 Somnolen, kebingungan, amnesia, gangguan emosi

Nistagmus, kekakuan otot, hiper atau hiporefleks

Page 2: panduan-ensefalopati hepatik

4 Koma Pupil dilatasi, reflex patologis dijumpai

2.2 Epidemiologi

Prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui dengan pasti karena sulitnya penegakan

diagnosis namun dilaporkan berkisar antara 30-84% pada pasien dengan sirosis hepatis.

Sedangkan prevalensi EH dengan tanda dan gejala yang jelas berkisar antara 30-40% dan akan

meningkat pada sirosis hepatis lanjut. Ketika ditemukan tanda dan gejala EH maka prognosis

pasien akan menurun secara drastis.

Angka kesintasan 1 tahun dan 3 tahun adalah berkisar 42% dan 23% pada pasien yang tidak

menjalani transplantasi hati. Prevalensi EH stadium 2-4 pada pasien sirosis hati yang berobat ke

Rumah Sakit Ciptomangunkusumo (RSCM) pada tahun 1999 dilaporkan sebesar 14,9%.

Sedangkan prevalensi EH minimal di RSCM berkisar 63,2% pada tahun 2009.

2.3 Patofisiologi

Beberapa faktor dapat mencetuskan terjadinya EH pada pasien dengan gangguan hati akut

maupun kronik, seperti keseimbangan nitrogen positif dalam tubuh (asupan protein tinggi,

gangguan ginjal, perdarahan varises esophagus, dan kostipasi), penggunaan obat-obatan (sedasi

dan narkotika), infeksi (pneumonia, infeksi saluran kemih, atu infeksi lain), dan lain-lain

(pembedahan, alkohol).

Faktor pencetus EH pada sirosis hati tersering adalah infeksi, dehidrasi, dan perdarahan

gastrointestinal berupa pecahnya varises esofagus.

Patofisiologi yang menyebabkan terjadinya ensefalopati hepatic didasari pada akumulasi

berbagai toksin pada peredaran darah yang akhirnya melewati blood brain barrier (BBB).

Amonia merupakan suatu molekul yang toksik terhadap sel yang dipercaya berperan penting

dalam terjadinya EH karena molekul ini meningkat pada pasien sirosis hati. Meskipu begitu,

studi lain menunjukkan bahwa sebenarnya amonia hanya merupakan salah satu faktor dari

multifaktor penyebab EH.

Page 3: panduan-ensefalopati hepatik

Gambar 1. Patofisiologi Ensefalopati Hepatik

Amonia merupakan hasil produksi koloni bakteri usus dengan aktivitas enzim urease, terutama

bakteri gram negatif anaerob, Enterobacteriaceae, Proteus, dan Clostridium. Enzim urease

bakteri akan memecah urea menjadi amonia dan karbondioksida. Meskipun pada awalnya flora

normal usus dianggap merupakan sumber utama dalam produksi amonia, namun beberapa studi

menunjukkan bahwa amonia juga diproduksi oleh usus halus dan usus besar melalui glutaminase

usus yang memetabolismee glutamin (sumber energi usus) menjadi glutamat dan amonia. Dalam

hati, amonia akan diubah menjadi urea dan glutamin. Pada individu sehat, amonia juga

diproduksi oleh otot dan ginjal. Kedua organ tersebut berperan pula dalam detoksifikasi amonia

jika terjadi gagal hati dimana otot merupakan organ utama yang mengambil alih peran tersebut.

Otot rangka berperan dalam metabolisme amonia melalui pemecahan glutamin via glutamin

sintetase.

Sirosis + perubahan akut status mental

Mencari faktor pencetusRiwayat penyakit + pemeriksaan fisik: eksplorasi tanda perdarahan gastrointestinal, konstipasi, dehidrasi, infeksi (demam, tanda-tanda lokal)Analisis dasar: hemoglobin, leukosit, kreatinin, Na, K, pHLeukosit dalam urin dan cairan asites (jika ada asites).Rontegen (thoraks dan abdomen) Kultur darah, urin, asites, atau cairan lain

Fungsi hati dan sirkulasi portosistemikRiwayat penyakit + pemeriksaan fisik: tanda komplikasi sirosisPemeriksaan darah: bilirubin, albumin, protrombin, AST, ALT3. Pemeriksaan radiologi hati dan sirkulasi portosistemik (CT, MRI)

Menyingkirkan gangguan neurologi lainnyaRiwayat penyakit + pemeriksaan fisik: sakit kepala, tanda neurologi fokal, tanda meningealPenilaian dasar: glikemia, PCO2Toksin dalam darah atau urin: benzodiazepin (pikirkan flumazenil jika mencurigakan), alkohl, dan sebagainya.Menilai apakah ada defisiensi vitamin B1(berikan vitamin B1 jika mencurigakanPemeriksaan neuroradiologi (CT, MRI) jika terdapat abnormalitas pada salah satu pemeriksaan atau koma (tanpa adanya perbaikan)EEG, jika ada kecurigaan kejang atau status nonkonvulsif

