Page 1
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1751
STUDI SHADED RELIEF KOMPOSIT DALAM MENGIDENTIFIKASI
PALEOMORFOLOGI MAGMATISME BERUMUR PALEOGEN DI DAERAH
KARANGSAMBUNG, KEBUMEN, JAWA TENGAH
Aditya Hirawan1
Nugroho Imam Setiawan1*
Agung Harijoko1
1Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
Jalan Grafika 2, Yogyakarta
*corresponding author: [email protected]
ABSTRAK
Magmatisme Paleogen di daerah Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah termasuk dalam
Formasi Waturanda yang dicirikan oleh kehadiran batuan intrusif berupa retas berkomposisi
mikrograbro, batuan beku ekstrusif berupa lava andesit dan basalt, serta batuan piroklastik
berupa breksi vulkanik, lapili, dan tuf. Kontak retas dengan batuan vulkanik Formasi
Waturanda merupakan kontak intrusi dan sesar. Kontak tersebut menunjukkan bahwa umur
intrusi lebih muda dari Formasi Waturanda yang berumur Oligosen Akhir. Namun
penanggalan absolut menunjukkan umur retas adalah Eosen Akhir hingga Oligosen Awal.
Diperlukan investigasi lapangan lebih lanjut untuk mencari keberadaan kontak kedua satuan
batuan, untuk menjawab ketidaksesuaian umur tersebut. Dengan demikian, diperlukan studi
area kerja pra-lapangan melalui analisa permukaan dari data elevasi yang diinterpolasi
menggunakan metode topo to raster kemudian dikonversi menjadi shaded relief. Target studi
ini adalah untuk mencari morfologi perbukitan terisolir yang merupakan paleomorfologi dari
retas atau volcanic neck. Pembuatan shaded relief dilakukan secara komposit pada dua
pencahayaan utama yakni arah utara (kuadran 1 dan 4) sebanyak 8 azimut dan arah selatan
(kuadran 2 dan 3) sebanyak 8 azimut. Shaded relief komposit dengan pencahayaan dari utara
dapat mengidentifikasi sepuluh morfologi perbukitan terisolir dengan dimensi 150 meter
hingga 660 meter; terletak di sebelah utara punggungan antiklin Karangsambung pada Desa
Pucangan dan Desa Totogan. Sedangkan shaded relief komposit dengan pencahayaan dari
arah selatan dapat mengidentifikasi enam morfologi perbukitan terisolir dengan dimensi 120
meter – 530 meter; terletak di sebelah selatan dan barat dari punggungan antiklin
Karangsambung, tepatnya pada Desa Langse, Desa Banioro, Desa Karangsambung, dan Desa
Wonotirto yang berada di sebelah barat Sungai Luk Ulo.
Kata Kunci : shaded relief komposit, paleomorfologi, volcanic neck, retas
1. Pendahuluan
Karangsambung, yang termasuk dalam zona Serayu Selatan, merupakan salah satu
wilayah di Jawa Tengah dengan tingkat geodversitas yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan
karena tersigkapnya basement pra-tersier pulau Jawa ke permukaan akibat dari aktivitas
tektonik berupa pengangkatan Pulau Jawa yang berlangsung selama zaman Paleogen. Satyana
(2007) mengatakan bahwa pengangkatan tersebut membentuk daerah yang terkunci secara
tektonik (tectonic locked area) pada zona Serayu Selatan dan menyebabkan bagian tengah
dari zona tersebut mengalami pembubungan secara kompresif. Pembubungan ini
menyebabkan tersingkapnya batuan-batuan dasar yang berumur sangat tua tersingkap ke
permukaan.
Selain batuan dasar (basement) yang tersingkap, juga tersingkap batuan-batuan yang
menandakan adanya proses magmatisme awal Pulau Jawa saat Paleogen. Setiawan, dkk
(2011) mengatakan bahwa pusat vulkanisme berada pada Desa Dakah dan batuan vulkanik
Page 2
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1752
yang dijumpai berupa andesit basaltik, lava basaltik, dan intrusi dangkal diabas, di mana
semuanya menunjukkan afinitas tholeitik busur kepulauan.
Kontak yang diusulkan oleh peneliti tedahulu seperti Asikin, dkk. (1992) adalah kontak
intrusi dan sesar di mana batuan vulkanik dan hipabisal Dakah menerobos Formasi
Waturanda. Walaupun demikian, peneliti terdahulu seperti Soeria-Atmadja (1994) telah
melakukan penanggalan absolut pada batuan volkanik yang berada di Formasi Totogan dan
menghasilkan tiga umur yang berbeda yakni 39,86 Ma (Eosen Akhir), 37,55 Ma (Oligosen
Awal), dan 26,52 Ma (Miosen Awal). Dengan demikian terjadi ketidaksesuaian antara umur
batuan dengan kontak yang selama ini diusulkan.
