Top Banner
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah menjadi sesuatu yang disakralkan pasca Reformasi 1998, banyaknya perdebatan seputar otonomi daerah sebagai manifestasi dari desentralisasi kekuasaan pemerintahan mendorong Pemerintah untuk secara sungguh‐sungguh merealisasikan konsep otonomi daerah secara jujur, penuh kerelaan dan konsekuen mengingat wacana dan konsep otonomi daerah memiliki sejarah yang sangat panjang seiring berdirinya Republik ini. Menurut aspek yuridis formal, sejak pertama kali muncul dalam UU No. 1 tahun 1945 sampai dengan UU No. 5 tahun 1974, semangat otonomi daerah sudah kelihatan dan menjadi dasar hukum pelaksanaan pemerintahan di daerah. Hanya saja semangat para penyelenggara pemerintahan masih jauh dari idealisme konsep otonomi daerah itu sendiri. Bahasa yang digunakan juga belum seringkas dan selugas otonomi daerah, masih seputar bagaimana mengatur urusan rumah tangga (Marbun, 2005:45). Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik yang terdiri dari provinsi-provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan daerah otonom dan memiliki hak otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Hak otonomi bukan berarti untuk memecah daerah-daerah yang ada di Indonesia melainkan untuk lebih memajukan daerah dengan melibatkan peran aktif masyarakat daerah, peran aktif masyarakat di daerah dapat
42

OTONOMI DAERAH 1

Jan 18, 2016

Download

Documents

lannyoctarisya
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: OTONOMI DAERAH 1

BAB 1

PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang Masalah

Otonomi daerah menjadi sesuatu yang disakralkan pasca Reformasi 1998, banyaknya

perdebatan seputar otonomi daerah sebagai manifestasi dari desentralisasi kekuasaan

pemerintahan mendorong Pemerintah untuk secara sungguh‐sungguh merealisasikan konsep

otonomi daerah secara jujur, penuh kerelaan dan konsekuen mengingat wacana dan konsep

otonomi daerah memiliki sejarah yang sangat panjang seiring berdirinya Republik ini.

Menurut aspek yuridis formal, sejak pertama kali muncul dalam UU No. 1 tahun 1945 sampai

dengan UU No. 5 tahun 1974, semangat otonomi daerah sudah kelihatan dan menjadi dasar

hukum pelaksanaan pemerintahan di daerah. Hanya saja semangat para penyelenggara

pemerintahan masih jauh dari idealisme konsep otonomi daerah itu sendiri. Bahasa yang

digunakan juga belum seringkas dan selugas otonomi daerah, masih seputar bagaimana

mengatur urusan rumah tangga (Marbun, 2005:45).

Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik yang terdiri dari

provinsi-provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan daerah otonom dan memiliki hak

otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah. Hak otonomi bukan berarti untuk memecah daerah-daerah yang ada di

Indonesia melainkan untuk lebih memajukan daerah dengan melibatkan peran aktif

masyarakat daerah, peran aktif masyarakat di daerah dapat dilakukan dengan cara pemberian

otonomi tersebut. Otonomi daerah merupakan salah satu kebijakan pengembangan wilayah

yang mencoba merubah sistem sentralistik menjadi desentralistik. Melalui kebijakan ini,

diharapkan dapat mempercepat proses pembangunan pada tingkat lokal, memberi ruang

gerak pada bidang politik, pengelolaan keuangan daerah dan efisiensi pemanfaatan sumber

daya daerah untuk kepentingan masyarakat lokal, sehingga muncul formulasi dan model

pembangunan daerah yang efisien dan terdesentralisasi.

Sejak tahun 1945 sampai era Orde Baru, pemerintahan bersifat sentral dan di era

Reformasi ini diganti dengan asas desentralisasi atau otonomi yang pertama kali diturunkan

berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan  UU No. 25 Tahun

1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian

dilanjutkan dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33

Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Pemerintah pusat memberikan keleluasaan kepada masyarakatnya untuk mengelola dan

Page 2: OTONOMI DAERAH 1

memanajemen potensi yang dimiliki masing-masing daerah yang diwadahi oleh pemerintah

daerah. Bagian Penjelasan Umum Undang-undang No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa:

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan Pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Hal tersebut telah jelas bahwa pemberian otonomi kepada daerah pada intinya adalah

untuk memberikan keleluasaan daerah dalam menyelenggarakan urusan Pemerintahan yang

tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah demi terciptanya peningkatan pelayanan dan

kesejahteraan masyarakat, pegembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan

serta keserasian hubungan antara pusat dan daerah sesuai dengan prakarsa dan aspirasi

masyarakat di daerah. Sungguhpun demikian, selama kurun waktu hampir satu dasa warsa

pelaksanaan otonomi daerah pasca Reformasi 1998, masih saja ditemui kesenjangan posisi,

kewenangan dan tanggung jawab serta implementasi dari regulasi‐regulasi yang telah

ditetapkan.

Dalam perkembangannya, konsepsi mengenai otonomi daerah yang pada dasarnya

merupakan sistem Pemerintahan desentralisasi atau tidak dari pusat sering terjadi

kesalahpahaman dalam menjalankannya. Apakah hal tersebut dikarenakan masih minimnya

pengetahuan mengenai konsep desentralisasi, atau mungkin karena kurang siapnya baik itu

masyarakat atau pemimpin daerah dalam menjalankan proses otonomi daerah. Berangkat dari

kenyataan‐kenyataan tersebut, tulisan ini berusaha untuk menelaah kembali makna otonomi

daerah, baik sebagai sebuah konsep maupun sebagai sebuah sistem yang dilaksanakan

berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. Hal inilah yang menjadi ketertarikan penulis

untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut, dengan mengangkat judul “Otonomi

Daerah di Indonesia Pada Masa Reformasi”.

B.                Rumusan dan Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, terdapat beberapa

permasalahan yang akan menjadi kajian dalam penulisan makalah ini. Adapun yang menjadi

pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah “Bagaimana Pelaksanaan Otonomi Daerah

pada Masa Reformasi?”. Untuk memudahkan dan mengarahkan dalam pembahasan, penulis

mengidentifikasi beberapa permasalahan dalam beberapa bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1.        Bagaimana latar belakang munculnya Otonomi Daerah?

Page 3: OTONOMI DAERAH 1

2.        Bagaimana implikasi kebijakan otonomi daerah di bidang politik, ekonomi dan pendidikan

pada masa Reformasi?

3.        Bagaimana permasalahan dan upaya mengatasi masalah yang terjadi dalam otonomi daerah

pada masa Reformasi?

C.                Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penulisan makalah ini

memiliki tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun yang menjadi tujuan umumnya yaitu

bermaksud untuk memperoleh informasi mengenai pelaksanaan otonomi daerah pada masa

Reformasi. Sedangkan tujuan khusus dari makalah ini adalah sebagai berikut :

1.        Untuk mengetahui latar belakang munculnya Otonomi Daerah.

2.        Untuk mengidentifikasi implikasi kebijakan otonomi daerah di bidang politik, ekonomi dan

pendidikan pada masa Reformasi.

3.        Untuk menganalisis permasalahan dan upaya mengatasi masalah yang terjadi dalam otonomi

daerah pada masa Reformasi.

D.                Manfaat Penulisan

Dengan adanya penulisan karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan

manfaat, baik bagi penulis maupun yang membacanya. Bagi penulis sendiri sebagai sarana

untuk memperluas ilmu, wawasan serta pengalaman dalam melakukan suatu penulisan.

Selain itu juga dapat digunakan sebagai landasan awal untuk penulisan selanjutnya. Bagi

pembaca dapat memberikan informasi mengenai otonomi daerah yang terjadi di indonesia

baik dalam bidang politik, ekonomi maupun pendidikan pada masa era Reformasi. Bagi

Jurusan Pendidikan Sejarah, dapat memperkaya referensi tentang penulisan sejarah. Dan

lebih luasnya bagi Universitas Pendidikan Indonesia, sebagai pelengkap dalam memperkaya

khasanah keilmuan dan melengkapi kepustakaan karya tulis ilmiah.