Page 4: panduan-ensefalopati hepatik

Ginjal berperan dalam flux amonia, yaitu fungsi produksi dan ekskresi, yang terutama

dipengaruhi oleh keseimbangan asam-basa tubuh. Ginjal berperan dalam mengeliminasi amonia

dalam tubuh melalui urin dalam bentuk ion ammonium (NH4+) dan urea. Ginjal pun berperan

dalam produksi amonia melalui enzim glutaminase yang mengubah glutamin menjadi glutamate,

bikarbonat, dan amonia. Amonia yang berasal dari ginjal dapat dikeluarkan melalui urin maupun

diserap kembali ke dalam tubuh yang ditentukan oleh pH tubuh. Dalam kondisi asidosis ginjal

akan mengeluarkan ion ammonium melalui urin sedangkan dalam kondisi alkalosis ginjal akan

menahan ion amonium dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperamonia dan memudahkan

masuknya amonia melalui BBB. Gangguan ginjal seperti penurunan laju filtrasi glomerulus dan

penurunan perfusi perifer berperan pula dalam terjadinya hiperamonia.

Amonia akan masuk ke dalam hati melalui vena porta untuk proses detoksifikasi. Metabolismee

amonia oleh hati dilakukan pada dua tempat, yaitu sel hati periportal dimana sebagian besar

metabolismee amonia melalui siklus urea terjadi dan sel hati yang terletak dekat dengan vena

sentral yang hanya berperan kecil dalam metabolisme amonia dimana amonia yang ada akan

bergabung kembali dengan glutamin. Target toksisitas amonia di otak adalah astrosit yang

berfungsi melakukan detoksifikasi amonia dengan memetabolismee amonia menjadi glutamin.

Disfungsi neurologis disebabkan oleh edema serebri dimana glutamin yang merupakan hasil

metabolisme amonia bekerja sebagai molekul osmotic dan menarik cairan ke dalam astrosit.

Penarikan cairan akan menyebabkan terjadinya pembengkakan astrosit dan disfungsi oksidatif

mitokondria. Selain itu, amonia secara langsung merangsang stres oksidatif dan nitrosatif pada

astrosit melalui peningkatan kalsium intraselular sehingga menyebabkan disfungsi mitokondria

dan kegagalan produksi energi selular melalui pembukaan pori-pori transisi mitokondria.

Amonia pun menginduksi oksidasi RNA dan aktivasi protein kinase untuk mitogenesis yang

bertanggung jawab dalam peningkatan aktivitas sitokin dan respon inflamasi sehingga

mengganggu aktivitas pensignalan intraselular.

Pendapat lain menyebutkan hiponatremia dapat mencetuskan terjadinya ensefalopati hepatic

melalui deplesi molekul osmolaritas astrosit sehingga astrosit tidak mampu mengkompensasi

inflamasi yang terjadi dan menyebabkan pembengkakan astrosit, edema serebri, stress oksidatif,

dan disfungsi astrosit. Meskipun hiponatremia sendiri tidak dapat menyebabkan EH, namun

hiponatremia menjadi faktor penyulit penting dalam terjadinya EH.

Page 5: panduan-ensefalopati hepatik

Neurotoksin lain seperti merkaptan, asam lemak rantia pendek, dan fenol mempunya efek

sinergis dengan amonia. Merkaptan yang dihasilkan dari metionin oleh bakteri usus akan

berperan menghambat NaK-ATPase. Asam lemak rantai pendek terutama oktanoid mempunyai

efek metabolik seperti gangguan oksidasi, fosforilasi, dan penghambatan konsumsi oksigen serta

penekanan aktivitas NaK-ATPase sehingga dapat menyebabkan koma hepatic reversibel. Inhibisi

NaK-ATPase membrane akan berakibat pada edema serebri dan pembengkakan astrosit.

2.4 Diagnosis

Diagnosis EH dibuat pada pasien dengan penyakit hati baik akut maupun kronis yang berat dan

mengalami gangguan neuropsikiatri. Pemeriksaan secara menyeluruh pada pasien dengan sirosis

hati perlu memperhatikan mulai dari komunikasi, pola tidur, hingga tanda-tanda yang ditemukan

pada pemeriksaan fisik, seperti asteriksis, klonus, ataupun penurunan kesadaran yang jelas.

Beberapa pemeriksaan yang seperti kadar amonia darah dan fungsi hati dapat dilakukan untuk

memperkuat diagnosis. Pemeriksaan kadar amonia saja tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis

pasti EH. Peningkatan kadar amonia dalam darah (>100 mg/ 100 ml darah) dapat menjadi

parameter keparahan pasien dengan EH (Tabel 2). Pemeriksaan kadar amonia darah belum

menjadi pemeriksaan standar di Indonesia mengingat pemeriksaan ini belum dapat dilakukan

pada setiap rumah sakit di Indonesia.

