Memahami Praktik-Praktik Yang Memicu Tindak Pidana Dalam
Pengadaan Barang Dan Jasa PemerintahDibuat: Selasa, 04 November
2014 14:58Ditulis oleh Pusdiklat APOleh: Dwi Ari Wibawa, SIP,
M.MWidyaiswara MudaAbstraksPengadaan barang dan jasa yang baik
diperlukan dalam menunjang berjalannya roda perekonomian bangsa.
Berbagai temuan dan laporan dari aparat pemeriksa banyak
menunjukkan penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa ini.
Penyimpangan ini ditandai dengan banyaknya kasus penanganan tindak
pidana yang ditangani oleh aparat hukum.Ada beberapa praktik yang
memicu tindak pidana dalam pengadaan barang dan jasa antara lain
penyuapan, memecah atau menggabung paket, penggelembungan harga,
mengurangi kualitas dan kuantitas barang dan jasa, penunjukan
langsung, kolusi antara penyedia dan pengelola pengadaan barang dan
jasa.Untuk mengantisipasi berbagai resiko pengadaan barang dan jasa
tersebut dapat dilakukan antara lain dengan menghindari resiko
yaitu dengan mengimplementasikan pengadaan barang dan jasa yang
tepat, memindahkan resiko kepada pihak lain yaitu dengan meminta
penjelasan tertulis (fatwa) untuk permasalahan-permasalahan yang
tidak jelas, atau dengan mengurangi resiko yaitu dengan melibatkan
tenaga ahli sebagai penerima barang, melibatkan konsultan hukum
dalam merancang kontrak, memperkuat sistem pengawasan internal dari
KPA atau PPK.Kata Kunci: Risiko, Pidana,
PengadaanPendahuluanPembangunan sarana maupun prasarana dalam
menunjang roda perekonomian dan pelayanan masyarakat di Indonesia
menjadi sebuah keharusan. Pembangunan sarana dan prasarana ini
tentunya harus diimbangi dengan pengadaan barang dan jasa yang
baik. Namun dalam pelaksanaannya seringkali dijumpai berbagai
penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan jasa Pemerintah.
Berdasarkan berbagai data yang ada, kerugian keuangan negara yang
ditimbulkan akibat penyimpangan terhadap ketentuan pelaksanaan
pengadaan barang dan jasa pemerintah ternyata nilainya luar biasa
besar. BPKP menyatakan bahwa jika dilihat dari belanja barang dan
jasa Pemerintah telah terjadi kebocoran rata-rata 30% atau sekitar
25 Triliun Rupiah. Angka tersebut diperhitungkan hanya berdasarkan
dari anggaran Pemerintah pusat saja dan belum diperhitungkan dengan
anggaran pemerintah daerah.(Amirudin : 2010)Penyimpangan dalam
pengadaan barang/jasa Pemerintah diindikasikan dengan banyaknya
penanganan tindak pidana korupsi terkait pengadaan barang dan jasa
yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun oleh
penegak hukum lain di Indonesia. KPK menyatakan, kasus korupsiyang
paling banyak dilakukan pejabat pemerintah umumnya dalam proyek
pengadaan barang dan jasa. Pada periode 2004-2010, 44 persen kasus
korupsi yang ditangani KPK merupakan kasus pengadaan barang dan
jasa. Pengadaan barang dan jasa merupakan jenis korupsi tertinggi
yang ditangani KPK. Tertinggi kedua adalah Kasus penyuapan yang
mencapai 29 persen (http://www.merdeka.com).Penyimpangan dalam
proses pengadaan barang dan jasa yang merugikan keuangan negara
merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi. Definisi korupsi
itu sendiri diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak
Pidana Korupsi. Definisi didalam pasal tersebut memuat unsur-unsur;
secara melawan hukum; memperkaya diri sendiri; orang lain atau
suatu korporasi; yang dapat menimbulkan kerugian keuangan negara
atau perekonomian negara.Faktor-faktor yang menjadikan pengadaan
barang dan jasa sebagai ladang subur praktek korupsi, diantaranya
adalah banyaknya uang yang beredar, tertutupnya kontak antara
penyedia jasa dan panitia lelang dan banyaknya prosedur lelang yang
harus diikuti. Proses pengadaan ini walaupun tercium adanya
indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), tetapi pembuktiannya
sangat sulit karena sistem administrasi dari pemberi dan penerima
pekerjaan ini sangatlah rapi. Untuk mengatasi masalah tersebut,
perlu dilakukan proses yang terbuka dalam pengadaan barang dan
jasa. Proses yang transparan ini akan memberikan kesempatan yang
sama kepada penyedia barang dan jasa dan dalam pelaksanaannya akan
mendapatkan pengawasan dari masyarakat (KPK : 2007)Praktik yang
Memicu Tindak Pidana dalam Pengadaan barang dan jasaTerdapat 3
(tiga) unsur untuk dapat dikategorikan sebagai tindak
pidana,Pertama, menyalahgunakan kewenangannya,kedua, memberikan
keuntungan baik kepada diri sendiri maupun orang lain, danketiga,
menimbulkan kerugian keuangan negara. Bila proses yang sedang
berjalan, walaupun belum final/akhir, namun sudah ada indikasi atau
"dugaan kuat" adanya penyimpangan bisa atau dapat dikategorikan
pelanggaran terhadap UU Korupsi.Berikut adalah beberapa perbuatan
yang bisa memicu terjadinya tindak pidana pada pengadaan barang dan
jasa pemerintah antara lain :a. PenyuapanMenyuap adalah usaha yang
dilakukan sesorang untuk mempengaruhi pejabat pemerintah (pengambil
keputusan) supaya melakukan tindakan tertentu atau supaya tidak
melakukan tindakan tertentu dengan memberikan imbalan uang atau
benda berharga lainnya. Tindak pidana suap merupakan tindak pidana
yang berada dalam satu jenis dengan tindak pidana korupsi dan
merupakan jenis tindak pidana yang sudah sangat tua. Penyuapan
sebagai istilah sehari-hari yang dituangkan dalam Undang-Undang
adalah sebagai suatu hadiah atau janji ("giften" atau "beloften")
yang diberikan atau diterima. Pelaku penyuapan dikategorikan
menjadi penyuapan aktif (active omkoping) adalah jenis penyuapan
yang pelakunya sebagai pemberi hadiah atau janji, sedang penyuapan
pasif (passive omkoping) adalah jenis penyuapan yang pelakunya
sebagai penerima hadiah atau janji.Penyuapan biasanya dilakukan
oleh rekanan kepada bupati, walikota, gubernur, dirjen, menteri,
pengguna anggaran, kuasa pengguna anggaran, pejabat pembuat
komitmen, panitia penerima barang dan jasa, atau kepada anggota
pokja ULP. Tujuan penyuapan ini adalah agar pengelola pengadaan
memenangkan penawaran dari rekanan, supaya pengelola kegiatan
menerima barang/jasa yang diserahkan rekanan dimana kualitas dan
atau kuantitasnya lebih rendah dibandingkan yang diperjanjikan
dalam kontrak.Larangan penyuapan diatur pada pasal 6 Perpres 54
tahun 2010 jo Perpres 70 tahun 2012 yaitu berkaitan dengan etika
pengadaan. Para pihak yang terkait dalam pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa harus mematuhi etika sebagai berikut :a. melaksanakan
tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai
sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan Pengadaan
Barang/Jasa;b. bekerja secara profesional dan mandiri, serta
menjaga kerahasiaan Dokumen Pengadaan Barang/Jasa yang menurut
sifatnya harus dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan
dalam Pengadaan Barang/Jasa;c. tidak saling mempengaruhi baik
langsung maupun tidak langsung yang berakibat terjadinya persaingan
tidak sehat;d. menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan
yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak;e.
menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para
pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung
dalam proses Pengadaan Barang/Jasa;f. menghindari dan mencegah
terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam Pengadaan
Barang/Jasa;g. menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang
dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan
atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan
negara; danh. tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak
menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi,
rabat dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui
atau patut diduga berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa.Ancaman
hukuman terhadap penerima suap diatur pada pasal 418 KUHP :Seorang
pejabat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau
sepatutnya harus diduganya, bahwa hadiah atau janji itu diberikan
karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya
atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji itu
ada hubungannya dengan jabatannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.Sedangkan pada pasal 419 KUHP diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun apabila seorang pejabat :1.
Menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya bahwa hadiah atau
janji itu diberikan untuk menggerakkan supaya melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya2. Yang menerima hadiah mengetahui bahwa hadiah itu
diberikan sebagai akibat atau oleh karena si penerima telah
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya
yang bertentangan dengan kewajibannya.Kemudian pada UU No.31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupssi ancaman hukuman
terhadap penerima suap disebutkan :Pasal 11Setiap orang yang
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pa sal 418 KUHP,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling
lama 5 tahun dan denda paling sedikit Rp.50.000.000 dan paling
banyak Rp.250.000.000,-Pasal 12Setiap orang yang melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 419, pasal 420, pasal 423,
pasal 425 atau pasal 435 KUHP dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20
tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 dan paling banyak
1.000.000.000.Ada beberapa kasus yang menyeret pelaku suap ini ke
jeruji penjara, antara lain korupsi pengadaan alat-alat kesehatan
atas nama Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Barat dr. HL
Sekarningrat. Pengadilan Negeri Mataram dalam putusan No.
274/PID.B/2004/PN.MTR tanggal 17 Pebruari 2005 memutusakan bahwa
terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima
sejumlahfeeproyek dari rekanan dengan janji atau hadiah yang
berhubungan dengan jabatannya Pidana penjara 5 bulan dan denda 10
juta Rupiah subsider bulan kurungan.b. Menggabungkan atau memecah
paket pekerjaanBerkaitan dengan pemaketan pekerjaan Perpres 54
tahun 2010 pada pasal 24 ayat 3 mengatur prosedur sebagai berikut
:Dalam melakukan pemaketan Barang/Jasa, PA dilarang:a. menyatukan
atau memusatkan beberapa kegiatan yang tersebar di beberapa
lokasi/daerah yang menurut sifat pekerjaan dan tingkat efisiensinya
seharusnya dilakukan di beberapa lokasi/daerah masing-masing;b.
menyatukan beberapa paket pengadaan yang menurut sifat dan jenis
pekerjaannya bisa dipisahkan dan/atau besaran nilainya seharusnya
dilakukan oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi kecil;c.
memecah Pengadaan Barang/Jasa menjadi beberapa paket dengan maksud
menghindari pelelangan; dan/ataud. menentukan kriteria, persyaratan
atau prosedur pengadaan yang diskriminatif dan/atau dengan
pertimbangan yang tidak obyektif.Pemecahan atau penggabungan paket
bisa dilakukan dengan pertimbangan yang jelas dan sesuai dengan
prinsip pengadaan yang efektif dan efisien. Pemecahan paket dapat
dilakukan karena perbedaan target penyedia, perbedaan lokasi
penerima/pengguna barang yang cukup signifikan, atau perbedaan
waktu pemakaian dari barang dan jasa tersebut. Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Undang-undang Nomor 31
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mengatur ancaman
perbuatan menggabungkan atau memecah paket. Pada perpres 54 tahun
2010 jo Perpres 70 tahun 2012 juga tidak ada ancaman terhadap
penggabungan atau pemecahan paket. Ancaman tindak pidana muncul
apabila dapat dibuktikan bahwa pemecahan atau penggabungan paket
tersebut diikuti dengan praktek penggelembungan harga. Apabila hal
ini terjadi maka praktek penggelembungan harga inilah yang diancam
hukuman.c. Penggelumbungan hargaMerujuk pada Perpres 54 tahun 2010
diatur mengenai etika pengadaan dimana pada pasal 6 disebutkan
salah satunya adalah menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan
dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang dan jasa.
Etika pengadaan tersebut menegaskan bahwa rekanan maupun pengelola
pengadaan secara tegas dilarang melaksanakan pengadaan barang/jasa
yang dapat mengakibatkan pemborosan keuangan negara. Semua
peristiwa tindak pidana pengadaan barang dan jasa hampir selalu
mengakibatkan pemborosan.Praktek penggelembungan harga ini diawali
dari penentuan HPS yang terlalu tinggi karena penawaran harga
peserta lelang/seleksi tidak boleh melebihi HPS sebagaimana diatur
pada pasal 66 Perepres 54 tahun 2010 dimana HPS adalah dasar untuk
menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah untuk Pengadaan
Barang/Pekerjaan Konstruksi/JasaLainnya dan Pengadaan Jasa
Konsultansi yang menggunakan metode Pagu Anggaran. Penyusunan HPS
dikalkulasikan secara keahlian berdasarkan data yang dapat
dipertanggungjawabkan.Contoh penyimpangan yang dapat terjadi dapat
dilihat dalam kasus pengadaan alat pendidikan dokter di di Badan
Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan (BPPSDMK) pada
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2010, yang mana Kejaksaan
Agung telah menetapkan 3 tersangkanya. Dalam kasus ini diduga telah
terjadi rekayasa harga dalam tender pengadaan alat pendidikan
dokter tersebut Tersangka Widianto Aim berperan membuat penetapan
Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang tidak profesional terkait tender
pengadaan alat pendidikan dokter rumah sakit tersebut. Kemudian
tersangka Syamsul Bahri sebagai Kasubag Program dan Anggaran (PA)
juga terkait dalam penetapan HPS dalam tender tersebut. Terakhir,
tersangka Bantu Marpaung sebagai pemenang tender terkait dalam
penetapan HPS tender tersebut.Kasus mark up yang lain
misalnyamark-uppada pengadaan dua unit Helikopter jenis MI-2 buatan
Rostov-Rusia oleh Pemda NAD dengan terdakwa Sdr. Ir. H. Abdullah
Puteh, M.Si. (mantan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam). Pengadilan
Tipikor dan diperkuat oleh MA telah memvonis Ir. H. Abdullah Puteh
10 tahun penjara, uang pengganti 4,5 miliar rupiah dan denda 0,5
miliar rupiah. Terdakwa dipidana 10 tahun penjara dan harus
membayar uang pengganti 4,5 miliar rupiah dan denda 0,5 miliar
rupiah.d. Mengurangi kuantitas dan atau kualitas barang dan
jasaDalam setiap pengadaan barang dan jasa senantiasa diikuti
dengan bukti perjanjian baik dalam bentuk Surat Perjanjian/kontrak
maupun Surat Perintah Kerja (SPK). Kontrak adalah bentuk
kesepakatan tertulis antara penyedia dan pengguna barang/jasa
tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dalam kontrak selalu
diatur tentang kuantitas dan kualitas barang dan jasa yang
diperjanjikan, sehingga setiap usaha untuk mengurangi kuantitas
atau kualitas barang dan jasa adalah tindak pidana.Pengurangan
kuantitas dan kualitas ini seringkali dilakukan bersamaan dengan
pemalsuan dokumen berita acara serah terima barang, dimana
penyerahan barang diikuti berita acara yang menyatakan bahwa
penyerahan barang telah dilakukan sesuai dengan kontrak. Terhadap
hal ini KUHP pada pasal 263 menyatakan :(1) Barang siapa membuat
surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu
hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan
sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau
menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar
dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat
menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara
paling lama enam tahun.(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang
siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan,
seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan
kerugian.Pada Perpres 54 tahun 2010 pada pasal 18 diatur tentang
tugas pokok dan kewenangan dari Panitia/Pejabat Penerima Hasil
Pekerjaan (PPHP), dimana PPHP mempunyai tugas pokok dan kewenangan
sebagai berikut :a. melakukan pemeriksaan hasil pekerjaan Pengadaan
Barang/Jasa sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Kontrak;b.
menerima hasil Pengadaan Barang/Jasa setelah melalui
pemeriksaan/pengujian; danc. membuat dan menandatangani Berita
Acara Serah TerimaHasil Pekerjaan.Secara legal formal tanggung
jawab untuk menyatakan bahwa barang atau jasa yang diserahkan telah
sesuai dengan kontrak baik kualitas maupun kuantitasnya adalah
PPHP. Namun secara material penyedia barang dan jasa juga harus
bertanggungjawab terhadap kekurangan ini. Penyedia yang melakukan
kecurangan ini bisa dikenai tindak pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Pasal 7 UU 20 Tahun 2001 merujuk pada Pasal 387 dan
Pasal 388 KUHP yang kualifikasinya adalah melakukan perbuatan
curang bagi pemborong, ahli bangunan dan pengawas, sehingga
membahayakan keamanan orang atau barang dan membahayakan
keselamatan negaraPerbuatan curang yang dilakukan adalah pemborong
misalnya melakukan pembangunan suatu bangunan tidak sesuai atau
menyalahi ketentuan yang sudah diatur dan disepakati yang tertuang
dalam surat perjanjian kerja atau leveransir, bahan bangunan yang
dipesan/dibeli darinya tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.
Perbutan curang ini tidak perlu mengakibatkan bangunan itu roboh
atau negara menjadi betul-betul bahaya, karena dalam unsurnya
dikatakan "dapat membahayakan keamanan orang atau barang dan
membahayakan keselamatan negara"e. Penunjukan langsungPenunjukan
langsung adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa dengan
menunjuk langsung 1 penyedia barang/jasa yang memenuhi syarat.
