BAB II PEMBAHASAN 2.1. Definisi Otonomi Daerah Pengertian "otonom" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah".Secara istilah "otonomi daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri." Dan pengertian lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya. Otonomi daerah menurut UU No.32 tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara itu daerah otonom dalam UU No. 32 tahun 2004 Pasal 1 ayat 6 dijelaskan selanjutnya yang disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Otonomi Daerah
Pengertian "otonom" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) secara bahasa
adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah
suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah".Secara istilah "otonomi daerah" adalah
"wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk
kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri."
Dan pengertian lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah
yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri
mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan
sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.
Otonomi daerah menurut UU No.32 tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 adalah hak, wewenang dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara
itu daerah otonom dalam UU No. 32 tahun 2004 Pasal 1 ayat 6 dijelaskan selanjutnya yang
disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan si
pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam
berorganisasi. Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut
tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip
demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman.
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 1
Dalam otonomi daerah ada prinsip desentralisasi, dekonsentrasi dan pembantuan yang
dijelaskan dalam UU No.32 tahun 2004 sebagai berikut:
1. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerinta kepada
Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah
tertentu.
3. Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau
desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari
pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
2.2. Latar Belakang Otonomi Daerah
Otonomi daerah muncul sebagai bentuk veta comply terhadap sentralisasi yang sangat
kuat di masa orde baru. Berpuluh tahun sentralisasi pada era orde baru tidak membawa
perubahan dalam pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintah maupun masyarakat
daerah.
Ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat sangat tinggi sehingga sama
sekali tidak ada kemandirian perencanaan pemerintah daerah saat itu. Di masa orde baru
semuanya bergantung ke Jakarta dan diharuskan semua meminta uang ke Jakarta. Tidak ada
perencanaan murni dari daerah karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak mencukupi.
Ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi tahun 1997 dan tidak bisa cepat bangkit,
menunjukan sistem pemerintahan nasional Indonesia gagal dalam mengatasi berbagai
persoalan yang ada. Ini dikarenakan aparat pemerintah pusat semua sibuk mengurusi daerah
secara berlebih-lebihan. Semua pejabat Jakarta sibuk melakukan perjalanan dan mengurusi
proyek di daerah.
Dari proyek yang ada ketika itu, ada arus balik antara 10 sampai 20 persen uang kembali
ke Jakarta dalam bentuk komisi, sogokan, penanganan proyek yang keuntungan itu dinikmati
ke Jakarta lagi. Terjadi penggerogotan uang ke dalam dan diikuti dengan kebijakan untuk
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 2
mengambil hutang secara terus menerus. Akibat perilaku buruk aparat pemerintah pusat ini,
disinyalir terjadi kebocoran 20 sampai 30 persen dari APBN.
Akibat lebih jauh dari terlalu sibuk mengurusi proyek di daerah, membuat pejabat di
pemerintahan nasional tidak ada waktu untuk belajar tentang situasi global, tentang
international relation, international economy dan international finance. Mereka terlalu sibuk
menggunakan waktu dan energinya untuk mengurus masalah-masalah domestik yang
seharusnya bisa diurus pemerintah daerah. Akibatnya mereka tidak bisa mengatasi masalah
ketika krisis ekonomi datang dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Sentralisasi yang sangat kuat telah berdampak pada ketiadaan kreativitas daerah karena
ketiadaan kewenangan dan uang yang cukup. Semua dipusatkan di Jakarta untuk diurus.
Kebijakan ini telah mematikan kemampuan prakarsa dan daya kreativitas daerah, baik
pemerintah maupun masyarakatnya. Akibat lebih lanjut, adalah adanya ketergantungan
daerah kepada pemerintah pusat yang sangat besar.
Bisa dikatakan sentralisasi is absolutely bad. Dan otonomi daerah adalah jawaban
terhadap persoalan sentralisasi yang terlalu kuat di masa orde baru. Caranya adalah
mengalihkan kewenangan ke daerah. Ini berdasarkan paradigma, hakikatnya daerah sudah
ada sebelum Republik Indonesia (RI) berdiri. Jadi ketika RI dibentuk tidak ada kevakuman
pemerintah daerah.
Karena itu, ketika RI diumumkan di Jakarta, daerah-daerah mengumumkan persetujuan
dan dukungannya. Misalnya pemerintahan di Jakarta, sulawesi, sumatera dan Kalimantan
mendukung. Itu menjadi bukti bahwa pemerintahan daerah sudah ada sebelumnya.
Prinsipnya, daerah itu bukan bentukan pemerintah pusat, tapi sudah ada sebelum RI berdiri.
