Top Banner
MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN ANALISIS KEBIJAKAN OTONOMI KHUSUS BAGI PAPUA UU NOMOR 21 TAHUN 2001 DISUSUN OLEH : NURUL FAJRI MAYALIBIT H0414031 PENYULUHAN DAN KOMUNIKASI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
58

Makalah PKN

Apr 11, 2023

Download

Documents

adi magna
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Makalah PKN

MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

ANALISIS KEBIJAKAN OTONOMI KHUSUS BAGI PAPUA

UU NOMOR 21 TAHUN 2001

DISUSUN OLEH :

NURUL FAJRI MAYALIBIT

H0414031

PENYULUHAN DAN KOMUNIKASI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Page 2: Makalah PKN

2013

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur saya panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha

Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga

saya dapa menyusun makalah ini dengan baik dan benar, serta

tepat pada waktunya.Dalam makalah ini, saya akan membahas

mengenai “Analisis Kebijakan Otonomi Khusus Bagi Papua Dalam

UU Nomor 21 Tahun 2001”.

Dalam penyusunan makalah ini, saya banyak mendapat

tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari

berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu,

saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini,

semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan

Yang Maha Esa.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari

kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya.

Kritik konstruktif dari pembaca sangat p saya harapkan untuk

penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi

kita semua.

Surakarta, Oktober 2013

Nurul Fajri Mayalibit

Page 3: Makalah PKN

BAB I

PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang

Berbeda dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia,

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Provinsi Papua,

setelah serkitar tiga dasawarsa diatur secara sentralistik

oleh pemerintahan Orde Baru. Sejak tahun 2001, kedua daerah

ini diberi status otonomi khusus oleh “Jakarta” masing-

masing melalui UU No 18 Tahun 2001 dan UU No 21 Tahun 2001

dengan kewewnangan khusus mengurus pemerintahan daerahnya.

Dalam UU Nomor 18 Tahun 2001 itu Pemerintahan Propinsi

NAD antara lain dapat membentuk lembaga peradilan sendiri

yang bernama Mahkamah Syariah, dan mendirikan lembaga adapt

Tuha Nangroe dan Wali Nangroe. Selain itu, bentuk dan

susunan pemerintah asli masyarakat Aceh di pedesaaan yang

disebut gompong mukmin boleh dihidipkan kembali. Bahkan,

Page 4: Makalah PKN

Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam memperoleh bagi hasil

sumber daya alam yang lebih besar ketimbang yang diambil

pemerintah pusat, dan diizinkan menyelenggarakan pemilihan

kepala daerahnya secara langsung.

Sementara itu, sesuai UU Nomor 21 Tahun 2001, Pemerintah

Propinsi Papua boleh memiliki lembaga Majelis Rakyat Papua

(MRP) sebagai suatu representasi cultural orang asli Papua,

dan menamai DPRD-nya menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Papua

(DPRP). Penduduk Papua diberi peluang membentuk partai

politik. Begitu pula, istilah kecamatan diganti dengan

“Distric”. Di samping itu, pemerintah propinsi deberi

keewenangan khusus dibidang perekonomian, pendidikan dan

kebudayaan, kesehatan, kependudukan dan ketenagakerjaan,

lingkungan hidup, dan social. Untuk mengongkosi kewenangan

khusus tersebut, Pemerintah Propinsi Papua diberi pule dana

bagi hasil sumber daya alam yang lebih besar daripada yang

diterima oleh propinsi-propinsi lain.

Pembuatan kebijakan otonomi khusus bagi kedua propinsi

tersebut melewati jalan panjang, penuh rintangan, memakan

waktu yang lama, menguras energi, dan sangat melelahkan

pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Tidak hanya itu,

kebijakan otonomi khusus (special autonomy) atau kerap disebut

asymmetric decentralization, dimana pemerintah pusat memberikan

kewenangan yang besar di bidang politik, ekonomi, dan

social budaya kepada pemerintah daerah; merupakan barang

baru dalam sejarah kebijakan otonomi daerah di Indonesia.

Justru, bukan tidak mungkin konsep otonomi khusus ini bisa

melengkapi konsep otonomi riil, otonomi materiil, serta

Page 5: Makalah PKN

otonomi nyata yang bertanggungjawab yang selama ini kita

kenal dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal di

Indonesia. Karena itu, bagaimana seluk-beluk pembuatan

kebijakan otonomi khusus bagi propinsi NAD dan propinsi

Papua penting untuk dikaji.

1.2. Rumusan Masalah

A. Kebijakan-Kebijakan Otonomi Khusus di Provinsi Papua

B. Pemahaman Masyarakat Papua Terhadap UU No.21 Tahun

2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Papua

C. Implementasi UU No.21 Tahun 2001

D. Kendala dalam Implementasi dan Dampak dari Kebijakan

Otonomi Khusus Papua

1.3. Tujuan

A. Mengetahui dan Memahami Kebijakan-Kebijakan Otonomi

Khusus di Provinsi Papua

B. Menganalisis Bagaimana Pemahaman Masyarakat Papua

Terhadap UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus

bagi Papua

C. Mengetahui Implementasi dari UU No.21 Tahun 2001

D. Menganalisis Kendala dalam Implementasi dan Dampak

dari Kebijakan Otonomi Khusus Papua

Page 6: Makalah PKN

BAB II

PEMBAHASANLahirnya Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua

diibaratkan berenang melawan arus (Sumule, 2002 : 6). Arus

yang dimaksud adalah tuntutan merdeka oleh masyarakat lokal.

Namun, berkat perjuangan yang tidak kenal lelah dari banyak

pihak, jalan tengah yang dibuat berupa otonomi khusus

Provinsi Papua dapat dihasilkan. Untuk mengetahui bagaimana

proses pembuatan kebijakan otonomi khusus Papua, namun akan

lebih baik apabila diawali dengan pemaparan sejarah

pemerintahan Papua, kemudian setelah itu disusul dengan

uraian tentang penetapan masalah, tujuan kebijakan, sasaran

kebijakan, implementasi kebijakan, serta kendala dan dampak

dari kebijakan otonomi khusus Papua.

2.1. Sejarah Pemerintah Papua

Sekitar abad XVI, orang Eropa mulai masuk ketanah

Papua, bahkan sebutan Papua bagi penduduk asli diberikan

oleh Jorge de Menezes, Gubernur Portugis di Ternate, yang

mendarat di Pulau Waigeo dan tinggal selama beberapa bulan

Page 7: Makalah PKN

di waisai (Kepala Burung), sekitar tahun 1526 – 1527. Ia

menyebut wilayah ini dengan sebutan ”Ilhas dos Papuas”. Kata

Papua sendiri menurut Stirling berasal dari kata melayu

”pua-pua” yang berarti ”keriting” dalam (Koentjoroningrat, 1994

: 4).

Pada Tahun 1898 Belanda mulai sungguh-sungguh

memerintah Papua dengan membagi daerah papua menjadi dua

bagian, yaitu bagian utara yang dinamakan Afdeeling Noord Niew-

Guinea, dan bagian barat dan selatan yang dinamakan Afdeeling

West-enzuid Niew-Guinea, yang masing-masing bagian dipimpin oleh

seorang kontroler Belanda dengan tempat kedudukan di

manokwari dan fakfak. Kedua daerah itu merupakan subbagian

dari karisidenan Maluku. Tahun 1901 wilayah Zuid Nieuw-Guinea

dipisah menjadi satu Afdeeling tersendiri yang berkedudukan di

Merauke. Hal ini dikarenakan Afdeeling Western Zuid Nieuw-Guinea

daerahnya terlalu luas dan ciri-ciri kebudayaan penduduk

pribuminya di West dan Zuid berbeda (Koentjoroningrat, 1994:

53).

Ketika Indonesia Mencapai kemerdekaan tanggal 17

Agustus 1945, Papua dimasukkan dalam wilayah NKRI. Daerah

Papua merupakan salah satu karisidenan yang berada dalam

propinsi Maluku. Residennya berkedudukan di Ambon, karena

Belanda masih menguasai wilayah ini. Nama Papua diganti

Irian oleh Pemerintah RI, karena nama Papua dianggap

merendahkan penduduk probumi (Koentjoroningrat, 1994: 72 –

76).

Pemerintahan Indonesia mencoba mengembalikan Irian ke

pangkuan Ibu Pertiwi dengan lahirnya UU No. 15 Tahun 1956.

Page 8: Makalah PKN

Papua dibentuk menjadi Propinsi Irian Barat, meskipun Ibu

Kotanya diletakkan di Soasiu, Pulau Tidore. Berdasarkan

penetapan Presiden No.1 Tahun 1962, Propinsi Irian Barat

menurut UU No.15 Tahun 1956 dihapuskan dan dibentuk Propinsi

Irian Barat bentuk baru dengan wilayah meliputi seluruh

residentie Nieuw Guinea dengan Ibu Kota Baru (Hollandia) yang

masih berada di wilayah kekuasaan Belanda. Lebih jauh lagi

pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta Presiden

Soekarno mencetuskan Tri Komando Rakyat (Trikora) yang

menyerukan tiga tuntutan kepada segenap rakyat Indonesia.

Pertama, gagalkan pembuatan negara Papua buatan Belanda,

Kedua, Kibarkan sang merah-putih ditanah Irian Barat Tanah

Air Indonesia. Ketiga, bersiaplah untuk mobilsasi umum guna

mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa

(Djopari, 1993: 37). Dampaknya pemerintahan di Papua

mengalami perkembangan baru, dimana dengan resolusi majelis

umum PBB No. 1752 tanggal 21 september 1962, Belanda

menyerahkan pemerintahan di Irian Barat kepada United Nation

Temporary Executive Authority (UNTEA). Sejak 1 oktober 1962

Pemerintah UNTEA berlangsung di Irian Barat, sebagai suatu

pemerintah peralihan. Pada tanggal 1 mei 1963 UNTEA

menyerahkan kekuasaan pemerintahan sepenuhnya atas Papua

kepada Pemerintah RI (Djopari, 1993: 55 – 58).

Berdasarkan Penetapan Presiden No.1 Tahun 1963,

Gubernur Irian Barat dapat membentuk kabupaten-kabupaten

adminstratif baru. Lalu pada masa orde baru, dengan

Peraturan Pemerintah No.5 Tahun 1973 Presiden Soeharto

merubah nama propinsi Irian Barat dengan Irian Jaya, wilayah

Page 9: Makalah PKN

propinsi Irian jaya kemudian mengalami perkembangan menjadi

9 wilayah pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II, 1

Kotamadya Jayapura, dan 1 Kota Aministratif Sorong yang

dibentuk tahun 1994. berdasarkan UU no. 22 Tahun 1999,

Kabupaten Adminstratif dan Kota Admisntratif ditingkatkan

statusnya menjadi Kabupaten/Kota Otonom, sehingga Propinsi

di Irian Jaya terdapat 12 Kabupaten dan 12 Kota (lihat BPS,

2001: 39).

Selain itu, dengan UU Nomor 45 Tahun 1999 Propinsi

Irian Jaya dimekarkan menjadi tiga, yaitu, Propinsi Irian

Jaya Barat, Propinsi Irian Jaya Tengah, dan Propinsi Irian

Jaya. Tetapi pemekaran ini ditolak rakyat Papua lewat

Keputusan DPRD Tk.I Irian Jaya Nomor 11 tanggal 16 Oktober

1999. pemerintah Pusat tetap memaksakan dengan mengeluarkan

Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2003 yang memerintah

memerintahkan percepatan pelaksanaan pemekaran tersebut

(Institute for Local Development, 2005: 589).