Tabel 2. Kadar amonia pada berbagai derajat ensefalopati hepatik pada sirosis hati

Derajat Ensefalopati Kadar amonia dalam darah (mg/dL)0 <150I 151-299II 201-250III 251-300IV >300

Pemeriksaan Mini Mental Status Examination (MMSE) dapat digunakan sebagai deteksi dini

dalam penegakan diagnosis EH. Pemeriksaan Number Connecting Test (NCT), NCT-A, dan

NCT-B, maupun critical flicker frequency (CFF) merupakan pemeriksaan lain untuk

mendiagnosis EH. Namun, pemeriksaan MMSE, NCT, CFF masih sulit dilakukan secara merata

di Indonesia. Oleh karena itu, para klinisi diharapkan member penjelasan terhadap pasien beserta

Page 6: panduan-ensefalopati hepatik

keluarganya mengenai tanda-tanda EH, seperti perubahan pola tidur maupun penurunan aktivitas

sehari-hari pasien.

Tabel 3. Hasil Number Connecting Test (NCT) pada berbagai derajat ensefalopati

Derajat Ensefalopati Hasil NCT (detik)0 15-30I 31-50II 51-80III 81-120IV >120

Pemeriksaan radiologis berupa magnetic resonance imaging (MRI) serta elektroensefalografi

(EEG) dapat menjadi pilihan pemeriksaan untuk menyingkirkan kelainan lain pada otak.

Elektroensefalografi akan menunjukkan perlambatan (penurunan frekuensi gelombang alfa)

aktivitas otak pada pasien dengan EH.

Gambar 2. Alur diagnosis pasien dengan kecurigaan ensefalopati hepatik

2.5 Tatalaksana

Penanganan holistik dan komprehensif dibutuhkan dalam penatalaksanaan pasien dengan EH.

Penentuan derajat EH perlu dilakukan terlebih dahulu, sebelum menentukan penatalaksanaan

pasien dengan EH. Tatalaksana EH dilakukan sesuai dengan derajat EH yang terjadi. Suatu studi

RCT (Liu dkk, 2004) menunjukkan bahwa sinbiotik dapat memperbaiki hasil pemeriksaan

psikometrik dan kelas child pugh pada pasien dengan EH minimal. Penelitian serupa

(Malaguarnera dkk, 2009) menunjukkan bahwa bifidobakteria dengan oligosakarida

memperbaiki kadar amonia dan pemeriksaan psikometri pasien. Sedangkan, peneliy\tian oleh

Prasad (Prasad dkk, 2007) memperlihatkan peran laktulosa (30-60 ml dalam 2-3 dosis) dapat

memperbaiki kualitas hidup pasien EH minimal.

Tatalaksana terhadap EH episodik akibat faktor presipitasi serta terapi terkait faktor tersebut.

Pemeriksaan menyeluruh terhadap cairan tubuh pasien, kadar gula darah, serta elektrolit

memegang peranan penting dalam tatalaksana EH. Asupan nutrisi yang tepat dibutuhkan dalam

mencegah progresivitas EH yang terjadi. Perlu diketahui bahwa faktor presipitasi yang

mendasari dapat lebih dari satu sehingga evaluai ketat sangat diperlukan.

Page 7: panduan-ensefalopati hepatik

Dasar penatalaksanaan pasien dengan EH adalah:

a. Identifikasi dan mengatasi faktor presipitasi EH lain

b. Pengaturan keseimbangan nitrogen

c. Terapi untuk mencegah perburukan kondisi pasien

d. Penilaian rekurensi ensefalopati hepatic

2.5.1 Identifikasi dan Mengatasi Faktor Presipitasi Lain

Selain amonia, terdapat beberapa faktor presipitasi yang dapat mencetuskan terjadinya

EH, seperti dehidrasi, infeksi, obat-obat sedatif, dan perdarahan saluran cerna.

Pencegahan dan penatalaksanaan terhadap faktor tersebut berperan penting dalam

perbaikan EH. Pemberian laktulosa dan konsumsi cairan perlu dipantau untuk mencegah

terjadinya dehidrasi. Pemberian antibiotik spectrum luas dapat mengatasi infeksi, sebagai

faktor presipitasi tersering, pada saluran cerna maupun infeksi pada organ lain.

Penghentian konsumsi alkohol dan obat-obat sedasi perlu dilakukan sejak awal timbulnya

manifestasi EH. Perdarahan saluran cerna terutama varises esophagus perlu ditatalaksana

dengan cepat berupa ligasi sumber perdarahan, observasi cairan, dan penurunan tekanan

vena porta. Gangguan elektrolit seringkali menjadi penyebab dalam terjadinya

Ensefalopati hepatik pada pasien dengan sirosis hati sehingga perlu ditatalaksana secara

adekuat.

2.5.2 Pengaturan Keseimbangan Nitrogen

2.5.2.1 Amonia

Seperti telah dipaparkan di atas, amonia merupakan neurotoksin utama yang berperan

dalam terjadinya EH. Penurunan kadar amonia dicapai dengan beberapa modalitas:

- Nonabsorbable Disaccharides (Laktulosa)

Laktulosa digunakan sebagi terapi lini pertama pada penatalaksanaan pasien dengan

EH. Selain sifatnya yang laksatuf menyebabkan penurunan sintesis dan uptake

amonia dengan menurunkan pH kolon dan juga mengurangi uptake glutamin. Selain

itu, laktulosa diubah menjadi monosakarida oleh flora normal, menjadi sumber

makanan bagi flora normal usus (Lactobacili dan Bifidobacteria) sehingga

pertumbuhan flora normal pada akhirnya menekan bakteri lain yang menghasilkan

asam laktat dan juga memberikan ion hydrogen pada amonia sehingga terjadi

Page 8: panduan-ensefalopati hepatik

perubahan molekul dari amonia (NH3) menjadi ion ammonium (NH4+). Adanya

ionisasi ini menarik amonia dari darah menuju lumen.

