Top Banner
Jurnal Filsafat dan Teologi, STFD DISKURSUS (Volume 13, Nomor 2, Oktober 2014) Membaca Materialitas Ilmu Berdasarkan Filsafat Teknologi Don Ihde Oleh: Budi Hartanto Abstrak Artikel ini membahas relevansi teknologi dalam diskursus filsafat ilmu. Saya merujuk pada fenomenologi instrumentasi Don Ihde yang berfokus pada pemikiran tentang intensionalitas instrumental. Instrumen bersifat non- netral yang menentukan bagaimana kita menggapai pengetahuan. Menurut Ihde, ilmu menubuh dengan teknologi. Ia berargumen filsafat ilmu mesti mempertimbangkan pentingnya praksis dan instrumentasi alih-alih teoritisasi. Selain itu akan dibahas problem persepsi dalam ilmu dengan berpijak pada pemikiran Ihde tentang hermeneutika material. Dengan hermeneutika ini, kita ketahui materialitas ilmu bersifat reduktif terhadap kompleksitas dunia inderawi dan pengetahuan meluas melampaui daya persepsi. Dari problem persepsi dalam ilmu, saya akan menjelaskan hermeneutika instrumen keilmuan sebagai moda pembacaan materialitas ilmu yang meliputi konstruksi teknologis instrumen. Instrumen dijelaskan sebagai bagian integral dari fakta dalam ilmu. Pada bagian akhir akan dibahas realisme fenomenologis ruangsiber dimana instrumen terintegrasi ke dalam ruangsiber. Kata Kunci: Pascafenomenologi, Intensionalitas, Teknologi, Mediasi Instrumental, Hermeneutika, Ruangsiber This article elucidate the relevance of technology in the discourse of philosophy of science. I refer to Don Ihde’s phenomenology of instrumentation that focus on the idea of instrumental intentionalities. Instrument is defined as non-neutral that determine how we obtain a knowledge. According to Ihde, philosophy of science must consider the importance of praxis and instrumentation instead of theoritization. I expose problem of perception in science. Materiality of scientific knowledge is reductive to reality and our knowledge always expand beyond sense perception. From this problem of perception, Budi Hartanto, The Society for Philosophy and Technology. Address: Philosophy Documentation Center, PO Box 7147, Charlottesville VA 22906-714. Website: www.spt.org. Email: fi[email protected]. 1
23

Membaca Materialitas Ilmu Berdasarkan Filsafat Teknologi Don Ihde

Feb 24, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Membaca Materialitas Ilmu Berdasarkan Filsafat Teknologi Don Ihde

Jurnal Filsafat dan Teologi, STFD DISKURSUS (Volume 13, Nomor 2, Oktober 2014)

Membaca Materialitas Ilmu BerdasarkanFilsafat Teknologi Don Ihde

Oleh: Budi Hartanto

Abstrak

Artikel ini membahas relevansi teknologi dalam diskursus filsafat ilmu.Saya merujuk pada fenomenologi instrumentasi Don Ihde yang berfokus padapemikiran tentang intensionalitas instrumental. Instrumen bersifat non-netral yang menentukan bagaimana kita menggapai pengetahuan. MenurutIhde, ilmu menubuh dengan teknologi. Ia berargumen filsafat ilmu mestimempertimbangkan pentingnya praksis dan instrumentasi alih-alihteoritisasi. Selain itu akan dibahas problem persepsi dalam ilmu denganberpijak pada pemikiran Ihde tentang hermeneutika material. Denganhermeneutika ini, kita ketahui materialitas ilmu bersifat reduktifterhadap kompleksitas dunia inderawi dan pengetahuan meluas melampauidaya persepsi. Dari problem persepsi dalam ilmu, saya akan menjelaskanhermeneutika instrumen keilmuan sebagai moda pembacaan materialitas ilmuyang meliputi konstruksi teknologis instrumen. Instrumen dijelaskansebagai bagian integral dari fakta dalam ilmu. Pada bagian akhir akandibahas realisme fenomenologis ruangsiber dimana instrumen terintegrasike dalam ruangsiber.

Kata Kunci: Pascafenomenologi, Intensionalitas, Teknologi, Mediasi Instrumental, Hermeneutika, Ruangsiber

This article elucidate the relevance of technology in the discourse ofphilosophy of science. I refer to Don Ihde’s phenomenology ofinstrumentation that focus on the idea of instrumentalintentionalities. Instrument is defined as non-neutral that determinehow we obtain a knowledge. According to Ihde, philosophy of sciencemust consider the importance of praxis and instrumentation instead oftheoritization. I expose problem of perception in science. Materialityof scientific knowledge is reductive to reality and our knowledgealways expand beyond sense perception. From this problem of perception,

Budi Hartanto, The Society for Philosophy and Technology. Address: Philosophy Documentation Center, PO Box 7147, Charlottesville VA 22906-714. Website: www.spt.org. Email: [email protected].

1

Page 2: Membaca Materialitas Ilmu Berdasarkan Filsafat Teknologi Don Ihde

I elaborate a hermeneutics of scientific instrument based on Ihde’smaterial hermeneutics. In this hermeneutics, materiality of scientificknowledge is read through technological construction instrument. Forthat reason, instrument is categorized as integral part of scientificfact. I conclude this article by describing a phenomenological realismof cyberspace where instrument integrated into cyberspace.

Keywords: Postphenomenology, Intentionality, Technology, Instrumental Mediation, Hermeneutics, Cyberspace

Pendahuluan Kajian tentang teknologi dalam praksis keilmuan berawal darifilsafat Martin Heidegger. Teknologi dijelaskan olehnya tidaksekadar untuk menggapai tujuan, kemudahan, dan menyelesaikanpersoalan hidup. Ia merujuk pada kata techne yang berasal dariYunani kuno yang bermakna lebih dari skill atau kemampuan teknis.Teknologi dalam arti techne memiliki kesamaan dengan kreatifitasdalam membuat sesuatu yang baru. Inilah yang mendasari pemikiranHeidegger tentang esensi teknologi dalam arti enframing yangmerupakan penyingkapan realitas sebagai moda kebenaran.

Teknologi menurut Heidegger menjadi rasional tidak melaluipenerapan sebuah teori atau lebih spesifik mathematical physicalscience.1 Keterciptaan teknologi, lebih khusus mesin, adalahberdasarkan eksperimentasi yang merupakan suatu praksis. Dariperkataan Heidegger ini dapat kita ketahui bagaimana pada awalnyateknologi tidak dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan.Penggunaan instrumen dalam ilmu, misalnya, menempatkan teknologisecara ontologis sebagai standing reserve.2 Dengan memahami teknologisebagai standing reserve, teknologilah menurutnya yang menjadiprakondisi dari ilmu. Berawal dari perkataan ini, Heideggerkemudian membalikan pemikiran tentang ilmu yang menjadiprakondisi dari teknologi.

Keutamaan teknologi sebagaimana dirumuskan Heideggerdielaborasi oleh Don Ihde. Ihde dikenal sebagai filsuf yangmemperkenalkan fenomenologi ke dunia filsafat di Amerika. Iabanyak menulis tema-tema filsafat ilmu, teknologi danhermeneutika. Ihde menuliskan filsafat teknologinya dariperspektif fenomenologi. Filsafat teknologi Ihde memilikikekhasan yang membahas teknologi dalam kapasitasnya untukmenggapai pengetahuan. Teknologi direfleksikan tidak hanya padamakna instrumentalnya untuk mengatasi persoalan praktis dalam1 Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other Essays. (Harper and Row. New York ,1977), p. 116. 2 Don Ihde, Technics and Praxis, (D. Riedle Publishing Company, Holland/Boston, 1979), p. 110-111.

2

Page 3: Membaca Materialitas Ilmu Berdasarkan Filsafat Teknologi Don Ihde

kehidupan sebagaimana para filsuf teknologi lainnya. Iamengategorikan filsafat teknologinya ke dalam apa yang kemudiandikenal dengan pascafenomenologi. Pascafenomenologi berawal dariperalihan konsep subjek Husserlian yang berpusat pada egotransendental menjadi tubuh eksistensial. Menurut Ihde, tak adaego transendental atau subjek yang bersifat metafisis sebagaimanatersebut dalam filsafat Husserl. Pemikiran ini berpijak darifenomenologi persepsi Maurice Merleau-Ponty dan terutama argumenIhde tentang ketidakmungkinan subjek Cartesian melalui metaforacamera obscura.3 Menurut Ihde,

This trajectory was already partially postmodern in that themodern or "Cartesian" subject was replaced with an existential"lived body," a kind of organism/environment model ofinterpretation which reembodied the human within a world orenvironment. The entire apparatus of "sensation," "sense data,"even Husserlian "hyletic data," but also inferred material being,the "res extensa," disappears and is replaced by a more Merleau-Pontian "fleshly" interactive relativity. The "body" remains onestrong thematic emphasis in the newer "theory" approaches,particularly within contemporary feminist discourse.4

Pembahasan utama pascafenomenologi selain kesadaran menubuhadalah mediasi teknologis. Intensionalitas dijelaskan tidakterbatas pada kapasitas motorik tubuh dengan segala potensiinderawinya, melainkan juga dalam relasi dengan instrumen. Dapatdikatakan semua ilmu dapat dilihat sebagai pascafenomenologi.Mengenai mediasi-mediasi teknologis ini secara lebih khususdieksplorasi oleh Ihde dalam fenomenologi instrumentasi. Dalamtulisan ini saya membahas filsafat teknologi Ihde yang meliputitema fenomenologi instrumentasi, hermeneutika material danrealisme fenomenologis. Berdasarkan tema-tema tersebut, saya akanmenjelaskan hermeneutika instrumen, yaitu tentang konstruksi danmediasi teknologis dalam ilmu dan realisme instrumentalruangsiber dimana instrumen terintegrasi dengan teknologiinformasi.