Ketika terjadi reformasi pemerintahan, tuntutan Papua

Merdeka semakin Gencar, bendera OPM (Organisasi Papua

Merdeka) Bintang Kejora Berkibar diseluruh pelosok Papua.

Bahkan tuntutan itu disampaikan langsung oleh 100 orang

tokoh Papua dalam dialog dengan presiden Bj. Habibie tanggal

26 february 1999 di Istana Merdeka Jakarta (Maniagasi,

2001 : 33). Namun, Habibie tidak menyetujuinya.

Menanggapi tuntutan Papua Merdeka. Pada bulan Oktober

1999, pemerintah baru hasil pemilu lewat wakil-wakil rakyat

di MPR menetapkan pemberian kebijakan otonomi khusus bagi

propinsi Irian Jaya sebagaimana diamanatkan dalam GBHN 1999

Page 10: Makalah PKN

Bab IV huruf (g) point 2. Respon Jakarta ini kurang disambut

baik oleh rakyat Papua. Disamping itu, MPR sendiri dalam

sidang tahunannya bulan agustus 2000 mengeluarkan Tap, yaitu

Tap No. IV Tahun 2000, yang merekomendasikan kepada

Pemerintah dan DPR agar menyelesaikan pembuatan UU tentang

Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua dengan memperhatikan

aspirasi masyarakat Daerah Papua. Akhirnya setelah melewati

pembahasan yang cukup sengit dan berlarut-larut di DPR. Pada

tanggal 20 Oktober 2001 RUU ini disetujui DPR, dan tanggal

21 November 2001 ditandatangani Presiden Megawati Soekarno

Putri serta dimuat dalam lembaran negara RI Tahun 2001 Nomor

135.

2.2. Penetapan Masalah dan Sasaran Kebijakan

Masalah yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan

otonomi khusus bagi Provinsi Papua menurut Tim Asistensi

Otsus Papua (Sumule, 2002: 39-40) berawal dari belum

berhasilnya pemerintah Pusat memberikan Kesejahteraan,

Kemakmuran, dan pengakuan terhadap hak-hak dasar Rakyat

Papua. Kondisi masyarakat Papua dalam bidang pendidikan,

ekonomi, kebudayaan dan sosial politik masih sangat

memprihatinkan. Bahkan, sebagian di antara mereka masih

hidup seperti di zaman batu. Selain itu, persoalan-persoalan

mendasar seperti pelanggaran hak-hak asasi manusia dan

pengingkaran terhadap hak kesejahteraan Rakyat Papua masih

juga belum diselesaikan secara adil dan bermartabat (lihat

Maniagasi, 2001: 65). Keadaan ini telah mengakibatkan

munculnya berbagai ketidakpuasan yang tersebar di seluruh

Page 11: Makalah PKN

Tanah Papua dan diekspresikan dalam bermacam bentuk. Banyak

diantara ekspresi-ekspresi tersebut dihadapi pemerintah

pusat dengan cara-cara kekerasan bahkan tidak jarang

menggunakan kekuatan militer secara berlebihan. Puncaknya

adalah semakin banyaknya Rakyat Papua ingin melepaskan diri

dari NKRI sebagai salah satu alternatif untuk memperbaiki

kesejahteraan.

Dilihat dari penetapan masalah dalam kebijakan Otonomi

Khusus Papua No. 21 Tahun 2001, seperti yang telah

dipaparkan diatas. Maka sasaran kebijakan ini tak jauh dari

permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Papua dan

keinginan Rakyat Papua, yang antara lain adalah, peningkatan

kesejahteraan Rakyat Papua, penghormatan terhadap hak-hak

sipil dan hak asasi/dasar Rakyat Papua, kebebasan untuk

mengatur rumah tangganya sendiri, serta pembagian hasil alam

yang adil bagi Rakyat Papua.

Dengan demikian jelaslah bahwa otonomi khusus bagi

Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan

yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk

mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas

berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi

dan Rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan

mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk

sebesar-besarnya bagi kemakmuran Rakyat Papua sebagai bagian

dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-

undangan. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk

memberdayakan potensi sosial budaya dan perekonomian

Page 12: Makalah PKN

masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai

bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama

dan kaum perempuan.

Secara garis besar terdapat 4 (empat) hal mendasar di

dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang

Penyelenggaraan Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yakni:

1. Pengaturan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah

Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di

Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan.

2. Pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua

serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar.

3. Mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dengan

bercirikan:

a. Partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam

perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam

penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan

pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat,

agama dan kaum perempuan.

b. Pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-

besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli

Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada

umumnya.

c. Penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan

pembangunan yang transparan dan bertanggung jawab

kepada masyarakat.

4. Pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab yang tegas

dan jelas antara badan legislatif, eksekutif dan

yudikatif serta Majelis Rakyat Papua sebagai representasi

Page 13: Makalah PKN

kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan

tertentu.

Dari prinsip tersebut dapat kita ketahui bersama bahwa

secara ideal pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Papua

dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi

hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan

ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat

Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan

kemajuan provinsi lain.

Undang-undang ini menempatkan orang asli Papua dan

penduduk Papua pada umumnyasebagai Subjek utama. Keberadaan

Pemerintah, Pemerintah Provinsi, PemerintahKabupaten/Kota,

serta perangkat di bawahnya, semua diarahkan untuk

memberikan pelayananterbaik dan pemberdayaan rakyat.

Undang-undang ini juga mengandung semangat

penyelesaianmasalah dan rekonsiliasi, antara lain dengan

pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.Pembentukan

komisi ini dimaksudkan untuk menyelesaikan berbagai

permasalahan yang terjadidi masa lalu dengan tujuan

memantapkan persatuan dan kesatuan nasional Indonesia di

ProvinsiPapua.

Penjabaran dan pelaksanaan Undang-undang ini di

Provinsi dan Kabupaten/Kota dilakukansecara proporsional

sesuai dengan jiwa dan semangat berbangsa dan bernegara

yang hidupdalam nilai-nilai luhur masyarakat Papua, yang

diatur dalam Peraturan Daerah Khusus danPeraturan Daerah

Provinsi. Peraturan Daerah Khusus dan/atau Peraturan Daerah

Provinsiadalah Peraturan Daerah Provinsi Papua yang tidak

Page 14: Makalah PKN

mengesampingkan peraturan perundang-undangan lain yang ada

termasuk Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

PemerintahanDaerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999

tentang Perimbangan Keuangan antaraPemerintah Pusat dan

Daerah, sepanjang tidak diatur dalam Undang-undang ini.

2.3. Tujuan Kebijakan Otonomi Khusus Papua

Tawaran kebijakan otonomi khusus yang diberikan Jakarta

terhadap tuntutan tinggi kemerdekaan teritorial (high call)

yang didesakkan Papua dengan cepat menggelinding ke dalam

agenda wakil rakyat hasil pemilu 1999. MPR dalam Tap-nya No.

IV Tahun 1999 tentang GBHN menyatakan bahwa: ”Dalam rangka

mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah NKRI dengan

tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial

budaya masyarakat Papua, melalui penerapan daerah Propinsi

Irian Jaya sebagai daerah otonomi khusus yang diatur dengan

Undang-Undang”.

Dari substansi, Tap MPR No. IV Tahun 1999 tentang GBHN,

seperti yang dipaparkan diatas, dapat ditarik benang merah

bahwa, tujuan dari kebijakan otonomi khusus Papua adalah

untuk menjaga keutuhan NKRI dan juga untuk memenuhi tuntutan

masyarakat Papua agar dapat melaksanakan sendiri

Pemerintahan Daerahnya. Serta untuk lebih menghargai

kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh, dan juga

mensejahterakan rakyat Papua.

Kebijakan desentralisasi yang diterapkan di Provinsi

Papua merupakan refleksi dari pendekatan desentralisasi yang

Page 15: Makalah PKN

"asymetric". Artinya kebijakan desentralisasi yang diterapkan

di Provinsi tersebut tidaklah simetris dengan desentralisasi

di Provinsi lainnya di Indonesia. Pendekatan tersebut banyak

dilakukan di berbagai negara di dunia, bahkan dalam skala

yang lebih besar seperti Monaco di Perancis, Roma di Italia,

Kurdi di Irak, Skotlandia dan Irlandia Utara di Inggris dan

lain-lain. Pendekatan asymetric dilakukan untuk

mengakomodasikan perbedaan yang tajam yang terjadi di

daerah-daerah khusus tersebut dengan yang berlaku umum di

bagian lain dari negara yang bersangkutan. Dengan penerapan

kebijakan tersebut kekhususan daerah dapat diakomodasikan

tanpa harus menciptakan separatisme dalam bentuk pemisahan

diri dari negara induknya. Dengan demikian pendekatan

desentralisasi di Provinsi Papua pada hakekatnya tetap

dimaksudkan untuk mencapai tujuan pelaksanaan desentralisasi

dan Otonomi Daerah itu sendiri. Sebagaimana disebutkan oleh

Musa’ad dkk (2000) bahwa tujuan otonomi Daerah dan

desentralisasi dibedakan berdasarkan 2 (dua) sudut pandang,

yaitu sudut pandang Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dari sudut pandang Pemerintah Pusat, sedikitnya ada 4

(empat) tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijakan

otonomi Daerah dan Desentralisasi, yaitu: (i) pendidikan

politik; (ii) pelatihan kepemimpinan; (iii) menciptakan

stabilitas politik; serta (iv) mewujudkan demokratisasi

sistem pemerintahan di Daerah. Sementara itu, bila dilihat

dari sisi kepentingan Pemerintah Daerah, tujuan yang ingin

dicapai, yaitu:

Page 16: Makalah PKN

1. Kebijakan otonomi Daerah dan Desentralisasi adalah untuk

mewujudkan apa yang disebut sebagai political equality.

Maksudnya melalui pelaksanaan otonomi daerah dan

desentralisasi diharapkan akan lebih membuka kesempatan

bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam berbagai

aktivitas politik di tingkat Daerah (lokal).

2. Kebijakan otonomi Daerah dan Desentralisasi adalah untuk

mewujudkan apa yang disebut sebagai local accountability.

Maksudnya, melalui pelaksanaan otonomi daerah dan

desentralisasi diharapkan ada tuntutan kewajiban untuk

memberikan pertangungjawaban atau menjawab dan

menerangkan berbagai tindakan yang telah dilakukan oleh

seorang Kepala Daerah maupun lembaga daerah kepada pihak

yang memiliki hak atau wewenang untuk meminta

pertangungjawaban, terutama yang berkaitan dengan

kepentingan masyarakat di Daerah.

3. Kebijakan otonomi Daerah dan Desentralisasi adalah untuk

mewujudkan apa yang disebut sebagai local responsiveness.

Maksudnya melalui pelaksanaan otonomi daerah dan

desentralisasi, pemerintah Daerah diharapkan akan tanggap

terhadap berbagai permasalahan yang terjadi dan yang

dihadapi oleh masyarakat.

2.4. Perumusan Kebijakan

Perumusan kebijakan otonomi khusus Propinsi Papua

adalah rangkian kegiatan penyusunan usulan-usulan kegiatan

untuk memecahkan masalah yang dihadapi Propinsi Papua.

