1 BAB I Dasar-Dasar Manajemen Perpajakan 1. Pendahuluan Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses pembaharuan yang kontinyu dan berkesinambungan untuk mencapai suatu keadaan yang dianggap lebih baik. Bagi negara Indonesia, tujuan yang lebih besar yang diinginkan dari hasil pembangunan tersebut adalah untuk mewujudkan tujuan nasional seperti tercantum pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, menyebabkan hingga kini bangsa Indonesia giat melaksanakan pembangunan di segala bidang. Pembangunan itu sendiri diartikan sebagai upaya untuk meningkatkan, mengembangkan dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia, baik berupa sumber daya alam maupun sumber daya manusia, yang hasilnya ditujukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya. Pembangunan dilaksanakan melalui rangkaian investasi yang hanya dapat dilakukan dengan dukungan dana yang besar. Dana pembangunan dapat diperoleh dari berbagai sumber, baik dari sektor pemerintah maupun dari swasta, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Salah satu sumber dana tersebut berasal dari pajak Dalam melaksanakan kegiatan pembangunan negara tersebut, pemerintah membutuhkan dana yang besar. Dana ini dapat diperoleh dari berbagai sumber, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, baik dari sektor pemerintahan maupun dari sektor swasta. Bonanza minyak dan gas (Migas) yang memberikan kontribusi yang signifikan bagi penerimaan negara di masa lalu tinggal menjadi suatu catatan historis, perkembangan perekonomian Indonesia sejak terjadinya krisis moneter (krismon) tahun 1997 sampai saat ini masih belum mantap. Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan penerimaan negara, dengan menggenjot penerimaan dalam negeri khususnya yang bersumber dari penerimaan pajak yang kini menjadi primadona penerimaan negara, dan oleh sebab itu, untuk mengantisipasi keadaan tersebut di masa yang akan datang, Oleh karena itu, alternatif lain untuk meningkatkan sumber penerimaan yang dapat diandalkan adalah penerimaan dari sektor non migas, yaitu penerimaan-penerimaan pajak. Hal tersebut seperti tercantum dalam Pasal 23 ayat (2) Undang- Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Segala pajak dan pungutan lainnya yang bersifat memaksa digunakan untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”. Pajak harus lebih diberdayakan seiring dengan meningkatnya kegiatan sektor ril ditengah- tengah masyarakat. Peranan pajak semakin besar dan semakin signifikan dalam menyumbang penerimaan negara, hal ini dapat dilihat dari terus meningkatnya peranan pendapatan pemerintah dari pajak dalam APBN, yang selanjutnya digunakan untuk membiayai penyelenggaran pembangunan mau pun biaya rutin negara. Untuk itu perlu adanya
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
Dasar-Dasar Manajemen Perpajakan
1. Pendahuluan
Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses pembaharuan yang kontinyu dan
berkesinambungan untuk mencapai suatu keadaan yang dianggap lebih baik. Bagi negara Indonesia,
tujuan yang lebih besar yang diinginkan dari hasil pembangunan tersebut adalah untuk mewujudkan
tujuan nasional seperti tercantum pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, menyebabkan
hingga kini bangsa Indonesia giat melaksanakan pembangunan di segala bidang. Pembangunan itu
sendiri diartikan sebagai upaya untuk meningkatkan, mengembangkan dan memanfaatkan
sumber daya yang tersedia, baik berupa sumber daya alam maupun sumber daya manusia, yang
hasilnya ditujukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya.
Pembangunan dilaksanakan melalui rangkaian investasi yang hanya dapat dilakukan dengan
dukungan dana yang besar. Dana pembangunan dapat diperoleh dari berbagai sumber, baik
dari sektor pemerintah maupun dari swasta, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Salah satu sumber dana tersebut berasal dari pajak Dalam melaksanakan kegiatan pembangunan
negara tersebut, pemerintah membutuhkan dana yang besar. Dana ini dapat diperoleh dari berbagai
sumber, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, baik dari sektor pemerintahan maupun dari
sektor swasta.
Bonanza minyak dan gas (Migas) yang memberikan kontribusi yang signifikan bagi
penerimaan negara di masa lalu tinggal menjadi suatu catatan historis, perkembangan
perekonomian Indonesia sejak terjadinya krisis moneter (krismon) tahun 1997 sampai saat ini
masih belum mantap. Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan penerimaan
negara, dengan menggenjot penerimaan dalam negeri khususnya yang bersumber dari
penerimaan pajak yang kini menjadi primadona penerimaan negara, dan oleh sebab itu, untuk
mengantisipasi keadaan tersebut di masa yang akan datang, Oleh karena itu, alternatif lain
untuk meningkatkan sumber penerimaan yang dapat diandalkan adalah penerimaan dari sektor non
migas, yaitu penerimaan-penerimaan pajak. Hal tersebut seperti tercantum dalam Pasal 23 ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Segala pajak dan pungutan lainnya yang bersifat
memaksa digunakan untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”.
Pajak harus lebih diberdayakan seiring dengan meningkatnya kegiatan sektor ril ditengah-
tengah masyarakat. Peranan pajak semakin besar dan semakin signifikan dalam menyumbang
penerimaan negara, hal ini dapat dilihat dari terus meningkatnya peranan pendapatan
pemerintah dari pajak dalam APBN, yang selanjutnya digunakan untuk membiayai
penyelenggaran pembangunan mau pun biaya rutin negara. Untuk itu perlu adanya
2
peningkatan kesadaran, dan kepedulian masyarakat untuk membayar pajak. Segala upaya dan
sasaran ditetapkan oleh pemerintah dalam upaya peningkatan pendapatan negara dari pajak
guna mencapai sasaran pembangunan ekonomi yang disusun dengan semangat kebersamaan
dan optimis, namun tetap dengan pertimbangan kondisi rill yang telah sedang akan dihadapi.
Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang sangat penting bagi pelaksanaan
dan peningkatan pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran
dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu masyarakat diharapkan dapat ikut berperan
aktif memberikan kontribusi bagi peningkatan pendapatan Negara sesuai dengan
kemampuannya.
Semenjak reformasi perpajakan di negara kita dijalankan dengan dikeluarkannya undang-
undang perpajakan yang baru pada tahun 1983, sistem perpajakan yang dianut telah dirobah
dari sistem office assessment menjadi sistem self assessment (misalnya untuk Pajak
Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai). Dengan sistem ini wajib pajak memiliki hak dan
kewajiban baik dalam menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah kewajiban
perpajakannya. Hal ini akan terlaksana dengan baik apabila wajib pajak memenuhi peraturan
perpajakan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Dilihat dari kacamata pemerintah jika
pajak yang di bayar oleh wajib pajak lebih kecil dari yang seharusnya dibayar, maka
konsekuensinya pendapatan negara dari sektor pajak akan berkurang. Sebaliknya dari sisi
pengusaha atau wajib pajak, jika pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah yang semestinya
dibayar, maka konsekuensinya akan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan atau wajib
pajak.
