BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sepsis merupakan suatu kondisi kerusakan sistim imun akibat infeksi.Hal ini merupakan masalah kesehatan dunia karena patogenesisnya yang sangat kompleks dan pengobatannya yang sulit serta angka mortalitasnya yang tinggi meskipun selalu terjadi perkembangan antibiotic yang baru.Sepsis terjadi di beberapa Negara dengan angka kejadian yang tinggi, dan kejadiannnya yang terus meningkat.Berdasarkan data Epidemiologi di Amerika Utara bahwa sepsis terjadi pada 3 kasus dari 1000 populasi yang diartikan 75.000 penderita per tahun.Angka mortalitas sepsis mencapai 30% dan bertambah pada usia tua 40% dan penderita syok sepsis mencapai 50 %.Meskipun selalu terjadi perkembangan antibiotic dan terapi perawatan intensif,sepsis menimbulkan angka kematian yang tinggi dihampir semua ICU.Sindrom sepsis mulai dari Sistemic Inflammatory Respond Syndrome (SIRS) sampai sepsis yang berat (Disfungsi organ yang akut) dan syok sepsis (Sepsis yang berat ditambah dengan hipotensi yang tak membaik dengan resusitasi cairan). Terapi utama meliputi resusitasi cauran untuk mengembalikan tekan sirkulasi darah, terapi antibiotic, mengatasi sumber infeksi, pemberian vasopresor untuk mencegah syok dan pengendalian kadar gula dalam darah.Sepsis akan menyebabkan terjadinya syok, sehinggga berdampak pada kerusakan organ.Respon sepsis dapat dipicu oleh trauma
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sepsis merupakan suatu kondisi kerusakan sistim imun akibat infeksi.Hal ini
merupakan masalah kesehatan dunia karena patogenesisnya yang sangat kompleks dan
pengobatannya yang sulit serta angka mortalitasnya yang tinggi meskipun selalu terjadi
perkembangan antibiotic yang baru.Sepsis terjadi di beberapa Negara dengan angka
kejadian yang tinggi, dan kejadiannnya yang terus meningkat.Berdasarkan data
Epidemiologi di Amerika Utara bahwa sepsis terjadi pada 3 kasus dari 1000 populasi
yang diartikan 75.000 penderita per tahun.Angka mortalitas sepsis mencapai 30% dan
bertambah pada usia tua 40% dan penderita syok sepsis mencapai 50 %.Meskipun selalu
terjadi perkembangan antibiotic dan terapi perawatan intensif,sepsis menimbulkan angka
kematian yang tinggi dihampir semua ICU.Sindrom sepsis mulai dari Sistemic
Inflammatory Respond Syndrome (SIRS) sampai sepsis yang berat (Disfungsi organ yang
akut) dan syok sepsis (Sepsis yang berat ditambah dengan hipotensi yang tak membaik
dengan resusitasi cairan).
Terapi utama meliputi resusitasi cauran untuk mengembalikan tekan sirkulasi
darah, terapi antibiotic, mengatasi sumber infeksi, pemberian vasopresor untuk mencegah
syok dan pengendalian kadar gula dalam darah.Sepsis akan menyebabkan terjadinya
syok, sehinggga berdampak pada kerusakan organ.Respon sepsis dapat dipicu oleh
trauma jaringan, ischemia-reperfusion injury, endokrin dan eksokrin.
Bakteri gram negative terdpat endotoksin yang disebut lipopolisakarida (LPS)
yang terletak pada lapisan terluar.Lapisan luar membrane bakteri gram negative tersusun
atas lipid bilayer, yaitu membrane sitoplasmic dalam dan luar yang dipisahkan
peptidoglikan.
Sepsis terdapat produksi mediator-mediator inflamasi atau sitokin.Makrofag
merupakan salah satu mediator seluler, makrofag memegang peranan penting dalam
pathogenesis syok sepsis.Penelitian terakhir menunjukkan bahwa LPS dapat menurunkan
kemampuan IFN-gamma atau LPS untuk memacu Inducible nitric oxide synthase (Inos)
pada kultur makrofag sehingga NO mengalami penurunan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas maka dikemukakan rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Apa definisi dari Syok Septik?
2. Apa etiologi dari Syok Septik?
3. Bagaimana manifestasi klinis dari Syok Septik?
4. Bagaimana patofisiologi dari Syok Septik?
5. Apa komplikasi dari Syok Septik?
6. Bagaimana Penatalaksanaan dari Syok Septik?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui penatalaksanaan dari syok sepsis.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui definisi dari Syok Septik?
