KATA PENGANTARBioetika adalah ilmu tentang moral,yang merupakan disiplin ilmu tentang baik buruk, ben ar salah suatu sikap perbuat an seorang indivi du ata u ins tansi dari segi mor ali tas. Se ha ru sny a ki ta sebag ai manu si a ya ng be rp er ike ma nu si aa n me ne ga kkan ka ta hati,membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah. Adapun judul makalah Bioetika ini adalah “Wasiat Hidup”,telah disusun semaksimal mungki n, semoga bermanfa at ba gi pe mbac a. Pe nuli s me nyadar i ma kala h ini be lu m sempurna,oleh karena itu penuli s mengharapkan kritik dan saran dari rekan rekan mahasiswa dan bimbingan dari Bapak Dosen demi penyempurnaan makalah ini. Akhirnya kepada Allah SWT kita berserah diri semoga kita semua selalau berada dalam lindungan dan bimbinganNya. Amin. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Pada waktu manusia dilahirkan ke dunia ini telah tumbuh tugas baru dalam
kehidupanya.Dalam arti sosiologis manusia menjadi pengemban hak dan kewajiban,selama
manusia masih hidup di dalam masyarakat,dia mempunyai tempat di dalam masyarakat
disertai dengan hak hak dan kewajiban terhadap orang atau anggota lain dari masyarakat itu
dan terhadap benda benda yang berada dalam masyarakat itu.Manusia dalam perjalanan
hidupnya di dunia ini mengalami tiga peristiwa penting,yaitu:waktu ia dilahirkan,waktu ia
kawin dan waktu ia meninggal dunia
Pada umumnya setiap orang mempunyai hak untuk membuat surat atau akta
wasiat,yang di dalamnya terkandung kemauan terakhir dari pihak yang membuatnya dan hal
ini boleh di cabut kembali selama dia (si pewasiat) masih hidup.
Dasar hukum pelaksanan wasiat dapat dilihat dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah (2)
ayat 180.Artinya:”Diwajibkan atas kamu,apabila seseorang diantara kamu kedatangan(tanda tanda) maut,jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapak dan
karib kerabat secara ma’ruf,(ini adalah) kewajiban atas orang orang yang bertaqwa.”
Jika harta warisan yang ditinggalkan oleh pewasiat jatuh kepada pihak lain yang sama
sekali bukan ahli warisnya,atau permasalahan dari segi jumlah harta yang diwasiatkan ,sering
kali menimbulkan persoalan diantara para ahli waris dengan yang bukan ahli waris,akan tetapi
sesuai surat wasiat,orang yang bukan ahli waris tersbut mendapat harta wasiat.Maka dalam
agama Islam ada hukum wasiat,syarat syarat wasiat,dan cara pelaksanaan wasiat,agar
terhindar dari pertikaian dan dilaksanakan dengan dasar taqwa kepada Allah SWT.
Walaupun wasiat berdasarkan Hukum Islam adalah salah satu tugas pokok atau
wewenang Peradilan Agama (pasal 49 Undang Undang No 3 Tahun 2006),namun diantara
istilah,Sayid Sabiq mengemukakan :Pemberian seseorang kepada orang lain,berupa
benda,uang atau manfaat,agar si penerima memiliki pemberian itu setelah si pewasiat
meninggal.
Satu pendapat mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang disandarkan padasesudah meninggalnya si pewasiat dengan jalan tabarru’ (kebaikan tanpa menuntut imbalan)
Pengertian ini untuk membedakan wasiat dengan hibah.Jika hibah berlaku sejak si pemberi
menyerahkan pemberiannya,dan diterima oleh yang menerimanya,maka wasiat berlaku setelah
si pemberi meninggal.Ini sejalan dengan definisi Fuqaha’Hanafiyah:Wasiat adalah tindakan
seseorang memberikan hak kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik berupa benda atau
manfaat secara sukarela (tabarru’),yang pelaksanaannyanditangguhkan setelah peristiwa
kematian orang yang memberi wasiat.