Berangkat dari hal tersebut dibutuhkan tinjauan lapangan dengan skala yang lebih detil
untuk mencari semua kontak antara batuan volkanik tersebut dengan formasi batuan di
sekitarnya. Studi citra permukaan dengan menggunakan DEM (Digital Elevation Model) dan
turunannya seperti shaded relief, slope, dan aspect dapat digunakan untuk mencari
paleomorfologi berupa perbukitan sisa (relict) yang terisolir dan dapat mengindikasikan
keberadaan pusat – pusat vulkanik yang ada di Karangsambung. Dengan diketahuinya letak-
letak morfologi perbukitan terisolir sebagai target utama dalam investigasi vulkanik Paleogen
Karangsambung, maka tinjauan lapangan dapat difokuskan ke area-area tersebut. Studi ini
mencoba untuk menemukan pencahayaan yang cocok dalam mengidentifikasi morfologi
perbukitan terisolir yang ada di Karangsambung menggunakan salah satu turunan DEM yakni
shaded relief.
1.1.Geologi Regional
Daerah studi difokuskan kepada Desa Karangsambung dan Desa Totogan yang
berada di sebelah timur dari lembah Sungai Luk Ulo. Satuan geomorfologi daerah
studi dapat dilihat pada peta geomorfologi daerah studi (Gambar 1). Dalam peta
geomorfologi tersebut, semua satuan geomorfologi diklasifikasikan berdasarkan hasil
identifikasi fitur lahan (terrain features) seperti kelurusan, relief, ketertorehan, serta
stadia erosi dari shaded relief. Satuan geomorfologi perbukitan sinklin memiliki
kelurusan barat-timur, terbentuk akibat gaya tektonik kompresif berarah utara–selatan
dan erosi yang intensif hingga terjadi pembalikan topografi. Satuan perbukitan
tersesarkan merupakan perbukitan yang memiliki kelurusan utara-selatan dan timur
laut-barat daya, terbentuk karena mengalami deformasi rapuh yang bersifat kompresif
secara intensif. Berbeda dengan perbukitan sinklin yang tersusun atas batuan sedimen
klastik dan vulkaniklastik Paleogen, perbukitan ini didominasi oleh batuan metamorf.
Satuan perbukitan terisolir yang merupakan objek utama studi ini tersebar di sebelah
selatan, barat laut, dan utara dari punggungan perbukitan sinklin tersebut dan tersusun
atas batuan beku seperti basal, andesit, dan diabas. Sedangkan satuan dataran aluvial
merupakan hasil erosi dan sedimentasi lateral dari Sungai Luk Ulo yang berstadia tua.
Menurut Asikin (1992), daerah studi tersusun atas formasi batuan seperti pada peta
geologi regional daerah penelitian (Gambar 2). Yang menjadi fokus dalam studi ini
adalah Formasi Karangsambung (Teok), Formasi Totogan (Tomt), Formasi Waturanda
(Tmw), anggota tuf Formasi Waturanda (Tmwt), dan intrusi diabas (Tmd). Umur dari
intrusi diabas tersebut adalah Miosen Awal - Miosen Tengah sehingga memiliki
kontak intrusi terhadap semua formasi di atas.
Konsep mengenai vulknanisme Paleogen Karangsambung pertama kali diusulkan
oleh Prasetyadi (2007) dalam Setiawan, dkk (2011) yang menyatakan bahwa
vulkanisme Paleogen Karangsambung bersifat in-situ dan berpusat di daerah Dakah,
sehingga selanjutnya disebut sebagai vulkanisme Dakah. Pendapat ini didukung oleh
Kamtono (1995) dalam Setiawan, dkk (2011) yang mengatakan bahwa diabas Gunung
Page 3
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1753
Parang merupakan sebuah tubuh intrusi di antara mélange sedimenter Formasi
Karangsambung dan Formasi Totogan melalui data geofisika metode gaya berat.
1.2.Paleomorfologi Vulkanik
Paleomorfologi merupakan bentuklahan dari proses-proses geologi yang terjadi di
masa lampau. Keberadaan paleomorfologi sangat penting dalam menentukan jenis
litologi penyusun ataupun proses-proses tektonik yang berlangsung pada suatu daerah.
