BAGIAN ANESTESIOLOGI,TERAPI INTENSIF LAPORAN KASUS DAN MANAJEMEN NYERI MEI 2013 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MANAJEMEN AIRWAY PADA PENDERITA CEDERA KEPALA BERAT GCS 5 OLEH : Farnisyah Febriani C 111 08 365 PEMBIMBING : dr. Ashari Makmur KONSULEN : dr. Hisbullah, Sp.An., KIC-KAKV 1
31
Embed
Management Airway Pada Penderita Cedera Kepala Dengan Gcs 5
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAGIAN ANESTESIOLOGI,TERAPI INTENSIF LAPORAN KASUS DAN MANAJEMEN NYERI MEI 2013 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MANAJEMEN AIRWAY PADA PENDERITA CEDERA KEPALA BERAT GCS 5
OLEH :
Farnisyah Febriani C 111 08 365
PEMBIMBING :dr. Ashari Makmur
KONSULEN :dr. Hisbullah, Sp.An., KIC-KAKV
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIKBAGIAN ANESTESIOLOGI TERAPI INTENSIF DAN MANAJEMEN NYERI
UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR
1
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :
Nama : Farnisyah Febriani
NIM : C 111 08 102
Judul : Manajemen Airway Pada Penderita Dengan Cedera
Kepala Berat GCS 5
Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepaniteraan klinik pada
Bagian Anestesiologi, Terapi Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.
Makassar, Mei 2013
KONSULEN PEMBIMBING
dr. Hisbullah, Sp.An., KIC-KAKV dr. Ashari Makmur
2
LAPORAN KASUS
MANAJEMEN AIRWAY PADA PENDERITA DENGAN CEDERA
KEPALA BERAT GCS 5
I. Identitas Pasien
Nama : Wahyudi
Umur : 15 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : BTN Kumala Sari Makassar
Tanggal MRS : 21-04-2013
RM : 605416
II. Anamnesis
Keluhan Utama : Kesadaran menurun
Anamnesis terpimpin:
Dialami sejak ± 5 jam SMRS, akibat kecelakaan lalu lintas. Riwayat
pingsan (+), riwayat muntah (+), riwayat keluar darah dari hidung dan
telinga (-).
Mekanisme trauma :
Pasien sedang mengendarai sepeda motor, tiba-tiba rem motor tidak
berfungsi, sehingga pasien melompat dari sepeda motornya dan
terjatuh, dimana kepala terlebih dulu membentur aspal. Saat
mengendarai sepeda motor, pasien tidak menggunakan helm.
III. Pemeriksaan fisik
Primary survey:
A : Patent
B : RR=28x/menit
C : TD=130/80 mmHg, N=96x/menit
D : GCS 5 (E1M3V1), pupil anisokor Φ 4 mm/2 mm
E : T=36,5˚C
3
Secondary survey:
Regio frontal
I= edema (+), hematoma (+), ekskoriasi uk 5x3 cm;
P= nyeri tekan sulit dinilai
Regio parietal
I= edema (+), tampak luka lecet uk 6x4 cm
P= nyeri tekan sulit dinilai
IV. Pemeriksaa penunjang
Laboratorium (21/4/2013)
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
WBC 30.24 4.00-10.00 [103/uL]
RBC 4.59 4.00-6.00 [106/uL]
Hb 13.5 12.00-16.00 [g/dL]
HCT 38.6 37.0-48.0 [%]
PLT 249 150-400 [103/uL]
X foto cervical AP (21/4/2013) : Tidak ditemukan kelainan
X foto thorax AP (21/4/2013) : Tidak ditemukan kelainan
CT Scan kepala : EDH temporobasal frontal dextra dan fronto
basal sinistra
V. Diagnosis
TBI GCS 5 (E1M3V1)
VI. Rencana penatalaksanaan
4
Kraniotomi
VII. Penatalaksanaan awal
O2 via intubasi endotrakheal 10 lpm
IVFD RL 28 tpm
Inj. Ceftriaxon 1 gr/12j/iv
Inj. Ranitidin 1 amp/8 jam/iv
Inj. Piracetam 3 gr/8 jam/iv
Pasang neck collar
VIII. Prosedur intubasi endotrakheal
Pasien posisi supine dengan iv line 18 G di tangan kiri, IVFD
RL 28 tpm
Premedikasi fentanyl 100 mcg
Oksigenasi via face mask, lakukan Sellick Manuver
Induksi : propofol 80 mg
Intubasi dengan ETT ID 7,5 sedalam ± 19 cm dengan fasilitas
Atracurium 20 mg
Cek bunyi pernapasan ki=ka, Rh -/-, wh -/-
Fiksasi ETT di sudut kanan bibir
Maintenance: O2 via Jackson and Rich sebesar 8 lpm
Siap transfer ke ruang OK untuk penanganan kraniotomi
TINJAUAN PUSTAKA
5
I. Pendahuluan
Lebih dari 80 persen penderita cedera yang datang ke ruang emergensi
selalu disertai dengan cedera kepala.1 Di Amerika Serikat, insidensi tahunan
dari trauma kepala yaitu sekitar 600 hingga 900 orang per 100.000 populasi.