Fuqaha (ulama fiqih ) Malikiyah,Syafiiyah dan Hanabilah memberi definisi yang lebih
rinci; yaitu “suatu transaksi yang mengharuskan si penerima wasiat berha memiliki 1/3 harta
peninggalan si pemberi setelah meninggal,atau mengharuskan penggantian hak 1/3 harta si
Riwayat Al – Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar ra,: Rasulullah SAW.bersabda: ” Bukanlah
hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkan bermalam (diperlambat)
selama dua malam,kecuali wasiatnya telah dicatat di sisi –Nya.
Riwayat Al- Bukhari dari Sa’ad Ibn Abi Waqqas : Nabi SAW,datang menjengukku ketika di
Mekkah,beliau tampaknya kurang senang meninggal di bumi yang ditinggalkan, dan beliau
bersabda: “ Semoga Allah mengasihimu Ibn Afra’ “. Aku bertanya: “Wahai Rasullah SAW,
aku akan berwasiat dengan seluruh hartaku “. Beliau menjawab :”Jangan”. “Separuh”
,tanyaku. “Jangan “,jawab beliau. Aku bertanya: “Sepertiga”? Kata beliau: “Sepertga,sepertiga
adalah banyak.Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya
(kecukupan) adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan meminta minta
kepada orang lain.Sesungguhnya kamu ketika menginfakkan sesuatu adalah merupakan
sadaqah hingga sesuap nasi yang engkau suapkan kepada mulut isterimu.Dan semoga Allah
akan mengangkatmu.sehingga orang lain dapat memperoleh manfaat dari kamu,sementara
sebagian lain menderita,dan hari itu tidak ada lain kecuali seorang anak perempuan.
Imam Muslim meriwayatkan dalam redaksi yang lebih ringkas,isinya sejalan.Dalam versi lain
lagi,al-Bukhari meriwayatkan Sa’ad Ibn Waqqas berkata: Aku menderita sakit kemudian Nabi
SAW.mengunjungiku dan aku tanyakan: “ Wahai Rasulullah SAW.berdoalah tuan kepadaAllah semoga Dia tidak menolakku “.Beliau bersbda: “Semoga Allah meninggikan
(derajadmu),dan manusia lain akan memperoleh manfaat dari akmu “. Aku bertanya : “Aku
ingin mewasiatkan hartaku separuh,namun akau ada seorang anak perempuan”. Beliau
menjawab: “Separuh itu banyak “. Aku bertanya (lagi): “Sepertiga ?”. Beliau
menjawab :”Sepertiga,sepertiga adalah banyak atau besar “.Beliau bersabda; “Orang orang
berwasiat sepertiga,dan yang demikian itu boleh bagi mereka” (Riwayat Al- Bukhari )
Hadis hadis tersebut bersumber dari sanad yang sama,yaitu Sa’ad Ibn Abi
Waqqas,meskipun dalam redaksi yang berbeda,dengan melihat perawinya imam Bukhari dan
Muslim,cukup kuat dijadikan dasr hukum pelaksanan wasiat.Dengan demikian dapat dipahami
bahwa wasiat itu penting,selain sebagai pelaksanaan ibadah untuk investasi kehidupan
akhirat,ia akan memberi manfaat bagi kepentinan orang lain atau masyarakat pada
umumnya.Meskipun realisasinya dibatasi maksimal 1/3 dari harta si pewasiat.Ini dimaksudkan
agar hak ahli waris tidak terkurangi,sehingga mengakibatkan kehidupan mereka terlantar.
Riwayat Ibn Majah dari Jabir berkata :Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa meningal
dan berwasiat, makamia mati pada jalan dan sunnah,meninggal pada jalan taqwa dan
persaksian,dan juga meninggal dalam keadaan diampuni (dosa- dosanya)”.
3. .Ijma’
Kaum muslimin sepakat ahwa tindakan wasiat merupakan syariat Allah dan Rasul-Nya.Ijma’
demikian didasarkan pada ayat ayat Al Quran dan Al Sunnah seperti dikutip di atas.