Dalam kaitannya dengan paleomorfologi vulkanik, Kear (1957) membagi morfologi
gunungapi menjadi empat berdasarkan tingkat erosi dan umurnya sebagai berikut:
Intact volcano
Planeze stage
Residual volcano
Skeletal volcano
Intact volcano merupakan bentuklahan dari tubuh kerucut gunungapi kuarter yang
masih aktif dan masih dalam tahap perkembangan. Planeze stage merupakan tahapan
erosi yang sedikit lebih lanjut pada tubuh gunungapi yang setidaknya sudah berumur
Pleistosen tengah sampai Holosen, dicirikan dengan banyaknya ketertorehan
(dissection) pada kerucut gunungapi dan pembentukan triangular facet pada bagian
bawah dari lereng. Aktivitas gunungapi pada tahap ini sudah memasuki masa dorman
atau mati. Residual volcano adalah morfologi sisa gunungapi yang sudah berumur
Plio-Pleistosen dan dicirikan oleh pelandaian lereng kerucut gunungapi dan pelandaian
serta pelebaran lembah-lembah sungai radial yang mengalir keluar dari pusat
gunungapi. Tahap yang paling terakhir adalah skeletal volcano, yakni morfologi sisa
vulkanik yang setidaknya sudah berumur Miosen. Pada tahap ini kerucut gunungapi
sudah tidak lagi tampak, melainkan tubuh-tubuh batuan plutonik dangkal yang
menjadi korok (volcanic neck) dan retas yang resisten tersingkap ke permukaan
sehingga membentuk perbukitan terisolir dan bersifat inlier di antara dataran yang
tersusun oleh endapan yang berumur jauh lebih muda. (Kear, 1957)
Bentuklahan sisa berupa skeletal volcano dapat mencirikan pusat aktivitas
gunungapi Paleogen dan menjadi fokus utama dalam interpretasi shaded relief pada
studi ini.
1.3. DEM dan Turunannya
DEM (Digital Elevation Model) merupakan citra dalam format raster yang
menunjukkan informasi ketinggian suatu titik relatif terhadap datum yakni muka air
laur rata-rata. Tiap piksel dalam raster DEM memuat informasi ketinggian. Resolusi
dari tiap piksel dapat disesuaikan dengan skala vertikal atau interval dari garis kontur
ketinggian.
Favalli (2016) menyatakan bahwa DEM dapat diturunkan menjadi beberapa
raster lain yang berguna untuk mengidentifikasi fitur lahan (terrain features) yang
sangat penting untuk investigasi geologi penginderaan jauh. Fitur lahan yang
dimaksud antara lain pola kelurusan, tekstur, rona, dan pola drainase. DEM dapat
diturunkan antara lain menjadi shaded relief, slope, dan aspect.
Slope menunjukkan nilai kelerengan dari tiap piksel dengan cara menghitung
gradien dari setiap piksel dengan piksel di sekitarnya. Sedangkan aspect merupakan
raster yang menunjukkan arah dari kelerengan pada setiap piksel.
Page 4
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1754
Sedangkan shaded relief merupakan raster yang menunjukkan variasi tinggi-
rendah (relief) dari suatu permukaan relatif terhadap satu sumber pencahayaan. Nilai
yang muncul pada setiap piksel shaded relief bukan merupakan nilai ketinggian
maupun nilai kelerengan. Nilai yang dimuat pada setiap piksel shaded relief adalah
hasil rekalkulasi arah kelerengan dan besar kecuraman lereng terhadap sumber
pencahayaan tunggal yang memiliki azimut (deklinasi) dan memiliki ketinggian
(inklinasi). Nilai yang tertera pada tiap piksel ekuivalen dengan nilai kosinus dari
sudut dalam ruang yang dibentuk oleh garis normal dari tiap piksel yang memiliki
kelerengan dan arah datangnya cahaya; selanjutnya disebut sudut α. Sehingga nilai
maksimum shaded relief didapat ketika garis normal lereng dan arah datangnya
cahaya berimpit (cos 0o = 1) atau dengan kata lain sinar pencahayaan dan lereng saling
tegak lurus. Sedangkan Nilai minimum akan didapatkan ketika garis normal lereng
membentuk sudut tegak lurus terhadap sinar datang (cos 90o = 0) atau dengan kata lain
lereng menghadap ke arah yang berlawanan dengan arah datangnya cahaya. (Favalli,
2016, p.8)
Visualisasi shaded relief menggunakan warna hitam putih (grayscale). Warna
putih untuk nilai maksimum dan secara gradasional berubah menjadi warna hitam
untuk nilai minimum. Horn (1981) mengatakan bahwa visualisasi shaded relief
bersifat intuitif dan sangat bergantung dari arah pencahayaan yang digunakan.
Meskipun demikian, Kennelly (2008) mengatakan bahwa terdapat satu arah
pencahayaan yang paling umum dipakai yakni dari arah barat laut atau azimut 315o
dengan sudut inklinasi 45o.
Smith dan Clark (2005) menambahkan bahwa tidak ada satupun teknik
pencahayaan dan visualisasi yang dapat diformulasikan secara akurat dalam
menghasilkan citra shaded relief yang cocok untuk pemetaan geomorfologi. Dengan
kata lain setiap jenis dan letak lahan memiliki teknik pencahayaan serta visualisasi
yang spesifik untuk dapat menghasilkan citra yang bagus dan dapat diinterpretasi.