Karena itu, pada dasarnya kewenangan pemerintahan itu ada pada daerah, kecuali yang
dikuatkan oleh UUD menjadi kewenangan nasional. Semua yang bukan kewenangan
pemerintah pusat, asumsinya menjadi kewenangan pemerintah daerah. Maka, tidak ada
penyerahan kewenangan dalam konteks pemberlakuan kebijakan otonomi daerah. Tapi,
pengakuan kewenangan.
Lahirnya reformasi tahun 1997 akibat ambruknya ekonomi Indonesia dengan tuntutan
demokratisasi telah membawa perubahan pada kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 3
pola hubungan pusat daerah. Tahun 1999 menjadi titik awal terpenting dari sejarah
desentralisasi di Indonesia. Pada masa pemerintahan Presiden Habibie melalui kesepakatan
para anggota Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilu 1999 ditetapkan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah untuk mengoreksi UU No.5 Tahun 1974
yang dianggap sudah tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan dan
perkembangan keadaan.
Kedua Undang-Undang tersebut merupakan skema otonomi daerah yang diterapkan
mulai tahun 2001. Undang-undang ini diciptakan untuk menciptakan pola hubungan yang
demokratis antara pusat dan daerah. Undang-Undang Otonomi Daerah bertujuan untuk
memberdayakan daerah dan masyarakatnya serta mendorong daerah merealisasikan
aspirasinya dengan memberikan kewenangan yang luas yang sebelumnya tidak diberikan
ketika masa orde baru.
Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka
aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya.
Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Diharapkan dengan adanya
kewenangan di pemerintah daerah maka akan membuat proses pembangunan, pemberdayaan
dan pelayanan yang signifikan. Prakarsa dan kreativitasnya terpacu karena telah diberikan
kewenangan untuk mengurusi daerahnya. Sementara di sisi lain, pemerintah pusat tidak lagi
terlalu sibuk dengan urusan-urusan domestik. Ini agar pusat bisa lebih berkonsentrasi pada
perumusan kebijakan makro strategis serta lebih punya waktu untuk mempelajari,
memahami, merespons, berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat darinya.
2.3. Prinsip Otonomi Daerah
Otonomi daerah diselenggarakan untuk menterjemahkan gagasan desentralisasi sebagai
kritik atas kuatnya sentralisasi yang diselenggarakan pada masa pemerintahan rezim
Soeharto. Desentralisasi dipilih sebab ia memiliki kelebihan dibanding sentralisasi negara
yang melahirkan problem bernegara.
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 4
Melalui reformasi, otonomi daerah menjadi kebijakan yang dibuat untuk bisa membangun
tata kelola baru yang lebih baik dibanding masa sebelumnya. Otonomi daerah memiliki
prinsip-prinsip yang harus ada untuk bisa mencapai tujuan. Prinsip itu adalah:
Adanya pemberian kewenangan dan hak kepada pemerintah daerah untuk mengurus
rumah tangganya sendiri
Dalam menjalankan wewenang dan hak mengurus rumah tangganya, daerah tidak
dapat menjalankan di luar batas-batas wilayahnya
Penyelenggaraan otonomi daerah harus dilaksanakan dengan memperhatikan aspek
demokrasi, pelayanan yang prima, keadilan, pemerataan serta potensi dan
keanekaragaman daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemampuan daerah dan
dilaksanakan secara bertanggung jawab untuk mensejahterakan masyarakat.
Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap
terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksi yang utama
yakni politik, ekonomi serta sosial dan budaya.
a. Bidang politik.
Otonomi daerah adalah sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala
pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis. Memungkinkan berlangsungnya
penyelenggaraan pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas
dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas
pertanggung jawaban publik. Otonomi daerah juga berarti kesempatan membangun
struktur pemerintah yang sesuai dengan kebutuhan daerah, membangun sistem dan
pola karir politik dan administrasi yang kompetitif, serta mengembangkan sistem
manajemen pemerintahan yang efektif.
b. Bidang ekonomi.
Otonomi daerah harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional
di daerah sekaligus terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan
kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 5
di daerahnya. Dalam konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya
berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi,
memudahkan proses perijinan usaha dan membangun berbagai infrastruktur yang
menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan demikian otonomi daerah akan
membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi untuk masyarakat
daerah
c. Bidang sosial budaya
Otonomi daerah digunakan untuk menciptakan dan memelihara harmoni sosial dan
pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif
terhadap kemampuan masyarakat merespons dinamika kehidupan masyarakat.