C. Hukum Wasiat.
Kompilasi hukum Islam di Indonesia tidak menegaskan status hukum wasiat itu .Para
ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hokum wasiat.Mayoritas Ulama berpendapat
bahwa wasiat tidak fardu ‘ain , baik kepada orang tua atau kerabat yang sudah menerima
warisan.Begitu juga kepada mereka yang karena sesuatu hal tidak mendapat bagian
warisan.Alasannya,pertama,andaikan wasiat itu diwajibkan,niscaya Nabi SAW telah
menjelaskannya.Nabi tidak menjelaskan masalah ini,lagi pula beliau menjelang
meninggal,tidak berwasiat apa-apa .Kedua,para sahabat dalam prakteknya juga tidak melakukan wasiat,namun menurut Sayid Sabiq,para sahabat mewasiatkan sebagian hartanya
untuk taqarrub kepada Allah.Menurut mayoritas Ulama kebiasaan semacam itu dinilai Ijma’
sukuti (consensus secara tidak langsung ) bahwa wasiat bukan fardu ain.Wasiat sebagai
tindakan hokum yang disaksikan dan dibenarkan oleh Nabi SAW,adalh suatu isyarat bahwa
ibadah wasiat dianjurkan dalan ajaran Islam.
Implikasi wasiat yang dipahami mayoritas ulama tersebut adalah,kewajiban wasiat hanya
dipenuhi jika seseorang berwasiat.Tetapi jika tidak berwasiat maka tidak perlu
dipenuhi.Mereka beralasan ,bahwa kewajiban wasiat seperti dalam ayat ,berlaku pada masa
awal Islam.Ketentuan dalam QS al-Baqarah telah dinasakh oleh surat al – Nisa ‘,4:11-12.Oleh
karena itu kedua orang tua dan kerabat,baik yang menerima wasiat atau tidak,telah tertutup
Menurut al-Alusy,penghapusan berlakunya ayat wasiat karena orang yang berwasiat
tidak dapat lagi memperhatikan batas batas yang diperkenankan dalam berwasiat sebagai
diisyaratkan Al Quran dalam kalimat bi al – ma’ruf . Ini dipandang sebagai iktikad yang tidak
baik.Atas dasar itu .Allah mengalihkan wasiat melalui ketentuan surat al-Nisa’ 4:11-
12.Dengan demikian peritah berwasiat kepada keluarga dan kerabat berakhir dan berlakulah
hukum warisan
Abu Dawud,Ibn Hazm dan Ulama Salaf berpendapat bahwa wasiat hukumnya fardu ain
(kewajiban individual).mereka beralasan kepada QS al-Baqarah 2:180 dan al-Nisa 2:11-12,…
sesudah dipenuhi wasiat wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utang-
utangnya….Mereka memahami,bahwa Allah mewajibkan hamba Nya untuk mewariskan
sebagian harta peninggalannya kepada ahli waris yang lain dan mewajibkan wasiat
didahulukan pelaksanaannya daripada pelunasan utang.Adapun maksud”kepada orang tua dan
kerabat “ dipahami,karena mereka mereka tidak menerima wasiat.Jadi merupakan kompromi
dari ayat wasiat dan ayat warisan.Ini sejalan dengan hadis : “ Tidak ada hak menerima wasiat
bagi ahli waris yang menerima warisan kecuali apabila ahli waris lain membolehkan (Riwayat
al Daruqutni )
Ketentuan tersebut kemudian dikembangkan dalam bentuk wasiat wajibah, yang telah
diintrodusir dibeberapa Negara muslim,termasuk Indonesia,meski yang terakhir ini mengalami
perubahan makna dan nuansa,yaitu hanya diberikan kepada anak angkat dan orang tua angkat(Pasal 209 KHI).Dalam hal ini persetujuan ahli waris lain sangat menentukan.Namun
demikian apabila istilah ahli waris yang tidak menerima warisan itu dipahami sebagai zawi’
al-arham yang menurut QS.al - Nisa’ ,4:11-12.tidak berhak menerima warisan,maka tindakan
hokum wasiat dapat dilakukan,tidak perlu menunggu persetujuan ahli waris yang lain.Karena
pada hakekatnya mereka- zawi’ al- arham tersebut- bukan ahli waris meskipun hubungan
kekerabatannya bias sangat dekat seperti cucu perempuan dari garis perempuan.