Sebagaimana yang diungkapkan Dunn (2003: 26), Perumusan

Page 17: Makalah PKN

masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan

kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari

definisi masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan

melalui penyusunan agenda. Perumusan masalah dapat membantu

menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis

penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang

memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan yang

bertentangan, dan merancang peluang kebijakan yang baru.

Masalah utama pemerintahan Propinsi Papua bukanlah terletak

pada kurangnya jumlah Propinsi. Terbukti dari gagalnya jalan

pemecahan lewat UU No. 45 Tahun 1999 yang memekarkan

Propinsi Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah, dan Irian Jaya

Timr. Masalah pokoknya adalah tidak adanya ruang bagi rakyat

papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, tidak adanya

kebebasan bagi rakyat papua untuk berpemerintahan sendiri

dan mengatur pemanfaatan kekayaan alamnya untuk kemakmuran

rakyat, dan tidak adanya kebebasan untuk memutuskan sendiri

strategi pembangunan sosial, budaya, ekonomi, dan politik

yang sesuai dengan karakteristik dan kekhasan sumber daya

manusia serta kondisi dan kebudayaan orang Papua (lihat

Sumule, 2002 : 41). Hal ini disebabkan karena kebijakan orde

lama dan orde baru cenderung sangat bersifat sangat

sentralistik. Untuk itulah perlu dirumuskan kebijakan

otonomi yang sesuai dengan kondisi masyarakat Papua. Otonomi

tersebut disebut otonomi khusus.

Karena kekhususannya itu kebijakan bagi otonomi

Propinsi Papua perlu dibedakan dengan propinsi-propinsi

lainnya. Ada hal – hal mendasar yang berlaku di papua saja,

Page 18: Makalah PKN

atau sebaliknya ada pula hal-hal yang berlaku di daerah lain

di Indonesia namun tidak bisa diterapkan di Papua. Karena

yang tahu persis tentang kekhususan itu adalah orang papua,

maka perumusan kebijakan otonomui khusus papua perlu

memperhatikan aspirasi masyarakat sebagaimana diamanahkan

oleh TAP MPR No. IV Tahun 2000.

2.5. Pengesahan Kebijakan Otonomi Khusus Papua

Bila ditilik dari segi isi, cukup banyak hal-hal

krusial dalam RUU versi Papua diakomodasi dalam UU No.21

Tahun 2001. misalnya, soal nama Papua, bendera dan lagu,

bentuk pemerintahan distrik dan kampung, Lembaga MPR dengan

kewenangan yang besar, sumber-sumber penerimaan daerah yang

lebih besar, sumber-sumber penerimaan daerah yang lebih

besar, peralihan adat, tambahan jumlah anggota DPRD,

Kepolisian Daerah, dan kewenangan – kewenangan khusus di

bidang perekonomian, ketenagakerjaan, lingkungan hidup,

kesehatan, kependudukan dan sosial. Pendek kata, UU ini

cukup memperhatikan aspirasi masyarakat Papua, dan

memasukkan unsur budaya lokal. Kehadiran UU ini merupakan

langkah pertama untuk mengatasi masalah-masalah di Papua.

Judul yang ditetapkan untuk UU No.21 Tahun 2001 adalah

Otonomi Khusus Papua. Dalamketentuan umum UU ini dijelaskan

bahwa arti otonomi khusus adalah kewenangan khusus yang

diberikan kepada Propinsi Papua untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.

Agar bisa dipahami lebih baik, berikut ini dikemukakan

Page 19: Makalah PKN

secara sederhana isi dan pengimplementasian UU No. 21 Tahun

2001 yang memiliki tidak kurang dari 24 bab dan 79 pasal.

a) Bendera dan Lagu (Pasal 2)

Propinsi Papua dapat memiliki bendera daerah dan lagu

daerah sebagai simbol kultural tetapi tidak diposisikan

sebagai simbol kedaulatan.

b) Pembagian Daerah (Pasal 3)

Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sejumlah distrik, dan

distrik terdiri atas sejumlah kampung atau yang disebut

dengan nama lain.

c) Kewenangan Daerah (Pasal 4)

Propinsi Papua mendapat Kewenangan khusus dalam rangka

pelaksanaan otonomi khusus yang meliputi kewenangan di

bidang perekonomian, pendidikan dan kebudayaan,

kesehatan, kependudukan dan ketenagakerjaan, lingkungan

hidup, dan sosial. Selain itu, semua perjanjian

internasional yang dibuat oleh pemerintah hanya terkait

dengan kepentingan Propinsi Papua, dilaksanakan setelah

mendapat pertimbangan guberbur. Propinsi Papua juga

dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga atau badan di

luar negeri.

d) Lembaga MRP (Pasal 5, 19 – 25)

MRP merupakan representasi kultural orang asli papua

yang meiliki kewenangan tertentu dalam rangka

perlindungan hak-hak asli orang papua, dengan

berdasarkan pada penghormatan terhadap adat dan budaya,

Page 20: Makalah PKN

pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup

beragama.

e) Lembaga Legeslatif (Pasal 6 – 10)

DPRP adalah pemegang kekuasaan legeslatif yang jumlah

anggotanya 1 ¼ kali dari jumlah yang ditetapkan Undang-

Undang. Dalam menjalankan tugasnya DPRP bekerja sama

dengan MRP.

f) Badan Eksekutif (Pasal 11 – 18)

Gubernur adalah kepala eksekutif yang dibantu oleh

seorang wakil gubernur. Syarat utama untuk dipilh

menjadi gubernur dan wakil gubernur adalah orang asli

papua. Gubernur dan wakil Gubernur bertanggung jawab

kepada DPRP. Dalam posisinya sebagai wakil pemerintah,

gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.

g) Partai Politik (Pasal 28)

Penduduk Propinsi Papua dapat membentuk partai politik,

rekruitmen politik oleh partai politik di propinsi papua

dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli papua.

Partai politik wajib memeinta pertimbangan NRP dalam

melakukan seleksi rekruitmen politik partainya.

h) Keuangan (Pasal 33 – 37)

Pajak penghasilan orang pribadi sebesar 20% dibagi

kepada Propinsi Papua. Untuk hasil pertambangan minyak

bumi jatah Papua dinaikkan 15% menjadi 70%, dan

pertambangan gas alam dari 30% menjadi 70% yang berlaku

selama 25 Tahun. Tetapi mulai tahun ke 26 porsi Papua

tersebut diturunkan menjadi 50% baik untuk pertambangan

minyak bumi maupun pertambangan gas alam , atau sama

Page 21: Makalah PKN

besar dengan porsi pemerintah pusat. Sedangkan pembagian

antara propinsi dengan kabupaten / kota diatur secara

adil dan berimbang dengan Perdasus, dengan memperhatikan

daerah-daerah yang tertinggal. Penggunaan dana tersebut

sekurang-kurangnya 30%d dialokasikan untuk biaya

pendidikan, dan sekurang-kurangnya 15% untuk kesehatan,

dan perbaikan gizi. Pemrintah Propinsi dapat melakukan

penyertaan modal pada BUMN dan Perusahaan swasta yang

berdomisili di propinsi Papua.

i) Hak Asasi Manusia (Pasal 45 – 47)

Dalam rangka penegakan HAM, pemerintah membentuk

perwakilan komnas HAM, pengadilan HAM, dan Komisi

kebenaran dan rekonsiliasi di Propinsi Papua.

j) Kepolisian Daerah (Pasal 48 – Pasal 49)

Dalam melaksanakan kebijakan mengenai keamanan, Polda di

Propinsi Papua berkoordinasi dengan Gubernur yang

mencakup aspek ketertiban dan ketentraman masyarakat.

Tugas ketertiban dan ketentraman msyarakat itu diatur

dengan Perdasi, termasuk pembiayaan yang diakibatkannya,

dan pelaksanaannya dipertanggungjawabkan Kapolda kepada

Gubernur. Begitu pula pengangkatan Kapolda dilakukan

dengan persetujuan Gubernur. Sedangkan untuk

pemberhentiannya, dalam hal-hal tertentu Gubernur dapat

memberi pertimbangan kepada Kapolri. Disamping itu,

seleksi pendidikan dasar dan pelatihan umum, serta

penempatan polisi wajib memperhatikan sistem hukum,

budaya dan adat –istiadat yang berlaku di Propinsi

Papua.

Page 22: Makalah PKN

k) Kekuasaan Peradilan (Pasal 50 – 52)

Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Badan Peradilan.

Di samping kekuasan kahakiman itu, diakui adanya

peradilan adat sebagai peradilan perdamian yang

mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadilli sengketa

perdata atas perkara pidana diantara warga masyarakat

hukum adat. Tetapi, pengadilan adat tersebut tidak

berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau

kurangan, dan pihak yang berkeberatan terhadap putusan

atau peradilan adat berhak meminta pengadilan tingkat

pertama di lingkungan badan peradilan untuk memeriksa

dan mangadili ulang sengketa atau perkara yang

bersangkutan.

2.6. Sosialisasi dan Pemahaman Masyarakat Papua Terhadap UU

No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Papua

Otonomi Khusus bagi Papua harus diartikan secara benar,

jelas, dan tegas sejak awal karena telah terbentuk berbagai

pemahaman/persepsi yang berbeda-beda bahkan negatif mengenai

Otonomi Khusus di kalangan Rakyat Papua. Pengalaman pahit

yang dialami oleh rakyat Papua dalam masa pemerintahan Orde

Lama dan Orde Baru, yang juga memperlakukan daerah Papua

sebagai suatu daerah otonomi, telah membuat rakyat Papua

sudah tidak percaya lagi terhadap Otonomi Khusus yang

ditawarkan oleh Pemerintah RI.

Page 23: Makalah PKN

Yang lebih ironis lagi adalah bahwa pemahaman/persepsi

yang berbeda-beda bahkan negatif mengenai Otonomi Khusus di

Papua juga terjadi di kalangan pejabat pemerintah dan

anggota lembaga legislatif, baik di pusat maupun di daerah.

Hal-hal tersebut adalah beberapa di antara hambatan-hambatan

untuk menyosialisasikan UU tentang Otonomi Khusus di Papua.

Istilah Otonomi Khusus terdiri dari dua kata yaitu kata

"otonomi" dan "khusus." Istilah "otonomi" dalam Otonomi

Khusus haruslah diartikan sebagai kebebasan bagi rakyat

Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri atau rumah

tangganya sendiri. Hal itu berarti pula bahwa rakyat Papua

telah mendapatkan kekuasaan dan kewenangan yang lebih besar

untuk berpemerintahan sendiri, mengatur penegakan hukum dan

ketertiban masyarakat, mengatur dan mengelola segenap sumber

daya yang dimilikinya, termasuk sumber daya alam untuk

sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua, tetapi dengan

tidak meninggalkan tanggung jawab untuk ikut serta

memberikan kontribusinya kepada kepentingan nasional.