2.4. Permasalahan Otonomi Daerah
Implementasi Otonomi daerah bukan tanpa masalah. Ia melahirkan banyak persoalan ketika
diterjemahkan di lapangan. Adapun tiga masalah yang mendasar yang dihadapi PEMDA
dalam menyelenggarakan daerah otonominya antara lain :
1. Masalah keamanan, di mana sangat sensititif dalam bagi pihak investor untuk
investasi di daerah otonom tersebut dengan menilai secara ekonomis untung-rugi,
seperti contoh jika daerah tersebut rawan dengan tindakan kriminal/pidana, tindakan
anarkis berbau sara di dalam masyarakat didaerahnya sudah sangat jelas, tentunya
pihak investor ragu-ragu untuk menginvestasikan modalnya di daerah tersebut.
2. Ketakutan yang menjadi mimpi buruk bagi pihak investor adalah lemahnya
implementasi otonomi daerah akibat adanya pemaknaan ganda.
3. Penyakit baru dalam dunia iklim investasi yang terakululasi dengan penyakit lama
seperti lemahnya penegakkan supremasi hukum, KKN yang menyebar keseluruhan
daerah otonomi serta administrasi yang tidak efisien
Banyaknya permasalahan yang muncul menunjukan implementasi kebijakan ini menemui
kendala-kendala yang harus selalu dievakuasi dan selanjutnya disempurnakan agar tujuannya
tercapai. Beberapa persoalan itu adalah:
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 6
a) Kewenangan yang tumpang tindih
Pelaksanaan otonomi daerah masih kental diwarnai oleh kewenangan yang tumpang
tindih antar institusi pemerintahan dan aturan yang berlaku, baik antara aturan yang
lebih tinggi atau aturan yang lebih rendah. Peletakan kewenangan juga masih menjadi
pekerjaan rumah dalam kebijakan ini. Apakah kewenangan itu ada di kabupaten kota
atau provinsi.
b) Anggaran
Banyak terjadi keuangan daerah tidak mencukupi sehingga menghambat
pembangunan. Sementara pemerintah daerah lemah dalam kebijakan menarik
investasi di daerah. Di sisi yang lain juga banyak terjadi persoalan kurangnya
transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD yang merugikan rakyat.
Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran telah bergeser ke arah apa yang disebut
dengan anggaran partisipatif. Tapi dalam prakteknya, keinginan masyarakat akan
selalu bertabrakan dengan kepentingan elit sehingga dalam penetapan anggaran
belanja daerah, lebih cenderung mencerminkan kepentingan elit daripada kepentingan
masyarakat.
c) Pelayanan Publik
Masih rendahnya pelayanan publik kepada masyarakat. Ini disebabkan rendahnya
kompetensi PNS daerah dan tidak jelasnya standar pelayanan yang diberikan. Belum
lagi rendahnya akuntabilitas pelayanan yang membuat pelayanan tidak prima. Banyak
terjadi juga Pemerintah daerah mengalami kelebihan PNS dengan kompetensi tidak
memadai dan kekurangan PNS dengan kualifikasi terbaik. Di sisi yang lain tidak
sedikit juga gejala mengedepankan ”Putra Asli Daerah” untuk menduduki jabatan
strategis dan mengabaikan profesionalitas jabatan.
d) Politik Identitas Diri
Menguatnya politik identitas diri selama pelaksanaan otonomi daerah yang
mendorong satu daerah berusaha melepaskan diri dari induknya yang sebelumnya
menyatu. Otonomi daerah dibayang-bayangi oleh potensi konflik horizontal yang
bernuansa etnis
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 7
e) Orientasi Kekuasaan
Otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran kekuasaan di kalangan elit daripada isu
untuk melayani masyarakat secara lebih efektif. Otonomi daerah diwarnai oleh
kepentingan elit lokal yang mencoba memanfaatkan otonomi daerah sebagai
momentum untuk mencapai kepentingan politiknya dengan cara memobilisasi massa
dan mengembangkan sentimen kedaerahan seperti ”putra daerah” dalam pemilihan
kepala daerah.
f) Lembaga Perwakilan
Meningkatnya kewenangan DPRD ternyata tidak diikuti dengan terserapnya aspirasi
masyarakat oleh lembaga perwakilan rakyat. Ini disebabkan oleh kurangnya
kompetensi anggota DPRD, termasuk kurangnya pemahaman terhadap peraturan
perundangan. Akibatnya meski kewenangan itu ada, tidak berefek terhadap kebijakan
yang hadir untuk menguntungkan publik. Persoalan lain juga adalah banyak terjadi
campur tangan DPRD dalam penentuan karir pegawai di daerah.