Pendapat senada dikemukakan oleh Dawud al-Zahiiiry,Ibn Jarir al-Tabary dan sebagian
tabi’in seperti al Dahhaq,Tawus dan al-Hasan,yaitu bahwa wasiat hukumnya wajib.Mereka
beralasan,bahwa ynag dinasakh oleh ahli waris adalah wasiat yang diberikan kepada ibu bapak
dan kerabat yang sudah ditentukan bagiannya.Karena itu mereka yang tidak menerima
Imam Malik mengemukakan pendapat yang lebih realistis,menurut ia,jika si mati tidak
berwasiat,tidak perlu dikeluarkan harta untuk pelaksanan wasiat,tetapi jika si mati berwasiat
maka diambil sepertiga hartanya untuk wasiat.Berbeda dengan al-Syafi’i .Al Syafi’I
mengatakan,meskipun si mati tidak berwasiat sebagian hartanya tetap diambil untuk keperluan
wasiat.
Adalah menarik komentar Mustafa Syalabi.Ia mengatakan kehadiran system wasiat
dalam hokum Islam sangat penting artinya sebagai penangkal kericuhan dalam
keluarga.Karena ada diantara anggota keluarga yang tidak berhak menerima harta peninggalan
dengan jalan warisan.Padahal ia telah cukup berjasa dalam pengadaan harta itu.Atau seorang
cucu miskin terhalang oleh pamannya yang kaya,atau karena berbeda agama dan
sebagainya,maka dengan system wasiat yang diatur dalam hukum islam kekecewaan itu dapat
diatasi.
Pemahaman tentang status hokum wasiat ini ternyata mengalami perkembangan.Abd al
Rahman al-jaziry mengembangkan bahwa hokum wasiat dapat dilihat dari berbagai sudut
pandang.
Fuqaha’Hanafiyah mengemukakan bahwa dilihat dari segi orang yang berwasiat
terdapat empat hokum;yaitu wajib,sunat,mubah dan makruh.
Fuqaha Syafiiyah membagi hokum wasiat kepada lima ;wajib,haram jika warisan itu
diberikan kepada orang yang berbuat kerusakan,makruh jika wasiat lebih dari sepertiga,ataudiberikan kepada orang yang telah menerima warisan,sunnah karena wasiat diberikan kepada
ahli waris yang tidak menerima bagian warisan,atau kepada fskir miskin,dan mubah seperti
wasiat kepada orang kaya.
Fuqaha’ Hanabilah,juga membagi hukum wasiat menjadi lima,demikian fuqaha’
Malikiyah.
D . Syarat syarat dan Rukun wasiat
Secara garis besar syarat syarat wasiat adalah mengikuti rukun rukunnya.Dalam hal ini
para ulama berbeda pendapat dalam memberi uraian tentang rukun dan syarat wasiat.Sayid
Syabiq misalnya,menyebut rukun wasiat hanya satu,yaitu penyerahan dari orang yang
berwasiat.Agaknya ia melihat wasiat sebagai tindakan hokum yang bisa sah dan berlaku
atau tidak mempunyai hak kepemilikan karena masih menjadi tanggungan orang tua,kecuali
apabila sudah dikawinkan.
2).Orang yang menerima wasiat
Para Ulama sepakat bahwa orang-orang atau badan yang menerima wasiat aalah bukan
ahli waris,dan secara hokum dapat dipandang sebagai cakap untuk memiliki sesuatu hak atau
benda,ini sejalan dengan Kompilasi pasal 171 huruf f, pasal 191 ayat (1) di atas
Riwayat dari Abu Umamah berkata bahwa ia mendengar Rasulullah SAW.bersabda
dalam khutbah Haji tahun wada’:”Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada orang yang
mempunyai hak akan hak-haknya,maka tidak sah wasiat kepada ahli waris “.
Hadis tersebut oleh sebagian ulama dinilai bertentangan dengan ayat yang menjelaskan
bahwa wasiat adalah untuk kedua orang tua dan kerabat.Mayoritas ulama berpendapat bahwa
wasiat kepada kerabat yang bukan ahli waris boleh dilaksanakan tapi makruh.Sementara al-
Hasan,Tawus,dan Ishaq menyatakan “Wasiat kepada kerabat ditolak dengan menunjuk ayat di
atas”.Mereka mengemukakan hadis riwayat dari Imran Ibn Husain:Seorang laki-laki
memerdekakan enam orang hamba sahaya miliknya dalam keadaan sakit menjelang
meninggal,karena ia tidak memilikiharta selain mereka,setelah itu ia membebaskan dua orang
dan menetapkan sebagai hamba empat orang.