Demikian juga kebebasan dan kearifan untuk menentukan

kebijakan, strategi dan program-program pembangunan daerah,

antara lain pembangunan infrastruktur, pembangunan sosial,

budaya, ekonomi, politik, hukum dan ketertiban, yang sesuai

dengan keunikan dan karakteristik alam serta masyarakat dan

budaya Papua. Hal lain yang tidak kalah penting adalah

pengembangan jati diri serta harga diri dan martabat orang

Papua sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Istilah "khusus" hendaknya diartikan sebagai perlakuan

berbeda yang diberikan kepada Papua karena kekhususan-

Page 24: Makalah PKN

kekhususan yang dimilikinya, kekhususan tersebut mencakup

hal-hal seperti tingkat sosial ekonomi masyarakat, budaya

dan sejarah politik. Dalam pengertian praktisnya kekhususan

otonomi Papua berarti bahwa ada hal-hal mendasar yang hanya

berlaku di Papua dan tidak berlaku di daerah lain di

Indonesia, dan ada hal-hal yang berlaku di daerah lain di

Indonesia yang tidak diterapkan di Papua.

Menurut Barnabas (mantan Gubernur Papua) dalam surat

kabar harian Suara Pembaruan (8 september 2003), permsalahan

yang seringkali dihadapi dalam melakukan sosialisasi UU No.

21 Tahun 2001, adalah;

”Masalah ketidaksamaan dalam pemahaman dan persepsi

tentang Otonomi Khusus di Papua. Sejak awal telah

terbentuk persepsi, pemahaman dan pengertian yang

berbeda-beda tentang Otonomi Khusus di kalangan

masyarakat Papua itu sendiri. Bertolak dari pemahaman

dan persepsi yang berbeda-beda, respons yang diberikan

oleh masyarakat Papua juga berbeda-beda. Ada sebagian

yang memberikan respons yang positif, ada pula yang

memberikan respons yang negatif dan ada yang bersikap

netral. Mereka yang memberikan respons secara positif,

melihat status Otonomi Khusus sebagai suatu jalan

keluar yang bersifat Win-Win yang dapat mencegah konflik

bahkan mencegah jatuhnya korban yang lebih banyak lagi.

Ada pula sebagian masyarakat yang secara tegas menolak

status Otonomi Khusus, karena yang mereka inginkan

adalah kemerdekaan penuh dalam arti lepas dari NKRI”.

Page 25: Makalah PKN

Hal lain seperti dikemukakan di atas, bahwa yang lebih

ironis lagi adalah bahwa pemahaman/persepsi yang berbeda-

beda, bahkan negatif tentang Otonomi Khusus di Papua, juga

terjadi di kalangan pejabat Pemerintah dan anggota-anggota

lembaga legislatif, baik di pusat maupun di daerah. Padahal

mereka mempunyai tanggung jawab untuk menjelaskan tentang

Otonomi Khusus secara benar, jelas dan tegas. Hal seperti

itu akan sangat menghambat upaya sosialisasi tentang Otonomi

Khusus ke tengah-tengah masyarakat Papua.

Masalah saling tidak percaya (distrust) merupakan salah

satu penyebab yang krusial dalam pemahaman masyarakat akan

UU Otonomi khusus bagi Papua tersebut. Segala penderitaan

yang dialami oleh masyarakat Papua, pelanggaran HAM,

pembunuhan, penindasan, intimidasi, ketidakadilan, dan

diskriminasi telah membawa sebagian masyarakat Papua kepada

suatu kekecewaan yang sangat dalam. Kekecewaan demi

kekecewaan telah membawa mereka untuk tidak percaya lagi

kepada NKRI. Mereka tidak percaya bahwa masih ada ruang bagi

perbaikan dan karena itu mereka memilih alternatif untuk

berpisah dari NKRI.

Pengalaman pahit yang dialami oleh rakyat Papua dalam

masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru yang juga

memberikan otonomi kepada Provinsi Papua, telah membuat

sebagian rakyat Papua sudah tidak percaya lagi terhadap

Otonomi Khusus yang ditawarkan oleh pemerintah RI. Mereka

beranggapan bahwa untuk keluar dari penderitaan seperti itu,

adalah hak mereka untuk menentukan nasib masa depannya

sendiri.

Page 26: Makalah PKN

2.7. Implementasi UU No.21 Tahun 2001

Undang- undang Otonomi Khusus Papua adalah sebuah

aturan atau kebijakan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat

dalam upaya meningkatkan pembangunan dalam berbagai aspek

dengan empat prioritas utama yaitu ekonomi, pendidikan,

kesehatan dan infrastruktur - secara filosofis UU Otsus ini

dibuat sebagai langkah untuk mensejajarkan Papua dengan

wilayah lainnya di Indonesia serta juga sebagai langkah

proteksi bagi hak-hak dasar Orang asli Papua yang sejak

berintegrasi dengan NKRI hak-hak dasar mereka terabaikan dan

termarginalkan. Singkatnya kemakmuran dan kesejahteraan yang

sebesar-besarnya bagi orang asli Papua.

Akan tetapi Perjalanan Otsus hingga kini belum berjalan

optimal, sekelumit permasalahan menghinggapi perjalanannya

diantaranya distrubusi kewenangan dan aliran dana yang tidak

jelas, inkonsistensi pemerintah Pusat dan Pemda Papua hingga

konflik kepentingan dan kekuasaan inter-elit lokal di Papua,

akibatnya masyarakat Papua sudah tidak memiliki trust akan

kebijakan ini, yang sedari awal telah digembor-gemborkan

oleh berbagai pihak sebagai "senjata pamungkas"

menyelesaikan persoalan yang selama ini terjadi di Tanah

Papua.Berikut ini beberapa catatan kilas - balik

permasalahan yang mengemuka dalam implementasi Otsus di

Papua.

Konflik pemekaran Propinsi Irian Jaya Barat; Penerbitan

Inpres Nomor 1/2003

Page 27: Makalah PKN

Pada tanggal 27 Januari 2003 Presiden Megawati

Soekarino Putri mengeluarkan Inpres No 1 Tahun 2003

tentang percepatan pelaksanaan Undang-undang Nomor 45

Tahun 1999 yaitu pembentukan Propinsi Irian Jaya Barat,

Irian Jaya Tengah, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika,

Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong.

Penerbitan Inpres ini langsung memicu reaksi keras

dari berbagai kalangan baik itu di Papua maupun di

tingkat nasional. Terlebih lagi Abraham Otururi bersama

dengan beberapa pejabat Pemerintahan Daerah Kabupaten

Manokwari mendeklarasikan terbentuknya propinsi Irian

Jaya Barat pada tanggal 5 Februari 2003. sedangkan

deklarasi pembentukan Irian Jaya tengah pada bulan

Agustus tahun 2003 di Kabupaten Mimika akhirnya

dibatalkan karena implikasi deklarasi tersebut

terjadinya konflik berdarah antar kelompok pro dan

kontra pemekaran. Berbagai kelompok yang ada di Papua

dan di tingkat nasional menanggapinya dengan berbagai

argumentasi yang beragam, Kelompok yang pro pemekaran

berpendapat bahwa pemekaran propinsi -propinsi melalui

Inpres Nomor 1/2003 dianggap terobosan dan cara jitu

untuk mendekatkan pelayanan Pemerintah kepada masyarakat

dengan demikian akan meningkatkan kesejahteran dan

keadilan bagi masyarakat Papua Tetapi bagi yang kontra

berpendapat bahwa penerbitan Inpres Nomor 1/2003

melecehkan UU No 21/200 tentang otonomi Khusus Papua

karena di dalam UU No 21/2001 pasal 76 menyebutkan bahwa

untuk membentuk propinsi baru terlebih dahulu harus

Page 28: Makalah PKN

diperoleh persetujuan dari MRP dan DPRP, padahal MRP

pada saat itu belum terbentuk karena Pemerintah pusat

belum mengeluarkan Peraturan pemerintah, walaupun

pemerintah Propinsi Papua sudah memasukkan Draft PP

tersebut kepada pemerintah Pusat sejak Bulan Juli 2002

(lihat Kompas, 29 Agustus 2003) .

Konflik inter elit lokal Papua (Pemda IJB vs Pemda

Papua) dan elit Jakarta berlanjut hingga ke Mahkamah

Konstitusi (MK) dengan mengajukan judicial revieuw

masing-masing pihak mempertahankan argumentasinya.

Akhirnya pada tanggal 04 November 2004 Mahkamah

Konstitusi memutuskan bahwa UU No 45/1999 batal demi

hukum dan secara implisit mengakui keberadaan Propinsi

Irian Jaya Barat. Keputusan yang dikeluarkan oleh

Mahkamah Konstitusi inipun mengundang reaksi keras dari

berbagai kalangan terutama dari elit Propinsi Papua

yaitu DPRD dan Pemda Propinsi Papua karena dianggap

justru keputusan ini tidak menyelesaikan persoalan dan

bersifat ambivalen. Terakhir Majelis Rakyat Papua

membentuk sebuah Tim kosultasi Publik dengan tujuan

untuk mendapatkan jawaban Publik Irian Jaya Barat

tentang setuju atau tidak pemekaran Propinsi Papua. Tim

konsltasi Publik inipun mendapat reaksi yang cukup keras

dari kalangan di Irian Jaya Barat. Mereka menilai bahwa

langkah yang dilakukan oleh MRP telah memasuki "wilayah

haram". Tudingan ini semakin kuat manakala MRP dalam

konsultasi publiknya keluar dari kesepakatan. Di mana

telah disepakati bahwa dalam melakukan konsultasi

Page 29: Makalah PKN

Publik, MRP harus didampingi pihak Irian Jaya Barat

(Yuwono, 2007: 4).

Tak mau ketinggalan Pihak Irian Jaya Barat melalui

DPRD Propinsi Irian Jaya Barat juga melakukan konsultasi

Publik dan hasilnya sudah jelas bahwa masyarakat Irian

Jaya Barat mendukung pemekaran. Di sisi lain hasil

konsultasi publik yang dilakukan oleh MRP di Propinsi

Irian Jaya Barat menghasilkan keputusan yaitu (1)

Pemekaran Propinsi Papua menjadi propinsi-propinsi baru

seperti propinsi Irian Jaya Barat atau dengan nama

lainnya belum saatnya dilakukan; (2) Pemekaran Propinsi

Papua menjadi propinsi-propinsi baru seperti propinsi

Irian Jaya Barat atau dengan nama lainnya dilakukan

berdasarkan pasal 76 UU No 21/2001.

Selanjutnya masih Berkaitan dengan Pemekaran Propinsi

Irian Jaya Barat, hasil ketetapan yang dilakukan oleh

DPRP Propinsi Papua adalah (1) Pemekaran Propinsi Papua

menjadi Propinsi IJB atau nama lain belum saatnya

dilakukan dan apabila pemekaran dilakukan di Propinsi

Papua harus berdasarkan pasal 76 UU No 21 Tahun 2001

tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua; (2) Apabila

Pemerintah Pusat tetap melaksanakan pemekaran Propinsi

IJB atau nama lain diluar ketentuan pasal 76 UU No 21

Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, Maka DPRP atas

nama rakyat Papua akan mengelar rapat paripurna untuk

mengembalikan UU RI No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus bagi Propinsi Papua (Yuwono, 2007: 5).

Page 30: Makalah PKN

Lambatnya Penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No 54

Tahun 2004 tentang Pembentukan Majelis Rakyat Papua

Secara Filosofis Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001

tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua memuat

sejumlah pengakuan dan komitmen. Salah satu bentuk

pengakuan dan komitmen tersebut adalah memberikan

perlindungan dan penghargaan terhadap hak-hak dasar

orang asli Papua.