Dalam Perpres 54 tahun 2010 pasal 38 menyebutkan bahwa penunjukan
langsung dapat dilakukan dalam hal:a. keadaan tertentu; dan/ataub.
pengadaan Barang khusus/Pekerjaan Konstruksi khusus/Jasa Lainnya
yang bersifat khusus.Penunjukan langsung dapat dilakukan sepanjang
memenuhikriteria yang diuraikan secara ketatpada pasal 38 dan pasal
44. Penunjukan langsung yang terjadi diluar yang telah ditetapkan
dalam Perpres tersebut adalah ilegal. Dalam beberapa kasus
penunjukan langsung ini juga diikuti dengan pengelembungan harga,
karena tentu harus ada fee yang diberikan penyedia barang/jasa
sebagai ucapan terimakasih kepada pejabat yang menunjuk.Beberapa
kasus penunjukan langsung yang terjadi seperti kasus pengadaan dan
pembelian pesawat terbang jenis Fokker 27 seri 600, dengan putusan
No. 43 K/Pid/2007, atas nama terdakwa Drs. David Agustein Hubi.
Dalam kasus ini, pelaksanaan proyek pengadaan dan pembelian pesawat
terbang tersebut tidak berpedoman pada Keppres No. 18 tahun 2000
(merupakan peraturan yang berlaku pada saat kejadian berlangsung)
tentang pengadaan barang dan jasa, dimana proyek yang telah
dilaksanakan tidak dilengkapi dengan SPK (Surat Perintah Kerja)
maupun Kontrak Kerja akan tetapi hanya mendasari dengan surat
perjanjian saja, disisi lain dalam pelaksanaan proyek tidak
dilakukan tender dan analisa kewajaran harga. Terdakwa didakwa
telah melanggar Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat
(1) ke -1 KUHP. Pengadilan Negeri Menghukum Terdakwa atas ketiga
perbuatan tersebut dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan
Denda sebesar Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) subsidair
6 (enam) bulan kurungan. Oleh pengadilan tinggi, hukuman ini
ditambah menjadi pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan membayar
uang pengganti kepada Negara sebesar Rp. 1.661.000.000,- (satu
milyar enam ratus enam puluh satu juta rupiah).f. Kolusi antara
penyedia dan pengelola pengadaan.Kolusi yang bisa memicu terjadinya
tindak pidana antara laina. Membuat spesifikasi barang/jasa yang
mengarah ke rekanan tertentub. Mengatur/Merekayasa Proses
Pengadaanc. Membuat syarat-syarat untuk membatasi peserta
lelangPada Perpres 54 tahun 2010 pada pasal 24 disebutkan tentang
pelarangan menentukan kriteria, persyaratan atau prosedur pengadaan
yang diskriminatif dan/atau dengan pertimbangan yang tidak
obyektif.Kemudian pada pasal 56 juga disebutkan :Perbuatan atau
tindakan penyedia Barang/Jasa yang dapat dikenakan sanksi adalah:a.
berusaha mempengaruhi ULP/Pejabat Pengadaan/pihak lain yang
berwenang dalam bentuk dan cara apapun, baik langsung maupun tidak
langsung guna memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan
ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam Dokumen
Pengadaan/Kontrak, dan/atau ketentuan peraturan
perundang-undangan;b. melakukan persekongkolan dengan Penyedia
Barang/Jasa lain untuk mengatur Harga Penawaran diluar prosedur
pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, sehingga
mengurangi/menghambat/memperkecil dan/ atau meniadakan persaingan
yang sehat dan/atau merugikan orang lain;Muara dari kolusi tersebut
adalah peniadaan kompetisi dalam pengadaan barang dan jasa.
Kompetisi dalam pengadaan publik berarti penyedia secara independen
bersaing untuk menawarkan barang/jasa dalam suatu proses pemilihan.
Kompetisi yang sehat merupakan elemen kunci yang akan menghasilkan
penawaran yang paling menguntungkan bagi pemerintah khususnya harga
paling rendah dan kualitas barang yang paling baik. Bagi penyedia
kompetisi berfungsi sebagai pendorong penting tumbuhnya inovasi
produk barang/jasa untuk menghasilkan produk terbaik dengan harga
bersaing. Kompetisi hanya bisa tercapai jika tidak ada kolusi dalam
tender, salah satu masalah yang paling menonjol dalam korupsi
pengadaan di sektor publik. Penyedia akan bersaing dengan sehat
ketika mereka yakin bahwa mereka disediakan semua informasi yang
sama dan akan dievaluasi dengan metode evaluasi yang tidak
diskriminatif, serta tersedia mekanisme untuk melakukan sanggahan
terhadap keputusan hasil evaluasi.Beberapa contoh praktek
persyaratan yang diskriminatif antara lain peserta tender harus
menunjukkan saldo kas dengan jumlah tertentu, Laporan keuangan
peserta tender harus sudah diaudit KAP, Peserta harus memiliki
rekening pada bank tertentu. Dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun
2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah maka Unit Layanan
Pengadaan (ULP) yang melakukan penyimpangan dapat dikenai sanksi
sebagaimana dirumuskan Pasal 118 : apabila terjadi pelanggaran
dan/atau kecurangan dalam proses Pengadaan Barang/Jasa, maka Unit
Layanan Pengadaan (ULP) dikenakan sanksi administrasi, dituntut
ganti rugi; dan/atau dilaporkan secara pidana.PenutupDengan
memahami praktik-praktik yang memicu tindakan pidana dalam
pengadaan barang dan jasa diatas diharapkan para pengelola
pengadaan barang dan jasa dapat mengantisipasi resiko pidana
tersebut. Resiko pidana dapat diantisipasi dengan beberapa jalan1.
Menghindari resiko, dapat dilakukan dengan mengimplementasikan
pengadaan barang dan jasa yang tepat sesuai Perpres 54 tahun 2010
jo Perpres 35 tahun 2011 jo Perpres 70 tahun 2012 serta
aturan-aturan pelaksanaannya.2. Memindahkan resiko kepada pihak
lain, dapat dilakukan dengan meminta penjelasan tertulis (fatwa)
untuk permasalahan-permasalahan yang tidak jelas kepada lembaga
yang berkompenten seperti BPK, BPKP, LKPP, KPK dan pihak lain yang
berkompenten.3. Mengurangi resiko, dapat dilakukan dengan
melibatkan tenaga ahli sebagai penerima barang, melibatkan
konsultan hukum dalam merancang kontrak, memperkuat sistem
pengawasan internal dari KPA atau PPK.Daftar Pustaka1. Amirudin.
2012 Analisis Pola Pemberantasan Korupsi dalam Pengadaan Barang dan
Jasa2. Muhammad Jasin dkk. 2007. Memahami untuk melayani,
Melaksanakan E-Announcement dan E-Procurement dalam Sistem
Pengadaan Barang dan Jasa. Komisi Pemberantasan Korupsi3. Indonesia
Procurement Watch. 2011 Laporan Survey Jejak Suap dalam Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah4. Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 jo
Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan
Jasa Pemerintah5. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.6.
Suswinarno Ak, MM. 2013 Mengantisipasi Resiko dalam Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah7.www.pantau-pengadaan.org. Kajian Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah dari Perspektif Hukum Pidana dan
Kriminologi8. http://www.merdeka.com9.
