BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit TB Paru merupakan penyakit menular yang menyebabkan kematian dan merupakan penyebab kematian ketiga di indonesia (Depkes RI, 2005). Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan bahwa penyakit TB Paru merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada semua kelompok usia. Bahkan peringkat pertama penyebab kematian kematian penyakit menular, jumlah pasiennya sekitar 500.000 orang/tahun, dengan kematian sebesar 175.000/tahun, khususnya didaerah pedesaan miskin dan daerah kumuh perkotaan yang rawan kuman (Famy, 2009). Hasil penelitian yang dilakukan di 15 propinsi di Indonesia menunjukkan angka rata-rata kesakitan sebesar 2,55 permil bagi seluruh Indonesia, dengan angka tertinggi di Sumatera Utara sebesar 4,4 permil, Sulawesi Selatan 4,7 permil dan 0,8 permil di Bali sebagai angka terendah, sedangkan angka kematian antara tahun 1980 sampai dengan 1986 bergeser dari 5,3% menjadi 5,1% (Famy, 2009). Kusnindar (1990) menjelaskan hasil survei rumah tangga pada tujuh propinsi, bahwa secara keseluruhan penyakit TB Paru merupakan 5,1% dari semua kejadian penyakit dan pola penyakit TB Paru menunjukkan paling besar pada umur antara 15 sampai 54 tahun. Sekitar World Health Organization (WHO) 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit TB Paru merupakan penyakit menular yang menyebabkan kematian dan
merupakan penyebab kematian ketiga di indonesia (Depkes RI, 2005). Hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan bahwa penyakit TB Paru
merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran
pernapasan pada semua kelompok usia. Bahkan peringkat pertama penyebab kematian
kematian penyakit menular, jumlah pasiennya sekitar 500.000 orang/tahun, dengan kematian
sebesar 175.000/tahun, khususnya didaerah pedesaan miskin dan daerah kumuh perkotaan
yang rawan kuman (Famy, 2009).
Hasil penelitian yang dilakukan di 15 propinsi di Indonesia menunjukkan angka rata-rata
kesakitan sebesar 2,55 permil bagi seluruh Indonesia, dengan angka tertinggi di Sumatera
Utara sebesar 4,4 permil, Sulawesi Selatan 4,7 permil dan 0,8 permil di Bali sebagai angka
terendah, sedangkan angka kematian antara tahun 1980 sampai dengan 1986 bergeser dari
5,3% menjadi 5,1% (Famy, 2009).
Kusnindar (1990) menjelaskan hasil survei rumah tangga pada tujuh propinsi, bahwa secara
keseluruhan penyakit TB Paru merupakan 5,1% dari semua kejadian penyakit dan pola
penyakit TB Paru menunjukkan paling besar pada umur antara 15 sampai 54 tahun. Sekitar
World Health Organization (WHO)
B. Tujuan.
1. Untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang TB Paru.
2. Untuk menjelaskan gejala-gejala dan orang-orang yang berisiko menderita TB Paru.
3. Menjelaskan cara perawatan, pengobatan, dan pencegahan TB Paru.
4. Menjelasakan permasalahan yang ada di masyarakat akibat TB Paru.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
TBC adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Basil Mycobacterium
Tuberculosis atau basil tuberkel yang tahan asam. Penularannya melalui udara apabila orang
yang menderita TBC dalam paru-paru atau tenggorokan batuk, bersin atau berbicara sehingga
kuman/basil dilepaskan ke udara. Kuman/basil dapat bertahan beberapa jam dalam suhu
kamar/lingkungan rumah, maka jika ada orang disekitar penderita maka kuman/basil akan
mudah menular ke semua orang disekitarnya/yang kontak dengan penderita. Kebanyakan
orang mendapat/tertular kuman TBC adalah orang yang sering berada di dekat penderita,
seperti anggota keluarga, teman atau rekan kerja. Karena orang yang terdekat dan paling
sering kontak/berkomunikasi dengan penderita adalah keluarganya, maka orang mengetahui
dan menduga penyakit TBC adalah penyakit keturunan dan sulit untuk disembuhkan.
Sehingga perlu adanya pemahaman dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh penderita dan
keluarga untuk mencegah penularan/penyebaran penyakit.
Meskipun penderita tinggal di lingkungan yang kurang sehat dan kondisi sosial
ekonomi yang kurang mendukung diharapkan penderita dan orang-orang yang ada
disekitarnya/keluarga melaksanakan perilaku hidup sehat/tindakan-tindakan pencegahan
dengan benar sesuai anjuran/arahan petugas puskesmas dalam upaya menekan semakin
meningkatnya angka kesakitan dan kematian yang disebabkan TBC Paru di masyarakat.
Misalnya dengan cara penemuan kasus secara dini dengan mengenal tanda dan gejala TBC,
minum obat secara teratur, menutup mulut waktu bersin/batuk, tidak meludah disembarang
tempat, menjemur tempat tidur penderita, meningkatkan ventilasi dan pencahayaan rumah
penderita (membuka pintu dan jendela terutama saat pagi, pemasangan genteng kaca karena
kuman TBC akan mati jika terpapar sinar matahari/sinar ultra violet) dan memisahkan alat-
alat yang telah digunakan penderita karena kemungkinan sudah terkena basil TBC yang dapat
menular pada orang lain, serta menerapkan pola hidup sehat dalam masyarakat dengan
mengkonsumsi makanan bergizi.