Setiap pengusaha salah satu tujuannya pasti untuk memaksimalkan kesejahteraan pemegang
saham atau investor dengan cara memaksimalkan nilai perusahaan dengan memperoleh laba
yang maksimum. Suatu perusahaan dapat mengungguli kinerja (performance) perusahaan lain
dengan implementasi strategi yang berbeda, yakni perusahaan itu dapat membuat produk
serupa dengan harga yang lebih rendah, atau membuat produk berbeda yang konsumen
bersedia membayar harga premi yang melampaui biaya untuk meng-create differensiasi
terhadap produk tersebut. Dua sumber keunggulan bersaing itu menentukan pendekatan
dikotomi terhadap strategi bisnis. Sasaran keunggulan biaya adalah menjadi pemimpin biaya
dalam industri. Bila perusahaan sudah bisa membangun posisi kepemimpinan biaya, maka
perusahaan dapat menggunakan keunggulan biayanya untuk mengalahkan kompetitornya
melalui persaingan harga. Di era globalisasi ekonomi yang sedang berlangsung sekarang ini
dan tantangan di masa yang akan datang, dimana kompetitor bermunculan dari berbagai
manca negara yang menyajikan ragam produk subsitusi yang sangat menarik dan kompetitif,
maka untuk bisa survive di ajang kompetisi yang semakin tajam tersebut, tidak bisa dielakkan
lagi dimana perusahaan dituntut untuk menyesuaikan produksinya dengan membangun posisi
kepemimpinan biaya sebagai basis strategi bisnisnya.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pengusaha yaitu dengan meminimumkan beban
pajak dalam batas yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku, karena beban pajak merupakan salah satu faktor pengurang laba. Besarnya pajak
seperti kita ketahui tergantung pada besarnya penghasilan. Semakin besar penghasilan maka
semakin besar pula pajak yang terutang. Oleh karena itu perusahaan membutuhkan suatu
perencanaan pajak atau yang disebut dengan tax planning yang tepat agar perusahaan
3
membayar pajak dapat seefisien mungkin sepanjang hal tersebut masih sesuai dengan aturan
perpajakan.
Sebagai suatu beban, eksistensi pajak menimbulkan pro dan kontra. Kita bisa melihat
bagaimana pertentangan persepsi tentang pembebanan pajak dari para petinggi di Amerika
Serikat seperti tercermin pada dua pendapat berikut ini. Seorang hakim agung Amerika yang
bernama Oliver Wendell Holmes, Jr (1841-1935) mengatakan bahwa taxes are the price we
pay for civilization, sebaliknya hakim agung Amerika lain yang terkenal bernama John
Marshal (1755-1835) mengatakan: The power to tax is the power to destroy. Lain lagi Filosop
dan negarawan Benyamin Franklin berujar, bahwa didalam masyarakat manusia yang pasti
adalah kematian dan pajak (nothing is certain but tax and dead).
Namun naluri alamiah seorang manusia dari semenjak dulu hingga kapanpun juga akan
senantiasanya berusaha menghindarkan dari beban pajak itu dalam berbagai bentuk dan
manifestasinya, karena pajak itu adalah pungutan yang didasarkan pada pelaksanaan
perundang-undangan perpajakan secara benar dan bukan kontribusi yang sifatnya sekarela
(taxes are enforced extractions, not voluntary contributions) dan tanpa ada imbalan balas jasa
langsung dari pemerintah.
Fenomena yang kita jumpai dalam masyarakat dimanapun ia berada, kalau bisa tidak
membayar pajak sama sekali, akan tetapi tidak melanggar Undang-Undang, atau kalau tidak
bisa tidak membayar pajak sama sekali, apakah bisa dikurangi atau tidak, dengan tidak
melanggar Undang-Undang. Ini suatu hal yang sangat basic dari sifat dasar manusia, siapun
dia adanya dan apapun pangkat atau jabatannya yang selalu berusaha bertindak efisien dalam
seluruh kehidupan perseorangan maupun dalam siklus kehidupan bisnisnya sepanjang usia
perusahaan mulai dari sejak perusahaannya berdiri aktivitas manajemen sudah mulai, terus
dalam kegiatan operasional sehari-hari, dan dalam melakukan ekspansi atau reorganisasi/
penciutan usaha maupun pada saat perusahaannya dilikwidir. Bahkan hingga seseorang wajib
pajak yang sudah meninggal sekalipun, meskipun kewajiban pajak orang pribadinya sudah
berakhir, namun harta peninggalan/warisannya masih merupakan subjek pajak yang dikenakan
pajak. Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam
negeri dianggap sebagai Subjek Pajak dalam negeri mengikuti status pewaris. Dalam
pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban
ahli waris yang berhak, tetapi bila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban
perpajakannya beralih kepada ahli waris.
Tidak seorangpun senang membayar pajak. Asumsi Leon Yudkin (Harnanto, 1994)
mempertegas hal tersebut :
1. Wajib pajak selalu berusaha untuk membayar pajak yang terhutang sekecil mungkin,
sepanjang hal itu dimungkinkan olah undang-undang.
2. Wajib pajak cenderung untuk menyelundupkan pajak (tax evasion) yakni usaha
penghindaran pajak yang terutang secara illegal, sepanjang wajib pajak tersebut
mempunyai alasan yang meyakinkan bahwa kemungkinan besar mereka tidak akan
ditangkap dan yakin bahwa orang lainpun berbuat hal yang sama.
Asumsi ini dalam praktiknya bisa kita jumpai dan merupakan suatu kecenderungan yang sulit
diberantas karena sudah menyangkut aspek filosofis dan budaya individu atau wajib pajak.
4
Tax Planning adalah suatu peralatan dan sebagai suatu tahap awal dari manajemen perpajakan
(tax management) untuk menampung aspirasi yang berkembang dari sifat dasar manusia tadi.
Secara definitif tax management memiliki ruang lingkup yang lebih luas dari sekedar tax
planning. Sebagai tax management pastilah tidak terlepas dari konsep management secara
umum yang merupakan upaya-upaya sistematis yang meliputi perencanaan (planning),
pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating) dan pengendalian (controlling).
Semua fungsi-fungsi management tersebut diatas tercakup dalam tax management. Dengan
kata lain, manajemen perpajakan (tax management) merupakan segenap upaya untuk
mengimplementasikan fungsi-fungsi manajemen tersebut diatas agar dapat tercapai suatu
efisiensi dan efektifitas dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya. Dalam
melaksanakan fungsi tax management tersebut, tax planning merupakan tahap pertama dalam
urutan hierarkisnya, namun dalam praktek bisnis, istilah tax planning lebih poluler daripada
tax management itu sendiri. Dalam praktek, pendekatan yang dilakukan dalam implementasi
tax planning ini bersifat multidisipliner, sehingga wajarlah bila untuk menjadi seorang
perencana pajak yang baik (tax planner), harus memiliki wawasan & pengetahuan yang luas
dan selalu meng-update dirinya dengan ketentuan perpajakan yang berlaku termasuk setiap
perubahan-perubahannya dari waktu ke waktu.
Tidak ada yang salah dengan perencanaan pajak (tax planning) untuk menghindari pajak
asalkan menggunakan metode yang legal. Hakim Learned Hands di Amerika Serikat
menyatakan doktrin perencanaan pajak tahun 1947 ketika dia menulis:
“Over and over again, courts have said there is nothing sinister in so arranging one’s
affairs as to keep taxes as low as possible. Everybody does so, rich or poor, and all do
right, for nobody ower any public duty to pay more than the law demands:taxes are
enforced extractions, not voluntary contributions.” Commissioner.v.Newman, 159
Dalam strategi perpajakan kita sudah mengenal tentang tax avoidance dan tax evasion. Dalam
praktek di lapangan, kedua metode penghindaran pajak tersebut agak tipis perbedaannya,
sehingga pada awalnya didesain untuk melakukan tax avoidance namun kenyataannya bisa
terjebak melakukan tax evasion. Untuk menentukan legalitas tax management/tax planning
yang didesain, apakah legal (tax avoidance) atau illegal (tax evasion), maka rambu-rambu
yang dapat dipakai adalah ketentuan pidana Pasal 38, 39, 41, 41A, 41B dan 43 Undang-
undang KUP No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU KUP No. 7
Tahun 2007.