3 Camera obscura adalah ruang gelap yang di dalamnya terdapat proyeksi cahaya yang merefleksikan dunia luar ruang gelap. Ihde menanggapi teori pengetahuan René Descartes tentang eksistensi subjek tak tercerap melalui metafora camera obscura. Menurutnya ada kerancuan dalam analogi camera obscura yang digunakan oleh Descartes. Descartes menganalogikan lubang ruang gelap yang memproyeksikan cahaya sebagai pikiran. Ihde mengkritik bahwa Descartes menafikan eksistensi ruang eksternal yang mengondisikan subjek yang mencerap dan proyeksi cahaya dalam ruang gelap. Don Ihde, Bodies in Technology, (Universityof Minnesota Press, 2002), p. 71.4 Don Ihde, Postphenomenology: Essays in the Postmodern Context. (Northwestern University Press, 1993), p. 3.

3

Page 4: Membaca Materialitas Ilmu Berdasarkan Filsafat Teknologi Don Ihde

Intensionalitas dan Mediasi-mediasi Instrumental Ilmu PengetahuanFilsafat teknologi Don Ihde berpijak pada fenomenologi EdmundHusserl, Maurice Merleau-Ponty dan Martin Heidegger. Para filsuftersebut memiliki kesamaan membahas fenomenologi dalam filsafatilmu. Refleksi eksistensial tentang keberadaan manusia di duniayang merupakan ciri dari pengetahuan fenomenologis menjadi basisdari praksis keilmuan. Ilmu selalu berdasar pada dunia pengalamansebagai sebuah ontologi yang merupakan struktur terberi darieksistensi.

Husserl mengawali kritik terhadap sains modern perspektiffilsafat fenomenologis. Ia menjelaskan tentang pentingnya duniaprakeilmuan (prescientific world) yang mensyaratkan pemahaman akankeutuhan kualitas dunia inderawi. Hal ini bermula daritanggapannya terhadap Galileo Galilei yang mengutamakanobjektivitas yang bersifat matematis. Husserl mengkritisi sainspasca Galileo yang lebih menggunakan penalaran geometris yangbersifat abstrak-ideal.5 Mengenai hal ini kita juga bisa lihatpenjelasannya tentang pemikiran David Hume yang menyatakanobjektivitas matematis yang bersifat abstrak-ideal dan bahkandunia yang kita persepsikan adalah fiksi. Hume berpijak padapemikiran tentang realitas yang dipahami sebagai relasi danasosiasi idea-idea yang selalu berubah atau tidak selalu padasuatu posisi tertentu.6

Filsafat Husserl menjadi sumber utama untuk memahami konsepintensionalitas yang merupakan basis dari metode analisafenomenologis. Intensionalitas didefinisikan sebagai strukturkorelasi ego transendental yang tertuju pada dunia pengalaman.Dalam praksis keilmuan, intensionalitas tidak berhenti padafenomena yang ingin diketahui, melainkan kembali ke dalamkesadaran yang mengetahui. Kesadaran yang tertuju dantersituasikan pada fenomena tertentu ini diistilahkan olehHusserl dengan neomata. Intensionalitas ini tidak bersifat pasif,ego transendental memahami dunia dari perspektif-perspektiftertentu sehingga membentuk variasi-variasi fenomenologis. Karenaitu pengetahuan dalam fenomenologi Husserl selalu bersifat relatif.Meski demikian, intensionalitas ini masih dalam batas-batas egotransendental sebagai entitas metafisis yang tak tercerapkeberadaannya.

Intensionalitas kemudian menjadi lebih membumi melaluifenomenologi persepsi Merleau-Ponty. Ego transendental dalamfilsafat Husserl tergantikan dengan tubuh (corps vecu). Merleau-Ponty mendekonstruksi subjek Husserlian yang bersifattransendental yang tidak bisa dicerap keberadaannya. Tubuh5 Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth, (Indiana University Press,1990), p. 35. 6 Edmund Husserl, The Crisis of European Science and Trancendental Phenomenology. (Northwestern University Press, 1970), p. 86.

4

Page 5: Membaca Materialitas Ilmu Berdasarkan Filsafat Teknologi Don Ihde

memahami dunia karena ia merupakan bagian darinya. Iamengistilahkan tubuh yang memahami dunia dengan flesh yang adalahbagian dari flesh yang lebih luas.7 Tubuh manusia sebagai kesatuanorganis eksistensi memahami dunia karena ia memiliki esensi yangsama dengan tubuh dunia. Kesamaan esensinya ini tentunya adalahsebagai suatu materi yang dapat dipersepsikan.

Persepsi yang mengonstruksi pengetahuan menurut Merleau-Ponty tersituasikan oleh aktivitas intensional motorik (body-in-action).8 Persepsi kita terhadap dunia tidak bersifat fixed sepertihalnya abstraksi yang bersifat representasional Cartesian. Iabukanlah sesuatu yang menggejala dalam pikiran sebagaimanafilsafat Descartes, tapi tidak lantas ia murni bersifatmaterialistis. Persepsi inderawi selalu mengandaikan cara pandangdunia sebagai sebuah gestalt. Pengalaman gestalt ini terbentukberdasarkan investigasi fenomenologis. Inilah menurut Merleau-Ponty yang menjadi dasar semua ilmu, ia tak bisa tercerabut daridunia pengalaman.9

Intensionalitas dalam diskursus fenomenologi tidak hanyakapasitas persepsi kebertubuhan. Perspektif filsafat Heidegger,intensionalitas adalah suatu tindakan yang merupakan pengetahuanpraksis. Heidegger berbeda pandangan dengan Husserl dan Merleau-Ponty mengenai konsep intensionalitas. Intensionalitas bukanlahpersepsi inderawi yang tertuju pada dunia, manusia sudah selaluberada dalam dunia (being-in-the-world), melainkan suatu praksis yangmeliputi kualitas-kualitas eksistensial yang dirasakan.10

Pengetahuan praksis ini menurut Heidegger adalah juga dalamrelasi dengan teknologi. Ketika kita menggunakan instrumentertentu, terbentuk relasi ontologis manusia-teknologi, teknologimenjadi mode of being, istilah Heidegger ready to hand. Pengetahuanpraksis dalam relasinya dengan teknologi ini oleh Heideggerdijelaskan dalam tataran eksistensial alih-alih tataran kognitif.

Relevansi fenomenologi dalam filsafat ilmu seperti tersebutdalam filsafat Husserl, Heidegger, dan Merleau-Ponty menjadikerangka utama filsafat teknologi Ihde. Ihde mengeksplorasifenomenologi tentang instrumen yang menjadi ekstensi kapasitaskebertubuhan yang ia istilahkan dengan fenomenologiinstrumentasi. Fenomenologi ini terutama menjelaskan bagaimanapersepsi ditransformasikan yang kemudian mengonstruksiintensionalitas berdasarkan relasi-relasi instrumental. Dalamrelasi manusia-instrumen, menurut Ihde, ada dua bentuk relasiyang penting untuk diketahui dalam diskursus filsafat ilmu: relasi

7 Maurice Merleau-Ponty, The Visible and the Invisible, (Northwestern University Press,1968), p. 193, p. 248.8 Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth, p. 38. 9 Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology, Language and Sociology: Selected Essays of Maurice Merleau-Ponty. (Heineman Educational, 1974), p. 197.10 Don Ihde, Technics and Praxis, p. 117.

5

Page 6: Membaca Materialitas Ilmu Berdasarkan Filsafat Teknologi Don Ihde

kemenubuhan dan relasi hermeneutis. Dua bentuk relasi ini menyatakanbahwa antara manusia dan dunia yang tak terjangkau secarainderawi terdapat ‘mediator’.11

Manusia Instrumen (Mediator)Dunia

Dalam relasi kemenubuhan, tubuh dan instrumen menjadikesatuan relasional fenomenologis. Ihde mengacu Heideggermengenai transparansi relasi manusia-instrumen. Ketikamenggunakan instrumen, kesadaran tertuju pada objeknya bukaninstrumen yang digunakan. Menggergaji kayu, gergaji tidakdisadari keberadaannya secara eksistensial, karena kesadarantertuju pada kayu. Manusia dan instrumen mewujud sebagai kesatuanrelasional. Ia menjadi ekstensi dari tubuh dalam relasinya dengandunia pengalaman. Tentu ketercerabutan pengalaman mediasiinstrumental ini tidak membuatnya tak bermakna. Kesatuanrelasional menjadikannya sebagai mediator dalam relasikemenubuhan.