Sebagai langkah untuk mengimplementasikan komitemen

tersebut maka di perlukan untuk membentuk sebuah

institusi yang merupakan wadah partispasi politik dan

representasi kultural orang asli Papua yaitu Majelis

Rakyat Papua (MRP). Hal ini dipertegas di dalam Pasal 5

UU No 21/2001 ayat 2 disebutkan: "dalam rangka

penyelenggaraan Otonomi Khusus di Propinsi Papua

dibentuk Majelis Rakyat Papua yang merupakan

repersentasi kultural orang asli Papua yang memiliki

kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak

orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan

terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan

pemantapan kerukunan hidup beragama ".

Seiring dengan perkembangannya sejak Pemerintah

Propinsi Papua memasukkan Draft PP tentang pembentukan

Majelis Rakyat Papua (MRP) Tahun 2002, implementasi

pembentukan Majelis Rakyat Papua baru dilaksanakan pada

Bulan November 2005 padahal berdasarkan aturan yang ada

lembaga ini harus dibentuk paling lambat satu tahun

setelah UU Otsus diberlakukan, salah satu alasan

Page 31: Makalah PKN

kekhawatiran dari pemerintah Pusat lebih bersifat

politis dengan mengatakan bahwa lembaga ini "superbody"

sehingga perlu ditinjau kembali selain itu di

khawatirkan MRP menjadi basis politik bagi orang asli

Papua yang akan mengancam disintegrasi dan keutuhan

NKRI.

Menyadari akan semakin banyaknya kompleksitas

persoalan yang dihadapi oleh Pemerintah Pusat jika

Majelis Rakyat Papua belum dibentuk dan juga sesuai

dengan janji presiden SBY pada saat melakukan kampanye

Pilpres di Papua bahwa apabila kelak ia terpilih maka

akan menjalankan Otsus Papua secara komprehensif maka

pada tanggal 26 Desember 2004, Presiden SBY memberikan

kado Natal Bagi Masyarakat Papua berupa Penyerahan

simbolis PP No 54 Tahun 2004 kepada pemerintah Propinsi

Papua (Institute for Local Development, 2005: 612).

Meskipun proses pembentukan Majelis Rakyat Papua

(MRP) menuai pro-kontra diberbagai kalangan karena

dinilai proses rekruitmen anggota MRP tidak mencerminkan

asas demokrasi dan keterwakilan dari unsur masyarakat di

Papua selain itu proses rekruitmen anggota MRP di duga

hanyalah untuk kepentingan politik segelintir elit lokal

Papua menjelang Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur.

Pemerintah Propinsi Papua dalam hal ini Badan Kesatuan

Bangsa Propinsi tetap melakukan proses pemilihan di

seluruh wilayah Kabupaten yang ada di Propinsi Papua,

dan akhirnya pada Bulan November 2005 Mendagri M. Ma'ruf

melantik secara resmi 42 orang anggota MRP yang mewakili

Page 32: Makalah PKN

tiga unsur/komponen masyarakat di Papua yaitu Unsur

agama, adat dan perempuan.

UU Otonomi Khusus Papua yang disahkan setelah UU

Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam oleh sejumlah

kalangan memang dipandang terlalu “radikal”. Rakyat

Papua dimungkinkan memiliki Majelis Rakyat Papua (MRP)

yang merupakan perwakilan dari eksponen masyarakat adat

di Papua.

MRP bukan merupakan bentuk “MPR mini” di Papua karena

lembaga ini lebih menekankan pada pemberian pertimbangan

pada penyelenggara pemerintahan agar kebijakan yang

diambil sesuai dengan rakyat asli Papua. Konsep MRP ini

tampaknya tidak dipahami betul oleh Pemerintah Pusat.

Barnabas mengatakan salah satu penyebab belum mulusnya

pemberlakuan UU Otonomi Khusus Papua merupakan merupakan

bentuk ketakutan pemerintah pusat pada bayangannya

sendiri. Ia menyebut MRP yang sebelumnya sama sekali

tidak pernah terpikirkan oleh Pemerintah Pusat (Sinar

Harapan, 3 Mei 2003) .

Kekhawatiran Pusat terhadap terbentuknya MRP

sebenarnya tidak beralasan sama sekali. Sekalipun UU

Otonomi Khusus Papua memungkinkan terbentuknya MRP,

pemerintah masih memiliki intervensi yang sangat kuat

melalui Peraturan Pemerintah yang harus dikeluarkan

sebagai tindak lanjut dari UU Otonomi Khusus. Untuk

menyusun keanggotaan MRP pun tangan Pusat masih sangat

kuat melalui PP tersebut. Dominasi peran Pusat terhadap

Page 33: Makalah PKN

pelaksanaan Otonomi Khusus Papua bukan hanya terlihat

dalam pembentukan MRP.

Kalau meneliti pasal demi pasal UU Otonomi Khusus

Papua, senantiasa dilengkapi dengan satu ayat yang

menyebut perlunya dibentuk Peraturan Pemerintah sebagai

penjabaran dari pasal dan ayat yang dimaksud. Jadi, bisa

dipahami kalau pelaksanaan Otonomi Khusus Papua akan

memakan banyak waktu karena untuk setiap ketentuan,

harus ada PP yang dikeluarkan.

Di sinilah sebenarnya peran pemerintah bisa

dimaksimalkan.

Dalam hal MRP, misalnya, terlalu berlebihan kalau Pusat

mengkhawatirkan terbentuknya lembaga tersebut. UU

Otonomi Khusus menyebut MRP merupakan representasi

kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan

tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak asli Papua

dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan

budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan

hidup beragama. Jadi, MRP bukan representasi politik,

melainkan representasi kultural rakyat Papua yang memang

memiliki kekhasan.Soal kekhawatiran bahwa UU Otonomi

Khusus Papua merupakan cikal bakal kemerdekaan Papua

juga tidak tepat karena kewajiban pertama MRP seperti

tertuang dalam Pasal 23 Ayat (1) disebutkan bahwa MRP

berkewajiban mempertahankan dan memelihara keutuhan

Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada

rakyat Provinsi Papua.

Kalau Pemerintah memiliki komitmen kuat untuk

Page 34: Makalah PKN

menyejahterakan rakyat Papua, implementasi UU Otonomi

Khusus Papua merupakan prioritas yang tidak dapat

ditawar-tawar lagi. UU ini padahal disusun melibatkan

segenap komponen bangsa, yaitu DPR, Pemerintah diwakili

Departemen Dalam Negeri, dan perwakilan masyarakat

Papua.

Minimnya Aturan Pelaksanaan Dalam Bentuk PERDASI dan

PERDASUS

Dalam kurun waktu 5 (lima) tahun Implementasi UU

Otsus bagi Propinsi Papua khususnya penyusunan peraturan

pelaksanaan dalam bentuk Perdasi dan Perdasus belum

berjalan optimal padahal untuk mengejawantahkan UU No 21

Tahun 2001 diperlukan adanya perdasi dan Perdasus

sebagai instrumen operasionalisasi dalam mewujudkan

cita-cita pembangunan yang berorientasi pada

perlindungan dan penegakan hak-hak dasar orang asli

Papua. Hal ini dipertegas dalam pasal 75 UU No 21/2001

bahwa "peraturan pelaksanaan yang dimaksud dalam Undang-

undang Otonomi Khusus ditetapkan paling lambat 2 (dua)

tahun sejak di undangkan".

Lambatnya penyusunan Perdasi dan Perdasus melahirkan

sejumlah persoalan salah satunya antara lain masih belum

jelasnya koordinasi diantara tiga pelaksana Otsus: DPRP,

MRP dan Pemda Propinsi Papua, selain itu didalam Undang-

undang Otonomi Khusus Papua di sebutkan bahwa ada 4

bidang yang menjadi prioritas pembangunan di Papua yaitu

Pendidikan, kesehatan, ekonomi dan infrastruktur. Dari 4

Page 35: Makalah PKN

(empat) bidang tersebut Perdasi pendidikan, kesehatan,

Perdasi tentang tata cara pemilihan anggota MRP dan

Perdasus pengelolaan dan pembagian dana Otsus yang baru

saja disahkan di DPRP. belum lagi sejumlah aspek lain

yang tersirat dan termaktub dalam UU tersebut yang

membutuhkan Perdasi dan Perdasus tertentu. Jika proses

penyusunan Perdasi dan Perdasus tidak dikerjakan secara

serius maka bisa dipastikan peluang untuk menjadikan

Otsus sebagai "tuan" di tanah sendiri bagi orang asli

Papua tidak akan menjadi sebuah kenyataan karena Perdasi

dan perdasus merupakan gambaran atau ekspresi

pembangunan, pemerintahan dan kemasyarakatan yang sesuai

dengan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat asli

Papua., disisi lain keunikan UU Otsus Papua adalah

Proses pembangunan di Papua yang diperuntukkan bagi

masyarakat asli Papua cukup dalam bentuk Perdasi dan

Perdasus tanpa harus membutuhkan Peraturan Pemerintah

Pusat.

Pada sisi yang lain, dari pihak pemerintah pusat, ada

kalangan atau pejabat tertentu yang curiga atau khawatir

bahwa Undang-Undang Otonomi Khusus akan lebih mendorong

perjuangan rakyat Papua untuk merdeka (dalam arti

memisahkan diri dari NKRI). Lebih ironis lagi bahwa

sejumlah pejabat orang asli Papua yang selama ini justru

berperan sebagai penengah, juga dicurigai tanpa bukti

dan data yang akurat (Suara Pembaruan, 9 september

2003).

Page 36: Makalah PKN

Dengan demikian, salah satu masalah utama dalam

implementasi Undang-Undang tentang Otonomi Khusus di

Papua adalah masalah saling tidak percaya antara satu

sama lain. Sangat lambannya proses penyusunan peraturan-

peraturan pelaksanaan (PP, Perdasi, Perdasus). Hingga

Juni 2003, sudah lebih dari satu setengah tahun sejak

ditetapkannya undang-undang tersebut, belum ada satupun

peraturan pelaksanaan (Peraturan Pemerintah, Perdasi,

dan Perdasus) yang ditetapkan, baik di tingkat pusat

maupun di tingkat daerah.

Salah satu penyebab utama dari kelambatan tersebut

adalah bahwa Tim Inti yang terdiri dari para intelektual

Papua yang menyusun Konsep Rancangan Undang-Undang

tersebut tidak dilibatkan secara utuh dan penuh dalam

penyusunan draft rancangan peraturan-peraturan

pelaksanaan tersebut. Tanpa keterlibatan Tim Inti (Tim

Asistensi) tersebut tidak saja menyebabkan proses itu

menjadi lambat, tetapi bisa terjadi missing link antara

nilai-nilai dasar dan norma-norma dasar yang diatur

dalam undang-undang tersebut untuk kemudian

diterjemahkan/dijabarkan ke dalam peraturan-peraturan

pelaksanaannya.

Konflik inter-elit Lokal; tidak berfumgsinya

penyelenggaraan Pemerintahan di beberapa Daerah di Papua

Sebagaimana tersirat di dalam Undang-undang Otonomi

Khusus Papua yang menegaskan bahwa keberhasilan

pelaksanaan Undang-undang Otonomi Khusus sangat

tergantung sejauh mana tata pemerintahan yang baik (good

Page 37: Makalah PKN

governance) berjalan dengan efektif dan efisien dalam

kerangka melayani kepentingan publik yang lebih adil,

demokratis dan acountabilty.