2. Mengetahui etiologi dari Syok Septik?
3. Mengetahui manifestasi klinis dari Syok Septik?
4. Mengetahui patofisiologi dari Syok Septik?
5. Mengetahui komplikasi dari Syok Septik?
6. Mengetahui Penatalaksanaan dari Syok Septik?
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Syok adalah kondisi kritis akibat penurunan mendadak dalam aliran darah yang
melalui tubuh.(Kamus Keperawatan).
Syok adalah suatu keadaan serius yang terjadi jika sistem kardiovaskuler (jantung
dan pembuluh darah) tidak mampu mengalirkan darah ke seluruh tubuh dalam jumlah
yang memadai. Syok biasanya berhubungan dengan tekanan darah rendah dan kematian
sel maupun jaringan.
Syok terjadi akibat berbagai keadaan yang menyebabkan berkurangnya aliran
darah, termasuk kelainan jantung (misalnya serangan jantung atau gagal jantung), volume
darah yang rendah (akibat perdarahan hebat atau dehidrasi) atau perubahan pada
pembuluh darah (misalnya karena reaksi alergi atau infeksi).
Sepsis adalah adanya SIRS (Systemic Infalammatory Respondense syndrome) di
tambah dengan adanya infeksi pada organ tertentu berdasarkan hasil biakan positif di
tempat tersebut. Definisi lain menyebutkan bahwa sepsis merupakan respons systemic
terhadap infeksi, adanya SIRS ditambah dengan infeksi yang di buktikan (proven) atau
dengan suspek infeksi secara klinis.
Berdasarkan Bone et al, SIRS adalah pasien yang memiliki dua atau lebih criteria :
Suhu >38 C atau <36
Denyut Jantung >90x/menit
Laju Respirasi >20 kali/menit atau PaCO2 <32mmHg
Hitung Leukosit >12.000/mm3 atau >10 % sel imatur/band.
Penyabab respon sistemikdihipotesiskan sebagia infeksi local yang tidak
terkontrol,sehingga menyebabkan bakterimia atau toksemia (endotoksin/eksotoksin) yang
menstimulasi reaksi inflamasi di dalam pembuluh darah atau organ lain.
Sepsis secara klinis dibagi berdasarkan beratnya kondisi, yaitu sepsis,sepsis
berat, dan syok septic.Sepsis berat adalah infeksi dengan adanya bukti kegagalan organ
akibat hipoperfusi.Syok septic adalah sepsis berat dengan hipotensi yang persisten setelah
diberikan resusitasi cairan dan menyebabkan hipoperfusi jaringan.Pada 10% -30 % kasus
syok septic didapatkan bakterimia kultur positif dengan mortalitas mencapai 40-150%.
Syok septik adalah Shock yang disebabkan infeksi yang menyebar luas yang
merupakan bentuk paling umum shock distributif.
2.2 Etiologi
Penyebab terbesar adalah bakteri gram negatif. Produk yang berperan penting
terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS), yang merupakan komponen terluar dari
bakteri gram negatif. LPS merupakan penyebab sepsis terbanyak, dapat langsung
mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, yang dapat menimbulkan gejala
septikemia. LPS tidak toksik, namun merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang
bertanggung jawab terhadap sepsis. Bakteri gram positif, jamur, dan virus, dapat juga
menyebabkan sepsis dengan prosentase yang lebih sedikit. Peptidoglikan yang
merupakan komponen dinding sel dair semua kuman, dapat menyebabkan agregasi
trombosit. Eksotoksin dapat merusak integritas membran sel imun secara langsung
(Hermawan, 2007).
2.3 Patogenesis
Sepsis melibatkan berbagai mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Sitokin
proinflamasi dan antiinflamasi terlibat dalam patogenesis sepsis. Termasuk sitokin
proinflamasi adalah TNF, IL-1, interferon (IFN-γ) yang membantu sel menghancurkan
mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin 1
reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10, yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi
atau represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila terjadi ketidakseimbangan kerja
sitokin proinflamasi dengan antiinflamasi, maka menimbulkan kerugian bagi tubuh.
Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama membentuk
LPSab (Lipo Poli Sakarida antibodi). LPSab dalam serum penderita kemudian dengan
perantara reseptor CD14+ akan bereaksi dengan makrofag, dan kemudian makrofag
mengekspresikan imunomodulator. Hal ini terjadi apabila mikroba yang menginfeksi
adalah bakteri gram negatif yang mempunyai LPS pada dindingnya.
Eksotoksin, virus dan parasit yang merupakan superantigen setelah difagosit oleh
monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC), kemudian
ditampilkan dalam APC. Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal
dari Major Histocompatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan pada peptida
MHC kelas II akan berikatan dengan CD4+ (limfosit Th1 dan Th2) dengan perantaraan
TCR (T cell receptor).
Limfosit T kemudian akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi
sebagai immunomodulator yaitu: IFN-γ, IL-2 dan M-CSF (Macrophage Colony
stimulating factor). Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10.