12. Tahapan Pokok Tax Planning
Agar tax plan dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan, Barry Spitz (1983 : 86)
mengemukakan urutan tahap-tahapan yang harus ditempuh dalam melakukan perencanaan
pajak, yakni :
1. Analysis of the existing data base (Analisis data base informasi yang ada)
2. Design of one or more possible tax plans (Membuat satu model atau lebih rencana
besarnya pajak)
3. Evaluating a tax plan (Evaluasi atas perencanaan pajak)
4. Debugging the tax plan (Mencari kelemahan dan memperbaiki kembali rencana pajak)
5. Updating the tax plan (Memutakhirkan rencana pajak)
Tahapan pertama - merupakan tahap penganalisaan terhadap komponen-komponen yang
berbeda pengakuannya antara komersil dan fiskal dan menghitung seakurat mungkin
beban pajak yang harus ditanggung perusahaan. Analisa ini dilakukan dengan
mempertimbangkan masing-masing elemen pajak, baik secara sendiri-sendiri maupun
secara total pajak yang nantinya akan dirumuskan sebagai perencanaan pajak yang paling
efisien.
Data base yang harus dianalisa antara lain meliputi :
Dianalisa apakah terdapat kejanggalan atau komponen-komponen yang berbeda :
a. dalam Pembayaran dan Pelaporan Pajak bulanan PPh Psl. 21, PPh Badan, dan
PPN.
b. dalam Pemotongan dan Pelaporan Pajak bulanan (PPh Psl. 23/26), PPh Psl. 4(2),
c. dalam SPT Tahunan PPh Psl. 21 dan PPh Badan, dengan senantiasa
mengkaitkannya atau merekonsiliasikannya dengan pembukuan perusahaan.
Analisis implikasi fiskal atas suatu proyek yang sedang ditangani atau yang akan
datang.
Tahapan kedua - Setelah melakukan tahapan awal di atas, maka harus dibuat beberapa model
perencanaan pajak yang akan dilakukan. Pembuatan model-model perencanaan pajak
tersebut dimaksudkan sebagai alternatif untuk menentukan tax plan mana yang applicable
dan paling efisien dan efektif untuk diimplementasikan. Contohnya berikut ini :
Pemilihan bentuk usaha-pada saat seorang investor baru memulai suatu usaha, maka
dia akan memilih bentuk usaha apa saja yang bisa memberikan hasil akhir (net profit
20
after tax) yang lebih besar buat dia, apakah dalam bentuk Perseroan terbatas (PT),
Usaha Perorangan atau Firma/CV.
Bagi badan usaha yang telah go international atau perusahaan multinasional, treaty
shopping dapat dilakukan oleh para pengusaha dengan memanfaatkan mana tarif pajak
dan fasilitas perpajakan yang terdapat dalam berbagai tax treaty yang telah disetujui
oleh masing-masing Kepala Negara, yang lebih menguntungkan bagi para pengusaha
tersebut.
Tahapan ketiga - tahap evaluasi perencanaan pajak
Dalam tahapan ini evaluasi dilakukan sekaligus untuk melakukan pengendalian pajak
merupakan langkah akhir dalam manajemen pajak. Pengendalian pajak bertujuan untuk
memastikan bahwa kewajiban pajak telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah
direncanakan dan telah memenuhi persyaratan formal maupun material. Pengendalian
pajak dapat dilakukan melalui penelaahan pajak (tax review).
Dengan memperhatikan contoh di atas, pengendalian pajak dapat dilakukan sebagai
berikut:
a. Melakukan review atas pengkreditan Pajak Masukan apakah Faktur Pajak yang diterima
memenuhi syarat sebagai Faktur Pajak Standar.
b. Melakukan review apakah Faktur Pajak telah dibuat dan dilaporkan tepat waktu.
c. Melakukan review apakah retur yang telah dicatat dan dilaporkan telah benar, baik
secara formal maupun materi.
Dalam tahap evaluasi perencanaan pajak kita misalnya dapat mengimplementasikan
program Tax Diagnostic Review (TDR), semacam program untuk menangani kepatuhan
wajib pajak yang dapat disusun sendiri oleh Tax Manager atau Tax Consultant dari
masing-masing perusahaan. Setelah menetapkan alternatif mana yang akan digunakan,
maka perlu dilakukan evaluasi untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan yang akan
diperoleh dari suatu perencanaan pajak.
Tujuan dilakukannya TDR adalah :
1) untuk mengetahui sejauh mana unit bisnis melakukan pemenuhan kewajiban
perpajakannya sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku
2) meminimalisasikan terjadinya transaksi yang dapat menimbulkan resiko permasalahan
perpajakan. Satu hal yang harus diperhatikan adalah adanya kemungkinan fiskus tidak
setuju dengan biaya-biaya yang dapat dikurangkan (deductible items) sehingga
nantinya akan merugikan perusahaan.
3) meminimalisasikan sanksi perpajakan yang diakibatkan kesalahan pencatatan yang
dilakukan oleh unit bisnis dan kemudian memperbaikinya
4) agar unit bisnis tidak melakukan kesalahan yang sama pada waktu yang akan datang
5) mempersiapkan unit bisnis dalam menghadapi pemeriksaan yang dilakukan oleh
fiskus.
Tahapan keempat- Dalam konsep manajemen, pengawasan/pengendalian (controlling) itu
dapat dilakukan dengan dua cara, yakni pengawasan preventif dan pengawasan refresif.
Mencari kelemahan dan memperbaiki kembali rencana pajak (tax plan) adalah merupakan
bentuk pengawasan refresif. Perencanaan pajak yang telah diimplementasikan harus
dimonitor dan di-review terus dan dicari kelemahan dan kekurangannya. Terkadang ada
21
suatu hal yang menyebabkan suatu rencana pajak memiliki kekurangan, baik itu
disebabkan karena adanya perubahan peraturan perpajakan atau faktor lainnya sehingga
rencana pajak tersebut harus dikaji ulang kembali dan bila ditemukan kelemahan harus
segera dimodifikasi untuk keberhasilan tax plan tersebut agar rencana dan tindakan dapat
dilakukan tepat waktu. Penambahan biaya yang akan terjadi akibat adanya perubahan
rencana pajak tersebut harus dilihat dari perspektif ekonomisnya yakni bahwa benefit yang
diperoleh harus lebih besar dari cost yang dikeluarkan, atau kita bersikap konservatif
selama masih diperoleh penghematan pajak yang lebih besar dengan mengantisipasi
kerugian yang akan timbul pada tingkat kerugian yang minimum.
Tahapan kelima- Seiring dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam ketentuan
perundang-undangan perpajakan, sehingga dalam melaksanakan perencanaan pajak perlu
memproyeksikan perubahan yang sedang terjadi saat ini dan saat yang akan datang dalam
tax plan yang sudah dibuat. Tax plan tersebut harus di-update terus dan dimutakhirkan
sesuai dengan ketentuan terkini sehingga sedini mungkin dapat diantisipasi akibat yang
merugikan dari adanya perubahan dan perkembangan yang terjadi. Dengan
memutakhirkan perencanaan pajak maka diharapkan perencanaan pajak yang sedang
berjalan tidak akan mengalami hambatan yang berarti.
