BAB 1 PENDAHULUAN Penderita penyakit kanker dapat menderita nyeri akut maupun kronik.WHO menyebutkan bahwa dua pertiga dari penderita penyakit kanker akan meninggal karena penyakitnya dan bahwa dalam perjalanan penyakitnya 45- 100% dari mereka akan mengalami nyeri yang ringan sampai berat. 1 Nyeri yang dialami penderita akan menyebabkan penderitaan, tidur , makan, pekerjaan serta kesempatan rekreasi terganggu. Karena itu, penanggulangan nyeri menjadi prioritas. Pada nyeri kanker juga ada faktor non somatik serta ada perubahan penyesuaian fisiologik di susunan saraf, maka eradikasi nyeri ini tampaknya suatu hal yang tidak realistik. Sehingga yang patut diusahakan adalah mengurangi frekuensi dan intensitas nyeri yang diderita serta membantu penderita mengatasi nyeri dengan menjelaskan bahwa nyeri yang diderita hanya akan mereda dan tidak akan hilang. Dengan demikian maka pengelolaan nyeri kanker terutama ditujukan untuk memperbaiki kualitas hidup penderita, agar penderita dapat menjadi lebih nyaman. 1 Survei pada sekelompok dokter yang tergabung pada Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG), respon mereka adalah , 86 % pasien tidak mendapat penanganan nyeri dengan baik dan hanya 51 % menyatakan telah menangani nyeri kanker dengan baik. 2 Beberapa batasan yang 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 1
PENDAHULUAN
Penderita penyakit kanker dapat menderita nyeri akut maupun kronik.WHO
menyebutkan bahwa dua pertiga dari penderita penyakit kanker akan meninggal
karena penyakitnya dan bahwa dalam perjalanan penyakitnya 45-100% dari mereka
akan mengalami nyeri yang ringan sampai berat.1 Nyeri yang dialami penderita akan
menyebabkan penderitaan, tidur , makan, pekerjaan serta kesempatan rekreasi
terganggu. Karena itu, penanggulangan nyeri menjadi prioritas.
Pada nyeri kanker juga ada faktor non somatik serta ada perubahan
penyesuaian fisiologik di susunan saraf, maka eradikasi nyeri ini tampaknya suatu hal
yang tidak realistik. Sehingga yang patut diusahakan adalah mengurangi frekuensi
dan intensitas nyeri yang diderita serta membantu penderita mengatasi nyeri dengan
menjelaskan bahwa nyeri yang diderita hanya akan mereda dan tidak akan hilang.
Dengan demikian maka pengelolaan nyeri kanker terutama ditujukan untuk
memperbaiki kualitas hidup penderita, agar penderita dapat menjadi lebih nyaman.1
Survei pada sekelompok dokter yang tergabung pada Eastern Cooperative
Oncology Group (ECOG), respon mereka adalah , 86 % pasien tidak mendapat
penanganan nyeri dengan baik dan hanya 51 % menyatakan telah menangani nyeri
kanker dengan baik.2 Beberapa batasan yang mempengaruhi keefektifan dari
manajemen nyeri kanker yaitu tidak adanya perlindungan nasional terhadap
perawatan paliatif dan penyembuhan kanker, kurangnya kepercayaan masyarakat
bahwa nyeri kanker dapat disembuhkan, kurangnya dana dan keterbatasan sistem dan
personil pelayanan kesehatan, kepercayaan masyrakat bahwa opioid dapat
menyebabkan ketergantungan dan penyalahgunaan obat.3
Penanganan dari nyeri kanker yang efektif, selain memerlukan medikasi, juga
memerlukan komponen lain dari manajemen komprehensif penanganan nyeri kanker,
seperti misalnya manajemen terhadap psikologisnya, sosial dan spiritual.3 Dengan
penanganan yang baik, sebenarnya 80-90% nyeri kanker dapat ditanggulangi jika hal
tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur pengelolaan penderita nyeri kanker yang
dianjurkan oleh WHO. 1
Tujuan dari kajian pustaka ini ialah memaparkan mengenai penanganan nyeri
kanker secara umum, melalui beberapa pendekatan, yang nantinya diharapkan dapat
memberikan informasi kepada pembaca mengenai penatalaksanaan nyeri kanker.
1
BAB 2
NYERI KANKER DAN PENATALAKSANAANNYA
2.1 Definisi
Menurut International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri di definisikan
sebagai sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan, yang menyertai kerusakan jaringan .1 Berdasarkan definisi tersebut,
nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik
nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis).
