Perpus Farmasi
BAB I PENDAHULUAN
Dalam sejarah perkembangan skizofrenia sebagai gangguan klinis,
banyak tokoh psikiatri dan neurologi yang berperan. Mula-mula Emil
Kreaplin menyebutkan gangguan dengan istilah dementia prekok yaitu
suatu istilah yang menekankan proses kognitif yang berbeda dan
onset pada masa awal. Istilah skizofrenia itu sendiri diperkenalkan
oleh Eugen Bleuler (1857-1939), untuk menggambarkan munculnya
perpecahan antara pikiran, emosi dan perilaku pada pasien yang
mengalami gangguan ini. Bleuler mengindentifikasi symptom dasar
dari skizofrenia yang dikenal dengan 4A antara lain: asosiasi,
afek, autisme dan ambivalensi. Skizofrenia merupakan gangguan
psikotik yang paling sering, hampir 1% penduduk dunia menderita
psikotik selama hidup mereka di Amerika. Skizofrenia lebih sering
terjadi pada Negara industri terdapat lebih banyak populasi urban
dan pada kelompok sosial ekonomi rendah. Walaupun insidennya hanya
1 per 1000 orang di Amerika Serikat, skizofrenia seringkali
ditemukan di gawat darurat karena beratnya gejala, ketidakmampuan
untuk merawat diri, hilangnya tilikan dan pemburukan sosial yang
bertahap. Kedatangan diruang gawat darurat atau tempat praktek
disebabkan oleh halusinasi yamg menimbulkan ketegangan yang mungkin
dapat mengancam jiwa baik dirinya maupun orang lain, perilaku
kacau, inkoherensi, agitasi dan penelantaran
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia berasal dari kata Yunani yang bermakna schizo
artinya terbagi, terpecah dan phrenia artinya pikiran. Jadi
pikirannya terbagi atau terpecah (Rudyanto, 2007). Skizofrenia
berasal dari kata mula-mula digunakan oleh Eugene Bleuler, seorang
psikiater berkebangsaaan Swiss. Bleuler mengemukakan manifestasi
primer skizofrenia ialah gangguan pikiran, emosi menumpul dan
terganggu. Ia menganggap bahwa gangguan pikiran dan menumpulnya
emosi sebagai gejala utama daripada skizofrenia dan adanya
halusinasi atau delusi (waham) merupakan gejala sekunder atau
tambahan terhadap ini (Lumbantobing, 2007).
Skizofrenia dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom dengan
variasi penyebab (banyak yang belum diketahui), dan perjalanan
penyakit (tak selalu bersifat kronis) yang luas, serta sejumlah
akibat yang tergantung pada pengaruh genetik, fisik, dan sosial
budaya (Kaplan and Sadock, 2010).
2.2 Etiologi Skizofrenia
Skizofrenia dapat dianggap sebagai gangguan yang penyebabnya
multipel yang saling berinteraksi. Skizofrenia merupakan integrasi
faktor biologis, faktor psikososial, faktor lingkungan. Model ini
mendalilkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan
spesifik (diatessis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh
lingkungan yang menimbulkan stress, memungkinkan perkembangan
skizofrenia. Komponen lingkungan mungkin biologikal (seperti
infeksi) atau psikologis (missal kematian orang terdekat).
Sedangkan dasar biologikal dari diatesis selanjutnya dapat
terbentuk oleh pengaruh epigenetik seperti penyalahgunaan obat,
stress psikososial dan trauma. Kerentanan yang dimaksud disini
haruslah jelas, sehingga dapat menerangkan mengapa orang tersebut
dapat menjadi skizofren. Semakin besar kerentanan seseorang maka
stressor kecilpun dapat menyebabkan menjadi skizofren. Semakin
kecil kerentanan maka butuh stressor yang besar untuk membuatnya
menjadi penderita skizofren. Sehingga secara teoritis seseorang
tanpa diathese tidak akan berkembang menjadi skizofren, walau
sebesar apapun stressornya. Diantara faktor multipel itu dapat
disebut :
a. Keturunan
Penelitian pada keluarga penderita skizofrenia terutama anak
kembar satu telur angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9%-1,8%, bagi
saudara kandung 7-15%, anak dengan salah satu menderita skizofrenia
7-16%. Apabila kedua orang tua menderita skizofrenia 40-60% kembar
dua telur 2-15%. Kembar satu telur 61-68%. Menurut hukum
Mendelskizofrenia diturunkan melalui genetik yang resesif
(Lumbantobing, 2007).
b. Gangguan anatomic
Dicurigai ada beberapa bangunan anatomi di otak berperan yaitu :
lobus temporal, system limbik dan reticular activating system.
Ventrikel penderita skizofrenia lebih besar daripada kontrol.