Sebagai bahagian dari pemutakhiran tax plan tersebut, pengembangan rencana atau
perangkat tindakan dapat dilakukan misalnya mengadakan/mengintegrasikan sistem
informasi (information system) yang memadai dalam kaitannya dengan penyampaiannya
tax plan kepada para petugas yang memonitor implementasi tax plan tersebut dan juga
keefektifan pengendalian pajak penghasilan dan pajak-pajak lainnya yang terkait dengan
masalah-masalah perpajakan yang dicantumkan dalam setiap kontrak bisnis, sehingga
tidak terjadi pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
13. Langkah-Langkah Praktis Yang Dapat
Dilakukan Dalam Perencanaan Pajak
Agar tax plan dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan, Langkah-langkah praktis yang
dapat dilakukan dalam melakukan perencanaan pajak, adalah sebagai berikut :
1. Mengusahakan agar terdapat penghasilan yang stabil untuk menghindarkan pengenaan
pajak dari kelas penghasilan yang tarifnya tinggi (top rate brackets)
2. Mempercepat atau menunda beberapa penghasilan dan biaya-biaya untuk memperoleh
keuntungan dari kemungkinan perubahan tarif pajak yang tinggi atau rendah, seperti
penangguhan pengenaan PPN, PPN yang ditanggung pemerintah dan seterusnya.
3. Menyebarkan penghasilan menjadi penghasilan dari beberapa wajib pajak, seperti
pembentukan group-group perusahaan.
4. Menyebarkan penghasilan menjadi penghasilan beberapa tahun untuk mencegah
penghasilan tersebut termasuk dalam kelas penghasilan yang tarifnya tinggi dan tunda
pembayaran pajaknya, seperti penjualan cicilan, kredit dan seterusnya.
5. Transformasikan penghasilan biasa menjadi capital gain jangka panjang
6. Mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari ketentuan-ketentuan mengenai pengecualian
dari potongan-potongan
22
7. Mempergunakan uang dari hasil pembebasan pengenaan pajak untuk keperluan perluasan
perusahaan yang mendapatkan kemudahan-kemudahan.
8. Memilih bentuk usaha yang terbaik untuk operasional usaha
9. Mendirikan perusahaan dalam satu jalur usaha sedemikian rupa sehingga dapat diatur
secara keseluruhan penggunaan tarif pajak, potensi menghasilkan, kerugian-kerugian dan
aset yang dapat dihapus. (Harnanto, 1994)
14. Perangkat Tax Planning
Pajak itu dianggap suatu beban dan orang menerima secara umum menjadi suatu kebenaran.
Dalam pengorganisasian dibuat perangkat-perangkat sedemikian rupa sehingga perencanaan
pajak dapat diadakan dengan baik. Perangkat-perangkatnya adalah :
1. Pemahaman Ketentuan Perpajakan
Agar planning bisa berhasil dengan baik, tax planning ini harus dikaitkan dengan kondisi
tax administration setempat. Bukan hanya Undang-undang saja tetapi juga di Peraturan
Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Keuangan, Keputusan Pengadilan Pajak, Keputusan
Dirjen, Surat Edaran dan kadang-kadang ada private ruling/surat-surat kepada individu.
Semakin banyak yang dikuasai seorang tax planner, akan lebih efektif. Juga untuk
planning yang sifatnya pajak daerah/lokal tentu juga harus paham tentang berbagai
ketentuan pajak daerah.
Suatu hal yang agak menantang yaitu bahwa persyaratan pemahaman harus up to date,
semacam continuing profesional education. Para tax planner harus secara kontinyu
mengikuti profesional education, suatu updating pengetahuan baik dilakukan secara
internal maupun eksternal.
Mengetahui Tentang Tax Treaty
Kalau nasional sifatnya maka kita juga harus paham tax treaty. Dari berbagai treaty kalau
diperbandingkan, kalau orang berkata bahwa perbedaan pendapat itu merupakan rahmat,
tapi ini debatnya betul. Kalau untuk planning internasional, justru yang dicari adalah
perbedaan aturan, bukan kesamaannya. Jadi, yang perbedaan ini betul-betul rahmat untuk
para tax planner. Maka tiap treaty dicari perbedaan antara suatu treaty dengan treaty
lainnya. Jadi dicari perbedaannya, yang dieksploitir untuk keuntungan, untuk
meminimialisir beban pajak secara regional/global.
Perbedaan-perbedaan yang ada pada treaty sebetulnya sifatnya semacam national
distortion. Jadi Bagi tax planner ini menjadi suatu rahmat. Dia mengambil
manfaat/keuntungan dari national distortion tadi, dari berbagai treaty, tekhniknya
namanya adalah treaty shopping. Contoh treaty shopping, kalau bank-bank Singapura, dia
menerima bunga di Indonesia tidak dikenakan withholding tax. Maka orang Indonesia
barangkali dia berduyun-duyun memanfaatkan treaty shopping ke Singapura. Dia punya
teman, titip obligasinya misalnya pada teman yang di Bank, jadi seolah-olah membayar
bunganya ke bank sana padahal tidak, tapi hanya meminimialisir pajaknya saja.
23
2. Pengadministrasian/Dokumentasi Yang Baik
Dengan persyaratan pembukuan, penyelenggaraan pembukuan yang baik dan lengkap juga
merupakan suatu persyaratan untuk pengorganisasian suatu tax management yang baik.
Tapi dalam pembukuan itu sendiri juga bisa direkayasa/di-planningkan untuk
meminimalisir beban pajak. Karena dalam pembukuan ini ada berbagai macam opsi dalam
pajak. Opsi dalam pajak ini merupakan suatu masukkan untuk planning. Kalau tidak ada
opsi tidak ada planning, banyak opsi banyak planning. Sama juga dengan tidak ada treaty
kurang bagus, tapi kalau banyak treaty semakin banyak peluang karena banyak pilihan.
Dan kecenderungan negara itu secara politis dia akan memperbanyak treaty walaupun
mungkin efektifnya tidak ada. Apalagi yang negara besar, semakin banyak treaty-nya
semakin bagus dari segi politis/politik perpajakan, berarti bukan negara sembarangan,
terkenal karena banyak treaty-nya, dan semakin banyak juga investor yang akan datang
dari segi pajak.
3. Menjaga Hubungan dan Komunikasi Yang Baik
Menjaga hubungan baik dengan fiskus perlu terutama di negara berkembang. Kalau di
negara maju, hubungan yang proporsional saja. Kalau di negara berkembang bahwa
personal approach konon kabarnya sangat menentukan. Biasanya di negara berkembang
information itu sangat mahal karena banyak sekali informasi yang masih tertutup. Law
enforcement kadang-kadang masih merupakan barang yang sangat mahal. Selain itu
penting menjalin komunikasi dalam manajemen internal :
a. Komunikasi Dengan Kepala Divisi/Bagian
Sebagai bahagian dari tax plan, seorang tax manager harus mengkomunikasikan
ketentuan/prosedur perpajakan yang terkini kepada bagian-bagian lain dalam
perusahaan, seperti Bagian Penjualan, Pembelian, Akuntansi, Kepegawaian, dan
sebagainya. Masing-masing bagian diberikan suatu perangkat manual tax plan yang
hanya berkenaan dengan fungsi/aktivitas mereka masing-masing, agar supaya tidak
terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya.
b. Komunikasi Dengan Top Management dan Asosiasi
Dalam melaksanakan tax plan tersebut, sangat dibutuhkan dukungan yang kuat dari top
management bukan sekedar lip service, kebijakan perpajakan yang diambil adalah juga
merupakan bahagian dari corporate policy perusahaan tersebut yang harus dipatuhi dan
dilaksanakan oleh segenap jajaran manajemen mulai dari top management hingga ke
lower management karena ini berdampak pada pencapaian the bottom line dari kinerja
perusahaan yakni net profit after tax. Oleh sebab itu top management harus banyak
dilibatkan dengan keputusan pemilihan strategi perpajakan yang diambil agar
senantiasa sinkron dengan Master Plan perusahaan.