Terdapat 200 hingga 500 orang dirawat di unit gawat darurat, 150 hingga
250 orang dirawat di rumah sakit dengan Traumatic Brain Injury, dan 20
hingga 30 orang meninggal ( 50% di rumah sakit dan 50% di luar rumah
sakit) per tahunnya. Penyebab utama dari Traumatic Brain Injury antara lain
akibat jatuh (28%), kecelakaan lalu lintas berupa tabrakan kendaraan
bermotor (20%), bertubrukan dengan benda yang bergerak maupun diam
(19%), dan penyebab lainnya.2 Kontribusi paling banyak terhadap cedera
kepala serius adalah kecelakaan sepeda motor, dan sebagian besar
diantaranya tidak menggunakan helm atau menggunakan helm yang tidak
memadai (>85%). Dalam hal ini yang dimaksud dengan tidak memadai
adalah helm yang terlalu tipis dan penggunaan helm tanpa ikatan yang
memadai, sehingga saat penderita terjatuh, helm sudah terlepas sebelum
kepala membentur lantai.1
Di Indonesia sendiri, cedera merupakan salah satu penyebab kematian
utama setelah stroke, tuberkulosis, dan hipertensi. Proporsi bagian tubuh
yang terkena cedera akibat jatuh dan kecelakaan lalu lintas salah satunya
adalah kepala yaitu 6.036 (13,1%) dari 45.987 orang yang mengalami cedera
jatuh dan 4.089 (19,6%) dari 20.289 orang yang mengalami kecelakaan lalu
lintas.2 Menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention), trauma
pada otak paling sering menimbulkan kematian atau kecacatan permanen
pada seseorang. Pembunuh yang tercepat pada penderita trauma adalah
ketidakmampuan untuk mengantarkan darah yang teroksigenisasi ke otak
dan struktur vital lainnya. Pencegahan hipoksemia memerlukan airway yang
terlindungi, terbuka dan ventilasi yang cukup merupakan prioritas yang
harus didahulukan dibanding yang lainnya. Bagaimana mungkin dapat
memenuhi kebutuhan oksigen apabila jalan napasnya tersumbat, apalagi jika
6
mengalami sumbatan total. Semua penderita trauma memerlukan oksigen.
Oleh karena itu setiap gangguan pada airway harus segera ditangani.
Penatalaksanaan awal terhadap penderita cedera kepala sangat penting
karena akan menentukan hasil akhir yang dicapai. Secondary insult
merupakan musuh utama dalam penatalaksanaan cedera kepala.
Penatalaksanaan penderita cedera kepala di UGD dilakukan secara terpadu
sesuai ATLS (Advanced Trauma Life Support). Dimulai dengan primary
survey, resusitasi, dan penatalaksanaan, secondary survey, stabilisasi dan
transport. Resusitasi dapat dilakukan secara simultan pada saat primary
survey.1 Primary survey meliputi ABCDE (Airway, Breathing, Circulation,
Disability, Exposure).