E.                Metode dan Teknik Penulisan

Metode yang digunakan adalah metode historis. Metode sejarah menurut Gottschalk

(1985: 32) adalah proses kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Metodologi sejarah

merupakan suatu keseluruhan metode-metode, prosedur, konsep kerja, aturan-aturan dan

teknik yang sistematis yang digunakan oleh para penulis sejarah atau sejarawan dalam

mengungkapkan peristiwa sejarah. Dalam metodologi penelitian sejarah, terdapat beberapa

tahapan diantaranya: pertama, heuristik yaitu merupakan tahap awal dalam penulisan sejarah

seperti mencari, menemukan dan mengumpulkan fakta-fakta atau sumber-sumber. Kedua,

Page 4: OTONOMI DAERAH 1

kritik yaitu suatu proses menyelidiki serta menilai secara kritis terhadap sumber data yang

diperoleh, penilaian terhadap sumber-sumber itu meliputi dua aspek yakni kritik intern dan

kritik ekstern. Ketiga, interpretasi yaitu penafsiran terhadap fakta-fakta sejarah aufassung.

Tahap keempat, historiografi yaitu pelukisan sejarah, gambaran sejarah tentang peristiwa

yang terjadi pada masa lampau yang disusun berdasarkan hasil penelitian dan disusun

menjadi satu kesatuan yang utuh.

Adapun teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah

dengan studi kepustakaan, sebagai langkah awal penulis mengumpulkan sumber-sumber yang

sesuai dengan fokus kajian penelitian yang diperoleh dari berbagai sumber atau literatur. Baik

dari buku, internet, dan berbagai sumber lainnya yang relevan dengan topik kajian yang

dibahas, sehingga diharapkan bisa memperkaya isi dari karya ilmiah ini. Setelah itu penulis

menganalisis setiap sumber yang diperoleh dengan membandingkan antara sumber yang satu

dengan sumber yang lain, sehingga diperoleh data-data yang penulis anggap otentik,

kemudian data-data tersebut penulis paparkan dalam bentuk karangan deskriptif-naratif

berupa penulisan makalah ini.

F.                 Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan, pada bab ini penulis berusaha untuk memaparkan dan

menjelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah yang terbagi menjadi

beberapa permasalahan dan pembatasan masalah guna memfokuskan kajian penulisan sesuai

dengan permasalahan utama, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode dan tekhnik

penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Kepustakaan, disini akan dijabarkan mengenai konsep-konsep atau

teori-teori yang terdapat dalam permasalahan yang dikaji, yang berisi mengenai suatu

pengarahan dan penjelasan mengenai topik permasalahan yang penulis angkat dengan

mengacu pada suatu tinjauan pustaka melalui suatu metode studi kepustakaan, sehingga dapat

memperjelas isi pembahasan yang penulis uraikan berdasarkan data-data temuan yang

didapatkan.

Bab III Pembahasan/Isi, yaitu membahas mengenai bab hasil penulisan tentang

“Otonomi Daerah Pada Masa Reformasi Di Indonesia”. Pembahasan bab ini dikembangkan

menjadi beberapa sub pokok bahasan, yaitu pertama, mengenai latar belakang otonomi

daerah. Kedua, mengenai implikasi kebijakan otonomi daerah dalam bidang politik, ekonomi

dan pendidikan. Ketiga, mengenai permasalahan yang timbul dalam otonomi daerah dan cara

penyelesaiannya.

Page 5: OTONOMI DAERAH 1

Bab IV Penutup, berisi mengenai kesimpulan dari pembahasan pada bab isi dan hasil

analisis yang penulis lakukan merupakan kesimpulan secara menyeluruh yang

menggambarkan mengenai Otonomi Daerah Pada Masa Reformasi Di Indonesia, sesuai

dengan rumusan masalah yang penulis ajukan dalam penulisan karya ilmiah ini.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.                HAKIKAT OTONOMI DAERAH

Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, autos yang berarti sendiri dan

nomous yang berarti hukum atau peraturan. Dengan demikian, otonomi pada dasarnya

memuat makna kebebasan dan kemandirian. Otonomi daerah berarti kebebasan dan

kemandirian daerah dalam menentukan langkah-langkah sendiri (Widarta, 2001:2).

Sarundajang (1999:35) menyatakan bahwa otonomi daerah pada hakekatnya adalah:

1.      Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom. Hak tersebut bersumber dari

wewenang pangkal dan urusan-urusan Pemerintah (pusat) yang diserahkan kepada daerah.

Istilah sendiri dalam hak mengatur dan mengurus rumah tangga merupakan inti keotonomian

suatu daerah;

2.      Dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri, daerah

tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya itu diluar batas-batas wilayah

daerahnya;

3.      Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain

sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan yang diserahkan kepadanya;

4.      Otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur dan mengurus rumah tangga

sendiri tidak merupakan hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain.

Dalam menyelenggarakan Pemerintahannnya dianut tiga asas yaitu:

1.      Desentralisasi adalah penyerahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

2.      Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah kepada

Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.

3.      Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari

Pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari Pemerintah

kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu

Page 6: OTONOMI DAERAH 1

menurut Muslimin bahwa otonomi diartikan sebagai Pemerintahan sendiri. Sedangkan

pengertian otonomi daerah menurut Fernandez adalah pemberian hak, wewenang, dan

kewajiban kepada daerah yang memungkinkan daerah tersebut dapat mengatur dan mengurus

rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan

Pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan

(Salam, 2004:89).

Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan daerah otonom selanjutnya disebut

daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

berwenang mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

B.                 ASAS-ASAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

Dalam pelaksanaan otonomi, dikenal tiga bentuk asas dalam penyelenggaraan

Pemerintahan daerah yakni :

1.         Asas Desentralisasi

a.)    Menurut Rondinelli, desentralisasi merupakan sebagai transfer tanggng jawab dalam

perencanaan, manajemen dan alokasi sumber-sumber dari Pemerintah pusat dan agen-

agennya kepada unit kementerian Pemerintah pusat, unit yang ada di bawah level Pemerintah,

otoritas atau korporasi publik semi otonom, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah

yang luas, atau lembaga privat non Pemerintah dan organisasi nirlaba (Rosyada, 2005:150).

b.)    Menurut M. Turner dan D. Hulme berpandangan bahwa yang dimaksud dengan

desentralisasi adalah transfer kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan

kepada publik dari seseorang atau agen Pemerintah pustaa kepada beberapa individu atau

agen lain yang lebih dekat ke publik yang dilayani (Rosyada, 2005:151).

Dari pemaknaan asas desentralisasi tersebut dapat diklasifikasi dalam beberapa hal,

diantaranya: (1) desentralisasi sebagai penyerahan kewenangan dan kekuasaan; (2)

desentralisasi sebagai pelimpahan kekuasaan dan kewenangan; (3) desentralisasi sebagai

pembagian, penyebaran, pemencaran, dan pemberian kekuasaan dan kewenangan; serta (4)

desentralisasi sebagai sarana dalam pembagian dan pembentukan daerah Pemerintahan.

Page 7: OTONOMI DAERAH 1

2.                  Asas Dekonsentrasi

Menurut Laica Marzuki, dekonsentrasi merupakan ambtelijke decentralisastie atau

delegatie van bevoegdheid, yakni pelimpahan kewenangan dari alat perlengkapan Negara di

pusat kepada instansi bawahan, guna melaksanakan pekerjaan tertentu dalam

penyelenggaraan Pemerintahan. Pemerintah pusat tidak kehilangan kewenangannya karena

instansi bawahan melaksanakan tugas atas nama Pemerintah pusat.

Sedangkan menurut Bagir Manan, dekonsentrasi hanya bersangkutan dengan

penyelenggaraan administrasi negara, karena itu bersifat kepegawaian (ambtelijk). Kehadiran

dekonsentarsi semata-mata untuk ”melancarkan” penyelenggaraan Pemerintahan sentral di

daerah. Penerapan asas dekonsentrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan mendapat

legitimasi yang kuat, mengingat keberadaannya telah diatur di dalam Pasal 1 ayat (8)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berbunyi

“Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada

Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayahnya. (UU

No. 32 Tahun 2004, ps 1 ayat 8).