Kesatuan relasional manusia-instrumen menjadi syaratpencapaian pengetahuan. Keseluruhan kualitas dunia inderawitereduksi pada kualitas tertentu, pada saat yang samateramplifikasi. Mikroskop memediasikan dunia yang tak dapatdipersepsi dan mereduksinya sebatas citra dua dimensi dipermukaan lensa. Dalam relasi kemenubuhan, amplifikasi tidakselalu menghadirkan pengetahuan sebagaimana dalam duniakeseharian. Instrumen mengamplifikasi kualitas inderawi tertentusehingga yang ditampilkannya tak terpahami secara langsung.Seiring dengan berkembangnya teknologi, seperti mikroskopelektron dengan kapasitas pembesaran lebih jauh dari mikroskopcahaya, dunia yang dimediasikannya semakin berjarak, sehinggaterbentuk gap dengan dunia keseharian. Dunia termediasi relasikemenubuhan sampai pada fase ketika ia memerlukan pembacaan.

Dunia inderawi dipersepsikan dalam relasi kemenubuhanmelalui mediator yang terkonstruksi secara teknologis. Mediatortentu tidak begitu saja memediasikan pengetahuan. Mediasiteknologis ini perspektif filsafat Heidegger dikategorikansebagai sebuah poiesis yang merupakan makna lebih luas dariteknologi dalam arti techne. Nilai poiesis dari teknologi dalamkonteks mediasi instrumental ilmu adalah penyingkapan realitasmelalui konstruksi teknologis. Instrumen menjadi ekstensikapasitas kebertubuhan, secara lebih khusus dalam praksiskeilmuan ia menjadi ekstensi dari persepsi inderawi. Duniainderawi yang sebelumnya tidak diketahui mewujud dalam bentukvariasi fenomenologis instrumental. 11 Don Ihde, Technics and Praxis, p. 28-33.

6

Page 7: Membaca Materialitas Ilmu Berdasarkan Filsafat Teknologi Don Ihde

Bila relasi kemenubuhan instrumen dan tubuh tak berjarak,dalam relasi hermeneutis ia berjarak secara relasionalfenomenologis. Thermometer memediasikan kadar suhu yang tak dapatdipersepsi. Tubuh tidak merasakan secara langsung kadar suhu,tubuh membacanya dengan mediasi thermometer. Pembacaan duniamelalui thermometer menyatakan amplifikasi dan reduksi bersifatperseptual hermeneutis, suhu tidak dipersepsikan secara inderawioleh tubuh sebagaimana relasi kemenubuhan. Instrumen memediasikansuhu dan zat-zat tertentu yang tak dapat dipersepsi dalam bentukteks.

Intensionalitas dalam relasi hermeneutis tidak tertujusecara langsung pada dunia. Kita mengetahui fenomena tanpamempersepsikan kualitas kebertubuhannya sebagaimana relasikemenubuhan. Instrumen-instrumen sains kontemporer seperti kitaketahui memiliki moda mediasi pengetahuan melalui pembacaan.Dengan relasi hermeneutis, pengalaman kebertubuhan dalammenggapai ilmu tidak menjadi keutamaan. Mediasi teknologismemungkinkan kita membacanya dan mempersepsikannya. Berbedadengan relasi kemenubuhan, meski sama-sama termediasi olehinstrumen, fenomena tetap mewujud secara isomorfis denganfenomena yang dipersepsikan tanpa instrumen. Dalam relasihermeneutis, fenomena tereduksi dalam bentuk teks danteramplifikasi sebagai referensi fenomena sesungguhnya.

Fenomenologi persepsi Merleau-Ponty dapat menjadi acuanuntuk memahami moda pengetahuan relasi hermeneutis ini. Merleau-Ponty menyatakan bagaimana persepsi kita selalu berkembang danterkondisikan oleh pengalaman. Bila kita melihat suatu bendaperspektif kebertubuhan tertentu, akan muncul dalam kesadaranbagian-bagian lainnya yang tidak diketahui yang dihasilkan daripengalaman. Dalam relasi hermeneutis, persepsi mengenai fenomenayang dimediasikan instrumen adalah sama dengan persepsi yangberkembang yang merupakan basis dari semua pengetahuan. Hanyasaja dalam relasi hermeneutis, persepsi termediasi oleh teks yangmenjadi referensi dunia sesungguhnya, sedangkan fenomenologiMerleau-Ponty persepsi tersebut terbentuk secara kultural dankarena itu tidak bisa menghadirkan kebenaran.12

Berdasarkan relasi kemenubuhan dan hermeneutis, Ihdemerumuskan lebih rinci variasi-variasi fenomenologis dimanapengetahuan diperoleh mengacu intensionalitas instrumental.Intensionalitas instrumental adalah bagaimana instrumen secarateknis menentukan dan mengondisikan bentuk dan wujud materialitaspengetahuan. Intensionalitas ini dikategorikan oleh Ihde ke dalamvariasi-variasi: horisontal instrumental variant dan vertical instrumentalpossibility.13 Dalam variasi horisontal, dunia teramplifikasi dengan

12 Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology, Language and Sociology, p. 198.13 Don Ihde, Technics and Praxis, p. 34-35.

7

Page 8: Membaca Materialitas Ilmu Berdasarkan Filsafat Teknologi Don Ihde

bentuk yang berbeda yang mengindikasikan sebuah pengetahuan. RTI(reflectance transformational imaging) adalah teknologi terbaru fotografikomputasional ilmu arkeologi yang dapat menampilkan relief gambardan tulisan pada sebuah batu dengan lebih jelas. RTI menampilkancitra dengan cara mengambil foto relief dari berbagai perspektifdan pencahayaan. Hasil pencitraan melalui pencahayaan kamera inidatanya dimasukan ke dalam komputer sehingga dapat diprosessecara matematis. Pengaturan cahaya dengan komputer menghasilkangambar dan tulisan tanpa bayangan sebagaimana melihatnya secaralangsung dan dapat dilihat dari perspektif yang berbeda-beda.14Amplifikasi variasi horisontal menghasilkan dunia yangterkondisikan secara teknologis yang merupakan pengetahuan dalamkonteks fenomenologi instrumentasi.

Instrumentasi variasi horisontal dikategorikan ke dalamrelasi kemenubuhan. Dunia tetap mewujud secara isomorfis dengandunia sesungguhnya. Namun ia tidak sama dengan teknologi optisyang secara teknis memediasikan dengan kualitas yang sama.Amplifikasi pengetahuan variasi horisontal merepresentasikandunia dengan efek tertentu. Bentuk yang dimediasikannya tetapsama, namun dengan kualitas amplifikasi pengetahuan yang berbeda.Dalam ilmu geografi, teknologi inframerah membuat kita dapatmembaca lebih jelas pengetahuan tertentu yang ada di permukaanBumi. Foto sungai dengan teknologi inframerah dari ketinggianmenghasilkan citra sungai dengan kualitas pencahayaan tertentuyang membuat arah alirannya terlihat lebih jelas dibandingkandengan foto tanpa teknologi inframerah.

Variasi lainnya menurut Ihde adalah vertical instrumental possibilty.Dalam variasi ini, dunia mewujud dalam bentuk yang sama sekaliberbeda dengan dunia sesungguhnya. Dunia tereduksi dalam wujudteks yang kemudian dibaca dan ditransformasikan ke dalam variasihorisontal. Radio telescope memberi informasi benda-benda langityang tak dapat dipersepsi dengan mendeteksi gelombangelektromagnetik yang dipancarkan. Materialitas benda-benda langitdiketahui dalam bentuk frekuensi melalui antena yang kemudiandiamplifikasi oleh receiver dan ditransformasikan oleh komputer kedalam wujud visual. Dalam variasi vertikal, instrumenmengamplifikasi dan merepresentasikan dengan kualitas yangterkondisikan secara teknis dalam bentuk teks. Variasi vertikalmerupakan relasi hermeneutis, kita mengetahui materialitas ilmumelalui pembacaan. Instrumen memprobe dan mendekonstruksi duniayang eksistensinya berjarak dan tidak diketahui secara inderawi.

Dari relasi-relasi dan variasi-variasi instrumentalfenomenologis, dapatlah kita simpulkan tentang signifikansi14 Marta Díaz-Guardamino, “Rock Art and Digital Technologies: the Application of Reflectance Transformation Imaging (RTI) and 3D Laser Scanning to the Studyof Late Bronze Age Iberian Stalae” dalam jurnal MENGA: Journal of Andalusian Prehistory 04, 2013.