Laktulosa secara signifikan menunjukkan perbaikan tes psikometri pada pasien

dengan EH minimal dan mampu mencegah terjadnya EH berulang. Dosis yang

diberikan adalah 2x15-30 ml sehari dan dapat diberikan tiga hingga enam bulan. Efek

samping dari penggunaan laktulosan adalah menurunnya persepsi rasa dan kembung.

Penggunaan laktulosa secara berlebihan akan memperparah episode EH, karena akan

memunclkan faktor presipitasi lainnya, yaitu dehidrasi dan hiponatremia.

Efikasi laktulosa dalam mengurangi amonia dibandingkan dengan antibiotik masih

diperdebatkan. Dari meta analisis yang dilakukan, terlihat bahwa laktulosa tidak lebih

baik dalam mengurangi amonia dibandingkan dengan penggunaan antibiotik. Akan

tetapi, laktulosa memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mencegah berulangnya

EH. Selain laktulosa, natrium benzoate memiliki efek serupa dengan harga yang lebih

murah dibandingkan laktulosa, namun memiliki efek samping berupa peningkatan

amonia dan kadar natrium dalam penggunaan jangka panjang. Sebuah studi double

blind controlled trial (Uribe dkk, 1987) menunjukkan bahwa laktilol dan enema

laktulosa efektif dalam mengtasi EH.

- Antibiotik

Antibiotik dapat menurunkan produksi amonia dengan menekan pertumbuhan bakteri

yang bertanggung jawab menghasilkan amonia, sebagai salah satu faktor presipitasi EH.

Selain itu, antibiotik juga memiliki efek antiinflamasi dan down regulation aktivitas

glutaminase. Antibiotik yang menjadi pilihan saat ini adalag rifaximin, berspektrum luas

dan diserap secara minimal (<1% dari dosis oral oleh karena kurang larut air dan

memiliki permeabilitas yang rendah). Dosis yang diberikan adalah 2x550 mg dengan

lama pengobatan 3-6 bulan. Rifaximin dipilih menggantikan antibiotik yang telah

digunakan pada pengobatan EH sebelumnya, yaitu neomisin, metronidazole, paromisisn,

dan vankomisin oral karena rifaximin memiliki efek samping yang lebih sedikit

dibandngkan antibiotik lainnya. Neomisin merupakan antibiotik pertama yang digunakan

pada pasien dengan EH dan memiliki efektivitas sama dengan laktulosa. Efek samping

Page 9: panduan-ensefalopati hepatik

ototoksisitas dan nefrotoksis pada penggunaan neomisin, toksisitas neurologi pada

metronidazole dan resistensi terhadap vankomisin oral membuat antibiotik ini semakin

ditinggalkan. Sebuah penelitian yang dilakukan pada 30 pasien dengan membandingkan

antara erittomisin dibandingkan dengan neomisin pada pasien EH menunjukkan reduksi

signifikan dalam lama rawat serta kadar alanine aminotransferase (ALT). Penggunaan

antibiotik sering digunakan pada pasien dengan EH yang tidak memiliki respons bagus

terhadap laktulosa.

- L-Ornithine L-Aspartate (LOLA)

LOLA merupakan garam stabil tersusun atas dua asam amino, berkerja sebagai substrat

yang berperan dalam perubahan amonia menjadi urea dan glutamin. LOLA

meningkatkan metabolismee amonia di hati dan otot sehingga menurunkan amonia di

dalam darah. Selain itu, LOLA juga mengurangi edema serebri pada pasien dengan EH.

Hasil randomized controllrd trial (RCT) double blind menunjukkan pemberian LOLA

selama 7 hari pada pasien sirosis dengan EH menurunkan amonia dan memperbaiki status

mental. Akan tetapi, penurunan amonia pada pasien EH yang mendapatkan LOLA

diperkirakan hanya sementara. Beberapa penelitan RCT (Kirchets dkk, 1997,dan Ahmad

dkk, 2008)menunjukkan bahwa penggunaan LOLA 20 g/hari secara intravena dapat

memperbaiki kadar amonia dengan EH yang ada, Studi yang meneliti peran LOLA 9

g/hari secara oral terhadap EH didapatkan hasil yang baik dan efektif dalam

menatalaksana EH. Studi meta analisis terkini (Jiang Q, 2009 dan Bai M, 2013\0

menunjukkan manfaat LOLA pada pasien overt dalam perbaikan EH dengan menurunkan

konsentrasi amonia serum.