Pemeriksaan MRI menunjukan hilangnya atau berkurangnya neuron
dilobus temporal. Didapatkan menurunnya aliran darah dan
metabolisme glukosa di lobus frontal. Pada pemeriksaan postmortem
didapatkan banyak reseptor D2 diganglia basal dan sistem limbik,
yang dapat mengakibatkan meningkatnya aktivitas DA sentral
(Lumbantobing, 2007).
c. Biokimiawi
Saat ini didapat hipotese yang mengemukan adanya peranan
dopamine, kateklolamin, norepinefrin dan GABA pada skizofrenia
(Lumbantobing, 2007).
d. Faktor Neurobiologi Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien
skizofrenia ditemukan adanya kerusakan pada bagian otak tertentu.
Namun sampai kini belum diketahui bagaimana hubungan antara
kerusakan pada bagian otak tertentu ddengan munculnya simptom
skizofrenia.
Terdapat beberapa area tertentu dalam otak yang berperan dalam
membuat seseorang menjadi patologis, yaitu sitem limbik, korteks
frontal, cerebellum dan ganglia basalis. Keempat area tersebut
saling berhubungan, sehingga disfungsi pada satu area mungkin
melibatkan proses patologis primer pada area yang lain. Dua hal
yang menjadi sasaran penelitian adalah waktu dimana kerusakan
neuropatologis muncul pada otak, dan interaksi antara kerusakan
tersebut dengan stressor lingkungan dan sosial.
e. Hipotesa Dopamin Menurut hipotesa ini, skizofrenia terjadi
akibat dari peningkatan aktivitas neurotransmitter dopaminergik.
Peningkatan ini mungkin merupakan akibat dari meningkatnya
pelepasan dopamine, terlalu banyaknya reseptor dopamine, turunnya
nilai ambang, atau hipersentivitas reseptor dopamine, atau
kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Munculnya hipotesa ini
berdasarkan observasi bahwa ada korelasi antara efektivitas dan
potensi suatu obat antipsikotik dengan kemampuannya bertindak
sebagai antagonis reseptor dopamine. Obat yang meningkatkan
aktivitas dopaminergik, seperti amphetamine dapat menimbulkan
gejala psikotik2.3 Gejala
Gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi 2 kelompok gejala
positif dan gejala negatif.
a. Gejala Negatif
Pada gejala negatif terjadi penurunan, pengurangan proses mental
atau proses perilaku (behavior). Hal ini dapat menganggu bagi
pasien dan orang disekitarnya.
1) Gangguan afek dan emosi
Gangguan dan emosi pada skizofrenia berupa adanya kedangkalan
afek dan emosi (emotional blunting), misalnya: pasien menjadi acuh
tak acuh terhadap hal-hal yang penting untuk dirinya sendiri
seperti keadaan keluarga dan masa depannya serta perasaan halus
sudah hilang, hilangnya kemampuan untuk mengadakan hubungan emosi
yang baik (emotional rapport), terpecah belahnya kepribadian maka
hal-hal yang berlawanan mungkin terdapat bersama-sama, umpamanya
mencintai dan membenci satu orang yang sama atau menangis, dan
tertawa tentang suatu hal yang sama (ambivalensi) (Lumbantobing,
2007).
2) Alogia
Penderita sedikit saja berbicara dan jarang memulai percakapan
dan pembicaraan. Kadang isi pembicaraan sedikit saja maknanya. Ada
pula pasien yang mulai berbicara yang bermakna, namun tiba-tiba ia
berhenti bicara, dan baru bicara lagi setelah tertunda beberapa
waku (Lumbantobing, 2007).
3) Avolisi
Ini merupakan keadaan dimaa pasien hampir tidak bergerak,
gerakannya miskin. Kalau dibiarkan akan duduk seorang diri, tidak
bicara, tidak ikut beraktivitas jasmani (Lumbantobing, 2007).
4) AnhedoniaTidak mampu menikmati kesenangan, dan menghindari
pertemanan dengan orang lain (Asociality) pasien tidak mempunyai
perhatian, minat pada rekreasi. Pasien yang sosial tidak mempunyai
teman sama sekali, namun ia tidak memperdulikannya (Lumbantobing,
2007).5) Gejala PsikomotorAdanya gejala katatonik atau gangguan
perbuatan dan sering mencerminkan gangguan kemauan. Bila gangguan
hanya kemauan saja maka dapat dilihat adanya gerakan yang agak
kaku, stupor dimana pasien tidak menunjukkan pergerakan sam sekali
dan dapat berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan dan kadang
bertahun-tahun lamanya pada pasien yang sudah menahun, hiperkinese
dimana pasien terus bergerak saja dan sangat gelisah (Kaplan and
Sadock, 2010).
b. Gejala Positif
Gejala positif dialami sensasi oleh pasien, padahal tidak ada
yang merangsang atau mengkreasi sensasi tersebut. Dapat timbul
pikiran yang tidak dapat dikontrol pasien.
