Top Banner
1 TUGAS PBL PELAYANAN KEFARMASIAN (FAI 303) FARMAKOTERAPI SIROSIS HEPATIK Oleh: Kelas A Kelompok 2 Octavia Librayanti Vierdina Piay 050911019 Sukmaning Ayunda 050911025 Dian Arum Puspitasari 050911031 Ridha Auiliarahma 050911035 Larastuti Jami Mukti Sabatani 050911039 Megan Kumala 050911041 Anietta Indri Nur Ramadhani 050911043 Rany Windysari 050911047 Ria Hesty F Jacobus 050911061 DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA 2012
54

Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

Jan 23, 2023

Download

Documents

Zhuge Liang
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

1

TUGAS PBL PELAYANAN KEFARMASIAN (FAI 303)

FARMAKOTERAPI SIROSIS HEPATIK

Oleh:

Kelas A Kelompok 2

Octavia Librayanti Vierdina Piay 050911019

Sukmaning Ayunda 050911025

Dian Arum Puspitasari 050911031

Ridha Auiliarahma 050911035

Larastuti Jami Mukti Sabatani 050911039

Megan Kumala 050911041

Anietta Indri Nur Ramadhani 050911043

Rany Windysari 050911047

Ria Hesty F Jacobus 050911061

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

2012

Page 2: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

i

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wbr.

Tidak ada kata yang lebih pantas kami sampaikan selain memanjatkan syukur

sebesar-besarnya atas rahmat, karunia, dan hidayah Allah SWT yang telah terlimpah

kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan naskah akademik mata kuliah PBL

Pelayanan Kefarmasian (FAI 303) dengan bahasan utama mengenai Farmakoterapi

Sirosis Hepatik.

Penyusunan karya ilmiah ini selain bertujuan untuk memenuhi tugas yang telah

dibebankan kepada kami, juga disusun guna memberikan pengetahuan serta tambahan

informasi kepada pembaca sekalian.

Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam

menyelesaikan naskah akademik ini sehingga dapat tersusun semaksimal mungkin.

Kami sadar bahwa naskah akademik ini masih sangat jauh dari kriteria sempurna.

Oleh sebab itu, semua kritik dan saran yang bersifat positif senantiasa kami harapkan

guna perbaikan dan peningkatan dalam penyusunan naskah akademik berikutnya.

Wassalamualaikum Wr. Wbr.

Surabaya, 17 Desember 2012

Penyusun

Page 3: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

ii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar isi ii

Anatomi-Fisiologi Hepar 1

Anatomi dan Histologi Hepar 1

Fisiologis Hepar 4

Vaskularisasi Hepar 5

Etiologi-Patofisiologi Sirosis 7

Etiologi Sirosis 7

Patogenesis Sirosis 7

Komplikasi sirosis dan terapi 10

Hipertensi portal 10

Ascites dan udema 14

Hepatik ensefalopati 19

Defek koagulasi 22

Data laboratorium 23

Studi kasus 26

Terapi hari ke 1 – 3 26

Terapi hari ke 3 - 6 35

Terapi hari ke 7 42

Skenario konseling pasien 48

Daftar pustaka 51

Page 4: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

1

ANATOMI FISIOLOGI HEPAR

A. Anatomi dan Histologi Hepar

1. Anatomi Hepar

Hepar merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh dengan berat antara 1400-

1800 gram pada pria dan antara 1200 gram-1400grampada wanita, kira-kira ¼

berat tubuh. Konsistensinya kenyal,berwarna merah tua. Bagian-bagian hepar

diantaranya :

- Facies diaphragmatica

Licin, sesuai bentuk cekungan diafragma. Terbagi menjadi facies ventro

cranalis, facies dorsalis, dan facies dextra.

- Facies viisceralis atau caudalis

Mengandung lobus quadratus dan lobus caudatus yang dipisahkan oleh celah

berbentuk huruf H. Bagian celah yang melintang ditempati oleh porta hepatis

(hilus daripada hati) yang berisi ductus hepaticus, vena porta, dan arteri

hepatica propria.

Pembagian hepar secara anatomis dan fungsional adalah sebagai berikut :

- Anatomic Lobation

Terdiri dari lobus dextra yang besar, lobus sinistra yang kecil, dan 2 buah lobus

yang rudimenter.

Page 5: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

2

- Functional lobation

Pembagian ini berdasarkan percabangan pembuluh darah dan ductus hepaticus.

Jadi disini tidak ada perbedaan fungsi dari masing-masing bagian hepar,

pembagian ini untuk kepentingan klinis/bedah. Hepar dibagi menjadi 2 lobus

yang hampir sama besar yaitu lobus dextra dan lobus sinistra hepatis.

- Anatomi permukaan

Letaknya sebagian besar tertutup kerangka thorax dan diafragma. Di sebelah

kanan batas cranial terletak di sebelah cranial dari batas caudal paru-paru

karena diafragma yang cembung ke cranial. Biopsi pada hepar (mengambil

sebagian kecil dari hepar) penting untuk mengetahui struktur dan fungsi

jaringan hepar dalam keadaan tidur, sehingga diagnosa penyakit lebih tepat.

2. Histologi Hepar

Terdapat kelompok-kelompok sel-sel yang memanjang dengan di sekitarnya

sinusoid yang berhubungan satu dengan yang lain. Di antara sel-sel hepar terdapat

kapiler empedu ke dalam dimana dikeluarkan sekresi empedu. Kapiler empedu

membentuk pembuluh empedu dari yang kecil sampai besar dan membentuk

ductus hepaticus dextra dan sinistra.

Sel-sel hepar mendapat darah dari cabang cabang arteria hepatica propria

dan vena porta yang telah bercampur di dalam sinusoid. Selanjutnya dari sinusoid

ke vena centralis dan terus ke vena hepatica dan akhirnya ke vena cava inferior.

Hepar diliputi jaringan ikat sebagai kapsula baru kemudian diliputi peritoneum

Page 6: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

3

viceral. Porta hepatis merupakan tempat keluar masuknya pembuluh darah. Hepar

sendiri terdiri atas :

a. Parenchyma hepar

Parenchyma hepar sendiri terdiri atas sel-sel hepar (hepatosit) dan kapiler-

kapiler empedu (bile canaliculi). Hepatosit tersusun atas lempengan lempengan

setebal satu sel yang disebut lamina hepatis/hepatic plates dan merupakan

epitel kelenjar. Bentuk selnya polihidris dengan inti satu atau lebih dan

berbentuk bulat. Mempunyai nukleolus jelas, satu atau lebih. Sitoplasma

eosinofil mempunyai banyak organel dan inklusi di antaranya mitokondria,

reticulum endoplasma, apparatus golgi, RNA, lisosom, butir glikogen, dan

tetesan lemak.

Kapiler empedu dibentuk oleh selaput sel dari dua sel hepatosit yang

berdekatan, dindingnya memiliki mikrovili. Mengalirkan empedu ke arah

perifer lobuli dan kemudian ditampung ke dalam kanal dari Hering

(cholangiole). Intra-lobuler bile duct merupakan saluran empedu di dalam

lobuli hepar yang sudah mempunyai dinding sendiri berupa epitel selapis

pipih. Saluran ini tidak selalu ada.

Page 7: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

4

b. Sinusoid

Merupakan sistem kapiler intra lobuler yang berisi darah campuran antara

darah arteri dan darah vena yang berasal dari cabang arteria hepatika dan

cabang dari vena porta, kemudian menyalurkan isinya ke dalam vena centralis.

Sinusoid memisahkan lamina hepatis satu dengan yang lain. Dinding sinusoid

terdiri atas 2 macam sel yaitu :

- Sel endotel

Merupakan sel pipih berinti gelap dan mempunyai sifat khusus, yaitu 1)

Selaput sel berlubang-lubang (fenestrated); 2) Hubungan antar sel tidak

lengkap; dan 3) Tidak terdapat basal membran. Sifat tersebut berfungsi

untuk meningkatkan efisiensi resorbsi dan sekresi.

- Sel Von Kupffer

Merupakan sel fagosit, berbentuk seperti bintang karena mempunyai

juluran-juluran sitoplasma yang menyusup di antara sel-sel endotel. Sel ini

berasal dari monosit.

B. Fisiologi Hepar

1. Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak, protein) setelah

penyerapan mereka dari saluran pencernaan.

2. Detoksifikasi atau degradasi zat-zat sisa dan hormon serta obat dan senyawa asing

lainnya.

3. Sintesis berbagai protein plasma, mencakup protein-protein penting untuk

pembekuan darah serta mengangkut hormon tiroid, steroid, dan kolesterol dalam

darah.

4. Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembaga dan banyak vitamin.

5. Pengaktifan vitamin D yang dilaksanakan oleh hati bersama ginjal.

6. Pengeluaran bakteri dan sel darah merah yang usang, berkat adanya makrofag

residen.

7. Ekskresi kolesterol dan bilirubin, yang terakhir adalah produk penguraian yang

berasal dari destruksi sel darah merah yang sudah usang.

Page 8: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

5

C. Vaskularisasi Hepar

Hati menerima darah dari dua sumber yaitu dari arteri hepatika dan vena porta.

Cabang dari kedua arteri hati dan vena porta hati membawa darah ke sinusoid hati, di

mana oksigen, sebagian besar nutrisi, dan zat beracun tertentu diambil oleh hepatosit.

Pada kondisi normal, darah mengalir dari hati menuju ke vena hepatica, kemudian ke

vena cava, jantung, dan arteri hepatika.

Pada hati, ada 3 saluran (triad portal) yaitu arteri hepatica, vena porta hepatica,

dan saluran empedu. Vena porta merupakan gabungan dari pembuluh darah yang

berasal dari usus, lambung, limfa, dan pancreas. Vena porta bersifat fungsional,

membawa darah dari lien dan usus (yang mengandung bahan-bahan yang telah

diserap usus) kecuali lemak (diangkut oleh pembuluh pembuluh limfa).

Page 9: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

6

Page 10: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

7

Darah masuk melalui vena porta, kemudian vena interlobularis. Darah

selanjutnya disaring saat melewati celah-celah sinusoid sinusoid, dan kemudian

berjalan menuju vena centralis, vena sublobularis, kemudian menuju vena hepatika,

dan kemudian masuk ke dalam vena cava inferior.

Page 11: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

8

ETIOLOGI-PATOFISIOLOGI SIROSIS

A. Etiologi Sirosis

1. Konsumsi alkohol kronik

2. Infeksi kronik virus hepatitis tipe B, C, dan D

3. Penyakit metabolik hati

- Hemochromatosis

- Wilson’s disease

- α1-Antitrypsin deficiency

- Nonalcoholic steatohepatitis (fatty liver)

4. Cholestatic liver diseases

- Primary biliary cirrhosis

- Secondary biliary cirrhosis (Gallstone, infeksi parasitis)

- Primary sclerosing cholangitis

- Budd-Chiari’s syndrome

- Severe congestive heart failure and constrictive pericarditis

5. Obat-obatan dan herbal

Isoniazid, methyldopa, amiodarone, methotrexate, phenothiazine, estrogen,

anabolic steroids, black cohosh, Jamaican bush tea.

B. Patogenesis Sirosis

Mekanisme terjadinya proses yang berlangsung terus mulai dari hepatitis virus

menjadi sirosis hepatis belum jelas. Patogenesis yang mungkin terjadi:

1. Mekanis

Hati mengalami nekrosis konfluen, kerangka retikulum lobulus hepar yang

mengalami kolaps akan berlaku sebagai kerangka untuk terjadinya daerah parut

yang luas. Dalam kerangka jaringan ikat ini, bagian parenkim hati yang bertahan

hidup berkembang menjadi nodul regenerasi.