http://www.hukumonline.com
ANALISIS KASUS KORUPSI PENGADAAN ALAT KESEHATAN: Akar Masalah
& e-Katalog Sebagai Suatu Solusi
I. PENDAHULUANBeberapa tahun terakhir ini, kita dihebohkan oleh
beberapa kasus pengadaan alat kesehatan (alkes) yang menyeret
nama-nama pejabat atau mantan pejabat penting negeri ini, sebut
saja kasus pengadaan rontgen portable untuk pelayanan Puskesmas di
daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan pulau-pulau kecil
adalah dari anggaran Kemenkes 2007 yang merugikan keuangan negara
sebesar Rp9,4 miliar.Kasus pengadaan alat kesehatan lain yang lebih
heboh terjadi pada Pemerintah Provinsi Banten tahun anggaran
2010-2012 yang menyeret gubernur non aktif karena diduga terjadi
penggelembungan nilai pengadaan yang merugikan keuangan daerah
sampai Rp 30,3 miliar dengan rincian adanya alkes yang diterima
tidak lengkap yang nilainya sampai Rp 5,8 miliar, tidak sesuai
dengan spesifikasi sebesar Rp 6,3 miliar, alat kesehatan yang
diduga fiktif karena tidak ditemukan wujudnya sampai Rp 18,1
miliar.Koordinator Divisi Pelayanan Publik Indonesia Corruption
Watch (ICW) Febri Hendri menyatakan, sektor kesehatan masih
terjangkit virus korupsi. Selama periode 2001-2013 penegak hukum
(Kejaksaan, Kepolisian dan KPK) di seluruh Indonesia telah berhasil
menindak 122 kasus korupsi kesehatan, kerugian negara Rp 594
miliar. Kerugian negara kasus korupsi ini setara dengan pembiayaan
iuran JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) untuk 2,5 juta penduduk
miskin atau pembiayaan operasional bagi 594 ribu pos yandu di
seluruh Indonesia (26/1/2014).Kasus korupsi ini juga telah
menjadikan sejumlah pejabat tinggi terkait kesehatan di
pemerintahan pusat dan daerah menjadi tersangka. Beberapa pejabat
tinggi tersebut antara lain 2 Menkes, 2 Dirjen Kemkes, 7 Anggota
DPR/DPRD, 3 Kepala Daerah, 31 Kepala Dinas Kesehatan, 14 Direktur
Rumah Sakit dan 5 Kepala Puskesmas dan lainnya.Dana program kuratif
di dalam APBN dan APBD Kesehatan atau merupakan dana paling rawan
korupsi di antara dana untuk program promotif, preventif, dan
rehabilitatif.Dari 122 kasus korupsi kesehatan, sebagian besar (93
persen) di antaranya merupakan kasus yang melibatkan pengelolaan
dana program kuratif seperti pengadaan alat kesehatan (alkes),
obat, pembangunan/rehabilitasi rumah sakit dan puskesmas, jaminan
kesehatan, pembangunan laboratorium dan lain sebagainya. Di antara
dana program kuratif tersebut, lanjutnya, dana pengadaan alkes
merupakan paling banyak dikorupsi (43 kasus) dengan kerugian negara
Rp 442 miliar.Berdasarkan pemantauan ICW, 46 kasus korupsi terjadi
di Dinkes Provinsi/Kabupaten/Kota, 55 kasus di rumah sakit, dan 9
kasus di puskesmas seluruh Indonesia. Total kerugian negara di 3
lembaga kesehatan ini mencapai Rp 210,1 miliar.Para pejabat korup
pada sektor kesehatan telah mencederai upaya pembangunan kesehatan
yang oleh Notoatmodjo bertujuan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi
pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan
ekonomis (Notoadmodjo, 2010:53). Mengapa? Karena anggaran untuk
membangun sektor kesehatan justru digunakan untuk memperkaya diri
dan kelompoknya dan mengabaikan hak masyarakat untuk mendapatkan
alat kesehatan dan pelayanan kesehatan.II. PEMBAHASANA.CONTOH
KASUSA.1. KasusPengadaan Rontgen Portable Kemenkes 2007Kasus
pengadaan rontgen portable untuk pelayanan Puskesmas di daerah
tertinggal, terpencil, perbatasan dan pulau-pulau kecil adalah dari
anggaran Kemenkes 2007 yang merugikan keuangan negara sebesar Rp9,4
miliar. Sebelumnya, sejumlah tersangka dalam kasus ini telah
ditetapkan yakni Kepala Biro Perencanaan, berinisial M, dan mantan
Direktur Kesehatan Komunitas Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat di
Kementerian Kesehatan, berinisial ES. Mereka diduga
menggelembungkan harga barang, dan tidak menyalurkan alat kesehatan
sesuai peruntukannya, Puskesmas di daerah tertinggal.Tersangka SA,
yang juga mantan Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan
ditetapkan sebagai tersangka karena diduga telah menerima sejumlah
uang dalam pengadaan ini dari rekanan sekitar Rp 750 juta. SA
dijerat dengan pasal 3 atau pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.Kesaksian Dwi Prahoro sebagai saksi ahli Badan Pemeriksaan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap terdakwa mantan Komisaris
Utama PT Kimia Farma, BM, dalam sidang Tipikor di Kuningan,
Jakarta, Senin (26/7/2010), Kerugian negara dihitung dari jumlah
netto yang dibayar negara kepada PT Kimia Farma kemudian dikurangi
jumlah harga perolehan PT Bhineka Usada Raya (BUR) dan PT METEX
serta biaya pelatihan yang dikeluarkan PT Kimia Farma.Rincian
kerugian negara, lanjutnya dihitung dari jumlah yang dibayar oleh
pihak proyek (Depkes) kepada PT Kimia Farma sebesar Rp.
17.183.540.000. Jumlah itu dipotong PPN dan PPH serta total pajak
yang masing-masing sebesar Rp. 1.562.140.000, Rp. 234.320.000 dan
Rp. 1.796.461.000. Dari jumlah netto ini saya mendapat harga
perolehan dari alatrontgen portableberikut aksesorisnya sebesar Rp.
5.580.397.000. Hasil netto yang dibayar kepada Kimia Farma sebesar
Rp. 15.387.790.000. Nilai kerugian negara sebelum biaya POT
(Planning of Trading) sebesar Rp. 9.806.778.022. Dari jumlah
tersebut kemudian dikurangi POT yang dikeluarkan Kimia Farma
sebesar Rp. 326.276.969. Jadi totalnya negara dirugikan Rp
9.480.500.053. Nilai hitung-hitungan ini menurutnya didasarkan pada
faktur-faktur pembelian yang dikeluarkan oleh PT BUR dan PT
Metex.Seperti diketahui kasus markup pengadaan alat rontgen ini
terjadi pada tahun 2007 dengan nilai proyek sekitar Rp15 miliar.
Akibat markup ini, negara dirugikan sebesar Rp 9,48 miliar. Di
Kepolisian telah dimulai proses penyidikannya pada 28 Maret 2012
dan menjerat SF yang diduga telah menyalahgunakan wewenang terkait
pengadaan alat kesehatan buffer stock dengan metode penunjukan
langsung, walaupun yang bersangkutan telah membantahnya. Kepolisisn
telah melimpahkan kasusnya ke KPK menurut Jubir KPK, Johan Budi di
kantornya, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis
(20/3/2014).A.2. Kasuspengadaan alat kesehatan Provinsi BantenWakil
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Bambang Widjojanto mengatakan,
terkait pengadaan alat kesehatan di Banten tahun anggaran 2010-2012
terjadi penggelembungan yang diduga merugikan keuangan daerah
sampai Rp 30,3 miliar. Kerugian itu disebabkan adanya alat
kesehatan yang diterima tidak lengkap yang nilainya sampai Rp 5,8
miliar, tidak sesuai dengan spesifikasi sebesar Rp 6,3 miliar, alat
kesehatan yang diduga fiktif karena tidak ditemukan wujudnya sampai
Rp 18,1 miliar.KPK mengendus adanya dugaan penyimpangan dalam
proses tender proyek pengadaan alat kesehatan itu berdasarkan
laporan Badan pemeriksa Keuangan (BPK), terutama proyek alat-alat
kedokteran umum yang dimenangkan oleh PT Marbago Duta Persada
dengan nilai sebesar Rp2.870.763.000, pengadaan alat kesehatan
penunjang Puskesmas yang dimenangkan oleh PT Mikkindo Adiguna
Pratama senilai Rp10.310.388.000 dan pengadaan alat kesehatan
kedokteran umum Puskesmas sebesar Rp23.523.185.000 yang juga
dimenangkan oleh PT Mikkindo Adiguna Pratama dan uniknya semua
perusahaan itu milik TCW.Untuk proyek alat-alat kedokteran umum
yang dimenangkan oleh PT Marbago Duta Persada, FITRA menilai
pemenang lelang itu terlalu mahal. Ada penawaran yang murah dan
rendah seperti dari PT Palugada Mandiri sebesar Rp2,1 miliar, PT
Dini Usaha Mandiri sebesar Rp2,6 miliar. Ada perusahaan lain yang
memiliki penawaran lebih murah, tapi kalah.Pengadaan alat kesehatan
Penunjang Puskesmas yang HPS-nya sebesar Rp10.473.758.000 juga sama
anehnya.Komisi Pemberantasan Korupsi tengah melakukan penyidikan
dalam kasus tindak pidana korupsi proyek pengadaan Alat Kesehatan
Kedokteran Umum di Puskesmas Kota Tangerang Selatan (Tangsel),
Banten, tahun anggaran 2012. Proyek senilai Rp23,1 miliar itu
dimenangkan oleh PT Mikkindo Adiguna Pratama dan menetapkan tiga
orang tersangka yaitu TCW, Komisari perusahaan PT Mikkindo Adiguna
Pratama DP dan Kepala Bidang Promosi Kesehatan dan Sumber Daya
Kesehatan MJ. Menurut Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis
Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas dari 99
proyek Alkes di Tangsel dan Banten (tahun 2012-2013) dengan nilai
kontrak Rp596,49 miliar, semua dimenangkan oleh perusahan milik