3.                  Asas Tugas Pembantuan

Daerah otonom selain melaksanakan asas desentralisasi juga dapat diserahi

kewenangan untuk melaksanakan tugas pembantuan (medebewind). Tugas pembantuan

dalam Pemerintahan daerah adalah tugas untuk ikut melaksanakan peraturan perundang-

undangan bukan saja yang ditetapkan oleh Pemerintah pusat akan tetapi juga yang ditetapkan

oleh Pemerintah daerah tingkat atasnya.

Menurut Irawan Soejito (1981: 117), tugas pembantuan itu dapat berupa tindakan

mengatur (tugas legislatif) atau dapat pula berupa tugas eksekutif (beschikken). Daerah yang

mendapat tugas pembantuan diwajibkan untuk mempertanggung jawabkan kepada yang

menugaskan. Amrah Muslim menafsirkan tugas pembantuan (medebewind) adalah

kewenangan Pemerintah daerah menjalankan sendiri aturan-aturan dari Pemerintah pusat atau

Pemerintah daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Daerah terikat melaksanakan peraturan

perundang-undangan termasuk yang diperintahkan atau diminta (vorderen) dalam rangka

tugas pembantuan. Tugas pembantuan dalam hal-hal tertentu dapat dijadikan semacam

Page 8: OTONOMI DAERAH 1

“terminal” menuju penyerahan penuh suatu urusan kepada daerah atau tugas pembantuan

merupakan tahap awal sebagai persiapan menuju kepada penyerahan penuh.

C.                LANDASAN OTONOMI DAERAH

Dari sisi sejarah perkembangan penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah telah

dihadirkan berbagai Peraturan Perundangan yang mengatur penyelengaraan mengenai

Pemerintahan Daerah antara lain:

1.         UU No. 1 tahun 1945. Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada

dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan Pemerintahan Pusat.

2.         UU No. 22 tahun 1948. Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan

pada desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya

peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat Pemerintah pusat.

3.         UU No. 1 tahun 1957. Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di

mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat Pemerintah

pusat.

4.         Penetapan Presiden No.6 tahun 1959. Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih

menekankan dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh Pemerintah

pusat terutama dari kalangan pamong praja.

5.         UU No. 18 tahun 1965. Kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi

dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi

diterapkan hanya sebagai pelengkap saja.

6.         UU No. 5 tahun 1974. Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman

dalam pengaturan penyelenggaraan Pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya

UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan.

7.         UU No. 22 tahun 1999. Pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan

Pemerintahan dan pembangunan dengan mengedepankan otonomi luas, nyata dan

bertanggung jawab.

Seiring dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945,

kebijakan tentang Pemerintahan Daerah mengalami perubahan yang cukup mendasar.

Perubahan dilatarbelakangi oleh kehendak untuk menampung semangat otonomi daerah

dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat daerah. Otonomi daerah memberi

keleluasaan kepada daerah mengurus urusan rumah tangganya sendiri secara demokratis dan

bertanggung jawab dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada masa reformasi

Page 9: OTONOMI DAERAH 1

diberlakukannya UU no. 22 dan 29 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Dengan berbagai

macam perubahan dan kebutuhan, UU tersebut akhirnya direvisi menjadi UU no. 32 dan 33

tahun 2004 Pemerintah daerah diberikan wewenang untuk mengatur segala urusan rumah

tangganya masing-masing. Tuntutan bagi Pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi

yang dimiliki dengan menjalankan roda Pemerintahan yang efektif dan efisien sesuai dengan

kemampuan masing-masing daerah.

BAB III

PARADIGMA BARU OTONOMI DAERAH DAN IMPLIKASINYA

A.                Latar Belakang Otonomi Daerah

Kebijakan otonomi daerah lahir ditengah gejolak tuntutan berbagai daerah terhadap

berbagai kewenangan yang selama 20 tahun Pemerintahan Orde Baru menjalankan mesin

sentralistiknya. UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian disusul

dengan UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa menjadi tiang utama tegaknya

sentralisasi kekuasaan Orde Baru. Semua mesin partisipasi dan prakarsa yang sebelumnya

tumbuh sebelum Orde Baru berkuasa, secara perlahan dilumpuhkan dibawah kontrol

kekuasaan. Stabilitas politik demi kelangsungan investasi ekonomi (pertumbuhan) menjadi

alasan pertama bagi Orde Baru untuk mematahkan setiap gerak prakarsa yang tumbuh dari

rakyat. Paling tidak ada dua faktor yang berperan kuat dalam mendorong lahirnya kebijakan

otonomi daerah berupa UU No. 22/1999. Pertama, faktor internal yang didorong oleh

berbagai protes atas kebijakan politik sentralisme di masa lalu. Kedua, adalah faktor eksternal

yang dipengaruhi oleh dorongan internasional terhadap kepentingan investasi terutama untuk

efisiensi dari biaya investasi yang tinggi sebagai akibat korupsi dan rantai birokrasi yang

panjang.

Selama lima tahun pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999, otonomi daerah telah menjadi

kebutuhan politik yang penting untuk memajukan kehidupan demokrasi. Bukan hanya

kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sangat heterogen dari segi perkembangan politiknya,

namun juga otonomi sudah menjadi alas bagi tumbuhnya dinamika politik yang diharapkan

akan mendorong lahirnya prakarsa dan keadilan. Walaupun ada upaya kritis bahwa otonomi

daerah tetap dipahami sebagai jalan lurus bagi eksploitasi dan investasi, namun sebagai upaya

membangun prakarsa ditengah-tengah surutnya kemauan baik (good will) penguasa, maka

otonomi daerah dapat menjadi jalan alternatif bagi tumbuhnya harapan bagi kemajuan daerah.

Page 10: OTONOMI DAERAH 1

Pada saat rakyat Indonesia disibukkan dengan pelaksanakan Pemilu 2004,

Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan

revisi terhadap UU No. 22 tahun 1999. Dilihat dari proses penyusunan revisi, paling tidak ada

dua cacat yang dibawa oleh UU yang baru (UU No. 32 tahun 2004) yakni, proses penyusunan

yang tergesa-gesa dan tertutup ditengah-tengah rakyat sedang melakukan hajatan besar

pemilu. Padahal UU otonomi daerah adalah kebijakan yang sangat penting dan menyangkut

tentang kualitas pelaksanaan partisipasi rakyat dan pelembagaan demokrasi. Kedua, UU

tersebut disusun oleh DPR hasil pemilu 2004 dimana pada waktu penyusunan revisi tersebut

anggota DPR sudah mau demisioner. Tanggal 29 September 2004 bersamaan dengan

berakhirnya masa jabatan anggota DPR periode 1999-2004, Sidang Paripurna DPR

menyetujui rancangan perubahan (revisi) terhadap UU No. 22 tahun 1999 menjadi UU No.

32 tahun 2004. Tanggal 1 Oktober anggota DPR baru hasil pemilu 2004 dilantik. Secara de

facto DPR pemilu 1999 sudah kehilangan relevansinya untuk menyusun dan mengagendakan

pembahasan kebijakan yang sangat krusial.

Tibalah saatnya Pemerintahan diuji kesungguhannya untuk menjalankan amanat

politik rakyat, termasuk komitmennya mengenai pelaksanaan desentralisasi. Pasang surut

desentralisasi yang diwarnai dengan tarik ulur kepentingan pusat dan daerah harus segera

digantikan dengan penciptaan sistem Pemerintahan di tingkat lokal yang demokratis. 

Sehubungan dengan itu, maka diperlukan upaya yang sistematis untuk melakukan evaluasi

menyeluruh terhadap pelaksanaan desentralisasi yang berlangsung selama ini. Dibutuhkan

indikator desentralisasi yang membuka ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam

berbagai aktivitas politik di tingkat lokal (political equality), mengedepankan pelayanan

kepada kepentingan publik (local accountability), dan meningkatkan akselerasi pembangunan

sosial ekonomi yang berbasis pada kebutuhan masyarakat setempat (local responsibility).

Selain harus tercermin dalam produk kebijakan, indikator-indikator itu juga harus

terimplementasi dalam praktek desentralisasi yang dijalankan oleh Pemerintahan lokal.

