1 KINERJA APARATUR PUBLIK DALAM PENINGKATAN PELAYANAN KEPADA MASYARAKAT (Kajian Pengembangan Materi Pelayanan Prima pada Diklat Prajabatan Golongan III) OLEH: Dr. Rofikatul Karimah, M.Si ABSTRAKS Judul Karya Tulis ini adalah “Kinerja Aparatur Publik dalam Peningkatan Pelayanan Kepada Masyarakat (Kajian Pengembangan Materi Pelayanan Prima pada Diklat Prajabatan Golongan III). Latar belakang penulisan ini adalah masih adanya penilaian negative terhadap kinerja aparatur dalam memberikan pelayanan. Untuk itu rumusan masalahnya bagaimana kinerja aparatur publik meningkatkan layanan kepada masyarakat ? dan sejauhmana hubungan kinerja aparatur publik dengan budaya kerja ? dengan tujuannya untuk mendiskripsikan kinerja aparatur publik dalam meningkatkan layanan kepada masyarakat dan memaparkan hubungan kinerja aparatur publik dengan budaya kerja. Aparatur publik dalam meningkatkan layanan kepada masyarakat selalu berpijak pada prinsip-prinsip layanan publik dan penentuan standard operasional pelayanan, maka kualitas layanan yang bermutu akan diperoleh. peningkatan kualitas layanan kepada masyarakat yang diberikan aparatur publik akan nampak cerdas jika menentukan strategi layanan dengan inovasi layanan yang ditetapkan berdasar pada keinginan masyarakat, senyampang keinginannya tidak bertentangan dengan peraturan perundangan di Indonesia. Hubungan antara kinerja aparatur publik dan budaya kerja sangat erat sekali jika dipandang dari kinerja itu adalah performance seseorang yang tercermin dari hasil pekerjaannya. Sedangkan budaya adalah karya dan kebiasaan yang dilakukan aparatur di tempat kerjanya yang dapat berpengaruh pada image Lembaga atau Organisasi dengan citra yang dibentuknya. Adapun rekomendasi yang dapat diajukan adalah sebagai berikut: (1) kepada aparatur publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat hendaknya berdasar pada standar operasional yang telah ditetapkan dan selalu berorientasi pada pelayanan yang bermutu. (2) kepada masyarakat atau pelanggan hendaknya mengetahui prosedur layanan agar tidak terjadi praktek kecurangan layanan. Kata Kunci: Kinerja Aparatur, Pelayanan kepada Masyarakat
25
Embed
OLEH: Dr. Rofikatul Karimah, Mbdksurabaya-kemenag.id/p3/data/uploaded/dokumen/... · (Kajian Pengembangan Materi Pelayanan Prima pada Diklat Prajabatan Golongan III) OLEH: Dr. Rofikatul
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
KINERJA APARATUR PUBLIK DALAM PENINGKATAN PELAYANAN KEPADA MASYARAKAT
(Kajian Pengembangan Materi Pelayanan Prima pada Diklat Prajabatan Golongan III)
OLEH: Dr. Rofikatul Karimah, M.Si
ABSTRAKS
Judul Karya Tulis ini adalah “Kinerja Aparatur Publik dalam Peningkatan Pelayanan Kepada Masyarakat (Kajian Pengembangan Materi Pelayanan Prima pada Diklat Prajabatan Golongan III). Latar belakang penulisan ini adalah masih adanya penilaian negative terhadap kinerja aparatur dalam memberikan pelayanan. Untuk itu rumusan masalahnya bagaimana kinerja aparatur publik meningkatkan layanan kepada masyarakat ? dan sejauhmana hubungan kinerja aparatur publik dengan budaya kerja ? dengan tujuannya untuk mendiskripsikan kinerja aparatur publik dalam meningkatkan layanan kepada masyarakat dan memaparkan hubungan kinerja aparatur publik dengan budaya kerja.
Aparatur publik dalam meningkatkan layanan kepada masyarakat selalu berpijak pada prinsip-prinsip layanan publik dan penentuan standard operasional pelayanan, maka kualitas layanan yang bermutu akan diperoleh. peningkatan kualitas layanan kepada masyarakat yang diberikan aparatur publik akan nampak cerdas jika menentukan strategi layanan dengan inovasi layanan yang ditetapkan berdasar pada keinginan masyarakat, senyampang keinginannya tidak bertentangan dengan peraturan perundangan di Indonesia.
Hubungan antara kinerja aparatur publik dan budaya kerja sangat erat sekali jika dipandang dari kinerja itu adalah performance seseorang yang tercermin dari hasil pekerjaannya. Sedangkan budaya adalah karya dan kebiasaan yang dilakukan aparatur di tempat kerjanya yang dapat berpengaruh pada image Lembaga atau Organisasi dengan citra yang dibentuknya. Adapun rekomendasi yang dapat diajukan adalah sebagai berikut: (1) kepada aparatur publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat hendaknya berdasar pada standar operasional yang telah ditetapkan dan selalu berorientasi pada pelayanan yang bermutu. (2) kepada masyarakat atau pelanggan hendaknya mengetahui prosedur layanan agar tidak terjadi praktek kecurangan layanan.
Kata Kunci: Kinerja Aparatur, Pelayanan kepada Masyarakat
2
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Reformasi birokrasi yang telah digencarkan dalam rangka penciptaan
Pemerintahan yang baik, kiranya masih dalam proses sebagaimana proses
demokratisasi yang meluas diberbagai negara dan menggeser peran negara
lebih signifikan. Menurut Riant Nugroho (2009) kebutuhan paska
demokratisasi adalah pengembangan kebijakan yang unggul dengan
mengimplementasikan good governance. Peran rakyat yang mengemuka
dan tuntutan akuntabilitas publik serta kecenderungan untuk menempatkan
rakyat dalam posisi yang lebih signifikan, menjadi mainstream artikulasi
publik luas. Kini administrasi publik bekerja dalam sebuah entitas publik
dengan peran negara yang makin menyempit, maka memerlukan kehadiran
publik dalam artian aktor-aktor lain di luar negara menjadi lebih penting.