langsung Keluarga Atut dan jaringan kroninya. Mereka melakukan
markup Harga Perkiraan Sendiri (HPS), menyediakan barang tidak
sesuai spesifikasi dan ada yang fiktif. Penempatan NU yang lulusan
jurusan ilmu sosial menjadi direktur RSUD Tangsel. Padahal,
Peraturan Menteri Kesehatan nomor 971 tahun 2009 tentang Standar
Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan, mengharuskan seorang
direktur rumah sakit harus berasal dari kalangan tenaga
medis.B.AKAR MASALAH PENGADAAN ALAT KESEHATANHasil penelitian
Puslitbang Depkes menunjukkan bahwa perencanaan dan pelaksanaan
peraturan/perundangan tentang pemanfaatan dan pemeliharaan alat
kesehatan dan sarana penunjangnya di rumah sakit 60,4% mengacu pada
kebijakan yang berlaku, baik kebijakan dari pusat maupun kebijakan
intern rumah sakit yang bersangkutan tentang prosedur perencanaan
dan pengadaaan alat kesehatan dan sarana penunjangnya.Hasil Kajian
terhadap proses perencanaan pengadaan peralatan dirumah sakit
berdasarkan analisa kebutuhan secara klinis dengan studi kelayakan
dan sesuai dengan kebijakan, namun tidak sesuai dengan spesifikasi
alat yang dibutuhkan.Perhitungan tarif seringkali berdasar tarif
kompetitor sehingga komponen biaya pemeliharaan tidak
diperhitungkan, sehingga penggunaaan alat tidak efisien. Data
menunjukkan terjadinya peningkatan pemanfaatan alat kesehatan
setiap tahun, namun hal ini tidak bisa diasumsikan bahwa
pemakaiannya sudah sesuai dengan indikasi penggunaannya. Tidak
adanya data yang rinci terhadap setiap penggunaan atau tindakan
dari peralatan tersebut sehingga dari 10 besar penyakit yang ada di
RS tidak dapat menggambarkan pemanfaatan alat kesehatan.SOP
pemanfaatan dilakukan dengan benar dan sesuai prosedur tetapi SOP
pemeliharaan kurang sesuai dengan prosedur. Pengetahuan petugas
operator alat tentang pemeliharaan dan pemanfaatan alat kesehatan
dan sarana penunjangnya masih kurang. Ada beberapa dilema yang
dihadapi pemerintah daerah ketika berhadapan dengan pengadaan alat
kesehatan yang dari segi dananya biasanya puluhan milyar dan harus
tender.Rahmad Daulay menguraikan beberapa masalah dalam pengadaan
alat kesehatan.Masalah pertamaberada pada penentuan dan penetapan
spesifikasi. Namanya juga spesifikasi, tentu isinya adalah tentang
identitas barang secara spesifik. Setiap merek barang akan memiliki
spesifikasi yang berbeda satu sama lain walaupun fungsi umum dan
fungsi khususnya sama. Di sini masalahnya. Pada peraturan tender
disebutkan bahwa dalam penetapan spesifikasi barang dilarang
mengarah pada merek tertentu. Bagaimana menterjemahkan dan
menerapkan hal ini? Bagaimana mungkin menetapkan spesifikasi barang
tanpa mengarah pada merek tertentu padahal setiap barang memiliki
spesifikasi yang berbeda ? Di sini saja para pengelola tender sudah
dibuat pusing tujuh keliling. Biasanya para pengelola tender
mengambil jalan aman dengan menggabung-gabungkan spesifikasi
beberapa barang minimal 3 spesifikasi barang, makin banyak makin
baik.Masalah keduaadalah pada penentuan harga survei (HPS = harga
perkiraan sendiri). Pada umumnya alat kesehatan adalah barang
impor. Barang impor berarti ada importir dan distributor utama.
Setiap barang importirnya tidak banyak, malah ada yang setiap
barang hanya memiliki 1 importir. Artinya setiap barang hanya akan
memiliki 1 harga. Setiap merek hanya akan memiliki 1 harga.
Sedangkan HPS harus dibuat secara survei harga minimal 3 sumber
harga. Di sinilah masalahnya. Bagaimana cara mencari minimal 3
sumber harga apabila ternyata barang tersebut hanya punya 1
distributor sebagai sumber harga ? Apakah harus mencari sumber
harga ke beberapa subdistributor, bukankah ini pemborosan karena
harganya sudah pasti sama atau hampir sama ? Biasanya para
pengelola tender mengambil jalan aman dengan menggabung-gabungkan
beberapa harga dari subdistributor atau menggabungkan sumber harga
dari distributor dari beberapa merek.Masalah ketigaterjadi pada
waktu tender. Sebagai barang berteknologi menengah atau
berteknologi tinggi maka metode evaluasi yang dilakukan biasanya
sistem nilai dengan memberi skor kepada aspek teknis dan skor
tertinggi menjadi pemenang tender. Dengan metode ini maka harga
terendah belum tentu jadi pemenang. Dengan sistem skor ini maka
kesesuaian spesifikasi menjadi salah satu aspek teknis sehingga
bisa saja barang yang ditawarkan meleset 100 % dari spesifikasi
yang ditentukan dalam dokumen tender namun tidak membuatnya gugur
tapi hanya memperoleh skor nol pada aspek teknis kesesuaian
spesifikasi. Hanya saja terjadi paradoks pada peraturan tender
karena walaupun metode evaluasi sudah sistem nilai teknis namun
juga diatur bahwa besaran bobot biaya bervariasi antara 70 % 90 %.
Aspek teknis yang dinilai mestinya didominasi oleh skor aspek
teknis, tapi justru aspek harga diberi skor sangat tinggi sampai
minimal 70 % dan maksimal 90 %. Sehingga bila perusahaan peserta
lelang menawar pada posisi penawaran terendah maka akan memperoleh
skor teknis sangat tinggi dan punya peluang menjadi
pemenang.Masalah keempatadalah pada saat pelaksanaan kontrak.
Namanya juga barang impor belum tentu memiliki ketersediaan stok
barang di dalam negeri. Kalaupun ada stok barang namun menjadi
rebutan dari beberapa perusahaan. Sehingga pengadaan barang
tersebut harus pesan lagi ke produsen luar negeri dan membutuhkan
waktu untuk menjadi barang jadi dan bisa dikirim ke Indonesia.
Apabila kontrak ditandatangani setelah pertengahan tahun atau di
akhir tahun maka bisa dipastikan bahwa kontrak tidak akan terpenuhi
dan harus putus kontrak.Dari keempat permasalahan di atas dalam
berbagai variasinya sudah menjadi penyebab utama kasus-kasus
penyimpangan pengadaan alat kesehatan baik yang terjadi di instansi
pemerintah pusat maupun di instansi pemerintah daerah. Spesifikasi
yg mengarah pada satu merek, harga tidak sesuai yang seharusnya,
tender tidak prosedural dan gagal kontrak menjadi mendominasi
permasalahan yang terungkap ke permukaan.LKPP telah membuat satu
terobosan untuk mengatasi hal-hal di atas dengan meluncurkan
program e-katalog.C. e-KATALOG PENGADAN BARANG/JASA PUBLIK SEBAGAI
SUATU SOLUSIDi tengah skeptisisme publik atas program pemberantasan
korupsi yang terkesan setengah hati, sebuah harapan baru kembali
dimunculkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
(LKPP) pada penghujung 2012. Mulai 2013, pengadaan layanan koneksi
Internet sampai dengan 30 Mbps untuk lembaga pemerintah dapat
membeli langsung tanpa melalui lelang. Sebanyak 27Internet Service
Provider(ISP) telah bergabung untuk inisiatif ini. Ini tentu baru
langkah awal dalam pengembangan e-katalog
(http://e-katalog.lkpp.go.id) dalam pengadaan barang/jasa secara
online (e-procurement). Di waktu mendatang diharapkan semakin
banyak barang/jasa dengan spefisikasi yang terstandardkan (seperti
kendaraan bermotor, alat-alat kesehatan) yang masuk dalam
e-katalog. Dalam e-katalog yang tersedia online dicantumkan
spesifikasi barang/jasa dan harga yang ditawarkan oleh rekanan.Apa
manfaatnya? Pertama, e-katalog menjadikan proses pengadaan
barang/jasa di sektor publik lebih efisien. Waktu pengadaan yang
pendek dan persaingan sehat rekanan menunguntungkan pemerintah
dalam mendapatkan harga terbaik. Kedua, e-katalog juga dapat
meningkatkan transparansi. Dalam kasus koneksi Internet, semua ISP
memberikan harga layanan secara terbuka. Dengan demikian, masalah
kebocoran anggaran yang sering terjadi dalam pengadaaan barang/jasa
bisa ditekan. Ketiga, e-katalog yang menyederhanakan proses akan
mengundang semakin banyak rekanan untuk berpartisipasi. E-katalog
telah menghilangkan administrasi dan proses pengadaan barang/jasa
yang cenderung rumit (red tape). Manfaat seperti ini akan semakin
terasa, ketika semakin banyak barang/jasa yang dimasukkan ke dalam
e-katalog.Harapan ini dilengkapi dengan kampanye LKPP untuk
penggunaane-procurementuntuk 100% dalam pengadaan barang/jasa
sektor publik. Kampanye ini bisa dikaitkan dengan Instruksi
Presiden No. 17/2011 tentang pencegahan dan pemberantasan korupsi,
yang mengharuskan lembaga pemerintah pada tahun 2012 melakukan
lelang secara online: sebanyak 40% anggaran pengadaan (untuk
provinsi/kabupaten/kota) dan 75% (untuk lembaga di pusat). Apakah
semuanya akan berjalan mulus? Belum tentu.Sampai saat ini, belum
ada statistik resmi capaian instruksi ini, termasuk sanksi apa yang
diberikan kepada lembaga pemerintah yang gagal mencapai target.