Persoalannya adalah,bagaimana sekiranya wassiat diberikan kepada kerabat yangmenerima warisan dan ahli waris lainnya menyetujui.Dalam kaitan ini,Ibn Hazm dan Fuqaha’
malikiyah yang masyihur,tidak membolehkannya secara mutlak.Alasanya Allah telah
menghapus wasiat melalui ayat waris,begitu juga hadis.
Fuqaha’Syiah Ja’fariyah menyatakan bahwa wasiat kepada ahli waris yang menerima
warisan adalah boleh,kendatipun ahli waris lainnya tidak menyetujuinya.Dasar petunjuk
umum ( dalalah al –am ) QS.al –Baqarah,2:180.
Pendapat yang membolehkan wasiat kepada ahli waris dengan syarat apabila ahli waris
lain menyetujui adalah mazhab Syafi’iyah,Hanafiyah dan Malikiyah.Dasarnya:”Tidak sah
wasiat kepada ahli waris,kecuali apabila ahli waris lain membolehkannya” (HR al Daruqutny)
Kompilasi pasal 195 mengemukakan masalah ini,yang juga mengatur teknis pelaksanan
Sayid sabiq mengemukakan syarat orang yang menerima wasiat ada tiga ,pertama tidak
ahli waris si pewasiat,kedua,sipenerima wasiat hadir pada waktu wasiat dilakukan,dan
ketiga,si penerima tidak melakukan pembunuhan yang di haramkan si pewasiat.
Kompilasi kemudian menjelaskan bahwa dalam berwasiat hendaknya orang yang
menerima ditunjuk secara tegas.Pasl 196 berbunyi : Dalam wasiat baik secara tertulis atau
lisan harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan
menerima harta benda yang diwasiatkan.
3). Benda yang diwasiatkan
Pada dasarnya benda yang diwasiatkan adalah benda benda atau manfaat yang dapat
digunakan bagi kepentingan manusia secara positif.Para ulama sepakat dalam masalah
tersebut.Namun mereka berbeda dalam wasiat yang berupa manfaat suatu benda,sementara
bendanya itu sendiri milik pemiliknya atau keluarganya.Fuqaha’Amsar
membolehkan,sementara Ibn Laila dan Ibn Syubramah serta Ahl Zahir membatalkan wasiat
yang hanya berupa manfaat suatu benda.
Sayid Sabiq menegaskan bahwa wasiat dengan segala benda atau manfaat,seperti buah
dari satu pohon,atau anak dari satu hewan,adalah sah,Yang penting kata Sabiq adalah benda
atau manfaaf itu dapat diserahkan kepada si penerima wasiat sepeninggal si pewasiat..Ini
sepakat dengan pendapat Jumhur (Mayoritas Ulama).Menurut mereka,manfaat dapatdikategorikan sebagai benda (amwal ),karena itu wasiat berupa manfaat saja hukumnya
boleh.Pasal 198 Kompilasi menyebutkan :”Wasiat yangberupa hasil dari satu benda ataupun
pemanfaatan suatu benda harus diberikan jangka waktu tertentu”.Pembatasan yang dimaksud
kompilasi ini,kelihatannya untuk memudahkan tertib administrasi,karena melihat substansi
wasiat sesungguhnya adalah untuk waktu selama-lamanya,karena ia termasuk jenis sadaqah
jariah.
Selanjutnya pasal 200 Kompilasi memberi penjelasan;Harta wasiat yang berupa barang
tak bergerak bila karena suatu sebab yang sah mengalami penyusutan ,atau kerusakan yang
terjadi sebelum pewasiat meninggal dunia,maka penerima wasiat hanya akan menerima harta
yang tersisa.
Wasiat hanya dapat dilaksanakan 1/3 dari seluruh harta si pewasiat.Tidak boleh lebih,ini
merupakan konsensus ulama.Kompilasi merumiskan dalam pasal 201 : Apabila wasiat
melebihi sepertiga dari harta warisan,sedang ahli waris yang ada tidak menyetujuinya maka
wasiat hanya dilaksanakan sampai batas sepertiga harta warisan.