2. Teori imunologis

Mekanisme imunologis mempunyai peranan penting dalam hepatitis kronis. Ada 2

bentuk hepatitis kronis :

a. Hepatitis kronik tipe B

b. Hepatitis kronik autoimun atau tipe NANB

Page 12: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

9

Pada respon imunologis pada sejumlah kasus tidak cukup untuk menyingkirkan

virus atau hepatosit yang terinfeksi, dan sel yang mengandung virus merupakan

rangsangan untuk terjadinya proses imunologis yang berlangsung terus sampai

terjadi kerusakan sel hati.

3. Kombinasi keduanya

Faktor genetik dan lingkungan yang menyebabkan kerusakan sel hati dapat

menyebabkan sirosis melalui respon patobiologi yang saling berhubungan, yaitu

reaksi sistem imun, peningkatan sintesis matriks dan abnormalitas perkembangan

sel hati yang tersisa.

Perlukaan terhadap sel hati dapat menyebabkan kematian sel, yang kemudian diikuti

terjadinya jaringan parut (fibrosis) atau pembentukan nodul regenerasi. Hal tersebut

selanjutnya akan menyebabkan gangguan fungsi hati, nekrosis sel hati dan hipertensi

portal.

Page 13: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

10

KOMPLIKASI SIROSIS DAN TERAPI

Pada pasien sirosis hepatik terjadi kegagalan mikrosirkulasi hati akibat terjadinya

fibrosis, perlukaan, bentukan nodul dan kolateral yang menyebabkan hambatan aliran

darah ke dalam liver. Untuk mengimbanginya, liver akan membentuk nodul-nodul

(formasi nosul) dan pengaktifan pembuluh kolateral. Komplikasi yang dapat terjadi

antara lain:

A. Hipertensi Portal

1. Penyebab Hipertensi Portal

a. Kenaikan resistensi intrahepatik

Kerusakan sel hepatosit menyebabkan penggantian sel hepatosit dengan

jaringan ikat (fibrosis). Sehingga terjadi peningkatan resistensi hepatik yang

menyebabkan aliran darah yang akan masuk ke dalam hepar dan merembes

melalui sel hepatosit melalui pembuluh vena porta terhambat. Sehingga

tekanan dalam vena porta tinggi. Selain itu, perubahan formasi sel-sel hepatik

akan menyebabkan konstriksi pada sinusoid yang mengakibatkan peningkatan

resistensi hepatik.

b. Pembentukan kolateral

Akibat hambatan masuknya darah menuju hepar maka tubuh melakukan

mekanisme lain agar darah tetap dapat mengalir menuju jantung. Yakni dengan

pengaktifan kembali pembuluh darah yang tidak digunakan yang disebut

pembuluh kolateral. Aliran darah yang menuju ke hepar lajunya tetap tinggi

sehingga tekanan dalam vena porta tetap tinggi.

c. Kenaikan aliran darah portal

Akibat terhambatnya aliran darah yang akan masuk menuju hepar maka dalam

pembuluh portal tersebut akan terjadi aliran balik yang menyebabkan kenaikan

aliran darah portal yang pada akhirnya mengakibatkan hipertensi portal.

d. Vasodilatasi splanchnich

Akibat aliran balik dari hepar dalam vena porta maka tubuh melakukan

penyesuaian dengan melakukan vasodilatasi splanchnich. Hal ini menyebabkan

aliran darah menuju vena porta semakin meningkat dan mengakibatkan

tekanan di dalam vena porta tinggi.

Page 14: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

11

2. Terapi Hipertensi Portal

Diberi β-bloker non-selektif seperti propranolol dan nadolol. Kedua obat tersebut

menghambat terjadinya vasodilatasi pembuluh darah dan menurunkan cardiac

output pembuluh darah arteri mesenterika.

3. Manifestasi Klinis Hipertensi Portal

a. Kolateral pada dinding abdomen

Akibat adanya pembuluh kolateral pada dinding abdomen pasien, maka bagian

abdomen pasien akan terlihat seperti bentukan jaring laba-laba.

b. Varises esofagus dan gaster

Akibat tingginya tekanan dalam vena porta maka tubuh melakukan adpatasi

dengan melakukan vasodilatasi agar hipertensi portal dapat diatasi. Sehingga,

vena dari eosophagus dan gaster mengalami dilatasi atau yang disebut dengan

varises. Varises dapat terjadi bila tekanan portal mencapai 8-10 mmHg dan

perdarahan varises dapat terjadi bila tekanan portal mencapai >12 mmHg.

Pembuluh vena merupakan pembuluh darah yang tipis sehingga rawan terjadi

bleeding bila ada tekanan yang tinggi. Gambaran klinis dari terjadinya bleeding

akibat pecahnya varises adalah terjadinya hematemesis (muntah darah) atau

melena (berak darah).

Terapi yang dilakukan untuk menangani varises ini dibagi menjadi 3 yakni

primary prophylaxis, treatment of acute variceal hemorrhage, dan secondary

prohylaxis.

Primary prophylaxis dilakukan agar tidak terjadi variceal hemorrhage yang

dapat menyebabkan GI bleeding. Terapi utama pada primary prophylaxis

dipilih β-bloker non-selektif (propranolol dan nadolol). Pada small varises

sebaiknya diberi β-bloker non-selektif. Sedangkan pada pasien dengan large

varises dapat diberi β-bloker non-selektif dan atau EVL (Endoscopic Variceal

Ligation). Dosis untuk propranolol adalah 20 mg 2x sehari sedangkan untuk

nadolol adalah 40 mg 1x sehari. Terapi kedua obat tersebut tidak boleh

diberikan pada pasien asma, pasien yang mengalami IDDM (Insulin Dependent

Diabetes Mellitus). EVL adalah metode endoskopi untuk mengetahui lokasi

terjadinya varises lalu varises tersebut diikat dengan band rubber. Kemudian

48-72 jam kemudian akan terjadi obliterasi varises yang telah diikat tersebut.

Page 15: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

12

Terapi untuk mengatasi acutevariceal hemorrhage sebagai berikut yang

pertama penggantian cairan dan darah yang hilang dengan koloid atau

kristaloid seperti infus NS, RL dan RCP (Red Cell Packed) atau whole blood.

Tujuannya yakni untuk menjaga stabilitas hemodinamik tubuh dan

mengembalikan sistem koagulasi hingga tercapai Hb 8 g/dL, Tekanan sistolik

90-100 mmHg dan denyut jantung <100 bpm. Lalu, pasien diberi octreotide

atau vasopressin. Vasopressin memiliki efek samping yang lebih banyak

dibanding octreotide maka lebih dianjurkan menggunakan octreotide dibanding

dengan vasopressin. Dosis terapi yang dianjurkan adalah 50 µg/ jam hingga 5

hari setelah bleeding secara i.v. infus. Selain diberi vasokonstriktor, pasien juga

diberi antibiotik profilaksis untuk mencegah timbulnya infeksi oportunistik dan

menurunkan insidensi rebleeding. Antibiotik yang digunakan adalah

Norfloxacim p.o 2x 400 mg sehari atau ciprofloksasin i.v. Langkah selanjutnya

adalah dilakukan endoskopi untuk mengetahui apakah bleeding terjadi akibat

variceal hemorrhage. Selain untuk diagnosis endoskopi juga dapat

dimanfaatkan sebagai terapi yakni EVL dan sclerotherapy. Berikut algoritma

untuk pengatasan acute variceal hemorrhage:

Page 16: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

13

Bila telah diketahui penyebab GI bleeding maka pengobatan berikutnya dapat

diputuskan seperti pada gambar diatas. Bila hemorrhage tetap terjadi setelah

diberi obat vasoaktif maupun dilakukan tindakan EVL/schlerotherapy maka

pilihan pengobatan selanjutnya yakni dilakukan TIPS (Transjuglar Intrahepatic

Portosystemic Shunt). Berikut ilustrasi metode TIPS :

Terapi untuk secondary prophylaxis bertujuan untuk mencegah rebleeding.

Terapinya antara lain kombinasi β-bloker non selektif dan EVL atau β-bloker

non selektif dan isosorbid mononitrat bagi pasien yang tidak bisa dilakukan

EVL. Fungsi digunakannya β-bloker non selektif selain untuk menurunkan

cardiac output dan menghambat vasodilatasi juga untuk menunda pembentukan

varices sebelum obliterasi varises pada terapi EVL. Dosis β-bloker non

selektif : Propranolol 20 mg 2x sehari, nadolol 20 mg 1x sehari. Dosis dapat

ditingkatkan hingga mencapai heart rate 55-60 bpm atau hingga dosis

maksimum. Untuk mengatasi hemorrhage akibat gastric varices dapat

dilakukan dengan metode balloon tamponade untuk kontrol perdarahan

sebelum diputuskan untuk dilakukan tindakan tertentu seperti TIPS.

Page 17: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

14

c. Gastropati hipertensi portal

d. Splenomegali dan hipersplenisme

Splenomegali terjadi akibat aliran balik dari vena porta menuju masing-masing

cabang pembuluh portal salah satunya vena splenic. Untuk penyesuaian spleen

dengan aliran darah balik yang terjadi maka spleen akan mengalami

pembesaran untuk dapat menampung sel darah merah, putih dan trombosit

sehingga spleen mengalami splenomegali dan aktivitas yang terjadi akibat

splenomegali ini disebut dengan hipersplenism. Hipersplenisme ini ditunjukkan

dengan terjadinya anemia, leukopenia dan trombositopenia. Hal ini terjadi

karena spleen berfungsi sebagai filter sel darah merah, putih dan trombosit.

Lalu spleen melakukan destruksi sel darah merah menjadi bilirubin. Bilirubin

akan dibawa oleh albumin menuju saluran empedu. Tetapi pada penderita

sirosis jumlah albumin berkurang sehingga bilirubin akan ikut dengan aliran

darah sistemik yang akhirnya mengakibatkan jaundice.

B. Ascites dan Udema

Pendekatan untuk mengetahui penyebab ascites dan udema antara lain:

a. Teori Overflow

Albumin merupakan senyawa yang disintesis oleh hepar dan berfungsi untuk

menjaga tekanan onkotik plasma. Produksi albumin menurun menyebabkan

penurunan resistensi vaskular sistemik dan peningkatan permeabilitas vaskular

sehingga cairan plasma dalam pembuluh darah merembes keluar menuju ruang

interstisial yang seiring dengan berjalannya waktu akan menumpuk dan

menyebabkan ascites dan udema. Ascites terjadi bila penumpukan cairan terjadi di

ruang interstisial abdomen sedangkan udem bila penumpukan cairan terjadi di

kaki.

b. Teori Underfilling

Untuk mengimbangi terjadinya hipertensi portal maka endotel pembuluh darah

akan melepaskan NO agar vena mengalami vasodilatasi. Tetapi NO tidak hanya

diproduksi oleh pembuluh vena tetapi juga arteri sehingga vasodilatasi terjadi di

seluruh tubuh yang mengakibatkan perfusi darah mengalami penurunan termasuk

penurunan perfusi darah ke ginjal. Baroresptor ginjal yakni sel juxtaglomerular

menangkap sinyal tersebut dan mengaktifkan sistem RAA. Sistem RAA

menstimulasi korteks adrenal untuk sekresi renin, renin berfungsi untuk

Page 18: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

15

mengubah angiotensinogen jadi angiotensin I (AT I). AT I diubah menjadi AT II

oleh ACE (Angiotensin Converting Enzyme). AT II merupakan vasokonstriktor

dan dapat menstimulasi sekresi aldosteron. Aldosteron berfunngsi untuk retensi

natrium. Natrium direabsorpsi, begitu pula dengan air. Cairan dalam pembuluh

darah semakin banyak tetapi jumlah albumin menurun. Sehingga, cairan dalam

pembuluh darah merembes keluar menuju ruang interstisial dan tidak berhenti

membasahi rongga peritoneal.