Namun demikian, tidak sulit untuk memprediksi, bahwa untuk beberapa
lembaga pemerintah yang berkomitmen tinggi nampaknya target yang
diset tidak terlalu sulit dicapai, dan bahkan mudah untuk dilalui.
Kota Yogyakarta adalah salah satu contoh pionire-procurementdi
Indonesia untuk tingkat pemerintah kabupaten/kota, selain Surabaya
dan Bogor. Data dari lapangan menunjukkan bahwa
penggunaane-procurementselain memberikan efisiensi harga, juga
telah menjadikan proses lelang semakin cepat, disamping menjadikan
petugas pengadaan bebas dari teror. Namun menjadi pionir tentu
tidak cukup, seperti halnya kabupaten/kota lain, jika initiatif
tidak dikawal secara konsisten secara terus menerus. Beberapa di
antaranya adalah dengan melembagakane-procurement, menjadikannya
sebagai rutinitas dan memberikan dukungan politik yang pantang
surut.Sebaliknya, beberapa lembaga pemerintah lain, terutama di
daerah, sangat mungkin harus berjuang keras untuk mencapainya.
Kendala teknis bisa jadi hanya sebagian kecil masalah. Kendala
non-teknis lebih mendominiasi.e-procurementsebagai bagian dari
inisiatif e-government adalah keputusan politik yang tidak steril
dari tarik-ulur kepentingan. Pengalaman di lapangan menunjukkan
bahwa konflik kepentingan antaraktor menjadi penghambat utama
pelaksanaane-procurementdi banyak lembaga. Tidak jarang beragam
trik dilakukan untuk tetap melanggengkan praktik lama, tetapi tetap
mendapatkan legitimasi bahwa sebuah lembaga telah
mengadopsie-procurement.Mengingat masih terjalnya jalan yang harus
ditempuh menuju pengadaan barang/jasa yang semakin bermartabat dan
bersih, partisipasi aktif yang tulus dari semakin banyak lembaga
pemerintah adalah keniscayaan.Smart ReportLKPP, sampai 14 Januari
2013 menunjukkan bahwa inisiatife-procurementyang dimulai pada
2008, telah memfasilitasi lebih dari 100.000 lelang online,
digunakan oleh lebih dari 270.000 rekanan, memberikan efisiensi
sebanyak 11.20% (lebih dari Rp 19 triliun) dari total pagu aggaran
lebih dari Rp 172 triliun.Direktur E-Procurement LKPP, Ikak G.
Patriastomo menyatakan bahwa isu keberlanjutan suatu gerakan
terjadi bila partisipasinya bersifat masif. Partisipasi semua pihak
memerlukan sifat dan pendekatan yang memberi ruang semua pihak yang
ingin mengambil peran. Tidak boleh ada dominasi dalam gerakan
seperti ini, walaupun tetap diperlukan pengikat sehingga tidak
menjadi gerakan acak. Prinsip yang mendasari
inisiatife-procurementini, nampaknya dapat menjadikannya sebagai
contoh untuk inisiatif nasional lain yang serupa. Karenanya,
tidaklah berlebihan kalau kita memberikan apresiasi kepada LKPP dan
segenap jajarannya di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) di
seluruh Indonesia.Apakahe-procurement, termasuk e-katalog,
benar-benar dapat menghilangkan korupsi? Semoga, dan marilah terus
berharap!III. PENUTUPA.KESIMPULANDampak korupsi pada sektor
kesehatan dapat mengakibatkan menurunnya derajat kesehatan
masyarakat yang berimbas pada IPM (Indeks Pembangunan Manusia).
Indikator IPM seperti angka kematian bayi dan angka harapan hidup
sangat terkait dengan pendanaan sektor kesehatan. Apabila terjadi
korupsi pada sektor kesehatan, maka akan berimbas penurunan angka
harapan hidup dan menaikkan angka kematian bayi. Dampak korupsi
lebih jauh adalah naik dan tingginya harga obat-obatan dan
rendahnya kualitas alat kesehatan pada rumah sakit dan puskesmas
serta sarana kesehatan masyarakat lainnya.Terjadinya kasus-kasus
korupsi pada sektor kesehatan yang melibatkan pejabat pada
kementerian kesehatan dan dinas kesehatan lokal menunjukkan
rendahnya transparansi dan akuntabilitas serta kepatuhan pada
hukum. Besarnya diskresi atau kewenangan pejabat dan rendahnya
etika pejabat sektor kesehatan menyebabkan menguatnya dan
meningkatnya kesempatan melakukan praktek korupsi disektor
kesehatan.B.SARAN1. Penyempurnaan e-Katalog baik perluasan Jenis
barang/Jasa Publik maupun spesifikasi, harga dan distributor serta
subdistributornya.2. Pemanfaatan e-Katalog Pengadaan Barang/Jasa
Publik sebagai suatu solusi.DAFTAR PUSTAKAPeraturan Presiden No.
54/2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Beserta Revisinya
(Peraturan Presiden No. 70/2012)Slide Pengadaan barang dan Jasa,
Drs. Nyoman Udayana Sangging, SH,MMSlide Pengadaan barang dan Jasa,
Setya Budi Arijanta, SH.
KNhttp://birokrasi.kompasiana.com/2013/11/06/pencegahan-korupsi-pengadaan-alat-kesehatan-607059.htmlhttp://hukum.kompasiana.com/2010/08/09/pengadaan-alat-kesehatan-yang-rawan-korupsi-220541.htmlhttp://analisadaily.com/news/read/ambil-alih-kasus-alkes-dari-polri-kpk-proses-siti-fadhilah/15405/2014/03/20http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/12/10/mxlajg-icw-negara-dirugikan-rp-193-miliar-akibat-proyek-alkes-banten-dan-tangselhttp://news.metrotvnews.com/read/2013/12/10/200457/Dugaan-Korupsi-Alkes-Banten-Tangsel-hingga-Rp193-Miliarhttp://seknasfitra.org/pengadaan-alat-kesehatan-pemkot-tangsel-janggal/http://pengadaan-barang-jasa.blogspot.com/2014/02/data-icw-korupsi-sektor-kesehatan-rp.htmlhttp://kesehatan.kompasiana.com/medis/2011/12/13/korupsi-pada-sektor-kesehatan-421118.htmlhttp://elektromedik.blogspot.com/2002/07/kajian-pemanfaatan-dan-pemeliharaan.htmlhttp://www.bantenposnews.com/berita-6893-tender-alkes-penuh-kejanggalan.htmlhttp://fathulwahid.wordpress.com/2013/02/05/e-katalog-pengadaan-barangjasa-publik/
Menyusun dan Menentukan Harga Perkiraan Sendiri (HPS)
Pasal 66 ayat (5) b Perpres 54 Tahun 2010, HPS digunakan sebagai
dasar untuk menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah untuk
Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dan Pengadaan
Jasa Konsultansi yang menggunakan metode Pagu Anggaran. Meskipun
batas atas penawaran dengan evaluasi kualitas dan biaya adalah
pagu, namun HPS tetap diumumkan (Lampiran Bab IV A Bagian
B.1/2.a.2)).Untuk pengadaan barang/jasa tidak ada ketentuan
mengenai batas atas keuntungan yang wajar yang boleh disampaikan
oleh penyedia. Bagi Pokja ULP, HPS merupakan alat untuk menilai
kewajaran harga. Perhitungan HPS harus dilakukan dengan cermat,
dengan menggunakan data dasar dan mempertimbangkan harga pasar
setempat pada waktu penyusunan HPS. RAB pada TOR/KAK dan Standar
Harga yang ditetapkan Kepala Daerah hanya digunakan untuk menyusun
anggaran, sedangkan HPS diperoleh dari hasil survei pasar
terkini.
Keuntungan yang wajar bergantung pada sifat dan ruang lingkup
pekerjaan, antara lain dengan mempertimbangkan tingkat perputaran
barang/jasa yang ditawarkan (turn over). Semakin tinggi turn over
barang/jasa akan mengakibatkan persentase overhead dan ekspektasi
profit semakin rendah. Demikian pula dengan besaran volume (nilai)
pekerjaan, semakin besar nilai pekerjaan akan semakin kecil
ekspektasi keuntungan (profit).