Pasal 202 berbunyi : Apabila wasiat ditujukan untuk berbagai kegiatan
kebaikan,sedangkan harta wasiat tidak mencukupi maka ahli waris dapat menentukan kegiatan
mana yang di dahulukan pelaksanaannya.
Penegasan pasal 201 Kompilasi mengacu kepada suatu hadis riwayat dari Sa’ad Ibn Abi
Waqqas seperti telah dikutib di depan.Pendapat lain menyatakan bahwa batas maksimal wasiat
adalah kurang dari 1/3.Ini dipahami dari pernyataan Rasulullah,bahwa 1/3 itu besar atau
banyak.Demikian pendapat Ulama Salaf’Qatadah mengatakan Abu Bakar berwasiat dengan
1/5 hartanya,Umar dengan ¼ hartanya.Ibn Rusyid memandang,wasiat dengan 1/5 harta adalah
lebih baik.
Yang popular adalah pendapat seperti dituangkan dalam kompilasi yang menyatakan
maksimal wasiat adalah 1/3.Dikuatkan lagi oleh Sabda Nabi SAW. “Sesungguhnya Allah
menjadikan wasiat pada kamu sekalian sepertiga harta kalian sebagai tambahan amalan
kalian”
Bagaimana cara perhitungannya?.Mayoritas Ulama menyatakan bahwa sepertiga
dihitung dari seluruh harta yang ditinggalkan si mati.Imam Malik merinci ,merinci batas harta
yang dimilikinya.Sementara Umar Ibn Abd al Aziz menegaskan,1/3 harta dihitung dari
seluruh harta peninggalan sejak wasiat dilakukan.Abu Hanifah, Ahmad dan Syafi’I dalamsatu pendapatnya,1/3 tersebut dihitung saat meninggalnya si pewasiat.
Meskipun kompilasi ini tidak menegaskan masa perhitungan dari semua peninggalan
pada saat kematian si pewasiat.Penegasan ini penting ,sebab tidak jarang terjadi wasiat
dilakukan jauh-jauh hari sebelim meniggal,sehingga terjadi pengurangan atau penambahan
barang barang yang menjadi miliknya saat pewasiat meninggal.
Ulama yang memperbolehakan wasiat lebih dari 1/3 jika ahli waris
menyetujuinya,mengemukakan dua syarat. Pertama,persetujuan diberikan setelahkematian
pewasiat.karena hak kepemilikan si penerima wasiat baru berlaku setelah pewasiat
meninggal.Kedua,si penerima wasiat waktu penyerahan telah memiliki kecakapan tidak
terhalang karena safih.
Uraian diatas menunjukkan bahwa mayoritas pendapat menyatakan bahwa wasiat paling
Ibn Rusyd mengatakan bahwa wasiat dapat dilaksanakan menggunakan redaksi (shighat)
yang jelas atau sahih dengan kata wasiat,dan bias juga dilakukan dengankata-kata samaran
( gairu sarih). Ini dapat ditempuh karena wasiat berbeda dengan hibah.Wasiat bisa dilakukan
dengan tertulis,dan tidak memerlukan jawaban ( qabul ) penerimaan secara
langsung.Sementara hibah memerlukan adanya jawaban penerimaan dalam satu majelis.Dalam
konteks kehidupan sekarang ini,cara-cara tersebut diatas,tentu akan mengurangi kepastian
hukumnya untuk mengatakan tidak ada.Untuk itu perlu diatur agar dapat dibuktikan secara
otentik wasiat tersebut,yaitu dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi,atau tertulis
dihadapan dua orang saksi ,atau dihadapan notaries (pasl 195 (1).Dalam pasal 203 ayat (1)
ditambahkan “ Apabila surat wasiat dalam keadaan tertutup ,maka penyimpanan ditempat
notaries yang membuatnya atau ditempat lain,termasuk surat –surat yang berhubungan.
Para ulama berbeda berpendapat tentang apakah penerimaan orang yang menerima
wasiat merupakan syarat sahnya atau tidak?.Imam Malik berpendapat bahwa penerimaan
wasiat atau qabul merupakan syarat sah.Agaknya Malik menganalogikan wasiat dengan
hibah.Berbeda dengan imam Syafi’i.Menurut Syafi’I,Kabul orang yang menerima wasiat tidak
merupakan syarat sah.