Riskesda (2008:105) prevalensi TB paru cenderung meningkat sesuai bertambahnya
usia dan prevalensi tertinggi pada usia lebih dari 65 tahun. Prevalensi TB Paru 20% lebih
tinggi pada laki-laki dibanding perempuan dan tiga kali lebih di pedesaan dibandingkan
2
perkotaan dan empat kali lebih tinggi pada pendidikan rendah dibandingkan di pendidikan
tinggi. Dalam Gerdunas-TBC, (2002c: 3) Penularan TBC akan lebih mudah terjadi jika
terdapat dalam situasi hunian padat (overcrowding) , sosial ekonomi yang tidak
menguntungkan (social deprivation), lingkungan pekerjaan dan perilaku hidup tidak sehat
dalam masyarakat. Depkes RI, (2008: 5). Yang beresiko tertular TBC Paru diantaranya
orang-orang yang kontak fisik secara dekat dengan penderita, orang-orang tua, anak-anak,
orang-orang bertaraf hidup rendah dan memiliki akses rendah terhadap fasilitas kesehatan
serta orang-orang yang sedang sakit dan turun daya tahan kekebalan tubuhnya. Faktor yang
mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB adalah daya tahan tubuh yang
rendah diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS. Resiko penularan setiap tahun di
Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi ( Annual Risk of Tuberculosis Infection =
ARTI ) antara 1-3% dan 50 persennya dengan BTA positif.
Adanya kontak dengan BTA positif dapat menjadi sumber penularan yang berbahaya
karena berdasarkan penelitian akan menularkan sekitar 65% orang di sekitarnya (Depkes
IDAI, 2008: 12). Kasus seperti ini sangat infeksius dan dapat menularkan penyakit melalui
batuk, bersin dan percakapan, juga peralatan yang terkontaminasi kuman TBC. Semakin
sering dan lama kontak, makin besar pula kemungkinan terjadi penularan. Sumber penularan
bagi bayi dan anak yang disebut kontak erat, adalah orangtuanya, orang serumah atau orang
yang sering berkunjung. Bakteri ini sangat lambat pertumbuhannya, mereka memecah diri
setiap 16-20 jam. Matinya juga sangat lambat, perlu waktu sedikitnya 6 bulan bagi obat-
obatan yang ada untuk membunuh seluruh bakteri. Dengan pengobatan TBC yang lama dan
perlu adanya ketelatenan dari penderita untuk tetap teratur mengkonsumsi obat yang
diberikan (Obat Anti Tuberkulosis/OAT). Kuman TBC hanya dapat dibasmi dengan obat-
obatan (program DOTS yang memerlukan Pengawas Minum Obat/PMO untuk
mengawasi/mengingatkan penderita minum obat) yang disertai makan makanan bergizi serta
pola hidup sehat. Sehingga selama terapi perlu adanya pemahaman bahwa masih ada
kemungkinan terjadi penularan pada orang disekitarnya/khususnya keluarga jika tidak
dilakukan tindakan pencegahan penularannya baik oleh penderita maupun orang disekitarnya
khususnya keluarga untuk mendukung terlaksananya program terapi. Depkes (2008: 3)
Sekitar 75% Pasien TB adalah kelompok usia paling produktif secara ekonomis (15-50
tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3-
4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar
20-30%. Jika dia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatan sekitar 15 tahun.
3
Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial
stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Depkes (2008: v) Kerugian yang diakibatkan
sangat besar, bukan hanya aspek kesehatan semata tetapi juga dari aspek sosial maupun
ekonomi. Dengan demikian TB merupakan ancaman terhadap cita-cita pembangunan
meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Karenanya perang terhadap TB
berarti pula perang terhadap kemiskinan, ketidakproduktifan dan kelemahan akibat TB.
Pada tahun 1992 WHO telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency.
Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada
tahun 2002, sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut
regional WHO jumlah terbesar kasus ini terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh
kasus di dunia.
Indonesia berada dalam peringkat ketiga terburuk di dunia untuk jumlah penderita
TB. Setiap tahun muncul 500 ribu kasus baru dan lebih dari 140 ribu lainnya meninggal.
Seratus tahun yang lalu, satu dari lima kematian di Amerika Serikat disebabkan oleh
tuberkulosis.
Tuberkulosis masih merupakan penyakit infeksi saluran napas yang tersering di
Indonesia. Keterlambatan dalam menegakkan diagnosa dan ketidakpatuhan dalam menjalani
pengobatan mempunyai dampak yang besar karena pasien Tuberkulosis akan menularkan
penyakitnya pada lingkungan,sehingga jumlah penderita semakin bertambah.
Pengobatan Tuberkulosis berlangsung cukup lama yaitu setidaknya 6 bulan
pengobatan dan selanjutnya dievaluasi oleh dokter apakah perlu dilanjutkan atau berhenti,
karena pengobatan yang cukup lama seringkali membuat pasien putus berobat atau
menjalankan pengobatan secara tidak teratur, kedua hal ini ini fatal akibatnya yaitu
pengobatan tidak berhasil dan kuman menjadi kebal disebut MDR ( multi drugs resistance ),
kasus ini memerlukan biaya berlipat dan lebih sulit dalam pengobatannya sehingga
diharapkan pasien disiplin dalam berobat setiap waktu demi pengentasan tuberkulosis di
Indonesia.
Tanggal 24 Maret diperingati dunia sebagai "Hari TBC" oleh sebab pada 24 Maret
1882 di Berlin, Jerman, Robert Koch mempresentasikan hasil studi mengenai penyebab