B.                 Implikasi Kebijakan Otonomi Daerah di bidang Politik, Ekonomi dan Pendidikan

Implementasi otonomi daerah telah memasuki era baru setelah Pemerintah dan DPR

sepakat untuk mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan

UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Daerah. Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang otonomi tersebut memberikan

kewenangan penyelenggaraan Pemerintah daerah yang lebih luas, nyata dan bertanggung

jawab. Adanya perimbangan tugas fungsi dan peran antara Pemerintah pusat dan Pemerintah

daerah tersebut menyebabkan masing-masing daerah harus memiliki penghasilan yang cukup,

Page 11: OTONOMI DAERAH 1

daerah harus memiliki sumber pembiayaan yang memadai untuk memikul tanggung jawab

penyelenggaraan Pemerintahan daerah. Dengan demikian diharapkan masing-masing daerah

akan dapat lebih maju, mandiri, sejahtera dan kompetitif di dalam pelaksanaan Pemerintahan

maupun pembangunan daerahnya masing-masing. Adapun implikasi otonomi daerah dalam

beberapa bidang yaitu sebagai berikut :

1.         Bidang Politik

Kebijaksanaan otonomi daerah yang baru membawa implikasi yang luas diantaranya

terhadap pembinaan birokrasi di daerah, sekalipun segala sesuatu yang menyangkut masalah

kepegawaian masih tetap menggunakan peraturan perundangan yang sudah ada, yaitu

Undang-Undang Pokok Kepegawaian. Hal ini dinyatakan dengan tegas dalam pasal 75 UU

no.22 tahun 1999 yang menyatakan “ Norma, standar dan prosedur mengenai pengangkatan,

pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan

kewajiban, serta kedudukan hukum pegawai negeri sipil daerah, ditetapkan dengan

perundang-undangan.

Akan tetapi daerah mempunyai wewenang yang luas, khususnya propinsi, kabupaten,

dan kota untuk membuat perencanaan kepegawaian yang sesuai dengan kebutuhan pada

waktu tertentu. Demikian pula daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan,

pendidikan dan latihan bagi aparat penyelenggara pemerintah daerah. Hal itu dinyatakan

dengan tegas pula dalam pasal 76 UU no.22 tahun 1999, yaitu “daerah mempunyai

wewenang untuk melakukan pengangkatan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji

tunjangan, dan kesejahteraan pegawai serta pendidikan dan pelatihan sesuai dengan peraturan

daerah berdasarkan perundang-undangan.

Tentu saja hal ini akan membawa implikasi yang sangat luas, terutama yang

menyangkut pola rekrutmen dan pembinaan. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah

mengingat potensi daerah berbeda satu sama lainnya maka sudah seharusnya memperhatikan

dimensi keadilan dan kesetaraan antara satu daerah dengan daerah lainnya, jangan sampai

menimbulkan diskrepansi sosial yang membawa akibat gejolak sosial politik di daerah.

2.         Bidang Ekonomi

Sektor perekonomian sangat sensitif apabila dihubungkan dengan proses otonomi

daerah. Pembangunan ekonomi suatu daerah seharusnya lebih baik apabila diselenggarakan

dengan konsep desentralisasi. Pembangunan ekonomi adalah suatu proses dimana suatu

masyarakat menciptakan suatu lingkungan yang mempengaruhi hasil-hasil indikator ekonomi

seperti kenaikan kesempatan kerja. Lingkungan yang dimaksud sebagai sumber daya

perencanaan meliputi lingkungan fisik, peraturan dan perilaku (Blakley, 1989)

Page 12: OTONOMI DAERAH 1

Dalam proses pengembangan ekonomi lokal, Pemerintah daerah bersama dengan

organisasi berbasis masyarakat mendorong dan merangsang kegiatan yang dapat

meningkatkan aktivitas usaha serta penciptaan lapangan pekerjaan. Dalam pelaksanaan

otonomoi daerah, pembangunan ekonomi lokal (PEL) memiliki pengaruh besar terhadap

suatu daerah. Hal ini tidak lain adalah untuk penguatan daya saing ekonomi lokal untuk

pengembangan ekonomi daerah. Kemandirian dalam melakukan kegitan ekonomi dapat

menambah pendapatan asli daerah (PAD), selain itu tingkat pemberdayaan masyarakat kecil

juga dapat terlaksana.

Dengan adanya otonomi daerah, suatu daerah dituntut untuk lebih peka dan

bertanggung jawab terhadap permasalahan ekonomi lokal sekaligus mengoptimalkan potensi

ekonomi yang dimilikinya. Maka dari itu perlu adanya tata kelola ekonomi daerah supaya

terbentuk otonomi daerah yang baik. Di negara kita maupun di berbagai macam daerah sering

meneriakkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, partisipasi yang tidak lain

hanya menuju ke arah good governance. Seperti halnya otonomi daerah harus memiliki tata

kelola ekonomi yang baik, dengan mempertimbangkan fungsi desentralisasi yang semakin

kompleks khususnya di bidang ekonomi.

Ciri utama suatu daerah yang mampu menjalankan otonomi daerah dapat dilihat dari

kemampuan daerah untuk membiayai pembangunan di daerahnya dengan tingkat

ketergantungan kepada Pemerintah pusat dengan proporsi yang sangat kecil. Artinya

kemandirian keuangan adalah hal yang paling diutamakan dalam terwujudnya otonomi

daerah. Dengan adanya kemandirian tersebut, suatu daerah diharapkan mampu dalam

pengumpulan PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang menjadi bagian terbesar dalam mobilisasi

dana penyelenggaraan Pemerintahan daerah dan sudah sewajarnya PAD dijadikan tolak ukur

dalam pelaksanaan otonomi daerah. Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang

diperoleh dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil

pengeloalaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang

sah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu komponen sumber pendapatan

daerah sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 79 undang-undang nomor 22 tahun 1999

tentang Pemerintahan daerah, berdasarkan pasal 79 UU 22/1999 disimpulkan bahwa sesuatu

yang diperoleh Pemerintah daerah yang dapat diukur dengan uang karena kewenangan

(otoritas) yang diberikan masyarakat dapat berupa hasil pajak daerah dan retribusi daerah.

Sumber pendapatan daerah terdiri Pendapatan asli daerah, yaitu:

a.)      Hasil Pajak Daerah. Menurut Davey ( 1988:118) Pemerintah daerah memiliki wewenang

untuk menjangkau sumber pajak di daerah yakni melalui pemungutan langsung serta

Page 13: OTONOMI DAERAH 1

menetapkan tarif di daerah. Pajak- pajak tersebut antara lain pajak atas jasa, pajak atas

produksi, pajak atas kendaraan, dan lain-lain.

b.)      Hasil Retribusi Daerah. Pemerintah Daerah juga memiliki wewenang dalam menetapkan

retribusi daerah serta menarik retribusi dalam rangka pemasukan daerah.

3.    Bidang Pendidikan

Pada otonomi daerah banyak Undang-undang yang mengatur khusus mengenai

pendidikan salah satu undang-undang yang diimplementasikan dalam pendidikan yaitu UU

Nomor 2 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, privatisasi Perguruan Tinggi Negeri

dengan status baru BHMN melalui PP no 60 tahun 2000 sampai UU No.32 tahun 2004

tentang Pemerintahan daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah yang mengatur konsep, sistem dan pola

pendidikan juga kewenangan di sektor pendidikan yang digariskan bagi pusat maupun

daerah.

Desentralisasi pendidikan secara konseptual dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu,

pertama desentralisasi kewenangan disektor pendidikan dan kedua desentralisasi pendidikan

dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar ditingkat sekolah. Konsep

pertama berkaitan dengan penyelenggaraan Pemerintah dari pusat ke daerah sebagai wujud

dari demokratisasi, kebijakaan yang dimaksud lebih pada kebijakaan pendidikan dan aspek

pendanaannya dari Pemerintah pusat ke daerah. Pada konsep kedua lebih fokus terhadap

pemberian kewenangan yang lebih besar ditingkat manejemen sekolah untuk meningkatkan

kualitas pendidikannya.