IFN-γ merangsang makrofag mengeluarkan IL-1β dan TNF-α. IFN-γ, IL-1β dan TNF-α
merupakan sitokin proinflamasi, pada sepsis terdapat peningkatan kadar IL-1β dan TNF-
α dalam serum penderita. Sitokin IL-2 dan TNF-α selain merupakan reaksi sepsis, dapat
merusakkan endotel pembuluh darah, yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas.
IL-1β sebagai imunoregulator utama juga mempunyai efek pada sel endotel, termasuk
pembentukan prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresi intercellular adhesion
molecule-1 (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah
tersensitisasi oleh granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) akan
mudah mengadakan adhesi. Interaksi neutrofil dengan endotel terdiri dari 3 langkah,
yaitu:
a. Bergulirnya neutrofil P dan E selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan L-
selektin neutrofil dala mengikat ligan respektif
b. Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil yang
mengikat intergretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan neutrofil pada endotel
dengan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel
c. Transmigrasi neutrofil menembus dinding endotel.
Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisozyme yang
melisiskan dinding endotel, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga termasuk radikal
bebas yang mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs, sehingga
akibatnya endotel menjadi nekrosis, dan rusak. Kerusakan endotel tersebut menyebabkan
vascular leak, sehingga menyebabkan kerusakan organ multipel. Pendapat lain yang
memperkuat pendapat tersebut bahwa kelainan organ multipel disebabkan karena
trombosis dan koagulasi dalam pembuluh darah kecil sehingga terjadi syok septik yang
berakhir dengan kematian.
Untuk mencegah terjadinya sepsis yang berkelanjutan, Th2 mengekspresikan IL-
10 sebagai sitokin antiinflamasi yang akan menghambat ekspresi IFN-γ, TNF-α dan
fungsi APC. IL-10 juga memperbaiki jaringan yang rusak akibat peradangan. Apabila IL-
10 meningkat lebih tinggi, maka kemungkinan kejadian syok septik pada sepsis dapat
dicegah. (Hermawan, 2007).
2.4 Patofisiologi Syok Septik
Endotoksin yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses inflamasi
yang melibatkan berbagai mediator inflamasi, yaitu sitokin, neutrofil, komplemen, NO,
dan berbagai mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan proses homeostasis
dimana terjadi keseimbangan antara inflamasi dan antiinflamasi. Bila proses inflamasi
melebihi kemampuan homeostasis, maka terjadi proses inflamasi yang maladaptif,
sehingga terjadi berbagai proses inflamasi yang destruktif, kemudian menimbulkan
gangguan pada tingkat sesluler pada berbagai organ.
Terjadi disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh NO yang menyebabkan
maldistribusi volume darah sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan syok. Pengaruh
mediator juga menyebabkan disfungsi miokard sehingga terjadi penurunan curah jantung.
Lanjutan proses inflamasi menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang
dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/MOF). Proses MOF merupakan
kerusakan pada tingkat seluler (termasuk difungsi endotel), gangguan perfusi jaringan,
iskemia reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang diperkirakan turut
berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant
substance), malnutrisi kalori protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada eritrosit,
dan efek samping dari terapi yang diberikan (Chen dan Pohan, 2007).
2.5 Gejala Klinis Sepsis
Tidak spesifik, biasanya didahului demam, menggigil, dan gejala konsitutif
seperti lemah, malaise, gelisah atau kebingungan. Tempat infeksi yang paling sering:
paru, tractus digestivus, tractus urinarius, kulit, jaringan lunak, dan saraf pusat. Gejala
sepsis akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker,
gagal organ utama, dan pasien dengan granulositopenia.
Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi:
Sindrom distress pernapasan pada dewasa
a. Koagulasi intravascular
b. Gagal ginjal akut
c. Perdarahan usus
d. Gagal hati
e. Disfungsi sistem saraf pusat
f. Gagal jantung
g. Kematian. (Hermawan, 2007).
2.6 Diagnosis
2.6.1 Riwayat
Menentukan apakah infeksi berasal dari komunitas atau nosokomial, dan
apakah pasien immunocompromise. Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:
a. Demam atau tanda yang tidak terjelaskan disertai keganasan atau
instrumentasi
b. Hipotensi, oliguria, atau anuria
c. Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab yang jelas
d. Perdarahan
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mencari lokasi dan penyebab infeksi
dan inflamasi yang terjadi, misalnya pada dugaan infeksi pelvis, dilakukan
pemeriksaan rektum, pelvis, dan genital.
2.6.3 Laboratorium
Hitung darah lengkap, dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran
koagulasi, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam
laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan rontgen dada. Biakan darah,
sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan.