Sering terjadi dalam praktek, bahwa permasalahan pajak yang dihadapi oleh
perusahaan tersebut tidak bisa diselesaikan secara internal. Sebagai contoh, pada saat
keluarnya Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-178/PJ./2006 tentang tentang Jenis Jasa
Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto dimana diantaranya atas Jasa Freight Forwarding
dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 pada tarif 20%, maka para pengusaha perusahaan
24
kargo (Int’l Freight Forwarder) secara kolektif mengajukan keberatan mereka atas
peraturan tentang pemotongan tersebut melalui Asosiasi mereka yakni Gefeksi untuk
memberikan pressure kepada Ditjen Pajak untuk merubah ruling mengenai masalah
yang bersangkutan, dan akhirnya usaha mereka berhasil dengan keluarnya Peraturan
Dirjen Pajak No. PER- 70/PJ/2007 merevisi PER-178/PJ./2006 yang menghilangkan
Jasa Freight Forwarding dari Objek pajak yang dipotong PPh Pasal 23.
c. Komunikasi Dengan Konsultan Pajak
Fungsi Konsultan Pajak adalah sebagai penyuluh dan sebagai jembatan antara Wajib
Pajak dengan fiskus, serta sebagai kuasa wajib pajak di Pengadilan Pajak, dll.
Keberadaan mereka harus dimanfaatkan seoptimal mungkin agar tujuan yang ingin
dicapai oleh perusahaan bisa berhasil dengan baik. Sebelum kita memilih konsultan
pajak, seyogiayanya kita sudah mengetahui kualifikasi mereka dan pengalaman
kesuksesan dalam menangani kasus-kasus yang serupa, agar pelaksanaannya bisa
berjalan mulus. Jangan sampai terjadi penunjukan konsultan pajak tersebut malah
memperburuk keadaan perusahaan dan malah menimbulkan beban pajak yang lebih
besar akibat kekurangpiawaian dari konsultan pajak tersebut. Hal ini banyak terjadi
dalam praktek, sewaktu perusahaan diperiksa oleh fiskus.
4. Implementasi Perencanaan Pajak
Pelaksanaan/implementasi perencanaan pajak termasuk staffing, maksudnya menentukan
orang-orangnya, tax planner atau konsultan pelaksana yang ditugasi pada saat closing
conference-nya menjelang tahap akhir dari proses pemeriksaan pajak diadakan.
Pelaksanaan ini tentu melihat pada optimalisasi perencanaan pajak sehingga apa yang
sudah digariskan dalam perencanaan tadi jangan sampai implementasinya tidak
proporsional sehingga hasilnya tidak bagus. Suatu transaksi yang sudah direkayasa
sedemikian rupa, harus betul-betul dilaksanakan seoptimal mungkin sesuai dengan
rencana sebagai bentuk responsibility tax accounting. Misalnya, kalau kewajiban
menyampaikan SPT Masa PPN pada tanggal 20, maka bila disampaikan lewat dari
tanggal 20 akan terkena denda sebesar Rp. 500.000,-. Kalau satu tahun terlambat terus,
dendanya menjadi Rp. 6 juta. Untuk bisa implementasi sesuai dengan yang direncanakan,
membutuhkan suatu kontrol.
Penulis disini memperkenalkan konsep different tax planning for different purpose
dalam arti bahwa dalam penyusunan tax planning tersebut tidak bisa di generalisir karena
kebutuhan untuk manajemen pajak dari berbagai perusahaan itu berbeda-beda, dan
dengan transaksinya juga bisa berbeda-beda. Misalnya, tax planning bisa dibuat untuk
keperluan penyusunan SPT Tahunan perusahaan, bisa juga dibuat untuk keperluan pada
saat perusahaan melakukan merger, joint operation dan sebagainya.
Jadi dalam tax management tidak bisa di generalisir bagaimana formulasinya tergantung
kepada event yang dihadapi untuk mem-planningkan perpajakannya, kadang-kadang
tergantung juga pada tempatnya dan behavior daripada tax administration. Bila KPP
dimana pejabat pajaknya mungkin cukup akomodatif tentu planningnya berbeda dengan
kalau dilingkungan yang para pejabat pajaknya agak agresif, yang terakhir ini mungkin
dihadapi dalam masalah penagihan pajak.
25
Dalam melakukan perencanaan pajak itu tidak ada suatu tax plan yang berlaku secara
permanen. Keahlian seorang tax planner hanya akan didapat bila secara kontinyu
mempelajari dan mendalami masalah-masalahnya serta melakukan penelitian, karena
perencanaan pajak itu sendiri pada hakikatnya merupakan hasil penelitian yang didesain
untuk suatu kejadian atau transaksi-transaksi yang akan terjadi. Dalam mendalami
masalah tersebut, seorang tax planner harus membuat pemetaan masalah (mapping)
dengan mengusahakan agar diperoleh data sebanyak mungkin yang relevan dengan
permasalahan tersebut untuk selanjutnya diteliti fakta yang relevan, kemudian disusun tax
planning-nya.
15. Strategi Tax Planning
1. Jurus Tax Planner
Pada umumnya seperti banyak kasus-kasus perpajakan yang terjadi belakangan ini, ada
empat cara/modus yang digunakan oleh wajib pajak dalam men-desain perencanaan
pembayaran pajaknya, cuma sayangnya sebahagian dilakukan dengan cara yang ilegal (tax
evasion), yakni :
a. Kalau bisa mereka tidak membayar pajak sama sekali, walaupun cara ini tidak
melanggar Undang-Undang Perpajakan. Cara ini tidak direkomendasikan karena
sebagai warga negara yang baik kita harus memahami bahwa negara kita saat ini
sedang membutuhkan dana dari setoran pajak untuk membiayai kelangsungan
pembangunan negeri ini.
b. Kalau tidak bisa tidak membayar pajak sama sekali, mereka akan mengurangi
membayar pajaknya dengan tidak melanggar UU Perpajakan. Umumnya mereka
memanfaatkan grea area dalam ketentuan perpajakan yang berlaku.
c. Kalau bisa digeser waktunya, yaitu daripada ia bayar sekarang, lebih baik membayar
tahun depan (forward shifting), jadi bunga (interest)nya mereka nikmati.
d. Kalau ketiga-tiganya tidak ketemu, maka baru mereka akan membayar pajaknya.
2. Secara Umum Konsepsi Tentang Tax Planning Diberikan Paling Kurang Pada
Tujuh Situasi :
a. Pada saat mempertimbangkan struktur bentuk usaha sebelum usaha dimulai Contoh kongkritnya adalah sekarang tahun 2009, aturannya berbeda, tarifnya berbeda.