Gangguan pada airway dapat timbul secara mendadak atau perlahan,
dapat sebagian atau total. Penderita dengan penurunan kesadaran
mempunyai resiko tinggi terhadap sumbatan airway dan sering kali
memerlukan pemasangan airway definitif. Pada penderita trauma terutama
yang mengalami cedera kepala, menjaga oksigenisasi dan mencegah
hiperkarbia merupakan hal yang utama. Apabila airway penderita tersumbat
total atau adanya distress pernapasan maka usaha untuk pemasangan alat
airway definitif (intubasi) harus segera dilakukan.
II. Klasifikasi Cedera Kepala
Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam
berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu
berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.2
1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera
tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor,
jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka
tembak ataupun tusukan.
2. Beratnya Cedera Kepala
7
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam
deskripsi beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu
membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan
berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada
penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak
membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal
atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan
sebagai koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka
penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai
cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan
sebagai cedera otak ringan. 2,3
Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi
Pada pasien dengan kesulitan intubasi, penatalaksanaan jalan napas menjadi
lebih sulit sehingga lebih mudah terjadi cedera pada jalan napas yang
menyebabkan nyeri tenggorok. Prosedur intubasi dengan menekankan
krikoid selama laringoskopi memfasilitasi visualisasi pita suara sehingga
manuver ini bisa membantu menghindari kerusakan sekitar pita suara yang
disebabkan oleh intubasi yang dipaksakan.
Ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakheal
antara lain :
a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus
dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus
b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical,sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi
Komplikasi akibat intubasi endotrakeal antara lain nyeri tenggorok,
suara serak, paralisa pita suara, edem laring, laring granuloma dan ulser,
16
glottis dan subglotis granulasi jaringan, trachealstenosis, tracheamalacia,
tracheoesophagial fistula.
VIII. DISKUSI KASUS
Seorang laki-laki umur 15 tahun dengan kesadaran menurun post
kraniotomi masuk ICU RSWS dengan keluhan utama kesadaran menurun dengan
GCS 5 (E1M3V1). Pasien sebelumnya mengalami kecelakaan lalu lintas dimana
pasien terjatuh dengan posisi kepala membentur aspal. Sesaat tiba di UGD,
dilakukan pemeriksaan fisik dan didapatkan hasil: TD=130/80 mmHg,
N=96x/menit, RR=28x/menit, T=36,5˚C dengan GCS=5 (E1M3V1), pupil
anisokor Φ 4 mm/2 mm. Pasien segera diintubasi untuk menjaga stabilitas jalan
napas dan dipasang neck collar.
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai lekositosis dengan nilai
WBC= 30.24x103 /ul. Dari gambaran CT Scan menunjukkan adanya perdarahan
epidural di daerah temporobasal frontal dextra dan fronto basal sinistra, sehingga
pasien segera direncanakan kraniotomi.
Penanganan pertama dilakukan untuk menilai airway. Hipoksemia
merupakan pembunuh utama penderita gawat darurat dan paling cepat
disebabkan oleh sumbatan jalan napas, sehingga penilaian dan pengelolaan jalan
napas harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Oleh karena itu pencegahan
hipoksemia merupakan prioritas utama dengan jalan napas dipertahankan terbuka,
ventilasi adekuat, dan pemberian oksigen.
Pasien pada kasus ini kemngkinan mengalami penyumbatan jalan napas
yang disebabkan karena muntahan, darah, dan kondisi pasien yang tidak sadar.
Pada keadaan penurunan kesadaran akan terjadi relaksasi otot-otot, termasuk otot
lidah sehingga bila posisi pasien terlentang pangkal lidah akan jatuh ke posterior
menutupi orofaring sehingga akan menimbulkan sumbatan jalan napas dan pada
kasus ini ditandai dengan suara napas tambahan yaitu snooring (dengkuran).
Dalam keadaan ini, pembebasan jalan napas awal dapat dilakukan tanpa alat yaitu
dengan melakukan chin lift atau jaw thrust manuver karena dianggap lebih aman
dilakukan pada penderita dengan dugaan cedera tulang leher (cervical).