Uraian tersebut diatas adalah upaya merespon sejumlah

peristiwa yang berkaitan dengan penyelenggaran

Pemerintahan di Papua yang selama kurun waktu 5 (lima)

Tahun pelaksanaan Otsus dirasakan kurang berjalan

optimal baik dalam aspek Distribusi dana Otsus,

pelayanan Publik, koordinasi dan kompetensi institusi

Pemerintahan lokal hingga tidak berjalannya

penyelenggaraan Pemerintahan di beberapa daerah. intinya

bahwa akumulasi sejumlah persoalan diatas tidak terlepas

adanya berbagai kepentingan politik dari segelintir elit

pusat dan daerah (lokal) yang pada gilirannya berujung

terjadinya konflik kepentingan inter - elit lokal.

Berkaitan dengan konflik inter-elit lokal di Papua

terdapat sejumlah peristiwa yang mewarnai peta interaksi

elit lokal tersebut, diantaranya: Pasca hasil Pemilu

Tahun 2004 d Kabupaten Mimika melahirkan 2 (dua)

keputusan tentang pengesahan anggota DPRD Kabupaten

Mimika yang terpilih hasil dari proses Pemilu anggota

Legislatif, yaitu keputusan versi KPUD Propinsi Papua

dan keputusan versi Bupati Mimika. Gubernur Propinsi

Papua pada saat itu (Alm) J. P Solossa berpegang pada

hasil keputusan KPUD Propinsi Papua. Meskipun Persoalan

ini telah dibawa kedalam proses hukum yang akhirrnya

dimenangkan oleh KPUD Propinsi Papua tetap tidak bisa

menyelesaikaan persoalan. Di sisi lain Pemerintah Pusat

Page 38: Makalah PKN

menyerahkan sepenuhnya persoalan ini kepada Pemda

Propinsi Papua. Implikasinya selama kurang lebih 2 (dua)

tahun DPRD Kabupaten Mimika mengalami ke-vakuman atau

tidak melakukan aktivitas sama sekali. Berbagai solusi

dan pendekatan persuasif dilakukan oleh berbagai pihak

agar persoalan ini harus secepat mungkin di selesaikan

dengan melakukan dialog/komunikasi intensif. Gubernur

Papua Barnabas Suebu yang baru saja terpilih dari proses

pilkada Papua berjanji dan mencoba untuk mengfasilitasi

kedua belah pihak yang bertikai dalam mengatasi ke-

vakuman DPRD Kabupaten Mimika. Akhirnya pada Bulan

Desember 2006 Gubernur propinsi Papua secara resmi

melantik Anggota DPRD Kabupaten Mimika dan rencananya

sekitar pada Bulan Februari tahun 2007 sudah ada Ketua

dan Wakil ketua DPRD definitif (Http :

www.fokerlsmpapua.org).

Semenjak Kabupaten Mappi dimekarkan pada Tahun 2004

melalui UU No 12 Tahun 2004, pelantikan Bupati dan Wakil

Bupati definitif mengalami penundaan berulang kali (Http

: www.fokerlsmpapua.org). Dimana sebelumnya telah

terjadi 2 (dua) kali pelantikan pejabat careteker Bupati.

Tertundanya proses pelantikan Bupati dan wakil Bupati

definitif karena adanya pihak calon Bupati dan wakil

Bupati yang mengikuti proses pilkada Kabupaten Mappi

pada Tahun 2005 merasa tidak puas atas hasil pemilihan

tersebut. Sengketa atas hasil pilkada Kabupaten Mappi

pun di bawa sampai kepada proses Hukum. Walaupun telah

ada hasil keputusan hukum yang dimenangkan oleh salah

Page 39: Makalah PKN

satu pihak peserta calon Pilkada tetap saja tidak menuai

hasil yang optimal untuk dapat menyelesaikan persoalan

ini. Hingga pada akhirnya Gubernur Barnabas Suebu yang

baru saja terpilih mencoba menyelesaikan persoalan ini

dengan mengundang kedua belah pihak dalam mencari solusi

sebagai upaya dalam rangka mengefektifkan kembali proses

penyelenggaraan Pemerintahan di Kabupaten Mappi yang

kurang lebih 2 (dua) tahun selalu di landa kemelut

Politik khususnya persoalan pemilihan Bupati dan Wakil

Bupati.

Pilkada langsung merupakan salah satu langkah maju

dalam mewujudkan demokrasi di tingkat lokal. Bahkan Tip

O’Neil dalam Agustino (2005: 139) menyatakan bahwa ”all

political is local” yang dapat dimaknai tumbuh dan berkembangya

demokrasi di tingkat nasional akan tumbuh berkembang

dengan mapan dan dewasa apabila ditingkat lokal nilai-

nilai demokrasi berakar dengan baik terlebih dahulu.

Akan tetapi nilai-nilai demokrasi lokal tersebut tidak

hanya terbentuk begitu saja dalam kehidupan di

masyarakat, karena dalam penguatan demokrasi di aras

lokal ini diperlukan segudang persyaratan, yang antara

lain adalah dengan tatanan, intrumen dan konfigurasi

keraifan serta kesantunan politik lebih dahulu

terbentuk. Dengan melihat potensi konflik yang terjadi

dalam pelaksanaan pilkada di Kabupaten Mappi seperti

yang telah dipaparkan diatas, dan juga dengan

mempertimbangkan adat istiadat dan tingkat pendidikan

masyarakat papua. Konflik dalam pilkada di papua sangat

Page 40: Makalah PKN

berpotensi kearah konflik yang bersifat primordial.

Konflik primordial sebagaimana yang diungkapkan Geertz

(1998), bahwa konflik primordial yang dihubungkan dengan

ikatan adat istiadat. Suatu komunitas dapat juga diikat

berdasarkan persamaan kebiasaan dan norma-norma, dan

adat istiadat yang dianut. Konflik primordial seperti

ini akan semakin bertambah ”panas” apabila sudah

bercampur dengan urusan politik, karena masyarakat

sperti ini selalu memiliki loyalitas yang tinggi kepada

pemimpinnya.

Pemekaran Propinsi Papua

Persoalan pemekaran Propinsi di Papua kembali

menguat, kali ini sekelompok elit lokal di Papua yang di

lakukan oleh Decky Asmuruf Cs, pada Bulan Januari 2007

mendeklarasikan Pembentukan Propinsi Papua Barat Daya

(PBD) di Gedung DPRP Propinsi Papua, Propinsi Papua

Barat Daya meliputi Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong

Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Teluk Bintuni

dan Kota Sorong ([email protected]).

Beberapa hal yang mendasari pembentukan Propinsi

Barat Daya (PBD) diantaranya adalah kondisi geografis

Papua yang luasnya 3,5 Kali Pulau Jawa, pelayanan Publik

khususnya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan

di Tanah Papua dirasakan tidak berjalan optimal, selain

itu juga mempercepat proses pertumbuhan dan memperpendek

rentang kendali bagi pelayan publik, terutama

pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan, melakukan

Page 41: Makalah PKN

pemerataan dan mempercepat pembangunan infrastruktur,

mempercepat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi,

meningkatkan dan menghakekatkan SDM yang ada menjadi

lebih berdaya guna dan sekaligus untuk menegakkan wibawa

dan kedaulatan pemerintah NKRI di tanah Papua serta

menjunjung tinggi nilai luhur, serta martabat rakyat

Papua (Lihat Cepos, 16 Januari 2007).

Sementara itu menanggapi pernyataan dari ketua Tim

Pemekaran Propinsi Barat Daya (PBD) Decky Asmuruf,

Sekretaris Komisi A DPRP Ny Yanni mengungkapkan bahwa

komisi A DPRP akan mendorong aspirasi pemekaran Propinsi

Papua Barat Daya ini, sesuai prosedur dan mekanisme yang

diatur dalam Undang-Undang (UU). Dan untuk memperlancar

tugas-tugas komisi A DPRP ke depan, maka diharapkan

kepada seluruh masyarakat yang mempunyai aspirasi yang

sama untuk pemekaran kabupaten/Provisni hendaknya segera

menyampaikan aspirasi tersebut agar prosesnya dapat

berjalan sekaligus (Lihat Cepos, 16 Januari 2007).

Selanjutnya Gubernur Papua Barnabas Suebu dan Ketua

MRP Agus Alua menegaskankan bahwa pembentukan Propinsi

Papua Barat Daya tidak dilaksanakan secara terburu-buru

dan tetap harus mengacu kepada Undang-undang yang ada

yaitu UU Otsus, dengan pertimbangan bahwa harus menunggu

payung hukum propinsi Irian Jaya Barat dan semua

kelengkapan atau perangkat Perdasi dan Perdasus yang

mengatur Pemekaran di Propinsi Papua (Lihat Cepos, 17

Januari 2007).

Page 42: Makalah PKN

Belum selesai dengan masalah deklarasi Propinsi Papua

Barat Daya, perjuangan Pembentukan propinsi Irian Jaya

Tengah yang kemudian diubah menjadi Propinsi Papua

Tengah sudah mulai digencarkan dan diupayakan segera

terealisasi.Konsep ini tengah lagi di diskusikan oleh

DPRP dan MRP. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Bupati

Nabire Drs Anselmus Petrus Youw "bahwa Soal pemekaran

Irian Jaya Timur yang mengacu kepada kedua undang -

undang tersebut semestinya didukung dengan Majelis

Rakyat Papua (MRP), Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP)

dan Gubernur Papua. Karena berbicara soal pemekaran

propinsi Papua Tengah ini lahir berdasarkan UU nomor 45

tahun 1999 dan diperkuat lagi dengan semangat UU

Otsus,"( Lihat cepos, 17 Januari 2007). Tidak lama

kemudian Jhon Gluba Gebze Bupati Merauke juga

mendeklarasikan berdirinya Propinsi Papua Selatan,

deklarasinya sendiri telah berlangsung pada tanggal 12

Februari 2007 bertepatan dengan hari Ulang Tahun kota

Merauke.

Menyikapi persoalan pemekaran di berbagai wilayah

Papua yang terus berkembang sejak a wal tahun ini,

akhirnya Pemerintah Pusat melalui Mendagri M. Ma'ruf

menyatakan bahwa untuk melakukan Pemekaran propinsi

diperlukan adanya prosedur dan mekanisme lewat

perundang-undangan yang berlaku, tetapi disisi lain

Mendagri juga seakan memberikan harapan akan adanya

pemekaran dengan menyatakan bahwa aspirasi dari beberapa

wilayah yang ingin segera ada pemekaran propinsi akan di

Page 43: Makalah PKN

kaji oleh Pemerintah Pusat dari berbagai faktor dan

aspek.

Di sisi lain hasil pertemuan Sidang Kabinet Paripurna

tanggal 14 Februari 2007 yang dihadiri oleh Gubernur

Papua dan Gubernur Irian Jaya Barat dihasilkan sebuah

keputusan bahwa Pemekaran Propinsi di Papua dihentikan

dan untuk mempercepat laju pembangunan di Papua maka

Pemerintah Pusat menerbitkan Inpres Percepatan

kesejahteraan dan kemakmuran

Kekhawatiran sejumlah pihak bahwa Inpres ini akan

mengerogoti eksistensi Otsus Papua dibantah oleh

pernyataan Mendagri dan Gubernur Papua Barnabas Suebu

yang menyatakan "bahwa Inpres ini akan mendukung

implementasi Otsus" (Lihat Cepos, 20 Februari 2007.

Inpres Percepat Pelaksanaan Otsus).