8

Page 9: Membaca Materialitas Ilmu Berdasarkan Filsafat Teknologi Don Ihde

fenomenologi instrumentasi dalam menggapai pengetahan.Intensionalitas-intensionalitas instrumental yang menentukanbentuk pengetahuan menjelaskan bahwa teknologi bersifat non-netral. Non-netralitas inilah yang kemudian membawa padapemikiran tentang simetri manusia dan artefak teknologi. Namunsimetri ini tetap dalam konteks relasi manusia-instrumen. Non-netralitasnya dapat dijelaskan karena ia memiliki karakter teknisyang berpengaruh terhadap bagaimana kita menggapai pengetahuan.15

Menghitung dengan menggunakan abacus berbeda dengan calculator lebihkompleks lagi dengan computer.

Intensionalitas dan mediasi-mediasi instrumental sepertitersebut dalam pemikiran Ihde relevan untuk diketahui sebagaimetode filsafat ilmu. Ilmu adalah suatu praksis dan menubuhdengan teknologi. Ihde dengan pascafenomenologinya mengkritisifilsafat ilmu yang berfokus pada bagaimana pengetahuan digapaidengan metode berpikir tertentu atau membahas teori pengetahuandalam batas-batas logika formal. Perkataan Ihde bahwa ilmumenubuh dengan teknologi merupakan suatu peralihan dari filsafatilmu menuju filsafat teknologi.

Hermeneutika Instrumen KeilmuanSeperti telah dijelaskan dalam fenomenologi instrumentasi,amplifikasi dan magnifikasi menghasilkan variasi-variasifenomenologis. Pengetahuan yang dihasilkan melalui instrumentasimensyaratkan sebuah pembacaan. Pada bagian ini saya mendedahhermeneutika instrumen dengan mengacu pada problem persepsi dalamilmu pengetahuan. Pemikiran ini dielaborasi berdasarkan filsafatDon Ihde tentang hermeneutika material.

Hermeneutika material Ihde dirumuskan dari tradisihermeneutika fenomenologis yang menggarisbawahi intensionalitasdan pengetahuan praksis. Persepsi inderawi dan instrumentasi atauistilah Ihde mikropersepsi digunakan untuk menafsir fenomena dalamilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam. Ihde mengkritisi tradisihermeneutika yang berfokus pada kajian yang bersifat linguistikyang bermula dari Wilhelm Dilthey dan Friedrich Schleiermacher.16

Meski dalam perkembangannya ia menjadi argumen untuk menjelaskaneksistensi manusia sebagai sebuah ontologi seperti dalamhermeneutika Heidegger dan Paul Ricouer ia tetap dalam batas-batas logosentrisme.

Menurut Ihde, ilmu pada dasarnya adalah sebuah hermeneutika.Ilmu adalah kegiatan menafsir secara perseptual fenomena yangdalam arti tertentu berbicara dan memberi makna seperti halnya

15 Don Ihde, Technics and Praxis, p. 41-43.16 Don Ihde, Postphenomenology and Technoscience: Peking University Lecture. (SUNY Series of the Philosophy of the Social Sciences, State University of New York Press, 2009), p. 63-77.

9

Page 10: Membaca Materialitas Ilmu Berdasarkan Filsafat Teknologi Don Ihde

teks. Dalam ilmu sejarah, misalnya, materialitas benda bersejarahmenjadi sumber hermeneutis untuk memahami suatu peristiwa.Peristiwa sejarah dapat ditafsirkan dengan pembacaan suatu benda.Benda bersejarah memendarkan makna seperti halnya sebuah teks.Seperti juga ilmu-ilmu lainnya dalam memperoleh pengetahuanselalu mengandaikan pembacaan materialitasnya. Materialitasmenjadi tolok ukur validitas sebuah pengetahuan dan menjadipijakan untuk menjelaskan suatu teori dalam ilmu.

Materialitas yang mewujud secara partikular-reduktif danterkondisikan oleh teknologi, yang merupakan ciri hermeneutikamaterial, menjadi acuan dari kegiatan hermeneutis dalam ilmu. Halini tentunya tak lepas dari kenyataan tentang keterbatasanpersepsi dan instrumentasi. Dalam menafsir fenomena, pemahamanselalu bergerak melampaui dimensi materialnya dan tak bisamenjadi absolut. Oleh karena itu hermeneutika material tetapdipahami sebagai metode. Ilmu tentu tidak hanya mengenaimaterialitasnya, pencapaian ilmu adalah juga dengan persepsikeilmuan yang dikategorikan oleh Ihde dengan makropersepsi.

Persepsi keilmuan dalam hermeneutika material tidak bisadijadikan pijakan untuk menggapai kepastian pengetahuan. Kendatidemikian, kita ketahui tak sedikit ilmuwan menggunakan persepsikeilmuan dalam menggapai pengetahuan. Argumen tentang ini dapatkita lihat pada Albiruni, ilmuwan Muslim abad pertengahan,seorang penemu ilmu geodesi. Albiruni menggunakan matematikauntuk mengukur keliling Bumi. Albiruni mengukur keliling Bumidari puncak gunung yang berdekatan dengan laut. Ia mengukurtinggi gunung dengan rumus Pythagoras, lalu mengobservasilintasan Matahari dan batas cakrawala. Dengan persepsi keilmuan,dalam hal ini perhitungan matematis, ia mengukur keliling Bumidengan tanpa harus mengelilinginya.17 Hasil pengukuran inimemililki kesamaan dan mendekati hasil pengukuran denganteknologi satelit pada masa modern.

Albiruni mengukur keliling Bumi dengan membaca fenomenavisual. Praksis keilmuan yang dilakukan oleh Albiruni dapatdikategorikan sebagai hermeneutika visual yang merupakanpercabangan dari hermeneutika material.18 Namun Albiruni tidaksemata-mata menafsir secara visual, tetapi juga menggunakan ilmuukur sudut (trigonometri). Albiruni mengetahui keliling Bumi yangmelampaui kapasitas daya persepsi inderawi, namun yang

17 Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines: Conceptions of Nature and Methods Used for its Study by Ikhwan Al-Shafa, Al-Biruni, and Ibn Sina. (The Pitman Press, Great Britain, 1978), p. 128-131.18 Eratosthenes ilmuwan Yunani kuno lebih dulu mengukur keliling Bumi dengan metode yang berbeda dari Albiruni. Eratosthenes mengukur jarak dan sudut bayangan di dua kota yang berbeda. Ihde mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh Erastosthenes adalah suatu hermeneutika visual. Don Ihde, Postphenomenology and Technoscience, p.65.

10

Page 11: Membaca Materialitas Ilmu Berdasarkan Filsafat Teknologi Don Ihde

diketahuinya adalah realitas abstrak dan matematis. Mengenai halini Albiruni berpandangan bahwa alam dan matematika adalah memangrealitas yang sama. Angka-angka menurutnya dapat ditemui di alamkehidupan. Ia menganalisa bunga-bunga dan dedaunan yangmenurutnya seiring dengan hukum-hukum geometri.19

Albiruni tak berbeda dengan Galileo yang melihat pentingnyamatematika dalam memahami alam semesta. Alam menurut Galileomenjadi rasional mestilah dari suatu penalaran geometris. Ilmuyang berorientasi pada sesuatu yang abstrak dan matematis sepertiAlbiruni dan Galileo seperti kita ketahui mendapat tanggapan dariHusserl. Kompleksitas dunia inderawi, menurut Husserl, tidak bisadireduksi hanya pada sesuatu yang matematis. Galileo menurutHusserl tidak mempertimbangkan pentingnya kualitas dunia inderawiyang bersifat kompleks yang seharusnya menjadi sumber utamapengetahuan.20

Kritik Husserl terhadap pengetahuan abstrak dan matematisini dapat kita telaah dari perhitungan frekuensi tegangan senarpiano. Perhitungan teoritis frekuensi piano tidak bisaberkorespondensi dengan tepat dengan dunia sesungguhnya. Bilakita membuat skala nada harmoni pada piano, rasio frekuensi nadaselalu lebih tinggi 1 atau 2 cent. Bila frekuensi nada A 440 Hz,nada A oktaf berikutnya menurut perhitungan seharusnya 880 Hz,namun realitasnya lebih 2 cent (I cent = 1/4 putaran gelombangsenar perdetik). Nada A selanjutnya jadi lebih 4 cent. Demikianseterusnya sehingga tak bisa tepat menurut rasio perhitunganfrekuensi. Penyebab perhitungan frekuensi tidak pernah samaadalah karena suku cadang piano seperti senar, bearing, dan jarakhammer dengan senar. Materialitas suku cadang dan mekanika pianoberpengaruh terhadap bagaimana suara dihasilkan.21 Selain itupraksis menyetem piano melalui persepsi pendengaran dan instrumenstem/tuning juga menentukan ketepatan frekuensi. Namun perhitunganyang tidak pernah tepat ini berada pada wilayah detail yang tetapdapat toleransi. Secara estetis tujuan dari tuning itu sendirisudah tercapai. Mengacu pada dunia matematis yang tak dapatditerapkan dengan tepat, maka kritik Husserl terhadapkecenderungan sains modern yang bersifat abstrak dan matematisdalam arti tertentu menjadi relevan. Perhitungan matematis adalahrealitas yang berbeda dengan dunia sesungguhnya.