Adanya desentralisasi pendidikan bukan berarti Pemerintah pusat lepas tangan atau

tidak mencampuri urusan pendidikan. Pemerintah pusat masih mempertahankan

kewenangannya dalam dunia pendidikan yang terdapat pada Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 25 tahun 2000 mengenai kewenangan Pemerintah dan kewenangan provinsi

sebagai daerah otonomi. Kewenangan tersebut diantaranya berhubungan dengan standar

kompetensi siswa serta pengaturan kurikulum nasional, standar materi pelajaran pokok, gelar

akademik, biaya penyelenggaraan pendidikan, benda cagar budaya dan kalender akademik.

Kebijakan otonomi daerah dalam pendidikan memberikan dampak baik positif

maupun negatif. Daerah yang dapat memanfaatkan kondisi yang ada tentu saja akan

memberikan dampak positif dari otonomi daerah tersebut. Fenomena muncul raja-raja kecil

didaerah diakibatkan ketika kontrol Pemerintah pusat tidak lagi berperan dalam pengambilan

keputusan dan pengawasan hal ini menjadi dampak negatif jika Pemerintah belum siap dalam

Page 14: OTONOMI DAERAH 1

desentralisasi. Kebijakan desentralisasi ini kemungkinan akan menimbulkan jurang pemisah

antara daerah yang maju dan tidak. Pemerataan yang tidak berhasil terlihat jelas dari kualitas

pendidikan yang dihasilkan tiap daerah. Kemungkinan yang terjadi karena tidak meratanya

pendistribusian tenaga guru. Daerah yang kaya akan jauh lebih banyak menyedot tenaga guru

yang berkualitas. Akhirnya daerah-daerah tertentu di Indonesia akan kelebihan guru dan

daerah yang lainnya kekurangan tenaga guru. Desentralisasi pendidikan menentukan pula

hasil belajar siswa. Hal ini disebabkan pembuatan silabus materi pembelajaran dibuat

berdasarkan kebutuhan siswa, keadaan sekolah dan kondisi daerah. Perbedaan-perbedaan

tersebut memberikan kemungkinan terjadinya hasil belajar siswa.

Salah satu hasil dari desentralisasi pendidikan adanya implikasi konsep manajemen

berbasis sekolah (MBS) yang mulai diimplementasikan pada sekolah-Sekolah Dasar dan

Menengah di beberapa provinsi di Indonesia. Desentralisai pendidikan menajadi suatu

gagasan yang brilian namun juga menjadi suatu tantangan bagi kita. Dalam bukunya Sam M.

Chan dan Tuti T.Sam yang berjudul Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, dituliskan:

Adapun tantangan yang harus diperhitungkan dalam pengimplementasian kebijakan ini adalah munculnya individu-individu/lembaga-lembaga serakah yang mencari kesempatan dalam kesempitan...( Sam, 2005:12).

C.                Permasalahan Dan Upaya Mengatasi Masalah Yang Terjadi Dalam Otonomi Daerah

Pada Masa Reformasi

1.        Permasalahan Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah

Dalam UU No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi daerah adalah hak,

wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

Pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-

undangan. Setelah berlakunya peraturan tersebut, daerah diberi berbagai kewenangan untuk

mengatur urusan rumah tangganya, hal ini menimbulkan berbagai masalah timbul akibat

kewenangan tersebut. Permasalahan yang timbul antara lain:

a.)    Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya pelaksanaan 

otonomi daerah.

Penyelenggaraan otonomi daerah yang baik haruslah didukung oleh kondisi SDM

aparatur pemerintah yang memiliki kualitas yang cakap sehingga dapat menjalankan berbagai

kewenangan pemerintah daerah. Namun sayangnya hal ini cukup sulit untuk diwujudkan.

Pentingnya posisi manusia karena manusia merupakan unsur dinamis dalam organisasi yang

bertindak/berfungsi sebagai subjek penggerak roda organisasi Pemerintahan. Oleh sebab itu

kualitas mentalitas dan kapasitas manusia yang kurang memadai dengan sendirinya

Page 15: OTONOMI DAERAH 1

melahirkan impikasi yang kurang menguntungkan bagi penyelenggaraan otonomi daerah.

Manusia pelaksana Pemerintah daerah dapat di kelompokkan menjadi:

1.)      Pemerintah daerah yang terdiri dari kepala daerah dan dewan perwakilan daerah (DPRD).

Dalam kenyataan syarat syarat yang di tentukan bagi seorang kepala daerah belum cukup

menjamin tuntutan kualitas yang ada.

2.)      Alat-alat perlengkapan daerah yakni aparatur daerah dan pegawai daerah.

3.)      Rakyat daerah yakni sebagai komponen environmental (lingkungan)yang merupakan sumber

energi terpenting bagi daerah sebagai organisasi yang bersifat terbuka.

Para aparatur Pemerintah daerah pada umumnya memiliki kualitas yang belum

memadai, hal ini juga disebabkan oleh kurangnya kemampuan daerah dalam merekrut

pegawai baru yang berada di luar struktur Pemerintahan sebelumnya. Menurut Widjaja

(2003:37) Daerah mempunyai kewenangan untuk mengangkat perangkat daerah, namun

belum cukup jelas kewenangannya untuk merekrut perangkat daerah baru yang berada di luar

struktur Pemerintahan sebelumnya, misalnya merekrut dari kalangan LSM, Perguruan Tinggi,

kalangan Swasta Profesional dan lain-lain. Hal ini menyebabkan daerah sulit untuk

mendapatkan calon-calon pegawai yang cakap.

b.)      Bergesernya Korupsi Dari Pusat Ke Daerah

Korupsi yang awalnya terjadi pada Pemerintah pusat bergeser ke daerah karena daerah

diberikan wewenang sendiri dalam mengatur keuangannya. Banyak pejabat daerah yang

masih mempunyai kebiasaan menghambur-hamburkan uang rakyat untuk ke luar Negeri

dengan alasan studi banding. Otonomi daerah memberikan kewenangan yang sangat penting

bagi kepala daerah. Hal ini juga menyebabkan adanya kedekatan pribadi antara kepala daerah

dan pengusaha yang ingin berinvestasi di daerah. Dengan begitu maka akan terjadi

pemerasan dan penyuapan.

c.)    Eksploitasi Pendapatan Daerah

Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam

pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada alokasi

pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya sudah

muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan melakukan upaya maksimalisasi,

bukan optimalisasi, perolehan pendapatan daerah. Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa

daerah harus mempunyai dana yang cukup untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun

pembangunan. Daerah harus membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat

Page 16: OTONOMI DAERAH 1

yang statusnya dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping

itu daerah juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan

pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dengan alasan di atas, biasanya

Pemerintah daerah kemudian berusaha mencari pendapatan daerah sebanyak mungkin, seperti

melalui pemungutan pajak, retribusi, hingga eksploitasi daerah yang maksimal.

d.)      Kurangnya  Pemahaman Terhadap Konsep Desentralisasi Dan Otonomi Daerah

Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah Negara Kesatuan yang

terdesentralisasi. Pada kenyataan pemahaman terhadap desentralisasi dan otonomi daerah

masih kurang. Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah masih belum memaksimalkan

perannya dalam Pemerintahan. Mentalitas dari aparat Pemerintah baik pusat maupun daerah

masih belum mengalami perubahan yang mendasar. Hal ini terjadi karena perubahan sistem

tidak dibarengi penguatan kualitas sumber daya manusia yang menunjang sistem

Pemerintahan yang baru. Pelayanan publik yang diharapkan, yaitu birokrasi yang sepenuhnya

mendedikasikan diri untuk untuk memenuhi kebutuhan rakyat sebagai pengguna jasa adalah

pelayanan publik yang ideal. Untuk merealisasikan bentuk pelayanan publik yang sesuai

dengan asas desentralisasi diperlukan perubahan paradigma secara radikal dari aparat

birokrasi sebagai unsur utama dalam pencapaian tata Pemerintahan lokal.

e.)       Penyediaan Aturan Pelaksanaan Otonomi Daerah Yang Belum Memadai

Pada awalnya peraturan mengenai pelaksanaan otonomi daerah di tetapkan dalam

Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah;

Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Selanjutnya lahirlah UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya

UU No. 25/1999 yang mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah, menggantikan UU

No. 5/1974 yang sentralistik. Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah

daerah, ditetapkan berdasarkan kuatnya tuntutan masyarakat akan perlunya mengatur diri

sendiri sebagai dampak negatif dari sentralisasi yang dirasakan terlalu lama semasa Orde

Baru. Oleh karena tuntutan masyarakat itu terlalu mendesak dan harus direspon dalam waktu

singkat, maka Pemerintah dengan persetujuan DPR-RI mengeluarkan undang-undang tentang

Pemerintah daerah. Namun sesuai dengan prosesnya yang mendesak, tentu saja materi isi dan

substansinya masih banyak kekurangan dan kelemahan dan perlu diantisipasi oleh daerah.