Terapi untuk mengatasi ascites dan udema adalah dengan mengontrol ascites,

untuk mencegah atau mengurangi gejala yang berhubungan dengan ascites seperti

dyspnea, nyeri abdominal, dan distensi abdominal serta untuk mencegah komplikasi

yang membahayakan nyawa seperti SBP dan sindrom hepatorenal.

Terapinya antara lain secara non farmaskologis dengan membatasi konsumsi

garam Na 2 gram/hari. Untuk terapi secara farmakologis adalah dengan terapi obat

diuretik baikmonoterapispironolakton atau terapi kombinasi spironolakton (100

mg/hari) dan furosemid (40 mg/hari). Tempat kerja furosemid dan spironolakton

berbeda, furosemid bekerja di loop of henle sedangkan spironolakton bekerja di

tubulus distal. Sehingga bila dikombinasi maka cairan ascites yang dikeluarkan lebih

banyak bila dibandingkan dengan penggunaan monoterapi. Bila volume ascites

mencapai >5 L dan asites refrakter dianjurkan terapi berupa paresentesis. Asites

refrakter merupakan asites yang tidak bisa diterapi dengan terapi farmakologi

sehingga diperlukan terapi paresentasis. Untuk asites refrakter yang volume

cairannya <5 L, saat paresentesis diberi juga plasma ekspander agar volume cairan

dalam plasma tetap terjaga. Bila terapi dengan paresentesis tidak dapat mengatasi

asites yang terjadi maka dapat dilakukan TIPS.

Untuk mengetahui terjadinya ekskresi cairan ascites adalah dengan mengukur

berat badan pasien, mengukur lingkar perut pasien.

Komplikasi yang disebabkan oleh ascites antara lain:

a. SBP (Spontaneous Bacterial Peritoneal)

SBP adalah infeksi dari cairan ascites karena cairan ascites merupakan media

yang baik untuk pertumbuhan bakteri. SBP merupakan komplikasi yang banyak

berkembang pada pasien rawat inap dengan penyakit liver ringan, sirosis, dan

ascites. Mekanisme perkembangan SBP berasal dari translokasi bakteri.

Penurunan motilitas saluran gastrointestinal dengan gangguan aliran flora normal,

mengubah struktur saluran gastrointestinal, dan menurunkan kombinasi imunitas

Page 19: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

16

lokal dan humoral sehingga menyebabkan aliran bebas mikroorganisme dan

endotoksin ke dalam nodes mesenterik getah bening. SBP biasanya disebabkan

karena Escherichia coli, Klebsiella pneumonia, dan pneumococci. Gejala dan

tanda-tanda SBP antara lain demam, nyeri abdominal, abdominal terasa kenyal

saat ditekan (memantul kembali), ensepalopati, kegagalan ginjal, asidosis,

leukositosis perifer, dan perubahan status mental. Paralitik ileus, hipotensi, dan

hipotermia adalah indikator terburuk. 13% pasien dengan SBP tanpa gejala. Untuk

alasan ini, diagnosa harus dilakukan dengan menganalisa cairan ascites. Diagnosa

SBP dilakukan ketika memungkinkan dilakukan kultur bakteri cairan ascitis dan

sel cairan ascitis yang terukur menunjukkan nilai absolut polimorfonuklear

(PMN) jumlah leukosit lebih tinggi atau sama dengan 250 sel/mm3.

Terapi SBP antara lain untuk pencegahan timbulnya SBP: Pasien diberi

Ofloksasin PO 2x400 mg atau Cefotaxim 2 gram tiap 8 jam atau Sefalosporin

generasi 3 yang lain IV (yang merupakan DOC) atau Siprofloksasin IV 2x200 mg

selama 2 hari PO 2x500 mg selama 5 hari. Bila cairan ascites mengandung

PMN > 250 sel/mm3

dan indikasi terjadi SBP maka pasien diberi albumin 1,5

g/kg BB dan dilanjutkan 1 g/kg BB pada hari ke-3 terapi.

b. Sindrom Hepatorenal

Sindrom hepatorenal (HRS) merupakan komplikasi umum yang serius dari sirosis

dimana karakteristiknya adalah melemahnya fungsi renal dan gangguan pada

sirkulasi arteri dan aktifitas sistem vasoaktif. Pada sirkulasi renal terdapat tanda

kenaikan resistensi vaskular pada saat total resistensi vaskular sistemik menurun.

Penurunan resistensi vaskular sistemik ini kebanyakan disebabkan oleh

vasodilatasi sirkulasi splanchnic dan vasokonstriksi non-splanchnic. Tanda-tanda

patofisiologi HRS adalah vasokonstriksi pada aliran ginjal. Struktur ginjal pada

umumnya utuh. Mekanisme vasokonstriksi belum sepenuhnya diketahui dan

mungkin melibatkan kedua proses tersebut, yaitu faktor kenaikan vasokonstriktor

dan penurunan vasodilator pada sirkulasi renal. Teori patogenesis HRS yang

diterima saat ini adalah terjadinya vasodilatasi arteri yang menyebabkan

hipoperfusi renal sehingga terjadi manifestasi ekstrem pemenuhan sirkulasi arteri

pada pasien sirosis. Pemenuhan arteri ini menghasilkan baroreseptor progresif

yang dipengaruhi oleh sistem vasokonstriktor (seperti renin angiotensin dan

sistem saraf simpatik), yang menyebabkan vasokonstriksi bukan hanya pada

sirkulasi renal tapi juga vaskular lainnya. Area splanchnic dapat terbebas dari efek

Page 20: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

17

vasokonstriksi dan tanda vasodilatasi dapat terlihat, hal ini karena adanya stimuli

vasodilator lokal yang sangat poten. Pada tahap awal perkembangan ascites,

perfusi renal perlu dipantau pada keadaan normal atau mendekati normal

disamping aktifitas berlebihan dari sistem vasokonstriksi oleh kenakan aktifitas

faktor vasodilatasi renal. Perkembangan hipoperfusi renal membawa HRS yang

terjadi merupakan hasil dari aktifasi maksimal faktor sistem vasokonstriktor yang

tidak dapat dinetralkan oleh faktor vasodilatasi, akibat penurunan aktifitas faktor

vasodilator dan atau kenaikan produksi vasokonstriktor intrarenal.

Teori lain menyebutkan bahwa vasokonstriksi renal merupakan hasil dari

hubungan langsung antara liver dan ginjal tanpa dipengaruhi oleh gangguan

hemodinamik sistemik. Hubungan keduanya antara lain faktor vasodilatasi liver,

sintesis yang dapat mengurangi resiko kegagalan liver atau respon hepatorenal

yang menyebabkan vasokonstriksi renal. (Gines, Pere, et. al., June 1997)

Page 21: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

18

Berdasarkan International Ascites Club’s Diagnostic, kriteria hepatorenal sindrom

antara lain :

a. Kriteria utama

- Rendahnya nilai GFR yang ditandai dengan nilai serum kreatinin yang lebih

besar dari 1,5 mg/dl atau dalam 24 jam klirens kreatinin kurang dari 40

ml/menit

- Tidak adanya syok, selama sakit terjadi infeksi bakteri, kehilangan cairan,

dan treatment terakhir menggunakan obat-obatan nefrotoksik

- Tidak ada bukti secara berkala mngenai fungsi renal (penurunan serum

kreatinin hingga 1,5 mg/dl atau kurang, atau kenaikan klirens kreatinin

menjadi 40 ml/menit atau lebih) yag diikuti efek diuretik dan ekspansi

volume plasma 1,5 liter

- Proteinuria lebih rendah dari 500 mg/hari dan tidak ada ultrasonografi

sebagai penyebab obstruksi uropati atau penyakit parenkim ren

Page 22: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

19

b. Kriteria tambahan

- Volume urin kurang dari 500 ml/hari

- Natrium urin kurang dari 10 mEq/liter

- Osmolalitas urin lebih besar dari osmolalitas plasma

- Sel darah merah pada urin kurang dari 50 tiap bagiannya

- Konsentrasi serum natrium kurang dari 130 mEq/liter

(Gines, Pere, Et. Al., June 1997)

c. Sindrom Hepatopulmoner

Sindroma ini jarang terjadi pada pasien sirosis. Akibat penumpukan cairan di

rongga peritoneal dan rongga abdomen maka terjadi hambatan aliran darah di

paru-paru. Sehingga, aliran darah yang melewati paru-paru menurun, ambilan

oksigen oleh darah dari alveoli berkurang yang pada akhirnya menyebabkan

pasien mengalami kesulitan bernafas, terjadi sesak nafas atau nafas pendek.

Terapi yang dapat dilakukan adalah suplementasi oksigen dan ekskresi cairan

ascites.

C. Hepatik Ensefalopati (HE)

HE terdiri dari beberapa tipe antara lain tipe A yang diinduksi oleh kegagalan akut

liver, tipe B berkaitan dengan jalur portal sistemik tanpa berhubungan dengan

kegagalan akut liver, dan tipe C adalah HE terjadi pada pasien dengan sirosis. HE

tipe A gejalanya seperti terjadinya agitasi, kebingungan, seizure, dan koma.

Penyebab HE antara lain:

1. Peningkatan jumlah amonia

Protein didalam usus akan dirombak oleh bakteri di usus dan menghasilkan

amonia. Amonia akan ikut diabsorbsi dan mengalami metabolisme di hepar.

Hepar mengalami kerusakan sehingga hepar kehilangan fungsinya sebagai

detoksifikan. Akibatnya amonia akan ikut dalam aliran darah sistemik dan

mencapai otak. Di otak, amonia merupakan toksikan, memprekursori

pembentukan energi dan menyebabkan ensefalopati.

2. Perubahan keseimbangan kadar AAA : BCAA

Kadar normal AAA (Aromatic Amino Acid) : BCAA (Branched Chain Amino

Acid) adalah 4:2 atau 6:1. Dengan adanya Amonia diotak, maka akan terjadi

stimulasi pembentukan energi di otak melalui glukoneogenesis dari asam amino

BCAA. Kadar BCAA menurun sedangkan kadar AAA tetap atau meningkat

Page 23: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

20

karena clearance AAA di hepar menurun. AAA merupakan prekursor dari false

NT (Neurotransmitter) seperti GABA, Benzodiazepin dan trasmitter depresan.

Perubahan kadar ke 2 asam amino ini menyebabkan perubahan perilaku dan

berpeluang menyebabkan HE.

3. Inflamasi

Dismetabolime protein bukan satu-satunya mekanisme yang dapat menjelaskan

perubahan neurologi pada pasien HE. Sepsis diketahui sebagai faktor yang

mempercepat dekompensasi gangguan liver pada pasien sirosis. Telah dilakukan

studi mengenai efek induksi hiperamonemia pada pasien dengan sirosis yang

mengalami systemic inflamatory response syndrome (SIRS). Pasien SIRS yang

diberi larutan asam amino oral yang menginduksi hiperamonemia memberikan

hasil tes psikometri yang buruk. Saat SIRS berhasil diterapi, jumlah marker

inflamasi tumor necrosis factor (tnF), interleukin (il) 1 dan il6 kembali normal.

Sistem imun periferal bekerja sama dengan otak dalam merespon infeksi dan

inflamasi. Astrosit dan sel-sel mikroglia melepaskan sitokin dalam merespon

perlukaan atau inflamasi. Jumlah tnF dalam darah akan meningkat selama

inflamasi yang menstimulasi sel-sel mikroglia untuk melepaskan sitokin, il1, dan

il6. tnF juga membahayakan endotel BBB dan il1β berefek pada integritas bagain

glial dari BBB. Baik tnF dan il6 meningkatkan permeabilitas fase cair yang

berada dalam sel endotel otak, dan tnF juga meningkatkan difusi amonia ke dalam

astrosit.