Tumor merupakan suatu pertumbuhan jaringan atau sel-sel diluar kendali,
yang sama sekali tidak bermanfaat. Disebut ganas karena menimbulkan kerusakan
jaringan sekitarnya.4
2.2 Penyebab Nyeri Kanker
Penyebab nyeri kanker ada 3 macam yaitu: 4
1. Penyebab langsung dari tumor (75-80%), misalnya penekanan massa tumor
pada tulang dan saraf, infiltrasi kanker pada jaringan lunak dan alat dalam,
peningkatan tekanan dalam rongga kepala, serta adanya tukak (luka).
2. pengobatan anti kanker (15-19%) misalnya nyeri pasca-operasi, pasca
kemoterapi, atau pasca radiasi.
3. Tidak berhubungan dengan kanker ataupun pengobatannya (3-5%) misalnya
penyakit lain yang menimbulkan nyeri yaitu gangguan pada otot dan tulang
arthritis, gangguan jantung, dan migrain
2
2.3 Tipe Nyeri Kanker 1,3
Nyeri kanker diklasifikasikan menjadi beberapa kategor berikut ini :
1. berdasarkan jenisnya
a) Nyeri nosiseptif
Gambar 1. Lintasan nyeri nosiseptif
Dikutip dari kepustakaan no 5
Nyeri nosiseptif dihasilkan ketika sensor nyeri lintasan nyeri distimulasi.
Khususnya reseptor pada ujung akhir akson saraf, nosiseptor (serabut A-
delta dan serabut C) terminal, mendeteksi rangsanagan mekanik, kimia
dan suhu, menghasilkan suatu aktivitas listrik pada saraf. Sinyal ini akan
ditransmisikan sepanjang lintasan saraf di otak. Di otak kemudian
diintegrasikan dengan aktivitas kortikal yang lain dan menghasilkan
persepsi nyeri pada penderita .
Nyeri nosiseptif dapat berasal dari somatik atau visceral atau keduanya.
Nyeri somatik dihasilkan dari kulit, otot, tulang serta fascia, dan dimediasi
oleh sistem saraf somatik. Inervasinya sangat spesifik, sehingga nyerinya
terlokalisir. Nyeri somatik ditandai dengan rasa nyeri yang tajam, sakit
berdenyut atau seperti ditekan. Sedangkan nyeri visceral berasal dari
struktur tubuh bagian dalam seperti organ – organ gastrointestinal. Nyeri
ini dimediasi oleh sistem saraf otonom. Kurangnya spesifisitas dari
inervasi dan adanya crosover saraf, menyebabkan nyeri visceral menjadi
sulit untuk dilokalisir. Nyeri visceral ditandai dengan rasa perih dan kram.
3
b) Nyeri Neuropati
Nyeri neuropati adalah nyeri yang disebabkan oleh lesi primer atau
disfungsi dari sistem sensor nyeri dari saraf. Lesinya dapat terjadi pada
sistem saraf visceral atau somatik (somatosensoris) perifer atau pusat.
Saraf tersebut rusak karena kompresi, infiltrasi, iskemia, kelainan
metabolik atau transeksi.
Nyeri ini juga dapat disebabkan karena disfungsi saraf seperti misalnya
nyeri nosiseptif kronik yang dapat meningkatkan sensitifitas saraf spinal,
dimana prosesnya disebut fasilitasi sentral atau ”wind up”. Walaupun
sarafnya tidak rusak, terjadi sistem sinyal yang abnormal pada saraf yang
membentuk stimulus noksius, dan menghasilkan nyeri yang lebih hebat
dari normal, atau stimulus non noksius, menghasilkan nyeri. Hal tersebut
juga dapat menyebabkan alodinia, dimana tekanan/ sentuhan yang ringan
dapat menyebabakan nyeri.
Enzim siklooksigenase (COX) dan neurotransmiter glutamat, serta reseptor
N-methyl-D-aspartate (NMDA) berpengaruh terhadap terjadinya nyeri.
Nyeri neuropati digambarkan sebagai nyeri terbakar, menusuk , seperti
tersengat listrik.
c) Nyeri idiopatik / nyeri total
Nyeri idiopatik pada umumnya digunakan bila keluhan nyeri tidak dapat
diterangkan secara adekuat dengan proses patologis, diperkirakan
disebabkan oleh proses organik tersembunyi atau faktor non fisik yang
menghasilkan nyeri. Misalnya, Faktor psikologis (cemas, depresi), faktor
sosial (dijauhi keluarga), faktor spiritual atau eksistensi (takut mati,
hilangnya harapan hidup), sehingga sangat sulit untuk mengontrol nyeri
jika hal ini juga tidak kita tangani.