Temuan awal lain: Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia,
hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Adanya
hiperventilasi menimbulkan alkalosis respiratorik. Penderita diabetes dapat
mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat.
Selanjutnya, trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu
trombin, penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC.
Azotemia dan hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase meningkat.
Bila otot pernapasan lelah, terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis metabolik
terjadi setelah alkalosis respiratorik. Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan
ketoasidosis yang memperburuk hipotensi. (Hermawan, 2007).
2.7 Penatalaksanaan
Tiga prioritas utama dalam penatalaksanaan sepsis:
2.7.1 Stabilisasi pasien langsung
Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vital
pasien harus dipantau. Pertahankan curah jantung dan ventilasi yang memadai
dengan obat. Pertimbangkan dialisis untuk membantu fungsi ginjal. Pertahankan
tekanan darah arteri pada pasien hipotensif dengan obat vasoaktif, misal dopamin,
dobutamin, dan norepinefrin.
Dalam 10 tahun terakhir telah banyak didapatkan perkembangan dalam
tatalaksana sepsis, yaitu dalam hal resusitasi cairan, terapi inotropik dan
pemberian antibiotika. Namun dalam penanganan sepsis terkini diketahui
bahwa waktumemegang peranan penting dan krusial. Early Goal Directed
Therapy(EGDT) merupakan penatalaksanaan pasien dengan sepsis berat dan syok
septik, yang bertujuan memperbaiki penghantaran oksigen ke jaringan, dalam
jangka waktu tertentu.
Telah diketahui bahwa perfusi jaringan yang buruk pada keadaan sepsis
berat dan syok septik menyebabkan terjadinya global tissue hypoxia dan berbagai
konsekuensi yang menyertainya, dan hal tersebut berhubungan dengan tingginya
angka mortalitas. EGDT mulai berkembang di tahun 2001 setelah penelitian
Rivers dkk menemukan bahwa penatalaksanaan yang agresif dalam jangka waktu
6 jam, dengan tujuan mencapai target-target tertentu di unit gawat darurat pada
pasien sepsis berat dan syok septik ternyata berhasil mengurangi mortalitas
hingga 16,5% dibandingkan dengan kelompok yang mendapat terapi standar
dengan mortalitas mencapai 46,5%. EGDT kini telah banyak diterapkan di
berbagai rumah sakit, sebagai bentuk implementasi Surviving Sepsis Campaign.
Namun, dalam pelaksanaannya, seringkali masih menemui kendala akibat kurang
mendukungnya sumber daya, sarana dan prasarana yang tersedia. Agar EGDT
dapat dilakukan dengan terorganisasi maka klinisi harus memiliki pemahaman
tentang patofisiologi sepsis, teori yang mendasari EGDT, serta memiliki
keterampilan dan penguasaan prosedur medis dan teknis yang akan dilakukan
dalam penanganan pasien dengan sepsis berat dan syok septik. Berikut ini akan
dibahas mengenai teori yang mendasari EGDT, prinsip EGDT, serta aplikasinya
di rumah sakit.
Algoritme berbasis waktu ini dalam 1 jam pertama bertujuan untuk
mengembalikan dan mempertahankan denyut jantung ke nilai normal, mencapai
waktu pengisian kapiler < 2 detik, serta menormalkan tekanan darah. Dukungan
oksigenasi dan ventilasi diberikan sesuai dengan indikasi. Target-target
berikutnya diharapkan tercapai dalam waktu 6 jam di unit perawatan intensif.
1. Kerangka waktu: Nol sampai dengan 5 menit pertama
Dalam lima menit pertama, klinisi harus dapat mengidenfikasi
pasien dengan sepsis berat dan syok septik. Identifikasi dini sangat
berhubungan dengan menurunnya morbiditas dan mortalitas kasus sepsis
berat dan syok septik. Dalam waktu lima menit pertama ini pula secara
simultan dilakukan manajeman jalan nafas (airway) dan pernafasan
(breathing), serta pemasangan akses intravena (circulation).
a) Identifikasi dini pasien dengan sepsis berat dan syok septik
Trias demam, takikardi, dan vasodilatasi umum ditemukan pada anak
dengan tanda-tanda infeksi. Syok septik harus menjadi pertimbangan
diagnosis bila trias di atas ditemukan, disertai dengan perubahan status
mental yang bermanifestasi sebagai iritabilitas, bingung, mengantuk,
hingga penurunan kesadaran yang lebih dalam. Sepsis berat dan syok septik
diketahui berhubungan dengan hipoksia jaringan yang luas. Hipoksia pada
susunan saraf pusat akan menyebabkan gangguan berupa penurunan
kesadaran.