(Widjaja, 1999:1-2).

Page 17: OTONOMI DAERAH 1

Menurut Widjaja (2003:35-37) ada beberapa hal yang harus dicermati mengenai

peraturan pelaksanaan Pemerintah daerah yang telah di susun, antara lain:

1.         Pembagian Daerah.

2.         Pembentukan dan Susunan Daerah

3.         Kewenangan Daerah

4.         Bentuk dan Susunan Pemerintah Daerah

f.)       Potensi Munculnya Konflik Antar Daerah

Dengan pelaksanaan otonomi daerah muncul gejala etno-sentrisme atau fenomena

primordial kedaerahan semakin kuat. Indikasi etno-sentrisme ini terlihat dalam beberapa

kebijakan di daerah yang menyangkut pemekaran daerah, pemilihan kepala daerah,

rekruitmen birokrasi lokal dan pembuatan kebijakan lainnya. Selain itu, ancaman disintegrasi

juga dapat memicu sebuah konflik. Dengan adanya pelimpahan pelimpahan wewenang

kepada daerah menyebabkan daerah menjadi terbagi-bagi dan muncul kesenjangan yakni

ketimpangan pembangunan antara daerah yang sumber dayanya kaya dengan daerah yang

hanya memiliki sumber daya alam yang sedikit.

Adanya potensi sumber daya alam di suatu wilayah, juga rawan menimbulkan perebutan

dalam menentukan batas wilayah masing-masing. Konflik horizontal sangat mudah tersulut.

Di era otonomi daerah tuntutan pemekaran wilayah juga semakin kencang dimana-mana.

Pemekaran ini telah menjadikan NKRI terkerat-kerat menjadi wilayah yang berkeping-

keping. Satu provinsi pecah menjadi dua-tiga provinsi, satu kabupaten pecah menjadi dua-

tiga kabupaten, dan seterusnya, semakin berkeping-keping NKRI semakin mudah

separatisme dan perpecahan terjadi.

2.         Upaya Mengatasi Masalah Yang Terjadi Dalam Otonomi Daerah Pada Masa

Reformasi

Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan dalam otonomi

daerah adalah sebagai berikut :

a.)    Pemerintah pusat harus melaksanakan otonomi daerah dengan penuh keikhlasan agar daerah

dapat memperoleh hak untuk mengolah sumber daya di daerah secara optimal.

b.)    Bahwa tujuan dan semangat yang melandasi otonomi daerah adalah hasrat untuk menggali

sendiri pendapatan daerahnya serta kewenangan untuk meningkatkan PAD masing-masing

daerah menuju peningkatan kesejahteraan masing-masing daerah menuju peningkatan

Page 18: OTONOMI DAERAH 1

masyarakat daerah, oleh karena itu untuk mencegah kondisi disintesif, pemda dalam rangka

otonomi daerah perlu mengembangkan strategi efesiensi dalam segala bidang.

c.)    Untuk menopang pelaksanaan otonomi daerah perlu dikembangkan ekonomi kerakyatan

secara sistematis, mensinergikan kegiatan lembaga/institusiriset pada PTN/PTS di daerah

dengan industri kecil menengah dan tradisional.

d.)   Merekomendasikan kepada pemerintah untuk memperbaiki dasar-dasar ekonomi yang sudah

rapuh, dengan mengembangkan usaha kecil/menengah dan koperasi menjadi lebih produktif

serta berupaya terus untuk memberantas kemiskinan structural.

e.)    Memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam dengan baik agar supaya sumber kekayaan

yang tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dan secara lestari.

f.)     Mendorong desentralisasi pembangunan daerah, mendayagunakan lembaga di daerah

khususnya DPRD untuk memiliki wewenang dan kemandirian dalam membuat produk

hukum pembangunan di daerah. Ketentuan-ketentuan yang menyangkut perizinan,

pengelolaan, pendayagunaan dan lain sebagainya yang berkaitan dengan masalah

pembangunan yang di rumuskan oleh DPRD dan pemerintah daerah.

D.                Studi Kasus

Otonomi Daerah Provinsi Banten

Pembentukan daerah otonom pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan

pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat disamping

sebagai sarana pemberdayaan publik, termasuk juga pendidikan politik lokal didalamnya.

Untuk itu, pembentukan daerah harus mempertimbangkan berbagai faktor, seperti: (1)

kemampuan ekonomi, (2) potensi daerah, (3) luas wilayah, (4) kependudukan, (5)

pertimbangan aspek sosial-politik, (6) pertimbangan aspek sosial-budaya, serta (7)

pertimbangan dan syarat lainnya, untuk dapat memungkinkan daerah itu dapat

menyelenggarakan dan mewujdukan tujuan dibentuknya daerah otonom. Pemekaran pun

terjadi di tanah Banten, melalui Undang-undang No 23 tahun 2000 Propinsi Banten akhirnya

terbentuk setelah memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat.

Sampai pada tahun 1998, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Lebak,

Kabupaten Pandeglang, dan Kabupaten Serang, masih menjadi bagian dari Provinsi Jawa

Barat. Terjadi pula isu pemekaran pada tingkat kabupaten/kota di Propinsi Banten yakni

pemekaran dari Kabupaten Pandeglang menjadi 2 kabupaten baru, yakni Calon Kabupaten

Caringin dan Calon Kabupaten Cibaliung. Sedangkan isu pemekaran di Kabupaten Lebak

menjadi Calon Kabupaten Cilangkahan (Lebak Selatan) yang telah melewati kajian akademik

Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri maupun dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Page 19: OTONOMI DAERAH 1

dengan predikat lulus bersyarat, serta di Kabupaten Serang saat ini telah dimekarkan dengan

dikeluarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2007 tentang pembentukan Kota Serang

dimana sekarang ini Kabupaten Serang sedang mencari lokasi untuk menentukan ibu kota

kabupaten. Kemudian Kabupaten Tangerang yang telah dimekarkan menjadi Kabupaten

Tangerang dan Kabupaten Tangerang Selatan. Isu-isu pemekaran ini menimbulkan pro dan

kontra diantara masyarakat banyak, bahkan terkadang antara eksekutif dengan legislatif

mengalami perbedaan pandangan apakah mendukung atau tidak mendukung proses

pemekaran suatu daerah.

Faktor kepentingan juga lah yang bermain, cost and benefit yang cukup menentukan

dalam membagi kelompok pro dan kontra, yang akan diuntungkan otomatis akan mendukung

proses pemekaran sedangkan yang dirugikan akan menolak proses pemekaran ini. Sebuah

kabupaten induk akan menolak proses pemekaran apabila akibat dari pemekaran yang terjadi

akan mengurangi PAD kabupaten tersebut, bahkan akan mengganggu kelangsungan

pendapatan kabupaten induk. Lain halnya ketika kabupaten baru yang terbentuk dari proses

pemekaran ini adalah beban bagi kabupaten induk, proses pemekaran akan didukung.

Demikian pula pemekaran di level kecamatan pun banyak terjadi di berbagai wilayah, dimana

seharunya memperhatikan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan. Di

Kabupaten Lebak telah terjadi beberapa pemekaran dalam level kecamatan yakni diantaranya

adalah Kecamatan Cijaku dimekarkan kecamatan baru yakni Kecamatan Cigemblong,

Kecamatan Malingping dimekarkan kecamatan baru Kecamatan Wanasalam, Kecamatan

Panggarangan dimekarkan kecamatan baru Kecamatan Cihara, dan Kecamatan Bayah

dimekarkan kecamatan baru Kecamatan Cilograng. Pada level desa, jumlah desa/kelurahan di

Provinsi Banten pada tahun 2008 hanya terdapat 1.504 desa/kelurahan bertambah menjadi

1.535 desa/kelurahan pada akhir tahun 2010 berarti ada penambahan sebanyak 31 desa dalam

rentang 24 bulan, artinya setiap bulan lebih dari satu desa (1,29) baru terbentuk/dimekarkan.