1) Delusi (Waham)
Merupakan gejala skizofreniadimana adanya suatu keyakinan yang
salah pada pasien. Pada skizofrenia waham sering tidak logis sama
sekali tetapi pasien tidak menginsyafi hal ini dan dianggap
merupakan fakta yang tidak dapat dirubah oleh siapapun.Waham yang
sering muncul pada pasien skizofrenia adalah waham kebesaran,waham
kejaran,waham sindiran, waham dosa dan sebagainya (Kaplan and
Sadock, 2010).
2) Halusinasi
Halusinasi adalah persepsi sensoris yang palsu yang tidak
desertai dengan stimuli eksternal yang nyata, mungkin terdapat atau
tidak terdapat interprestasi waham tentang pengalaman halusinasi
(Kaplan and Sadock, 2010). Etiologi penyebab halusinasi
dikelompokkan menjadi:
a. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada respon
munculnya neurobiology seperti halusinasi (Stuart, 2007).
1) Biologis
Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak
yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah
frontal, temporal berhubungan dengan perilaku psikotik (Stuart,
2007).
a) Beberapa zat kimia diotak seperti dopamin neurotransmitter
yang berlebih dan masalah-masalah pada system reseptor dopamin
dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia (Stuart, 2007).
b) Pembesaraan ventikel dan penurunan massa kortikal menunjukan
terjadi atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak
klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral
ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil
(cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh
otopsi (Post-Mortem) (Stuart, 2007).
2) Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi
respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan
yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah
penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien
misalnya anak diperlakukan oleh ibu yang pencemas, terlalu
melindungi, dingin dan tidak berperasaan, sementara yang mengambil
jarak dengannya.
3) Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita
seperti kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan,
bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress
sehingga tidak menutup kemungkinan budaya ataupun adat yang
dianggap terlalu berat bagi seseorang dapat menyebabkan seseorang
menjadi gangguan jiwa.
b. Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan
setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi,
perasaan, tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya. Penilaian
individu terhadap stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan
kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006). Menurut (Stuart, 2007),
faktor prespitasi terjadi gangguan halusinasi adalah:
1) Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk
dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara
menanggapi stimulasi yang diterima oleh otak untuk
diinterpretasikan.
2) Stres Lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap
stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku
dan umumnya lingkungan yang dapat mendukung bertambahnya gangguan
jiwa adalah lingkungan perkotaan yang dimana tingkat
individualismenya sangat tinggi.
3) Sumber Koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stressor berlebihnya informasi pada syaraf yang menerima dan
memperoses inflamasi dithalamus frontal otak
Ada 7 jenis halusinasi yaitu :
a. Pendengaran
Adalah mendengar suara-suara atau kebisingan, paling sering
suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai
kata-kata yang jelas tentang pasien, bahkan sampai percakapan
lengkap antar dua orang atau lebih tentang orang yang mengalami
halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana pasien mendengar
perkataan bahwa pasien disuruh sesuatu kadang-kadang
membahayakan.
b. Pengihatan
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris,
gambar kartun, bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bias
menyenangkan atau menakutkan seperti monster.
c. Pembau
Membahui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, atau feses
umumnya bau-bauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi penghidu
sering akibat strok, tumor, kejang dan dimensia.
d. Pengecapan
Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
e. Perabaan
Mengalami rasa nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang
jelas. Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati,
atau orang lain.
f. Canesthetic
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri,
pencernakan makanan, atau pembentukan urin.
g. Kinestetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa gerak.
2.4 Patofisiologi Skizofrenia
Patofisiologi skizofrenia melibatkan sistem dopaminergik dan
serotonergik. Skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan aktivitas
neurotransmitter dopaminergik. Peningkatan ini mungkin merupakan
akibat dari meningkatnya pelepasan dopamine, terlalu banyaknya
reseptor dopamine, turunnya nilai ambang, atau hipersentivitas
reseptor dopamine, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut.
Hipotesis/teori tentang patofisiologi skizofrenia :
a. Pada pasien skizofrenia terjadi hiperaktivitas sistem
dopaminergik
b. Hiperdopaminegia pada sistem meso limbik( berkaitan dengan
gejala positif
c. Hipodopaminergia pada sistem meso kortis dan nigrostriatal(
bertanggungjawab terhadap gejala negatif dan gejala
ekstrapiramidal.
Jalur dopaminergik saraf :
a. Jalur nigrostriatal: dari substansia nigra ke basal ganglia(
fungsi gerakan, EPS
b. Jalur mesolimbik: dari tegmental area menuju ke sistem limbik
( memori, sikap, kesadaran, proses stimulus.
c. Jalur mesokortikal: dari tegmental area menuju ke frontal
cortex ( kognisi, fungsi sosial, komunikasi, respons terhadap
stress.
d. Jalur tuberoinfendibular: dari hipotalamus ke kelenjar
pituitary ( pelepasan prolaktin.