Faktor resiko dari HE:

Gangguan liver ringan, akut, hingga kronis serta portosystemic venous shunting

merupakan faktor yang menyebabkan berkembangnya HE. Semakin tinggi level

gangguan liver, semakin besar peluang berkembangnya HE. Pasien dengan sirosis

yang memiliki minimal HE (yang disebut HE subklinik) memiliki resiko

berkembangnya HE yang jelas. Perpindahan dari transjugular intrahepatic

portosystemic shunt (TIPS) juga merupakan faktor resiko. Pasien yang memiliki

diabetes melitus atau malnutrisi sepertinya berkembang ke arah HE lebih sering

dengan sirosis. HE merupakan faktor penting dari kegagalan liver akut.

Hiperamonemia ringan (150-200 mmol/L) dengan kegagalan liver akut dapat

menyebabkan edema serebral yang berkontribusi menjadi HE. Pasien dengan

trombosis vena portal dan portosystemic shunting yang luas tanpa gangguan

Page 24: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

21

parenkim liver yang signifikan memiliki kesempatan berkembangnya HE. Faktor

resiko lainnya yang dapat mempercepat terjadinya HE antara lain:

- Dehidrasi

- Pendarahan gastrointestinal

- Infeksi (terutama spontaneous bacterial peritonitis, saluran urin, kulit, dan

pulmoner)

- Konstipasi

- Diet protein berlebihan

- Obat-obat yang bekerja pada sistem saraf pusat

- Hipokalemia

- Kegagalan ginjal

- Hiponatremia (serum natrium kurang dari 125 mEq/L)

- Operasi

- Transjugular intrahepatic portosystemic shunt

- Perlukaan berat pada liver (hepatitis akut, obat yang menginduksi perlukaan pada

liver)

- Hepatoseluler karsinoma

- Gangguan sambungan liver

Terapi HE yang biasa diberikan antara lain:

a. Laktulosa

Laktulosa merupakan disakarida laksatif yang terhidrolisis menjadi senyawa yg

dapat menarik air kedalam colon antara lain asam asetat, asam formiat

yangmenstimulasi defekasi. Selain itu hasil hidrolisis laktulosa dapat menurunkan

pH kolon sehingga terjadi konversi NH3 jadi ion ammonium (NH4+) yang

diekskresi melalui feces. Dosis 2-3 x 15-30 mL/hari atau dapat ditingkatkan.

b. Antibiotik

Katabolisme protein menjadi amonia dilakukan oleh bakteri di usus. Dengan

pemberian antibiotik maka dapat menghambat katabolisme protein menjadi

amonia. Antibiotik yang biasa digunakan antara lain kanamisin, neomisin,

metronidazol, vancomisin, dan rifaximin. Kanamisin memiliki bioavailabilitas

yang buruk sehingga kanamisin tidak/sedikit diabsorbsi dan bekerja secara lokal

di usus. Neomisin menghambat bakteri amoniagenik koliform yang menghasilkan

urease (enzim pengubah urea menjadi amonia). Efek yang tidak diinginkan pada

penggunaan neomisin adalah adanya komponen sulfat yang menyebabkan efek

Page 25: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

22

ototoksik dan nefrotoksik serta malabsobsi intestinal. Metronidazol dan oral

vancomisin digunakan secara terbatas. Rifaximin, turunan antibiotik rifamisin

nonabsorbable paling banyak digunakan untuk terapi secara luas. Obat ini

memiliki toksisitas dan efek samping rendah karena absorbsi gastrointestinalnya

minimal. Rifaximin meningkatkan kecepatan penerimaan sebagai terapi utama

atau dengan penambahan laktulosa. Dosis yang dianjurkan adalah 1200 mg/hari.

Selain terapi farmakologi, terapi non-farmakologi juga dilakukan yakni dengan

pembatasan konsumsi protein 10-20 g/hari.

D. Defek Koagulasi

Penyebab terjadinya defek koagulasi darah antara lain :

a. Defisiensi Vitamin K

Vitamin K adalah koenzim dalam proses sintesis faktor pembekuan darah antara

lain II, VII, IX dan X.Vit. K merupakan senyawa yang bersifat lipofil dan agar ia

dapat diabsorbsi perlu bantuan empedu untuk emulsifikasi. Tetapi, empedu tidak

dapat terbentuk karena empedu berasal dari metabolisme kolesterol. Sedangkan

sel-sel hepar tidak dapat melakukan metabolisme tsb. sehingga pada akhirnya vit.

K tidak dapat diabsorbsi dan faktor II, VII, IX dan X tidak terbentuk. Bila ada

bleeding maka tidak akan terhenti.

b. Sintesis faktor pembekuan darah

Faktor pembekuan darah diproduksi oleh hepar. Sedangkan hepar pada pasien

sirosis mengalami kerusakan. Akibatnya faktor pembekuan darah tidak terbentuk.

c. Defisiensi bersihan hati

Fungsi normal hati salah satunya adalah metabolisme zat-zat yang sudah tidak

diperlukan oleh tubuh termasuk zat aktivator dan prokoagulan. Kedua senyawa ini

dapat mencegah proses koagulasi. Zak aktivator akan mengaktifkan plasminogen

menjadi plasmin yang menyebabkan fibrinolisis.

Selain komplikasi diatas, juga terjadi penurunan jumlah albumin akibat sel-sel di

hepar mengalami kerusakan. Sehingga fungsi normal liver untuk sintesis protein plasma

(termasuk albumin) menjadi berkurang atau menghilang. Terjadi palmar eritema dimana

tangan pasien berwarna lebih merah karena pengaktifan pembuluh kolateral.

Ginekomasti juga dapat terjadi pada pasien pria karena hormon androgen seperti

hormon testosteron tidak termetabolisme.

Page 26: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

23

DATA LABORATORIUM

Tidak ada data laboratorium yang spesifik untuk diagnosis penyakit sirosis. Tapi dapat

digunakan gabungan beberapa data lab yang hasilnya saling mendukung untuk

diagnosis penyakit sirosis.

1. Albumin

Pada pasien sirosis, produksi albumin menurun karena sel hepar mengalami

kerusakan. Harga normal albumin : 3,3 – 5,5 g/dL

2. Protrombin time

Pada pasien sirosis, faktor pembekuan darah tidak terbentuk. Bila salah satu faktor

tidak terbentuk maka waktu protrombin (FII) menjadi lebih panjang. Harga normal

prothrombin time : 8,8-11,6 detik

3. Trombosit

Pada pasien sirosis, pasien dapat mengalami splenomegali sehingga jumlah

trombositnya berkurang dan mengalami trombositopeni. Harga normal : 150.000-

400.000/mm3.

4. Alkalin fosfatase dan GGT (Gamma Glutamyl Transpeptidase)

Peningkatan Alkalin fosfatase dan GGT terjadi karena perlukaan liver yang disertai

penyakit seperti sirosis bilier. Baik alkalin fosfatase maupun GGT merupakan

biomarker dari berbagai macam penyakit hati yang mempengaruhi jaringan tubuh

yang lain. Kombinasi peningkatan kadar alkalin fosfatase dan GGT dapat diduga

akibat kerusakan hepar. Harga normal :

Wanita : 30-100 U/L (0.5-1.67 mkat/L SI units)

Pria : 45-115 U/L (0.75-1.92 mkat/L SI units)

5. SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase)/ AST (Aspartat

Aminotransferase)

Kadarnya meningkat pada :

- Peningkatan tinggi ( > 5 kali nilai normal) : kerusakan hepatoseluler akut, infark

miokard, kolaps sirkulasi, pankreatitis akut, mononukleosis infeksiosa.

- Peningkatan sedang ( 3-5 kali nilai normal ) : obstruksi saluran empedu, aritmia

jantung, gagal jantung kongestif, tumor hati (metastasis atau primer), distrophia

muscularis.

- Peningkatan ringan ( sampai 3 kali normal ) : perikarditis, sirosis, infark paru,

delirium tremeus, cerebrovascular accident (CVA).

Page 27: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

24

Kadar normal SGOT :

Pria : 10-40 U/L

Wanita : 9-25 U/L

6. SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase)/ALT (Alanin Transferase)

Kadarnya meningkat pada :

- Peningkatan SGOT/SGPT > 20 kali normal : hepatitis viral akut, nekrosis hati

(toksisitas obat atau kimia).

- Peningkatan 3-10 kali normal : infeksi mononuklear, hepatitis kronis aktif,

sumbatan empedu ekstra hepatik, sindrom Reye, dan infark miokard

(SGOT>SGPT).

- Peningkatan 1-3 kali normal : pankreatitis, perlemakan hati, sirosis Laennec,

sirosis biliaris.

Kadar normal SGPT :

Pria : 10-55 U/L

Wanita : 7-30 U/L

7. Bilirubin

Pada pasien sirosis, kadar bilirubin dalam darah meningkat.

Total = 0,3-1,0 mg/dL

Direct bilirubin (conjugated bilirubin) = 0,0-0,4 mg/dL

Indirect bilirubin (unconjugated bilirubin) = 0,1-1,0 mg/dL

8. Seromarker

Seromarker adalah serum yang menjadi penanda adanya virus dalam darah.

Misalnya seromarker untuk TB adalah ICT TB dan anti mycotec TB.

Pada Hepatitis B seromarkernya antara lain :

a. HBsAg dan anti HBs

Merupakan menifestasi pertama infeksi hepatitis B. HBsAg telah positif dalam

masa inkubasi, biasanya 2-6 minggu sebelum timbulnya gejala klinis dan

titernya akan meningkat setelah tampak gejala klinis.

Pada kondisi akut HbsAg hilang dalam waktu beberapa minggu atau bulan,

kemudian timbul Anti-HBs. Bila HBsAg tidak hilang, dan persisten lebih dari 6

bulan maka akan menjadi Hepatitis B kronik atau penderita akan menjadi

pembawa virus (carrier).

Page 28: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

25

b. HBcAg dan Anti HBc

HBcAg tidak terdapat bebas pada serum, dan Anti HBc adalah antibody

terhadap HBcAg. Anti HBc akan ditemukan sebelum atau sesudah ada gejala

klinik di mana titernya akan segera meninggi. Pada masa jendela, Anti HBc

merupakan pertanda yang penting dari Hepatitis B Akut. Anti HBc merupakan

antibody yang ditemukan seumur hidup, namun titernya akan menurun sesuai

dengan waktu.

c. HBeAg dan Anti Hbe

HBeAg timbul bersama-sama bersama-sama atau segera setelah timbulnya

HBsAg. HBeAg menandakan invektivitas yang tinggi pada penderita, karena

ditemukannya HBeAg menunjukkan jumlah virus yang banyak dan aktivitas

DNA polymerase yang tinggi. Bila HBeAg masih ada lebih dari 10 minggu

sesudah timbulnya gejala klinik, menunjukkan penyakit berkembang menjadi

kronis.

d. HBV DNA

Seperti HBeAg, HBV DNA adalah penanda bahwa ada replikasi HBV yang

masih aktif. Ditemukan dan hilang dari serum kira-kira bersamaan dengan

HBeAg.

Page 29: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

26

STUDI KASUS

Data Pasien

Tn. HR masuk rumah sakit (MRS) tgl 1 Okt 2012 dengan keluhan mual dan panas sejak

2 hari yang lalu. Pasien datang dengan kondisi perut membesar, cemas, dan gelisah.