- Probiotik

Penelitan meta analisis dari 9 laporan penelitian menunjukkan probiotik, probiotik dan

sinbiotik mempunyai manfaat pada pasien EH. Rekomendasi berbagai asosiasi misalnya

India merekomendasi penggunaan probiotik pada minimal EH. Namun Cochrane review

belum dapat memberikan rekomendasi yang baik meskipun probiotik dapat memberikan

rekomendasi yang baik meskipun probiotik dapat menurunkan kadar plasma amonia.

Penelitian Lunia MK (2013) menunjukkan manfaat probiotik untuk mencegah timbulnya

Page 10: panduan-ensefalopati hepatik

EH pada pasien sirosis hati. Mekipun berbagai laporan penelitian menunjukkan manfaat

probiotik pada overt EH rekomendasi akhir masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut

penggunaan probiotik untuk terapi atau prevensi sekunder overt EH.

- Terapi Potensial Lain

Berbagai obat dapat berperan dalam terapi EH melalui modifikasi jaur metabolisme

nitrogen. Sodium benzoate (SB) memiliki kemampuan dalam mengikat amonia untuk

membentuk bipurat (substansi non toksik yang dapat keluar melalui urine). Sodium

benzoate memiliki efek yang sama baiknya dengan laktulosa dengan harga yang lebih

murah. Meskipun begitu, penggunaan SB (10g/hari) pada pasien dengan sirosis hati dapat

meningkatkan kadar amonia basal. Selain itu, penggunaan jangka panjang dapat

menyebabkan kejadian asites karena beban nitrogen. Sodium benzoate yang tersedia

adalah Ammonul yang diberikan secara intravena.

Beberapa obat lain saat ini sedang digunakan dalam penelitian, antara lain ammonia

scavenger, activated charcoal, dan L-Ornithine Phenylacetate (OP). Ammonia scavenger

digunakan untuk memintas siklus urea yang telah tersaturasi penih. Yang termasuk ke

dalam obat ini antara lain natrium benzoate, natrium fenilasetat maupun prodrug dari

obat ini, yaitu natrium fenilbutirat. Obat ini diberikan secara intravena dan baru digunalan

pada pasien dengan gangguan siklus urea dan hiperamonemia. Obat ini belum

mendapatkan persetujuan untuk digunakan pada pasien dengan EH. Jenis ammonia

scavenger lain, gliserol fenilbutirat saat ini sedang diujicobakan pada pasien dengan EH

tipe C dan dalam fase iII trial pada pasien dengan gangguan siklus urea. Gliserol

fenilbutirat mengatasi kelemahan ammonia scavenger lainnya, yaitu rasa yang kurang

enak saat dikonsumsi dan membutuhkan dosis yang cukup besar per hari sehingga

meningkatkan loading natrium sehingga pada akhirnya menyebabkan retensi cairan.

Activated charcoal bekerja menyerap molekul kecil, di antaranya amonia,

lipopolisakarida dan sitokin, sehingga menjadi pilihan tatalaksana pasien dengan EH.

AST-120, karbon berbentuk sferis saat ini sedang diteliti efikasinya pada pasien dengan

EH. Pada pilot study terlihat bahwa AST-120 memiliki efikasi yang sama dengan

laktulosa namun dengan efek samping yang lebih sedikit.

Page 11: panduan-ensefalopati hepatik

L-Ornithine Phenylacetate (OP) bekerja menurunkan kadar amonia dengan berfungsi

sebagai sybstrat pembentukan glutamin dari amonia pada otot rangka. Penggunaan

antagonis benzodiazepine, Flumazenil, menunjukkan perbaikan klinis bisa dibandingkan

dengan placebo (27% vs 3%) serta perbaikan EEG (19% vs 2%). Akan tetapi, hasil

metaanalisis dari 12 studi terkait penggunaan flumazenil menunjukkan tidak adanya

perbedaan bermakna dalam hal angka kesintasan pasien EH. Flumazenil tidak memiliki

efek yang cukup baik terhadap EH bila tidak diberikan dalam terapi jangka panjang.

Acarbose menstimulasi motilitas usus melalui inhibisi ansorpsi glukosa usus sehingga

berperan dalam penurunan produksi amonia. Sebuah penelitian dengan acarbose 100 mg

3 kali per hari selama 8 minggu pada pasien sirosis dan DM tipe 2 dengan EH derajat

rendah menunjukka perbaikan kadar amonia dan intelektual pasien. Meskipun begitu,

acarbose tidak dapat dijadikan pilihanterapi pada pasien tanpa DM tipe 2.

2.5.3 Terapi untuk Mencegah Perburukan Kondisi Pasien

2.5.3.1 Terapi Pilihan

- Nutrisi

Nutrisi berperan penting dalam penatalaksanaan pasien dengan EH mengingat

tingginya angka kejadian malnutrisi pada pasien sirosis hati. Otot meiliki eran penting

dalam mengurangi amonia darah sehingga malnutrisi dapat mencetuskan EH pada

pasien. Pasien dengan sirosis hati mengalami defisiensi vitamin larut lemak, mineral,

dan mikronutrien. Selain itu, pengaturan nutrisi juga ditujukan untuk mengurangi

gejala EH. Pemberian nutrisi pada pasien dengan EH dapat dierikan dengan

malnutrisi derajat sedang hingga berat yang tidak dapat diatasi dengan pemberian

nutrisi secara enteral. Pasien yang tidak mendapat makanan lebih dari 12 jam perlu

mendapatkan gluksoa secara intravena, 2-3 g/kg/hari baru mendapatkan utrisi secara

enteral. Apabila pasien tidak mendapat makanan lebih dari 72 jam, nutrisi diberikan

secara total parenteral.