Aktor-aktor luar negara dapat berupa asosiasi-asosiasi mandiri dari rakyat,
kelompok-kelompok kepentingan, lembaga swadaya masyarakat, dan agen-
agen negara yang kehadirannya lebih bersifat spontan yang sering menjadi
kontrol kinerja aparatur publik dalam memberikan pelayanan pada
masyarakat.
Berdasar penelitian Derajad S.Widhyharto (2008), beberapa
persoalan PNS antara lain adalah penyelewengangan wewenang, gaji
kecil, rekrutmen yang bermasalah, dan munculnya korupsi untuk menambah
gaji. Senada dengan penelitian tersebut, Akhyar Effendi dkk (2008)
menyampaikan bahwa persoalan PNS dapat ditinjau dari tiga perspektif,
yakni perspektif sistem (aturan hukum dan kebijakan), kelembagaan dan
sumber daya manusia. Lebih lanjut Akhyar Effendi dkk (2008)
menyampaikan bahwa kualitas SDM profil PNS masih rendah kualitas dan
3
mentalitasnya akibat rendahnya rasionalitas dan keterkaitan antara sub
sistem dalam managemen PNS, mulai dari perencanaan sampai
pemberhentian bahkan adanya tumpang tindih menegemen dan urusan
kepegawaian sehingga kurang efektif koordinasi antara instansi. Dari
pernyataan tersebut dapat digambarkan bahwa penilaian negative terhadap
kinerja aparatur dalam memberikan pelayanan masih perlu peningkatan
untuk hal tersebut maka penulis menyajikan karya tulis yang berjudul
“Kinerja Aparatur Publik dalam Peningkatan Pelayanan Kepada Masyarakat
(Kajian Pengembangan Materi Pelayanan Prima pada Diklat Prajabatan
Golongan III)
B. Identifikasi Masalah
Pembukaan UUD 1945 pada alinea Empat disebutkan “Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum…” Berpijak dari landasan konstitusional
tersebut menciptakan kesejahteraan umum adalah suatu keharusan. Aparatur
Publik yang dalam hal ini adalah pegawai negeri sipil (PNS) dituntut untuk
menjalankan tugas dan fungsinya memberikan layanan terbaik kepada
masyarakat sesuai dengan standar operasional prosedur. Tanggapan yang
disampaikan masyarakat atas layanan aparatur publik melekat erat dengan
kinerja dan budaya kerja dimana aparatur tersebut berada. Untuk hal ini
identifikasi masalah yang penulis kaji adalah bagaimana kinerja aparatur publik
meningkatkan layanan kepada masyarakat, perlukah dirumuskan inovasi layanan
dalam meningkatkan kepuasan pelanggan dan sejauhmana hubungan kinerja
aparatur publik dengan budaya kerja.
4
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kinerja aparatur publik meningkatkan layanan kepada
masyarakat ?
2. Sejauhmana hubungan kinerja aparatur publik dengan budaya kerja ?
D. Tujuan Penelitian
Selaras dengan perumusan masalah yang telah ditetapkan, maka
penulis dapat merinci tujuan penulisan yang berkaitan dengan judul di atas
sebagai berikut:
1. Untuk mendiskripsikan kinerja aparatur publik dalam meningkatkan
layanan kepada masyarakat.
2. Untuk memaparkan hubungan kinerja aparatur publik dengan budaya
kerja
II. KERANGKA TEORITIK, TEMUAN DAN PEMBAHASAN
A. Landasan Teori
A.1. Teori New Public Managemen
Konsep New Public Management pada mulanya dikenalkan oleh
Cristopher Hood Tahun 1991 sebagaimana ungkapan Hughes, O.E (1998).
Bahwa munculnya New Public Managemen (NPM) di Eropa pada Tahun 1980-
1990 karena ingin meninggalkan model administrasi publik tradisional atau
model birokrasi klasik menuju pendekatan managemen modern yang lebih
fleksibel dan juga disebut sebagai “Managerialism New Public Management,
Market Based Public Administration, Post Bureaucratic Paradigm” dan
Entrepreneurial Government, namun yang lebih popular dengan sebutan New
Public Managemen, yang dikenalkan oleh Osborne dan Gaebler dengan
5
Reinventing Government dan lebih memberi perhatian besar kepada
pencapaian kinerja dan akuntabilitas manajer public sehingga organisasi publik
terbuka, fleksibel, ramping efisien dan rasional.
Penetapan tujuan organisasi dan personal sangat diperlukan agar dapat
berdampak pada pengukuran atas prestasi yang dicapai melalui indikator atau
standar kinerja dan ukuran kinerja yang harus dilakukan evaluasi program
secara sistematik. Karakteristik NPM juga menekankan pada pengendalian
output dan outcome dengan menciptakan persaingan di sektor publik dan
penghematan sumber daya serta pemecahan unit kerja di sektor publik. Antara
staf dan senior secara politis lebih commit kepada pemerintah yang berfungsi
tampak berhadapan dengan pasar misalnya tender. NPM merupakan teori
manajemen publik yang beranggapan bahwa praktek managemen swasta lebih
baik daripada managemen sektor publik dan perlu diadopsi oleh organisasi
sektor publik sebagaimana mekanisme pasar dengan adanya tender
(Compulsory Competitive Tendering- CCT) dan adanya privatisasi perusahaan-
perusahaan public (Hughes, 1998, Broadbent & Guthrie, 1992) sejalan dengan
ungkapan Osborne dan Gaebler (1992) yang menyebutkan Catalytic
government; steering rather than rowing” dari NPM menjadi landasan misi
birokrasi, pemerintah dalam hal ini cenderung mengurangi fungsinya dengan
adanya privatisasi dan bentuk lain dari marketisasi. Konsep NPM
memposisikan pengguna layanan sebagai pelanggan yang harus dilayani.
A.2. Birokrasi Pelayanan Publik
Pengertian Birokrasi dikemukakan oleh M de Gournay dalam Albrow,
(1989) pada abad ke – 18, hal itu dilakukan untuk memberikan atribut terhadap
suatu penyakit yang jelas–jelas dapat merusak system pemerintahan di Perancis
yang disebut bureaumania, dalam sejarahnya pemerintah Perancis pada saat itu
6
dikenal memiliki kinerja yang sangat buruk penarikan pajak yang tinggi untuk
berpesta, perilaku yang kejam kepada mereka yang kritis. Untuk menyindir
kinerja pejabat tersebut dipakei istilah bureaumania yang kemudian muncul
kata bureaucratie (Perancis) burokratie (Jerman), burocrazia (Italia) dan
bureaucracy (Inggris).