Abu Hanafiah dengan kedua muridnya,Abu Yusuf dan Hasan al Syaiyibany memandang
bahwa qabul dalam wasiat harus ada.Alasannya karena wasiat adalah tindakanikhtiyariyah,dan karena itu pernyatan menerima penting adanya,seperti juga transaksi yang
lain.
Seperti maksud pasal 195 (1) wasiat perlu bibuktikan secara otentik,Karena wasiat
merupakan tindakan hokum yang membawa implikasi adanya perpindahan hak dari seorang
kepada orang lain.Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi hal hal negative yang tidak di
inginkan oleh pewasiat maupun penerima (QS al-Maidah,5 : 106 )
Adapun upaya penyaksian wasiat baik melalui saksi biasa atau notaries sebagai pejabat
resmi ,dimaksudkan agar realisasi wasiat setelah pewasiat meningal dapat berjalan lancar.Ini
penting karena misi wasiat sangat positif ,twrlebih lagi jika penerima wasiat adalh lembaga
social keagamaan atau kemasyarakatan.Oleh karena itu kompilasi menjelaskan secara rinci
tentang ketentuan-ketentuan seperti orang atau badan yang tidak berhak menerima,pembatalan
wasiat dan pencabutan wasiat,seperti akan dijelaskan kemudian.
Pertama: yang wajib menerima wasiat,bukan waris.Kalau dia berhak menerima pusaka
walaupun sedikit.tidaklah wajib dibuat wasiat untuknya.
Maka jikalau seorang meninggal dengan meninggalkan: ibu,dua anak perempuan,dua
anak perempuan dari anak laki-laki,dua anak lelaki dari anak lelaki dan seorang saudara laki-
laki sekandung,maka tidak ada wasiat untuk anak-anak dari anak lelaki,karena mereka
menerima 1/6 harta.Andaikata tidak ada dua anak lelaki dari anak laki-laki,tentulah dua anak
perempuan dari anak lelaki,tidak mendapat pusaka dan wajiblah untuknya wasiat wajibah
dengan jumlah 1/3 hatra peninggalan,lalu masing-masingnya menerima 1/6 dari harta
peninggalan.
Kedua :orang yang meninggal,baik kakek maupun nenek belum memberikan kepada
anak yang wajib dibuat wasiat,jumlah yang diwasiatkan dengan jalan yang lain,seperti hibah
umpamanya.
Dan jika dia telah memberikan kurang daripada jumlah wasiat wajibah,maka wajiblah
disempurnakan wasiat itu.
Dalam menguraiakn masalah-masalah pusaka yang ada padanyawasiat ikhtiariyah,ialah
apabila wasiat itu berlaku tanpa perlu kepada persetujuan seseorang.,Karena wasiat itu dalam
batas sepertiga harta dan tidak ada pula wasiat wajibah,baik wasiat ikhtiariyah itu sejumlah
yang tertentu atau sejumlah yang biasa dilakukan,yaitu seperti seperempat ,dan tidak puladikadarkan dengan bagian salah seorang waris,maka wasiat itu diambil dari harta peninggalan
setelah menyelesaikan utang-utang jika ada.
Kemudian dibagiakan sisa harta peninggalan kepada para waris. Jikalau seorang wanita
meninggal dengan meninggalkan: suami, ibu, anak lelaki dan saudara perempuan sekandung
yang diwasiatkan untuknya sepertiga harta, sedang harta peninggalan ada seratus delapan
puluh hektar tanah maka lebih dahulu kita ambil atau kita keluarkan juml;ah yang diwasiatkan
itu, yaitu 60 hektar, kita berikan kepada saudara perempuan sekandung dan sisanya yaitu 120
hektar diberikan kepada para waris menurut ketentuan0ketentuan syara.
Suami menerima 30 hektar, ibu menerima 20 hektar dan anak lelaki menerima 70 hektar.
Apabila wasiat itu lebih dari sepertiga harta maka wasiat itu hanya berlaku sejumlah
sepertiga harta tanpa perlu persetujuan seseorang, sedang yang lebih sepertiga harta,