- Energi

Pasien dengan EH memerlukan asupan energi yang cukup. Secara umum, jumlah

energi yang dibutuhkan pasien adalah 1,3 x basal metabolic rate (BMR). Akan tetapi

pada 30-35% pasien sirosis hati didapatkan kebutuhan energi yang diperlukan

Page 12: panduan-ensefalopati hepatik

berlebih dibandingkan dengan rumus di atas dan sebanyak 18% pasien memiliki

kebutuhan yang lebih tinggi. Kalorimetri indirek, bila tersedia, diperlukan untuk

menghitung lebih cepat. Pemberian karbohidrat dalam bentuk glukosa meliputi 50-

60% dari total kebutuhan energi non-protein. Pada keadaan hiperglikemia, pemberian

gluksoa intravena dikurangi menjadi 2-3 gram/kg/hari dan dipikirkan apakah

pemberian insulin diperlukan. Pemberian lemak meliputi 40-50% total kebutuhan

energi non-protein dan diberikan dalam emulsi berisi n-6 unsaturated fatty acids.

Perhitungan kebutuhan energi secara kasar adalah 35-40 kcal/kg/hari.

Kebutuhan kalori pada pasien dengan EH adalah 35-40 kkal/kgBB/hari dengan

asupan protein 1,0-1,5 g/kgBB/hari. Energi yang masuk didapatkan dari glukosa dan

lemak dengan rasio 5065% dan 35-50%. Pada pasien edngan EH grade III dan IV

perlu dierikan larutan AARC dan penurunan AAA.

- Protein

Masih menjadi perdebatan apakah peningkatan atau restriksi asupan protein member

manfaat pada pasien. Peningkatan protein menyebabkan peningkatan amonia, salah

satu faktor presipitasi EH, sementara restriksi protein menyebabkan massa otot

berkurang, sehingga kemampuan penyerapan amonia secara ekstrahepatik juga

berkurang. Restriksi protein (0-40 gram/hari) pada awalnya terlihat memberikan

perbaikan derajat EH [pasien pasca operasi pembentukan shunt portal-sistemik. Akan

tetapi studi terakhir menunjukkan restriksi protein tidak memiliki efek perbaikan

derajat EH dan bahkan memperparag status nutrisi pasien. The European Society for

Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN) merekomendasikan terapi empirik diet

protein 1-1,2 gram/kgBB pada pasien dengan EH, dimana protein nabati lebih

dianjurkan dibandingkan protein hewani. Dosis dapat ditingkatkan menjadi 1,5

kg/BB/hari pada pasien dengan malnutrisi berat, akan tetapi pada pasien dengan

intoleransi protein maka pemberian protein harus direstriksi.

Terdapat studi (Cordoba dkk, 2001) yang membandingkan diet rendah protein dengan

diet normal pada pasien sirosis dengan EH menunjukkan bahwa pemecahan protein

lebih tinggi pada kelompok dengan diet rendah protein. Selain itu, pada kelompok

diet rendah protein terjadi peningkatan pemecahan otot sehingga terjadi pelepasan

Page 13: panduan-ensefalopati hepatik

nitrogen dengan asam amino yang berujung peningkatan produksi NH4. Oleh karena

itu, pembatasan protein tidak memiliki manfaat pada pasien EH.

- Asam Amino Rantai Cabang

Asam amino rantai cabang (AARC) tidak dapat dibentuk di dalam tubuh, tetapi

didapatkan melalui konsumsi produk susu dan sayur-sayuran. Asam amino rantai

cabang pada pasien dengan penyakit hati kronik memiliki kadar yang rendah didalam

plasma karena utilisasi berlebihan akibat keadaan hiperamonemia. Asam amino rantai

cabang berperan dalam pembentukan glutamin di dalam otot, stimulasi sintesis

protein di dalam hati, mencegah katabolisme, dan mencegah pembentukan

neurotransmiter palsu yang diproduksi dari asam amino aromatic. Selain itu, AARC

juga meningkatkan perfusi serebral pada pasien sirosis. Asam amino rantai cabang

bekerja dengan bantuan insulin yang bersirkulasi, sehingga diperlukan pemberian

insulin pada asien sirosis hati dengan resistensi insulin. Total pemberian pada pasien

dengan EH adalah 25% dari total protein. Dengan kata lain, AARC diberikan dengan

perbandingan 1:3 dengan asam amino aromatic. Berdasarkan rekomendasi ESPEN,

asam amino rantai cabang baru diberikan pada pasien dengan EH derajat III-IV.

Selain itu, waktu pemberian AARC juga krusial. Dari hasil penelitian didapatkan

pemberian AARC pada malam hari memberikan efek yang lebih baik, berupa

peningkatan kadar albumin, dari pemberian AARC pada siang hari.