2. Metode Penelitian
Terdapat dua tahap metode penelitian yang dilakukan; antara lain adalah pembuatan
DEM dan turunannya, serta interpretasi paleomorfologi vulkanik dengan penjelasan sebagai
berikut:
a. Pembuatan DEM dan Turunannya
DEM dibuat dari data garis kontur dengan interval 12,5 meter yang didapatkan
dari Peta Rupa Bumi Indonesia keluaran tahun 2015 dalam bentuk shapefile. Datum
yang dipakai dalam penelitian shaded relief ini adalah WGS 1984 dengan sistem
koordinat UTM (Universal Transverse Mercator). Aplikasi yang digunakan dalam
mengolah data spasial adalah ArcGIS 10.4.1. dengan tool interpolasi yang dipakai
adalah topo to raster. Dalam pembuatan DEM menggunakan topo to raster, data
yang digunakan antara lain adalah data batas daerah studi sebagai boundary, garis
kontur, dan data sungai sebagai stream untuk mengkoreksi kelerengan pada lembah-
lembah sungai. Citra DEM daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
Tiga turunan DEM yakni shaded relief, slope, dan aspect dibuat dari raster DEM
dengan ketentuan sebagai berikut:
2.1.1. Shaded Relief
Shaded relief dibuat dengan menggunakan dua tool yakni hillshade tool
untuk mengubah DEM menjadi shaded relief, kemudian menggunakan
Page 5
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1755
weighted sum untuk membuat shaded relief komposit. Shaded relief komposit
adalah gabungan dari beberapa shaded relief dengan arah dan sudut
pencahayaan yang berbeda-beda. Nilai dari setiap piksel dari shaded relief
komposit merupakan hasil rekalkulasi dari nilai masing-masing raster sesuai
dengan pembobotan untuk setiap shaded relief yang dimasukkan.
Karena perbukitan terisolir yang dijadikan target investigasi berada di
sebelah utara dan selatan dari punggungan perbukitan sinklin yang memanjang
arah barat-timur, maka dibuat dua shaded relief komposit dari dua azimut
pencahayaan yang berbeda. Shaded relief komposit yang pertama merupakan
gabungan delapan arah pencahayaan dari kuadran IV dan kuadran I dengan
ketinggian (inklinasi) sebesar 33o; selanjutnya disebut dengan SRC-NORTH.
Shaded relief komposit yang kedua menggabungkan delapan arah pencahayaan
dari kuadran II dan kuadaran III dengan sudut inklinasi juga sebesar 33o;
selanjutnya disebut dengan SRC-SOUTH.
Data mengenai semua arah pencahayaan dan pembobotannya dimuat
dalam Tabel 1. Pembobotan untuk azimut N 135o E dan azimut N 45o E yang
relatif lebih besar dari arah pencahayaan yang lain disebabkan karena terdapat
perbukitan terisolir yang berada di sebelah barat laut dari punggungan
perbukitan sinklin.
Penggunaan inklinasi sebesar 33o pada semua shaded relief disebabkan
karena rata-rata besar kelerengan pada satuan perbukitan sinklin dan
perbukitan terisolir yang menjadi target adalah sebesar 30o – 40o; ditunjukkan
dengan warna kuning pada peta nilai kelerengan (Gambar 4). Dengan
membuat sudut inklinasi pencahayaan mendekati nilai kelerengan, maka sudut
α mendekati minimum dan nilai kosinus sudut α akan mendekati maksimum.
Implikasinya adalah tingkat kontras citra menjadi semakin tajam sehingga
skeletal volcano semakin mudah teridentifikasi.
2.1.2. Slope dan Aspect
Peta nilai kelerengan (slope) dibuat dari DEM dengan interval 10o.
(Gambar 4). Visualisasi peta nilai kelerengan menggunakan warna hijau muda
untuk sudut yang landai dan warna merah untuk sudut yang curam.
Sedangkan peta arah kelerengan atau aspect dibuat dengan interval
warna setiap perubahan azimuth sebesar 15o (Gambar 5). Visualisasi peta
aspect mengunakan warna hitam putih (grayscale) dengan arah utara berwarna
putih ke arah selatan secara gradasional (color ramp) berubah menjadi warna
hitam. Dengan demikian, lereng yang menghadap ke arah timur dan barat
mendapat warna abu-abu.
b. Interpretasi Paleomorfologi Vulkanik
Interpretasi paleomorfologi vulkanik dilakukan dari peta shaded relief
komposit, slope, dan aspect. Pada shaded relief komposit, morfologi sisa berupa
skeletal volcano yang menjadi objek penelitian dapat diidentifikasi sebagai tonjolan-
tonjolan kecil dengan kontras dua warna (warna terang dan warna gelap) yang
mencolok relatif terhadap daerah di sekitarnya. Tonjolan-tonjolan kecil yang
memiliki tingkat kontras tinggi tersebut harus dapat dibedakan dengan tekstur atau
kekasaran permukaan. Untuk membedakannya dengan tekstur kekasaran permukaan,
morfologi perbukitan terisolir yang menjadi target penelitian diasumsikan memiliki
Page 6
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1756
dimensi lebih dari 50 meter dan memiliki beda tinggi (relief) dari dasar bukit hingga
puncak sebesar minimal 25 meter atau melewati dua garis kontur.