Terdiri dari 3 fase :
a. Premorbid: semua fungsi masih normal
b. Prodomal: simptom psikotik mulai nyata (isolasi sosial,
ansietas, gangguan tidur, curiga). Pada fase ini, individu
mengalami kemunduran dalam fungsi- fungsi mendasar (pekerjaan dan
rekreasi) dan muncul symptom nonspesifik seperti gangguan tidur,
ansietas, konsentrasi berkurang, dan deficit perilaku. Simptom
positif seperti curiga mulai berkembang di akhir fase prodromal dan
berarti sudah mendekati menjadi fase psikosis.
c. Psikosis:
Fase Akut: dijumapi gambaran psikotik yang jelas, misalnya
waham, halusinasi, gangguan proses piker, pikiran kacau. Simptom
negative menjadi lebih parah sampai tak bisa mengurus diri.
Berlangsung 4 8 minggu Stabilisasi : 6 18 bulan. Stabil: terlihat
residual, berlangsung 2- 6 bulan.
2.5 Penatalaksanaan Skizofrenia
2.5.1 Terapi Biologis
a. Penggunaan obat antipsikosis
Obat yang digunakan untuk mengobati psikosis memiliki banyak
sebutan yaitu anti psikotik, neuroleptik, dan mayor trangquiles.
Anti psikotik digunakan untuk mengatasi psikosis, termasuk
skizofrenia. Efek terapi dari obat-obatan ini terlihat sewaktu
dipakai pada psikosis akut. Efeknya mengurangi gejala positif,
antara lain halusinasi, tidak mau makan, tidak kooperatif dan
gangguan pikiran.
Gejala positif pada skizofrenia bereaksi secara responsif
terhadap obat anti psikotik, sedang gejala negatif seperti misalnya
pendataran afek, apati, anhedonia,dan blokade diri sangat
kurang.
Obat antipsikotik terdiri dari 6 golongan:
1) Fenotiazin: Chlorpromazine, Perphenazine, Trioridazin
2) Butirofenon: Haloperideol
3) Difenil Butil Piperidin: Primadine
4) Benzamide: Supiride
5) Didenzodiazepin: Clozapine
6) Benzisoxazole: Risperidone
Golongan-golongan obat di atas dapat dibagi menjadi 2 bagian
besar, yaitu:
1) Obat anti psikotik tipikal: Fenotiazine, Butirofenon,
Benzanide, Difenil-butil-piperidin
2) Obat anti psikotik atipikal: Clozapine dan Risperidone
Obat ini disebut obat penenang utama. Obat tersebut dapat
menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan, tetapi tidak mengakibatkan
tidur yang lelap, sekalipun dalam dosis yang sangat tinggi (orang
tersebut dapat dengan mudah terbangun). Obat ini tampaknya
mengakibatkan sikap acuh pada stimulus luar. Obat ini cukup tepat
bagi penderita skizofrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring
stimulus yang tidak relevan).
Bukti menunjukkan bahwa obat antipsikotik ini bekerja pada
bagian batang otak, yaitu sistem retikulernya, yang selalu
mengendalikan masukan berita dari alat indera pada cortex cerebral.
Obat-obatan ini tampaknya mengurangi masukan sensorik pada sistem
retikuler, sehingga informasi tidak mencapai cortex cerebral. Obat
antipsikotik telah terbukti efektif untuk meredakan gejala
skizofrenia, memperpendek jangka waktu pasien di rumah sakit, dan
mencegah kambuhnya penyakit. Namun, obat-obatan tersebut bukan
untuk penyembuhan menyeluruh. Kebanyakan pasien harus
melanjutkannya dengan perbaikan dosis pengobatan agar dapat
berfungsi di luar rumah sakit.
Di samping itu, efek penggunaan obat-obatan antipsikotik
tersebut memiliki dampak sampingan yang kurang menyenangkan, yaitu
mulut kering, pandangan mengabur, sulit berkonsentrasi, sehingga
banyak orang menghentikan pengobatan mereka. Selain itu juga
terdapat dampak sampingan yang lebih seriusdalam beberapa hal,
misalnya tekanan darah rendah dan gangguan otot yang menyebabkan
gerakan mulut dan dagu yang tidak disengaja (Atkinson, et al.,
1991). Selain itu, dalam 2-3 tahun terakhir ini, obat-obat
psikotropik anti schizophrenic bermunculan dan mulai digunakan di
Indonesia. Obat-obat ini seperti clozapine, risperidone,
olanzepine, iloperidol, diyakini mampu memberikan kualitas
kesembuhan yang lebih baik, terutama bagi yang sudah resisten
dengan obat-obat lama. Obat-obat generasi kedua ini bisa
menetralisir gejala-gejala akut skizofrenia seperti tingkah laku
kacau, gaduh gelisah, waham, halusinasi pendengaran, inkoherensi,
maupun menghilangkan gejala-gejala negatif (kronik) seperti
autistik (pikiran penuh fantasi dan tak terarah), perasaan tumpul,
dan gangguan dorongan kehendak. Namun, obat-obat anti skizofrenia
ini memiliki harga yang cukup mahal. Sementara, penderita
skizofrenia di Indonesia kebanyakan berasal dari golongan sosial
ekonomi rendah dan biasanya menggunakan obat-obatan klasik
(generik) (Wicaksana, 2000).