Berkaitan dengan hal tersebut menurut Michel Crozier (1964) konsep
birokrasi yang ditandaskan sebagai pemerintah oleh sebuah biro yaitu
pemerintah yang oleh sejumlah departemen diisi staf yang ditunjuk dan bukan
dipilih atau diorganisasikan secara hirarkis, sedangkan keberadaannya
tergantung kepada otoritas yang mutlak. Selain itu birokrasi juga diartikan
sebagai rasionalisasi kegiatan kolektif sebagaimana birokrasi Weber.
Adapun perspektif klasik yang diajukan oleh Sosiolog Jerman Max Weber
tentang birokrasi disebut juga dengan organisasi yang ideal meski menurut
Stephen P. Robbins (1994) model birokrasi weber lebih berupa gambaran yang
hipotesis dari pada tentang yang sebenarnya bagaimana kebanyakan organisasi
itu distruktur menurutnya sebagai berikut:
1. Pembagian kerja, dalam hal ini pekerjaan dari setiap orang dipecah-pecah
atau dibagi sampai pada pekerjaan-pekerjaan yang sederhana, rutin dan
ditetapkan dengan jelas.
2. Hierarki kewenangan yang jelas adalah sebuah struktur multi tingkat yang
formal, dengan posisi hierarki atau jabatan yang memastikan bahwa setiap
jabatan yang lebih rendah berada di bawah supervise dan control dari yang
lebih tinggi.
3. Formalisasi yang tinggi yaitu ketergantungan kepada peraturan dan
prosedur yang formal untuk memastikan adanya keseragaman dan untuk
mengatur perilaku pemegang pekerjaan.
7
4. Bersifat tidak pribadi (impersonal) yakni sanksi-sanksi yang diterapkan
secara seragam dan tanpa perasaan pribadi untuk menghindari keterlibatan
dengan kepribadian individual dan preference pribadi para anggota.
5. Pengambilan keputusan mengenai penempatan pegawai yang didasarkan
atas kemampuan. Keputusan seleksi dan promosi berdasar atas kualifikasi
teknis, kemampuan dan prestasi para calon.
6. Jejak karier bagi para pegawai, hal ini dimaksudkan bagi para pegawai
untuk mengejar karier dalam sebuah organisasi dan sebagai imbalan atas
komitmen terhadap karier tersebut. Para pegawai mempunyai masa
jabatan, artinya mereka akan dipertahankan walaupun mereka kehabisan
tenaga atau kepandaiannya tidak terpakai lagi.
7. Kehidupan organisasi yang dipisahkan dengan jelas dari kehidupan pribadi.
Maksudnya adalah kebutuhan dan minat pribadi dipisahkan sepenuhnya
agar keduanya tidak mencampuri sikap impersonal pada aktifitas organisasi
yang bersifat rasional.
Berkaitan dengan pernyataan tersebut di atas birokrasi tidak terlepas
dari administrasi publik, karena di dalam birokrasi terjadi hubungan antara
kepentingan manusia yang dijalankan secara rutinitas, terus menerus setiap hari
dengan adanya wewenang dan kekuasaan serta beberapa pengambilan
keputusan. Pengambilan keputusan sebuah birokrasi harus berorientasi pada
prisip pelayanan publik yaitu sesuatu kegiatan yang harus dilaksanakan oleh
penyelenggara negara sebagaimana ungkapan Riant Nugroho (2009) bahwa
tugas pelayanan publik adalah tugas memberikan pelayanan kepada umum
tanpa membeda-bedakan dan diberikan secara cuma-cuma atau sedemikian
rupa sehingga kelompok paling tidak mampu juga bisa mendapat pelayanan.
Tugas ini diemban oleh negara yang dilaksanakan melalui ekskutif.
Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) No.
8
63 Tahun 2003 sebagai penyempurnaan keputusan MENPAN No. 81 Tahun
1993 mengidentifikasikan pelayanan umum adalah pelayanan sebagai segala
bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di Pusat dan di
Daerah dan lingkungan BUMN atau BUMD dalam bentuk barang atau jasa, baik
dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka
Menurut Ramli Haris (2009) tipologi birokrasi dapat dilihat dari berbagai
sudut pandang, dari perspektif otoritasnya, dikenal dengan adanya birokrasi
tradisional, karismatik dan birokrasi legal-rasional. Dari perspektif derajat
keterbukaan, lebih lanjut Ramli Haris menyampaikan bahwa Lee (1971)
mengklasifikasikan ke dalam birokrasi terbuka, campuran dan tertutup. Derajad
keterbukaan birokrasi dapat dilihat dari aksesibilitas masyarakat untuk
berhubungan dengan birokrasi, luasnya pelaksanaan recruitment, kebebasan
kelompok lain untuk memasuki jajaran eselon birokrasi tingkat menengah dan
tingkat tinggi serta derajad kesediaan birokrasi untuk mendistribusikan
kekuasaannya kepada kelompok lain.
Berkaitan dengan hal birokrasi menurut Riant Nugroho (2009) konsep
awal yang mendasari gagasan moderen tentang birokrasi berasal dari tulisan-
tulisan Max Weber, seorang Sosiolog Jerman, dengan karyanya The Theory of
Social and Economic Organization yang mengetengahkan ciri-ciri pokok dari
birokrasi idial sebagai berikut:
1. Para anggotanya (staf) secara pribadi bebas dan hanya melakukan tugas-
tugas impersonal dari jabat-jabatannya.
2. Ada hirarki jabatan yang jelas.
9
3. Fungsi-fungsi jabatan diperinci dengan jelas.
4. Para pejabat diangkat berdasarkan kontrak.
5. Mereka diseleksi berdasarkan atas kualifikasi profesional yang secara ideal
diperkuat dengan diploma yang diperoleh melalui ujian.