Mempertimbangkan hanya pengalaman dunia prakeilmuan kitadihadapkan pada pengetahuan yang terbatas secara inderawi.Intensionalitas yang tertuju pada kompleksitas dunia inderawipada dasarnya selalu tereduksi. Demikian pula pandangan dunia19 Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, p. 127. 20 Don Ihde, Technology and the Lifeworld, p. 34-37. 21 Keterangan tersebut saya dapatkan dari buku panduan teknis piano. Nippon Gakki Co. Ltd., Piano Technology. (Yamaha Indonesia, 1978). Penulis bekerja sebagai teknisi dan stemmer piano.

11

Page 12: Membaca Materialitas Ilmu Berdasarkan Filsafat Teknologi Don Ihde

sains modern yang dikatakan berciri materialistis, hanyalahmencipta suatu persepsi yang bersifat kultural. Dari problempersepsi ini, saya akan menjelaskan hermeneutika instrumen.Istilah hermeneutika instrumen saya gunakan sebagai modapembacaan ilmu melalui konstruksi dan mediasi-mediasiinstrumental. Fakta tidak hanya merujuk pada fenomena yangdiasumsikan terpisah dengan instrumen. Instrumen menjadireferensi dari materialitas ilmu yang tidak dapat dipersepsikan.

Hermeneutika instrumen dapat kita lihat pada penelitiansejarah ilmu dari Steven Shapin dan Simon Schaffer tentangeksperimen pompa udara Robert Boyle (1660).22 Boyle membuat pompaudara (pneumatic engine) untuk mencipta keadaan ruang hampa (vaccum)untuk memahami secara paradigmatis hal yang berkaitan denganfakta dan menguji pengetahuan dalam filsafat alam. Pompa udarasecara teknis menghilangkan udara dalam ruang terbuat dari kaca(receiver) sehingga tercipta ruang hampa. Ia digunakan untukmembuktikan suatu pengetahuan alam. Eksperimen yang dilakukanBoyle dapat kita katakan mengacu pada pemikiran tentang udarasebagai ‘substansi’ yang menentukan kehidupan.

Shapin dan Schaffer mengulas perdebatan antara Boyle danThomas Hobbes mengenai perlunya eksperimen dalam filsafat alam.Boyle mencoba mengonstruksi suatu keadaan ruang hampa untukmengetahui secara mendasar sebab dan akibat yang ada pada alam.Hobbes menanggapi bahwa eksperimen pompa udara Boyle tidakmemungkinkan dengan argumen alam terdiri dari sepenuhnya materi(plenism) dan juga konstruksi teknologis pompa udara yangmengalami kebocoran. Menurut Hobbes, filsafat alam tidak bisadireduksi pada eksperimen karena membuat pengetahuanterdomestikasi pada situasi tertentu. Hobbes berpijak padapemikiran tentang pentingnya pengetahuan dalam konteks lebih luasatau kepublikan pengetahuan.23

Eksperimen Boyle tentang pompa udara menjadi relevanterutama dalam kaitannya dengan pembacaan materialitas ilmu.Hobbes berpendapat eksperimen Boyle mengonstruksi fakta yangdiketahui terbatas oleh orang-orang tertentu dalam penelitian dantidak bersifat publik. Namun kritik Hobbes terhadap Boyleberfokus pada fenomena termediasi yang hanya bisa dibuktikanmelalui instrumen. Karena terbatas berada dalam instrumen,tentulah ia tidak bisa menjadi publik. Shapin dan Schaffermengatakan instrumen dapat dikategorikan sebagai fakta yangmengonstruksi ilmu.24 Selain instrumen, menurut mereka, faktadihasilkan melalui tulisan hasil eksperimen atau inskripsi danjuga konvensi komunitas keilmuan yang terlibat eksperimen. 22 Steven Shapin & Simon Schaffer, Leviathan and the Air-Pump: Hobbes, Boyle and the Experimental Life. (Princenton University Press, 1985).23 Steven Shapin & Simon Schaffer, Leviathan and the Air-Pump, p. 111-115.24 Steven Shapin & Simon Schaffer, Leviathan and the Air-Pump, p. 25.

12

Page 13: Membaca Materialitas Ilmu Berdasarkan Filsafat Teknologi Don Ihde

Mengenai instrumentasi yang mengonstruksi fakta, selainShapin dan Schaffer, dapat kita lihat pemikiran Bruno Latour.Setiap teks keilmuan, menurut Latour, menyertakan inskripsi-inskripsi terbatas dalam wujud visual (gambar, grafik, dandiagram) yang dihasilkan oleh perangkat-perangkat inskripsi(inscription devices), yang kemudian menjadi syarat rasionalitas ilmu.Menurutnya yang utama pengetahuan terpahami dalam relasi-relasiperangkat inskripsi atau instrumen dan termasuk ilmuwan yangmelakukan penelitian.25 Latour menjelaskan bahwa realitaskeilmuan melampaui pembahasan tentang fenomena termediasi.Instrumen atau perangkat inskripsi melebihi fungsinya dalammenghadirkan fenomena. Ilmu terkonstruksi secara sosial.

Dalam Actor Network Theory, Latour memosisikan teknologi simetridengan manusia. Manusia dapat menjadi bagian dari teknologi atausebagai perangkat inskripsi itu sendiri. Hasil penilitian seorangilmuwan yang digunakan sebagai inskripsi menjadikan diri ilmuwanitu sendiri sebagai instrumen. Tapi bila kita telaah, teori initidak menjelaskan kesadaran menubuh (existential body) yang selaluberada dalam perspektif. Teori Latour jatuh pada apa yang Ihdeistilahkan dengan epistemologi god-trick,26 yaitu suatu pengetahuantanpa referensi tubuh eksistensial. Tubuh yang tersituasikan,yang menjadi ciri pengetahuan pascafenomenologis, mendekonstruksiteori pengetahuan yang selalu mengandaikan posisi di luar duniapengalaman.27

Latour dengan teorinya menafikan posisi tubuh dalamrelasinya dengan instrumen. Meski demikian, teori Latour dapatmenjadi argumen tentang instrumen sebagai fakta. Ilmu yangterkonstruksi berdasarkan perangkat inskripsi tidak bisadireduksi dalam wujud visual dan diskursus teoritis tentang duniatermediasi. Materialitas instrumen menentukan atau menjadi syaratkeutuhan dari ilmu. Mengenai hal ini Latour dan Steve Woolgarberargumen, fakta adalah terintegrasi dengan perangkat inskripsi.Mereka meminjam istilah Gaston Bachelard, phenomenotechnique, untukmenjelaskan keutamaan materialitas ilmu dalam wujud teknologi.28

25 Bruno Latour, Science in Action: How to Follow Scientist and Engineers Through Society. (Harvard University Press, 1987), p. 67-70.26 Don Ihde, Bodies in Technology. (University of Minnesota Press, 2002), p. 71.27 Andrew Pickering, seorang sosiolog cum filsuf, mengkritik argumen Ihde tentang epistemologi god-trick. Menurut Pickering posisi tubuh dalam fenomenologi sebagaimana diajukan Ihde berada dalam maknanya yang tidak spesifik atau tidak mengacu pada fakta. Selain itu Ihde menjelaskan relevansi tubuh yang tersituasikan dan materialitas ilmu melalui sebuah metafora (cameraobscura). Kritik terhadap epistemologi god-trick adalah bahwa ia dirumuskan dari perspektif epistemologi god-trick itu sendiri. Andrew Pickering, “Ontology Engines”, (In Postphenomenology: A Critical Companion to Ihde. Ed. Evan Selinger. State University of New York Press, 2006), p. 213-217.28 Bruno Latour and Steve Woolgar, Laboratory Life: The Construction of Scientific Facts. (Princenton University Press ), p. 64.

13

Page 14: Membaca Materialitas Ilmu Berdasarkan Filsafat Teknologi Don Ihde

Namun demikian, fakta dibahas tidak terbatas pada instrumentertentu dan dunia yang dimediasikannya sebagaimana Ihde. MenurutLatour dan Woolgar, pembacaan fakta tidak hanya dengan mediasimelainkan juga dengan konstruksi. Mereka melihat ilmu meliputirelasi ontologis materialitas perangkat-perangkat inskripsi.