b. Terapi Elektrokonvulsif
Terapi Elektrokonvulsif disingkat ECT juga dikenal sebagai
terapi elektroshock. ECT telah menjadi pokok perdebatan dan
keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. Di masa lalu ECT
ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan
jiwa, termasuk skizofrenia. Namun terapi ini tidak membuahkan hasil
yang bermanfaat. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi
dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan
pasien. Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik
dialirkan ke tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara,
serta seringkali menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan
setelah itu. Adakalanya, intensitas kekejangan otot yang menyertai
serangan otak mengakibatkan berbagai cacat fisik.
Namun, sekarang ECT sudah tidak begitu menyakitkan. Pasien
diberi obat bius ringan dan kemudian disuntik dengan penenang otot.
Aliran listrik yang sangat lemah dialirkan ke otak melalui kedua
pelipis atau pada pelipis yang mengandung belahan otak yang tidak
dominan. Hanya aliran ringan yang dibutuhkan untuk menghasilkan
serangan otak yang diberikan, karena serangan itu sendiri yang
bersifat terapis, bukan aliran listriknya. Penenang otot mencegah
terjadinya kekejangan otot tubuh dan kemungkinan luka. Pasien
bangun beberapa menit dan tidak ingat apa-apa tentang pengobatan
yang dilakukan. Kerancuan pikiran dan hilang ingatan tidak terjadi,
terutama bila aliran listrik hanya diberikan kepada belahan otak
yang tidak dominant (nondominan hemisphere). Empat sampai enam kali
pengobatan semacam ini biasanya dilakukan dalam jangka waktu 2
minggu.
Akan tetapi, ECT ini tidak cukup berhasil untuk penyembuhan
skizofrenia, namun lebih efektif untuk penyembuhan penderita
depresi tertentu (Atkinson, et al.,1991).
c. Pembedahan bagian otak
Pada tahun 1935, Moniz (Davison, et al., 1994) memperkenalkan
prefrontal lobotomy, yaitu preoses pembedahan pada lobus frontalis
penderita skizofrenia. Menurut Moniz, cara ini cukup berhasil dalam
proses penyembuhan yang dilakukannya, khususnya pada penderita yang
berperilaku kasar. Akan tetapi, pada tahun 1950 -an cara ini
ditinggalkan karena menyebabkan penderita kehilangan kemampuan
kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.
2.5.2 Psikoterapi
Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik telah membuat
situasi pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ)
menjadi monoton dan menjemukan. Para psikiater dan petugas
kesehatan terkondisi untuk menangani skizofrenia dengan obat saja
selain terapi kejang listrik (ECT). Psikoterapi suportif, terapi
kelompok, maupun terapi perilaku hampir tidak pernah dilakukan,
karena dianggap tidak akan banyak manfaatnya. Wawancara tatap muka
yang rutin dengan pasien jarang dilakukan (Wicaksana, 2000).
Psikoterapi adalah perawatan dan penyembuhan gangguan jiwa
dengan cara psikologis. beberapa pakar psikoterapi beranggapan
bahwa perubahan perilaku tergantung pada pemahaman individu atas
motif dan konflik yang tidak disadari.
a. Terapi psikoanalisa
Terapi Psikoanalisa adalah metode terapi berdasarkan konsep
Freud. Tujuan psikoanalisis adalah menyadarkan individu akan
konflik yang tidak disadarinya dan mekanisme pertahanan yang
digunakannya untuk mengendalikan kecemasannya . Hal yang paling
penting pada terapi ini adalah untuk mengatasi hal-hal yang
direpress oleh penderita. Metode terapi ini dilakukan pada saat
penderita skizofrenia sedang tidak "kambuh". Macam terapi
psikoanalisa yang dapat dilakukan, adalah Asosiasi Bebas. Pada
teknik terapi ini, penderita didorong untuk membebaskan pikiran dan
perasaan dan mengucapkan apa saja yang ada dalam pikirannya tanpa
penyuntingan atau penyensoran (Akinson, 1991).
Pada teknik ini, penderita disupport untuk bisa berada dalam
kondisi relaks baik fisik maupun mental dengan cara tidur di sofa.