6. Mereka digaji dengan uang dan mendapat pensiun.
7. Pekerjaan pejabat adalah pekerjaan yang satu-satunya.
8. Ada struktur karier dan kenaikan pangkat yang mungkin baik melalui
senioritas maupun pretasi dan sesuai dengan penilaian para atasan.
9. Pejabat tidak boleh mengambil kedudukannya sebagai miliknya pribadi begitu
pula sumber yang menyertai kedudukannya itu.
10. Pejabat tunduk pada pengendalian dan system disipliner.
Birokrasi dengan ciri-ciri tersebut di atas adalah birokrasi yang dapat
meningkatkan efisiensi organisasi untuk itulah hal demikian di sebut
birorasionalitas dan biroefisiensi yang tidak efisien disebut pemborosan atau
biropatologi. Menurut Yates (1982) model dominan birokrasi pemerintah itu ada
dua yaitu: demokrasi pluralis (pluralist democracy) dan Efisiensi administratif
(administrative efficiency). Pembagiannya untuk pluralis demokrasi adalah: (1)
adanya beraneka ragam kepentingan kelompok dan proses politik yang saling
bersaing, (2) pemerintah harus memberi tawaran kepada beraneka ragam
kelompok tersebut untuk mendapatkan butir-butir masalah dan sarana
partisipasi, (3) pemerintah harus memiliki pusat-pusat kekuasaan yang banyak
dan menyebar baik vertikal maupun horizontal untuk menjamin persaingan
ambisi dan menghasilkan perimbangan kekuasaan, (4) pemerintah dan politik
lebih baik difahami sebagai persaingan diantara kepentingan-kepentingan
minoritas, (5) dalam proses pengambilan keputusan dimungkinkan bahwa
kelompok yang aktif dan sah dari penduduk membuat mereka mendengar secara
efektif, (6) persaingan antara lembaga pemerintah dan kelompok-kelompok
10
kepentingan diharapkan tidak adanya tawar menawar kompromi dan
menghasilkan keseimbangan kekuasaan umum di masyarakat.
B. Temuan Dan Pembahasan
B.1. Kinerja Aparatur Publik Dalam Meningkatkan Layanan Kepada Masyarakat
Kinerja pelayanna publik pada umumnya adalah dapat memuaskan
masyarakat tanpa memandang apapun. Untuk itu dalam penyelenggaraan
pelayanan publik dituntut kualitas prima yang tercermin dari prinsip-prinsip
pelayanan publik sebagaimana Sutopo dan Adi Suryanto (2006) menyebutkan
antara lain:
1. Kesederhanaan, prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah
difahami dan mudah dilaksanakan.
2. Kejelasan yang dalam hal ini jelas untuk hal berikut:
a. Persyaratan teknis dan administrasi pelayanan publik.
b. Unit kerja/ pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam
memberikan pelayanan.
c. Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.
3. Kepastian waktu, pelaksanaan pelayanan publik dengan menentukan
kepastian waktu penyelesaian.
4. Akurasi yaitu produk pelayanan publik yang diterima dengan benar, tepat
dan sah.
5. Keamanan, proses dan produk pelayanan memberi rasa aman dan
kepastian hukum.
6. Tanggungjawab adalah pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau
pejabat yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan.
7. Kelengkapan sarana dan prasarana menyangkut kelengkapan sarana dan
prasarana yang memadai.
11
8. Kemudahan akses, tempat dan lokasi sarana pelayanan yang mudah
dijangkau.
9. Kedisiplinan, keramahan dan kesopanan dalam hal ini pemberi pelayanan
harus bersikap disiplin, ramah dan santun.
10. Kenyamanan yaitu lingkungan pelayanan yang tertib, nyaman, bersih dan
rapi.
Lebih lanjut Ratminto dan Atik Winarsih (2007) mengatakan
bahwa penyelenggaraan pelayanana publik dituntut dengan kualitas
pelayanan prima sebagai berikut:
1. Transparansi yaitu pelayanan bersifat terbuka, mudah diakses dan
disediakan secara memadai dan mudah untuk dimengerti.
2. Akuntabilitas yaitu pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-udangan yang ditetapkan.
3. Kondisional yaitu pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan
kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang
pada prinsip efisiensi dan efektifitas.
4. Partisipatif yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan
memperhatikan aspirasi masyarakat.
5. Persamaan hak yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi.
6. Keseimbangan hak dan kewajiban yaitu pelayanan yang
mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima
pelayanan publik.
Teori New Publik Management sebagai cara untuk mengelola
organisasi sektor publik yang menjadi tuntutan masyarakat agar sektor publik
menghasilkan produk barang atau jasa yang berkualitas tinggi atau sama
12
dengan yang dihasilkan sektor swasta. Pada intinya organisasi publik perlu
belajar pada organisasi privat dan bisnis. Tapi bagi yang menolak atau kontra
terhadap teori tersebut beralasan bahwa praktek managemen sektor swasta
tidak selamanya baik dan jika diadopsi berarti mengadopsi keburukan sektor
swasta kesektor publik, NPM bertentangan dengan prinsip demokrasi juga
model lama dengan standar etika yang tinggi dan sebagai kapitalisme yang
masuk pada sektor publik, NPM dianggapnya sebagai swasta sentries.
Pelayanan publik tidak selamanya bisa dikatakan bahwa publik adalah
konsumen akan tetapi publik adalah warga negara yang berhak
mendapatkan pelayanan dari pemerintah dan mempunyai wewenang untuk
memberikan pelayanan, sedangkan pelayanan prima dalam swasta terjadi
jika ada transaksi jual beli dan tawar menawar harga.
New Publik Management sebagai reformasi total sektor publik pada
dasarnya tidak hanya di Negara maju saja tapi juga pada Negara
berkembang yang dipengaruhi oleh Inggris, Amerika Serikat, Kanada, New
Zealand dan juga dipengaruhi oleh peran World Bank, UNDP dan IMF.