Selain itu, klinisi juga harus dapat mengidentifikasi tanda-tanda
gangguan perfusi jaringan yang disebabkan oleh disfungsi kardiovaskuler
pada sepsis. Syok septik dibedakan ke dalam 2 jenis, yaitu warm
shock dan cold shock. Warm shock ditandai dengan curah jantung yang
tinggi, kulit yang hangat dan kering, serta bounding pulse. Sedangkan cold
shock ditandai oleh curah jantung yang rendah, kulit lembab dan dingin,
serta nadi yang lemah. Stadium awal syok septik dapat dikenali dengan
ditemukannya takikardia, bounding pulse, serta gangguan kesadaran.
Produksi urin kurang dari 1 mL/kgbb/jam. Pada stadium yang lebih lanjut,
dapat ditemukan waktu pemanjangan kapiler, dan pada stadium akhir
ditandai dengan hipotensi.
b) Mempertahankan jalan nafas dan pemberian terapi oksigen
Manajemen jalan nafas dan pernafasan dapat dilakukan dengan
mengacu padaPediatric Advanced Life Support (PALS), di antaranya
dengan memposisikan kepala, serta pemberian terapi oksigen.
c) Memasang akses intravaskular
Penelitian yang dilakukan oleh Kanter dkk (1986) mendapatkan bahwa
usaha pemasangan akses intravena perifer pada pasien dengan sakit kritis
memerlukan waktu rata-rata 4 menit 30 detik, tercepat 40 detik. American
Heart Association bersama dengan American Academy of Pediatrics dalam
PALS merekomendasikan untuk situasi darurat, pemasangan akses
intravena harus terpasang dalam waktu 5 menit. Bila dalam jangka waktu
tersebut belum berhasil, maka dilakukan pemasangan akses
intraoseus. Setelah terpasang akses intravena segera diambil sampel darah
untuk pemeriksaan penunjang.
2. Kerangka waktu: 5 sampai dengan 15 menit berikutnya
Pada segmen 5 menit hingga 15 menit berikut ini, dilakukan
resusitasi cairan hingga didapatkan perbaikan perfusi jaringan, dengan
pemantauan terhadap tanda-tandaoverload cairan.
Secara simultan pula dilakukan koreksi kelainan metabolik
seperti hipoglikemi/hiperglikemi, serta koreksi kelainan elektrolit yang
mungkin ditemukan, dan pemberian antibiotik empiris spektrum luas.
a. Resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok septik
Volume cairan resusitasi
Pake yang Pak qodir.... slide EBV/F
Penelitian pendahuluan telah dilakukan pada hewan percobaan
dengan sepsis berat, didapatkan bahwa resusitasi cairan hingga 60
mL/kgbb ternyata berhasil memperbaiki curah jantung, penghantaran
oksigen serta stabilitas hemodinamik. Dari penelitian Han dkk (2003)
pada pasien dengan sepsis berat dan syok septik, didapatkan pula
bahwa kelompok non-survivor menerima volume cairan resusitasi
lebih sedikit (20 mL/kgbb) dan kecenderungan dilanjutkan dengan
terapi inotropik.
Mengenai volume cairan resusitasi yang diberikan, Carcillo
dkk (1991) melaporkan penelitian mengenai resusitasi cairan pada
pasien pediatrik dengan syok septik yang diberikan dalam 1 jam
pertama, pemberian cairan resusitasi secara cepat dengan volume di
atas 40 mL/kgbb (rata-rata 69 + 19 mL/kgbb) berhubungan
denganoutcome (survival) yang lebih baik. Pemberian cairan secara
cepat juga tidak berhubungan dengan kejadian Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS).
Rekomendasi dari Surviving Sepsis Campaign 2008 yaitu
resusitasi cairan inisial diawali dengan pemberian cairan kristaloid
bolus 20 mL/kgbb selama 5-10 menit, dititrasi dengan pemantauan
klinis terhadap curah jantung, dalam hal ini meliputi denyut jantung,
produksi urin, waktu pengisian kapiler, dan derajat kesadaran.
Biasanya defisit cairan cukup besar sehingga awal resusitasi
memerlukan volume cairan 40-60 mL/kgbb,1 namun dapat mencapai
hingga 200 mL/kgbbPemantauan terhadap tanda-tanda overload cairan
yaitu dengan memperhatikan adanya onset baru usaha nafas pasien,
ditemukannya rales pada pemeriksaan fisis paru, atau bertambahnya
berat badan lebih dari 10%. Untuk mengatasinya diberikan diuretik.
Tindakan lain untuk mengatasi overloadcairan yaitu dengan dialisis
peritoneal bila didapatkan oliguria, atau continuous renal replacement
therapy (CRRT) bila diperlukan.
Untuk pemeriksaan secara bed-site, dari penelitian Pamba dan
Maitland (2004) didapatkan bahwa pemanjangan waktu pengisian
kapiler > 3 detik merupakan faktor prognostik perlunya resusitasi
cairan, sehingga cukup prediktif digunakan sebagai alat untuk menilai
adekuatnya terapi cairan yang diberikan pada pasien dengan sepsis
berat dan syok septik.
