Top Banner
BAB I PENDAHULUAN Dalam sejarah perkembangan skizofrenia sebagai gangguan klinis, banyak tokoh psikiatri dan neurologi yang berperan. Mula-mula Emil Kreaplin menyebutkan gangguan dengan istilah dementia prekok yaitu suatu istilah yang menekankan proses kognitif yang berbeda dan onset pada masa awal. Istilah skizofrenia itu sendiri diperkenalkan oleh Eugen Bleuler (1857-1939), untuk menggambarkan munculnya perpecahan antara pikiran, emosi dan perilaku pada pasien yang mengalami gangguan ini. Bleuler mengindentifikasi symptom dasar dari skizofrenia yang dikenal dengan 4A antara lain: asosiasi, afek, autisme dan ambivalensi. Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering, hampir 1% penduduk dunia menderita psikotik selama hidup mereka di Amerika. Skizofrenia lebih sering terjadi pada Negara industri terdapat lebih banyak populasi urban dan pada kelompok sosial ekonomi rendah. Walaupun insidennya hanya 1 per 1000 orang di Amerika Serikat, skizofrenia seringkali ditemukan di gawat darurat karena beratnya gejala, ketidakmampuan untuk merawat diri, hilangnya tilikan dan pemburukan sosial yang bertahap. Kedatangan diruang gawat darurat atau tempat praktek disebabkan oleh halusinasi yamg menimbulkan ketegangan yang mungkin dapat mengancam
34

makalah skizo

Sep 26, 2015

Download

Documents

farmakoterapi
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

Perpus Farmasi

BAB I PENDAHULUAN

Dalam sejarah perkembangan skizofrenia sebagai gangguan klinis, banyak tokoh psikiatri dan neurologi yang berperan. Mula-mula Emil Kreaplin menyebutkan gangguan dengan istilah dementia prekok yaitu suatu istilah yang menekankan proses kognitif yang berbeda dan onset pada masa awal. Istilah skizofrenia itu sendiri diperkenalkan oleh Eugen Bleuler (1857-1939), untuk menggambarkan munculnya perpecahan antara pikiran, emosi dan perilaku pada pasien yang mengalami gangguan ini. Bleuler mengindentifikasi symptom dasar dari skizofrenia yang dikenal dengan 4A antara lain: asosiasi, afek, autisme dan ambivalensi. Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering, hampir 1% penduduk dunia menderita psikotik selama hidup mereka di Amerika. Skizofrenia lebih sering terjadi pada Negara industri terdapat lebih banyak populasi urban dan pada kelompok sosial ekonomi rendah. Walaupun insidennya hanya 1 per 1000 orang di Amerika Serikat, skizofrenia seringkali ditemukan di gawat darurat karena beratnya gejala, ketidakmampuan untuk merawat diri, hilangnya tilikan dan pemburukan sosial yang bertahap. Kedatangan diruang gawat darurat atau tempat praktek disebabkan oleh halusinasi yamg menimbulkan ketegangan yang mungkin dapat mengancam jiwa baik dirinya maupun orang lain, perilaku kacau, inkoherensi, agitasi dan penelantaran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Skizofrenia

Skizofrenia berasal dari kata Yunani yang bermakna schizo artinya terbagi, terpecah dan phrenia artinya pikiran. Jadi pikirannya terbagi atau terpecah (Rudyanto, 2007). Skizofrenia berasal dari kata mula-mula digunakan oleh Eugene Bleuler, seorang psikiater berkebangsaaan Swiss. Bleuler mengemukakan manifestasi primer skizofrenia ialah gangguan pikiran, emosi menumpul dan terganggu. Ia menganggap bahwa gangguan pikiran dan menumpulnya emosi sebagai gejala utama daripada skizofrenia dan adanya halusinasi atau delusi (waham) merupakan gejala sekunder atau tambahan terhadap ini (Lumbantobing, 2007).

Skizofrenia dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom dengan variasi penyebab (banyak yang belum diketahui), dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya (Kaplan and Sadock, 2010).

2.2 Etiologi Skizofrenia

Skizofrenia dapat dianggap sebagai gangguan yang penyebabnya multipel yang saling berinteraksi. Skizofrenia merupakan integrasi faktor biologis, faktor psikososial, faktor lingkungan. Model ini mendalilkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatessis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stress, memungkinkan perkembangan skizofrenia. Komponen lingkungan mungkin biologikal (seperti infeksi) atau psikologis (missal kematian orang terdekat). Sedangkan dasar biologikal dari diatesis selanjutnya dapat terbentuk oleh pengaruh epigenetik seperti penyalahgunaan obat, stress psikososial dan trauma. Kerentanan yang dimaksud disini haruslah jelas, sehingga dapat menerangkan mengapa orang tersebut dapat menjadi skizofren. Semakin besar kerentanan seseorang maka stressor kecilpun dapat menyebabkan menjadi skizofren. Semakin kecil kerentanan maka butuh stressor yang besar untuk membuatnya menjadi penderita skizofren. Sehingga secara teoritis seseorang tanpa diathese tidak akan berkembang menjadi skizofren, walau sebesar apapun stressornya. Diantara faktor multipel itu dapat disebut :

a. Keturunan

Penelitian pada keluarga penderita skizofrenia terutama anak kembar satu telur angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9%-1,8%, bagi saudara kandung 7-15%, anak dengan salah satu menderita skizofrenia 7-16%. Apabila kedua orang tua menderita skizofrenia 40-60% kembar dua telur 2-15%. Kembar satu telur 61-68%. Menurut hukum Mendelskizofrenia diturunkan melalui genetik yang resesif (Lumbantobing, 2007).

b. Gangguan anatomic

Dicurigai ada beberapa bangunan anatomi di otak berperan yaitu : lobus temporal, system limbik dan reticular activating system. Ventrikel penderita skizofrenia lebih besar daripada kontrol. Pemeriksaan MRI menunjukan hilangnya atau berkurangnya neuron dilobus temporal. Didapatkan menurunnya aliran darah dan metabolisme glukosa di lobus frontal. Pada pemeriksaan postmortem didapatkan banyak reseptor D2 diganglia basal dan sistem limbik, yang dapat mengakibatkan meningkatnya aktivitas DA sentral (Lumbantobing, 2007).

c. Biokimiawi

Saat ini didapat hipotese yang mengemukan adanya peranan dopamine, kateklolamin, norepinefrin dan GABA pada skizofrenia (Lumbantobing, 2007).

d. Faktor Neurobiologi Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien skizofrenia ditemukan adanya kerusakan pada bagian otak tertentu. Namun sampai kini belum diketahui bagaimana hubungan antara kerusakan pada bagian otak tertentu ddengan munculnya simptom skizofrenia.

Terdapat beberapa area tertentu dalam otak yang berperan dalam membuat seseorang menjadi patologis, yaitu sitem limbik, korteks frontal, cerebellum dan ganglia basalis. Keempat area tersebut saling berhubungan, sehingga disfungsi pada satu area mungkin melibatkan proses patologis primer pada area yang lain. Dua hal yang menjadi sasaran penelitian adalah waktu dimana kerusakan neuropatologis muncul pada otak, dan interaksi antara kerusakan tersebut dengan stressor lingkungan dan sosial.

e. Hipotesa Dopamin Menurut hipotesa ini, skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan aktivitas neurotransmitter dopaminergik. Peningkatan ini mungkin merupakan akibat dari meningkatnya pelepasan dopamine, terlalu banyaknya reseptor dopamine, turunnya nilai ambang, atau hipersentivitas reseptor dopamine, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Munculnya hipotesa ini berdasarkan observasi bahwa ada korelasi antara efektivitas dan potensi suatu obat antipsikotik dengan kemampuannya bertindak sebagai antagonis reseptor dopamine. Obat yang meningkatkan aktivitas dopaminergik, seperti amphetamine dapat menimbulkan gejala psikotik2.3 Gejala

Gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi 2 kelompok gejala positif dan gejala negatif.

a. Gejala Negatif

Pada gejala negatif terjadi penurunan, pengurangan proses mental atau proses perilaku (behavior). Hal ini dapat menganggu bagi pasien dan orang disekitarnya.

1) Gangguan afek dan emosi

Gangguan dan emosi pada skizofrenia berupa adanya kedangkalan afek dan emosi (emotional blunting), misalnya: pasien menjadi acuh tak acuh terhadap hal-hal yang penting untuk dirinya sendiri seperti keadaan keluarga dan masa depannya serta perasaan halus sudah hilang, hilangnya kemampuan untuk mengadakan hubungan emosi yang baik (emotional rapport), terpecah belahnya kepribadian maka hal-hal yang berlawanan mungkin terdapat bersama-sama, umpamanya mencintai dan membenci satu orang yang sama atau menangis, dan tertawa tentang suatu hal yang sama (ambivalensi) (Lumbantobing, 2007).

2) Alogia

Penderita sedikit saja berbicara dan jarang memulai percakapan dan pembicaraan. Kadang isi pembicaraan sedikit saja maknanya. Ada pula pasien yang mulai berbicara yang bermakna, namun tiba-tiba ia berhenti bicara, dan baru bicara lagi setelah tertunda beberapa waku (Lumbantobing, 2007).

3) Avolisi

Ini merupakan keadaan dimaa pasien hampir tidak bergerak, gerakannya miskin. Kalau dibiarkan akan duduk seorang diri, tidak bicara, tidak ikut beraktivitas jasmani (Lumbantobing, 2007).

4) AnhedoniaTidak mampu menikmati kesenangan, dan menghindari pertemanan dengan orang lain (Asociality) pasien tidak mempunyai perhatian, minat pada rekreasi. Pasien yang sosial tidak mempunyai teman sama sekali, namun ia tidak memperdulikannya (Lumbantobing, 2007).5) Gejala PsikomotorAdanya gejala katatonik atau gangguan perbuatan dan sering mencerminkan gangguan kemauan. Bila gangguan hanya kemauan saja maka dapat dilihat adanya gerakan yang agak kaku, stupor dimana pasien tidak menunjukkan pergerakan sam sekali dan dapat berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan dan kadang bertahun-tahun lamanya pada pasien yang sudah menahun, hiperkinese dimana pasien terus bergerak saja dan sangat gelisah (Kaplan and Sadock, 2010).

b. Gejala Positif

Gejala positif dialami sensasi oleh pasien, padahal tidak ada yang merangsang atau mengkreasi sensasi tersebut. Dapat timbul pikiran yang tidak dapat dikontrol pasien.

1) Delusi (Waham)

Merupakan gejala skizofreniadimana adanya suatu keyakinan yang salah pada pasien. Pada skizofrenia waham sering tidak logis sama sekali tetapi pasien tidak menginsyafi hal ini dan dianggap merupakan fakta yang tidak dapat dirubah oleh siapapun.Waham yang sering muncul pada pasien skizofrenia adalah waham kebesaran,waham kejaran,waham sindiran, waham dosa dan sebagainya (Kaplan and Sadock, 2010).

2) Halusinasi

Halusinasi adalah persepsi sensoris yang palsu yang tidak desertai dengan stimuli eksternal yang nyata, mungkin terdapat atau tidak terdapat interprestasi waham tentang pengalaman halusinasi (Kaplan and Sadock, 2010). Etiologi penyebab halusinasi dikelompokkan menjadi:

a. Faktor Predisposisi

Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada respon munculnya neurobiology seperti halusinasi (Stuart, 2007).

1) Biologis

Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal berhubungan dengan perilaku psikotik (Stuart, 2007).

a) Beberapa zat kimia diotak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebih dan masalah-masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia (Stuart, 2007).

b) Pembesaraan ventikel dan penurunan massa kortikal menunjukan terjadi atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (Post-Mortem) (Stuart, 2007).

2) Psikologis

Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien misalnya anak diperlakukan oleh ibu yang pencemas, terlalu melindungi, dingin dan tidak berperasaan, sementara yang mengambil jarak dengannya.

3) Sosial Budaya

Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress sehingga tidak menutup kemungkinan budaya ataupun adat yang dianggap terlalu berat bagi seseorang dapat menyebabkan seseorang menjadi gangguan jiwa.

b. Faktor Presipitasi

Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan, tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006). Menurut (Stuart, 2007), faktor prespitasi terjadi gangguan halusinasi adalah:

1) Biologis

Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara menanggapi stimulasi yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.

2) Stres Lingkungan

Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku dan umumnya lingkungan yang dapat mendukung bertambahnya gangguan jiwa adalah lingkungan perkotaan yang dimana tingkat individualismenya sangat tinggi.

3) Sumber Koping

Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor berlebihnya informasi pada syaraf yang menerima dan memperoses inflamasi dithalamus frontal otak

Ada 7 jenis halusinasi yaitu :

a. Pendengaran

Adalah mendengar suara-suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas tentang pasien, bahkan sampai percakapan lengkap antar dua orang atau lebih tentang orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana pasien mendengar perkataan bahwa pasien disuruh sesuatu kadang-kadang membahayakan.

b. Pengihatan

Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris, gambar kartun, bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bias menyenangkan atau menakutkan seperti monster.

c. Pembau

Membahui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, atau feses umumnya bau-bauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi penghidu sering akibat strok, tumor, kejang dan dimensia.

d. Pengecapan

Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.

e. Perabaan

Mengalami rasa nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati, atau orang lain.

f. Canesthetic

Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernakan makanan, atau pembentukan urin.

g. Kinestetic

Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa gerak.

2.4 Patofisiologi Skizofrenia

Patofisiologi skizofrenia melibatkan sistem dopaminergik dan serotonergik. Skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan aktivitas neurotransmitter dopaminergik. Peningkatan ini mungkin merupakan akibat dari meningkatnya pelepasan dopamine, terlalu banyaknya reseptor dopamine, turunnya nilai ambang, atau hipersentivitas reseptor dopamine, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut.

Hipotesis/teori tentang patofisiologi skizofrenia :

a. Pada pasien skizofrenia terjadi hiperaktivitas sistem dopaminergik

b. Hiperdopaminegia pada sistem meso limbik( berkaitan dengan gejala positif

c. Hipodopaminergia pada sistem meso kortis dan nigrostriatal( bertanggungjawab terhadap gejala negatif dan gejala ekstrapiramidal.

Jalur dopaminergik saraf :

a. Jalur nigrostriatal: dari substansia nigra ke basal ganglia( fungsi gerakan, EPS

b. Jalur mesolimbik: dari tegmental area menuju ke sistem limbik ( memori, sikap, kesadaran, proses stimulus.

c. Jalur mesokortikal: dari tegmental area menuju ke frontal cortex ( kognisi, fungsi sosial, komunikasi, respons terhadap stress.

d. Jalur tuberoinfendibular: dari hipotalamus ke kelenjar pituitary ( pelepasan prolaktin.

Terdiri dari 3 fase :

a. Premorbid: semua fungsi masih normal

b. Prodomal: simptom psikotik mulai nyata (isolasi sosial, ansietas, gangguan tidur, curiga). Pada fase ini, individu mengalami kemunduran dalam fungsi- fungsi mendasar (pekerjaan dan rekreasi) dan muncul symptom nonspesifik seperti gangguan tidur, ansietas, konsentrasi berkurang, dan deficit perilaku. Simptom positif seperti curiga mulai berkembang di akhir fase prodromal dan berarti sudah mendekati menjadi fase psikosis.

c. Psikosis:

Fase Akut: dijumapi gambaran psikotik yang jelas, misalnya waham, halusinasi, gangguan proses piker, pikiran kacau. Simptom negative menjadi lebih parah sampai tak bisa mengurus diri. Berlangsung 4 8 minggu Stabilisasi : 6 18 bulan. Stabil: terlihat residual, berlangsung 2- 6 bulan.

2.5 Penatalaksanaan Skizofrenia

2.5.1 Terapi Biologis

a. Penggunaan obat antipsikosis

Obat yang digunakan untuk mengobati psikosis memiliki banyak sebutan yaitu anti psikotik, neuroleptik, dan mayor trangquiles. Anti psikotik digunakan untuk mengatasi psikosis, termasuk skizofrenia. Efek terapi dari obat-obatan ini terlihat sewaktu dipakai pada psikosis akut. Efeknya mengurangi gejala positif, antara lain halusinasi, tidak mau makan, tidak kooperatif dan gangguan pikiran.

Gejala positif pada skizofrenia bereaksi secara responsif terhadap obat anti psikotik, sedang gejala negatif seperti misalnya pendataran afek, apati, anhedonia,dan blokade diri sangat kurang.

Obat antipsikotik terdiri dari 6 golongan:

1) Fenotiazin: Chlorpromazine, Perphenazine, Trioridazin

2) Butirofenon: Haloperideol

3) Difenil Butil Piperidin: Primadine

4) Benzamide: Supiride

5) Didenzodiazepin: Clozapine

6) Benzisoxazole: Risperidone

Golongan-golongan obat di atas dapat dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu:

1) Obat anti psikotik tipikal: Fenotiazine, Butirofenon, Benzanide, Difenil-butil-piperidin

2) Obat anti psikotik atipikal: Clozapine dan Risperidone

Obat ini disebut obat penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan, tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam dosis yang sangat tinggi (orang tersebut dapat dengan mudah terbangun). Obat ini tampaknya mengakibatkan sikap acuh pada stimulus luar. Obat ini cukup tepat bagi penderita skizofrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak relevan).

Bukti menunjukkan bahwa obat antipsikotik ini bekerja pada bagian batang otak, yaitu sistem retikulernya, yang selalu mengendalikan masukan berita dari alat indera pada cortex cerebral. Obat-obatan ini tampaknya mengurangi masukan sensorik pada sistem retikuler, sehingga informasi tidak mencapai cortex cerebral. Obat antipsikotik telah terbukti efektif untuk meredakan gejala skizofrenia, memperpendek jangka waktu pasien di rumah sakit, dan mencegah kambuhnya penyakit. Namun, obat-obatan tersebut bukan untuk penyembuhan menyeluruh. Kebanyakan pasien harus melanjutkannya dengan perbaikan dosis pengobatan agar dapat berfungsi di luar rumah sakit.

Di samping itu, efek penggunaan obat-obatan antipsikotik tersebut memiliki dampak sampingan yang kurang menyenangkan, yaitu mulut kering, pandangan mengabur, sulit berkonsentrasi, sehingga banyak orang menghentikan pengobatan mereka. Selain itu juga terdapat dampak sampingan yang lebih seriusdalam beberapa hal, misalnya tekanan darah rendah dan gangguan otot yang menyebabkan gerakan mulut dan dagu yang tidak disengaja (Atkinson, et al., 1991). Selain itu, dalam 2-3 tahun terakhir ini, obat-obat psikotropik anti schizophrenic bermunculan dan mulai digunakan di Indonesia. Obat-obat ini seperti clozapine, risperidone, olanzepine, iloperidol, diyakini mampu memberikan kualitas kesembuhan yang lebih baik, terutama bagi yang sudah resisten dengan obat-obat lama. Obat-obat generasi kedua ini bisa menetralisir gejala-gejala akut skizofrenia seperti tingkah laku kacau, gaduh gelisah, waham, halusinasi pendengaran, inkoherensi, maupun menghilangkan gejala-gejala negatif (kronik) seperti autistik (pikiran penuh fantasi dan tak terarah), perasaan tumpul, dan gangguan dorongan kehendak. Namun, obat-obat anti skizofrenia ini memiliki harga yang cukup mahal. Sementara, penderita skizofrenia di Indonesia kebanyakan berasal dari golongan sosial ekonomi rendah dan biasanya menggunakan obat-obatan klasik (generik) (Wicaksana, 2000).

b. Terapi Elektrokonvulsif

Terapi Elektrokonvulsif disingkat ECT juga dikenal sebagai terapi elektroshock. ECT telah menjadi pokok perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. Di masa lalu ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk skizofrenia. Namun terapi ini tidak membuahkan hasil yang bermanfaat. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan pasien. Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya, intensitas kekejangan otot yang menyertai serangan otak mengakibatkan berbagai cacat fisik.

Namun, sekarang ECT sudah tidak begitu menyakitkan. Pasien diberi obat bius ringan dan kemudian disuntik dengan penenang otot. Aliran listrik yang sangat lemah dialirkan ke otak melalui kedua pelipis atau pada pelipis yang mengandung belahan otak yang tidak dominan. Hanya aliran ringan yang dibutuhkan untuk menghasilkan serangan otak yang diberikan, karena serangan itu sendiri yang bersifat terapis, bukan aliran listriknya. Penenang otot mencegah terjadinya kekejangan otot tubuh dan kemungkinan luka. Pasien bangun beberapa menit dan tidak ingat apa-apa tentang pengobatan yang dilakukan. Kerancuan pikiran dan hilang ingatan tidak terjadi, terutama bila aliran listrik hanya diberikan kepada belahan otak yang tidak dominant (nondominan hemisphere). Empat sampai enam kali pengobatan semacam ini biasanya dilakukan dalam jangka waktu 2 minggu.

Akan tetapi, ECT ini tidak cukup berhasil untuk penyembuhan skizofrenia, namun lebih efektif untuk penyembuhan penderita depresi tertentu (Atkinson, et al.,1991).

c. Pembedahan bagian otak

Pada tahun 1935, Moniz (Davison, et al., 1994) memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu preoses pembedahan pada lobus frontalis penderita skizofrenia. Menurut Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang dilakukannya, khususnya pada penderita yang berperilaku kasar. Akan tetapi, pada tahun 1950 -an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan penderita kehilangan kemampuan kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.

2.5.2 Psikoterapi

Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik telah membuat situasi pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton dan menjemukan. Para psikiater dan petugas kesehatan terkondisi untuk menangani skizofrenia dengan obat saja selain terapi kejang listrik (ECT). Psikoterapi suportif, terapi kelompok, maupun terapi perilaku hampir tidak pernah dilakukan, karena dianggap tidak akan banyak manfaatnya. Wawancara tatap muka yang rutin dengan pasien jarang dilakukan (Wicaksana, 2000).

Psikoterapi adalah perawatan dan penyembuhan gangguan jiwa dengan cara psikologis. beberapa pakar psikoterapi beranggapan bahwa perubahan perilaku tergantung pada pemahaman individu atas motif dan konflik yang tidak disadari.

a. Terapi psikoanalisa

Terapi Psikoanalisa adalah metode terapi berdasarkan konsep Freud. Tujuan psikoanalisis adalah menyadarkan individu akan konflik yang tidak disadarinya dan mekanisme pertahanan yang digunakannya untuk mengendalikan kecemasannya . Hal yang paling penting pada terapi ini adalah untuk mengatasi hal-hal yang direpress oleh penderita. Metode terapi ini dilakukan pada saat penderita skizofrenia sedang tidak "kambuh". Macam terapi psikoanalisa yang dapat dilakukan, adalah Asosiasi Bebas. Pada teknik terapi ini, penderita didorong untuk membebaskan pikiran dan perasaan dan mengucapkan apa saja yang ada dalam pikirannya tanpa penyuntingan atau penyensoran (Akinson, 1991).

Pada teknik ini, penderita disupport untuk bisa berada dalam kondisi relaks baik fisik maupun mental dengan cara tidur di sofa. Ketika penderita dinyatakan sudah berada dalam keadaan relaks, maka pasien harus mengungkapkan hal yang dipikirkan pada saat itu secara verbal. Pada saat penderita tidur di sofa dan disuruh menyebutkan segala macam pikiran dan perasaan yang ada di benaknya dan penderita mengalami blocking, maka hal itu merupakan manifestasi dari keadaan over-repressi. Hal yang direpress biasanya berupa dorongan vital seperti sexual dan agresi. Repressi terhadap dorongan agresi menyangkut figur otorotas yang selalu diwakili oleh father dan mother figure. Repressi anger dan hostile merupakan salah satu bentuk intrapsikis yang biasa menyebabkan blocking pada individu. Akibat dari blocking tersebut, maka integrasi kepribadian menjadi tidak baik, karena ada tekanan ego yang sangat besar.

Menurut Freud, apabila terjadi blocking dalam proses asosiasi bebas, maka penderita akan melakukan analisa. Hasil dari analisanya dapat menimbulkan insight pada penderita. Analisa pada waktu terjadi blocking bertujuan agar penderita mampu menempatkan konfliknya lebih proporsional, sehingga penderita mengalami suatu proses penurunan ketegangan dan penderita lebih toleran terhadap konflik yang dialaminya. Seperti yang telah diungkapkan terdahulu bahwa penderita diberi kesempatan untuk dapat mengungkapkan segala traumatic events dan keinginan-keinginan yang direpressnya. Waktu ini disebut dengan moment chatarsis. Disini penderita diberi kesempatan untuk mengeluarkan uneg-uneg yang ia rasakan , sehingga terjadi redusir terhadap pelibatan emosi dalam menyelesaikan masalah yang dialaminya. Dalam teknik asosiasi bebas ini, juga terdapat proses transference, yaitu suatu keadaan dimana pasien menempatkan therapist sebagai figur substitusi dari figur yang sebenarnya menimbulkan masalah bagi penderita.

Terdapat 2 macam transference, yaitu:

1) transference positif, yaitu apabila therapist menggantikan figur yang disukai oleh penderita,

2) transference negatif, yaitu therapist menggantikan figur yang dibenci oleh penderita (Fakultas Psikologi UNPAD, 1992).

b. Terapi perilaku

Pada dasarnya, terapi perilaku menekankan prinsip pengkondisian klasik dan operan, karena terapi ini berkaitan dengan perilaku nyata. Para terpist mencoba menentukan stimulus yang mengawali respon malasuai dan kondisi lingkungan yang menguatkan atau mempertahankan perilaku itu (Ullaman dan Krasner, 1969; Lazarus, 1971 dalam Atkinson, 1991).

Akhir-akhir ini, pakar terapi perilaku melihat adanya pengaruh variabel kognitif pada perilaku (misalnya, pemikiran individu tentang situasi menimbulkan kecemasan tentang akibat dari tindakan tertentu) dan telah mencakupkan upaya untuk mengubah variabel semacam itu dengan prosedur yang khusus ditujukan pada perilaku tersebut (Bandura, 1982; Meinchenbaum dan Jaremko, 1982 dalam Atkinson, 1991). Pada kongres psikiatri di Malaysia pada tahun 2000, cognitif-behavior therapy untuk pasien skizofrenia ditampilkan pakar psikiatri dari Amerika maupun dari Malaysia sendiri. Ternyata, terdapat hasil yang cukup baik, terutama untuk kasus-kasus baru, dengan menggunakan cognitif-behavior therapy tersebut. Rupanya ada gelombang besar optimisme akan kesembuhan skizofrenia di dunia dengan terapi yang lebih komprehensif ini. Selain itu, secara umum terapi ini juga bermaksud secara langsung membentuk dan mengembangkan perilaku penderita skizofrenia yang lebih sesuai, sebagai persiapan penderita untuk kembali berperan dalam masyarakat. Paul dan Lentz (Rathus,et al., 1991; Davison, et al., 1994) menggunakan dua bentuk program psikososial untuk meningkatkan fungsi kemandirian.

1) Social Learning ProgramSocial learning program menolong penderita skizofrenia untuk mempelajari perilaku-perilaku yang sesuai. Program ini menggunakan token economy, yakni suatu cara untuk menguatkan perilaku dengan memberikan tanda tertentu (token) bila penderita berhasil melakukan suatu perilaku tertentu. Tanda tersebut dapat ditukar dengan hadiah (reward), seperti makanan atau hak-hak tertentu. Program lainnya adalah millieu program atau therapeutic community. Dalam program ini, penderita dibagi dalam kelompok-kelompok kecil yang mempunyai tanggung jawab untuk tugas-tugas tertentu. Mereka dianjurkan meluangkan waktu untuk bersama-sama dan saling membantu dalam penyesuaian perilaku serta membicarakan masalah-masalah bersama dengan pendamping. Terapi ini berusaha memasukkan penderita skizofrenia dalam proses perkembangan untuk mempersiapkan mereka dalam peran sosial yang bertanggung jawab dengan melibatkan seluruh penderitan dan staf pembimbing. Dalam penelitian, social learning program mempunyai hasil yang lebih baik dibandingkan dengan perawatan dalam rumah sakit jiwa dan millieu program. Persoalan yang muncul dalam terapi ini adalah identifikasi tentang unsur-unsur mana yang efektif. Tidak jelas apakah penguatan dengan tanda (token) ataukan faktor-faktor lain yang menyebabkan perubahan perilaku; dan apakah program penguatan dengan tanda tersebut membantu perubahan perilaku hanya selama tanda diberikan atau hanya dalam lingkungan perawatan.

2) Social Skills TrainingTerapi ini melatih penderita mengenai ketrampilan atau keahlian sosial, seperti kemampuan percakapan, yang dapat membantu dalam beradaptasi dengan masyarakat (Rathus, et al., 1991; Davisoan, et al., 1994; Sue, et al., 1986). Social Skills Training menggunakan latihan bermain sandiwara. Para penderita diberi tugas untuk bermain peran dalam situasi-situasi tertentu agar mereka dapat menerapkannya dalam situasi yang sebenarnya. Bentuk terapi seperti ini sering digunakan dalam panti-panti rehabilitasi psikososial untuk membantu penderita agar bisa kembali berperan dalam masyarakat. Mereka dibantu dan didukung untuk melaksanakan tugas-tugas harian seperti memasak, berbelanja, ataupun untuk berkomunikasi, bersahabat, dan sebagainya. Meskipun terapi ini cukup berhasil, namun tetap ada persoalan bagaimana mempertahankan perilaku bila suatu program telah selesai, dan bagaimana dengan situasi-situasi yang tidak diajarkan secara langsung.

c. Terapi humanistik

1) Terapi kelompok

Banyak masalah emosional menyangkut kesulitan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain, yang dapat menyebabkan seseorang berusaha menghindari relasinya dengan orang lain, mengisolasi diri, sehingga menyebabkan pola penyelesaian masalah yang dilakukannya tidak tepat dan tidak sesuai dengan dunia empiris. Dalam menangani kasus tersebut, terapi kelompok akan sangat bermanfaat bagi proses penyembuhan klien, khususnya klien schizophrenia.

Terapi kelompok ini termasuk salah satu jenis terapi humanistik. Pada terapi ini, beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist berperan sebagai fasilitator dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Di antara peserta terapi tersebut saling memberikan feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami oleh mereka. Klien dihadapkan pada setting sosial yang mengajaknya untuk berkomunikasi, sehingga terapi ini dapat memperkaya pengalaman mereka dalam kemampuan berkomunikasi. Di rumah sakit jiwa, terapi ini sering dilakukan. Melalui terapi kelompok ini iklim interpersonal relationship yang konkrit akan tercipta, sehingga klien selalu diajak untuk berpikir secara realistis dan menilai pikiran dan perasaannya yang tidak realistis.

2) Terapi Keluarga

Terapi keluarga ini merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok. Kelompoknya terdiri atas suami istri atau orang tua serta anaknya yang bertemu dengan satu atau dua terapist. Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa dan tinggal bersama keluarganya. Ungkapan-ungkapan emosi dalam keluarga yang bisa mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali diusahakan kembali. Keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang positif maupun yang negatif secara konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap persoalan secara bersama-sama.

Keluarga diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-cara untuk menghadapinya. Keluarga juga diberi penjelasan tentang cara untuk mendampingi, mengajari, dan melatih penderita dengan sikap penuh penghargaan. Perlakuan-perlakuan dan pengungkapan emosi anggota keluarga diatur dan disusun sedemikian rupa serta dievaluasi. Dari beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh Fallon (Davison, et al., 1994; Rathus, et al., 1991) ternyata campur tangan keluarga sangat membantu dalam proses penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya penyakit penderita, dibandingkan dengan terapi.

BAB III

ISI 3.1Kasus

Ny. Nana 40 tahun sudah 3 tahun berprilaku aneh, sering berbicara sendiri, mengaku sebagai utusan Tuhan dan merasa memiliki dan malaikat. Pada peristiwa terakhir, penderita mengangkat diri sebagai Rasul dan mengaku sebagai juru selamat untuk kiamat yang diyakini akan segera datang pada tanggal 11-11-2011. Sebelum kejadian terakhir penderita sudah menyiapkan bangunan suci berupa terowongan di tengah perkampungan untuk tempat peribadatan para pengikutnya sekaligus sebagai tempat perlindungan kalau kiamat datang. Oleh warga dan keluarga karena perilakunya meresahkan masyarakat, dibawa ke RSJ. Didiagnosis Schizoprenia. Orang tua penderita juga memiliki riwayat yang sama dan penderita sudah ditinggal bapaknya sejak berumur 8 tahun. Hasil pemeriksaan vital sign TD 118/80 mmHg, RR 28X/menit, Nadi : 99x/menit, suhu badan 370C. Pemeriksaan Laboratorium Kolesterol :345 mg/dl dan HB : 123.2Gejala

3.2.1Subjektif

a. Berbicara sendiri

b. Mengangkat dirinya sendiri sebagai Rasul (delusi)c. Megaku sebagai juru selamat untuk kiamat (halusinasi)d. Membangun tempat peribadatan umatnya (delusi)

3.2.2Objektif

a. Tekanan Darah (TD): 118/80 mmHg (Normal : 120/80 mmHg)

b. Respiration Rate : 28x/menit c. Nadi

: 99x/menit d. Suhu tubuh

: 370 Ce. Kolesterol

: 345 mg/dl tinggi (Normal : 3.3Terapi

Berdasarkan gejala yang ditimbulkan Ny. Nana termasuk dalam Schizoprenia dengan gejala positif. Selain itu perlu diingat bahwa terapi untuk pengobatan schizophrenia ini harus dilakukan secara maintenance atau berkelanjutan jika tidak maka akan semakin parah. Berikut beberapa terapi untuk kasus dia atas : a. Psychosocial Aspect

Terapi ini merupakan terapi psikis untuk kejiwaannya bisa dibawa ke psikolog atau dari keluarga sendiri. Intinya adalah menjaga stabilitas emosionalnya agar tidak timbul gejala-gejalanya secara mendadak misalnya diajak berbicara atau berjalan-jalan bersama, sehingga perlu perhatian khusus dari keluarga dan orang-orang sekitarnya.

b. Farmakoterapi

1. Olanzepin/ Risperidon

Merupakan pengobatan lini pertama untuk schizophrenia

Mekanisme : menghambat reseptor serotonin sehingga kadar serotonin di otak menurun2. Klorpromazin

Merupakan terapi tambahan termasuk dalam golongan Typical Antipsikotik dengan Low Potensi. Kerjanya bisa sebagai antihistamin.

3. Litium Karbonat

Digunakan sebagai terapi tambahan tujuannya adalah untuk menstabilkan emosinya.

4. Vitamin Neurotropik

Untuk menjaga sel syarafnya.

5. Simvastatin

Berfungsi untuk mengontrol kadar kolesterolnya

Mekanisme : mempercepat pemindahan kolesterol dari darah dan menurunkan pembentukan kolesterol dengan cara menghambat enzim yang memepercepat sintesis kolesterol.

3.4 Monitoring

Monitoring yang harus dilakukan untuk Nyonya Nana adalah :

a. Melihat perubahan sikap dan prilaku dari nyonya nana serta banyak mengajak berkomunikasi b. Dipantau penggunaan obatnya harus teratur agar gejala tidak semakin parah

c. Penggunaan obat harus terus dilakukan tidak boleh terhenti

d. Diusahakan untuk selalu didampingi tidak dibiarkan untuk keluar atau berjalan sendirian karena bisa menimbulkan gejala yang akut.

e. Dilihat di laboratorium kadar serotonin dan dopamine pada nyonya nana apakah ada perbaikan atau tidak ada perubahan, jika tidak perlu diganti farmakologinya. BAB IV

PENUTUP

4.1Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dari kasus Nyonya Nana maka beliau digolongkan kedalam Schizophrenia dengan gejala positif, diantaranya yaitu berbicara sendiri, berhalusinasi dan delusi. Terapi pengobatan atau farmakologi yang diberikan sebagai lini pertama yaitu olanzepin atau risperidon dan untuk tambahannya bisa diberikan vitamin neurotropic dan obat lainnya yang mendukung tingkat emosionalnya. Sedangkan untuk mengatasi kolesterolnya yang tinggi maka diberikan simvastatin karean efektif untuk untuk menurunkan kolesterol.

4.2Saran

a. Pengobatan schizophrenia harus selalu di monitoring terutama kepatuhan pasiennya

b. Pasien schizophrenia sebaiknya diberikan juga lebih banyak terapi psikologis agar emosionalnya lebih terjaga

c. Pasien schizophrenia dengan gejala positif sebaiknya tidak dibiarkan keluar rumah sendirian sedangkan dengan gejala negative sebaiknya diberi pendekatan psikis agar dia tidak menutup diri terus-menerus.