Ketika penderita dinyatakan sudah berada dalam keadaan relaks, maka
pasien harus mengungkapkan hal yang dipikirkan pada saat itu secara
verbal. Pada saat penderita tidur di sofa dan disuruh menyebutkan
segala macam pikiran dan perasaan yang ada di benaknya dan
penderita mengalami blocking, maka hal itu merupakan manifestasi
dari keadaan over-repressi. Hal yang direpress biasanya berupa
dorongan vital seperti sexual dan agresi. Repressi terhadap
dorongan agresi menyangkut figur otorotas yang selalu diwakili oleh
father dan mother figure. Repressi anger dan hostile merupakan
salah satu bentuk intrapsikis yang biasa menyebabkan blocking pada
individu. Akibat dari blocking tersebut, maka integrasi kepribadian
menjadi tidak baik, karena ada tekanan ego yang sangat besar.
Menurut Freud, apabila terjadi blocking dalam proses asosiasi
bebas, maka penderita akan melakukan analisa. Hasil dari analisanya
dapat menimbulkan insight pada penderita. Analisa pada waktu
terjadi blocking bertujuan agar penderita mampu menempatkan
konfliknya lebih proporsional, sehingga penderita mengalami suatu
proses penurunan ketegangan dan penderita lebih toleran terhadap
konflik yang dialaminya. Seperti yang telah diungkapkan terdahulu
bahwa penderita diberi kesempatan untuk dapat mengungkapkan segala
traumatic events dan keinginan-keinginan yang direpressnya. Waktu
ini disebut dengan moment chatarsis. Disini penderita diberi
kesempatan untuk mengeluarkan uneg-uneg yang ia rasakan , sehingga
terjadi redusir terhadap pelibatan emosi dalam menyelesaikan
masalah yang dialaminya. Dalam teknik asosiasi bebas ini, juga
terdapat proses transference, yaitu suatu keadaan dimana pasien
menempatkan therapist sebagai figur substitusi dari figur yang
sebenarnya menimbulkan masalah bagi penderita.
Terdapat 2 macam transference, yaitu:
1) transference positif, yaitu apabila therapist menggantikan
figur yang disukai oleh penderita,
2) transference negatif, yaitu therapist menggantikan figur yang
dibenci oleh penderita (Fakultas Psikologi UNPAD, 1992).
b. Terapi perilaku
Pada dasarnya, terapi perilaku menekankan prinsip pengkondisian
klasik dan operan, karena terapi ini berkaitan dengan perilaku
nyata. Para terpist mencoba menentukan stimulus yang mengawali
respon malasuai dan kondisi lingkungan yang menguatkan atau
mempertahankan perilaku itu (Ullaman dan Krasner, 1969; Lazarus,
1971 dalam Atkinson, 1991).
Akhir-akhir ini, pakar terapi perilaku melihat adanya pengaruh
variabel kognitif pada perilaku (misalnya, pemikiran individu
tentang situasi menimbulkan kecemasan tentang akibat dari tindakan
tertentu) dan telah mencakupkan upaya untuk mengubah variabel
semacam itu dengan prosedur yang khusus ditujukan pada perilaku
tersebut (Bandura, 1982; Meinchenbaum dan Jaremko, 1982 dalam
Atkinson, 1991). Pada kongres psikiatri di Malaysia pada tahun
2000, cognitif-behavior therapy untuk pasien skizofrenia
ditampilkan pakar psikiatri dari Amerika maupun dari Malaysia
sendiri. Ternyata, terdapat hasil yang cukup baik, terutama untuk
kasus-kasus baru, dengan menggunakan cognitif-behavior therapy
tersebut. Rupanya ada gelombang besar optimisme akan kesembuhan
skizofrenia di dunia dengan terapi yang lebih komprehensif ini.
Selain itu, secara umum terapi ini juga bermaksud secara langsung
membentuk dan mengembangkan perilaku penderita skizofrenia yang
lebih sesuai, sebagai persiapan penderita untuk kembali berperan
dalam masyarakat. Paul dan Lentz (Rathus,et al., 1991; Davison, et
al., 1994) menggunakan dua bentuk program psikososial untuk
meningkatkan fungsi kemandirian.
1) Social Learning ProgramSocial learning program menolong
penderita skizofrenia untuk mempelajari perilaku-perilaku yang
sesuai. Program ini menggunakan token economy, yakni suatu cara
untuk menguatkan perilaku dengan memberikan tanda tertentu (token)
bila penderita berhasil melakukan suatu perilaku tertentu. Tanda
tersebut dapat ditukar dengan hadiah (reward), seperti makanan atau
hak-hak tertentu. Program lainnya adalah millieu program atau
therapeutic community. Dalam program ini, penderita dibagi dalam
kelompok-kelompok kecil yang mempunyai tanggung jawab untuk
tugas-tugas tertentu. Mereka dianjurkan meluangkan waktu untuk
bersama-sama dan saling membantu dalam penyesuaian perilaku serta
membicarakan masalah-masalah bersama dengan pendamping. Terapi ini
berusaha memasukkan penderita skizofrenia dalam proses perkembangan
untuk mempersiapkan mereka dalam peran sosial yang bertanggung
jawab dengan melibatkan seluruh penderitan dan staf pembimbing.