Usia : 57 th

BB : 60 kg

TB : 165 cm

Pekerjaan : wiraswasta

Riwayat Penyakit

Hepatitis B (2009) setelah membaik tidak melakukan kontrol

Sirosis Hepatik (2011)

Diagnosa

Sirosis hepatik, asites, hepatik ensefalopati

Data Klinik (1 Okt 2012)

TD 110/70 mmHg RR 24 bpm

Temp 38,5oC Nadi 80 bpm

GCS 345 Nyeri perut/ rasa tidak nyaman +

Data Lab (1 Okt 2012)

Leukosit 14.000/ mm3 SGOT 50 IU

Hematokrit 24,0% SGPT 75 IU

Hemoglobin 9,7 g/dL GDA 155 mg/dL

Trombosit 150.000/µL Natrium 136 mmol/L

Albumin 2,4 g/dL Kalium 4,8 mmol/L

Bilirubin total 1,8 mg/dL Kreatinin 1,5 mg/dL

Bilirubin direk 0,79 mg/dL BUN 40 mg/dL

Bilirubin indirek 1,01 mg/dL LED 40 mm/jam

HbsAg +

Page 30: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

27

Terapi Obat yang Didapat

1. Inf D5 : Comafusin 1:1

Infus D5 : Comafusin terdiri dari dekstrosa 5% dan comafusin dengan

perbandingan yang sama. Comafusin terdiri dari Asam amino rantai cabang

(AARC) dosis tinggi 50 % (Isoleucin, Leucin, Valin), asam amino lainnya, xylitol,

vitamin, dan elektrolit. Comafusin diberikan sebagai nutrisi parenteral,

meningkatkan kadar AARC pada pasien yang menderita Hepatik Ensefalopati

(HE). Pada penderita HE terjadi ganguan keseimbangan asam amino yang

menyebabkan perubahan neurotransmitter. Asam Amino Aromatik (AAA)

meningkat pada HE karena kegagalan deaminasi di hati dan penurunan Asan

Amino Rantai Cabang (AARC) akibat katabolisme protein di otot dan ginjal yang

terjadi hiperinsulinemia pada penyakit hati kronik. Termasuk AAA adalah

metionin, fenilalanin, tirosin. Sedangkan dekstrosa digunakan untuk nutrisi

parenteral bagi pasien.

2. Antasida PO 3 x C I

No Keterangan Antasida PO 3 x C I

1. Klasifikasi Obat lokal saluran cerna

2. Kegunaan pada

Tn. HR

Menetralkan asam lambung sehingga berguna untuk

mencegah terjadinya stress ulcer.

3. Mekanisme kerja Menetralkan asam lambung dan meningkatkan pH

sehingga menurunkan aktivitas perubahan pepsinogen

menjadi pepsin.

4. Efek samping Sindroma susu alkali, batu ginjal, neurotoksisitas,

diare

5. Interaksi Dapat mengurangi absorpsi INH, penisilin, tetrasiklin,

nitrofurantoin, asam nalidiksat, sulfonamid,

fenilbutazon, digoksin, dan klorpromazin.

Antasid sistemik dapat meningkatkan pH urin,

sehingga menurunkan ekskresi amin misalnya kina dan

amfetamin serta meningkatkan ekskresi salisilat.

6. Sediaan Tablet dan suspensi PO. Umumnya diminum sebelum

makan.

Page 31: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

28

3. Ranitidin IV 2 x 50 mg

No Keterangan Ranitidin IV 2 x 50mg

1. Klasifikasi Antagonis reseptor H2

2. Kegunaan pada

Tn. HR

Mencegah terjadinya stress ulcer

3. Mekanisme kerja Menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversibel

sehingga produksi asam lambung dapat dikurangi.

4. Efek samping Nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare,

konstipasi, ruam kulit, pruritus, kehilangan libido,

ddan impoten.

5. Interaksi Ranitidin dapat menghambat absorpsi diazepam.

Penggunaan ranitidin bersama antasid atau kolinergik

sebaiknya diberikan dengan selang waktu 1 jam.

Nifedipin, warfarin, teofilin dan metoprolol dilaporkan

berinteraksi dengan ranitidin

6. Aspek

biofarmasetik &

farmakokinetik

Bioavailabilitas per oral sekitar 50% dan meningkat

pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya 1,7-3 jam

pada orang dewasa dan memanjang pada orang tua,

pasien gagal ginjal, dan pasien penyakit hati. Kadar

puncak dalam plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah

penggunaan 150 mg ranitidin secara oral. Ranitidin

dan metabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal,

sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidin yang

diberikan IV dan 30% dari PO diekskresi dalam urin

dalam bentuk asal.

4. Kanamisin PO 3 x 500 mg

No Keterangan Kanamisin PO 3 x 500mg

1. Klasifikasi Antibiotik golongan aminoglikosida

2. Kegunaan pada Tn.

HR

Untuk mengatasi komplikasi Hepatik Ensefalopati

(HE)

3. Mekanisme kerja Bekerja secara lokal di usus dengan menghambat

sintesis protein bakteri sehingga bakteri mengalami

Page 32: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

29

kematian dan protein tidak diuraikan menjadi NH3.

4. Efek samping Alergi : rash, eosinofilia, demam, diskrasia darah,

angioderma, dermatitis eksfoliatif, stomatis dan syok

anafilaksis. Reaksi iritasi dan toksik : rasa nyeri,

ototoksik, nefrotoksik. Perubahan biologik :

gangguan pada pola mikroflora tubuh dan gangguan

absorpsi di usus.

5. Aspek

biofarmasetik &

farmakokinetik

Sukar diabsorpsi melalui saluran cerna. Pemberian

per oral hanya dimaksudkan untuk mendapatkan efek

lokal dalam saluran cerna. Masa paruh untuk ginjal

normal 0,7-14 jam (kreatinin serum , 0,5 mg/100 ml)

dan pada keadaan ginjal yang terganggu 4-70 jam.

Ikatan protein rendah (< 30%).

6. Sediaan Sediaan sistemik (IV/IM) dan topikal (PO).

Untuk suntikan tersedia larutan dalam vial ekuivalen

dengan basa kanamisin 500mg/2mL dan 1 g/3 mL

untuk orang dewasa. Vial bubuk berisi 1 g dan 0,5 g.

untuk pemberian oral tersedia bentuk kapsul/tablet

250 mg dan sirup 50 mg/mL. Dosis oral untuk orang

dewasa dapat mencapai 8 g sehari.

7. Monitoring terapi Status mental, diare, fungsi renal, tanda ototoksisitas.

5. Laktulosa PO 3 x C II

No Keterangan Laktulosa PO 3 x C II

1. Klasifikasi Pencahar garam dan pencahar osmotik, merupakan

disakarida semisintetik

2. Kegunaan pada Tn.

HR

Mengatasi komplikasi Hepatik Ensefalopati (HE)

3. Mekanisme kerja - Merupakan disakarida laksatif yang terhidrolisis

menjadi senyawa yg dapat menarik air kedalam

colon sehingga menimbulkan stimulasi untuk

defekasi.

- Menurunkan pH kolon karena saat terhidrolisis

Page 33: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

30

laktulosa diubah menjadi asam laktat, asam asetat

dan asam formiat. Ke-3 asam ini merupakan

sumber H+ sehingga NH3 dikonversi menjadi NH4

+

(ion amonium) yang dapat diekskresi melalui feces.

4. Kontra indikasi Pasien dengan dugaan apendisitis, obstruksi usus atau

sakit perut yang tidak diketahui penyebabnya.

Pasien dengan mual, muntah, spasme, kolik atau

berbagai gangguan abdomen lain.

5. Mekanisme kerja Sifat hidrofilik / daya osmotik menyebabkan

peristalsis usus meningkat secara tidak langsung. Air

ditarik ke dalam lumen usus dan tinja menjadi lembek

setelah 3-6 jam.

6. Efek samping Perut kembung disertai flatulensi, perut merasa tidak

nyaman dan kram, diare, mual, muntah.

7. Sediaan Sirup. Diminum bersama sari buah, atau air dalam

jumlah cukup banyak. Dosis pemeliharaan harian

biasanya 7-10 g dosis tunggal maupun terbagi. Untuk

keadaan hipertensi portal dan ensefalopati hepar dosis

pemeliharaan biasanya 3-4 kali 20-30 g (30-45 mL)

sehari; dosis ini disesuaikan agar defekasi 2-3 kali

sehari dan tinja lunak, serta pH 5,5.

8. Monitoring terapi frekuensi pengeluaran tinja (soft stool 2-3 kali sehari

pH 5-5,5), kesetimbangan elektrolit, status mental.

6. Furosemide IV 2 x 40 mg

No Keterangan Furosemide IV 2 x 40mg

1. Klasifikasi Diuretik kuat golongan sulfonamid

2. Kegunaan pada Tn.

HR

Dikombinasi dengan spironolakton, merupakan

diuretik kuat untuk mengatasi ascites.

3. Mekanisme kerja Menghambat kotransport Na+, K

+, Cl

- dan

menghambat reabsorpsi air dan elektrolit.Sehingga

cairan ascites dapat diekskresi.

4. Kontra indikasi Hipersensitif terhadap furosemid, sulfonilurea;

Page 34: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

31

anuria; kekurangan elektrolit

5. Efek samping Rasa tidak enak di perut, hipotensi ortostatik,

gangguan saluran cerna, penglihatan kabur, pusing,

sakit kepala

6. Interaksi Pemberian bersama obat yang bersifat nefrotoksik

seperti aminoglikosida dan antikanker sisplatin akan

meningkatkan risiko nefrotoksisitas.

Probenesid mengurangi sekresi diuretik ke lumen

tubulus sehingga efek diuresisnya berkurang.

Diuretik kuat dapat berinteraksi dengan warfarin dan

klorfibrat melalui penggeseran ikatannya dengan

protein.

7. Aspek

biofarmasetik &

farmakokinetik

Bioavailabilitas furosemid 65%. Terikat pada protein

plasma secara ekstensif.

8. Sediaan Injeksi 20 mg/amp 2 mL.

Dosis: 20-80 mg iv, 2-3 x sehari (CHF) sampai 250-

2000 mg oral/iv.

Injeksi secara IV harus diberikan secara perlahan,

kecepatan maksimum pemberian adalah 4 mg/menit.

9. Monitoring terapi Berat badan, lingkar perut, kadar kalium/ elektrolit

tubuh.

7. Spironolakton PO 1 x 100 mg

No Keterangan Spironolakton PO 1 x 100mg

1 Klasifikasi Diuretik hemat kalium antagonis aldosteron

2 Kegunaan pada

Tn. HR

Mengatasi ascites.

3 Kontra indikasi Isufisiensi ginjal akut, anuria, hiperkalemia,

kehamilan.

4 Mekanisme kerja Secara kompetitif menghambat kerja aldosteron yang

menginduksi reabsorpsi ion natrium dan dan sekresi

ion kalium pada tubuli distal ginjal. Sehingga cairan

Page 35: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

32

ascites dapat dikeluarkan.

5 Efek samping Ginekomastia (pembesaran payudara pria), gangguan

pada saluran pencernaan, ngantuk, letargi (keadaan

kesadaran yang menurun seperti tidur lelap, dapat

dibangunkan sebentar, tetapi segera tertidur kembali),

bercak-bercak merah pada kulit, sakit kepala,

kekacauan mental, ataksia (gangguan koordinasi

gerakan), impotensi, menstruasi tidak teratur,

perdarahan sesudah menopause. Jarang :

agranulositosis.

6 Interaksi - resiko hiperkalemia meningkat jika digunakan

bersama dengan ACE inhibitors.

- menghambat klirens Digoksin.

- bisa meningkatkan efek zat antihipertensi lainnya.

- bisa menghilangkan respon pembuluh darah

terhadap noradrenalin.