Karena jenis barang/pekerjaan cukup beragam, maka format
penetapan HPS disesuaikan dengan sifat dan ruang lingkup pekerjaan
yang dikompetisikan. Silahkan gunakan format yang sudah ada dan
mengacu kepada Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010, antara lain
sudah memperhitungkan PPN dan keuntungan.
Sesuai dengan pasal 66 ayat (7) penyusunan HPS didasarkan salah
satunya adalah harga pasar setempat yang didapat dari beberapa
sumber informasi, Standar harga satuan yang dikeluarkan Pemerintah
Daerah tidak dapat dijadikan dasar dalam penyusunan HPS, namun
hanya digunakan untuk penyusunan RAB pada saat pengajuan anggaran.
ULP dilarang menambah klausul mengenai harga wajar maksimal harus
sesuai dengan Standar Harga Kepala Daerah. Meskipun demikian
bilamana standar tersebut sudah dituangkan dalam DPA, maka
penetapan HPS dan rinciannya tidak boleh melebihi Standar Harga
Bupati. Mengingat HPS digunakan sebagai dasar untuk menetapkan
batas tertinggi penawaran yang sah (pasal 66 ayat (5) huruf b), dan
tidak boleh melampaui pagu yang tersedia (pasal 13).
HPS tetap diperlukan untuk semua metoda pemilihan, kecuali
kontes dan sayembara
Standar Harga yang diterbitkan oleh Kepala Daerah tidak dapat
dijadikan dasar untuk menghitung adanya kerugian Negara, demikian
pula dengan HPS yang ditetapkan oleh PPK. Penyusunan HPS didasarkan
pada data harga pasar setempat, yang diperoleh berdasarkan hasil
survei menjelang dilaksanakannya Pengadaan (pasal 66 ayat (7),
sehingga tidak dapat dijadikan dasar untuk menghitung kerugian
Negara pada saat pemeriksaan dilakukan;
HPS dapat ditentukan dari nilai tertinggi, nilai tengah
(median), nilai yang paling banyak muncul (modus) atau rata-rata
(mean) dari hasil survei, sepanjang nilai tersebut diyakini dapat
dipenuhi lebih dari 3 calon penyedia (bukan 3 produk). Nilai
tersebut sudah termasuk keuntungan, overhead, dan pajak.
HPS jasa konsultansi terdiri dari komponen Biaya Langsung
Personil (Remuneration), Biaya Langsung Non Personil (Direct
Reimbursable Cost, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) (Lampiran IV-A
Bagian A.3.a.2) e)). Penyusunan HPS Biaya Langsung Personil tenaga
ahli dapat bersumber dari informasi biaya satuan yang
dipublikasikan secara resmi oleh asosiasi terkait dan sumber data
lain yang dapat dipertanggungjawabkan, antara lain INKINDO (pasal
66 ayat (7) b). Namun dalam proses pemilihan Penyedia Jasa
Konsultansi harus dilakukan negosiasi teknis dan biaya sehingga
diperoleh harga yang sesuai dengan harga pasar dan secara teknis
dapat dipertanggungjawabkan (pasal 41 ayat (2))
Sedangkan penyusunan HPS untuk biaya non personil disesuaikan
dengan ruang lingkup dan metodologi pekerjaan untuk mendukung
pelaksanaan tugas penyedia jasa konsultansi tersebut. Harga Satuan
Pekerjaan untuk biaya non personil jasa konsultansi dapat pula
mengacu kepada Standar Biaya Umum yang ditetapkan Menteri Keuangan
setiap tahun
Meskipun demikian pembayaran biaya langsung non personil yang
dimaksud di atas tidak hanya mengacu kepada nilai yang disepakati
di dalam kontrak, namun berdasarkan bukti pengeluaran yang
disampaikan pada saat pembayaran (direct reimbursable cost). Oleh
karena itu berdasarkan sifat dan ruang lingkup pekerjaan jasa
konsultansi, maka kontrak yang tepat digunakan adalah kontrak harga
satuan
Untuk pengadaan yang memiliki HPS di atas Rp.25.000.000.0000,00
(dua puluh lima juta rupiah) maka jaminan sanggahan banding sama
yaitu Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Namun untuk
pengadaan yang memiliki HPS bernilai sampai dengan
Rp.25.000.000.0000,00 (dua puluh lima juta rupiah) maka jaminan
sanggahan banding tergantung dari besaran nilai HPS, yaitu 2 per
mil dari nilai HPS.
HPS dapat menggunakan kontrak dengan penyedia jasa sebelumnya
yang sejenis dan harganya masih valid.
HPS digunakan sebagai dasar untuk menetapkan batas tertinggi
penawaran yang sah untuk Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa
Lainnya dan Pengadaan Jasa Konsultansi yang menggunakan metode Pagu
Anggaran. Mengacu kepada uraian tersebut, dalam hal terdapat
penawaran yang melebihi HPS tetapi tidak melebihi pagu tidak
diperkenankan untuk dilaksanakan proses negosiasi dan harga,
kecuali untuk pekerjaan jasa konsultansi
HPS harus dibuat per item pekerjaan yang disebut sebagai rincian
HPS. Rincian tersebut bersifat rahasia bila belum tercantum dalam
dokumen anggaran.
PPK bertanggung jawab untuk menetapkan HPS (pasal 11 ayat (1)),
termasuk HPS biaya pemeliharaan gedung apabila satuan kerja PPK
tidak memiliki pegawai yang menguasai teknis konstruksi. Meskipun
demikian PPK dapat meminta bantuan tenaga ahli (konsultan
perencana) untuk menyusun HPS.
Tidak ada batasan untuk keuntungan yang wajar, dapat disesuaikan
dengan ruang lingkup pekerjaan yang dikompetisikan. Besar
keuntungan tersebut juga menjadi salah satu faktor yang akan
dikompetisikan.
HPS tidak dapat mencantumkan biaya tidak terduga. Oleh karena
itu dalam hal pengadaan bibit ternak, rancangan kontrak dijelaskan
bahwa pekerjaan harus diserahterimakan setelah selesai masa
pemeliharaan bibit ternak tersebut dalam beberapa kurun waktu
tertentu. Dengan demikian pekerjaan ini termasuk pekerjaan
pengadaan jasa lainnya, yang terdiri dari paket pengadaan bibit
ternak dan jasa pemeliharaan bibit ternak di tempat pemilik
pekerjaan atau tempat dimana bibit ternak tersebut akan dikembang
biakkan. Serah terima pekerjaan kepada PPK dilakukan bila bibit
ternak yang dikirimkan dianggap sudah dapat menyesuaikan diri
dengan habitat yang baru dalam jangka waktu tertentu (misalnya
sebulan). PPK selanjutnya langsung menyerahkan kepada petani.
Risiko kematian bibit bibit ternak tersebut selanjutnya bukan
merupakan tanggung jawab PPK.
Dalam menyusun HPS dapat ditambahkan keuntungan yang wajar dari
jasa yang diberikan penyedia, besarannya mengacu kepada nilai
pekerjaan, umumnya 10% (sepuluh perseratus). Semakin besar nilai
pekerjaan, persentase keuntungan terhadap jasa yang diberikan dapat
semakin kecil dan menjadi salah satu item yang dikompetisikan.
Yang menjadi dasar penentuan metoda pemilihan penyedia adalah
nilai HPS dari pengadaan tersebut. Pemilihan metode pelelangan
ditentukan oleh nilai HPS yang ditetapkan oleh PPK, tidak harus
mengacu kepada nilai pagu anggaran karena penawaran pada pelelangan
tidak boleh melebihi HPS. Demikian pula dengan pemilihan metode
seleksi jasa konsultan, namun penawaran diatas HPS tidak
menggugurkan sepanjang hasil negosiasi tidak melebihi pagu
anggaran. Untuk jasa konsultan jika HPS dibawah Rp 10 miliar
sedangkan pagu anggaran di atas Rp 10 miliar, maka penetapan
pemenang untuk penawaran di atas Rp 10 miliar dilakukan oleh
Pengguna Anggaran sesuai ketentuan yang disebut diatas. Penambahan
unsur keuntungan dalam penentuan HPS bergantung pada hasil survei
PPK/Pokja ULP. Umumnya keuntungan yang wajar adalah 10% (sepuluh
perseratus), tetapi ada yang menambahkan keuntungan kurang dari 10%
(sepuluh perseratus) dari harga dasar, antara lain karena dilakukan
pengadaan dalam jumlah besar. Besar presentase keuntungan dapat
pula lebih besar dari 10% (sepuluh perseratus), bilamana barang
tersebut membutuhkan handling material yang lebih kompleks dan
berisiko, misalnya barang impor. Sebelum memasukan keuntungan
tersebut, sebaiknya dipastikan apakah harga yang didapat sudah
merupakan harga dasar plus keuntungan atau belum. Dengan demikian
tidak terjadi penambahan perhitungan keuntungan yang terkesan di
mark-up.