Dari pemikiran Shapin dan Schaffer serta Latour dan Woolgar,dapatlah kita pahami instrumen tak bisa kita abaikaneksistensinya dalam suatu konstruksi fakta. Realitas keilmuanmenurut mereka tidak terbatas pada fenomena termediasi. Sepertijuga tentunya Ihde mengatakan bahwa ilmu menubuh denganteknologi. Namun Ihde tidak seperti pemikiran Latour dan Woolgardan juga Shapin dan Schaffer yang berfokus hanya pada fakta.Mediasi instrumental mencipta dunia yang terbatas secarafenomenologis (teramplifikasi dan tereduksi). Karena itu selaluada dunia yang dikatakan lebih utuh secara inderawi. Ihdemengatakan hal tersebut telah membawa pada suatu pemikiran bahwapengetahuan ultima (ultimate knowledge) berada dalam wilayah yangtak dapat dipersepsikan. Meski konstruksi teknologis dapatditingkatkan kualitasnya, demikian Ihde, pengetahuan ultima hanyabisa diketahui dengan pembacaan.29

Keberadaan pengetahuan ultima seperti dijelaskan oleh Ihdedapat kita telaah melalui metafora camera obscura. Ihde mengkritikmetafora camera obscura yang digunakan oleh Descartes untukmenjelaskan teori pengetahuannya. Menurut Descartes, ruang gelapyang memproyeksikan cahaya dapat dianalogikan dengan pikiran (rescogito), sedangkan proyeksi cahaya yang menampilkan dunia luarruang sebagai dunia. Ihde berargumen, Descartes menafikan ruangeksternal yang menjadi syarat pikiran memahami dunia sebagaiproyeksi. Ihde mempertanyakan posisi Descartes ketika ia berteoritentang camera obscura. Tepat di sinilah pascafenomenologi Ihdemendapatkan pijakannya, pengetahuan tak lepas dari eksistensitubuh yang tersituasikan.30

Dengan metafora camera obscura, kita dapat mengategorikanpengetahuan ultima yang tak dapat dipersepsikan sebagai ruanggelap. Keterbatasan kita dalam mempersepsikan dunia menjelaskantentang dunia yang tidak diketahui. Inilah yang menjadi ciripengetahuan fenomenologis, intensionalitas dan mediasi-mediasiinstrumental adalah terbatas. Pengetahuan ultima tidak pernahdapat kita jangkau secara absolut. Konsekuensinya, meski subjekCartesian melalui fenomenologi Merleau-Ponty dikatakan telahkeluar dari ruang gelap sebagaimana diteorikan oleh Ihde,keberadaan dunia yang tak dapat dipersepsikan menjelaskan tentangruang gelap itu sendiri. Dapat kita nyatakan bahwa kita belumbenar-benar keluar dari ruang gelap. Perbedaannya dalam konteks

29 Don Ihde, Technics and Praxis, p.3830 Don Ihde, Bodies in Technology, p. 71.

14

Page 15: Membaca Materialitas Ilmu Berdasarkan Filsafat Teknologi Don Ihde

ultimate knowledge ini, ruang gelapnya bersifat eksternal sedangkanfilsafat Descartes bersifat internal.

Fakta dalam filsafat teknologi Ihde terpahami dalam ‘variasifenomenologis instrumental’. Fenomena diketahui dan menjadi faktapertama-tama berdasarkan relasi-relasi manusia-instrumen-dunia.Tentang materialitas instrumen sebagai fakta, kita bisa lihatfilsafat Ihde tentang kesatuan relasional mediasi-mediasiinstrumental yang ia istilahkan dengan relasi-relasitransparansi, yaitu transparansi kemenubuhan (manusia-instrumen)dan transparansi hermeneutis (instrumen-dunia).31 Dalam transparansikemenubuhan, instrumen menjadi ekstensi dari tubuh. Relasi tubuh-instrumen tidak disadari karena persepsi tertuju pada fenomenatermediasi. Sedangkan dalam transparansi hermeneutis, instrumendan dunia yang dimediasikannya menjadi kesatuan relasional.Fenomena termediasi dipersepsikan melalui pembacaan.

Menurut Ihde, dalam relasi-relasi transparansi, terutamarelasi hermeneutis yang menjadi ciri khas mediasi-mediasiinstrumental sains kontemporer, kita temukan posisi enigmatisepistemologis. Relasi transparansi hermeneutis membentuk kesatuaninstrumen-dunia yang secara relasional tidak diketahui.32 Posisienigmatis ini menyatakan dunia yang hendak dituju hanya dapatdiketahui dengan pembacaan. Sedangkan relasi instrumen-dunia itusendiri tidak disadari (unexperienced). Instrumen menjadi quasi-otherdalam memediasikan dan mentransformasikan dunia. Relasi inibersifat enigmatis karena kita tidak mengetahui batasan antarainstrumen dan dunia yang dimediasikannya. Ketika membaca duniamelalui instrumen, kita tidak mengetahui keterhubungan instrumen-dunia, karena persepsi inderawi tertuju terbatas pada teks yangmerupakan referensi dari fenomena sesungguhnya. Radio telescope,misalnya, memediasikan materialitas benda langit dalam bentukdata gelombang frekuensi. Persepsi inderawi kita tertuju padainstrumen radio telescope yang menjadi referensi materialitas bendalangit, sedangkan relasi teknis radio telescope dan benda langittidak kita ketahui. Enigma relasi hermeneutis ini adalah ketikadunia mewujud dalam bentuk teks yang dikondisikan oleh relasiteknis instrumen-dunia.

Posisi enigmatis relasi transparansi ini menjadi argumengagasan instrumen sebagai fakta. Posisi enigmatis menjelaskanbahwa fakta terkonstruksi berdasarkan spesifikasi teknisinstrumen. Instrumen memiliki spesifikasi dan karakter teknisyang menentukan bentuk pengetahuan yang dimediasikannya. Mengenaispesifikasi teknis instrumen yang menjelaskan relasi transparansiini, kita bisa lihat instrumen glucometer. Glucometer menjadireferensi eksistensi zat gula darah yang diketahui melalui

31 Don Ihde, Technology and the Lifeworld, p. 86-8732 Don Ihde, Technics and Praxis, p.37.

15

Page 16: Membaca Materialitas Ilmu Berdasarkan Filsafat Teknologi Don Ihde

pembacaan. Glucometer membaca zat gula darah melalui proseselektrokimia. Darah pada probe dibaca oleh enzyme electrode yangberisi glucose oxidase. Materialitas gula darah terealisasi secarahermeneutis dalam bentuk teks melalui glucometer. Ada suatu prosesteknis tertentu yang memungkinkan suatu zat yang tak dapatdipersepsikan dapat dibaca sebagai pengetahuan. Berdasarkanpenjelasan tersebut dapat kita katakan bahwa materialitas ilmuadalah meliputi konstruksi teknologis instrumen.

Namun demikian, inherensi instrumen-dunia dalam relasitransparansi tidak lantas menjadikannya fenomena yang sama. Dalamdiskursus filsafat ilmu, Ihde mengkritik Patrick Heelan filsufilmu yang berpendapat instrumen dan fenomena yang dimediasikannyaadalah kesatuan fakta. Heelan, menurut Ihde, melihat instrumentidak berdasarkan suatu fenomenologi instrumentasi yangmenjelaskan adanya relasi kemenubuhan dan terutama relasihermeneutis. Mengacu pada filsafat teknologi Ihde, yangdijelaskan oleh Heelan adalah relasi transparansi hermeneutis.Kritik Ihde terhadap Heelan dapat juga kita tujukan terhadapLatour dan Woolgar serta Shapin dan Schaffer. Bahwaintensionalitas dan mediasi-mediasi instrumental dalam relasikemenubuhan dan hermeneutis adalah sesuatu yang mendasar dalamkonstruksi fakta. Instrumentasi tentunya tidak begitu sajamengonstruksi pengetahuan. Dalam mempersepsikan dunia, terdapatstruktur intensional dalam bentuk relasi-relasi instrumentalfenomenologis.

Dari argumen tentang relevansi relasi-relasi ontologisinstrumen (perangkat inskripsi) dan fenomenologi instrumentasi,dapat kita simpulkan bahwa membaca materialitas ilmu tidakterbatas pada fenomena termediasi dan terutama ketika ia telahmenjadi inskripsi dalam wujud visual. Realitas keilmuan meliputirasionalitas instrumen yang terkonstruksi secara teknologis yangmenjadi condition of possibility pembacaan dunia tak dapat dipersepsisecara inderawi. Membaca materialitas ilmu adalah selalu membacamaterialitas teknologi.

Realisme Fenomenologis Ruangsiber Pada bagian ini akan dibahas realisme fenomenologis ruangsiberdengan mengacu pada mediasi-mediasi instrumental dalamfenomenologi instrumentasi. Bila hermeneutika instrumen,instrumen memediasikan dunia dan menjadi kesatuan relasionalfenomenologis, dalam realisme fenomenologis ruangsiber, instrumenterintegrasi ke dalam ruangsiber melalui teknologi informasi.Instrumen dan dunia yang dimediasikannya terdomestikasi dalamruang layar dalam bentuk hiperteks.

16

Page 17: Membaca Materialitas Ilmu Berdasarkan Filsafat Teknologi Don Ihde

Don Ihde membuat istilah realisme fenomenologis berkenaandengan dunia termediasi dan terkonstruksi oleh instrumen.33

Dengan realisme fenomenologis, fenomena teramplifikasi danmewujud sebagai pengetahuan melalui instrumentasi. Ihdemenjelaskan lebih jauh realisme ini dalam diskursus filsafat ilmudengan istilah realisme instrumental dimana pencapaian pengetahuanadalah selalu bermula dari praksis eksperimental daninstrumentasi. Berdasarkan realisme fenomenologis Ihde, sayamendefinisikan transformasi dunia termediasi yang melampauipartikularitas instrumen dengan realisme fenomenologisruangsiber.