7 Aspek

biofarmasetik &

farmakokinetik

Mula kerja setelah 2-3 hari dan bertahan sampai

beberapa hari setelah pengobatan dihentikan. Resorpsi

dari usus tidak lengkap dan diperbesar oleh makanan.

Dalam hati dirombak menjadi metabolit aktif

kanrenon yang diekskresikan melalui kenih dan tinja.

t1/2 plasma sampai 2 jam, kanrenon 20 jam.

8 Sediaan Tablet 100 mg x 100 biji.

Hipertensi esensial : 50-100 mg sehari sebagai dosis

tunggal atau dosis terbagi.

Terapi dilanjutkan minimal selama 2 minggu.

• Kelainan

edematosa :

diberikan tiap hari sebagai dosis

tunggal atau dosis terbagi.

• Gagal jantung kongestif : 100 mg sehari.

• Sirosis : 200-400 mg/hari.

9 Monitoring terapi BB (0,5-1 kg weight loss per day), status mental,

serum K+, urin Na+ dan K+ (Na+ tidak boleh lebih

dari K+ pada dosis terapi)

Page 36: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

33

8. Cefotaksim IV 3 x 1 g (5 hari)

No Keterangan Cefotaksim

1 Klasifikasi Sefalosporin generasi ketiga

2 Kegunaan pada Tn.

HR

Untuk profilaksis terjadinya SBP.

3 Kontra indikasi Hipersensitifitas, penderita yang terkena kolitis

pseudomembranosa ditandai diare, gagal

ginjal,wanita hamil dan menyusui.

4 Mekanisme kerja Merupakan antibiotik spektrum luas khusus bakteri

gram negatif. Menghambat sintesa dinding sel bakteri

dengan mengganggucross-linking akhir peptidoglikan

dan mengaktifkan enzim otolitik dinding sel.

5 Efek samping Alergi, diare, depresi sumsum tulang, nekrosis ginjal

6 Aspek

biofarmasetik &

farmakokinetik

Sangat aktif terhadap berbagai kuman gram positif

maupun gram negatif aerobik, t½ plasma 1 jam

diberikan setiap 6-12 jam, metabolitnya adalah

desasetilsefotaksim yang kurang aktif.

7 Sediaan Bubuk obat suntik 1, 2 dan 10 gram.

9 Monitoring terapi Jumlah leukosit

9. Sistenol PO 3 x 1 tab prn

No Keterangan Sistenol

1 Kegunaan pada Tn.

HR

Mengatasi nyeri pada pasien. Sebagai analgesik.

2 Kontra indikasi Pasien yang hipersensitif

terhadap paracetamol dan N-acetylcystein.

Pasien dengan gangguan fungsi hati

3 Efek samping Reaksi alergi, neutropenia, trombositopenia,

purpura, nausea, muntah, gangguan saluran cerna.

Dosis besar atau penggunaan dalam jangka waktu

yang lama dapat menyebabkan gangguan fungsi

hati.

4 Interaksi Antikoagulan, kumarin, indanedion

Page 37: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

34

5 Sediaan Dewasa dan anak >11 tahun: 1 tablet, 3 kali sehari.

Kotak, 6 blister @ 10 tablet salut selaput: DKL

Kotak, 10 strip @ 6 tablet salut selaput: DKL

6 Monitoring terapi Suhu tubuh

10. Inf Albumin 20 % (hari ke-1 dan ke-3)

No Keterangan Inf Albumin

1. Kegunaan pada Tn.

HR

Untuk mengatasi hipoalbuminemia akibat sirosis

yang dialami Tn. HR.

2. Mekanisme kerja Sebagai volume expander sehubungan dengan

fungsinya dalam meningkatkan onkotik intravaskuler

sehingga mampu memperbesar volume intravaskuler

dan mengurangi keluarnya / merembesnya cairan dari

pembuluh darah.

3. Efek samping Keluhan: demam, menggigil, naussea, dan urtikaria

Toksisitas aluminium pada gagal ginjal

Hipokalsemia karena albumin mengikat kalsium

Hemolisis, jika diberikan larutan albumin hipotonik

dalam jumlah besar

Hipovolemia dan gagal jantung kongestif.

4. Sediaan Infus albumin 20% 100 mL dan 50 mL

Page 38: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

35

Pada hari ke-4 MRS (4 Okt 2012) pasien mengalami berak seperti petis 3-4 kali

sehari dan muntah darah 1 kali. Dokter mendiagnosis hematemesis melena. Data

klinik, laboratorium, dan terapi sebagai berikut:

Data klinik

TD 90/60 mmHg -- rendah Nadi 110 bpm -- tinggi

Temp 37.0 0C -- normal RR 28 bpm

GCS 456 -- sepenuhnya sadar Nyeri perut

Data lab

Hemoglobin 7.1 g/dL -- rendah >> anemia akibat hematemesis melena

Leukosit 12.800/mm3

-- tinggi >>ada infeksi bakteri

Hematokrit 20.8% -- rendah >>indikasi sirosis hati

Trombosit 148.000/L -- rendah >>tombositopeni

Albumin 2.6 g/dL -- rendah >> asites

Natrium 130 mmol/L – rendah Kalium 3.9 mmol/L – normal

PTT 20,1/11,5 (kontrol) aPTT 35,4/28,4 (kontrol)

Terapi

Infus NS : D5 1:1 Asam traneksanat IV 3 x 500mg

Antasida PO 3 x CI Vitamin K IV 4 x 10mg

Laktulosa PO 3 x CII Inf PRC 2 kolf

Cefotaksim IV 3 x 1g (stop pada hari ke-5) Metoklopramid IV 3 x 10mg

Sistenol PO 3 x 1 tab prn Omeprazole IV 1 x 40mg

Page 39: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

36

Aspek Obat

Obat Klasifikasi Kegunaan pada Tn. HR dan KI Mekanisme Kerja Efek Samping Aspek Biofar & Farkin Sediaan Monitoring Terapi

Obat

Infus NS : D5

1 : 1

Untuk resusitasi

dan penambah

nutrisi

Kegunaan pada Tn. HR

Untuk mengatasikekurangan

cairan dan nutrisi parenteral

KI : pasien hiperglikemia,

diabetes, gangguan jantung

Mengganti cairan

dan elektrolit yang

hilang serta

menambah nutrisi

secara parenteral.

Hiperglikemia

pada pemberian

cepat dan dosis

tinggi dekstrosa

D5

(mengandung 5

g/dl dekstrosa,

merupakan

cairan

hipotonik, ECF

40% dan ICF

60%)

NS (cairan

isotonik

dengan ECF

100%)

Heart rate hingga

mencapai < 100

bpm dan tekanan

darah sistolik 90-

100 mmHg.

Antasida Obat lokal

saluran cerna

Kegunaan pada Tn. HR :

Untuk menetralkan asam

lambung, untuk mencegah stress

ulcer.

KI: pasien dengan kelainan

ginjal

Peningkatan pH

yang

mengakibatkan

berkurangnya kerja

proteolitis dari

pepsin. Pada pH 4

aktivitas pepsin

menjadi minimal.

Sindroma susu

alkali; batu ginjal,

osteomalasia, dan

osteoporosis;

neurotoksisitas;

saluran cerna;

asupan natrium;

interaksi dengan

obat lain

Sediaan cair

digunakan

secara per oral,

dosis 3x15ml

Page 40: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

37

Laktulosa Pencahar

osmotik aktif

Kegunaan pada Tn. HR :

Mengatasi Hepatik Ensefalopati

KI: galaktosemia, sumbatan

usus.

Menurunkan pH

kolon,

menyebabkan

ammonia terion

menjadi ion

amonium yang

tidak bisa kembali

ke sirkulasi

sistemik, sehingga

tereliminasi melalui

feses.

Perut kembung

dan banyak gas,

terutama selama

hari-hari pertama.

Pada overdosis

terjadi nyeri perut

dan diare.

Kurang dari 3%

diabsorbsi setelah

pemberian oral.

Laktulosa yang

diabsorbsi diekskresi

tanpa dirubah di dalam

urin. Laktulosa yang

tidak diabsorbsi

dimetabolisme oleh

bakteri kolonik

menjadi asam format,

laktat dan asetat.

Dosis: pada

episodic HE,

dosis 45 mL

tiap jam hingga

pencucian

perut dimulai.

Lalu dosis

diturunkan

menjadi 15-45

mL tiap 8-12

jam dan titrasi

untuk

memproduksi

2-3 feses halus

dan asam per

hari.

Bentuk

sediaan: sirup

Rute: per oral

dan rektal

Cara

pemakaian:

diminum

bersama sari

Monitor elektrolit

secara periodik,

perubahan status

mental pasien, dan

titrasi hingga

jumlah feses halus

dan asam 2-3 per

hari.

Page 41: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

38

buah atau air

dalam jumlah

cukup banyak

Cefotaksim Antibiotik

golongan

sefalosporin

generasi 3

Indikasi : untuk SBP, sebagai

profilaksis karena kondisi asites

KI :pasien dengan

hipersensitifitas dan alergi

golongan penisilin

Terapi lini pertama,

sebagai profilaksis

untuk infeksi pada

perdarahan varises.

Pengatasan SBP

ES : diare, nausea, Sangat aktif terhadap

berbagai kuman gram

positif maupun gram

negatif aerobik.

t½ plasma 1 jam,

diberikan setiap 6-12

jam.

Metabolitnya adalah

desasetilsefotaksim

yang kurang aktif.

Dosis :

pemberian IV

1-2g.

Tersedia dalam

bubuk obat

suntik 1, 2, dan

10 g.

Monitor jumlah

leukosit pasien,

PTT, aPTT

Sistenol Sebagai

analgesik

Kegunaan pada Tn. HR

Mengatasi nyeri paerut yang

dialami Tn. HR

KI : Pasien yang hipersensitif

terhadap paracetamol dan N-

acetylcystein; pasien dengan

gangguan fungsi hati

Dipilih untuk

pasien dengan

gangguan hepar .

N-asetil sistein

bertindak sebagai

hepatoprotektor

pengguna

parasetamol karena

dapat menurunkan

oksidasi

parasetamol

ES : reaksi alergi,

neutropenia,

trombositopenia,

purpura, nausea,

muntah, gangguan

saluran cerna.

Dosis besar atau

penggunaan dalam

jangka waktu yang

lama dapat

menyebabkan

Dosis dewasa

dan anak >11

tahun: 1 tablet,

3 kali sehari.

Berisi

parasetamol

dan N-asetil

sistein

Page 42: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

39

sehingga

menurunkan resiko

kerusakan hepar.

gangguan fungsi

hati.

Asam

traneksamat

Antifibrinolisis Kegunaan pada Tn. HR :

Menghentikan perdarahan yang

terjadi pada Tn. HR.

KI : pasien DIC (disseminated

intravascular coagulation)

Mencegah aktivasi

plasminogen

menjadi plasmin.

Sehingga fibrin clot

tidak dilisis dan

menghentikan

perdarahan.

Pruritus, eritema,

ruam kulit,

hipotensi,

dispepsia, mual,

diare, hambatan

ejakulasi, eritema

konjungtiva, dan

hidung tersumbat,

serta trombosis

umum

Cepat diabsorpsi

dalam saluran cerna,

sampai 40% dosis PO

dan 90% dosis IV

diekskresi melalui urin

dalam waktu 24 jam.

Dosis 0,5-1 g

diberikan 2-3

kali sehari

secara IV

lambat ±5

menit.

Dosis PO

15mg/kgBB

diikuti dengan

30 mg/kgBB

tiap 6 jam.

Monitor

mekanisme

hemostatik sebagai

pemantau

trombosis umum

Vitamin K Mengatasi

abnormalitas

faktor koagulasi

akibat gangguan

fungsi liver

Kegunaan pada Tn. HR :

Mengatasi defisiensi Vitamin K

sehingga faktor pembekuan

darah dapat terbentuk.