Sebelum mulai usaha, orang tentu akan mulai berpikir, apakah bentuk usahanya
perseorangan atau badan. Kalau usaha perseorangan dia kena tarif progresif, bila
estimasi penghasilannya Rp. 50 juta, maka dia kena tarif 5%, tapi bagi perorangan
berlaku ketentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebesar Rp. 15.840.000,-
untuk WP sendiri dan Rp. 1.320.000,- untuk isterinya dan masing-masing anaknya
(max. 3 orang tanggungan). Kalau badan dia kena tarif tunggal 25% (tahun 2010) dan
tidak ada PTKP. Kemudian kalau sudah badan, dia akan berpikir lagi, apakah Firma
atau PT. Sebagai badan, penerapan tarif PPh nya sama untuk PT, Firma dan CV.
Firma pajaknya sama dengan CV tapi mungkin konsekuensi hukumnya berbeda.
26
Beda Firma dengan PT :
1. Pemiliknya kalau PT, laba setelah pajak kalau dibagi kepada para pemegang saham
WPOP harus membayar pajak dividen. Beda dengan Firma tidak perlu membayar
pajak dividen.
Pada Pasal 4 ayat 3 huruf i dan penjelasannya menyebutkan bahwa bagian laba
yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer (yang modalnya
tidak terbagi atas saham-saham), persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi,badan-badan sebagaimana disebut dalam ketentuan ini yang merupakan
himpunan para anggotanya dikenakan pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada
tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba yang diterima oleh para
anggota badan tersebut bukan lagi merupakan Objek Pajak.
2. Ini hubungannya Non Taxable Income atas bagian laba yang diterima oleh para
anggota badan tersebut (persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi), dengan
demikian sesuai dengan prinsip taxability- deductibility maka gaji yang dibayarkan
kepada anggota firma/CV yang modalnya tidak terbagi atas saham, tidak dapat
dibiayakan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9 ayat 1 huruf j. Kalau di PT. gaji
yang dibayarkan kepada pengurus yang juga merangkap sebagai pemegang saham
dapat dibiayakan selama penghasilannya di laporkan dalam SPT PPh Pasal 21.
Beda Orang Pribadi dengan Firma :
1. Orang pribadi tarif PPh-nya murah yakni 5 % hingga pendapatan Rp. 50 juta.
2. Mendapatkan PTKP.
3. Dua orang pribadi kalau terpisah, beban pajaknya akan kecil karena ada PTKP,
tarif pajak orang pribadinya yang lebih rendah dibandingkan kalau dia bergabung
dengan firma maka kemungkinan tarifnya lebih besar, dan beban pajaknya lebih
besar.
Pada negara yang mengenakan tarif progresif, suatu perusahaan besar walaupun
labanya banyak, dibandingkan dengan 10 perusahaan kecil, maka beban pajaknya akan
lebih besar perusahaan yang besar, karena kena tarif progresif. Berbeda dengan suatu
negara yang mengenakan tarif flat. Apakah sedikit tapi besar atau banyak tapi kecil-
kecil, tidak ada masalah. Karena income-nya di bracket seperti yang dikenakan pada
PPh Badan UU PPh Tahun 2000, maka dia akan menghindar dari progresif tax tarif di
lapisan tarif (bracket) yang tertinggi, hingga total tax burden akan lebih murah. Hal ini
bisa dirancang dengan melakukan penyebaran income pada beberapa perusahaan yang
lebih kecil dibandingkan dengan satu perusahaan yang besar yang kena dampak dari
progresifitas.
b. Pertimbangan Kembali Struktur Usaha
Perusahaan sudah jalan, tapi ada kemungkinan untuk dipertimbangkan kembali.
Misalnya perubahan Undang-Undang Pajak menyebabkan berkurangnya
optimalisasi struktur yang ada sekarang. Kalau perubahannya menjadi tambah
longgar itu tidak ada masalah, tetapi kalau kelonggarannya menciut umumnya
orang meributkan.
Contoh : Dalam UU PPh No. 17 Tahun 2000, kepemilikan saham di perusahaan
anak (subsidiary company) sekarang, untuk dapat bebas pajak dividen harus
27
kepemilikan sahamnya sekurang-kurangnya 25 % dari jumlah modal yang disetor
dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut. Jadi kalau
semua yang punya saham 10 % yang satu lagi 15 %, supaya mereka bebas maka
harus merger atau harus rela sahamnya dititipkan. Kalau yang sekarang UU PPh
No. 36 Tahun 2008 yang berlakunya mulai tahun 2009, syarat harus mempunyai
usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut dihilangkan.
Ada salah satu anti avoidance yang biasanya dicantumkan di treaty, biasanya ini
idenya beneficial owner/pemilik manfaat. Jadi, mereka bisa saja menitipkan
sahamnya seolah-olah yang menerima itu satu perusahaan tapi nanti akan dilihat
secara transparan, siapa pemilik manfaat itu, apakah betul-betul mereka atau milik
orang lain.
Tentang time dimention juga dapat diperoleh sebagai suatu planning. Secara umum
penghematan pajak menganut prinsip the least and the latest, yaitu membayar
dalam jumlah seminimal mungkin dan pada waktu terakhir yang masih diizinkan
oleh ketentuan perpajakan yang berlaku. Ada perubahan peraturan-peraturan harus
dimanfaatkan secepatnya. Pada detik-detik terakhir tax planning itu sebelum
tanggal 31 Desember, maka pergunakan the last minutes tax planning.
c. Apabila Terjadi Perubahan Kepemilikan Perusahaan(Merger/Akuisisi)
Kalau terjadi perubahan kepemilikan perusahaan maka umumnya tax planner ini akan
mencoba untuk mencari mode transaksi yang tidak dikenakan pajak.
Kalau terjadi merger, tax planner akan mensyaratkan menggunakan nilai buku,
karena penggunaan nilai buku ini tidak menimbulkan capital gain yang merupakan
objek pajak penghasilan. Wajib Pajak yang melakukan merger dapat menggunakan
nilai buku sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008
tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam rangka
Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha. Permohonan izin Penggunaan
Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam rangka Merger atau Pemekaran Usaha
diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang
membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak pemohon terdaftar, paling
lama 6 (enam) bulan setelah tanggal efektif merger dilakukan. Untuk memenuhi
ketentuan formalnya, permohonan merger tersebut diajukan oleh Wajib Pajak yang
menerima pengalihan harta.
Kalau dengan penjualan saham mereka lewat BEJ dipungut pajak 0,1 %, maka dia
akan mencoba untuk tidak lewat BEJ.
d. Apabila perusahaan mempertimbangkan suatu transaksi/proyek/perolehan
assets dalam rangka meminimalkan beban pajak
Bisa transaksi import dan jual beli :
Kalau import dia akan berusaha agar barang-barangnya itu bebas bea masuk,
bebas PPh pasal 22, bebas PPN, dsb.
28
Transaksi penjualan tanah/bangunan, dia akan mencoba untuk memaksimalkan
penggunaan NJOPTKP agar BPHTB nya tidak kena, misalnya transaksi penjualan
tanah/bangunan dipecah-pecah.
Dalam perolehan aktiva kalau ini menyangkut fixed assets yang jumlahnya besar
dia akan mencoba memilih berbagai kemungkinan, apakah mungkin dia akan
membangun sendiri, meminjam, membeli, atau leasing (dengan hak opsi).
Pengenaan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri yang Dilakukan Tidak Dalam
Kegiatan Usaha atau Pekerjaan oleh Orang Pribadi atau Badan yang Hasilnya
Digunakan Sendiri atau Digunakan Pihak Lain sebagaimana telah diubah dengan
Keputusan Menteri Keuangan No. 320/KMK.03/2002, yang bangunannya
diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha dengan luas bangunan 200
m2 atau lebih dan bersifat permanen, maka PPN yang terutang atas kegiatan
membangun sendiri, jumlahnya ditetapkan sebesar 4% (yakni 10% x 40%) x
jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau yang dibayarkan pada setiap bulannya.