Jenis cairan resusitasi
Pemilihan jenis cairan pada resusitasi sepsis berat dan syok
septik bersifat liberal. Secara umum, cairan isotonis cukup efektif,
aman, dan efektif dibandingkan dengan koloid, sehingga disarankan
sebagai cairan lini pertama pada resusitasi. Penelitian di India yang
dilakukan oleh Upadhyay (2005) mendapatkan tidak adanya
perbedaanoutcome pasien syok septik yang diresusitasi dengan cairan
kristaloid dibandingkan dengan koloid. Namun hal yang berlawanan
didapatkan dari penelitian Schierhout dan Roberts, bahwa resusitasi
dengan cairan koloid dapat menyebabkan efek samping berupa
gangguan hemostasis. Pada saat ini penelitian klinis banyak dilakukan
untuk mengetahui kegunaan penggunaan cairan hipertonis dalam
resusitasi sepsis berat dan syok septik.
b. Koreksi hipoglikemia
Hipoglikemia dapat menyertai suatu sepsis dan menimbulkan
gangguan kesadaran. Keadaan ini dapat dikoreksi dengan pemberian
Dextrose-10% pada cairan rumatan dengan kecepatan 8 mg/kg/menit
pada neonatus, 5 mg/kgbb/menit pada anak, dan 2 mg/kgbb/menit pada
remaja. Bila disertai dengan kegagalan fungsi hati, penderita mungkin
membutuhkan kecepatan infus glukosa yang lebih tinggi, dapat mencapai
16 mg/kgbb/menit. Hiperglikemia dapat pula menyertai keadaan sepsis,
yang didefinisikan sebagai kadar glukosa sewaktu > 140 mg/dL.
Penatalaksanaan hiperglikemia dapat dengan menggunakan cairan
Dextrose-5% dan dapat dikombinasikan dengan terapi insulin.
Direkomendasikan untuk mempertahankan kadar glukosa > 80 dan <150
mg/dL. Insulin reguler yang digunakan dalam bentuk bolus atau infus
kontinu. Dosis yang diberikan yaitu 0,025 U/kgbb/kali atau 0,025 – 0,1
U/kgbb/jam (2,5 U/kgbb dalam 50 mL Albumin 4% dengan kecepatan 0,5
– 2 mL/jam); selanjutnya 1 U/10 gram dextrose.
c. Koreksi hipokalsemia
Kadar konsentrasi kalsium berbeda sesuai dengan usia, berkisar 8,5
–10,5 mg/dL untuk kalsium total dan 4,0 – 5,0 g/dL ion kalsium dalam
darah. Hipokalsemia dapat menyebabkan gangguan kontraktilitas dan
irama jantung, selain juga menyebabkan hipotensi serta kelainan
neuromuskuler lainnya. Koreksi hipokalsemia dapat diberikan peroral atau
intravena. Pasien dengan hipokalsemia simptomatik dapat diberikan bolus
kalsium glukonas 100-200 mg/kgbb dalam waktu 10-20 menit. Infus
kontinu kalsium glukonas sebagai alternatif diberikan dengan dosis awal
10-30 mg/kgbb/jam, selanjutnya dititrasi sesuai dengan hasil pengukuran
serum kalsium selanjutnya.
d. Pemberian terapi antibiotik
Terapi antibiotik merupakan terapi utama dalam sepsis (gambar 5),
dengan penggunaan antibiotik empiris berspektrum luas di awal terapi.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian antibiotik cepat dan
sesuai berhasil menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien dengan
sepsis. Namun harus dipertimbangkan juga bahwa penggunaan antibiotik
spektrum luas dapat menyebabkan peningkatan resistensi mikroorganisme.
Pemberian antibiotik tidak ditunda, dan faktor waktu memegang
peranan penting. Dari penelitian Houck dkk, pemberian antibiotika dalam
4 jam pertama berhubungan dengan menurunnya mortalitas hingga 6,8%
sejak pasien datang ke rumah sakit, dan menurunkan mortalitas hingga
11,6% dalam 30 hari perawatan, selain itu juga membantu mengurangi
lama perawatan di rumah sakit hingga 42%. Dalam SSC 2008,
direkomendasikan pemberian antibiotik dalam 1 jam pertama setelah
dilakukan pengambilan kultur. Durasi terapi antibiotik yang dianjurkan
yaitu 7-10 hari, dan kemudian disesuaikan dengan hasil kultur. Namun
pada pasien dengan neutropenia, durasi terapi antibiotik dapat
diperpanjang hingga 14 hari. Keputusan untuk menghentikan pemberian
antibiotik bergantung pada penilaian klinis. Terapi kombinasi antimikroba
dilaporkan lebih baik dibandingkan dengan monoterapi, sebagaimana
dilaporkan dari penelitian Micek dkk. Terapi awal antibiotik sangat kritis
bagi pasien dengan sepsis, seperti halnya pasien dewasa.