KI : pasien obstruksi biliaris dan

gangguan usus seperti sariawan,

enteritis, enterokolitis, dan

reseksi usus. Pengguna

antikoagulan

Merupakan suatu

kofaktor enzim

mikrosom hati yang

penting untuk

mengaktivasi

prekursor faktor

pembekuan darah,

dengan mengubah

residu asam

glutamat menjadi

Cardiac arrest,

respiratory arrest,

lesi, kemerahan

Absorpsi sangat

tergantung pada

kelarutan. Bila terjadi

gangguan absorpsi

akan terjadi

hipoprotrombinemia

setelah beberapa

minggu.

Pemakaian antibiotik

sangat mengurangi

Tablet

fitonadion dan

menadion,

emulsi

fitonadion,

larutan

menadion

dalam minyak,

larutan

menadion

Monitor interaksi

dan reaksi yang

terjadi selama

pemberian, PTT,

aPTT

Page 43: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

40

residu γ-

karboksilglutamil

sehingga dapat

mengikat ion

kalsium yang

diperlukan untuk

rangkaian

pembekuan darah

jumlah vitamin K

dalam tinja, yang

terutama merupakan

hasil sintesis bakteri

usus

natrium

bisulfit, dan

larutan

menadiol

natrium

difosfat

Inf PRC Mengganti darah

akibat

perdarahan

Kegunaan pada Tn. HR :

Mengatasi kekurangan darah

akibat perdarahan.

Sebagai asupan

oksigen dan nutrisi

akibat

berkurangnya

jumlah hemoglobin

Sediaan

parenteral

diberikan

secara IV

Monitoring

tekanan darah

(tekanan sistol

target >100) dan

heart rate (target

<100).

Metoklopramid Untuk

memperpendek

waktu

pengosongan

lambung

Kegunaan pada Tn. HR :

Sebagai anti mual.

Antagonisreseptor

dopamin dengan

mengganggu CNS

chemoreceptor

trigger zone (CTZ),

meningkatkan

peristaltic usus dan

mempercepat waktu

pengosongan

lambung ke usus

Mengurangi

jumlah absorpsi

obat-obat yang

sukar larut dalam

cairan GIT dan

obat-obat yang

diabsorpsi aktif

hanya di satu

segmen usus halus

Distribusi luas pada

jaringan tubuh, dapat

menembus plasenta,

sebagian kecil

dimetabolisme di

hepar. Diekskresi

melalui urin, feses, dan

ASI

Dewasa : 1-

2mg/kgBB

secara IV

>14 tahun : 10

mg IV

6-14 tahun :

2,5-5 mg IV

<6 tahun : 0,1

mg IV

Monitoring

tekanan darah,

reaksi pyramidal.

Cek amonia

Page 44: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

41

sehingga makanan

tidak kembali ke

esofagus.

Omeprazol Proton Pump

Inhibitor. Untuk

mencegah stress

ulcer.

Kegunaan pada Tn. HR:

Mencegah stress ulcer.

KI: penderita yang hipersensitif

terhadap omeprazole.

Menghambat

sekresi asam

lambung dengan

cara berikatan pada

pompa H+/K

+

ATPase dan

mengaktifkannya

sehingga terjadi

pertukaran ion

kalium dan ion

hidrogen dalam

lumen sel.

Gangguan

lambung-usus,

nyeri kepala, nyeri

otot dan sendi,

vertigo, gatal-gatal

dan rasa kantuk

atau sukar tidur.

Eliminasi dari zat-

zat yang juga

dirombak oleh

sistem oksidatif

sitokrom P-450

dapat dihambat,

a.l. diazepam dan

fenitoin.

Bioavailabilitas 40-

65%

pKa 4

t1/2 0,5-1,5 jam

t max 1-3,5 jam

Masa kerja 24 jam

Dalam hati dirombak

seluruhnya menjadi

metabolit inaktif yang

diekskresi dengan

kemih 80%. Terurai

dalam suasana asam

sehingga perlu enteric

coated.

Dosis: 20-40

mg 1 kali

sehari

Bentuk

sediaan: kapsul

Rute: per oral

Cara

pemakaian: 30

menit sebelum

makan

Monitor efek

hipoklorhidria dan

hipergastrinemia

Page 45: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

42

Pada hari ke-7 MRS (7 Okt 2012) kondisi pasien membaik. Data klinik,

laboratorium, dan terapi sebagai berikut:

Data klinik

TD 110/70 mmHg -- normal Nadi 76 bpm -- normal

Temp 36.5 0C -- normal RR 24 bpm -- tinggi

GCS 456 -- sepenuhnya sadar

Data lab

Hemoglobin 9.2 g/dL – rendah

Albumin 2.6 g/dL – rendah

Natrium 138 mmol/L -- normal

Kalium 4.2 mmol/L – normal

Leukosit 10.800/mm3 – tinggi

Hematokrit 23.8% -- rendah

Trombosit 150.000/L -- normal

Terapi

Antasida PO 3 x CI Laktulosa PO 3 x CII

Omeprazol PO 1 x 20 mg Furosemid PO 2 x 40 mg

Spirinolakton PO 1 x 100 mg Propanolol PO 3 x 10 mg

Page 46: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

43

Aspek Obat

Obat Klasifikasi Kegunaan pada Tn.

HR dan KI

Mekanisme Kerja Efek Samping Interaksi Obat Aspek Biofar &

Farkin

Sediaan Monitoring Terapi

Obat

Antasida Obat lokal

saluran

cerna

Kegunaan pada Tn.

HR :

Agar tidak

memperburuk kondisi

ulkus yang terbentuk

akibat bleeding.

KI: pasien dengan

kelainan ginjal

Peningkatan pH

yang mengakibatkan

berkurangnya kerja

proteolitis dari

pepsin. Pada pH 4

aktivitas pepsin

menjadi minimal.

Sindroma susu

alkali; batu ginjal,

osteomalasia, dan

osteoporosis;

neurotoksisitas;

saluran cerna;

asupan natrium;

interaksi dengan

obat lain

Antasid yang

mengandung kalsium

dan magnesium

mengurangi absorbsi

tetrasiklin dan

fluoroquinolon.

Bentuk sediaan:

tablet kunyah

Rute: per oral

Cara pemberian: 1

dan 3 jam setelah

makan dan

menjelang tidur

untuk efek

maksimal.

Laktulosa Pencahar

osmotik

Kegunaan pada Tn.

HR :

Mengatasi HE

KI: galaktosemia,

sumbatan usus.

Mengasamkan

kolon sehingga

amonia diubah

menjadi ion

ammonium yang

dapat diekskresikan

melalui feces.

Perut kembung

dan banyak gas,

terutama selama

hari-hari pertama.

Pada overdosis

terjadi nyeri perut

dan diare.

Tak boleh digunakan

bersama laksatif lain

pada pengobatan HE

(menyebabkan

ketidakmampuan

menentukan dosis

laktulosa optimal),

antiinfeksi dapat

menghilangkan

efektivitasnya pada

HE, antasid dapat

Kurang dari 3%

diabsorbsi setelah

pemberian oral.

Laktulosa yang

diabsorbsi diekskresi

tanpa dirubah di

dalam urin.

Laktulosa yang tidak

diabsorbsi

dimetabolisme oleh

bakteri kolonik

Dosis: pada episodic

HE, dosis 45 mL

tiap jam hingga

pencucian perut

dimulai. Lalu dosis

diturunkan menjadi

15-45 mL tiap 8-12

jam dan titrasi untuk

memproduksi 2-3

feses halus dengan

pH asam per hari.

Monitor elektrolit

secara periodik,

perubahan status

mental pasien

Page 47: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

44

menurunkan efek

laktulosa pada pH

kolon.

menjadi asam

format, laktat dan

asetat.

Bentuk sediaan:

sirup

Rute: per oral dan

rektal

Cara pemakaian:

diminum bersama

sari buah atau air

dalam jumlah cukup

banyak

Target: produksi 2-3

feses halus dengan

pH asam per hari.

Omeprazol Proton

Pump

Inhibitor

Kegunaan pada Tn.

HR :

Agar tidak

memperburuk kondisi

ulkus yang terbentuk

akibat bleeding.

KI: penderita yang

hipersensitif terhadap

omeprazole.

Menghambat sekresi

asam lambung

dengan cara

berikatan pada

pompa H+/K

+

ATPase dan

mengaktifkannya

sehingga terjadi

pertukaran ion

kalium dan ion

hidrogen dalam

lumen sel.

Gangguan

lambung-usus,

nyeri kepala, nyeri

otot dan sendi,

vertigo, gatal-

gatal dan rasa

kantuk atau sukar

tidur.

Menurunkan

metabolisme fenitoin,

diazepam, dan

warfarin; menurunkan

absorbsi ketokonazol.

Bioavailabilitas 40-

65%

pKa 4

t1/2 0,5-1,5 jam

t max 1-3,5 jam

Masa kerja 24 jam

Dalam hati dirombak

seluruhnya menjadi

metabolit inaktif

yang diekskresi

dengan kemih 80%.

Terurai dalam

Dosis: 20-40 mg 1

kali sehari

Bentuk sediaan:

kapsul

Rute: per oral

Cara pemakaian:

sebelum makan,

lebih baik di pagi

hari. Kapsul harus

ditelan utuh.

Monitor efek

hipoklorhidria dan

hipergastrinemia

Page 48: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

45

suasana asam

sehingga perlu

enteric coated.

Furosemid Diuretik

loop,

diuretik

kuat

Kegunaan pada Tn.

HR :

Mengatasi ascites

KI: anuria,

kekurangan elektrolit,

gangguan ginjal dan

hati.

Menghalangi

transpor Cl- dan

reabsorbsi Na+, serta

memperbanyak

pengeluaran K+ dan

air.

Pada injeksi IV

terlalu cepat ada

kalanya tetapi

jarang terjadi

ketulian

(reversibel) dan

hipotensi. Dapat

terjadi pula

hipokalemia.

Hipotensi akan

bertambah pada

penggunaan bersama

antihipertensi lain atau

nitrat. Hipokalemia

akan bertambah bila

digunakan bersama

diuretik, mezlosilin,

piperasilin,

amfoterisin B dan

glukokortikoid.

Hipokalemia dapat

meningkatkan

toksisitas glikosida

jantung. Menurunkan

ekskresi litium, dapat

menyebabkan

toksisitas.

Meningkatkan resiko

ototoksisitas bila

digunakan bersama

Mula kerja oral 0,5-1

jam dan bertahan 4-6

jam sedangkan mula

kerja IV beberapa

menit dan 2,5 jam

lamanya. Resorpsi

dari usus hanya

50%. t1/2 30-60

menit.

Ekskresi melalui

kemih secara utuh,

pada dosis tinggi

juga lewat empedu.

Dosis: mulai 40 mg,

titrasi hingga

penurunan berat

badan 1 kg per hari,

kadang dosis sangat

tinggi (200-600

mg/hari) diperlukan

Bentuk sediaan:

tablet

Rute: per oral dan

IV

Cara pemakaian:

pada pagi hari

setelah makan

Target: penurunan

berat badan 1 kg per

hari

Berat badan, status

mental, K+ serum,

lingkar perut, BUN,

ginekomasti,

tekanan darah

Page 49: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

46

aminoglikosida. Dapat

meningkatkan

efektivitas

antikoagulan oral.

Spironolakton Diuretik

distal,

antagonis

aldosteron,

diuretik

hemat

kalium.

Kegunaan pada Tn.

HR :

Untuk mengatasi

asites. Furosemid

dikombinasikan

dengan spironolakton

untuk mengatasi

hiperaldosteron akibat

aktivasi RAAS.