Jadi wajib pajak dapat menghemat pajak sebesar 6%.
Leasing (dengan hak opsi) ini kadang-kadang lebih untung daripada membeli
secara tunai dari sudut perpajakan. Kalau untuk capital leasing masa leasing
minimal 7 tahun untuk golongan bangunan. Yang 7 tahun sudah merupakan capital
leasing. Tapi kalau dia beli sendiri, disamping dia harus menyediakan semua
financingnya, maka dari segi depresiasi dia akan lebih lama dari pada capital
leasing. Jadi dalam 7 tahun, secara fiskal pembayaran leasing(dengan hak opsi)
yang dilakukan/terutang merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto. Dengan demikian maka selama 7 tahun itu secara fiskal perusahaan akan
kelihatan kurang baik, sehingga beban PPh-nya juga tidak banyak. Jadi ternyata
bahwa leasing(dengan hak opsi) itu lebih menguntungkan dari pada membeli aktiva
tetap secara tunai.
e. Apabila suatu perusahaan akan memperoleh penghasilan kena pajak
(PKP) yang cukup besar dalam satu tahun, maka dia cari jalan untuk
mengurangi beban pajak
Income atau obyek yang taxable, obyeknya apa saja dalam 1 tahun dia akan
kurangi. Artinya, dalam hal tarifnya adalah tarif progresif, kalau ada penghasilan
pengakuannya akan ditunda (deferred), atau akan mempercepat untuk pengakuan
biaya. Tapi kalau tarifnya flat, otomatis urgency-nya agak kurang untuk menunda
atau mempercepat. Kalau tarifnya flat, karena beban pajaknya sama, urgency
mempercepat atau menunda itu kadang-kadang melihat cash flow-nya. Kalau cash
flow-nya tidak terganggu tidak ada masalah, tapi kalau cash flow-nya terganggu,
mungkin dia sedang mengalokasikan sumber daya untuk keperluan yang lain maka
dia akan tunda pengakuannya.
Sebagai contoh lain, dengan Undang-Undang PPh No. 36 Tahun 2008, ditetapkan
tarif PPh Badan sebesar 25% berlaku mulai Tahun 2010 sedangkan untuk Tahun
2009 tarif PPh Badan adalah sebesar 28%. Biasanya Tax Planner akan melihat
transaksi-transaksi penghasilan apa saja di penghujung Tahun 2009 yang dapat
digeser pengakuannya ke tahun 2010 untuk bisa menghemat selisih tarif PPh
sebesar 3% yang berarti akan mengurangi tax burden bagi perusahaan.
29
Profit itu tidak identik dengan cash available. Profit itu angka, tapi uang tidak
identik dengan profit. Jadi kalau profitnya besar belum tentu uangnya banyak.
Sebaliknya, kalau bisa meskipun profitnya kecil tetapi uangnya banyak artinya
cash flow-nya lancar.
Biaya akan diakui didalam Laporan Rugi/Laba apabila liability-nya sudah ada
walaupun belum dibayar. Maka untuk penghasilan, tax planner akan mencoba
untuk menggeser sedapat mungkin pengakuan pendapatannya. Sekaligus dia
berusaha akan averaging/meratakan penghasilan. Kalau ada expense akan dia
akrual, walaupun belum dibayarkan tapi seolah-olah bahwa billing-nya terjadi
sekarang.
f. Apabila terjadi perubahan keadaan individu WP (pensiun, perkawinan,
pisah) Kalau pesangon dibayarkan sekaligus akan dikenakan PPh 10 % final. Tapi kalau
pensiun bulanan maka akan kecil-kecil jumlah pajaknya. Kalau dia dibayar bulanan
(lumpsum) akan kena pajak normal dan ada PTKP. Secara total apakah lebih
untung kalau dibayar lumpsum payment sekaligus, atau average setiap bulan?.
Namun aturan pensiunnya bagaimana, apakah boleh dibayar secara bulanan? Ini
harus dianalisis untuk melihat apakah perusahaan bisa menghemat pajak dari
penerapan salah satu alternatif cara pembayaran tersebut tanpa mengenyampingkan
aturan yang ada.
Kondisi married/tambah keluarga umumnya PTKP hanya diberikan/diberdayakan
critical time-nya pada awal tahun. Jadi kalau kawinnya dipertengahan tahun maka
sampai dengan akhir tahun dianggap sendiri. Kalau calon suami istri kedua-duanya
bekerja, pajaknya bagaimana. Kalau sama-sama kerja, suami istri mendapat PTKP
Rp. 15.840.000,- masing-masing, ditambah dengan Rp. 1.320.000,00 untuk
isterinya dan masing-masing anaknya (max. 3 orang tanggungan). Jadi pajak ini
pro dengan perkawinan. Kalau digabung ada progresifitas tarif. Jadi kalau
penghasilan suami isteri berdua digabung dan lebih dari Rp. 50 juta, maka akan
kena bracket yang besar. Jadi fenomenanya disini adanya tambahan Rp.
1.320.000,00 untuk PTKP isteri dan kemungkinan terkena taxable bracket yang
lapisan tinggi karena penghasilan yang digabung tersebut.
g. Apabila perusahaan/orang pribadi akan menjual aktiva atau perusahaan akan
bubar/orang pribadi almarhum Kalau sampai meninggal belum dibagi maka tidak ada PTKP dan dikenakan tarif
progresif. Jadi sebelum almarhum lebih baik dibagi dulu karena akan mendapatkan
PTKP untuk masing-masing bagian dan tarifnya lebih murah.
3. Tax Planning Yang Masih Berlaku
Berikut ini ada beberapa trik yang perlu dipertimbangkan dalam membuat tax planning
perusahaan :
30
a. Maksimalkan Biaya-Biaya Yang Dapat dikurangkan
Seringkali petugas pembukuan menggunakan istilah yang kurang tepat untuk biaya-
biaya tertentu sehingga pada waktu dilakukan pemeriksaan oleh fiskus biaya-biaya
tersebut tidak dapat dikurangkan. Contohnya : biaya promosi, biaya keamanan, biaya
pemasaran dibukukan dengan nama sumbangan. Berdasarkan UU PPh pasal 9 (1) g
sumbangan tidak diperkenankan dikurangkan sebagai biaya, maka dengan sendirinya
akan dikoreksi oleh fiskus. Biaya perjalanan dinas dibukukan sebagai biaya perjalanan
direksi yang mengesankan sebagai biaya liburan direksi. Tentunya ini juga akan
dikoreksi oleh fiskus. Biaya latihan pegawai dibukukan sebagai biaya rekreasi
pegawai. Ini juga akan dikoreksi karena tidak dianggap sebagai biaya untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.
b. Merger Antara Perusahaan Yang Terus Menerus Rugi Dengan Perusahaan
Yang Laba
Didalam satu kelompok usaha, kadang-kadang terdapat perusahaan yang terus merugi
selama beberapa tahun sebelum menghasilkan laba, sedangkan di perusahaan lainnya
yang sejenis sudah menghasilkan laba. Dengan demikian secara kelompok,
perusahaan membayar PPh atas laba yang lebih besar dari laba sebenarnya.