Ada pun tujuan utama dari pemekaran wilayah adalah

untuk percepatan dan pemerataan pembangunan di wilayah

Irian Jaya yang rentang kendali pemerintahannya jauh

sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat yang

bebas dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan

kesehatan yang buruk (4K). Kemudian di akhir tahun 2001

lahirlah UU nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus

bagi Provinsi Papua. UU ini merupakan perwujudan dari

Ketetapan MPR nomor IV Tahun 2000. UU itu juga merupakan

hasil konsep Tim khusus yang dibentuk oleh pemerintah

provinsi Papua yang juga bertujuan untuk percepatan dan

pemerataan pembangunan di Irian Jaya sehingga dapat

taraf hidup masyarakatnya

Page 44: Makalah PKN

Setelah situasi di Papua kondusif, Instruksi Presiden

Nomor 1 Tahun 2003 dikeluarkan pada 27 Februari untuk

melaksanakan UU No. 45 Tahun 1999. Instruksi tersebut

masih juga ditolak oleh berbagai pihak, terutama dimulai

dengan mereka yang bukan orang Papua dan kurang memahami

masalah di Papua dengan baik dan benar; selanjutnya

ditolak juga oleh orang Papua. Selanjutnya ditolak juga

oleh orang Papua yang kurang memahami dengan baik makna

dari pembagian Papua dalam tiga provinsi.

Amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang

Penyelenggaraan Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua

seharusnya sudah dapat meningkatkan kesejahteraan

masyarakat Papua, namun pada kenyataannya masih belum

dirasakan oleh masyarakat Papua secara optimal. Secara

empiris di lapangan masih ditemukan beberapa

permasalahan yang cukup krusial seperti masih

terdapatnya masalah kemiskinan, kesehatan, dan

keterbelakangan dalam bidang pendidikan. Selain itu

masih juga ditemukan tumpang tindih antara persoalan

ekonomi, politik, hukum, sosial budaya yang pada

gilirannya tidak mustahil akan bermuara pada persoalan

stabilitas keamanan wilayah yang berdampak nasional.

Adanya berbagai permasalahan tersebut secara garis

besar disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut

(Dedagri, 2006: 4);

1) Belum harmonisnya perangkat hukum yang mengatur

pelaksanaan otonomi khusus di Papua. Apabila hanya UU

No. 21 Tahun 2001 yang dijadikan acuan pelaksanaan

Page 45: Makalah PKN

otonomi khusus maka upaya peningkatan kesejahteraan

masyarakat Papua hanya akan berjalan parsial. Sebab

upaya optimalisasi peningkatan kesejahteraan hanya

menyentuh masyarakat di Provinsi Papua saja sebagai

objek hukum dari UU No. 21 Tahun 2001 tidak masyarakat

di daerah Papua secara menyeluruh seperti di Irjabar.

2) Belum optimalnya pemanfaatan kekayaan alam seperti

dari hutan dan perikanan, untuk peningkatan

kesejahteraan masyarakat Papua. Hal ini disebabkan

oleh faktor belum lengkapnya infrastruktur yang

menunjang kegiatan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan

alam di Papua serta masih kurangnya SDM dari

masyarakat Papua yang memiliki kompetensi dalam

mengolah kekayaan alam Papua.

3) Belum kondusifnya kondisi keamanan dikarenakan masih

munculnya gangguan keamanan oleh kelompok-kelompok

separatis bersenjata dan juga masih sering terjadinya

konflik horisontal di kalangan masyarakat Papua.

Gangguan keamanan ini tentunya menghambat aktivitas

pembangunan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya.

2.8. Kendala Dalam Implementasi dan dan Dampak dari Kebijakan

Otonomi Khusus Papua

Dari mengamati proses pelaksanaan otonomi khusus bagi

propinsi Papua, dapat dikemukakan kendala-kendala yang

telah mengganggu kelancaran jalannya implementasi UU

Otonomi Khusus Papua Nomor 21 Tahun 2001. Kendala tersebut

berasal dari pihak pemerintah pusat, pihak pemerintah

propinsi papua, dan pihak pendukung separatisme. Berikut

Page 46: Makalah PKN

ini dijelaskan bagaimana persisnya kendala itu masing-

masing.

a)Pihak Pemerintah Pusat

Pemerintah Pusat merupakan lembaga yang paling

bertanggung jawab melaksanakan otonomi khusus Papua. Di

tangan Pemerintah Pusat, tombol eksekusi kebijakan

terletak, naik menyangkut penyiapan peraturan pelaksanaan

maupun pengucuran anggaran. Tetapi tombol tersebut bisa

saja tidak dipencet, karena pemerintah pusat tidak senang

dengan kebijakan sesuai kewenangan dan kekuatan yang

dimilikinya. Situasi probelematik seperti itu ternyata

terjadi dalam pelaksanaan kebijakan otonomi khusus Papua.

Contohnya yang paling penting ada tiga :

Pertama, terbunuhnya Theys Hiyo Eluay, Ketua Presidium

Dewan Papua (PDP), oleh oknum anggota kopasus, pada bulan

november 2001 hanya beberapa hari sesudah Otonomi Khusus

Papua disetujui DPR. Peristiwa ini menyebabkan gagalnya

kunjungan Presiden Megawati Soekarno Putri akhir desember

2001 ke Papua, karena memanasnya situasi politik di Pulau

Cendrawasih ini. Lebih jauh lagi, kejadian itu telah

mengacaukan seluruh upaya yang dibangun dengan susuah

payah untuk menimbulkan kepercayaan rakyat Papua terhadap

kebijakan otonomi khusus (http//kabar_papua.com.html...).

Kedua, sangat terlambatnya dikeluarkan Peraturan

Pemerintah (PP) tentang Majelis Rakyat Papua (MRP) oleh

pemerintah pusat, walaupun rancangannya telah diserahkan

pemerintah Propinsi Papua sejak Juli 2002 (Lihat

Institute for Local Development, 2005: 612). Padahal PP

Page 47: Makalah PKN

MRP itu merupakan PP kunci bagi pelaksanaan otonomi

khusus Papua. Tanpa PP itu segenap proses pelaksanaan

otonomi khusus akan terkendala, gubernur tidak akan bisa

dipilih, Perdasus tidak akan dapat diterapkan, pembagian

dana otonomi khusus tidak memiliki dasar hukum yang kuat,

pemekaran propinsi tidak dapat dilakukan, dan yang paling

penting hak-hak dasar orang asli Papua tidak akan

terjamin. Persoalannya, lembaga MRP ini tidak sepenuh

hati disetujui oleh pemerintah, karena dianggap lembaga

superbody.Dalam draf RUU versi Depdagri sendiri tidak

terdapat materi tentang MRP. Karena itu, Pemerintah Pusat

berusaha menahannya, meskipun dalam pasal 72 ayat (1) UU

No. 21 pemerintah wajib menyelsaikan PP tersebut

selambat-lambatnya 1 bulan setelah usulan diterima dari

pemerintah propinsi Papua. Namun sayangnya UU itu tidak

mengatur lebih jauh jika pemerintah tidak mampu memenuhi

jadwal waktu tersebut.

Ketiga, diterbitkannya Indtruksi Presiden (Inpres) No.1

Tahun 2003 tanggal 27 januari 2003 yang memerintahkan

dilakukannya percepatan pelaksanaan pemekaran Papua

menjadi tiga propinsi, yaitu; Propinsi Irian Jaya Barat,

Irian Jaya Tengah, disamping Propinsi Irian Jaya sendiri.

Instruksi Presiden ini didasarkan pada UU No.45 Tahun

1999 yang notabane telah ditolak rakyat Papua lewat

keputusan DPRD Tk. I Irian Jaya No. 11 tanggal 16 oktober

1999. lagi pula, UU pembentukan kedua propinsi baru yang

dikeluarkan 4 oktober 1999 itu merupakan produk

pemerintahan Presiden B.J. Habibie bersama DPR hasil

Page 48: Makalah PKN

pemilu 1997 yang rendah kadar legimitasinya. Bahkan,

Mahkamah Konstitusi lewat Keputusannya terhadap perkara

nomor 1/PUU-I/2003 telah membatalkan Undang-undang No. 45

Tahun 1999 dan menyatakannya tidak mempunyai kekuatan

hukum yang mengikat (lihat Sidin, 2005: 64). Ditambah

lagi, ketentuan Pasal 76 UU Otonomi Khusus telah

menggariskan bahwa pemekaran Propinsi Papua menjadi

propinsi-propinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan

DPRP. Kehadiran Inpres tersebut telah menimbulkan

kontroversi, bahkan jatuhnya korban dikalangan masyarakat

Papua. Penerbitan Inpres itu telah mengganggu jalannya

implementasi UU No. 21 Tahun 2001.

Munculnya kasus-kasus diatas adalah dampak dari konflik

dalam proses pembuatan kebijakan Otonomi Khusus Papua.

Didepaknya RUU yang diajukan Pemerintah Pusat dari DPR

telah menimbulkan “kekecewaan” terhadap UU yang

ditetapkan. Karena itu, ada kesan Pemerintah Pusat

tampaknyaberusaha menahan implementasinya. Dengan

kekuasaan dan kekuatan yang dimilikinya, proyek jalan

tengah Otonomi Khusus Papua ini akan merana. Sehingga

tidak salah bila tanggal 12 Agustus 2005 masyarakat Papua

yang tergabung dalam forum Dewan Adat Papua mengembalikan

Otonomi Khusus Kepada Pemerintah.

b) Pihak Pemerintah Propinsi Papua

Kendala utama dari pihak Pemerintah Propinsi Papua,

termasuk kelompok masyarakat pendukung otonomi khusus,

bersumber dari perbedaan materi draf RUU yang mereka

ajukan dengan UU yang telah ditetapkan. Cukup banyak

Page 49: Makalah PKN

usulan mereka yang ditolak atau dimodifikasi “Jakarta”.

Umpanya yang krusial tentang bendera dan lagu,

kewenangan bidang keamanan dan peradilan tingkat

pertama oleh tingkat banding, parlemen Papua yang

terdiri atas dua kamar (MRP dan DPRP), parta politik

lokal, sumber penerimaan dari seluruh pajak disetor ke

kas daerah dan seluruhnya menjadi hak pemerintah

propinsi sementara pemerintah pusat hanya diberi bagian

setinggi-tingginya 20%, kompensasi bagi

koraban/keluarga korban/ahli waris korban pelanggaran

HAM sejak 1 Mei 1963, kepolisian daerah, larangan

pemekaran wilayah propinsi papua, penyelenggaraan

referendum jika selama lima tahun UU otonomi khusus

papua tidak dapat dilaksanakan secara efektif, dan

segala ketentuan perundang-undangan yang tidak sesuai

atau bertentangan dengan UU otonomi khusus dinyatakan

tidak berlaku (lihat Institue for Local Development.

2006: 614).

Perubahan atau pengahapusan materi-materi diatas

telah menimbulkan kekecewaan pada pihak pemerintah

propinsi Papua beserta kelompok masyarakat pendukung

otonomi khusus, terutama para sesepuh masyarakat dan

intelektual yang terlibat dalam proses pembuatan RUU

Otonomi Khusus. Mereka menyatakan “UU Otonomi Khusus

bagi Papua berbeda jauh dari draf RUU yang dimasukkan”

(lihat Institute for Local Development, 2005: 614). Itu

berarti di hati kecil mereka terdapat bibit

ketidakpuasan terhadap UU No. 21 Tahun 2001. Perasaan

Page 50: Makalah PKN

kecewa dan tidak puas ini pada gilirannya bisa membawa

pengaruh terhadap pelaksanaan UU otonomi khusus Papua.