3. Kerangka waktu: 15 menit sampai 60 menit berikutnya
Dalam waktu 15 menit pertama, ditentukan apakah suatu syok septik
responsif atau refrakter terhadap terapi cairan. Syok dinyatakan refrakter
terhadap cairan bila belum menunjukkan perbaikan hemodinamika setelah
mendapat terapi cairan hingga 40 mL/kgbb. Langkah selanjutnya pada pasien
dengan syok septik yang refrakter terhadap terapi cairan yaitu dengan secara
simultan melakukan pemasangan akses vena sentral, memulai terapi inotropik
dan vasopresor serta melakukan pemantauan tekanan arterial.
Namun berbeda dengan populasi dewasa, pemasangan akses vena
sentral pada anak menjadi suatu isu karena kesulitan dalam pelaksanaannya.
Pemasangan vena sentral pada pasien pediatrik tidak familier, dalam prosedur
pemasangannya yang cukup sulit sehingga melampaui kerangka waktu (time-
frame) yang diharapkan pada EGDT khususnya di unit
emergensi. Penatalaksanaan dalam kerangka waktu 15 menit hingga 60 menit
berikutnya dijelaskan sebagai berikut:
a. Memulai pemberian inotropik dan vasopresor
Hipotensi yang menetap meskipun telah dilakukan resusitasi cairan
optimal merupakan ciri dari syok septik, yang terjadi akibat gangguan
kontraktilitas miokardium selain juga terdapat gangguan pada resistensi
vaskuler sistemik. Akibat gangguan di atas, maka diperlukan pemberian
vasopresor dan terapi inotropik untuk memperbaiki tekanan darah serta
mempertahankan penghantaran oksigen ke jaringan. Dalam
penatalaksanaan sepsis, harus dilakukan usaha secepat mungkin untuk
mengembalikan hemodinamika. Oleh karena itu, vasopresor diberikan
segera setelah resusitasi cairan optimal diberikan. Pemberian vasoaktif
direkomendasikan bila syok tidak teratasi dengan resusitasi cairan sampai
dengan 40 mL/kgbb. Jenis obat yang digunakan yaitu katekolamin dan
derivat sintetisnya, meliputi dopamin, dobutamin, epinefrin, norepinefrin.
Dopamin disarankan sebagai pilihan terapi pertama untuk pasien
pediatrik dengan hipotensi yang refrakter terhadap resusitasi cairan, atau
pada keadaan cold shock.Dopamin dan norepinefrin diketahui berfungsi
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung. Dopamin lebih poten
dibandingkan norepinefrin, dan lebih sering menyebabkan
takikardia. Pada dosis rendah, dopamin menyebabkan vasodilatasi
sirkulasi renal dan mesenterika. Pada dosis 2-10 mikrogram/kgbb/menit,
dopamin memiliki efek inotropik positif dan kronotropik positif,
sedangkan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan vasokonstriksi
perifer. Penelitian Levy dkk menemukan bahwa populasi pasien syok
septik yang resisten dengan terapi dopamin meningkatkan risiko
mortalitas. Bila syok refrakter terhadap terapi dopamin, maka diberikan
epinefrin. Epinefrin diberikan dengan dosis 0.05- 0.3 mcg/kgbb/menit.
Pada keadaan warm shock, diberikan titrasi norepinefrin.
Norepinefrin pada dosis 1-20 mikrogram/menit baik untuk meningkatkan
(lantus 1x14 U dan actrapid 3x6 U), ascardia, enoxiparine 1x0,4 mg dan
meropenem 1x1 g.
3.2.2 Di ICUPemeriksaan fisik pada saat masuk Intensive Care Unit (ICU);
pasien tampak sesak, posisi setengah duduk. Kesadaran apatis, tekanan
darah 106/58 mmHg, frekwensi nadi 100 x/menit (dengan topangan noradrenalin
0,8 ug/kg/menit dan dobutamin 10 ug/kg/menit melalui vena perifer). Pernapasan
spontan dengan sungkup muka O2 8 l/menit, frekwensi napas 20-30x/menit.
Saturasi 96-100%. Suhu afebris, ekstremitas dingin dan pitting edema pada
tungkai. Pemeriksaan dada: bunyi jantung I-II normal, suara tambahan sulit
dinilai, terdapat ronki kasar di kedua lapang paru. Pemeriksaan abdomen dalam
batas normal
Diagnosis masuk ICU adalah septik syok akibat pneumonia (Hospital
Aqcuired Pneumia/HAP) dan infeksi saluran kemih(ISK), dengan gagal jantung
dan edema paru serta AKI F atau AKIN stage 2 g cardiorenal syndrome.