Provinsi Banten sampai saat ini memiliki 8 Kabupaten/Kota. Berikut ini Nama

Kabupaten/Kota di Provinsi Banten sampai tahun 1998, sebelum ada pemekaran daerah, yaitu

: Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, dan

Kabupaten Serang. Dan berikut ini Nama Kabupaten/Kota di Provinsi Banten yang

merupakan hasil pemekaran daerah sejak tahun 1999, yaitu : Kota Cilegon, pemekaran dari

Kabupaten Serang, 20 April 1999. Kota Serang, pemekaran dari Kabupaten Serang, 17 Juli

2007. Kota Tangerang Selatan, pemekaran dari Kabupaten Tangerang, 29 Oktober 2008.

(http://nahrawi.wordpress.com/2009/05/14/pemekaran-daerah-di-provinsibanten/).

Page 20: OTONOMI DAERAH 1

Implikasi Otonomi Daerah Terhadap Kehidupan Masyarakat Banten

1.                  Bidang Politik

Dampak pemekaran wilayah Banten menjadi sebuah provinsi dalam bidang politik

adalah Banten memiliki pemerintahan daerah sendiri . Dengan adanya kewenangan daerah

yang diberikan oleh pemerintah pusat, maka Banten berhak melakukan pemilihan kepala

daerah sendiri dalam hal ini yang menjadi kepala pemerintahan Banten adalah Gubernur dan

wakil gubernur yang dipilih langsung oleh masyarakat Banten melalui Pilkada. Walaupun

pada awal pembentukan Banten menjadi sebuah provinsi, gubernur pertama Banten Gubernur

Hakamuddin Djamal dipilih oleh Pemerintah Pusat. Namun selanjutnya Pada tahun 2002

pemilihan gubernur dan wakil gubernur Banten di pilih oleh DPRD Banten yang memilih

Djoko Munandar dan Ratu Atut Chosiyah sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Banten

pertama. Dan Akhirnya masyarakat Banten memiliki hak untuk memilih langsung gubernur

dan wakil gubernurnya sendiri yakni, tanggal 6 Desember 2006 dilaksanakan Pemilihan

Kepala Daerah langsung, yang dimenangi oleh pasangan Ratu Atut Choisiyah dan

Mohammad Masduki, kedua-duanya menjabat pada periode 2007-2011. Selanjutnya selain

memiliki pemerintahan sendiri, Banten juga memiliki wilayah pemerintahan sendiri tanpa

terikat dengan provinsi sebelumnya yakni provinsi Jawa Barat. Wilayah Banten terletak di

antara 5º7'50"-7º1'11" Lintang Selatan dan 105º1'11"-106º7'12" Bujur Timur, berdasarkan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2000 luas wilayah Banten adalah

9.160,70 km². Provinsi Banten terdiri dari 4 kota, 4 kabupaten, 154 kecamatan, 262

kelurahan, dan 1.273 desa. (http://id.wikipedia.org/wiki/Banten)

2.                  Bidang Sosial Budaya

Dengan adanya otonomi daerah, maka Banten sebagai suatu provinsi memiliki

pengakuan bahwa secara kultural Banten memiliki budaya sendiri yang berbeda dengan

provinsi lainnya di Indonesia. Potensi dan kekhasan budaya masyarakat Banten, antara lain

seni bela diri Pencak silat, Debus, Rudad, Umbruk, Tari Saman, Tari Topeng, Tari Cokek,

Dog-dog, Palingtung, dan Lojor. Di samping itu juga terdapat peninggalan warisan leluhur

antara lain Masjid Agung Banten Lama, Makam Keramat Panjang, dan masih banyak

peninggalan lainnya. Di Provinsi Banten terdapat Suku Baduy. Suku Baduy Dalam

merupakan suku asli Sunda Banten yang masih menjaga tradisi antimodernisasi, baik cara

berpakaian maupun pola hidup lainnya. Suku Baduy-Rawayan tinggal di kawasan Cagar

Budaya Pegunungan Kendeng seluas 5.101,85 hektare di daerah Kanekes, Kecamatan

Page 21: OTONOMI DAERAH 1

Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Perkampungan masyarakat Baduy umumnya terletak di

daerah aliran Sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng. Daerah ini dikenal sebagai wilayah

tanah titipan dari nenek moyang, yang harus dipelihara dan dijaga baik-baik, tidak boleh

dirusak.

3.                  Bidang ekonomi

Pertumbuhan sektor-sektor perekonomian dapat dilihat dari pergeseran bersih, yaitu

penjumlahan dari komponen PP dan PPW. Apabila pergeseran bersih bernilai positif, maka

pertumbuhan sektor-sektor perekonomian termasuk dalam kelompok pertumbuhan cepat, dan

apabila pergeseran bersih bernilai negatif maka pertumbuhan sektor-sektor perekonomian

pada suatu wilayah termasuk dalam kelompok pertumbuhan lambat. Berdasarkan tabel

dibawah, menunjukkan bahwa pada masa sebelum otonomi daerah tahun 1994-1996, hanya

ada satu sektor yang termasuk dalam kelompok pertumbuhan cepat, yaitu sektor keuangan,

persewaan dan jasa perusahaan. Delapan sektor lainnya, yaitu sektor pertanian, sektor

pertambangan, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sector bangunan,

sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor

jasa-jasa termasuk dalam kelompok pertumbuhan lambat. Secara keseluruhan pertumbuhan

ekonomi Provinsi Banten memiliki pertumbuhan yang lambat.

Pergeseran Bersih Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Banten Sebelum dan Pada

Masa Otonomi Daerah

No Sektor

Sebelum Otonomi Daerah Masa Otonomi

1994-1996 1997-1999 2000-2002

(Rp) (%) (Rp) (%) (Rp) (%)

1 Pertanian -68.761 -5 132.221,28 8 62.801,97 4

2 Pertambangan -5.360 -16 -16.511,04 -42 924,84 5

3 Industri pengolahan

-204.495 -45 -1.136.990,04 -12 333.485,66 4

4 Listrik, Gas dan Air Bersih

-13.671 -3 -81.638,44 -13 45.413,15 6,5

5 Bangunan -25.047 -4 -317.715,34 -38 51.714,32 13

6 Perdagangan, Hotel dan Restoran

-193.131 -8 -12.357,47 -0.4 172.299,35 6

Page 22: OTONOMI DAERAH 1

7 Pengangkutan dan Komunikasi

-83.467 -7 -233.832,60 -15 262.726,88 20

8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan

17.349 4 -162.918,96 -24 -8.748,80 -2

9 Jasa-jasa -136.893 -18 99.685,52 11 17.905,25 2

Total -713.476 -102 -1.730.057,09 -125,4 938.552,62 58,5

Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 1994-2002; BPS Provinsi Banten, 2000-2002 (Nazara,

2006:90).

Pada masa sebelum otonomi periode 1997-1999, ada dua sektor yang termasuk dalam

pertumbuhan cepat, yaitu sektor pertanian dan sektor jasa-jasa. Tujuh sektor lainnya termasuk

dalam kelompok pertumbuhan lambat, yaitu sektor

pertambangan, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor

bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan

sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Tetapi pada periode tersebut secara

keseluruhan pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten memiliki pertumbuhan yang lambat.

Pada masa otonomi daerah tahun 2000-2002,

sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan masuk dalam kelompok pertumbuhan

lambat, sedangkan delapan sektor lainnya termasuk dalam kelompok pertumbuhan cepat.

Secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten pada masa otonomi daerah

memiliki pertumbuhan yang cepat.

Dengan adanya otonomi daerah, maka Banten dapat mengatur sendiri

perekonomiannya. Potensi sektor pertanian terus dikembangkan. Luas lahan panen dan

besarnya produksi padi yang dihasilkan terus bertambah, dari 337.986 ha dan 1.756.037 ton

pada 2005 menjadi 364,721 ha, dan 1.812.495 ton pada 2006. Praktik budidaya selama kurun

tahun 2002 2004 semakin membaik, tercermin dari laju pertumbuhan produksi rata rata lebih

tinggi, (11,16% per tahun) dari laju pertumbuhan lahan panen rata rata (2,33% per tahun).