Selain itu NPM tergantung pada factor kontingensi local (localized
contingency) faktor korupsi dan lemahnya administrasi sangat berpengaruh
pada kinerja pemerintah tetapi localized contingency lebih besar menentukan
berhasil dan gagalnya upaya reformasi. Berkaitan dengan hal tersebut karya
David Osborne dan Ted Gaebler yang berjudul “Reinventing Government”
(1992) sebagaimana yang dikutip oleh Wayne Persons (2006) bahwa
Reinventing Government sangat berpengaruh dalam reformasi pemerintahan
dan mendesak agar pemerintah ditata ulang (reinvented) dengan semangat
entrepreneurship lebih terdesntralisasi dan lebih responsif pada bentuk
organisasi public, adapun 10 prinsip penataan ulang pemerintahan
(reinventing government) adalah: (1) pemerintah harus lebih banyak menata
13
daripada berdebat, (2) pembuatan kebijakan harus mengedepankan
pemberdayaan komunitas, bukan sekedar memberikan pelayanan, (3)
pemerintah mendorong kompetisi dalam memberikan pelayanan bukan
monopoli (4) organisasi publik harus digerakkan oleh sense of mission dari
pada aturan, (5) pendanaan harus difokuskan pada hasil daripada input, (6)
organisasi publik harus berkonsentrasi bukan hanya pada pengembangan
tapi pada pemasukan juga, (7) kebutuhan masyarakat harus menjadi
prioritas, bukan kebutuhan birokrat, (8) lebih baik mencegah daripada
mengobati, (9) otoritas harus didesentralisasikan, (10) pemecahan problem
dengan melibatkan pasar bukan hanya dengan menciptakan program publik
semata.
Pengadopsian terhadap NPM dari Barat ke Negara-negara
berkembang sangat bervariasi sebagaimana Malaysia yang menerapkan
Total Qualiy Management (TQM) yang sukses dalam penerapannya namun
tidak untuk Bangladesh dan beberapa negara di Afrika yang banyak
mengalami kegagalan dalam implementasinya. Adapun beberapa
permasalahan yang timbul dalam penerapan NPM di Negara-negara
berkembang antara lain; (1) NPM didasarkan pada penerapan prinsip
mekanisme pasar atas kebijakan publik dan managemennya terkait dengan
pengurangan peran pemerintah yang digantikan oleh pengembangan pasar
yakni dari pendekatan pemerintah sentries (state centered) menjadi pasar
sentries (market centered approach) negara berkembang pengalaman
pasarnya masih sangat sedikit dan lebih dikuasai oleh perusahaan asing dan
bukan perusahaan local. Sementara itu pasar di Negara berkembang tidak
efektif karena tidak ada kepastian hukum. (2) karena pasar di Negara
berkembang belum kuat maka privatisasi akan dipegang oleh perusahaan
asing atau kalangan tertentu yang bisa membahayakan karena memunculkan
14
keretakan sosial (3) sistem mekanisme birokrasi yang berubah menjadi
sistem mekanisme pasar, jika tidak dilakukan secara hati-hati bisa
menumbuhkembangkan korupsi. (4) lemahnya penegakan hukum, Sumber
Daya Manusia dan kapabilitas warga negara bukan pelanggan.
Pernyataan tersebut di atas juga dikenal dengan New Public
Management, paradigma ini menganggap bahwa paradima terdahulu tidak
mampu menyelesaikan masalah dalam memberikan pelayanan. Adapun
dalam New Public Management terdiri dari 7 komponen sebagai berikut :
1. Pemanfaatan managemen professional dalam sektor publik.
2. Adanya standard kinerja dan ukuran kinerja.
3. Penekanan yang lebih besar pada control out put.
4. Pergeseran perhatian kepada unit yang lebih kecil.
5. Pergeseran ke kompetisi yang lebih tinggi.
6. Penekanan gaya sektor swasta pada praktek management.
7. Penekanan pada disiplin dan penghematan yang lebih tinggi dalam
penggunaan Sumber Daya.
Dalam teori NPM tersebut terdapat standard dan ukuran kinerja
sedangkan layanan kepada masyarakat dituntut untuk memberi
pelayanan yang bermutu. Adapun pelayanan dikatakan bermutu
apabila memenuhi beberapa dimensi, baik waktu, kualitas, biaya
maupun moral. Untuk mengetahui bahwa pelayanan itu bermutu
dengan standard ukuran yang telah ditetapkan, dimensi waktu yang
menjadi salah satu ukuran adalah bagaimana aparat birokrasi dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya dalam memberi pelayanan kepada
para pelanggan memastikan kapan dan berapa waktu yang dibutuhkan
dalam pemberian pelayanan tersebut. Untuk itu perlu adanya
15
perencanaan dalam membuat agenda kerja. Sedangkan perencanaan
itu menurut Tjokroamidjojo (1994) suatu proses untuk mempersiapkan
secara sistematis kegiatan yang dilakukan dalam mencapai tujuan
tertentu. Perencanaan dalam sebuah organisasi adalah pendahuluan
yang harus dilakukan, sebelum kegiatan pokok dilaksanakan.
Perencanaan diperlukan karena adanya keterbatasan sumber daya
dan sumber dana agar tidak menyulitkan dalam menentukan suatu
kegiatan.
B.2. Hubungan Kinerja Aparatur Publik Dengan Budaya Kerja
Budaya kerja adalah pola tingkah laku dan nilai yang disepakati
karyawan dalam menjalankan tugas, karier, dan promosi. Sedangkan menurut
Budi Paramita dalam Taliziduhu Ndraha (2005) budaya kerja dibagi dua yaitu: (1)
sikap terhadap pekerjaan yang ditunjukkan dengan suka pada pekerjaan
daripada santai dan semata-mata memperoleh kepuasan dari kesibukan
pekerjaannya sendiri, atau merasa terpaksa melakukan sesuatu hanya untuk
kelangsungan hidupnya, (2) perilaku pada saat bekerja seperti rajin, berdedikasi,
bertanggungjawab, berhati-hati, teliti, cermat, kemauan yang kuat untuk
mempelajari tugas dan kewajibannya dan suka membantu sesama karyawan
atau sebaliknya.