2. Data
Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai data DEM dan turunannya, serta
visualisasinya hingga dapat teridentifikasi morfologi perbukitan-perbukitan terisolir yang
diperkirakan merupakan skeletal volcano.
a. DEM
DEM dibuat dari beberapa data yakni shapefile garis kontur dengan interval 12,5
meter dan shapefile sungai dalam bentuk garis. Dengan metode interpolasi topo to
raster, dihasilkan DEM dengan resolusi 6,25 meter dan interval perubahan warna
sebesar 12,5 meter. Citra DEM daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
Untuk mengkoreksi keberadaan lembah-lembah sungai maka dilakukan input
shapefile sungai dalam bentuk garis/polyline dan mengaktifkan fitur drainage
enforce.
Visualisasi DEM menggunakan gradasi warna (color ramp) ketinggian dimana
ketinggian minimum memiliki warna hijau dan ketinggian maksimum memiliki
warna merah menuju putih.
3.2 Turunan DEM I: Shaded Relief
SRC-NORTH (Gambar 6) merupakan gabungan dari delapan peta shaded
relief dengan arah pencahayaan berasal dari kuadran I dan IV, sedangkan SRC-
SOUTH (Gambar 7) merupakan gabungan dari delapan peta shaded relief dengan
arah pencahayaan berasal dari kuadran II dan III.
Nilai setiap piksel dalam shaded relief komposit menunjukkan kecenderungan
arah hadap dan besar lereng terhadap sumber pencahayaan yang termanifestasikan
oleh tingkat kecerlangan piksel dari hitam sampai putih (grayscale). Sebaran nilai
pada kedua shaded relief komposit mengikuti distribusi normal (Gambar 8a dan
8b).
Visualisasi SRC-NORTH dan SRC-SOUTH menggunakan modifikasi
histogram nilai piksel untuk meningkatan kontras raster, seperti pada Gambar 9a
dan Gambar 9b. Peningkatan kontras raster ini dimaksudkan untuk memperjelas
batas-batas dari perbukitan terisolir baik pada SRC-NORTH dan SRC-SOUTH.
Untuk meningkatkan kontras raster, dilakukan pergeseran nilai modus ke arah nilai
yang lebih rendah (warna piksel yang lebih gelap) dan pemunculan peak kedua
dengan frekuensi yang lebih rendah pada nilai piksel histogram yang paling rendah
(bagian histogram paling kanan). Sehingga pada histogram muncul dua peak
frekuensi nilai piksel dimana peak yang lebih tinggi atau modus bergeser ke arah
nilai yang lebih rendah sejauh 150 sampai 180 satuan dan peak yang lebih rendah
berada di batas bawah histogram.
Kedua shaded relief komposit menghasilkan total 16 perbukitan terisolir
dengan rincian sebanyak 10 buah perbukitan terisolir dari SRC-NORTH dan 6 buah
perbukitan terisolir dari SRC-SOUTH (Gambar 10a dan 10b). Pada kenyataannya,
perbukitan terisolir S2 dan S4 yang berada di sebelah selatan dari punggungan
perbukitan sinklin juga dapat diinterpretasi secara jelas dan kontras dari raster SRC-
NORTH. Hal tersebut juga berlaku sebaliknya, di mana terdapat beberapa perbukitan
Page 7
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1757
terisolir seperti N3 dan N1 yang berada di sebelah utara dari punggungan perbukitan
sinklin dapat diinterpretasi dengan jelas dari raster SRC-SOUTH.
a. Turunan DEM II: Slope dan Aspect
Dalam peta nilai kelerengan (slope), morfologi perbukitan terisolir dapat
diidentifikasi dengan cara melihat nilai kelerengan atau warna yang mencolok dari
daerah di sekirtarnya serta memiliki distribusi berbentuk sirkular dengan diameter
minimal 50 meter.
Sedangkan dalam peta arah kelerengan (aspect) dengan visualisasi grayscale,
morfologi perbukitan terisolir dapat diidentifikasi dengan melihat tonjolan dengan
perbedaan warna yang sangat kontras, di mana lereng sebelah utara berwarna putih
dan lereng sebelah selatan berwarna hitam. Sedangkan lereng yang miring ke arah
lain akan tampak secara gradasional berubah menjadi abu-abu.
Kedua turunan DEM di atas digunakan sebagai data pendukung untuk
mengkoreksi hasil interpretasi morfologi perbukitan terisolir menggunakan shaded
relief komposit. Koreksi ini perlu dilakukan karena shaded relief rentan terhadap bias
atau perubahan azimut pada objek-objek yang berada pada tekuk lereng (Favalli,
2016 p.8), serta menghindari keterbalikan persepsi mengenai cembung atau
cekungnya suatu bentuklahan akibat posisi relatif pengamat terhadap arah datang
pencahayaan. Perbukitan terisolir yang dijadikan target dapat terlihat seolah-oleh
cekung akibat dari pencahayaan yang tidak cocok.