Meskipun laju pertumbuhan produksi perluas lahan panen untuk jenis tanaman palawija

meningkat, pola dan praktis produksinya relatif belum berkembang. Laju pertumbuhan rata

rata luas lahan panen 2,48% per tahun, namun laju pertumbuhan rata-rata produksinya hanya

4,08% per tahun, atau dengan rasio mencapai 1,64%. Di antara semua tanaman palawija, ubi

kayu dan kacang kedelai memiliki rasio laju pertumbuhan produksi rata rata berbanding laju

pertumbuhan luas panen rata rata di angka 1 (masing masing 1,41 dan 6,75). Budidaya ternak

meningkat dari tahun ke tahun, mulai dart sapi potong, sapi perah, kerbau, kuda, kambing,

Page 23: OTONOMI DAERAH 1

domba dan babi. jumlah populasi ternak yang di budidayakan semakin meningkat antara

tahun 2002 2004 dengan rata rata laju pertumbuhan jumlah dan jenis populasi sebesar

24,97% per tahun.

Kenerja sektor perikanan mencakup perikanan tangkap (laut dan perairan umum) dan

perikanan budidaya (laut, tambak, kolam, sawah, keramba, jaring terapung). Produksi

perikanan hingga 2004 mancapai 76.324,05 ton dengan nilai Rp 538.130 miliar, menurun

dibanding produksi tahun 2002 mencapai 87.279,40 ton dengan nilai produksi Rp 588.101

niliar, karena pengaruh menurunya produksi perikanan tangkap hingga sebesar 2,95%.

Kontribusi perikanan tangkap terhadap total produksi perikanan mancapai 70,98%, dengan

milai produksi sebesar 54,24%. Sedangkan kontribusi perikanan budidaya sebesar 29,02%

dengan nilai produksi 45,76%. Sektor pariwisata juga merupakan salah satu sektor yang

dikembangkan oleh pemerintah daerah Banten karena Banten merupakan provinsi yang kaya

akan potensi pariwisata, antara lain, taman nasional ujung kulon, pantai carita, pantai umang,

dan lain-lain. (http://www.indonesia.go.id/in/pemerintah-daerah/provinsi-Banten/sumber-

daya-alam).

4.                  Bidang Infrastruktur

Dengan adanya otonomi daerah, maka Banten sebagai suatu provinsi memiliki hak

dan tanggung jawab untuk membangun berbagai instruktur yang menunjang bagi kehidupan

masyarakat Banten. Hal ini terlihat dengan adanya pembangunan infrastruktur pemerintahan,

seperti pembangunan kantor DPRD, kantor Gubernur, dan lain-lain. Dalam bidang

pendidikan, pemerintah daerah Banten berupaya membangun sekolah-sekolah maupun

memperbaiki sekolah yang keadaannya tidak layak. Selain itu, pembangunan infrastruktur

jalan raya di provinsi Banten juga di lakukan karena banyak mengalami kerusakan. Menurut

Portal Nasional RI PT Banten Global Development (BGD) menyiapkan lima proyek

infrastruktur prioritas guna mengembangkan wilayah Banten. Lima proyek tersebut adalah

Jembatan Selat Sunda (JSS), kawasan ekonomi khusus (KEK) Tanjung Lesung, Bandara

Panimbang, tol Panimbang-Serang, dan mass rapid transit (MRT) rute Serpong-Tangerang-

Rawa Buntu.

(http://www.indonesia.go.id/in/kementrian/kementrian/kementrianperindustrian/695-sarana-

dan-prasarana/11527-bgd-siapkan lima-proyek-infrastruktur-di-Banten).

BAB IV PENUTUP

KESIMPULAN

Page 24: OTONOMI DAERAH 1

Otonomi daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat

mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Pemberian

otonomi daerah adalah mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui

peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran masyarakat serta peningkatan daya saing

daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan

kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga pada

hakikatnya tujuan otonomi daerah adalah untuk memberdayakan daerah dan mensejahterakan

rakyat.

Implementasi otonomi daerah telah memasuki era baru setelah Pemerintah dan DPR

sepakat untuk mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan

UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Daerah. Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang otonomi tersebut memberikan

kewenangan penyelenggaraan Pemerintah daerah yang lebih luas. Hal ini dapat terlihat dari

beberapa aspek, diantaranya adalah aspek politik, ekonomi dan pendidikan. Dalam

Desentralisasi politik adanya sebuah birokrasi yang muncul, dalam pendidikan otonomi

daerah menempatkan sekolah sebagai garis depan dalam berperilaku untuk mengelola

pendidikan. Desentralisasi juga memberikan apresiasi terhadap perbedaan kemampuan dan

keberanekaragaman kondisi daerah dan rakyatnya. Dalam bidang ekonomi diharapkan

munculnya kemandirian dalam mengelola keuangan daerah.

Sejalan dengan itu, Pemerintah Daerah harus dapat mendayagunakan potensi sumber

daya daerah secara optimal. Dengan semakin berkurangnya tingkat ketergantungan

Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat, Daerah dituntut mampu meningkatkan

profesionalisme aparatur Pemerintah Daerah, melaksanakan reformasi akuntansi keuangan

daerah dan manajemen keuangan daerah, melaksanakan perencanaan strategik secara benar,

sehingga akan memacu terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan

bertanggung jawab. 

Adapun dampak negatif dari otonomi daerah adalah munculnya kesempatan bagi

oknum-oknum di tingkat daerah untuk melakukan berbagai pelanggaran, munculnya

pertentangan antara pemerintah daerah dengan pusat, serta timbulnya kesenjangan antara

daerah yang pendapatannya tinggi dengan daerah yang masih berkembang. Bisa dilihat

bahwa masih banyak permasalahan yang mengiringi berjalannya otonomi daerah di

Indonesia. Permasalahan-permasalahan itu tentu harus dicari penyelesaiannya agar tujuan

awal dari otonomi daerah dapat tercapai dengan baik.

Page 25: OTONOMI DAERAH 1

DAFTAR PUSTAKA

Davey, K.J. (1988). Pembiayaan Pemerintah Daerah. Jakarta: UI Press.

Marbun, B. (2005). Otonomi Daerah 1945‐2005 Proses dan Realita Perkembangan Otda Sejak Zaman Kolonial sampai Saat Ini. Jakarta: Pustaka Sinar harapan.

Nazara, C.M. (2006). Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pemekaran Provinsi Banten. Skripsi pada FEM IPB Bogor: tidak diterbitkan.

Rosyada, D. et al. (2005). Demokrasi, Hak Asasi Manusia &Masyarakat Madani. Jakarta: Tim Icce Uin Jakarta dan Prenada Media.

Page 26: OTONOMI DAERAH 1

Salam, D. (2004). Otonomi Daerah, Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya. Bandung: Djambatan.

Sam, C. dkk. (2008). Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sarundajang. (1999). Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Soejito, I. (1981). Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jakarta: Bina Aksara.

Syahrir. dkk. (2001). Pemulihan Ekonomi dan Otonomi Daerah(refleksi pemikiran partai golkar. Jakarta: LASPI.

Widarta. (2001). Cara Mudah Memahami Otonomi Daerah. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.

Widjaja, H. (2003). Pemerintah Desa/marga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Widjaja, H. (2003). Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Nahrawi. (2009). Pemekaran Daerah Di Provinsi Banten. [Online]. Tersedia : http://nahrawi.wordpress.com/2009/05/14/pemekaran-daerah-di-provinsi-banten/. [27 November 2012].

Portal Nasional RI. (2009). Sumber Daya Alam Banten. [Online]. Tersedia: http://www.indonesia.go.id/in/pemerintah-daerah/provinsi-banten/sumber-daya-alam [09 Desember 2012].

Portal Nasional RI. (2012). BGD Siapkan Lima Proyek Infrastrukrut Di Banten. [Online]. Tersedia: http://www.indonesia.go.id/in/kementerian/kementerian/kementerian-perindustrian/695-sarana-dan-prasarana/11527-bgd-siapkan-lima-proyek-infrastruktur-di-banten [09 Desember 2012]