Dalam penelitian, social learning program mempunyai hasil yang
lebih baik dibandingkan dengan perawatan dalam rumah sakit jiwa dan
millieu program. Persoalan yang muncul dalam terapi ini adalah
identifikasi tentang unsur-unsur mana yang efektif. Tidak jelas
apakah penguatan dengan tanda (token) ataukan faktor-faktor lain
yang menyebabkan perubahan perilaku; dan apakah program penguatan
dengan tanda tersebut membantu perubahan perilaku hanya selama
tanda diberikan atau hanya dalam lingkungan perawatan.
2) Social Skills TrainingTerapi ini melatih penderita mengenai
ketrampilan atau keahlian sosial, seperti kemampuan percakapan,
yang dapat membantu dalam beradaptasi dengan masyarakat (Rathus, et
al., 1991; Davisoan, et al., 1994; Sue, et al., 1986). Social
Skills Training menggunakan latihan bermain sandiwara. Para
penderita diberi tugas untuk bermain peran dalam situasi-situasi
tertentu agar mereka dapat menerapkannya dalam situasi yang
sebenarnya. Bentuk terapi seperti ini sering digunakan dalam
panti-panti rehabilitasi psikososial untuk membantu penderita agar
bisa kembali berperan dalam masyarakat. Mereka dibantu dan didukung
untuk melaksanakan tugas-tugas harian seperti memasak, berbelanja,
ataupun untuk berkomunikasi, bersahabat, dan sebagainya. Meskipun
terapi ini cukup berhasil, namun tetap ada persoalan bagaimana
mempertahankan perilaku bila suatu program telah selesai, dan
bagaimana dengan situasi-situasi yang tidak diajarkan secara
langsung.
c. Terapi humanistik
1) Terapi kelompok
Banyak masalah emosional menyangkut kesulitan seseorang dalam
berhubungan dengan orang lain, yang dapat menyebabkan seseorang
berusaha menghindari relasinya dengan orang lain, mengisolasi diri,
sehingga menyebabkan pola penyelesaian masalah yang dilakukannya
tidak tepat dan tidak sesuai dengan dunia empiris. Dalam menangani
kasus tersebut, terapi kelompok akan sangat bermanfaat bagi proses
penyembuhan klien, khususnya klien schizophrenia.
Terapi kelompok ini termasuk salah satu jenis terapi humanistik.
Pada terapi ini, beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi
dan terapist berperan sebagai fasilitator dan sebagai pemberi arah
di dalamnya. Di antara peserta terapi tersebut saling memberikan
feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami oleh mereka.
Klien dihadapkan pada setting sosial yang mengajaknya untuk
berkomunikasi, sehingga terapi ini dapat memperkaya pengalaman
mereka dalam kemampuan berkomunikasi. Di rumah sakit jiwa, terapi
ini sering dilakukan. Melalui terapi kelompok ini iklim
interpersonal relationship yang konkrit akan tercipta, sehingga
klien selalu diajak untuk berpikir secara realistis dan menilai
pikiran dan perasaannya yang tidak realistis.
2) Terapi Keluarga
Terapi keluarga ini merupakan suatu bentuk khusus dari terapi
kelompok. Kelompoknya terdiri atas suami istri atau orang tua serta
anaknya yang bertemu dengan satu atau dua terapist. Terapi ini
digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa
dan tinggal bersama keluarganya. Ungkapan-ungkapan emosi dalam
keluarga yang bisa mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali
diusahakan kembali. Keluarga diberi informasi tentang cara-cara
untuk mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang positif maupun
yang negatif secara konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan
setiap persoalan secara bersama-sama.
Keluarga diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan
cara-cara untuk menghadapinya. Keluarga juga diberi penjelasan
tentang cara untuk mendampingi, mengajari, dan melatih penderita
dengan sikap penuh penghargaan. Perlakuan-perlakuan dan
pengungkapan emosi anggota keluarga diatur dan disusun sedemikian
rupa serta dievaluasi. Dari beberapa penelitian, seperti yang
dilakukan oleh Fallon (Davison, et al., 1994; Rathus, et al., 1991)
ternyata campur tangan keluarga sangat membantu dalam proses
penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya penyakit
penderita, dibandingkan dengan terapi.
BAB III
ISI 3.1Kasus
Ny. Nana 40 tahun sudah 3 tahun berprilaku aneh, sering
berbicara sendiri, mengaku sebagai utusan Tuhan dan merasa memiliki
dan malaikat. Pada peristiwa terakhir, penderita mengangkat diri
sebagai Rasul dan mengaku sebagai juru selamat untuk kiamat yang
diyakini akan segera datang pada tanggal 11-11-2011. Sebelum
kejadian terakhir penderita sudah menyiapkan bangunan suci berupa
terowongan di tengah perkampungan untuk tempat peribadatan para
pengikutnya sekaligus sebagai tempat perlindungan kalau kiamat
datang. Oleh warga dan keluarga karena perilakunya meresahkan
masyarakat, dibawa ke RSJ. Didiagnosis Schizoprenia. Orang tua
penderita juga memiliki riwayat yang sama dan penderita sudah
ditinggal bapaknya sejak berumur 8 tahun. Hasil pemeriksaan vital
sign TD 118/80 mmHg, RR 28X/menit, Nadi : 99x/menit, suhu badan
370C. Pemeriksaan Laboratorium Kolesterol :345 mg/dl dan HB :
123.2Gejala
3.2.1Subjektif
a. Berbicara sendiri
b. Mengangkat dirinya sendiri sebagai Rasul (delusi)c. Megaku
sebagai juru selamat untuk kiamat (halusinasi)d. Membangun tempat
peribadatan umatnya (delusi)
3.2.2Objektif
a. Tekanan Darah (TD): 118/80 mmHg (Normal : 120/80 mmHg)
b. Respiration Rate : 28x/menit c. Nadi
: 99x/menit d. Suhu tubuh
: 370 Ce. Kolesterol
: 345 mg/dl tinggi (Normal : 3.3Terapi
Berdasarkan gejala yang ditimbulkan Ny. Nana termasuk dalam
Schizoprenia dengan gejala positif. Selain itu perlu diingat bahwa
terapi untuk pengobatan schizophrenia ini harus dilakukan secara
maintenance atau berkelanjutan jika tidak maka akan semakin parah.
Berikut beberapa terapi untuk kasus dia atas : a. Psychosocial
Aspect
Terapi ini merupakan terapi psikis untuk kejiwaannya bisa dibawa
ke psikolog atau dari keluarga sendiri. Intinya adalah menjaga
stabilitas emosionalnya agar tidak timbul gejala-gejalanya secara
mendadak misalnya diajak berbicara atau berjalan-jalan bersama,
sehingga perlu perhatian khusus dari keluarga dan orang-orang
sekitarnya.
b. Farmakoterapi
1. Olanzepin/ Risperidon
Merupakan pengobatan lini pertama untuk schizophrenia
Mekanisme : menghambat reseptor serotonin sehingga kadar
serotonin di otak menurun2. Klorpromazin
Merupakan terapi tambahan termasuk dalam golongan Typical
Antipsikotik dengan Low Potensi. Kerjanya bisa sebagai
antihistamin.
3. Litium Karbonat
Digunakan sebagai terapi tambahan tujuannya adalah untuk
menstabilkan emosinya.
4. Vitamin Neurotropik
Untuk menjaga sel syarafnya.
5. Simvastatin
Berfungsi untuk mengontrol kadar kolesterolnya
Mekanisme : mempercepat pemindahan kolesterol dari darah dan
menurunkan pembentukan kolesterol dengan cara menghambat enzim yang
memepercepat sintesis kolesterol.
3.4 Monitoring
Monitoring yang harus dilakukan untuk Nyonya Nana adalah :
a. Melihat perubahan sikap dan prilaku dari nyonya nana serta
banyak mengajak berkomunikasi b. Dipantau penggunaan obatnya harus
teratur agar gejala tidak semakin parah
c. Penggunaan obat harus terus dilakukan tidak boleh
terhenti
d. Diusahakan untuk selalu didampingi tidak dibiarkan untuk
keluar atau berjalan sendirian karena bisa menimbulkan gejala yang
akut.
e. Dilihat di laboratorium kadar serotonin dan dopamine pada
nyonya nana apakah ada perbaikan atau tidak ada perubahan, jika
tidak perlu diganti farmakologinya. BAB IV
PENUTUP
4.1Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dari kasus Nyonya Nana maka beliau
digolongkan kedalam Schizophrenia dengan gejala positif,
diantaranya yaitu berbicara sendiri, berhalusinasi dan delusi.
Terapi pengobatan atau farmakologi yang diberikan sebagai lini
pertama yaitu olanzepin atau risperidon dan untuk tambahannya bisa
diberikan vitamin neurotropic dan obat lainnya yang mendukung
tingkat emosionalnya. Sedangkan untuk mengatasi kolesterolnya yang
tinggi maka diberikan simvastatin karean efektif untuk untuk
menurunkan kolesterol.
4.2Saran
a. Pengobatan schizophrenia harus selalu di monitoring terutama
kepatuhan pasiennya
b. Pasien schizophrenia sebaiknya diberikan juga lebih banyak
terapi psikologis agar emosionalnya lebih terjaga
c. Pasien schizophrenia dengan gejala positif sebaiknya tidak
dibiarkan keluar rumah sendirian sedangkan dengan gejala negative
sebaiknya diberi pendekatan psikis agar dia tidak menutup diri
terus-menerus.