Menurut Pasal 3 Per-Menkeu No. 43/PMK.03/2008, bila kedua perusahaan tersebut
digabungkan (Merger) dengan menggunakan nilai buku, tidak boleh
mengkompensasikan kerugian/sisa kerugian dari Wajib Pajak yang menggabungkan
diri/Wajib Pajak yang dilebur. Akumulasi kerugian perusahaan yang merugi tersebut
bisa dikompensasikan dengan “selisih lebih atas penilaian kembali aktiva tetap” hasil
revaluasi aktiva tetap yang dilakukan berdasarkan nilai pasar yang wajar, dan atas
selisih lebih setelah kompensasi kerugian tersebut dikenai PPh Final 10%.
c. Menunda Penghasilan
Misalnya buku perusahaan ditutup pada tanggal 31 Desember. Pada bulan Desember
tersebut terdapat lonjakan permintaan. Pajak atas laba atas lonjakan permintaan
tersebut sudah harus dibayar paling lambat tanggal 25 Maret tahun berikutnya.
Disamping itu angsuran PPh 25 tahun berikutnya otomatis akan menjadi lebih besar.
Bila memungkinkan pengusaha dapat melakukan pendekatan kepada konsumen agar
penyerahan barangnya dilakukan pada awal bulan Januari tahun berikutnya. Dengan
demikian pembayaran pajaknya dapat ditunda satu tahun.
d. Percepat Pembebanan Biaya
Pada akhir tahun fiscal sebaiknya dilakukan review untuk melihat apakah ada biaya-
biaya yang dapat segera dibebankan pada tahun ini. Misalnya biaya konsultan hukum,
konsultan pajak, auditor, dsb. Dengan demikian seperti halnya dengan penundaan
penghasilan akan dapat menunda pembayaran pajak setahun.
31
Contoh Trik Aplikasi
Dalam UU PPh yang baru (Pasal 6 ayat (1) huruf h - UU No. 36 Tahun 2008)
Peraturan mengenai piutang tak tertagih sebetulnya tidak ada perubahan yang
mendasar. Piutang nyata-nyata tak tertagih itu boleh dibiayakan asal memenuhi
beberapa syarat sebagai berikut:
1) Telah dibiayakan dalam laporan laba rugi komersial;
2) WP harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada DJP;
3) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara; atau ada perjanjian tertulis dengan
debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau
khusus; atau ada pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan;
4) Syarat nomor 3 tidak berlaku bagi piutang debitur kecil yang dihapuskan
Sebagai tax planner harus mencari cara yang lebih mudah. Piutang tak tertagih diatur
dalam pasal 6 (1) UU PPh dimana disyaratkan kalau piutang tak tertagih jika ingin
dihapuskan syaratnya yang ada di pasal 6 (1) h UU PPh. Tapi di pasal 6 (1) d UU PPh
mengatakan “Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuan
semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto”. Misalnya kita punya Lemari
kantor harga belinya Rp. 1 juta, sudah dipakai 1 tahun, sudah di depresiasikan
golongan 2 (tarif penyusutan 20% metode garis lurus). Sekarang tinggal nilai bukunya
80 % atau Rp. 800.000, bila kita jual dengan harga Rp. 400.000 sehingga rugi sebesar
Rp. 400.000, Sesuai Pasal 6 (1) h UU PPh, kerugian ini boleh dikurangkan sebagai
biaya (deductible) dalam SPT Tahunan PPh Badan.
Cara ini kita pergunakan untuk piutang tak tertagih, karena piutang itu juga
harta/aktiva. Sekarang ada sarana untuk menjual piutang ke perusahaan factoring.
Daripada kita susah-susah mengajukan ke pengadilan, bikin perjanjian susah, kita jual
saja ke factoring company. Misalnya Piutang kita sebesar 500 juta, kita menganggap
bahwa nagihnya paling hanya dapat 100 juta, maka 400 juta akan dihapuskan. Kita jual
saja yang 500 ini ke factoring company dengan harga mungkin 150 juta supaya
factoring company-nya juga dapat untung. Jadi kita juga bisa membiayakan sebesar
500 juta -150 juta = 350 juta. Ini cara hemat dan cepat.
e. Strategi Efisiensi Untuk Menekan Beban Pajak Perusahaan
Strategi perusahaan untuk efisiensi pajak dapat dilakukan dengan cara merekayasa
biaya-biaya yang berkaitan dengan pembayaran kepada karyawan, tapi ini tergantung
pada kondisi perusahaan sebagai berikut :
1). Pada perusahaan yang memperoleh penghasilan kena pajak dan pengenaan PPh
badannya tidak final, diupayakan seminimal mungkin memberikan kesejahteraan
karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan karena pengeluaran ini tidak
dapat dibebankan sebagai biaya. Jadi meskipun PPh Pasal 21 akan menjadi besar,
tetapi karena bisa dibiayakan sehingga dampaknya terhadap PPh Badan akan
menjadi lebih rendah. Sebaliknya kebijakannya akan berbeda dalam hal
32
perusahaan masih merugi, dimana pemberian dalam bentuk natura itu justru
harus diupayakan semaksimal mungkin karena bisa memperkecil PPh Pasal 21.
2). Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenakan PPh final, sebaiknya
memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan,
karena pemberian natura dan kenikmatan kepada karyawan tidak termasuk obyek
pajak PPh pasal 21, sedangkan pengeluaran untuk pemberian dan kenikmatan
tersebut mempengaruhi besarnya PPh badan, karena PPh badan final dihitung
dari persentase atas penghasilan bruto sebelum dikurangi dengan biaya-biaya.
Bagi perusahaan yang masih rugi, pemberian natura dan kenikmatan akan
menurunkan PPh Pasal 21 sementara PPh badan tetap nihil.
Lihat dalam tentang bahasan strategi efisiensi ini dapat dilihat dalam bab “Tax
Planning PPh badan”.
f. Hindari Beban Orang Lain Untuk Tidak Menjadi Beban Sendiri
Banyak kejadian dalam praktek bisnis internasional, perusahaan lokal terpaksa
menanggung pajak yang seharusnya menjadi beban perusahaan luar negeri tersebut
karena tidak teliti memperhatikan klausul perpajakannya dalam kontrak perjanjian
tersebut. Hal ini dapat dihindarkan bila kita bisa memahami aspek perpajakan
internasional, seperti tentang Tax Treaty, Bentuk Usaha tetap (BUT), PPh Pasal 26.
Tentang PPN juga tidak diatur dalam perpajakan internasional. Misalnya atas
pembelian barang/jasa dari luar negeri, tetapi bila penyerahan barang/jasa kena
pajaknya dilakukan di dalam negeri (dalam daerah pabean Indonesia), maka atas
penyerahan barang/jasa kena pajak tersebut terutang PPN. Lalu siapa yang harus
menanggung PPN-nya, penjual atau pembeli, principal atau agen? Ini semuanya harus
dituangkan klausul-nya dalam kontrak perjanjian kedua belah pihak. (baca juga tulisan
penulis di majalah Indonesian Tax Review Vol II/edisi 19/2009 hal.40-49).
Beberapa Perangkat Fasilitas Perpajakan
Dalam perundang-undangan perpajakan Indonesia khususnya UU Pajak Penghasilan serta
UU PPN & PPn BM, kita menjumpai beberapa perangkat fasilitas perpajakan seperti
tertera dibawah ini :
WP yang melakukan penanaman modal di bidang usaha tertentu dan atau di daerah
tertentu, dapat diberikan fasilitas (PP No. 1 Tahun 2007) :
a. Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah
Penanaman Modal, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5%
per tahun;
b. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, sebagai berikut :