Mentalitas aparatur birokrasi di Indonesia belum menampakkan indikasi
perwujudan nyata dalam nilai-nilai demokrasi sistem pemerintahan yang
menjunjung nilai-nilai kesejajaran yang digerakkan visi dan misi, Mereka belum
menunjukkan tanda-tanda perwujudan aksinya. Kesulitan menterjemahkan
kerangka baru atau aturan dalam aktivitasnya ini dikarenakan rule driven
penggeraknya belum berubah secara total. Kenyataan ini melahirkan dilema
dalam pengimplementasiannya. Fenomena yang dialami aparat pemerintah
16
dalam menjalankan tugasnya disamping sangat rendahnya motivasi, kemauan
kerja serta inisiatip aparat birokrasi, karena berbagai keterbatasan yang
dimilikinya. Survey Pelayanan Publik Tahun 2001 pada 3 (tiga) tempat sebagai
sample wilayah Indonesia yaitu Sulawsi Selatan, Sumatra Barat dan Yogyakarta
oleh PSKK UGM (Pusat Studi Kependudukan Dan Kebijakan), terlihat 59%
responden penggunaan jasa pelayanan publik menyatakan kinerja pelayanan
publik adalah buruk. Kesimpulan dari penelitian tersebut mengatakan bahwa hal
itu terjadi karena pelayanan publik masih dilaksanakan dan digerakkan oleh
peraturan (rule driven) serta anggaran, dan bukan oleh misi.
Sejak era orde baru telah berkembang berbagai variasi dari birokrasi di
Indonesia. Paradigma birokrasi klasik misalnya, memandang aparat sebagai
faktor produksi (model “economic man”) yang dapat dimanipulasi. Evaluasi
merupakan alat untuk menentukan jenis manipulasi yang pantas diberikan
(model “tell and sell”) baik berupa insentif maupun hukuman. Sedangkan
paradigma human relations melihat aparat sebagai makhluk sosial (model “social
man”) yang kebutuhan sosialnya perlu dipenuhi, sehingga evaluasi kinerja
merupakan alat untuk mendengarkan keluhan mereka (model “tell and listen”).
Disamping itu, paradigma Sumber Daya Manusia memandang aparat sebagai
Sumber Daya (model “human resources”) yang harus dikembangkan untuk
meningkatkan martabatnya sekaligus pencapaian tujuan organisasi. Dalam hal
ini kegiatan evaluasi kinerja bertujuan untuk memecahkan masalah (model
“problem-solving”) baik menyangkut perbaikan metode dan teknik yang
digunakan dan optimalisasi hasil yang dicapai. Di era Reformasi berkembang
paradigma manajemen publik baru (lihat Hughes, 1994) dengan mengoreksi
paradigma terdahulu yang kurang efektif dalam memecahkan masalah,
memberikan pelayanan publik, termasuk membangun masyarakat.
17
Gerakan “reinventing government” atau “post-bureaucratic management”
merupakan wujud nyata dari paradigma tersebut. managemen publik baru ini
telah mengalami berbagai perubahan orientasi atau model, seperti model
pertama adalah “the efficiency drive”, model kedua adalah “downsizing and
decentralization”, model ketiga yaitu “in search of excellence” dan model terakhir
yaitu “public service orientation”. Pada model terakhir menekankan pada kualitas,
misi, dan nilai-nilai yang hendak dicapai organisasi publik, perhatian yang lebih
besar kepada aspirasi, kebutuhan, dan partisipasi user dan warga masyarakat,
memberikan otoritas yang lebih tinggi kepada pejabat yang dipilih masyarakat,
termasuk wakil-wakil mereka, menekankan “societal learning” dalam pemberian
pelayanan publik, dan penekanan pada evaluasi kinerja secara
berkesinambungan, partisipasi masyarakat dan akuntabilitas.
Banyak contoh yang dapat diidentifikasi yakni: (1) pelayanan bidang
pendidikan, 2) kesehatan, (3) transportasi, (4) fasilitas sosial, dan berbagai
pelayanan di bidang jasa yang dikelola pemerintah tidak memuaskan kebutuhan
masyarakat, bahkan kalah bersaing dengan pelayanan yang dikelola oleh pihak
swasta. Dikemukakan oleh Norman Flyn (1990) pelayanan publik yang dikelola
pemerintah secara hierarkis cenderung bercirikan over bureaucratic, bloated,
wasteful, dan under performing. Selama ini terdapat kecenderungan bahwa
penentuan kualitas pelayanan publik adalah sangat ditentukan oleh pemerintah
atau lembaga yang memberikan pelayanan (provider), bukan ditentukan secara
bersama-sama antara provider dengan user, customer, client, atau citizen
sebagai komunitas masyarakat pengguna jasa pelayanan dan pencerminan
demokrasi dalam kemandirian. Padahal pelayanan yang diberikan seharusnya
mencerminkan nilai-nilai demokrasi sebagaimana diungkapkan oleh Burns,
Hambleton, dan Hogget (1994 : xiv) :
18
“It suggests that change in local government cannot be divorced from wider national and international socioeconomic forces which shape the contextfor local political action. Three major reform strategies public services : the extension of market, new managerialism, and the extension of democracy are considered”.
Dari kutipan singkat di atas menunjukkan bahwa pelayanan publik adalah
salah satu unsur yang mendorong perubahan kualitas pemerintah daerah yang
sangat dipengaruhi oleh faktor perluasan/ terwujudnya mekanisme pasar,
managemen baru yang berkualitas, dan perluasan makna demokrasi.
Birokrasi publik harus dapat memberikan layanan publik yang lebih
profesional, efektif, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan
adaptif serta sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti
meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan
masa depannya sendiri. Sedangkan arah pembangunan kualitas manusia adalah
memberdayakan kapasitas manusia dalam arti menciptakan kondisi yang
memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan
krativitasnya untuk mengatur dan menentukan masa depannya sendiri.
Selain hal tersebut dalam kondisi masyarakat yang semakin kritis, birokrasi
publik dituntut harus dapat mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam
memberikan pelayanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah
berubah menjadi suka melayanai, dari yang suka menggunakan pendekatan
kekuasaan, berubah menjadi suka menolong menuju ke arah yang fleksibel
kolaboratis dan dialogis dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja
yang realistik pragmatis. Dengan revitalitas birokrasi publik aparatur pemerintah
dalam pelayanan publik yang lebih baik dan profesional dalam menjalankan
tugas dan kewenagan yang diberikan kepadanya dapat terwujud. Secara teoritis
sedikitnya ada tiga fungsi utama yang harus dijalankan oleh pemerintah tanpa
memandang tingkatannya, yaitu fungsi pelayan masyarakat (public service
19
function), fungsi pembangunan (development function) dan fungsi perlindungan
(protection function).