17
Pemasangan collar brace dilakukan untuk imobilisasi kepala dan leher pasien
sekaligus untuk menghindari manipulasi yang berlebihan dari gerakan leher
sebelum cedera cervical dapat disingkirkan
Muntahan dan darah dapat menyebabkan sumbatan jalan napas yang
ditandai dengan suara napas tambahan berupa gurgling (kumuran), namun pada
kasus ini tidak ditemukan adanya bunyi gurgling. Apabila ditemukan adanya
gurgling, maka pembebasan jalan napas dapat dilakukan dengan cara suction
dengan menggunakan kanul yang rigid (rigid dental suction tip) untuk menghisap
darah dan muntahan yang berada di rongga mulut. Apabila, perdarahan di
orofaring sulit untuk dihentikan dan tetap menutupi jalan nafas maka perlu
dipersiapkan tindakan needle crycothyroidotomi.
Pada kasus ini pasien dalam keadaan tidak sadar, maka dilakukan usaha
untuk mempertahankan jalan napas dengan cara definitif yakni berupa
pemasangan intubasi endotrakeal. Tujuannya adalah untuk mempertahankan jalan
napas, memberikan ventilasi, oksigenasi, dan mencegah terjadinya aspirasi.
Oksigenasi diberikan sebanyak 10L/menit sambil dilakukan monitoring.
Cedera kepala yang dialami oleh pasien ini masuk dalam klasifikasi cedera
kepala berat. Hal ini dapat dilihat dari nilai pemeriksaan GCS dengan hasil 5.
Pada pemeriksaan juga ditemukan pupil anisokor dan penurunan refleks cahaya.
Pupil anisokor merupakan tanda khas adanya hematom epidural, dan pada kasus
ini diperkuat dengan ditemukannya hematom pada daerah temporobasal frontal
dextra dan fronto basal sinistra. Epidural hematom adalah salah satu jenis
perdarahan intrakranial yang paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak.
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan dura
meter. Epidural hematom merupakan keadaan neurologis yang bersifat emergensi
dan biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang
lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan yang banyak ke dalam ruang
epidural. Venous epidural hematom berhubungan dengan robekan pembuluh vena
dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematom terjadi pada salah satu cabang
arteri meningea media yang terletak di bawah tulang temporal dan akan terjadi
sangat cepat. Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan
18
tekanan pada lobus temporalis otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini
menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran
tentorium. Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan
terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intrakranial yang
besar. Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil. Pasien tidak
mengalami lucid interval karena pada epidural hematoma dengan trauma primer
berat, pasien langsung tidak sadarkan diri.
Pasien diberikan cairan secukupnya yakni RL sebanyak 28 tpm sebagai
resusitasi korban agar tetap normovolemia sekaligus mencegah terjadinya
hipotensi. Selanjutnya diberikan pengobatan seperti Ranitidin untuk mencegah
perdarahan gastrointestinal.
Pada kasus ini, oleh bagian bedah syaraf pasien direncanakan cito untuk
dilakukan kraniotomi, dimana setelah dikraniotomi, pasien segera ditransfer ke
ICU untuk mendapatkan penanganan intensif.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. I.Japardi, Iskandar DR. dr. SpBS. 2004. Cedera Kepala: Memahami Aspek-aspek Penting dalam Pengelolaan Penderita Cedera Kepala. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.
2. Segun T, Dawodu, MD, JD, MBA, LLM, FAAPMR, FAANEM. 2013. Traumatic Brain Injury. Accessed on: http://emedicine.medscape.com/article/326510-overview#showall. Update on 6 Maret 2013
3. Ollerton, Joe, Dr. 2007. Emergency Airway Management CPG in the Trauma Patient. Institute of Trauma & Injury Management. Liverpool Hospital.
5. Rosner, Greg, BS, MFS, NREMT. 2003. The Important of Airway Management and Oxygenation of the Traumatic Brain Injury Patient. Center for Emergency Medicine, JEMS.
6. Rao, Umamaheswara, Dr. Airway Management in Neurosurgical Patients. 2005. In: Indian Journal Anaesthesi 49(4): 336-343.
7. Cranshaw, Julius, MRCP, FRCA, PhD. Nolan, Jerry, FRCA, FCEM. Airway Management after major trauma. 2006. Continuiting Education in Anaesthesia, Critical Care and Pain. Volume 6 Number 3.
8. Aritonang, Sahat. Hubungan Kadar Gula Darah dengan Outcome Cedera Kepala Tertutup Derajat Sedang-Berat dengan gambaran Ct-Scan dalam batas normal. 2007. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro