Top Banner
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah". Dengan demikian pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah wewenang atau kekuasaan pada suatu wilayah atau daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah atau daerah masyarakat itu sendiri. Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang atau kekuasaan pada suatu wilayah atau daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah atau daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya. Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang- bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman. Otonomi daerah tidak hanya pelaksanaan demokrasi pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya melainkan juga memperbaiki nasibnya sendiri. Di dalam UUD 1945 antara lain tersurat bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Namun dalam praktiknya hal tersebut belum dilaksanakan secara proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan pemerataan bahkan dalam kenyataannya, terlihat sangat kuatnya kekuasaan yang terpusat dan lemahnya
34

Makalah sistem pemerintahan daerah

Nov 18, 2014

Download

Education

 
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Makalah sistem pemerintahan daerah

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri".

Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah". Dengan demikian

pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah wewenang atau kekuasaan pada suatu wilayah atau

daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah atau daerah masyarakat itu sendiri.

Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang atau kekuasaan pada suatu wilayah atau daerah yang

mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah atau daerah masyarakat itu sendiri mulai dari

ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan

ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.

Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan pelaksana,

kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi.

Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan

keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan

pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan,

pemerataan, dan keanekaragaman.

Otonomi daerah tidak hanya pelaksanaan demokrasi pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.

Rakyat tidak saja menentukan nasibnya melainkan juga memperbaiki nasibnya sendiri. Di dalam

UUD 1945 antara lain tersurat bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia

memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Namun dalam

praktiknya hal tersebut belum dilaksanakan secara proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip

demokrasi, keadilan dan pemerataan bahkan dalam kenyataannya, terlihat sangat kuatnya kekuasaan

yang terpusat dan lemahnya kekuasaan daerah. Dalam perkembangannya, pemerintah pusat yang

semula dalam posisi kuat, kenyataannya justru mengandung kelemahan. Hal ini antara lain

disebabkan oleh berbagai permasalahan yang muncul. Salah satunya yang paling rawan adalah

ancaman beberapa daerah untuk melepaskan diri dari pemerintah pusat.

Merespon perkembangan tuntutan reformasi yang berkaitan dengan pemerintahan daerah ini,

pertimbangan yang sangat strategis adalah perlu adanya Undang-undang yang mengatur

penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang sesuai dengan perkembangan baru dan mengantisipasi

perkembangan masa depan dengan tetap memperhatikan faktor eksistensi, efektifitas, dan keserasian

dengan tujuan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Sistem pemerintahan daerah di Indonesia menurut konstitusi Undang-Undang Dasar 1945,

berdasarkan penjelasan dinyatakan bahwa daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan

daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah yang bersifat otonom atau

bersifat administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang ada akan ditetapkan dengan undang-

undang. Di daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah. Oleh karena itu

walaupun di daerah, pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan. Dalam rangka

penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai amanat UUD Negara RI tahun 1945 maka kebijakan

Page 2: Makalah sistem pemerintahan daerah

politik hukum yang ditempuh oleh pemerintah terhadap pemerintahan daerah yang dapat mengatur

dan mengurus sendiri urusan pemerintahan, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan

untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,

pemberdayaan, dan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah, dengan

mempertimbangkan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu

daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI.

Seiring dengan dilaksanakannya program otonomi daerah, pada umumnya masyarakat mengharapkan

adanya peningkatan kesejahteraan dalam bentuk peningkatan mutu pelayanan masyarakat, partisipasi

masyarakat yang lebih luas dalam pengambilan kebijakan publik, yang sejauh ini hal tersebut kurang

mendapat perhatian dari pemerintahan pusat. Namun kenyataannya sejak diterapkannya Undang-

Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999

tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah sejak Januari 2001, belum

menunjukkan perkembangan yang signifikan bagi pemenuhan harapan masyarakat tersebut.

Dengan berkembangnya globalisasi, demokratisasi dan transparansi penyelenggaraan pemerintahan

tidak akan terlepas dari pengaruh global tersebut. Prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan

menuntut adanya pemberian peran serta kepada warga negara dalam sistem pemerintahan, antara lain

perlindungan konsitusional. Artinya, selain menjamin hak-hak individu, konstitusi harus pula

menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin, badan

kehakiman yang bebas dan tidak memihak, pemilihan umum yang bebas, kebebasan menyatakan

pendapat, kebebasan berserikat atau berorganisasi dan beroposisi, serta pendidikan kewarganegaraan.

Prinsip keistimewaan atau kekhususan sehingga pemerintah memberikan otonomi khusus kepada

daerah tertentu dalam ikatan NKRI.

Kebijakan politik hukum pemerintahan guna efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan

daerah, diperlukan peningkatan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan

pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dann

tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah

dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem

penyelenggaraan pemerintahan NKRI.

Dalam penulisan makalah ini, kami mengkaji mengenai peran Otonomi daerah yang dinilai mampu

mewujudkan tujuan pemerintahan NKRI yaitu peningkatan kesejahteraan, terkait pelaksanaan sistem

pemerintahan dalam wilayah NKRI.

1.2. Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini ada 4 masalah utama yang perlu dibahas yaitu:

1. Apa landasan hukum sistem otonomi Daerah?

2. Bagaimana karakter hubungan Pemerintah NKRI dengan Daerah?

3. Bagaimana realisasi otonomi daerah dalam pemerintahan NKRI?

4. Apa hasil penerapan kebijakan otonomi daerah di wilayah NKRI?

1.3. Tujuan

Tujuan penulisan mengenai sistem otonomi daerah di dalam Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan

Negara RI, adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui landasan hukum sistem otonomi Daerah.

2. Mengetahui karakter hubungan Pemerintah NKRI dengan Daerah.

Page 3: Makalah sistem pemerintahan daerah

3. Mengetahui realisasi otonomi daerah dalam pemerintahan NKRI.

4. Mengetahui penerapan kebijakan otonomi daerah di wilayah NKRI.

1.4. Manfaat

Tulisan dalam makalah ini dapat digunakan sebagai bahan yang mendukung proses perenungan serta

diskusi untuk mengkaji sistem yang dinilai tepat digunakan dalam sistem pemerintahan NKRI yang

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 terkait dengan pewujudan peningkatan

kesejahteraan rakyat melalui otonomi daerah.

Page 4: Makalah sistem pemerintahan daerah

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Hukum Otonomi Daerah

Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Amandemen Kedua tahun 2000 untuk

dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan

daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan permasalahan pemerintahan daerah dalam

Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Sistem otonomi daerah sendiri tertulis secara

umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang.

Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur

dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.”

Selanjutnya, pada ayat (5) tertulis, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali

urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.” Dan

ayat (6) pasal yang sama menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan

peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.”

Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan,

ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk

menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) memberikan definisi otonomi daerah

sebagai berikut.

“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.”

UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut.

“Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai

batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara

Kesatuan Republik Indonesia.”

Dalam sistem otonomi daerah, dikenal istilah desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.

Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah

otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia, Sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah

pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah kepada instansi vertikal di wilayah

tertentu.

Sementara itu, tugas pembantuan merupakan penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah atau

desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota

Page 5: Makalah sistem pemerintahan daerah

kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Sebagai konsekuensi pemberlakuan sistem otonomi daerah, dibentuk pula perangkat peraturan

perundang-undangan yang 5 Indonesia (b), Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, No. 32

Tahun 2004, LN No. 125 tahun 2004, TLN No. 4437, ps. 1. mengatur mengenai perimbangan

keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 25 Tahun 1999) yang

kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004).

Selain itu, amanat UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-

masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”

direalisasikan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,

Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (PP Nomor 6 Tahun

2005).

2.2 Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia

Menurut amanat UU Nomor 32 Tahun 2004, publik seharusnya dilibatkan dalam pembuatan

kebijakan. Namun, di beberapa daerah yang sudah mengadopsi sistem otonomi daerah, kenyataan

yang terjadi masih jauh dari harapan. Pengambilan keputusan belum melibatkan publik dan masih

berada di lingkaran elite lokal provinsi dan kabupaten/kota. Keterlibatan publik dalam pembuatan

kebijakan itu tercermin dari pembuatan peraturan daerah (perda).

Otonomi daerah yang dicanangkan sejak Januari 2001 telah membawa perubahan politik di tingkat

lokal (daerah). Salah satunya adalah menguatnya peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Jika di masa sebelumnya DPRD hanya sebagai simbol dan kedudukannya di bawah legislatif, setelah

otonomi daerah, peran legislatif menjadi lebih besar, bahkan dapat memberhentikan kepala daerah.

Sebagai contoh dari gambaran tersebut, sejak pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Kabupaten

(Pemkab) Deli Serdang, Sumatera Utara, telah membuat 43 perda. Dari 43 perda itu, sebagian

berkaitan dengan peningkatan pendapatan daerah, yaitu perda tentang retribusi dan pajak. Pembuatan

perda semuanya berasal dari eksekutif, kemudian dibawa untuk dibahas di DPRD. Setelah dilakukan

pengesahan, perda-perda itu baru disosialisasikan ke publik. Meskipun Pemkab Deli Serdang cukup

produktif dalam mengeluarkan peraturan, tidak demikian dengan pelayanan publik yang mereka

berikan.

Walaupun pelaksanaan otonomi daerah lebih memikirkan peningkatan pendapatan daerah, seperti

yang ditunjukkan dari ringkasan penelitian tentang desentralisasi di 13 kabupaten/kota di Indonesia,

implementasi otonomi daerah selain telah mendekatkan pemerintah setempat dengan masyarakat, juga

mendorong bangkitnya partisipasi warga.

Otonomi daerah, di lain pihak, memperkenalkan kecenderungan baru, yaitu banyaknya lembaga sosial

masyarakat baru yang bertujuan untuk mengatasi konflik, perbedaan etnis, dan masalah sosial-

ekonomi dengan bantuan minimal dari pemerintah lokal. Pemerintah lokal juga mencoba

mengadopsikan peran aktif mengasimilasi kepentingan golongan minoritas. Untuk mengatasi masalah

asimilasi, pada awal 1970-an, Presiden Soeharto membentuk Badan Kesatuan Bangsa dan Pembaruan

Masyarakat (BKBPM), dan setelah reformasi, mengubah namanya menjadi Badan Kesatuan Bangsa

(BKB). Badan ini memberikan dana kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bertujuan

untuk menjalankan program asimilasi dan membangkitkan sensitif suku, agama, ras, dan

Page 6: Makalah sistem pemerintahan daerah

antargolongan (SARA) dan saling pengertian antarkelompok minoritas. Program BKB juga

menggunakan LSM dan aparat pemerintah dalam membangun program asimilasi kebudayaan dan

kelompok etnis plural.

Dampak positif otonomi daerah adalah memunculkan kesempatan identitas lokal yang ada di

masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari

pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang

diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana

tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun

program promosi kebudayaan dan juga pariwisata.

Dalam kehidupan modern yang kita jalani dewasa ini, eksistensi pemerintahan tidak dapat dipungkiri

lagi. Kehadiran pemerintah menjangkau hampir semua segi kehidupan, mulai dari kelahiran anak

(akte kelahiran), nikah (harus pakai akte nikah), bahkan sampai seseorang meninggal dunia (harus

mengurus akte kematian).

Tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban di dalam mana

masyarakat bisa menjalani kehidupannya secara wajar. Pemerintahan modern, dengan kata lain, pada

hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Pemerintahan tidaklah diadakan untuk melayani

dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap

anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai kemajuan

bersama. Oleh karena itu, secara umum, tugas-tugas pokok pemerintahan mencakup tujuh bidang

pelayanan, yaitu :

1. Menjamin keamanan negara dari segala kemungkinan serangan dari luar, dan menjaga agar tidak

terjadi pemberontakan dari dalam yang dapat menggulingkan pemerintah yang sah melalui cara-cara

kekerasan;

2. Memelihara ketertiban dengan mencegah terjadinya perselisihan di antara warga masyarakat,

menjamin agar perubahan apapun yang terjadi di dalam masyarakat dapat berlangsung secara damai;

3. Menjamin diterapkannya perlakuan yang adil kepada setiap warga masyarakat tanpa membedakan

status apapun yang melatarbelakangi keberadaan mereka. Jaminan keadilan ini terutama harus

tercermin melalui keputusan-keputusan pengadilan, dimana kebenaran diupayakan pembuktiannya

secara maksimal, dan dimana konstitusi dan hukum yang berlaku dapat ditafsirkan dan diterapkan

secara adil dan tidak memihak, serta dimana perselisihan bisa didamaikan;

4. Melakukan pekerjaan umum dan memberikan pelayanan dalam bidang-bidang yang tidak mungkin

dikerjakan oleh lembaga non-pemerintah. Ini antara lain mencakup pembangunan jalan, penyediaan

fasilitas pendidikan yang terjangkau oleh mereka yang berpendapatan rendah, pelayanan pos dan

pencegahan penyakit menular;

5. Melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial : membantu orang miskin dan

memelihara orang-orang cacat, jompo dan anak-anak terlantar, menampung serta menyalurkan para

gelandangan ke sektor kegiatan yang produktif, dan semacamnya;

6. Menerapkan kebijakan ekonomi yang menguntungkan masyarakat luas, seperti mengendalikan laju

inflasi, mendorong penciptaan lapangan kerja baru, memajukan perdagangan domestik dan antar

bangsa, serta kebijakan lain secara langsung menjamin peningkatan ketahanan ekonomi negara dan

masyarakat;

7. Menerapkan kebijakan untuk pemeliharaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, seperti air,

Page 7: Makalah sistem pemerintahan daerah

tanah, dan hutan. Pemerintah juga berkewajiban mendorong kegiatan penelitian dan pengembangan

untuk pemanfaatan sumber daya alam yang mengutamakan keseimbangan antara eksploitasi dan

reservasi.

Sementara itu, untuk melaksanakan tugas-tugas pokok tersebut, pemerintah mempunyai beberapa

fungsi. Pada umumnya pemerintah menjalankan dua fungsi pokok, fungsi pemerintahan umum. Yaitu

mengatur kehidupan politik, sosial, ketertiban, pertahanan keamanan, termasuk kependudukan. Fungsi

ini merupakan monopoli pemerintah, dalam arti pihak lain tidak mempunyai kewenangan untuk

melaksanakannya. Fungsi penyediaan pelayanan masyarakat dalam arti luas, antara lain, kesehatan,

pendidikan, pos, telekomunikasi, dan sebagainya. Fungsi ini bukan monopoli pemerintah, terbuka

untuk fihak swasta yang melakukannya. Selain dua fungsi tersebut, dalam negara berkembang

pemerintah juga dibebani fungsi ke tiga yaitu fungsi pembangunan.

Tugas pokok dan fungsi pemerintahan yang tertera di atas menggambarkan adanya jangkauan yang

luas dan kompleks, dengan tanggung jawab yang sangat berat, terpikul di atas pundak setiap

pemerintahan. Untuk melakukan tugas pokok dan fungsi tersebut, adalah hal yang sangat sulit jika

dilaksanakan secara terpusat (concentrated) oleh Pemerintah Pusat. Untuk itu, tugas pokok dan fungsi

tersebut harus diserahkan atau didelegasikan sebagian dalam bentuk kewenangan melalui asas

desentralisasi kepada daerah (otonom) untuk diselenggarakan.

Pilihan terhadap orientasi pemerintahan yang desentralistis didasarkan pada beberapa alasan yang

ditinjau dari beberapa dimensi, yaitu :

1. Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan untuk

mencegah penumpukan kekuasaan pada salah satu pihak saja, yang pada akhirnya dapat menimbulkan

tirani;

2. Dalam bidang politik penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan pendemokrasian,

untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak

demokrasi;

3. Dari sudut organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan daerah (desentralisasi)

adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama

diurus oleh pemerintah setempat pengurusannya diserahkan kepada daerah. Hal-hal yang lebih tepat

di tangan pusat tetap diurus oleh Pemerintah Pusat;

4. Dari sudut kultural, desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpahkan

kepada kekhususan suatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak

kebudayaan atau latar belakang sejarahnya;

5. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena pemerintah daerah

dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut.

Desentralisasi dalam tinjauan etimologis (Latin ; “de” lepas, “centrum” pusat) dapat diartikan

melepaskan dari pusat. Pengertian ini dapat dikonotasikan sebagai pencerminan adanya pelepasan

dalam konteks penyerahan kekuasaan atau kewenangan dari pusat ke daerah. Scligman

mengemukakan bahwa desentralisasi merupakan suatu proses penyerahan wewenang (authority) dari

pemerintah yang lebih tinggi yang mempunyai kekuasaan (power) kepada pemerintah yang lebih

rendah derajatnya, yang menyangkut bidang legislatif atau administratif. Senada dengan hal tersebut,

selanjutnya Ruiter meneruskan bahwa kewenangan tersebut untuk secara mandiri dan berdasarkan

kepentingan, sendiri mengambil keputusan pengaturan dan pemerintahan, serta struktur wewenang

Page 8: Makalah sistem pemerintahan daerah

yang terjadi dari hal tersebut.

Format desentralisasi terdapat dalam dua bentuk, yakni : desentralisasi administratif atau

dekonsentrasi, yang berarti delegasi wewenang pelaksanaan kepada tingkat lokal, dan desentralisasi

politik atau devolusi, yang berarti bahwa wewenang pembuatan keputusan dan kontrol tertentu

terhadap sumber daya diberikan kepada pejabat-pejabat regional dan lokal.

Desentralisasi adalah merupakan penyerahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Daerah

Otonom, untuk secara mandiri dapat mengembangkan kreatifitas dan prakarsa dalam penyelenggaraan

pemerintahan. Hak dan wewenang untuk mengurus rumah tangga sendiri (local self government) ini

dikenal dengan otonomi daerah.

Wewenang dalam konsep organisasi dan manajemen diartikan sebagai hak suatu unit kerja atau

seseorang pejabat untuk melakukan sesuatu tugas dengan penuh tanggung jawab. Terry (2000 : 101)

berpendapat bahwa pada organisasi-organisasi resmi yang berjalan, wewenang harus didelegasikan

atau dibagi dari seorang manajer atau kelompok kerja organisasi pada pihak-pihak lain untuk

melaksanakan kewajiban-kewajiban khusus. Pendelegasian wewenang adalah untuk memutuskan

perkara yang cenderung menjadi kewajibannya. Walaupun demikian, manajer yang mendelegasikan

wewenang tidak menyerahkan secara permanen baik wewenang maupun tanggung jawabnya. Hal-hal

yang dilakukan itu merupakan penyerahan hak untuk mengelola tugas-tugas di dalam batas-batas

yang telah ditentukan, namun wewenang akhir tetap berada pada manajer yang memegang wewenang

untuk mengelola seluruh kegiatan dan memikul tanggung jawab terakhir.

Lebih lanjut Terry (2000 : 101) mengemukakan bahwa pendelegasian wewenang merupakan suatu

faktor yang vital di dalam organisasi dan manajemen, karena :

1. Menetapkan hubungan oraganisatoris format di antara anggota-anggota;

2. Memberikan kekuasaan manajerial;

3. Mengembangkan bawahan dengan cara memberi izin kepada mereka untuk mengambil keputusan.

Dalam melaksanakan pendelegasian wewenang, Nitisemito (1996 : 136-137) berpendapat bahwa hal-

hal yang harus diperhatikan, yaitu :

1. Kemampuan mengkategorikan antara tugas yang penting dan yang kurang penting;

2. Wewenang dan tanggung jawab harus dikemukakan dengan jelas;

3. Dalam pendelegasian wewenang diperlukan tanggapan, rasa tanggung jawab, inisiatif dan

kreatifitas yang diberi wewenang, untuk itu dibutuhkan kepercayaan dari pemberi wewenang;

4. Dalam pendelegasian wewenang tidak setengah dan dalam batas kemampuan.

Melengkapi pendapat di atas, menurut Purbopranoto dalam Nihin (1999 : 47), untuk mewujudkan

pemerintahan yang dikehendaki “good governance” adalah melalui asas-asas umum pemerintahan

yang baik, antara lain sebagai berikut : asas jangan mencampuradukkan kewenangan, bahwa

keputusan badan-badan pemerintah yang dikeluarkan harus sesuai dengan tujuan dan kewenangan

yang diberikan kepada badan-badan pemerintah itu, atau dengan perkataan lain, bahwa tidak boleh

menggunakan kewenangan untuk lain tujuan selain daripada tujuan yang telah ditetapkan oleh

kewenangan tersebut.

Apabila rambu-rambu tersebut diikuti dengan baik, maka akan memberi manfaat yang signifikan.

Terry (2000 : 105) mengemukakan bahwa manfaat yang diperoleh dari desentralisasi wewenang, yaitu

antara lain : mendorong efektifitas hubungan, terdapat kesempatan yang lebih besar berkembang.

Penyerahan atau pembagian kewenangan daerah dari Pemerintah Pusat kepada daerah, membawa

Page 9: Makalah sistem pemerintahan daerah

konsekuensi pada terbaginya urusan dan tugas pemerintahan. Beberapa sistem dalam pembagian

kewenangan, yaitu antara lain :

1. Sistem Residu; Dalam sistem ini, secara umum telah ditentukan lebih dahulu tugas-tugas yang

menjadi wewenang Pemerintah Pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah tangga Daerah.

2. Sistem Material; Dalam sistem ini tugas Pemerintah Daerah ditetapkan satu per satu secara

limitative atau terinci. Selain dari tugas yang telah ditentukan, merupakan urusan Pemerintah Pusat.

3. Sistem Formal; Dalam sistem ini urusan yang termasuk dalam urusan rumah tangga Daerah tidak

secara apriori ditetapkan atau dengan Undang-Undang. Daerah boleh mengatur dan mengurus segala

sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya, asal tidak mencakup urusan yang telah diatur oleh

pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi tingkatnya.

4. Sistem Riil; Dalam sistem ini, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada daerah

didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan riil dari Daerah

maupun Pemerintah Pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi.

Faktor yang menjadi dasar pembagian wewenang antara pusat dan daerah adalah : Fungsi yang

sifatnya berskala nasional dan berkaitan dengan eksistensi negara sebagai kesatuan politik,

wewenangnya diserahkan kepada Pemerintah Pusat; fungsi yang menyangkut pelayanan masyarakat

yang perlu disediakan secara seragam atau standard untuk seluruh daerah, kewenangan ini lebih

sesuai dikelola oleh Pemerintah Pusat mengingat lebih ekonomis bila diusahakan dalam skala besar

(economic of scale); fungsi pelayanan yang bersifat lokal. Fungsi ini melibatkan masyarakat luas

tetapi tidak memerlukan tingkat pelayanan yang seragam, untuk melaksanakan fungsi tersebut

wewenangnya dapat diserahkan pada Pemerintah Daerah.

2.3 Pelaksanaan Otonomi Daerah

Otonomi Daerah yang dilaksanakan saat ini adalah Otonomi Daerah yang berdasarkan kepada

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut UU ini, otonomi

daerah dipahami sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

Prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung

jawab. Kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelengarakan

pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di

bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta

kewenangan bidang lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Yang dimaksud dengan

otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di

bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh hidup, dan berkembang di daerah,

sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan

pertanggung-jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam

wujud tugas dan kewajiban yang dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi,

berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semkain baik, pengembangan

kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat

dan daerah serta antara daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah dalam UU 22/1999 adalah :

1. Penyelengaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan,

Page 10: Makalah sistem pemerintahan daerah

pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.

2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertangung jawab.

3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota.

4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin

hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah.

5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan

karenanya dalam daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi wilayah administratif.

6. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif

Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah.

7. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai

Wilayah Administratis untuk melaksanakan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada

Gubernur sebagai wakil Pemerintah.

8. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah kepada Daerah,

tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan sarana dan

prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan

mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.

Dalam implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999 yang dilaksanakan mulai 1

Januari 2001 terdapat beberapa permasalahan yang perlu segera dicarikan pemecahannya. Namun

sebagian kalangan beranggapan timbulnya berbagai permasalahan tersebut merupakan akibat dari

kesalahan dan kelemahan yang dimiliki oleh UU 22/1999, sehingga merekapun mengupayakan

dilakukannya revisi terhadap UU 22/1999 tersebut.

Jika kita mengamati secara obyektif terhadap implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan

UU 22/1999 yang baru berjalan memasuki bulan kesepuluh bulan ini, berbagai permasalahan yang

timbul tersebut seharusnya dapat dimaklumi karena masih dalam proses transisi. Timbulnya berbagai

permasalahan tersebut lebih banyak disebabkan karena terbatasnya peraturan pelaksanaan yang bisa

dijadikan pedoman dan rambu-rambu bagi implementasi kebijakan Otonomi Daerah tersebut.

2.4 Otonomi Daerah dan Masa Depannya

Perhatian dalam prinsip-prinsip pemberian dan penyelenggaraan otonomi Daerah dapat diperkirakan

prospek ke depan dari Otonomi Daerah tersebut. Untuk mengetahui prospek tersebut dapat dilakukan

dengan menggunakan berbagai pendekatan. Salah satu pendekatan yang kita gunakan disini adalah

aspek ideologi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

Prinsip-prinsip dan dasar pemikiran yang digunakan dianggap sudah cukup memadai dengan kondisi

dan kebutuhan masyarakat dan daerah. Kebijakan Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah

upaya pemberdayaan dan pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat mememnuhi

aspirasi berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta hubungan Pusat

dan Daerah.

Dari aspek ideologi, sudah jelas dinyatakan bahwa Pancasila merupakan pandangan, falsafah hidup

dan sekaligus dasar negara. Nilai-nilai Pancasila mengajarkan antara lain pengakuan Ketuhanan,

semangat persatuan dan kesatuan nasional, pengakuan hak azasi manusia, demokrasi, dan keadilan

dan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat. Jika kita memahami dan menghayati nilai-nilai

Page 11: Makalah sistem pemerintahan daerah

tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan Otonomi Daerah dapat diterima dalam

penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui Otonomi Daerah nilai-nilai luhur

Pancasila tersebut akan dapat diwujudkan dan dilestarikan dalam setiap aspek kehidupan bangsa

Indonesia.

Dari aspek politik, pemberian otonomi dan kewenangan kepada Daerah merupakan suatu wujud dari

pengakuan dan kepercayaan Pusat kepada Daerah. Pengakuan Pusat terhadap eksistensi Daerah serta

kepercayaan dengan memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah akan menciptakan hubungan

yang harmonis antara Pusat dan Daerah. Selanjutnya kondisi akan mendorong tumbuhnya dukungan

Derah terhadap Pusat dimana akhirnya akan dapat memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.

Kebijakan Otonomi Daerah sebagai upaya pendidikan politik rakyat akan membawa dampak terhadap

peningkatan kehidupan politik di Daerah.

Dari aspek ekonomi, kebijakan Otonomi Daerah yang bertujuan untuk pemberdayaan kapasitas

daerah akan memberikan kesempatan bagi Daerah untuk mengembangkan dan meningkatkan

perekonomiannya. Peningkatan dan pertumbuhan perekonomian daerah akan membawa pengaruh

yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat di Daerah. Melalui kewenangan yang

dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, daerah akan berupaya untuk

meningkatkan perekonomian sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan. Kewenangan daerah

melalui Otonomi Daerah diharapkan dapat memberikan pelayanan maksimal kepada para pelaku

ekonomi di daerah, baik lokal, nasional, regional maupun global.

Dari aspek sosial budaya, kebijakan Otonomi Daerah merupakan pengakuan terhadap

keanekaragaman Daerah, baik itu suku bangsa, agama, nilai-nilai sosial dan budaya serta potensi

lainnya yang terkandung di daerah. Pengakuan Pusat terhadap keberagaman daerah merupakan suatu

nilai penting bgi eksistensi daerah. Dengan pengakuan tersebut Daerah akan merasa setara dan sejajar

dengan suku bangsa lainnya, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap upaya mempersatukan bangsa

dan negara. Pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya lokal akan dapat ditingkatkan dimana

pada akhirnya kekayaan budaya lokal akan memperkaya khasanah budaya nasional.

Selanjutnya dari aspek pertahanan dan keamanan, kebijakan Otonomi Daerah memberikan

kewenangan kepada masing-msing daerah untuk memantapkan kondisi Ketahanan daerah dalam

kerangka Ketahanan Nasional. Pemberian kewenangan kepada Daerah akan menumbuhkan

kepercayaan Daerah terhadap Pusat. Tumbuhnya hubungan dan kepercayaan Daerah terhadap Pusat

akan dapat mengeliminir gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan

Republik Indonesia .

Memperhatikan pemikiran dengan menggunakan pendekatan aspek ideologi, politik, sosal budaya dan

pertahanan keamanan, secara ideal kebijakan Otonomi Daerah merupakan kebijakan yang sangat tepat

dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini berarti bahwa kebijakan Otonomi Daerah

mempunyai prospek yang bagus di masa mendatang dalam menghadapi segala tantangan dalam

penyelenggaraan kehidupan bermasya-rakat, berbangsa dan bernegara.

Namun demikian prospek yang bagus tersebut tidak akan dapat terlaksana jika berbagai kendala dan

tantangan yang dihadapi tidak dapat diatasi dengan baik. Untuk dapat mewujudkan prospek Otonomi

Daerah di masa mendatang tersebut diperlukan suatu kondisi yang kondusif diantaranya yaitu:

• Adanya komitmen politik dari seluruh komponen bangsa terutama pemerintah dan lembaga

perwakilan untuk mendukung dan memperjuangkan implementasi kebijakan Otonomi Daerah.

Page 12: Makalah sistem pemerintahan daerah

• Adanya konsistensi kebijakan penyelenggara negara terhadap implementasi kebijakan Otonomi

Daerah.

• Kepercayaan dan dukungan masyarakat serta pelaku ekonomi dalam pemerintah dalam mewujudkan

cita-cita Otonomi Daerah.

Dengan kondisi tersebut bukan merupakan suatu hal yang mustahil Otonomi Daerah mempunyai

prospek yang sangat cerah di masa mendatang. Kita berharap melalui dukungan dan kerjasama

seluruh komponen bangsa kebijakan Otonomi Daerah dapat diimplementasikan dalam

penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Page 13: Makalah sistem pemerintahan daerah

III

PEMBAHASAN

3.1 Landasan Hukum

Di dalam pokok-pokok perubahan UUD 1945 pada bab IV pasal 18 ayat 1 tentang pengaturan

pemerintahan daerah, dijelaskan bahwa negara Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi

dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Setiap provinsi, kabupaten dan kota

mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Sebagai negara kesatuan, kita

tidak mengenal adanya negara dalam negara, karena memang bukan negara federal (serikat).

Pembagian daerah adalah sekedar suatu desentralisasi dengan otonomi yang luas untuk melancarkan

jalannya pemerintahan. Selanjutnya dalam ayat 2 diatur tentang otonomi pemerintahan daerah.

Dijelaskan dalam pasal tersebut bahwa pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota mengatur

dan mengurus sendiri urusan pemerintahan. Selain mengatur tentang otonomi daerah, UUD 1945 hasil

amandemen juga mengakui keistimewaan pemerintahan daerah. Dalam pasal 18B ayat 1, hubungan

pemerintah pusat dan daerah provinsi, kabupaten dan kota diatur dalam suatu undang-undang dengan

memperhatikan keistimewaan daerah masing-masing. Selain itu, negara mengakui dan menghormati

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yan diatur dalam undang-undang (pasal

18B ayat2). Hal ini merupakan perwujudan kebinekaan masyarakat dan wilayah Negara Indonesia

dengan segala kekayaan etnis, budaya, adat istiadat dan karakter masing-masing.

Kebebasan dan keterbukaan politik yang terjadi pasca Orde Baru membawa konsekuensi logis pada

pemerintahan untuk segera mengubah diri. Segala macam kebijakan dan regulasi yang berbau orde

baru yang sentralistis diubah sedemikian besarnya menjadi sangat terdesentralisasi. Kebijakan

desentralisasi diperkenalkan pada tahun 1999 melalui UU No.22/1999 dan UU 25/1999. Dua undang-

undang ini lahir untuk merespon dua kondisi sosial-politik yaitu merebaknya tuntutan daerah untuk

memperoleh otonomi yang lebih luas, bahkan tuntutan federasi dan merdeka, serta semangat

demokrasi yang menuntut ruang partisipasi yang luas.

Dengan setting sosial politik ini maka UU No. 22/1999 dan UU 25/1999 hadir dengan dua misi

utama. Untuk memuaskan semua daerah dengan memberikan ruang partisipasi politik yang tinggi

melalui ‘desentralisasi politik’ dari pusat kepada daerah, dan memberikan kesempatan dan kepuasan

politik kepada masyarakat dengan memberikan kesempatan untuk menikmati simbol-simbol utama

demokrasi lokal (misal pemilihan Kepala Daerah). Untuk memuaskan daerah-daerah kaya

sumberdaya alam yang ‘memberontak’ dengan memberikan akses yang lebih besar untuk menikmati

sumberdaya alam yang ada di daerah mereka masing-masing.

Regulasi yang baru ini memberikan kewenangan yang luas kepada daerah otonom yang meliputi

seluruh bidang pemerintahan kecuali politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal,

agama, serta beberapa kewenangan bidang lain. Disamping memperoleh kewenangan politik yang

luas, daerah juga memperoleh peluang partisipasi politik yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari

kesempatan untuk memilih Kepala Daerah secara langsung, juga pembentukan Badan Perwakilan

Page 14: Makalah sistem pemerintahan daerah

Desa sebagai perkembangan baru bagi kehidupan demokrasi di tingkat desa. Secara lebih detail, UU

No.22/1999 yang kemudian dilanjutkan dengan UU No.32/2004 dengan beberapa revisi, telah

melakukan perubahan signifikan dibandingkan dengan sistem yang digunakan di masa Orde Baru.

Semangat otonomi daerah yang lebih besar ini dimulai dengan perubahan simbolisasi pada nama

daerah otonom. Istilah tingkatan daerah otonom (Dati I dan Dati II) dihapuskan, dan diganti dengan

istilah yang lebih netral, yaitu Propinsi, Kabupaten dan Kota. Hal ini didasari semangat untuk

menghindari citra bahwa tingkatan lebih tinggi (Dati I) secara hierarkhis lebih berkuasa daripada

tingkatan lebih rendah (Dati II). Padahal dua-duanya merupakan badan hukum yang terpisah dan

sejajar yang mempunyai kewenangan berbeda. UU No.22/1999 memperpendek jangkauan asas

dekonsentrasi yang dibatasi hanya sampai pemerintahan Propinsi. Pemerintahan Kabupaten dan Kota

telah terbebas dari intervensi pusat yang sangat kuat melalui perangkapan jabatan Kepala Daerah

Otonom (Local Self-government) dan Kepala Wilayah Administratif (Field Administration). Bupati

dan Walikota adalah Kepada Daerah Otonom saja. Sementara itu jabatan Kepala Wilayah pada

kabupaten dan Kota (dulu Kotamadya) sudah tidak dikenal lagi. UU No.22/1999 yang kemudian

dilanjutkan oleh UU No.32/2004 menghapuskan posisi wilayah administratif (field administration)

pada level Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Integrated Prefectoral System yang sentralistis yang

digunakan UU No.5/1974 diubah menjadi Functional System, dan bukan sekedar Unintegrated

Prefectoral System yang dikenal pada UU No.1/1957.

UU tersebut menempatkan pemerintahan kecamatan dan kelurahan sebagai perangkat Daerah otonom,

yaitu Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Dengan kata lain, pemerintahan kecamatan menempati

posisi sebagai kepanjangan tangan pemerintahan daerah otonom (desentralisasi), dan bukan sebagai

aparat dekonsentrasi.

Bupati dan Walikota dipilih secara mandiri di daerah tanpa melibatkan pemerintah Propinsi maupun

pemerintah Pusat. Dalam UU No.22/1999, Kepala Daerah dipilih oleh DPRD. Oleh karena itu,

Bupati/Walikota harus bertanggung jawab kepada dan bisa diberhentikan oleh DPRD sebelum masa

jabatannya usai. Sementara itu, pemerintah pusat (Presiden) hanya diberi kekuasaan untuk

‘memberhentikan sementara’ seorang Bupati/Walikota jika dianggap membahayakan integrasi

nasional. Pada tahun 2004, diperkenalkanlah Pilkada Langsung di mana Kepala Daerah dipilih secara

langsung oleh rakyat dari para pasangan calon yang diajukan oleh partai politik. Perubahan ke arah

pendalaman demokrasi ini terus berkembang. UU No.32/2004 ini kemudian direvisi di tahun 2008

dengan memberikan kesempatan kepada calon perseorangan untuk berkompetisi dalam Pilkada

Langsung.

Kewenangan yang lebih luas kepada daerah otonom yang meliputi seluruh bidang pemerintahan

kecuali politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta ‘kewenangan bidang

lain’. Hanya saja, definisi ‘kewenangan bidang lain’ ini ternyata masih sangat luas, sebab mencakup

perencanaan dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan,

sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan SDM,

pendaya gunaan SDA serta teknologi tinggi strategis, koservasi dan standarisasi nasional.

Sementara itu, keuangan daerah juga mengalami beberapa perubahan. Melalui UU No.25/1999 dan

UU No. 33/2004, secara makro sumber-sumber keuangan daerah diperbesar, sejalan dengan

dikembangkannya prinsip perimbangan. Jumlah alokasi transfer keuangan ke daerah terus mengalami

peningkatan dari tahun ke tahun. Jumlah ini juga semakin terasa untuk dua provinsi yang memperoleh

Page 15: Makalah sistem pemerintahan daerah

otonomi khusus, yaitu Papua dan Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam) melalui dana Otsus dan

penyesuaian. Semua ini dilakukan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah,

meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah, serta meningkatkan sinergi perencanaan

pembangunan pusat dan daerah.

3.2 Karakter Hubungan Pusat dan Daerah

Sentralisasi sumberdaya politik dan ekonomi di tangan sekelompok kecil elit di pemerintah pusat

adalah konsekuensi yang melekat dari sistem politik otoritarian tersebut. Bahkan, sentralisasi ini

masih diperparah lagi dengan dikembangkannya uniformitas supra- dan infra-struktur politik.

Orde Baru mengatur pemerintahan lokal secara detail dan diseragamkan secara nasional (Devas

1989). Organ-organ supra-struktur politik lokal diatur secara terpusat dan seragam tanpa

mengindahkan heterogenitas ‘sistem politik’ lokal yang telah eksis jauh sebelum terbentuknya konsep

kebangsaan Indonesia. Melalui strategi korporatisme negara, pemerintah Orde Baru melakukan

penunggalan kelompok kepentingan yang dikontrol secara terpusat. Para buruh di seluruh nusantara

hanya diakui eksistensinya apabila bernaung di bawah SPSI. Demikian pula halnya untuk pegawai

negeri yang telah disediakan Korpri, untuk guru telah disediakan PGRI, untuk petani telah disediakan

HKTI, untuk pengusaha telah disediakan KADIN, untuk para wartawan telah disediakan PWI, dan

lain-lain.

Mekanisme kontrol politik secara nasional tersebut bahu-membahu dengan sentralisasi pengelolaan

sumber daya ekonomi secara nasional yang sangat bias pusat (Jakarta, dan kemudian Jawa). Dengan

wacana pembangunan nasional, pemerataan pembangunan antar daerah dan integrasi nasional,

pemerintah melakukan pengelolaan sumber daya ekonomi daerah secara nasional. Pertambangan,

hutan, beberapa hasil laut dan beberapa jenis perkebunan dikelola secara nasional yang hasilnya

dibawa secara penuh ke Jakarta.

Mekanisme sentralistis semacam ini terus berkepanjangan karena dua hal utama. Pada tingkat

nasional, elit politik pembuat keputusan tidak mempunyai basis politik lokal sama sekali. Kekuatan

eksekutif nasional yang menjadi aktor tunggal dalam pentas politik nasional tidak berakar dari bawah,

dan bahkan tidak membutuhkan dukungan politik dari masyarakat untuk kelangsungan kekuasaan

politik mereka. Pada tingkat daerah, masyarakat politik lokal teralienasi dari mekanisme politik yang

telah sepenuhnya ternasionalisasi. Bahkan juga, arena politik lokal telah dimonopoli oleh orang pusat

yang ada di daerah.

Cara kerja politik yang sentralistis dan monolitis ini hanya mampu memperbaiki keadaan sesaat dan

bersifat semu belaka. Sinyal-sinyal kegagalan pengaturan politik lokal Orde baru semakin mencolok

ke permukaan tatkala beberapa masyarakat daerah, terutama Irian Jaya dan Aceh, menuntut

perubahan mendasar dalam pengaturan politik lokal dan dalam hubungan pusat-daerah di tahun

1997an. Bahkan, salah satu bentuk tuntutan itu adalah tuntutan separatis untuk membentuk negara

sendiri. Tuntutan pembentukan negara sendiri atau melepaskan diri dari bagian wilayah NKRI benar-

benar terwujud yakni dengan lepasnya Propinsi Timor Timur dari bagian wilayah NKRI melalui

referendum pada era Presiden Habibie.

Fakta-fakta tentang adanya tuntutan separatis yang akhirnya diwujudkan melalui lepasnya Timor

Timur dari wilayah Indonesia merupakan bukti bahwa ‘ketaatan’ komunitas politik lokal terhadap

pusat yang terjadi selama ini adalah sebuah ketaatan yang semu dan penuh keterpaksaan. Tentu saja

konsep negara-bangsa semacam ini sangat rentan terhadap gejolak.

Page 16: Makalah sistem pemerintahan daerah

3.3 Realisasi dalam Pemerintahan NKRI

Daerah otonom sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah, yang

berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut

prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI. Berdasarkan rumusan tersebut,

dalam otonom terdapat unsur-unsur sebagai berikut :

1. Unsur batas wilayah. Sebagai kesatuan masyarakat hukum, batas suatu wilayah adalah sangat

menentukan untuk kepastian hukum bagi pemerintah dan masyarakat dalam melakukan interaksi

hukum, misalnya dalam penetapan kewajiban tertentu sebagai warga masyarakat serta pemenuhan

hak-hak masyarakat terhadap fungsi pelayanan umum pemerintahan dan peningkatan kesejahteraan

secara luas kepada masyarakat setempat. Di sisi lain, batas wilayah ini sangat penting apabila ada

sengketa hukum yang menyangkut wilayah perbatasan antar daerah. Dengan perkataan lain, dapat

dinyatakan bahwa suatu daerah harus mempunyai wilayah dengan batas-batas yang jelas sehingga

dapat dibedakan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya.

2. Unsur pemerintahan. Eksistensi pemerintahan di daerah didasarkan atas legitimasi undang-undang

yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menjalankan urusan pemerintahan

yang berwenang mengatur kreativitasnya sendiri. Elemen pemerintahan daerah adalah meliputi

pemerintahan daerah dan lembaga DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

3. Unsur masyarakat. Masyarakat sebagai suatu elemen pemerintahan daerah merupakan kesatuan

masyarakat hukum, kebiasaan dan adat istiadat yang turut mewarnai sistem pemerintahan daerah,

mulai dari bentuk cara berpikir, bertindak dan kebiasaan tertentu dalam kehidupan masyarakat.

Bentuk-bentuk partisipasi budaya masyarakat antara lain gotong-royong, permusyawaratan, cara

menyampaikan pendapat dan pikiran yang menunjang pembangunan daerah untuk meningkatkan

kesejahteraan melalui pelayanan pemerintahan.

Kebijakan pemerintah memberikan pengakuan keistimewaan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam

berupa pelaksanaan kehidupan beragama, adat dan pendidikan serta memperhatikan peranan ulama

dalam ikut serta menetapkan kebijakan daerah. Adapun keistimewaan Provinsi Istimewa Yogyakarta

adalah pengangkatan gubernur dan wakil gubernur, sedangkan di Papua kekhususan adalah dengan

mempertimbangkan tentang peran kepala adat masyarakat Papua yang mendapat wewenang dalam

keikutsertaannya menetapkan kebijakan pemerintahan dan pembangunan masyarakat Papua. Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam, dalam perimbangan keuangan pusat dan daerah, dirasakan kurang

menampung aspirasi masyarakat dan ulama berdasarkan hak keistimewaan Aceh di atas.

Berdasarkan kebijakan politik hukum pemerintah di atas, penyelenggaraan pemerintahan wilayah

NKRI dilakukan dengan penetapan strategi sebagai berikut:

1. Peningkatan pelayanan. Pelayanan di bidang pemerintahan, kemasyarakatan dan pembangunan

adalah suatu hal yang bersifat esensial guna mendorong atau menunjang dinamikan interaksi

kehidupan masyarakat baik sebagai sarana untuk memperoleh hak-haknya, maupun sebagai sarana

kewajiban masyarakat sebagai warga negara yang baik. Bentuk pelayanan pemerintahan tersebut

antara lain meliputi rekomendasi, perizinan, dispensasi, hak berusaha, surat keterangan kependudukan

dan sebagainya.

2. Pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Konsep pembangunan dalam rangka otonomi daerah

ini, bahwa peran serta masyarakat lebih menonjol yang dituntut kreativitas masyarakat baik

pengusaha, perencana, pengusaha jasa, pengembang dalam menyusun konsep strategi pembangunan

Page 17: Makalah sistem pemerintahan daerah

daerah, dimana peran pemerintah hanya terbatas pada memfasilitasi dan mediasi. Disamping itu

dalam kehidupan berpolitik, berbangsa dan bernegara memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada

masyarakat khususnya partai politik untuk memberikan pendidikan politik rakyat guna meningkatkan

kesadaran bernegara dan berbangsa guna tercapainya tujuan nasional dalam wadah NKRI.

3. Peningkatan daya saing daerah. Peningkatan daya saing daerah ini guna tercapainya keunggulan

lokal dan apabila dipupuk kekuatan ini secara nasional akan terwujud resultan daya saing nasional.

Disamping itu daya saing nasional akan menunjang sistem ekonomi nasional yang bertumpu pada

strategi kebijakan perekonomian rakyat.

Dalam politik hukum, yang paling esensi dalam penyelenggaraan peemerintahan daerah yang bersifat

otonomi ialah pemberian kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian

hak dan kewajiban tertentu. Dalam realita di lapangan, ternyata kebijakan ini hanya tinggal kebijakan

belaka, dalam beberapa kewenangan tertentu yang berpotensial sering ditarik ulur sehingga

berpengaruh terhadap efektivitas dan efisien penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hubungan antar

pemerintahan yakni hubungan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dengan pemerintah

kabupaten/kota, di era pemberlakuan otonomi daerah, kebiasaan-kebiasaan penyelenggaraan

pemerintahan daerah sering terjadi salah tafsir yang berimplikasi pada hubungan masing-masing

kepala daerah. Adapun hubungan antar pemerintah daerah, khususnya hubungan antara pemerintah

daerah dengan Badan Legislatif Daerah sering terjadi disharmonisasi sehingga mengganggu sistem

kemitraan antara pemerintah daerah dan legislatif daerah. Atas dasar itulah, Undang-Undang Nomor

22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan,

ketatanegaraan dan tuntutan otonomi daerah sehingga perlu diganti dengan Undang-Undang nomor 32

tahun 2004.

3.4 Hasil Penerapan Kebijakan

Berbagai daerah juga telah semakin maju mengembangkan lembaga-lembaga kerjasama antar daerah

untuk memfasilitasi manajemen konflik, pengembangan ekonomi lintas daerah, efisiensi dan

efektivitas pelayanan publik, dan sebagainya. Beberapa lembaga kerjasama antar daerah yang sudah

mulai dikenal antara lain Javapromo (kerjasama 13 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dan D.I.

Yogyakarta di bidang Pariwisata), Kartamantul (kerjasama Kota Yogyakarta, Kab Sleman, dan Kab

Bantul), Subosuko Wonosraten (mencakup daerah Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar,

Wonogiri, Sragen, dan Klaten), Pawonsari (Pacitan, Wonogiri, Wonosari), Barlingmascakeb

(Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen), Gerbangkertosusilo (Gresik,

Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoardjo dan Lamongan), dan lain-lain.

Gambaran di atas telah memperluas arena dan memperbesar sumberdaya yang tersedia di daerah.

Melalui desentralisasi dan otonomi, pemerintah daerah memiliki kesempatan lebih luas untuk

memperbaiki kondisi pelayanan publik, perkembangan perekonomian daerah, serta dalam

mengembangkan berbagai terobosan baru dalam pengelolaan pemerintahan daerah. Lembaga-lembaga

pemantau pelaksanaan otonomi daerah seperti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah

(KPPOD), Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP), SMERU Research Institute, Sustainable

Capacity Building for Decentralization Project (SCBD), Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah

(YIPD), dan berbagai lembaga lain telah berhasil mendokumentasikan sejumlah inovasi baru daerah

yang dikembangkan pada masa implementasi otonomi daerah.

Berbagai kemajuan tersebut menunjukkan bahwa daerah-daerah semakin memiliki kebebasan untuk

Page 18: Makalah sistem pemerintahan daerah

mengembangkan wilayahnya sesuai kebutuhan masyarakat lokal dengan bekal kebijakan otonomi

yang diberikan oleh pusat.

Namun di sisi lain, masyarakat lokal belum sepenuhnya menikmati desentralisasi fungsi dan fiskal

yang diberikan ke daerah. Banyak bagian-bagian dari daerah yang kecewa terhadap kebijakan daerah

otonom maupun pemerintah pusat yang pada gilirannya kemudian menuntut mandiri menjadi daerah

otonom sendiri. Fenomena inilah yang disebut dengan pemekaran daerah.

Hanya dalam waktu setengah dekade, jumlah daerah otonom di Indonesia bertambah menjadi hampir

dua kali lipat. Sejak Oktober 1999 sampai Januari 2008, tercatat telah terbentuk 164 daerah baru

terdiri dari 7 provinsi baru, 23 kota baru, dan 134 kabupaten baru,

Fenomena pemekaran daerah pada dasarnya merupakan bentuk lain dari upaya daerah dalam menarik

perhatian pusat. Jika pada era Orde Lama daerah menyuarakan tuntutannya melalui pemberontakan,

pada era Orde Baru pemberontakan daerah diredam melalui mekanisme penyuapan loyalitas yang

elitis dari pusat, maka pada era reformasi pusat merespon tuntutan dari daerah dengan lebih

terlembaga melalui pemberian rekognisi politik dan kultural serta alokasi sumberdaya ekonomi yang

tidak merata ke seluruh bagian daerah.

Sebagian besar kajian akademis tentang pemekaran daerah menunjukkan bahwa inisiasi pemekaran

daerah dipicu oleh kebutuhan untuk pemerataan ekonomi, dan upaya memperbaiki kondisi pelayanan

publik dengan menghadirkan negara di tengah-tengah masyarakat. Disamping itu, adanya insentif

pemekaran dalam bentuk alokasi DAU dan DAK juga menjadi daya tarik tersendiri bagi daerah-

daerah untuk mengajukan usul pemekaran.

Kebijakan pemekaran daerah yang berjumlah lebih dari 160 kasus tersebut tidak membawa dampak

yang sama. Pemekaran di masing-masing daerah mempunyai kekhasannya sendiri yang tidak mudah

untuk digeneralisasikan. Untuk kepentingan perumusan kebijakan di tingkat nasional, perlu dilakukan

identifikasi dampak pemekaran secara umum. Dampak ini tidak hanya terkait dengan

penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik dan pembangunan di tingkat nasional, tetapi juga

dampak sosial, politik dan ekonominya di tingkat daerah.

Mengambil pelajaran dari studi-studi yang dilakukan oleh beberapa lembaga riset, seperti Percik, LIPI

dan beberapa lembaga lainnya, dampak sosial dan politik kebijakan pemekaran tidak bisa

digambarkan secara generik. Sangat tidak mudah untuk disimpulkan apakah pemekaran daerah

berdampak positif ataukah negatif. Setiap dimensi, sosio-kultural, politik dan pemerintahan, serta

pelayanan publik dan pembangunan ekonomi, dampak pemekaran selalu bermata ganda: bisa positif,

tetapi pada saat yang sama juga bersifat negatif. Belum lagi apabila dampak tersebut diletakkan dalam

skala yang berbeda dalam skala daerah ataukah dalam skala nasional.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, gambaran tentang dampak pemekaran dalam tulisan ini

diletakkan dalam pandangan ganda. Menghindari ataupun meminimalisasi dampak negatif pada

dasarnya adalah mengelola proses kebijakan pemekaran dan proses pasca pemekaran.

1. Dampak Sosio Kultural

Pemekaran daerah membawa implikasi positif dalam bentuk pengakuan sosial, politik dan kultural

masyarakat daerah. Melalui kebijakan pemekaran, entitas masyarakat yang mempunyai sejarah

kohesivitas dan kebesaran yang panjang, memperoleh pengakuan sebagai daerah otonom baru.

Pengakuan ini pada gilirannya memberikan kontribusi positif terhadap kepuasan masyarakat, sehingga

meningkatkan dukungan daerah terhadap pemerintah nasional.

Page 19: Makalah sistem pemerintahan daerah

Namun demikian, kebijakan pemekaran juga bisa memicu konflik yang pada gilirannya juga

menimbulkan masalah horisontal dan vertikal dalam masyarakat. Sengketa antara pemerintah daerah

induk dengan pemerintah daerah pemekaran dalam hal pengalihan aset dan batas wilayah, seringkali

berimplikasi pada ketegangan antar kubu masyarakat dan antara masyarakat dengan pemerintah

daerah.

2. Dampak Pada Pelayanan Publik

Kebijakan pemekaran daerah mampu memperpendek jarak geografis antara pemukiman penduduk

dengan sentra pelayanan, juga mempersempit rentang kendali antara pemerintah daerah dengan unit

pemerintahan di bawahnya. Disamping itu, pemekaran juga memungkinkan untuk menghadirkan

jenis-jenis pelayanan baru, seperti pelayanan listrik, telepon, serta fasilitas urban lainnya, terutama di

wilayah ibukota daerah pemekaran.

Tetapi, pemekaran juga menimbulkan implikasi negatif bagi pelayanan publik, terutama pada skala

nasional, terkait dengan alokasi anggaran untuk pelayanan publik yang berkurang. Hal ini disebabkan

adanya kebutuhan belanja aparat dan infrastruktur pemerintahan lainnya yang bertambah dalam

jumlah yang signifikan sejalan dengan pembentukan DPRD dan birokrasi di daerah hasil pemekaran.

3. Dampak Bagi Pembangunan Ekonomi

Pasca terbentuknya daerah otonom baru, terdapat peluang yang besar bagi akselerasi pembangunan

ekonomi di wilayah yang baru. Bukan hanya infrastruktur pemerintahan yang terbangun, tetapi juga

infrastruktur fisik dan infrastruktur kebijakan pembangunan ekonomi yang dikeluarkan oleh

pemerintah daerah otonom baru. Semua infrastruktur ini membuka peluang yang lebih besar bagi

wilayah hasil pemekaran untuk mengakselerasi pembangunan ekonomi.

Namun, kemungkinan akselerasi pembangunan ini harus dibayar dengan besarnya anggaran yang

dikeluarkan untuk membiayai belanja pegawai dan belanja operasional pemerintahan daerah. Dari sisi

teoritik, belanja ini bisa diminimalisir melalui kebijakan pembangunan ekonomi yang menjangkau

seluruh wilayah, sehingga akselerasi pembangunan ekonomi tetap dimungkinkan dengan harga yang

murah. Namun, dalam perspektif masyarakat daerah, selama ini tidak ada bukti yang meyakinkan

bahwa pemerintah nasional akan melakukannya tanpa kehadiran pemerintah daerah otonom.

4. Dampak Bagi Pertahanan, Keamanan dan Integrasi Nasional

Pembentukan daerah otonom baru, bagi beberapa masyarakat pedalaman dan masyarakat di wilayah

perbatasan merupakan isu politik nasional yang penting. Bagi masyarakat tersebut, bisa jadi mereka

tidak pernah melihat dan merasakan kehadiran 'Indonesia', baik dalam bentuk simbol pemerintahan,

politisi, birokrasi dan bahkan kantor pemerintah. Pemekaran daerah otonom, oleh karenanya, bisa

memperbaiki kenangan politik nasional di daerah melalui peningkatan dukungan terhadap pemerintah

nasional dan menghadirkan pemerintah pada level yang lebih bawah.

Dalam sudut pandang pemerintah pusat, kebijakan pemekaran juga sangat penting ditempuh dalam

kaitannya untuk mendorong munculnya aktivitas perekonomian dan akselerasi pertumbuhan ekonomi

di daerah perbatasan dan tertinggal, penguatan identitas kenegaraan dengan mendekatkan pelayanan

pada masyarakat sehingga negara akan dirasakan kehadirannya sangat riil oleh masyarakat, dan

sebagai upaya untuk penjagaan wilayah aktif dalam rangka membangun pertahanan dan keamanan di

wilayah perbatasan. Namun, biaya politik untuk menghadirkan pemerintahan daerah otonom baru ini

seringkali juga bisa sangat mahal, apabila pengelolaan politik selama proses dan pasca pemekaran

tidak bisa dilakukan dengan baik. Berdasarkan pengamatan pada beberapa daerah hasil pemekaran,

Page 20: Makalah sistem pemerintahan daerah

ketidakmampuan untuk membangun ornamen politik antar kelompok dalam masyarakat

mengakibatkan munculnya tuntutan untuk memekarkan lagi daerah yang baru saja mekar.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan

Untuk melaksanakan amanat memang tidak mudah, apalagi amanat yang di dalam Undang-undang

dasar 1945. Amandemen kedua tahun 2000 mengatur pelaksanaan sistem pemerintahan khususnya

pemerintahan daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan permasalahan pemerintahan

daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Sistem otonomi daerah sendiri

tertulis secara umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang.

Bangsa Indonesia menaruh harapan yang besar terhadap keberhasilan format kebijakan desentralisasi

dan otonomi daerah dalam memperkuat integrasi nasional dan semangat kebangsaan. Kekecewaan

masyarakat lokal di tahun 1950an dan 1960an ternyata hanya bisa diselesaikan secara semu oleh

pemerintah Orde Baru. Pemberontakan daerah diselesaikan dan represi politik dan militer, dan

tuntutan alokasi sumberdaya ekonomi diselesaikan dengan pola pembangunan yang sentralistis dan

otoriter. Gejolak politik daerah memang tidak ada, namun sebenarnya hanya sekedar tidak bisa

mencuat ke permukaan belaka.

Indonesia pasca 1999 mencoba untuk merumuskan kebijakan baru. Kekecewaan masyarakat daerah

yang muncul dalam bentuk semangat ingin merdeka dari Aceh, Papua, Kalimantan Timur dan Riau di

akhir dekade 1990an tidak direspon semata-mata dengan kekuatan represif. Justru yang dilakukan

oleh pemerintah pusat adalah melalui kebijakan desentralisasi, baik itu desentralisasi politik,

desentralisasi fungsi maupun desentralisasi fiskal. Kebijakan inilah yang membuat mobilitas vertikal

masyarakat daerah menjadi terbuka, ekspresi politik semakin mungkin dilakukan, dan otonomi

pengelolaan sumberdaya semakin terbuka.

Kebijakan tersebut ternyata tidak serta merta membuat kekecewaan daerah usai. Berangkat dari

fenomena pambangunan daerah yang tidak merata, representasi politik yang tidak adil, pembangunan

ekonomi yang diskriminatif, dan praktek korupsi yang merajalela, kekecewaan masyarakat lokal tetap

berlanjut. Hal ini terbukti dari semakin maraknya tuntutan untuk membentuk daerah-daerah otonom

baru. Di satu sisi pemekaran daerah ini menjadi obat 'penurun panas' yang efektif untuk meredam

kekecewaan masyarakat lokal, dan bahkan pula memperbaiki kinerja pemerintahan, pembangunan

dan pelayanan publik. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, kebijakan pemekaran tersebut juga

bisa membawa menguatnya regionalisasi berbasis primordial jika tidak disertai dengan kebijakan

untuk merangkai sinergi lintas daerah.

Masih banyak ekspresi kekecewaan daerah terhadap pemerintah daerah atasan ataupun terhadap

pemerintah pusat di era desentralisasi sekarang ini. Pemerintah pusat yang terfragmentasi dan tanpa

koordinasi, serta pusat yang tidak konsisten dengan kebijakan desentralisasi merupakan contoh

ekspresi yang bisa ditemukan di kalangan pelaku pemerintahan daerah. Kesalahan pengelolaan yang

parah dan kinerja pemerintah pusat yang buruk yang terjadi secara berkesinambungan akan

Page 21: Makalah sistem pemerintahan daerah

memperpuruk legitimasi politik dan moral pemerintah pusat di hadapan masyarakat daerah. Jika hal

ini terjadi, Negara Kesatuan Republik Indonesia akan mendapatkan dampaknya.

b. Saran

Dalam penulisan makalah ini, diperlukan pengkajian yang lebih mendalam mengenai pengukuran

dampak terkait penerapan otonomi daerah terhadap kehidupan rakyat NKRI, dengan menggunakan

instrumen penelitian yang lebih fokus pada usaha mendapatkan deskripsi keadaan yang terjadi,

sehingga dapat menjadi masukan bagi penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan yang merupakan amanah dari rakyat

NKRI dengan keanekaragaman karakteristik.

Page 22: Makalah sistem pemerintahan daerah

DAFTAR PUSTAKA

Attamimi, A, Hamid, 1990. Peranan keputusan Presiden RI dalam penyelanggarakan Pemerintahan

Negara. Desertasi Jakarta : UII.

Bambang PS Brodjonegoro. 2008. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Ekonomi. Jakarta:FEUI.

Devas, Nick. 1989. Financing Local Government in Indonesia, Ohio University Press, Ohio.

Kaho, Josef Riwu, 1988, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Identifikasi

Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya, Jakarta, Rajawali Press.

Mubarak M. Zaki, dkk. (eds). 2006. Blue Print Otonomi Daerah Indonesia. Jakarta: Yayasan Harkat

Bangsa bekerja sama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia (PGRI) dan European

Union (EU).