3. Hasil Dan Pembahasan
Tabel 2 menunjukkan keterangan mengenai dimensi dan relief dari setiap perbukitan
terisolir yang dijumpai dalam daerah penelitian. Tampak bahwa persebaran perbukitan
terisolir terkonsentrasi pada Desa Totogan, Desa Karangsambung, dan Desa Pucangan, berada
di antara lembah Sungai Luk Ulo di sebelah barat dan perbukitan sinklin Karangsambung di
sebelah timur. Persebaran perbukitan terisolir dari hasil penelitian dapat dikorelasikan dengan
data lapangan penelitian terdahulu oleh Setiawan (2010) dan Setiawan, dkk (2011) yang
menyatakan bahwa terdapat setidaknya lima daerah ditemukannya singkapan batuan vulkanik
dan hipabisal Paleogen yang merupakan manifestasi sisa dari adanya vulkanisme Dakah.
Kelima daerah tersebut meliputi daerah Gunung Bujil, daerah Kali Jebug dan Banjarsari,
daerah Gunung Parang dan Desa Dakah, daerah Trenggulun Kidul, serta daerah Jembling dan
Kali Kayen. (Gambar 11)
Daerah Gunung Bujil dapat dikorelasikan dengan keberadaan morfologi perbukitan
terisolir di selatan perbukitan sinklin yakni S2, S3, dan S6. Setiawan (2010) menyatakan
bahwa pada lintasan Gunung Bujil dijumpai lava bantal basaltik dan lava masif basaltik di
antara lapisan breksi vulkanik dan breksi hialoklastik. Sedangkan daerah Kali Jebug dan
Banjarsari tidak dapat dikorelasikan dengan hasil interpretasi citra karena tidak dijumpainya
morfologi perbukitan terisolir yang signifikan dalam kedua shaded relief komposit.
Daerah Gunung Parang dan Desa Dakah yang berada di sebelah timur perbukitan
sinklin dan berbatasan dengan lembah Sungai Luk Ulo di sebelah barat dapat dikorelasikan
dengan morfologi perbukitan terisolir N8, N7, N1, dan N3. Daerah tersebut merupakan daerah
yang disinyalir menjadi pusat erupsi vulkanisme Paleogen Dakah. Data lapangan
menunjukkan tersingkapnya lava bantal dan lava masif berkomposisi basaltik. Selain itu juga
terdapat singkapan intrusi diabas yang membentuk kekar tiang seperti pada singkapan
Gunung Parang (Gambar 12). Area studi penelitian yang dilakukan oleh Setiawan (2010)
Page 8
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1758
mencapai sebelah barat dari lembah Sungai Luk Ulo, yakni daerah Trenggulun Kidul, yang
dapat dikorelasikan dengan perbukitan terisolir N6. Batuan yang tersingkap di permukaan
adalah intrusi diabas.
Daerah terakhir yang menjadi area studi penelitian vulkanik Paleogen Dakah adalah
daerah Jembling dan Kali Kayen yang berada di sebelah utara perbukitan sinklin. Daerah ini
dapat dikorelasikan dengan keberadaan deretan perbukitan terisolir yang diinterpretasi dari
SRC-NORTH seperti N2, N4, dan N9. Data lapangan menunjukkan singkapan lava bantal
basaltik di antara breksi vulkanik dan breksi hialoklastik, serta singkapan intrusi diabas.
Dari 16 perbukitan terisolir yang dihasilkan dari interpretasi raster shaded relief
komposit SRC-NORTH dan SRC-SOUTH, 11 diantaranya termasuk ke dalam daerah
penelitian terdahulu (Setiawan, 2010) yang telah dibuktikan dengan data lapangan dan data
petrografi bahwa perbukitan-perbukitan terisolir tersebut memuat singkapan batuan-batuan
vulkanik dan hipabisal penciri vulkanisme Paleogen yang bersifat in-situ. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak semua morfologi perbukitan terisolir yang dapat diidentifikasi dan
diinterpretasi dari shaded relief komposit merupakan morfologi skeletal volcano yang
menjadi target penelitian.
4.1. Analisis Daerah Menarik untuk Investigasi Lapangan
Berangkat dari data persebaran perbukitan terisolir dan korelasinya dengan hasil
penelitian terdahulu, perlu ditentukan daerah yang menjadi fokus untuk melakukan studi
vulkanik Paleogen lebih detil. Metode untuk menentukan daerah menarik tersebut
dengan cara melakukan pengeplotan titik tinggi atau puncak dari setiap bukit tunggal
maupun klaster perbukitan terisolir hasil interpretasi shaded relief komposit (Titik
kuning pada Gambar 13).