Penetapan HPS dilakukan oleh PPK, dengan demikian PA tidak perlu
memberikan persetujuan terhadap HPS yang ditetapkan. PPK sepenuhnya
bertanggung jawab dalam penetapan HPS tersebut. Meskipun demikian
untuk mencegah kerugian negara, maka Pokja ULP/Pejabat Pengadaan
dapat melakukan survey harga kembali, bilamana diperlukan.
Sehubungan dengan telah disahkannya Keputusan Presiden Nomor 80
Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, kemudian Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, maka Surat Edaran Bersama Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional dan Departemen Keuangan Nomor
1203/D.II/03/2000 SE-38/A/2000 dapat dijadikan sebagai pedoman
dalam penyusunan RAB dan HPS jasa konsultansi jika tidak
bertentangan dengan ketentuan yang berlaku diatasnya (lex posterior
derogat priori). Peraturan yang dijadikan pedoman dalam pengadaan
jasa konsultansi saat ini adalah Peraturan Presiden No.54 Tahun
2010 beserta lampirannya. Penentuan HPS dalam Keppres 80/2003 dan
Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 didasarkan atas hasil survei
pasar atau dapat pula mengacu kepada daftar yang dikeluarkan oleh
asosiasi konsultan. Surat Edaran Bersama Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional dan Departemen Keuangan Nomor
1203/D.II/03/2000 SE-38/A/2000 menggantikan Surat Edaran Bersama
Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan dan Deputi Ketua
Bidang Pembiayaan dan Pengendalian Pelaksanaan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional Nomor : SE-351A121/0298 dan Nomor
6041D.V110211998 Tanggal 14 Februari 1998 tentang Biaya Langsung
Personil dan Biaya Langsung Non Personil untuk menyusun Rencana
Anggaran Biaya (RAB) dan Harga Perhitungan Sendiri (HPS). SEB tahun
1998 mencantumkan besaran nilai biaya langsung personil untuk
masing-masing kualifikasi tenaga ahli yang dilihat dari tingkat
pendidikan dan pengalaman kerja, sehingga tidak sesuai dengan
ketentuan Perpres No. 54 Tahun 2010.
Total penawaran biaya terkoreksi yang melebihi pagu anggaran
mengugurkan penawaran. Total penawaran biaya terkoreksi yang
melebihi HPS tidak menggugurkan penawaran sepanjang penawaran biaya
tersebut masih dibawah atau sama dengan pagu anggaran. Jika total
nilai HPS sama dengan nilai pagu anggaran maka total nilai HPS
tersebut dijadikan patokan untuk menggugurkan penawaran biaya
terkoreksi apabila melebihi total nilai HPS.
PPK dapat menentukan nilai HPS Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah), walaupun pagu anggarannya Rp300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah). HPS dimaksud disusun dengan perhitungan dan
pertimbangan yang seksama berdasarkan data dari sumber terpercaya
dan sudah memperhitungankan keuntungan, biaya overhead dan pajak.
Seleksi jasa konsultan dengan nilai tersebut dilakukan dengan
seleksi sederhana/umum, yang pada prinsipnya harus dikompetisikan.
Penyedia dapat menawarkan harga diatas HPS, kecuali untuk seleksi
yang menggunakan metoda pagu anggaran (pasal 66 ayat 3).
Penyusunan HPS tidak hanya terbatas pada dua toko dan hanya satu
jenis sumber saja, tetapi dari beberapa sumber seperti dinyatakan
pada Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 pasal 66 ayat (7).
Penambahan keuntungan dilakukan pada harga distributor/agen bukan
pada harga pasar yang sudah memiliki unsur keuntungan, harga toko
seperti yang dijelaskan diatas termasuk harga yang sudah memiliki
unsur keuntungan. Penambahan biaya overhead diperkenankan
ditambahkan jika memang pekerjaan tersebut memang membutuhkan biaya
tersebut. Harga dasar tersebut ditambahkan keuntungan dan overhead,
selanjutnya baru ditambahkan PPN. Didalam penyusunan HPS tidak
memasukkan unsur PPh.
Didalam penyusunan HPS PPK diharuskan menambahkan PPN. PPK dapat
pula menambahkan biaya overhead bila dibutuhkan oleh penyedia,
antara lain untuk mengirimkan barang tersebut ke lokasi pengguna.
Biaya transportasi yang dimaksud di sini bukan biaya yang
dikeluarkan Pejabat Pengadaan dalam melakukan pengadaan langsung,
karena biaya tersebut tidak dibabankan dalam belanja barang/modal,
melainkan biaya untuk proses pengadaan.
Ketentuan didalam Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 pasal 66
ayat (4), HPS disusun paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja
sebelum batas akhir pemasukan penawaran, yang dimaksud 28 (dua
puluh delapan) hari adalah waktu penyusunan dan penetapan HPS,
tidak harus selalu mengacu kepada waktu survei harga dilakukan.
Mengingat harga yang diperoleh dari hasil survei perlu diteliti
lebih lanjut sebelum ditetapkan sebagai HPS.
Untuk pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya Yang
diumumkan adalah nilai HPS bukan Pagu Anggaran. Untuk pengadaan
jasa konsultansi dengan metoda evaluasi pagu anggaran, yang
diumumkan adalah HPS nya, dimana HPS umumnya sama dengan pagu
anggaran. Hal ini mengingat metoda evaluasi pagu anggaran
dimaksudkan untuk mendapatkan spesifikasi teknis terbaik dengan
mengoptimalkan ketersediaan anggaran. Sedangkan untuk pengadaan
jasa konsultansi selain metoda evaluasi pagu anggaran, yang
diumumkan adalah HPS dan pagu anggaran. Yang menjadi batas
penawaran tertinggi adalah pagu anggaran, sedangkan HPS digunakan
sebagai acuan untuk melakukan negosiasi dan menilai kewajaran
harga.
Penawaran yang lebih rendah dari 80% (delapan puluh perseratus)
HPS diklarifikasi terlebih dahulu untuk meyakinkan ULP apakah
Penyedia tersebut mampu melaksanakan pekerjaan sesuai dengan
spesifikasi yang ditentukan didalam Dokumen Pengadaan. Jika dalam
hasil klarifikasi ternyata Penyedia tersebut memang dapat melakukan
pekerjaan dengan spesifikasi yang ditentukan, maka Penyedia
tersebut dapat ditetapkan sebagai pemenang dan pemenang cadangan.
Tetapi jika tidak, maka Penyedia tersebut dapat digugurkan. Tetapi,
ULP/Panitia Pengadaan tidak dapat mengugurkan Penyedia yang
memberikan penawaran 80% (delapan puluh perseratus) HPS tanpa
klarifikasi terlebih dahulu.
Harga tidak wajar yang diakibatkan karena adanya persaingan
tidak sehat dapat diartikan bahwa harga yang ditawarkan sudah
mengandung unsur mark-up atau melebihi harga pasar setempat antara
lain karena adanya persekongkolan antara peserta lelang atau pelaku
usaha.Pengadaan jasa sewa (mesin fotokopi, kenderaan bermotor, dan
yang sejenis) dapat menggunakan metoda evaluasi sistem gugur. HPS
dihitung berdasarkan biaya pengadaan mesin tersebut beserta biaya
pemeliharaan dibagi dengan lamanya umur ekonomis, dan komponen
biaya lainnya yang dianggap perlu.
Perkiraan harga masing-masing item pekerjaan dalam suatu paket
kegiatan disebut rincian HPS. Sedangkan total HPS adalah jumlah
keseluruhan harga dari item-item pekerjaan pada suatu paket
kegiatan.
Survei pasar untuk menetapkan HPS dapat dilakukan kepada 1
distributor dan sumber harga lainnya yang diatur dalam pasal 66
ayat 7, jika tidak terdapat pelaku usaha lainnya pada daerah
tersebut. Survei tidak harus dilakukan ke pasar fisik, tetapi dapat
pula dilakukan melalui informasi yang ada di internet sepanjang
proses kompetisi nantinya dilakukan secara efisien dan efektif.PPK
harus meperhitungkan semua unsur harga dalam penentapan HPS
termasuk diskon dan potongan harga untuk pembelian dalam jumlah
besar.HPS ditentukan dari nilai keseluruhan nilai suatu paket yang
akan dilelang, baik untuk kontrak lumpsum maupun harga satuan.
Untuk kontrak harga satuan rincian harga dari masing-masing item
pekerjaan harus ditetapkan pula oleh PPK.Sumber
:http://www.konsultasi.lkpp.go.id/index.php?mod=browseP&pid=77#q_9