KI: insufisiensi ginjal

akut, kerusakan

ginjal, anuria,

hiperkalemia

Antagonis

aldosteron,

menyebabkan

ekskresi Na+

(kurang dari 5%)

dan retensi K+

Pada penggunaan

lama dan dosis

tinggi efeknya

antiandrogen

dengan

ginekomasti,

gangguan potensi

dan libido pada

pria, nyeri buah

dada dan

gangguan haid

pada wanita.

Mula kerja setelah 2-

3 hari dan bertahan

sampai beberapa hari

setelah pengobatan

dihentikan.

Resorpsi dari usus

tidak lengkap dan

diperbesar oleh

makanan. Dalam hati

dirombak menjadi

metabolit aktif

kanrenon yang

diekskresikan

melalui kenih dan

tinja.

Plasma t1/2 sampai 2

jam, kanrenon 20

jam.

Dosis: 200-400

mg/hari, kadang

lebih tinggi. Dapat

diberikan sebagai

single daily dose.

Bentuk sediaan:

tablet

Rute: per oral

Cara pemakaian:

saat makan

Target: penurunan

berat badan 1 kg per

hari

Berat badan, status

mental, K+ serum,

Na+ dan K

+ urin

(Na+ tidak boleh

melebihi K+ pada

dosis terapeutik),

lingkar perut, BUN,

ginekomasti,

tekanan darah

Propanolol Non-

selective

Indikasi: Mencegah

rebleeding / sebagai

Menghambat

reseptor -

Bradikardi, gagal

jantung, gangguan

Fenitoin,

isoproterenol, NSAID,

Bioavailabilitas oral

25-30%

Dosis: 40-320

mg/hari dititrasi

Tanda-tanda

pendarahan GI,

Page 50: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

47

-

adrenergic

blocker

secondary

prophylaxis.

KI: asma atau riwayat

penyakit paru

obstruktif, gagal

jantung yang tak

terkendali, bradikardi

nyata, sindrom

penyakit sinus, blok

AV derajat 2 dan 3,

syok kardiogenik

adrenergic yang

bekerja sebagai

vasodilator sehingga

cardiac output dan

aliran arteri

mesenterika

menurun. Akibatnya

tekanan vena portal

menurun.

konduksi,

bronkospasme,

vasokonstriksi

perifer, gangguan

saluran cerna,

fatigue, gangguan

tidur, jarang ruam

kulit dan mata

kering (reversibel

bila obat

dihentikan),

eksaserbasi

psoriasis.

barbiturat dan santin

(kafein, teofilin)

mengurangi efek

propanolol.

t1/2 eliminasi 3-5

jam

Ikatan protein

plasma 90%

Larut lemak dam

mengalami FPE

ekstensif di hati

sehingga obat utuh

yang diekskresi

melalui ginjal sangat

sedikit (<10%).

hingga penurunan

25% pada denyut

nadi istirahat bila

ditoleransi.

Bentuk sediaan:

tablet

Rute: per oral

Cara pemakaian:

diminum setelah

makan

perubahan mental,

tanda vital: denyut

>60, tekanan darah

>100/70

Tanda-tanda gagal

jantung kongestif,

bradikardi

Tanda-tanda

bronkospasme

Fungsi renal

Page 51: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

48

SKENARIO KONSELING PASIEN

Di Rumah sakit...........................

Pr : Selamat pagi ibu, bagaimana keadaannya hari ini?

Ny. HR : Alhamdulillah sudah baikan sus.

Pr : Alhamdulillah ya sudah boleh pulang hari ini, bisa ketemu cucu di rumah ya

bu...

Ny. HR : Iya...:)

Pr : Ini ada beberapa obat yang masih harus dikonsumsi setelah keluar dari rumah

sakit dan data administrasi Ny. HR (dikasi ke PMO). Ini mohon dibawa

sebentar sebentar lagi bu Apoteker akan kesini untuk menjelaskan. Semoga

cepet sembuh ya bu...jangan kembali kesini lagi ya....

Apoteker datang..............

Apt. : Pagi ibu,,sudah keliatan segar ya...tadi sudah menerima obat dari suster?

PMO : Sudah

Apt. : Boleh saya lihat (PMO kasi obat ke Apt.).

PMO : Ini bu....

Apt. : Baik saya jelaskan tentang masing” obat.

Yang antasida dan omeprazole ini (sambil nunjuk) untuk lambungnya. Yang

antasida diminum 3 kali sehari 1 sendok makan sebelum sarapan, makan

siang dan makan malam. Kemudian yang Omeprazole diminum 1 kali sehari

1 tablet sebelum sarapan.

Yang ini laktulosa untuk obat mengatasi penurunan konsentrasinya. Diminum

3 kali sehari 2 sendok makan sebelum makan.

Yang ini Furosemide untuk mengurangi bengkak di perutnya. Diminum 2 kali

sehari 1 tablet setelah sarapan dan makan malam.

Yang ini Spironolakton, sama untuk mengurangi bengkak di perutnya.

Diminum 1 kali sehari 1 tablet setelah makan malam.

Yang ini Propranolol untuk mencegah terjadinya kembali berak darah.

Diminum 3 kali sehari 1 tablet sebelum makan.

O iya bu, jangan sampai terlewat waktu minum obatnya ya. Untuk PMO nya

tolong diingatkan terus ya Ny. HR untuk ketepatan waktu minum obatnya.

Page 52: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

49

Selain itu, selama konsumsi obat tolong dijaga pola makannya, mohon

dikurangi konsumsi daging”an, telur, tempe, tahu, kacang”an, pisang, yang

asin-asin. Makan boleh tapi jangan setiap hari.

Apt. : Ada yang belum jelas? Apa ada yang masih ingin ditanyakan. Kalo tidak ada,

mohon diulangi. Sambil ingat-ingat ya....

@obat : Yang ini untuk apa? Minumnya berapa kali dan berapa banyak,

kapan minumnya.

PMO : bla...bla....sesuai kata ibu apoteker. (improvisasi tergantung inget apa

enggak).

--@@--

Di Apotek.........................

2 orang kerabat Ny. HR datang ke apotek membawa resep. Resep diterima oleh AA.

AA1 : Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?

Krbt : Ini bu, mau menebus resep. (R/ dikasi ke AA)

AA1 : Sebentar. AA1 mencatat nama, usia, alamat (Memanggil AA2, dan

menghitung jumlsh resepnya) Tolong disiapkan ya obatnya.

AA2 : Baik bu....

AA1 : Ini totalnya Rp 500.00. Silahkan bayar di kasir ya bu. Lalu duduk di kursi

sebelah sana. Saya panggilkan apotekernya.

Krbt : Baik

Apoteker datang dilakukan History taking.

Apt. : Selamat siang ibu....(sambil bawa form)

Yang sakit siapa ini ibu?

Krbt 1 : Yang sakit nggak ikut bu....

Apt. : O baik,,brarti Ny. HR tidak ikut ya.... Kemarin kata dokter sakitnya apa?

Krbt 1 : Kemarin kata dokter dibilang sakitnya sirosis, ascites, dan satunya saya lupa

bu

Apt. : Oooh begitu, sakitnya sudah berapa lama ?

Krbt 1 : Sudah satu tahunan mungkin bu

Apt. : Sebelumnya pernah sakit apa ?

Page 53: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

50

Krbt 2 : Saudara saya pernah sakit hepatitis kalau tidak salah tahun 2009

Apt. : Waktu itu dapat obat apa aja ?

Krbt 2 : Saya nggak tahu bu dapat obat apa saja, soalnya yang dari rumah sakit

obatnya banyak. Tapi saya bawa bu surat” administrasi dari rumah sakit. Apa

bisa membantu ? Ini bu.. (ngasih kertas”)

Apt. : Ooh iya bu, itu saja nggak papa. Saya periksa dulu yaaa..

AA2 masuk ke ruang konsultasi

AA2 : Ini bu obat-obatnya sudah saya siapkan (ngasih obat ke apoteker, habis ngasih

)

Apt. : Iya terima kasih

Apt. : Baik bu ini akan saya jelaskan tentang obat yang diterima oleh Ny HR

Yang ini Propranolol untuk mencegah terjadinya kembali berak darah.

Diminum 3 kali sehari 1 tablet sebelum sarapan, makan siang, dan makan

malam.

Yang ini Spironolakton, sama untuk mengurangi bengkak di perutnya.

Diminum 1 kali sehari 1 tablet setelah makan malam.

Yang ini laktulosa untuk obat mengatasi penurunan konsentrasinya. Diminum

3 kali sehari 1 sendok makan sebelum makan.

Yang ini ranitidin untuk lambungnya diminum 2 kali sehari 1 tablet, 1 jam

sebelum sarapan dan makan malam.

O iya bu, jangan sampai terlewat waktu minum obatnya ya. Untuk PMO nya

tolong diingatkan terus ya Ny. HR untuk ketepatan waktu minum obatnya.

Selain itu, selama konsumsi obat tolong dijaga pola makannya, mohon

dikurangi konsumsi daging”an, telur, tempe, tahu, kacang”an, pisang, yang

asin-asin. Makan boleh tapi jangan setiap hari.

Apt. : Ada yang belum jelas? Apa ada yang masih ingin ditanyakan?

Krbt 1 : Nggak ada bu

Apt. : Kalo tidak ada, mohon diulangi. Sambil ingat-ingat ya....

@obat : Yang ini untuk apa? Minumnya berapa kali dan berapa banyak,

kapan minumnya.

Krbt : bla...bla....sesuai kata ibu apoteker. (improvisasi tergantung inget apa

enggak).

Apt. : Kalau begitu terima kasih

Page 54: Farmakoterapi - Sirosis Hepatik

51

DAFTAR PUSTAKA

Arroyo, V, et. al., 2000. Complication of cirrhosis. II. Renal and circulatory

dysfunction. Lights and shadows in an important clinical problem. Journal of

Hepatology, 32 (suppl. 1), page 157-170.

Bosch, Jaime, et. al., 2000. Complications of cirrhosis. I. Portal hypertension. Journal

of Hepatology, 32 (suppl. 1), page 141-156.

Butterworth, F. Roger, et. al., 2000. Complications of cirrhosis. III. Hepatic

encephalopathy. Journal of Hepatology, 32 (suppl. 1), page 171-180.

Chernecky, C. C., et al. 2008. Laboratory Tests and Diagnostic Procedures 5th edition.

Saunders-Elsevier.

Deglin, J. Hopfer, et al. 2005. Pedoman Obat untuk Perawat Edisi 4. Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

Dipiro, T. Joseph, et. al., 2011. Pharmacotherapy, A Pathophysiologic Approach 8th

Edition. New York : The McGraw-Hill Company. Section 4 Chapter 44.

Gines, Pere, et. al., June 1997. Ascites and Renal Functional Abnormalities in Cirrhosis,

Pathogenesis and Treatment. Bailliere’s Clinical Gastroenterology Volume 11 No

2, page 365-385.

Gunawan, Sulistia G., et al. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta:

Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.

Rahardjo, R., 2004. Kumpulan Kuliah Farmakologi Ed.2. Jakarta: EGC

Schull, Patricia Dwyer. 2009. McGraw-Hill’s I.V. Drug Handbook. USA : McGraw Hill

Companies.

Sweetman, Sean C., 2009. Martindale The Complete Drug Reference. London :

Pharmaceutical Press. Anderson, Philip O. 2002. Handbook of Clinical Drug Data

10th

Edition. USA : McGraw Hill Companies.

Tjay, T. Hoan, et al. 2007. Obat-Obat Penting Edisi Keenam. Jakarta: PT Elex Media

Komputindo.

Wilson, D. D., 2008. Manual Laboratory and Diagnostics Tests. New york : The

McGraw-Hill companies.