Pelayanan publik sebagai suatu proses kinerja organisasi (birokrasi),
keterikatan dan pengaruh budaya organisasi sangatlah kuat. Dengan kata lain,
apapun kegiatan yang dilakukan oleh aparat pelayanan publik haruslah
berpedoman pada rambu-rambu aturan normatif yang telah ditentukan oleh
organisasi publik sebagai perwujudan dari budaya organisasi publik. Oleh karena
itu Dennis A.Rondinelli (1981) mengingatkan bahwa penyebab kegagalan utama
dalam melaksanakan orientasi pelayanan publik karena kurangnya tenaga kerja
yang terlatih dan trampil dalam unit lokal, kurangnya sumber dana untuk
melaksanakan tugas dan tanggung jawab, adanya sikap keengganan untuk
melakukan delegasi wewenang, dan kurangnya infrastruktur teknologi serta infra
struktur fisik dalam menunjang pelaksanaan tugas pelayanan publik.
Selain hal tersebut di atas kegagalan pelayanan publik juga disebabkan
karena aparat (birokrasi) tidak menyadari adanya perubahan dan pergeseran
yang terjadi dalam budaya masyarakatnya dari budaya yang bersifat hierarkis,
budaya yang bersifat individual, budaya yang bersifat fatalis, dan budaya yang
bersifat egaliter.
Kegiatan pelayanan publik seharusnya sesuai dengan Local Good
Governance Index (LGGI) yang digunakan saat ini dalam pengukuran kinerja
sistem pemerintah sebagai wujud efektifitas dan efisiensi. Keterkaitan antara
konsep good-governance (tata pemerintahan yang baik) dengan konsep public
service (pelayanan publik) tentu sudah cukup jelas logikanya. PNS sebagai
aparatur birokrasi yang berfungsi sebagai penyedia layanan publik dituntut untuk
memiliki kapasitas unggul dalam kinerjanya sebab kinerja mereka yang
menentukan keberhasilan birokrasi pemerintah dalam meningkatkan
kesejahteraan rakyat dengan melakukan tindakan kerja yang profesional.
20
Berkaitan dengan etika kerja perlu penjabaran tentang konsep kerja.
Konsep yang menurut George Thomason (1992:24) : An activity which demands
the expenditure of energy or effort to create from ‘raw matrials’ those products or
services which people value
Etika kerja berhubungan dengan kesadaran etik tentang kerja dan
kesadaran etik itu merupakan peristiwa rokhani yang terjadi dalam kalbu
manusia ketika dihadapkan pada beberapa pilihan dan bertanggungjawab atas
pilihannya tersebut. Menurut Taliziduhu Ndraha ( 2005 h. 209-210) etika kerja
identik dengan etos kerja sebagai berikut:
1. Kerja adalah rahmat . Aku bekerja tulus penuh syukur 2. Kerja adalah amanah. Aku bekerja benar penuh tanggungjawab. 3. Kerja adalah panggilan. Aku bekerja tuntas penuh integritas. 4. Kerja adalah aktualisasi. Aku bekerja keras penuh semangat. 5. Kerja adalah ibadah. Aku bekerja serius penuh kecintaan 6. Kerja adalah seni. Aku bekerja kreatif penuh suka cita. 7. Kerja adalah kehormatan. Aku bekerja tekun penuh keunggulan. 8. Kerja adalah pelayanan. Aku bekerja sempurna penuh kerendahan hati.
Dalam pola kerja terjadi hubungan antara pemerintah dan masyarakat,
pada saat ini hubungan tersebut terlihat kurang harmonis. Indikasi utama dari
fenomena itu adalah sering terjadinya protes terhadap berbagai kebijakan
pemerintah maupun perilaku aparatnya. Aksi protes itu sendiri dilakukan dengan
cara yang sangat santun melalui saran di berbagai media sampai dengan tindak
kekerasan (violance) berupa penjarahan, perusakan serta terorisme. Inti dari
semua itu sesungguhnya bermuara pada satu hal, yakni terjadinya krisis
kepercayaan masyarakat terhadap aparatnya.
Sebagaimana tersebut di atas di mata masyarakat aparat tidak lagi
memperjuangkan kepentingan dan mengusahakan kesejahteraan rakyat. Secara
menyolok justru terjadi semacam lomba atau pamer kekayaan di kalangan
pejabat tinggi yang jelas sangat menyinggung rasa keadilan masyarakat.
Akibatnya gap antara pejabat dengan rakyat semakin menganga lebar, dan pada
21
suatu ketika tidak terjalin sama sekali titik singgung diantara keduannya. Dalam
kondisi demikian antara pejabat dengan rakyat seolah-olah menjadi dua pihak
yang saling berhadapan secara konfrontatif.
Dalam era demokratisasi, dilema dalam hubungan antara penjabaran
nilai-nilai demokrasi dan realitas managemen organisasi birokrasi di masyarakat
menjadi hal yang rumit serta problematik. Realitas sosial masyarakat yang
dilahirkan serba tidak teratur dan transisi, yang terdiri dari berbagai kelompok
majemuk, tampil dengan topeng liberal demokrasi yang menuntut lahirnya
sebuah citra perfect dari birokrasi yang berwujud demokratis dalam
perspektifnya. Untuk hal tersebut perlu adanya penetapan ukuran dalam
pemberian pelayanan minimum sebagaimana dalam Riant Nugroho (2009)
dengan indikator sebagai berikut:
1. Meletakkan pelayanan minimum komitmen politik dari pemerintah.
2. Membuat evaluasi kebutuhan pelayanan minimum.
3. Menyusun rancangan strategis pelayanan umum.
4. Melaksanakan pelayanan minimum dalam konteks sektor dan area.
5. Melakukan pendampingan dalam pelayanan minimum.
6. Melakukan pemeriksaan atas pelaksanaan pelayanan minimum.
Kegiatan pelayanan publik seharusnya sesuai dengan kepentingan
masyarakat sebagai wujud efektifitas dan efisiensi, terutama untuk anggaran
yang akuntabel. Masyarakat mendapat respons Advokasi nilai atas pelayanan
yang diterimanya dari kelompok-kelompok intelektual yang dipengaruhi
lingkungan pendidikan, NGO, civil society yang menjadi agen demokrasi dalam
masyarakat. Dilema yang ditimbulkan adalah keinginan mengimplementasikan
paradigma pelayanan secara total kepada masyarakat sesuai tuntutan
demokratisasi. Sementara birokrasi dihadapkan kepada keterbatasan supra dan
infra struktur.