- Mineral

Defisiensi zinc umum dijumpai pada pasien denga EH. Zinc merupakan kofaktor

enzim yang berperan dalam siklus urea. Turunnya kadar zinc berperan dalam

penurunan sintesis glutamin dan penurunan aktivitas enzim yang pada akhirnya

berpotensi meningkatkan kadar amonia. Beberapa penelitian RCT (Reding dkk, 1984

dan Riggio dkk, 1991) menunjukka pemberuan zinc asetat 600 mg/hari dapat

memperbaiki kejadian EH. Pasien dengan gangguan elektrolit, terutama

hiponatremia, perlu dikoreksi secara perlahan. Pemberian mangan jangkan panjang

perlu dihindari.

- Thiamine (vitamin B1)

Pada pasien dengan gagal hati lanjut seringkali terdapat defisiensi vitamin larut air

(khusunya vitamin B kompleks). Berbagai gejala neuropsikiatri terkait penyakit hati

Page 14: panduan-ensefalopati hepatik

dapat menjadi akibat dari defisiensi vitamin larut air. Sebagai contoh, neuropati

perifer merupakan akibat dari defisiensi piridoksin atau thiamine. Gejala klinis dari

defisiensi thiamine adalah gangguan orientasi, ataksia, dan kerusakan okular.

Defisiensi thiamine dan asam folat dapat terjadi dengan cepat pada pasien sirosis

akibat dari gangguan penyimpanan di hati.

Tabel 4. Rekomendasi pemberian nurisi pada pasien ensefalopati hepatik

Kebutuhan Nutrisi Level EBM

Asupan harian kalori yang optimal adalah 35-40 kcal/kgBB ideal 1A

Asupan harian protein yang optimal adalah 1,2-1,5 g/kgBB ideal 1A

Makan makanan ringan yang merata dan makanan ringan yang

mengandung karbohidrat kompleks pada malam hari akan

meminimalkan penggunaan protein

1A

Makan makanan yang kaya akan sayuran dan protein berbasis susu

(dairy protein)

2B

Suplementasi AARC dapat direkomendasikan pada pasien yang

intoleransi terhadap dairy protein

2B

2.5.3.2 Terapi Suportif

Pemberian terapi suportif seperti tindakan intubasi trakea profilaktik dapat

dipertimbangkan pada pasien dengan derajat EH yang lebih tinggi.

Terapi suportif lainnya adalah pemberian serat pada pasien EH dan pemberiannya

disarankan sebanyak 25-45 g/hari.

2.5.4 Penilaian Rekurensi Ensefalopati Hepatik

Pasien dengan sirosis memiliki kecenderungan untuk mengalami EH berulang. Oleh

karena itu diperlukan control faktor presipitasi potensial seperti kondisi hiponatremia,

perdarahan saluran cerna bagian atas, konsumsi alkohol, infeksi, serta peningkatan

produksi amonia. Pasien sirosis hati dengan Child Pugh B hingga C memiliki

kecenderungan untuk mengalami EH spontan tanpa faktor presipitasi. Oleh karena itu

Page 15: panduan-ensefalopati hepatik

diperlukan control faktor presipitasi yang lebih ketat. Pencegahan faktor presipitasi

meliputi penilaian dosis dan efek samping dari pengobatan, penyuluhan pentingnya

pasien tidak konsumsi alkohol, dan pencegahan varises esophagus dengan ligasi.

BAB III

PENCEGAHAN

Pencegahan terhadap EH diperlukan pada pasien denga penyakit hati lanjut (Child

Pugh C dan asites) maupun pasien yang akan menjalani pintasan portosistemik.

Selain itu, perhatian khusus ditujukan pada pasien dengan EH minimal dimana perlu

dilakukan pemantauan ketat terhadap kejadian EH. Pencegahan terhadap EH perlu

pertimbangan yang matang akan efek samping yang dapat terjadi mengingat terapi

akan diberikan dalam jangka waktu yang lama. Beberapa studi mempelajari mengenai

pencegahan terhadap EH telah dilakukan namun terdapat perbedaan subjek dan tujuan

Page 16: panduan-ensefalopati hepatik

utama penelitian sehingga kesimpulan akhir sulit didapat. Studi terkait pencegahan

terhadap EH antara lain berupa aspirasi darah melalui nasogastric tube (NGT),

pembersihan saluran cerna, nutrisi parenteral/enteral, diet (protein rendah atau tanpa

protein), ornitin aspartat, dan antibiotik.