2. berdasarkan timbulnya nyeri
a) nyeri akut
nyeri yang timbul mendadak dan sementara dan ditandai aktivitas saraf
otonom berupa takikardi, hipertensi, hiperhidrosis, pucat, dan midriasis
b) nyeri kronis
nyeri berkepanjangan , dapat berbulan-bulan tanpa adanya aktivitas
otonom.
4
3. berdasarkan penyebabnya
a) nyeri karena penyakit kankernya
b) nyeri karena pengobatan kankernya
4. berdasarkan derajat nyeri
a) nyeri ringan
nyeri yang hilang timbul terutama saat beraktivitas sehari-hari dan
menghilang bila tidur
b) nyeri sedang
nyeri teru menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilang apabila
penderita tidur
c) nyeri berat
nyeri teru menerus sepanjang hari dan penderita tidak dapat tidur, serta
sering terjaga karena nyeri
2.4 Patofisiologi 1
Tiga faktor utama yang berperan pada patogenesis nyeri pada penderita kanker ialah
mekanisme nosiseptif, neuropati dan proses psikologis. Lesi nervus perifer oleh
karena tumor, pembedahan artau kemoterapi merupakan tipe yang paling sering dari
nyeri neuropati pada penderita kanker.
Proses nyeri merupakan interaksi yang sangat komplek dari struktur sistem
saraf pusat maupun saraf perifer mulai dari kulit sampai korteks serebri. Blokade dari
tiap jalur ini atau penggunaan antagonis neurotransmiter yang terlibat secara rasional
dianggap dapat menanggulangi masalah nyeri. Bila rangsang kerusakan jaringan yang
potensial diletakkan pada daerah yang sensitif maka akan menghasilkan identifikasi
sebagai nyeri. Tiap deskripsi nervus perifer menunjukkan bahwa tiap kelas serabut
saraf bertanggung jawab terhadap satu sensor. Kerja neurofisiologis telah menetapkan
adanya saraf aferen primer yang spesifik untuk menandai rangsang berbahaya.
Nervus ini disebut nosiseptor yang diaktivasi oleh beberapa bentuk energi (mekanik,
suhu, atau kimia). Mereka mengubah energi itu menjadi impuls elektrik yang
diteruskan melalui akson menuju otak. Fungsi nosiseptor adalah transduser
(meneruskan) merubah energi energi mekanik, termal, kimia menjadi sinyal elektrik
yang kemudian ditransmisikan ke spinal cord melalui serabut saraf aferen primer.
Mekanisme aktivasi nosiseptor ini belum diketahui, tetapi rangsangan harus
merubah fungsi membran reseptor agar membran mengalami depolarisasi dan
5
menghasilkan aksi potensial pada serabut saraf aferen. Pada keadaan lain , kerusakan
jaringan bisa melepaskan bahan kimia yang merubah keadaan membran. Semakin
besar rangsangan , semakin besar pula respon frekuensi menghasilkan aksi potensial.
Nosiseptor telah ditemukan pada semua jaringan kecuali sistem saraf pusat,
dan terdapat perbedaan klinis antara nosiseptor kutaneus dan visceral. Visceral
memiliki nosiseptor yang lebih sedikit daripada kulit, dengan profil aktivasi yang
berbeda pula, Serabut saraf aferen viseral yang membawa informasi nosiseptif harus
melalui spinal cord dengan serabut simpatis. Informasi nosiseptif ditransmisikan ke
sentral melalui serabut C yang tidak terbungkus mielin dan serabut A delta.
Derajat penyembuhan nyeri setelah pemberian opioid tergantung pada
intaindividual dan interindividual, tergantung pada tipe dan waktu terjadinya nyeri,
obat dan karakteristiknya, cara pemberian. Pada nyeri neuropati, kasiat dari opioid
tidak begitu efektif.11
Opioid harus diberikan dengan cara yang aman, yang dapat memberikan efek
analgesik yang adekuat. Bererapa cara pemberian opioid:
1. Oral
Pemberian opioid oral tetap merupakan pemberian paling sesuai dalam praktik
klinis. Pemberian oral memiliki onset kerja yang lebih lama dan waktu puncak
dicapai lebih lama daripada parenteral. Pemberian opioid secara oral tidak sesuai
untuk penderita yang mengalami kesulitan menelan atau menderita obstruksi
gastrointestinal, dan untuk penderita yang memerlukan onset analgesik yang
cepat. Pada pemberian oral, opioid diabsorbsi dari saluran cerna langsung ke
sirkulasi portal, dimana kemudian diangkut ke hati. Obat ini dimetabolisme
menjadi produk inaktif sebelum mencapai sirkulasi sistemik yang dikenal
sebagai hepatic first pass effect. Efek ini menyebabkan timbul persepsi bahwa
pemberian opioid oral tidak efektif.