22
Berkaitan dengan etika birokrasi untuk kepentingan masyarakat maka
harus diupayakan penerapan pendekatan yang bersifat teleologis maupun
deontologis. Kita menginginkan birokrasi yang terdiri atas manusia yang
berkarakter. Karakter yang dilandasi sifat-sifat kebajikan akan menghasilkan
kebijakan yang menguntungkan masyarakat dan mencegah tujuan menghalalkan
segala cara. Karakter ini harus ditunjukkan bukan hanya dengan menghayati
nilai-nilai kebenaran dan kebajikan yang mendasar, tetapi juga nilai-nilai
kejuangan. Hal terakhir ini penting karena dengan semangat kejuangan seorang
birokrat, meskipun dengan imbalan tidak terlalu memadai akan sanggup
bertahan dari godaan untuk tidak berbuat yang bertentangan dengan nilai-nilai
kebenaran dan kebajikan. Seperti yang dicita-citakan oleh kaum “Administrasi
Negara Baru”, kinerja birokrasi kita hendaknya memiliki pula semangat keadilan
sosial yang akan tercermin dalam keberpihakan kepada yang lemah dalam
kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakannya. Selanjutnya seperti dianjurkan
oleh pandangan regime value, kinerja birokrasi kita harus berpegang teguh
kepada konstitusi dan segenap ketentuan pelaksanaannya. Sebaliknya, kinerja
birokrasi harus menentang setiap upaya yang tidak konstitusional apalagi yang
bertentangan dengan konstitusi. Selain itu, kinerja birokrasi kita juga harus
berorientasi pada hasil (result oriented). Kebijakan dan tindakannya harus
menjamin bahwa hasilnya adalah yang terbaik untuk masyarakat, dengan
mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingannya sendiri. Dari kajian
tersebut di atas dapat didiskripsikan bahwa kinerja aparatur publik sangat erat
hubungannya dengan budaya kerja dimana aparat tersebut mekukan tugas dan
fungsinya.
23
III. PENUTUP
A. Simpulan
Kesejahteraan sosial akan terwujud jika pelayanan yang prima dapat
dilakukan oleh aparatur publik, dengan berpijak pada prinsip-prinsip layanan
publik dan penentuan standard operasional prosedur layanan publik maka
kualitas layanan yang bermutu akan diperoleh. Kepuasan dapat dirasakan
oleh pelanggan yang dalam hal ini adalah pelanggan eksternal yaitu
masyarakat dan kepuasan juga dapat dirasakan oleh pemberi layanan yaitu
aparatur publik. Dalam rangka peningkatan kualitas layanan kepada
masyarakat tentunya aparatur publik akan Nampak cerdas jika menentukan
strategi layanan dengan inovasi layanan yang ditetapkan berdasar pada
keinginan masyarakat senyampang keinginannya tidak bertentangan dengan
peraturan perundangan di Indonesia.
Hubungan antara kinerja aparatur publik dan budaya kerja sangat erat
sekali jika dipandang dari kinerja itu adalah performance seseorang yang
tercermin dari hasil pekerjaannya. Sedangkan budaya adalah karya dan
kebiasaan yang dilakukan aparatur di tempat kerjanya yang dapat
berpengaruh pada image Lembaga atau Organisasi dengan citra yang
dibentuk sebagai budaya kerja yang baik atau buruk tergantung pada
Aparatur Publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
B. Rekomendasi
Dari diskripsi yang telah penulis paparkan di muka dapat
direkomendasikan hal sebagai berikut:
1. Kepada aparatur publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
hendaknya berdasar pada standar operasional yang telah ditetapkan dan
24
selalu berorientasi pada pelayanan yang bermutu agar kepuasan atas
produk layanan dapat dirasakan
2. Kepada masyarakat atau pelanggan hendaknya mengetahui prosedur
layanan yang diinginkan tanpa harus mengotori sebuah produk layanan
dengan beberapa kecurangan.
DAFTAR PUSTAKA
Albrow, Martin. 1989. Birokrasi. PT. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Almond, Gabriel & Bingham Powel. 1996. Comparative Politics Development Approach. Little Brown Company. Bombai. India.
Burns, Danny; Robin Hambleton and Paul Hoggett. 1994. The Politics of
Decentralization Revitalizing Local Democracy. London McMillan.
Broadbent, J. And Guthrie, J. 1992. “Changes In The Public Sctor: A Review Of Recent “Alternative’ Accounting Research. Accounting, Auditing & Accountability Journal. 5 (2): 3-31
Crozier, Michel. 1964. The Bureaucratic Phenomenon. University Press. Chicago Effendi Akhyar. Dkk. 2008. Manajemen Pegawai Negeri Sipil yang Efektif.
Flyn, Norman. 1990. Public Sector Management Harvester Wheatsheaf. London.
Hughes, O, E. 1998. Public Management. 2nd ed., London Mac Milan Press.
London. Haris, Ramli. 2009. Kepemimpinan yang Efektif di Era Globalisasi. Fakta Nyata.
Jakarta.
Nugroho, Riant. 2009. Public policy. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Ndraha, Taliziduhu. 2005. Teori Budaya Organisasi. Rineka Cipta. Jakarta
Osborne, David, dan Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government: How the Enterpreneurial Spirit is Transforming The Public Sector. Plume. New York.
Persons, Wayne. 2006. Public Policy Pengantar dan Teori & Praktek Analisis Kebijakan. Dialih Bahasakan Tri Wibowo Budi Santoso. Kencana. Jakarta.
25
Rondinelli. Dennis, A. 1981. Government Decentralization in Comparative
Perspectivve: Theory and Practice in Developing Countries, International Review of Administrative Science XLVII (2)