Sebuah studi (Rolachon dkk, 1994) pada pasien hematemesis-melena dengan tujuan

penelitian adalah pencegahan EH akibat perdarahan saluran cerna menunjukkan

bahwa penggunaan manitol melalui NGT sebagai pembersih saluran cerna dapat

mencegah terjadinya EH bila dibandingkan tanoa terapi. Penelitian yang lain

(Kanematsu dkk, 1998) menunjukkan bahwa penggunaan larutan tinggi AARC

memberikan angka kejadian EH yang sama bila dibandingkan dengan larutan asam

amino biasa pada pasien yang akan menjalani pembedahan. Penelitian (Riggio dkk,

2005) mengenai peran lactilol-low absorbable sisaccharides (60 g/hari) dan rifaximin

(1200 mg/hari) bila dibandingkan dengan tanoa terapi dalam mencegah EH pada

pasien yang akan menjalani TIPS dimana hasil yang didapatkan ebrpa tidak adanya

peningkatab aliran darag splanknik dan penurunan gradient tekanan porto-sistemik

sehingga membaw amonia ke aliran darah sistemik. Selain itu, terjadi regulasi

aktivitas glutaminase usus sehingga turut meningkatkan kejadian EH setelah prosedur

TIPS dilakukan.

Penelitian mengenai pencegahan sekunder terhadap EH dengan menggunakan

laktulosa 30-60 ml dalam 2-3 dosis terbagi dan rifaximin 550 mg 2 kali dalam

seminggu selama 6 bulan menunjukkan bahwa kedua terapi memberikan hasil yang

lebih baik dalam mencegah EH dibandingkan denga kelompok control.

Page 17: panduan-ensefalopati hepatik

BAB IV

SIMPULAN

Deteksi Dini

1. Setiap pasien dengan sirosis hati dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan

penyaring sesuai dengan fasilitas yang tersedia terkait penegakan diagnosis

Ensefalopati hepatikagar dapat mencegah terjadinya ensefalopati hepatik.

2. Diagnosis ensefalopati hepatic perlu dipertimbangkan pada pasien sirosis hati

penyakit hati yang lain dengan gangguan fungsi motorik dan mental tanpa adanya

Page 18: panduan-ensefalopati hepatik

pengaruh obat serta elainan pada sistem saraf pusat. Pada konisi tertentu

diperlukan pemeriksaan menyeluruh untuk penegakan diagnosisnya.

3. Setiap pasien sirosis hati direkomendasikan untuk menjaani penilaian status

nutrisi pada awal diagnosis dan perlu diulang secara berkala.

4. Setiap pasien sirosis hati dengan ensefalopati hepatic perlu dilakukan identifikasi

faktor pencetus yang mendasarinya.

Nutrisi

1. Penilaian status nutrisi dilakukan dengan menggunakan subjective global

assessment (SGA).

2. Asupan kalori a\optima harian yang direkomendasikan adalah 35-40 kkal/kgBB

ideal.

3. Asupan protein optimal harian yang direkomendasikan adalah 1,2-1,5 g/kgBB

ideal. Pasien dengan intoleransi protein perlu dilakukan restriksi protein dalam

waktu singkat.

4. Pemberian makanan porsi kecil dalam bentuk karbohidrat kompleks (termasuk

pemebrian larut malam/ late evening snack) dapat meminimalisasi pembentukan

amonia.

5. Tingkatkan asupan protein yang berasal dari sayuran.

6. Suplementasi AARC dapat digunakan pada pasueb yang tidak dapat

mengkonsumsi dairy protein.

7. Konsumsi serat yang direkomendasikan adalah 25-45 g/hari.

8. Pemberian multivitamin dapat dipertimbangkan pada pasien dengan sirosis hati

dekompensata dan pasien yang berisiko mengalami malnutrisi.

9. Hiponatremia erlu dikoreksi namun dilakukan secara perlahan.

10. Pada pasien dengan overt EH dapat diberikan probiotik dan atau suplementasi

AARC.

11. Suplementasi zinc, berupa zinc asetat atau zinc sulfat, 600 mg/hari dapat

dipertimbangkan pada pasien yang dicurigai mengalami defisiensi.

Page 19: panduan-ensefalopati hepatik

12. Setiap pasien siosis hati perlu dilakukan penilaian status nutrisi sebagai bagian

dari rencana terapi pasien dan penilaian tersebut perlu diulang pada interval waktu

tertentu sesuai dengan kondisi klinis pasien.

Terapi Pilihan

1. Setiap pasien sirosis hati dengan ensefalopati hepatik perlu dilakukan penanganan

secara komprehensif terhadap faktor pencetus ensefalopati hepatic yang

mendasari.

2. Laktulosa 30-60 ml 3 kali sehari perlu diberikan pada pasien dengan overt

ensefalopati hepatik.

3. Antibiotik Rifaximin 1200 mg/hari, perlu diberikan pada pasien dengan overt EH.

Perlu dilakukan penyesuaian pemakaian obat terkait diagnosis, kondisi pasien, dan

ketersediaan obat di Indonesia.

4. Pemberian LOLA 9 g/hari secara oral atau 20 g secara intravena

direkomendasikan pada pasien dengan EH.

5. Penggunaan acarbose 300 mg/hari dapat mengurangi kadar amonia pada pasien

EH dengan diabetes mellitus.

Ensefalopati hepatik merupakan salah satu komplikasi yang sering dijumpai pada

pasien dengan sirosis hati. Diagnosis dini dibutuhkan untuk mencegah terjadinya

ensefalopati hepatic. Tata laksana yang adekuar dan komprehensif dibutuhkan

untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas serta peningkatan kualitas

hidup pasien.