Kemudian dilakukan pembuatan peta kerapatan (densitas) dari puncak-puncak
perbukitan terisolir dengan menggunakan Kernel density tool dan menghasilkan peta
densitas seperti pada Gambar 14. Dari peta densitas puncak perbukitan terisolir,
didapat daerah dengan nilai kerapatan paling tinggi berada pada sebelah barat laut dan
sebelah utara dari perbukitan sinklin, secara administratif berada pada Desa Totogan
dan Desa Pucangan.
Kedua daerah dengan densitas puncak perbukitan terisolir maksimum ini dapat
dikorelasikan dengan daerah penelitian vulkanik Paleogen yang dilakukan oleh
Setiawan (2010) yakni pada daerah Gunung Parang-Desa Dakah dan daerah Jembling-
Kali Kayen. Dengan demikian, ekspektasi yang dimunclulkan dari hasil studi DEM dan
turunannya adalah daerah di mana batuan vulkanik dan hipabisal Paleogen banyak
tersingkap, sehingga perlu dilakukan investigasi lapangan lebih lanjut untuk
menentukan kontak dan melakukan analisis sampel secara lebih detil.
Selain kedua daerah tersebut di atas, terdapat satu daerah dengan tingkat kerapatan
puncak perbukitan terisolir yang sedang hingga tinggi di sebelah selatan dari perbukitan
sinklin, yakni daerah Gunung Bujil dan sekitarnya yang secara administratif masuk ke
dalam Desa Banioro. Daerah ini menjadi sangat penting untuk dilakukan investigasi
lapangan lebih detil untuk mengetahui jenis kontak batuan beku dengan batulempung
Formasi Karangsambung, serta melakukan pengambilan sampel detil untuk
penanggalan absolut batuan beku.
Dengan melakukan investigasi lapangan dan pengambilan sampel secara detil dan
representatif dari ketiga daerah tersebut, maka pemahaman mengenai genesa dan peran
batuan vulkanik Paleogen Dakah di dalam kompleks Karangsambung akan meningkat.
Peran studi DEM dan turunannya adalah memberikan sarana dukungan dalam pencarian
Page 9
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1759
paleomorfologi pusat-pusat vulkanik purba atau skeletal volcano untuk kemudian
dilakukan investigasi lapangan.
4. Kesimpulan
Terdapat beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari studi shaded relief komposit untuk
menentukan paleomorfologi vulkanik Paleogen Dakah; antara lain:
Terdapat setidaknya 16 morfologi perbukitan terisolir di Desa Karangsambung dan
sekitarnya dari hasil interpretasi citra shaded relief komposit dengan dua arah pencahayaan
utama yakni dari utara dan selatan.
11 dari 16 morfologi perbukitan terisolir tersebut berkorelasi dengan hasil observasi
lapangan dari penelitian terdahulu mengenai genesa magmatisme Paleogen Dakah.
Tiga daerah yang paling menarik untuk dilakukan investigasi lapangan secara lebih detail
antara lain Gunung Bujil, daerah Gunung Parang dan Desa Dakah, serta daerah Jembling
dan Kali Kayen.
Metode untuk penajaman kontras shaded relief komposit dengan modifikasi histogram
nilai piksel dengan menggeser modus ke arah nilai yang lebih kecil ditambah dengan
peningkatan frekuensi kelompok nilai piksel yang paling rendah, sehingga memunculkan
dua peak frekuensi.
Rekomendasi
Studi shaded relief komposit dilakukan menggunakan DEM dengan resolusi 6,25
meter yang dibuat dari garis kontur berinterval 12,5 meter atau yang ekuivalen dengan skala
horisontal 1 : 25.000. Hal ini menyebabkan masih ada kekurangan penelitian dalam akurasi
letak puncak-puncak perbukitan terisolir serta kurangnya objek yang dapat diidentifikasi.
Sehingga dieprlukan citra shaded relief yang dibangun dari raster dengan resolusi yang lebih
baik seperti LiDAR yang memiliki resolusi 1 meter. Dengan melakukan analisis permukaan
menggunakan DEM dengan resolusi yang lebih baik, maka akan didapatkan peta shaded relief
dan shaded relief komposit yang lebih detil dan lebih akurat untuk interpretasi geomorfologi
dan pelomorfologi.
Acknowledgements
Penulis berterimakasih kepada Nugroho Imam Setiawan, Ph.D dan Dr. Agung
Harijoko selaku pembimbing penelitian atas segala dukungan, masukan, dan bimbingannya.
Penulis juga berterimakasih kepada BIG (Badan Informasi Geospasial) yang telah
memberikan data Peta Rupa Bumi digital yang dapat diunduh seara gratis melalui laman
resmi terbuka.