Mereka bisa tidak sepenuh hati mengimplementasikan UU

ini. Dikhawatirkan birokrasi dan politisi Propinsi

Papua terjebak kedalam sikap pragmatis, yang

berorientasi jangka pendek yaitu; “laksanakan saja dulu

UU otonomi khusus ini apa adanya. Angkat pejabat dari

orang Papua asli, pakai saja dana otonomi khusus sesuka

hati, toh pemerintah pusat tidak perduli”. Kalau

sekiranya ini yang terjadi, kebijakan otonomi khusus

bakal macet, korupsi akan merajalela, dan tuntutan

Papua merdeka kembali membahana.

c) Pihak Pendukung Separatisme

Pendukung paham separatisme secara fisik bersenjata

adalah OPM, dan secara politik lembaga PDP. Ketika UU

Otonomi Khusus Papua ini disusun kedua kelompok

pendukung Papua merdeka itu terang-terangan menolak

Otonomi Khusus bagi Papua. Menurut They Hiyo Elluay,

ketua PDP, otonomi luas seperti otonomi khusus itu

hanyalah ”gula-gula” politik yang diberikan pemerintah

Indonesia, Jakarta hanya ”tipu-tipu” orang Papua

(lihat Institue for Local Development, 2005: 615).

Selanjutnya, penolakan tersebut mereka ekspresikan

secara lunak dan keras. Bentuk lunak adalah dengan

membawa 100 tokoh ke Jakarta 26 Februari 1999 menemui

Presiden B.J. Habibie menuntut Papua Merdeka, dan

mengibarkan bendera bintang kejora di bumi Cendrawasih

31 desember 1999. Penolakan mencapai puncaknya dengan

Page 51: Makalah PKN

doselenggarakanya kongres rakyat Papua 29 mei – 4 juni

2000 yang menyatakan ”Masyarakat dan Wilayah Irian

Jaya (Papua) keluar dari Negara Kesatuan Republik

Indonesia”. Adapun bentuk kerasnya dilakukan dengan

membubarkan berbagai acara konsultasi publik draf RUU

Otonomi Khusus, sehingga di Jayapura sempat menelan

korban.

Dari uraian diatas, jelas bahwa UU Otonomi khusus

Papua tidak didukung sedikit pun oleh kelompok

separatisme. Mereka tidak terlibat sama sekali dalam

penyususnan UU itu. Mereka malah menentang keras

dibuatnya kebijakan Otonomi Khusus bagi Papua. Karena

itu, mereka akan berusaha terus menghadang jalannya UU

No.21 Tahun 2001 ini, atau paling tidak

mendeskreditkannya. Selain itu efeknya akan dapat

melemahkan mental para pendukung otonomi khusus.

Akibat lebih jauh, implementasi UU No. 21 Tahun 2001

akan terus terganggu pelaksanaannya.

Page 52: Makalah PKN

BAB III

PENUTUPDari diungkapkannya seluk-beluk pembuatan dan kendala

hingga dampak dari pelaksanaan kebijakan otonomi khusus bagi

Papua diatas, sesungguhnya kita dapat memperoleh berbagai

pelajaran berharga untuk menyelenggarakan otonomi daerah

Page 53: Makalah PKN

yang lebih baik lagi di negeri ini pada masa mendatang.

Kehadiran kebijakan otonomi aerah berbentuk Otonomi Khusus

bagi Papua telah membawa perubahan mendasar pada pembuatan

kebijakan otonomi daerah di Indonesia, baik isi kebijakannya

yang lebih akomosatif terhadap aspirasi dan budaya lokal

maupun proses pembuatannya yang lebih partisipatif dengan

melibatkan tidak saja pemerintah daerah tetapi juga

masyarakat setempat. Dengan kata lain, dalam pembauatan

otonomi khusus itu, Negara mengikutsertakan daerah dan

masyarakat setempat besrta kebhinekaan budyanya. Model

pembuatan kebijakan serupa seerupa itu dapat dinamai dengan

model pembuatan kebijakan otonomi daerah yang progreseif-

kreatif. Ibaratnya, tukang jahit masih dipercaya menjahit

baju, namun ukurannya disesuaikan dengan kondisi pelanngan,

sehingga pelanggan senang dan tukang jahit tidak

ditinggalkan (Evans, 2002: 6). Manfaat lainnya adalah, dapat

mempercepat persatuan dalam NKRI dan mengurangi sentimen

disintegrasi, dapat mengurangi konflik antara pusat-daerah,

lebih mampu menghasilkan struktur lokal, dan dapat

melahirkan pemerintahan lokal yang sehat (Evans, 2002: 6 –

11). Bahkan, secara teoritikal, kehadiran konsep otonomi

khusus telah memperkaya konsep otonomi riil, konsep otonomi

materiil, dan konsep otonomi bertanggungjawab.

Pembuatan kebijakan otonomi daerah berbentuk Otonomi

Khusus boleh dibilang merupakan upaya pengembangan otonomi

daerah secara lebih bermakna dalam bingkai konstitusi yang

dijamin oleh pasal 18 ayat (1) UUD 1945, utamanya di satuan-

satuan pemerintah yang bersifat khusus atau istimewa. Karena

Page 54: Makalah PKN

itu, kebijakan otonomi khusus ini dapat dikembangkan di

daerah-daerah yang memenuhi syarat sesuai amanat UUD 1945

tersebut.

Pembuatan kebijakan otonomi khusus seperti di NAD dan

Papua bukan merupakan hadiah dari pembuat kebijakan di

Jakarta, tetapi dituntut dengan tekanan keras baik secara

fisik bersenjata (GAM dan OPM) maupun secara Politk (SIRA

dan PDP) oelh masyarakat setempat. Sebaiknya pada masa

mendatang, pemerintah pusat tidak perlu menunggu perlawanan

dari daerah melahirkan kebijakan otonomi khusus, tetapi

mengambil sendiri prakarsa dengan ikhlas demi integrasi

NKRI. Jangan harus ada senjata yang diangkat dan darah yang

tumpah dulu, baru kebijakan otonomi khusus dikeluarkan

pemerintah pusat.

Isi kebijakan otonomi daerah yang terdapat dalam

Otonomi khusus bagi Papua tampak sarat dengan ajaran adat.

Implementasi UU Otonomi Khusus bisa terganggu bila peraturan

pelaksanaannya tidak kunjung keluar. Karena itu, sebaiknya

muatan UU otonomi khusus, kedepannya harus rinci dan tuntas,

dan hindari semaksimal janji – janji untuk mengaturnya dalam

bermacam – mcam peraturan pelaksanaan.

Untuk meredam berbagai ketidakpuasan terhadap isi

kebijakan otonomi khusus yang berpotensi mengganggu

kelancaran jalannya implemntasi kebijakan, seperti pihak

separatis yang tidak mau menerima UU, pihak pemerintah

propinsi yang kecewa karena isi UU berbeda jauh dengan

usulan mereka, dan pihak pemerintah pusat sendiri yang

keberatan karena kewenangan mereka banyak berkurang, maka

Page 55: Makalah PKN

perundingan dan kompromi yang melibatkan ketiga pihak itu

secara intensif perlu ditempuh. Jangan sampai UU otonomi

Khusus jadi, lalu dusta dibuat.

DAFTAR PUSTAKA

Agustino, Leo. (2005). Politik dan Otonomi Daera. Jakarta:Untirta Press

Djohan, Djoharmansyah. (2003). Kebijakan Otonomi Daerah1999. Jakarta: Yarsif Watampone.

Page 56: Makalah PKN

Djopari, John RG. (1993). Pemberontakan Organisasi PapuaMerdeka. Jakarta: Grasindo.

Dunn, William. (2003). Analisis Kebijakan Publik.Yogyakarta: UGM Press

Evans, Kevin. (2002). Pemilu Lokal: Mengembalikan HakMasyarakat Melalui Reprenstasi Keterwakilan Optimal.Jurnal PSPK Edisi 3

Geertz, Clifford. (1983). Local Knowledge. London: FontanaPress.

Institute for Local Development. (2005). Pasang SurutOtonomi Daerah: Sketsa Perjalanan 100 Tahun. Jakarta:Yayasan TIFA

Kasiepo, Manuel. (1987). Pmebangunan Masyarakat PedalamanIrian Jaya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Koentjoroningrat. (1994). Irian Jaya Membangun MasyarakatMajemuk. Jakarta: Djambaran.

Kahoo, Josef Riwu. Prospek Otonomi Daerah di Negara RepublikIndonesia. Jakarta: Grafindo

Liddle, R William. (2005). Revolusi Dari Luar: Demokratisasidi Indonesi. Jakarta: Nalar.

Maniagasi, Frans. (2001). Masa Depan Papua: Merdeka, OtonomiKhusus dan Dialog. Jakarta: Milinium Publisher

Sumule, Agus. (2002). Mencari Jalan Tengah: Otonomi KhususProvinsi Papua. Jayapura: Uncen.

Daftar Dokumen

BPS dan BP3D Provinsi Papua. (2001). Irian Jaya dalam Agenda2000.

CSIS. (2004). Membangun Kapasitas Untuk Implementasi OtonomiKhusus di Papua.

Page 57: Makalah PKN

DPR-RI. (2001). Draf Akhir Pansus RUU Tentang Otonomi Khususbagi Provinsi Papua

Departemen Dalam Negeri. (2002). Otonomi Khusus bagiProvinsi Papua dan NAD

-------------------------------. (2004). UU Otonomi Daerah2004.

Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 2003 Tentang PercepatanPelaksanaan Undang – Undang Nomor 45 Tahun 1999.Tentang Pembentukan Irian Jaya Tengah, Provinsi IrianJaya Barat, Kabupaten Pania, Kabupaten Mimika,Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong.

Pemerintah Provinsi Papua. (2002). Rancangan PeraturanPemerintah Republik Indonesia Tentang Majelis RakyatPapua.

Pemerintah Propinsi Irian Jaya. (2001). Draf RUU OtonomiKhusus bagi Papua dalam Bentuk Wilayah BerpemerintahanSendiri.

UU Otonomi Khusus bagi Papua Nomor 21 Tahun 2001.

UU Otonomi Daerah 1999. Jakarta: Sinar Grafika.

http://dte.gn.apc.org/65iam.htm

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=149752

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0305/13/opi03.html

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0305/13/opi03.html

http://www.papuapos.com/new/index.php?main=fullberita&id=3770

www.prakarsa-rakyat.org

[email protected]

Http : www.fokerlsmpapua.org

Page 58: Makalah PKN

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/02/daerah/290056.htm

http://72.14.235.104/search?q=cache:y-bH34vQa_sJ:www.hampapua.org/skp/skp03/op-28i.rtf+implementasi+otonomi+khusus+papua&hl=id&ct=clnk&cd=7&gl=id

http://www.kabarpapua.com/online/modules.php?name=News&file=print&sid=46

http://www.bpkp.go.id/unit/hukum/uu/2001/18-01.pdf

http://www.dpr.go.id/artikel/terkini/artikel_cetak.php?aid=3088

http://www.scribd.com/doc/14549562/UU-No-21-tahun-2001-tentang-Otonomi-Khusus-bagi-Papua-Penjelasan