2. Rektal
Cara pemberian melalui rektal merupakan pilihan noninvasif pada penderita
yang tidak mungkin menggunakan opioid oral. Potensi yang dicapai oleh opioid
per rektal kira-kira sama dengan yang dicapai dengan pemberian oral.
Pemberian opioid rektal telah dianjurkan untuk penderita yang tidak bisa
menelan atau mual muntah. Pada beberapa penelitian, bioavailabilitas
pemberian rektal serupa dengan pemberian oral.1 Absorbsi dari pemberian
opioid secara rektal, absorbsinya lambat sehingga tidak cocok untuk
penyembuhan nyeri akut. Biasanya pasien merasa tidak nyaman dengan
25
pemberian opioid dengan cara ini. Pemberian per rektal, kontra indikasi jika ada
lesi pada anus atau rektum.13
3. Transdermal
Gambar 8. Pemberian analgesia opioid melalui transdermalDikutip dari kepustakaan no 13
Tersedia formula transdermal dari fentanil yang dapat mengeluarkan 25,50,75
atau 100 mikro gram per jam. Indikasi pemberian ialah toleransi obat oral, gagal
dipenuhinya efek analgesik dengan pemberian oral, serta untuk pasien dengan
nyeri konstan dengan sedikit fluktuasi. Cara ini kerjanya dengan menyalurkan
obat melalui kulit. 1,13
4. Sublingual
Pemberian sublingual terutama berguna pada penderita yang mual muntah dan
disfagi, serta yang tidak dapat mentoleransi pemberian oral. Pemberian ini
memberi keuntungan absorbsi sistemik daripada yang melalui portal. Absorbsi
sublingual dari metadon, fentanil, dan bufrenorfin dari larutan alkalin telah
menunjukkan pencapaian efek analgesik yang cepat. Absobsi sublingual dapat
terjadi pada setiap opioid, tetapi bioavailabilitasnya sangat jelek pada obat yang
tidak bersifat lipofilik seperti morfin.1
5. intramuskuler
Injeksi intramuskuler sering dilakukan karena murah dan gampang
pemberiannya. Saat ini pemberiannya sudah jarang karena menimbulkan nyeri
dan dan absorbsinya lambat dan tidak dapat diprediksi.13 Pemberian morfin
intramuskuler paling sering digunakan untuk nyeri post operasi.1
6. Subkutan
7. Intravena
8. intracerebroventrikuler
9. Intraspinal
26
Efek samping pemberian opiod yang sering terjadi adalah konstipasi, mual
muntah, mulut menjadi kering, produksi keringat berlebih. Selain itu efek yang jarang
terjadi yaitu disforia / delirium, halusinasi /mimpi buruk, pruritus atau urtikaria,
retensi urin, myoklonic jerks / kejang, dan depresi napas (morfin).3
Penjadwalan Pemberian Opioid 1
Dosis Around The Clock
Penderita dengan nyeri kontinyu dan sering, biasanya dijadwal untuk mendapatkan
dosis ini. Formulasi ini seharusnya tidak digunakan untuk melakukan titrasi dosis
secara tepat pada penderita dengan nyeri hebat. Sekarang banyak digunakan morfin
sulfat oral controlled release dan fentanil trasdermal. Preparat morfin sulfat
controlled release mencapai kadar plasma puncak 3-5 jam setelah pemberian dan
memiliki durasi 8-12 jam.
Resque Dose ( dosis pertolongan )
Penderita yang menerima preparat opioid around the clock harus juga ditawarkan
pemberian Resque Dose bila diperlukan untuk mengobati nyeri yang muncul di
tengah jadwal. Obat yang digunakan umumnya identik dengan obat yang diberikan
secara kontinyu. Dosis pemberian Resque Dose harus sama dengan 5-15% dosis dasar
24 jam. Dosis awal Resque Dose dapat ditawarkan sampai setiap 15 menit.