Infrastruktur ruangsiber meliputi teknologi informasi dankomunikasi yang membentuk konsep ruang dalam suatu jaringan.Teknologi internet mengoneksi komputer-komputer melalui serversecara global. Ruangsiber menemukan bentuknya dalam ruang layaryang berisi data hiperteks (teks, audio, video, dan citra) danhyperlink yang terkoneksi. Pada awalnya akses ruangsiber terbataspada teks (Email) dan audio (VoIP). Seiring dengan perkembanganteknologi komputer, ruangsiber mewujud dalam bentuk grafikkomputer (citra 3D, animasi dan video) yang bersifat isomorfisdengan realitas sesungguhnya.

Grafik komputer menjadi basis terbentuknya konsep ruangdalam sebuah medium. Dalam filsafat teknologi Ihde, konsep ruangdipahami berdasarkan multistabilitas persepsi.34 Multistabilitaspersepsi ruangsiber adalah tentang ragam bentuk persepsi visualruang layar. Mengenai multistabilitas persepsi ini, Ihdemencontohkan kubus Necker. Kubus Necker menjelaskan tentang suatubenda yang menghasilkan dua bentuk perspektif yang berbeda.Melalui multistabilitas persepsi, Ihde mengatakan sebuah grafiktidak hanya menampilkan dua bentuk perspektif yang berbeda. Citra,animasi dan tentunya grafik video dapat dipersepsikan ke dalamberbagai perspektif sehingga mencipta virtualitas ruang layar.35

Multistabilitas ruangsiber, selain ragam bentuk persepsiruang layar, menurut Ihde adalah pengalaman dunia inderawi yangtereduksi pada kualitas hiperteks. Dengan multistabilitas ini,kita mengakses ruangsiber sebagaimana dunia sesungguhnya dalambatas-batas ruang layar. Tidak hanya tubuh-tubuh yang terkoneksi,

33 Don Ihde, Technics and Praxis, p. 49. 34 Don Ihde, Postphenomenology: Essays in the Postmodern Context, p. 70. 35 Don Ihde, Technology and the Lifeworld, p. 145.

17

Page 18: Membaca Materialitas Ilmu Berdasarkan Filsafat Teknologi Don Ihde

perkembangan teknologi komputer memungkinkan suatu instrumenterkoneksi dengan internet. Penggunaan instrumen tidak terbataspada partikularitasnya baik itu dalam relasi kemenubuhan danrelasi hermeneutis. Relasi manusia-instrumen berekstensimelampaui relasi yang bersifat partikular. Semua bentuk instrumenterdomestikasi dalam ruang layar.

Situs yang merepresentasikan multistabilitas ruangsiberadalah situs informasi cuaca seperti Accuweather(www.accuweather.com) dan BMKG (www.bmkg.go.id). SitusAccuweather menginformasikan secara realtime cuaca, kecepatanangin dan kadar suhu secara global. Dunia yang berjarak diketahuimelalui instrumen yang terkoneksi dengan internet. Dalamfenomenologi instrumentasi, dunia yang dihadirkan situsAccuweather ini tereduksi dalam relasi hermeneutis. Dalam relasiini, kita mempersepsikan dunia sebagai sebuah teks. Fenomenacuaca suatu kota termediasikan dalam bentuk data hiperteks.

Situs BMKG lebih lengkap menginformasikan cuaca denganmenampilkan citra permukaan bumi, awan dan pergerakan awan.Satelit cuaca BMKG menggunakan teknologi inframerah untuk membacasuhu pada gumpalan awan. Warna putih yang dihasilkan olehsatelit, misalnya, adalah awan dengan kandungan uap air,sedangkan warna biru adalah awan dengan kelembaban tinggi yangberisi kristal-kristal es. Melalui teknologi inframerah, kualitassuhu pada awan dapat diidentifikasi dengan melihat warnanya.Citra satelit awan dalam fenomenologi instrumentasi merupakanvariasi fenomenologis horisontal (horisontal instrumental variant).Citra yang dihasilkan mewujud dengan ciri tertentu yang merupakansuatu pengetahuan yang berbeda dengan citra yang dihasilkan tanpateknologi inframerah.

Instrumen lainnya yang terintegrasi dengan ruangsiber dalamsitus BMKG adalah stasiun seismik. Jaringan stasiun seismik BMKGtersebar di wilayah Nusantara. Stasiun ini mendeteksi gempa danpotensi tsunami. Instrumen pendeteksi gempa merepresentasikanfenomena yang terspesifikasi pada data teknis tertentu. Dengannyadipahami adanya variasi fenomenologis yang dimediasikan olehinstrumen kegempaan. Dalam variasi ini, seismographmenginformasikan fenomena gempa dan intensitasnya ke ruangsiber.Gempa di lokasi tertentu diketahui ukuran magnitudonya, kedalamangempa, dan lokasi tepat terjadinya gempa dalam garis sudut petabumi. Informasi yang dihasilkan oleh instrumentasi seismik inimerupakan variasi fenomenologis dalam kategori vertikal (verticalinstrumental possibility). Dunia yang dimediasikan oleh instrumenmewujud dalam bentuk data. Tidak seperti teknologi inframerahpada satelit cuaca yang lebih mendekati realitas sesungguhnyayang merupakan variasi horisontal, dengan instrumentasi seismik,

18

Page 19: Membaca Materialitas Ilmu Berdasarkan Filsafat Teknologi Don Ihde

fenomena gempa tereduksi pada grafik frekuensi dan pada saat yangsama teramplifikasi.

Selain pembacaan melalui ruang layar seperti situs informasicuaca, karakter non-netral dan multistabilitas ruangsibermemungkinkan untuk mengontrol secara langsung instrumen-instrumenyang berjarak dalam relasi hermeneutis dan relasi kemenubuhan.Bentuk kontrol ini dalam ruangsiber hanya dapat dimungkinkandengan teknologi robotis. Setiap instrumen teknologis yangterkomputerisasi baik kontrol on/off dan yang utama kontrol gerakrobotis dapat terintegrasi ke ruangsiber. Tanpa teknologi robotistidak dimungkinkan untuk mengontrol gerak dan operasionalnya.Teknologi robotis menjadi syarat instrumen dapat dikontrol dalamruangsiber.

Teleskop online adalah contoh teknologi robotis yang dapatdiakses melalui teknologi internet. Teleskop dan fenomena visualyang ditampilkannya memiliki kualitas yang sama dalam wujudentitas informatif hiperteks. Dengan teleskop online (sepertimisal www.slooh.com atau www.telescope.org), kita mengakses aktivitasteleskop robotis yang berjarak dalam relasi kemenubuhan. Relasikemenubuhan ini tidak bersifat langsung, materialitas teleskoptermediasikan oleh teknologi informasi. Partikularitas teleskopterdomestikasi dalam multistabilitas ruang layar, relasi manusia-instrumen dimediasikan oleh dua bentuk teknologi. Suatu instrumenyang terkoneksi dengan internet, yang berada di lokasi tertentudan bersifat partikular sebagai keutuhan sebuah instrumen, dapatdikontrol tanpa relasi yang bersifat langsung. Diagramnyadigambarkan sebagai berikut:

Manusia Internet (Mediator I) Instrumen(Mediator II) Dunia

Contoh teknologi robotis yang diakses melalui teknologiinformasi dan komunikasi lainnya adalah robot Curiosity Rover yangdikirim ke planet Mars. Curiosity memiliki instrumen yang digunakanuntuk meniliti planet Mars. Teknologi kamera (ChemCam) padarobot ini digunakan untuk navigasi, mengetahui geologi dan unsurkimia pada batu dan tanah permukaan Mars. ChemCam menggabungkanteknologi Laser Spectroscopy dan teleskop Remote Micro Imager. Selainsebagai instrumen keilmuan, kemampuan teknis robot inimenjelajah, mengebor, dan menyekop permukaan tanah dan bebatuandi Mars. Robot Curiosity menggunakan teknologi informasi dankomunikasi agar dapat dikontrol gerak robotisnya. Kontrolterhadap robot ini melalui gelombang radio yang dikirim dalambentuk data secara khusus dari Bumi.

Dunia yang dimediasikan robot Curiosity merupakan variasiinstrumental fenomenologis. Variasi ini tidak hanya pengetahuan

19

Page 20: Membaca Materialitas Ilmu Berdasarkan Filsafat Teknologi Don Ihde

yang hadir dalam ruang layar secara hermeneutis. Ia bersifat non-netral dalam arti Curiosity dapat dikontrol gerak robotisnya denganteknologi informasi dan komunikasi. Curiosity memediasikan duniayang eksistensinya dalam ranah instrumentasi. Dua bentuk duniayang dihadirkan oleh Curiosity adalah fenomena visual gerak robotisdan fenomena keilmuan yang dimediasikan instrumen yang ada padaCuriosity. Meski robot ini terbatas dikontrol oleh para ilmuwanNASA, publisitas pengetahuannya dapat kita akses secara online diakun Twitternya MarsCuriosity dan situsnya www.mars.jpl.nasa.gov.Informasi kegiatan robot ini meliputi citra dan video yang berisilaporan terbaru hasil penelitian di planet Mars.