Daftar Pustaka
Asikin, S., A. Handoyo, H. Busono, dan S. Gafoer (1992) Peta Geologi Lembar Kebumen,
Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Favalli, Massimiliano dan Alesandro Fornaciai (2016) Visualization and Comparison of
DEM-derived Parameters: Application to Volcanic Areas, Geomorphology, doi:
10.1016/j.geomorph. 2017.02.029
Horn, B.K.P., (1981) Hill Shading and the Reflectance Map, Proceeding ICEE 69 (1), p. 14-
47.
Kear, D (1957) Erosional Stages of Volcanic Cones as Indicators of Age, New Zealand J.Sci
&Tech., B38, p. 671 – 682.
Page 10
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1760
Ollier, Cliff dan Colin Pain (2000) The Origin of Mountains. Routledge, New Fetter Lane,
London, p.184-200.
Setiawan, Nugroho Imam (2010) Genesis Vulkanik Berumur Paleogen di Daerah
Karangsambung, Kebumen, Jaw a Tengah. Master; Thesis, Institut Teknologi
Bandung.
Setiawan, Nugroho Imam, Y. Suyatno Yuwono, dan IGB.Eddy Sucipta (2011) The Genesis of
Tertiary “Dakah Volcanics” in Karangsambung, Kebumen, Central Java, Majalah
Geologi Indonesia Vol. 26 No.1 April, p.29-44.
Smith, M.J. dan Clark, C.D. (2005) Methods for the Visualisation of Digital Elevation Models
for Landform Mapping, Earth Surface Processes and Landforms 30, p. 885 -900.
Soeria-Atmadja, R., Maury, R.C., Bellon H., Pringgoprawiro H., Polves, M.,dan Priadi,B
(1994) Tertiary Magmatic Belts in Java, Journal of Southeast Asian Earth Sciences 9,
p.13-27.
Gambar 1. Peta geomorfologi daerah penelitian
U
Page 11
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1761
Gambar 2. Peta geologi regional dan profil sayatan geologi daerah penelitian (Modifikasi dari Asikin
(1992)
Page 12
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1762
Gambar 3. Citra DEM (Digital Elevation Model) daerah penelitian
Gambar 4. Peta nilai kelerengan (slope) daerah penelitian
U
U
Page 13
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1763
Gambar 5. Peta arah kelerengan (aspect) daerah penelitian
Gambar 6. Peta Shaded relief komposit SRC-NORTH
U
Page 14
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1764
Gambar 7. Peta Shaded relief komposit SRC-SOUTH
Gambar 8. Histogram nilai piksel raster shaded relief SRC-NORTH (a) dan SRC-SOUTH (b)
(b) SRC-NORTH (a) SRC-SOUTH
Page 15
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1765
Gambar 9. Histogram nilai piksel raster termodifikasi dari shaded relief SRC-NORTH (a) dan SRC-
SOUTH (b)
Gambar 10a. Morfologi perbukitan terisolir yang diinterpretasi dari shaded relief komposit SRC-
NORTH
Page 16
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1766
Gambar 10b. Morfologi perbukitan terisolir yang diinterpretasi dari shaded relief komposit SRC-
SOUTH
Gambar 11. Korelasi persebaran morfologi perbukitan terisolir dengan daerah penelitian vulkanik
Paleogen Dakah oleh Setiawan (2010).
Page 17
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1767
Gambar 12. Salah satu singkapan intrusi diabas dengan struktur kekar tiang pada daerah Gunung
Parang (dokumentasi pribadi).
Gambar 13. Peta persebaran puncak perbukitan terisolir di daerah penelitian (titik kuning).
U
Page 18
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1768
Gambar 14. Peta kerapatan puncak perbukitan terisolir daerah penelitian.
Tabel 1. Data arah pencahayaan shaded relief komposit
SRC-NORTH SRC-SOUTH
Azimut Inklinasi (o) Pembobotan Azimut Inklinasi (o) Pembobotan
315 33 1 120 33 1
330 33 1 135 33 2
345 33 1 150 33 1
0 33 1 165 33 1
15 33 1 180 33 1
30 33 1 195 33 1
45 33 2 210 33 1
60 33 1 225 33 1
Tabel 2. Data dimensi perbukitan terisolir hasil interpretasi shaded relief komposit
Perbukitan
terisolir
Dimensi Beda Tinggi (m) Luas (m2)
Jumlah
Puncak Panjang (m) Lebar (m)
S1 516 380 75 88649 2
S2 371 324 50 77542 2
S3 376 205 50 47540 1
Page 19
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1769
S4 211 158 25 26000 1
S5 183 115 12,5 18791 1
S6 221 187 25 19521 1
N1 369 217 50 61889 1
N2 567 167 50 67190 4
N3 595 240 75 98731 2
N4 306 157 50 18720 1
N5 219 145 25 14822 1
N6 302 199 62,5 42293 1
N7 421 208 112,5 73327 1
N8 352 245 62,5 59502 1
N9 280 187 37,5 29743 1
N10 378 263 50 61334 1