Adiksi dan Toleran Terhadap Opioid
Adiksi adalah ketergantungan psikologis terhadap obat, karena ketidakmengertian
terhadap penggunaan opioid dan penggunaan yang berlebih. Pada pasien dengan nyeri
kanker kronis, insiden adiksi kurang dari 1:1.000.
Toleran yaitu ketergantungan fisik terhadap opioid, dimana pasien memerlukan dosis
yang lebih besar dari dosis pemeliharaan, dalam mengatasi keluhannya. Hal ini dapat
terjadi karena perkembangan dari withdrawal sindrom (terjadi karena diskontinyuitas
penggunaan obat opioid). Jika analgesik opioid dalam menurunkan dosisnya melelui
tapering, withdrawal sindrom tidak akan terjadi.
2.7.2.5 Adjuvan 1,3
27
Analgesia adjuvan digunakan untuk menambah efisasi analgesia opioid, mengatasi
gejala yang menyertai nyeri atau memberikan efek analgesia tersendiri untuk
mengatasi jenis nyeri tertentu.
Trisiklik Antidepresan
Serotonin dan neurotransmiter katekolaminergik berperan dalam modulasi nosiseptor.
Beberapa obat anti depresan berperan dalam menghambat pengambilan noradrenalin
dan serotonin dalam CNS dan medula. Hal ini dapat meningkatkan konsentrasi
neurotransmiter pada synaps.1 Contoh trisiklik antidepresan yaitu: amitriptilin,
desipramin,imipramin, nortriptilin. Obat ini dapat diguanakan untuk mengatasi nyeri
secara umum dan nyeri neuropati. 3
Kortikosteroid.
Kortikosteroid merupakan obat ajuvan yang penting pada penderita kanker terutama
stadium lanjut. Kortikosteroid memberikan efek anti infamasi, elevasi mood, anti
emetik, memperbaiki nyeri, dan meningkatkan nafsu makan. Obat ini menurunkan
myeri denga efek anti infamasinya yang menurunkan release asam arakidonatuntuk
membentuk prostaglandin.3 Obat ini digunakan untuk menanggulangi nyeri neuropati
karena peningkatan tekanan intrakranial. Steroid sistemik diduga menurunkan edema
perineural dan edema linfatik yang menimbulkan nyeri dengan menekan saraf.
Pengobatan ini spesifik untuk kasus-kasus kompresi spinal cord. Sedangkan terapi
untuk mengatasi kompresi saraf menggunakan deksametason dosis tinggi, hampir 30
mg/hari. Jika tidak didapatkan peningkatan rasa nyeri, dosis dapat diturunkan secara
bertahap selama 3-5 hari. Pada pemberian kortikosteroid harus diawasi timbulnya
kandidiasis oral atau vagina.1 Efek yang tidak diinginkan pada oabat ini adalah
hiperglikemia, peningkatan berat badan, miopati, disporia atau psikosis yang
merupakan komplikasi terapi jangka panjang. 3
Antikonvulsan
Antikonvulsan digunakan sebagai pelengkap analgesik. Golongan ini menekan rasa
terbakar dari saraf dan telah digunakan untuk mengobati nyeri neuropati, termasuk
nyeri trigeminal, neuropati perifer. Yang termasuk golongan ini adalah karbamazepin,
sodium valproat, klonazeam, gabapentin, fenitonin. Obat-obatan ini dimulai dari dosis
rendah dan secara bertahap ditingkatkan untuk menghindari efek samping seperti
dizziness, ataksia, drowsiness, pandangan kabur, dan iritasi saluran cerna.1
Agonis alfa 2 adrenergik
28
Agonis alfa 2 adrenergik seperti clonidin dapat menjadi analgesia tambahan yang
efktif antara nyeri nosiseptif ataupun neuropati. Cara kerjanya pada level spinal cord
dengan 2 jalan . Cara yang pertama , dengan bekerja sesuai denga cara kerja opioid,
yaitu bekerja pada neuron yang sama di spinal cord dan dan menghasilkan reaski
intraseluler yang sama namun berbeda reseptor. Hal tersebut untuk mengatasi nyeri
nosiseptif. Cara ke-2, menurunkan simpatetic outflowyang mempengaruhi nyeri
neuropati.. Obat ini dapat diberikan secara sistemik atau intraspinal. Efek sampingnya
berupa letargi, mulut kering, dan hipotensi.