Pengelolaan pasien ini adalah segera dilakukan resusitasi cairan, pemberian
antibiotik empirik untuk mengatasi infeksi serta pengelolaan gagal jantung dan
edema paru.
Pemeriksaan USG (pre scanning) vena cava inferior dilakukan untuk
melihat indeks kolapsibilitas, sekaligus dilakukan pemasangan kateter vena sentral
dan kateter hemodialisis serta arteri line untuk pemantauan hemodinamik,
terutama untuk menilai delivery oksigen (DO2), curah jantung (cardiac output =
CO) dan isi sekuncup (stroke volume = SV) serta tahanan vaskuler sistemik
(systemic vascular Resistance = SVR).
Pemantauan hemodinamik dengan menggunakan alat Vigileo, dihitung
SVR ternyata rendah (sesuai syok septik) serta dilakukan fluid challenge test
menggunakan stroke volume sebagai target. Dilakukan loading kristaloid tiap
200ml untuk menilai kenaikan SV. Oleh karena pasien tampak bertambah sesak
napas karena overload cairan, dan meskipun pasien sudah mendapatkan terapi
diuretik (furosemide sampai dosis 20mg/jam), tetapi urin 3 jam pertama di ICU
hanya 50ml, maka diputuskan untuk melakukan Renal Replacement Therapy
(RRT), yaitu CVVHDF direncanakan dengan: resep fluid removal: 50ml/jam,
replacement: 1000ml/jam, dialisat: 1000ml/jam Continous RRT dimulai sejak hari
pertama selama 48 jam. Cairan yang dikeluarkan lebih dari 4000ml dalam 48 jam.
Sehingga dari balans +1150ml di hari pertama (belum termasuk balans pasien
selama di RS swasta sebelumnya) menjadi +250ml di hari ketiga.Dengan produksi
urin di hari ketiga > 1ml/kg/jam. Dengan CRRT ketergantungan akan dosis
norepinefrin (NE) tampak sangat jauh berkurang. Sebelumnya MAP
dipertahankan diatas 70mmHg dengan dosis NE 0,8-1ug/kg/menit tetapi setelah
program CRRT dosis NE adalah 0,1ug/kg/menit untuk mempertahankan MAP
yang sama. Parameter hemodinamik seperti CO, CI dan SV tampak membaik
walaupun pada hari ke VII, VIII, IX terlihat sedikit menurun kembali.
Selama RRT, tetap diberikan cairan kristaloid rumatan 20ml/jam dan
albumin 20% 100ml sebagai volume ekspander dan untuk menarik cairan di
jaringan yang edema. Antibiotik empirik tetap diberikan dengan terapi dosis.
Adanya HAP dan ISK dengan kemungkinan kuman multiresistens maka
digunakan terapi antibiotik meropenem 3x1 g dan amikasin 1x1 g.
Infeksi yang menyebabkan syok pada pasien ini diduga pneumonia yang
didapatkan dari RS swasta dan juga infeksi saluran kemih yang dibuktikan dengan
hasil urinalis ditemukan bakteri dan jamur. Pada hari kesembilan, keluar hasil
kultur sputum yakni candida albicans sehingga pemberian anti fungal.
BAB IV
PENUTUP4.1 Kesimpulan
Sindrom kardiorenal terjadi pada pasien yang mengalamai sepsis berat dan syok
septik. Patogenesis terjadinya CRS dipengaruhi oleh berbagai faktor yang mempengaruhi
baik fungsi jantung dan atau ginjal, termasuk keadaan syok yang dihubungkan dengan
hipoperfusi ginjal, vasodilatasi pembuluh darah sistemik maupun intrarenal, reaksi
inflamasi jaringan, disfungsi endotel dan terjadinya gangguan permeabilitas vaskular.
Pada kasus sepsis berat dan syok sepsis keberhasilan terapi terletak pada
penatalaksanaan yang adekwat dan implementasi dari 3 pilar sepsis yakni resusitasi
cairan sedini mungkin dapat mencapai target hemodinamik, pemberian antibiotik yang
tepat dan adekwat serta source control yang baik.
4.2 Saran
Daftar IsiBAB I............................................................................................................................................................1
1.3.1 Tujuan Umum......................................................................................................................2
1.3.2 Tujuan Khusus......................................................................................................................2
BAB II...........................................................................................................................................................3
BAB III........................................................................................................................................................24
3.2.1 Di UGD...................................................................................................................................25
3.2.2 Di ICU.....................................................................................................................................28
BAB IV........................................................................................................................................................30