Setiap instrumen yang terkomputerisasi dapat terkoneksi keruangsiber. Intensionalitas teknis instrumental ditransformasikanke dalam bentuk hiperteks dan tereduksi dalam kualitas audiovisual. Kualitas dunia inderawi yang bersifat kompleks yangdimediasikan instrumen dipersepsikan dalam batas-batasmultistabilitas ruang layar. Relasi manusia, internet daninstrumen mencipta sebuah variasi instrumental yang memunculkanistilah realisme fenomenologis ruangsiber.

KesimpulanRelevansi praksis dan instrumentasi telah membentuk perspektifbaru dalam filsafat ilmu pengetahuan. Ilmu selalu berawal darikesadaran menubuh dan termediasikan oleh teknologi.Intensionalitas praksis keilmuan sampai pada fase ketika menjadimungkin menggapai pengetahuan melalui mediator. Dalammempersepsikan dunia melalui mediator ini kita ketahui adanyastruktur kesadaran relasional manusia-instrumen, seperti telahdijelaskan, relasi-relasi ini adalah relasi kemenubuhan danrelasi hermeneutis, kedua bentuk relasi ini berada korelasiintensional manusia-dunia.

Dapat kita simpulkan pembacaan materialitas ilmu menjadirasional terkonstruksi dan termediasi instrumen. Materialitasilmu dipahami meliputi konstruksi teknologis dan mediasi-mediasiinstrumental. Akhirnya mengenai intensionalitas dan mediasi-mediasi instrumental, moda ektensifikasi tidak hanya pada tubuhdengan instrumen. Dengan teknologi internet, kita dapatmengontrolnya secara ‘elektronis’. Dalam konteks ini ada duabentuk mediator dalam menggapai pengetahuan. Materialitaspengetahuan, selain artefak teknologi, berekstensi dalam bentukhiperteks dalam ruangsiber yang dapat diakses secara publikmelalui mediasi teknologi informasi.

Demikian pembahasan tentang teknologi dan materialitas ilmuberdasarkan fenomenologi instrumentasi Ihde. Saya berpikir bahwafilsafat teknologi Ihde perlu dipertimbangkan untuk diketahuisebagai metode ilmu-ilmu yang selalu mengandaikan penggunaan

20

Page 21: Membaca Materialitas Ilmu Berdasarkan Filsafat Teknologi Don Ihde

instrumen. Merefleksikan ilmu tanpa teknologi tentu akanmenjadikannya tidak berpijak dan membumi. Inilah yang membuatfilsafat teknologi memiliki kelebihan tersendiri dalam diskursusfilsafat masa kini.

Daftar RujukanDíaz-Guardamino, Marta. “Rock Art and Digital Technologies: the

Application of Reflectance Transformation Imaging (RTI) and 3DLaser Scanning to the Study of Late Bronze Age Iberian Stalae”dalam jurnal MENGA: Journal of Andalusian Prehistory 04, 2013. Diaksesdari www.Academia.edu.

Driyarkara SJ, N. Percikan Filsafat. Penerbit PT Pembangunan Jakarta,1989.

Dusek, Val. Philosophy of Technology: An Introduction. BlackwellPublishing. UK, 2005.

Feenberg, Andrew. “The Mediation Is the Message: Rationality andAgency in the Critical Theory of Technology”. Techné: Research inPhilosophy and Technology. Vol. 17:1. Winter, 2013.

Hartanto, Budi. Dunia Pasca-Manusia: Menjelajahi Tema-tema KontemporerFilsafat Teknologi. Penerbit Kepik. Depok, 2013.

-------------. “Tentang Kematian dan Sifat-sifat Jiwa”. Dalam Jurnal Filsafat Driyarkara, Edisi “Tuhan Yang Tak Pernah Mati” TH. XXVII NO.2, 2004.

Hardiman, F. Budi. Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar MenujuSein und Zeit. Penerbit KPG bekerja sama dengan Pusat PenelitianSTF Driyarkara, Jakarta, 2003.

Husserl, Edmund. The Crisis of European Science and TrancendentalPhenomenology. Transl. David Carr. Northwestern UniversityPress,1954.

--------------. The Basic Problems of Phenomenology: From the Lectures, WinterSemester, 1910-1911. Translated by Ingo Farin and James G. Hart.Springer. Netherlands, 2006.

Heidegger, M. The Question Concerning Technology and Other Essays.Penerjemah: W. Lovitt. Harper and Row. New York, 1977.

--------------. Being and Time. Diterjemahkan oleh John Macquarrie& Edward Robinson. Oxford Basil Blackwell. Oxford, 1973.

Ihde, Don. Technic and Praxis. D Riedel Publishing Company. Hollanddan Boston, USA, 1979.

--------------. Consequences of Phenomenology. State University ofNew York, 1986.

--------------. Technology and the Lifeworld: from Garden to Earth. IndianaUniversity Press. Bloomington/Indianapolis, 1990.

--------------. Instrumental Realism: The Interface between Philosophy ofScience and Philosophy of Technology. Indiana University Press.Bloomington/Indianapolis, 1991.

21

Page 22: Membaca Materialitas Ilmu Berdasarkan Filsafat Teknologi Don Ihde

--------------. Postphenomenology: Essays in the PostmodernContext. Northwestern University Press, 1993.

--------------. Expanding Hermeneutics: Visualisme in Science. NorthweternUniversity Press, 1998.

--------------. Bodies in Technology, Electronic Mediations; V. 5.Minneapolis: University of Minnesota Press, 2002.

--------------. Multistability in Cyberspace. Dalam Transforming Spaces.Topological Turn in Science Studies. (Ed.) Mikael Hård, Andreas Lösch, DirkVerdicchio, 2003.Http://www.ifs.tu.darmstadt.de/gradkoll/publikationen/transformingspaces.html .

--------------. Postphenomenology—Again? Working Paper from Centre ofSTS Studies No. 3. University of Aarhus, 2003.

--------------. Postphenomenology and Technoscience: Peking University Lecture(SUNY Series of the Philosophy of the Social Sciences). State University ofNew York Press, 2009.

Latour, Bruno. Science in Action: How to Follow Scientist and Engineers ThroughSociety. Harvard University Press, 1987.

--------------. & Woolgar, Steve. Laboratory Life: The Construction ofScientific Facts. Princenton University Press, 1986.

Losee, John. A Historical Introduction to the Philosophy of Science. OxfordUniversity Press, 1972.

Merleau-Ponty, Maurice. The Visible and the Invisible. NorthwesternUniversity Press, 1968.

--------------. Phenomenology, Language and Sociology: Selected Essays ofMerleau-Ponty. Heineman, London, 1974.

Mahzar, Armahedi. Revolusi Integralisme Islam: Merumuskan Paradigma Sainsdan Teknologi Islami. Penerbit Mizan, Bandung, 2004.

Nasr, Seyyed Hossein. An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines:Conceptions of Nature and Methods Used for its Study by Ikhwan Al-Shafa, Al-Biruni,and Ibn Sina. Revised Edition. The Pitman Press, Great Britain,1978.

Nippon Gakki Co., Ltd. Piano Technology. Yamaha Musik Indonesia,1978.

Shapin, Steven & Schaffer, Simon. Leviathan and the Air-Pump: Hobbes,Boyle and the Experimental Life. Princenton University Press, 1985.

Supelli, Karlina. Dari Kosmologi ke Dialog: Mengenal Batas Pengetahuan,Menentang Fanatisme. Penerbit Mizan Pustaka. Jakarta, 2011.

--------------. “Paradoks Keratahan”. Jurnal Filsafat dan TeologiDiskursus. Vol. 6, No. 2, Oktober 2007.

--------------. “Bingkai Kurus Realisme Struktural Epistemik”.Jurnal Filsafat dan Teologi Diskursus. Vol. 12, No. 2, Oktober 2013.

Selinger, Evan (ed.). Postphenomenology: Critical Companion to Ihde. StateUniversity of New York Press, 2006.

Palmer, Richard E,. Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher,Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Northwestern University PressEvanston, 1969.

22

Page 23: Membaca Materialitas Ilmu Berdasarkan Filsafat Teknologi Don Ihde

Pickering, Andrew. “Ontology Engines”. In Postphenomenology: CriticalCompanion to Ihde. Ed. Evan Selinger. State University of NewYork Press, 2006.

Prajna-Nugroho, Ito. “Intensionalitas dan Intersubjektifitasdalam Filsafat Husserl”. Dalam Jurnal Filsafat Driyarkara, edisiFilsafat Kontinental. Th XXXIII No. 2/2012.

Verbeek, Peter-Paul. “Material Hermeneutics”. Technѐ: research inPhilosophy and Technology, Vol. 6-3 . Springs, 2003.

23