Neuroleptik/Antipsikotik
Antipsikotik (misalnya, haloperidol, klorpromasin, risperidon) dan anti cemas
(lorazepam) telah lama disebutkan memiliki efek memperkuat pengaruh analgesik
opioid. Haloperodol memiliki kegunaan dalam penanganan konfulsi akut pada kanker
terminal.
Perangsang Saraf Pusat
Yang termasuk kelompok ini adalah amfetamin, kokain, dan kafein. Pengobatan nyeri
kanker kronis dapat menggunakan Brompton’s cocktail. Campuran ini mengandung
morfin, kokain dan fenotiazin.
BAB 3
KESIMPULAN
29
Nyeri merupakan salah satu keluhan pada penderita kanker dan memiliki dampak
pada fungsi fisiologis tubuh dan juga mempengaruhi kualitas hidup penderita.
Pengelolaan nyeri yang tidak adekuat bukan saja akan meningkatkan nmorbiditas dan
mortalitas, namun dipandang sebagai suatu hal yang tidak manusia Oleh sebab itu,
nyeri kanker harus ditangani dengan adekuat.
Penanganan dari nyeri kanker ini memerlukan penanganan multidisiplin.
Intervensinya meliputi berbagai komponen, mulai dari penyakitnya, psikologis,
kondisi fisik dan efek samping pengobatan. Pemahaman tentang patofisiologi nyeri
sangat penting guna melakukan pengelolaan atau pengobatan yang rasional, yaitu cara
multi modal analgesia (balance analgesia), yaitu pengobatanm dengan
mengkombinasikan 2 macam obat atau lebih, yang mekanisme kerjanya berbeda ,
namun menghasilkan analgesia yang optimal dengan efek samping yang minimal.
Salah satu penanganan nyeri kanker adalah melalui pendekatan WHO
analgetic ladder yang angka keberhasilannya dalam mengatasi nyeri kanker mencapai
90%. Step-step dalam WHO analgesic ladder memberikan tuntunan dalam pemilihan
obat sesuai intensitas nyeri yang dirasakan penderita. Penerapan dari penanganan
nyeri kanker secara komprehensif sangat membantu penderita kanker dalam
mengatasi kesulitan yang dihadapinya, setidaknya dapat meningkatkan kualitas hidup
mereka.
Daftar Pustaka
30
1. Suwiyoga IK. Penanganan Nyeri Pada Kanker serviks Stadium Lanjut. MKU 2004; vol 35: no 123: 14-21.
2. Suardi DR. Pengelolaan Nyeri Kanker. IDSAI 2000: 89-94.
3. Thomas JR, Ferris FD, & Gunten CF. Approach to the Management of Cancer Pain. In: Benzon, Raja, Molloy, Liv, Fishman, editors. Essential of Pain Medicine and Regional Anesthesia; edisi ke-2, Philadelphia: Elsevier, 2005:525-541.
5. Pathophysiology of Pain [serial online] 2004. Available http://www.arhg.gov/clinic.htm. Accessed : 5 Desember, 2005.
6. Morgan GE dan Mikhail MS. Pain management. In: Clinical anesthesiology; edisi ke 2. Stamford: Appleton and Lange; 1996: 274-316.
7. Hamil RJ & Rowlingson JC. The Physiologic and Metabolic Response to Pain and Stress. In: Handbook of Critical Care Pain management. New York; McGraw-Hill; 1994: 13-25.
8. Hamil RJ & Rowlingson JC. The Assesment of Pain . In: Handbook of Critical Care Pain management. New York; McGraw-Hill; 1994: 13-25.
9. Benzon et all. The Assesment of Pain. In essential of Pain Medicine and Regional Anesthesia. Edisi ke-2. Philadelphia; livingstone ;2005
10. Instruction for Numeric Pain Scale. Children and Women`s Service Nursing Devision [serial online] 2003. Available from: http://www.vh.org/pediatric. Accessed: 5 Desember , 2005.
11. Fitzgibbon DR. Cancer Pain Management. In: Loeser JD, editor. Bonica`s Management Of Pain; edisi ke-3. Philadelphia: Lippincott Williams & Walkins; 2001:659-695.
12. Pharmacologic Management. Cancer info [serial online] 2004. available: http://www.cancer.gov/cancerinfo. accessed: 5 Desember , 2005.
13. Managenent of Cancer Pain.rhrg [serial online] 2002. Available: http://www.ahrg.gov/clinic/epcsums/canpainsum.htm. accessed: 5 Desember , 2005.