g) Pemekaran Wilayah
Pemekaran wilayah menjadi masalah sebab ternyata ini tidak dilakukan dengan grand
desain dari pemerintah pusat. Semestinya desain itu dengan pertimbangan utama guna
menjamin kepentingan nasional secara keseluruhan. Jadi prakarsa pemekaran itu
harus muncul dari pusat. Tapi yang terjadi adalah prakarsa dan inisiatif pemekaran itu
berasal dari masyarakat di daerah. Ini menimbulkan problem sebab pemekaran lebih
didominasi oleh kepentingan elit daerah dan tidak mempertimbangkan kepentingan
nasional secara keseluruhan.
h) Pilkada Langsung
Pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah ternyata menimbulkan banyak
persoalan. Pilkada langsung sebenarnya tidak diatur di UUD, sebab yang diatur untuk
pemilihan langsung hanyalah presiden. Pilkada langsung menimbulkan besarnya
biaya yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan suksesi kepemimpinan ini. Padahal
kondisi sosial masyarakat masih terjebak kemiskinan. Disamping itu, pilkada
langsung juga telah menimbulkan moral hazard yang luas di masyarakat akibat politik
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 8
uang yang beredar. Tidak hanya itu pilkada langsung juga tidak menjamin hadirnya
kepala daerah yang lebih bagus dari sebelumnya.
2.5. Pokok - Pokok Penyelenggaraan Otonomi Daerah
Penyelenggaraan otonomi daerah diharapkan bisa memacu prakarsa dan kreativitas
pemerintah daerah untuk bisa menjalankan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Untuk itu diperlukan keseriusan agar kebijakan ini bisa berhasil dijalankan.
Pokok-pokok penyelenggaraan otonomi daerah meliputi:
Penyerahan kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah.
Kecuali untuk bidang keuangan dan moneter, politik luar negeri, peradilan,
pertahanan, keagamaan serta beberapa bidang kebijakan pemerintahan yang bersifat
strategis nasional, maka pada dasarnya semua bidang pemerintahan yang lain dapat
didesentralisasikan.
Dalam otonomi pemerintahan daerah terbagi atas dua ruang lingkup, bukan tingkatan,
yaitu daerah kabupaten dan kota yang diberi status otonomi penuh dan propinsi yang
diberi otonomi terbatas. Otonomi penuh berarti tidak adanya operasi pemerintahan
pusat di daerah kabupaten dan kota, kecuali untuk bidang-bidang yang dikecualikan
tadi. Otonomi terbatas berarti adanya ruang yang tersedia bagi pemerintah pusat untuk
melakukan operasi di daerah propinsi.
Gubernur propinsi, selain berstatus kepala daerah otonom, juga sebagai wakil
pemerintah pusat. Karena sistem otonomi tidak bertingkat (tidak ada hubungan
hierarki antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota), maka
hubungan provinsi dan kabupaten bersifat koordinatif, pembinaan dan pengawasan.
Sebagai wakil pemerintah pusat, gubernur mengkoordinasikan tugas-tugas
pemerintahan antar kabupaten dan kota di wilayahnya. Gubernur juga melakukan
supervisi terhadap pemerintah kabupaten/kota atas pelaksanaan berbagai kebijakan
pemerintah pusat serta bertanggung jawab mengawasi penyelenggaraan pemerintah
berdasarkan otnomi daerah di dalam wilayahnya.
Adanya penguatan peran DPRD dalam pemilihan dan penetapan kepala daerah.
Otonomi daerah memberi kewenangan untuk mempertegas DPRD dalam menilai
keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan kepala daerah. Selain itu untuk
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 9
memfungsikan peran pemberdayaan dan penyalur aspirasi masyarakat yang
sebenarnya.
Peningkatan efektivitas fungsi-fungsi pelayanaan eksekutif melalui pembenahan
organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup
kewenangan yang telah didesentralisasikan setara dengan beban tugas yang dipikul,
selaras dengan kondisi daerah serta lebih responsif dengan kebutuhan daerah.
Peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah serta pengaturan yang jelas atas
sumber-sumber pendapatan negara dan daerah, pembagian revenue dari sumber
penerimaan yang berkait dengan kekayaan alam, pajak dan retribusi, serta tata cara
dan syarat untuk pinjaman dan obligasi daerah.
Perwujudan desentralisasi fiskal melalui pembesaran alokasi subsidi dari pemerintah
pusat yang bersifat ”block grant”, pengatura pembagian sumber-sumber pendapatan
daerah, pemberian keleluasaan kepada daerah untuk menetapkan prioritas
pembangunan, serta optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat melalui lembaga-
lembaga swadaya pembangunan yang ada.
Pembinaan dan pemberdayaan lembaga-lembaga dan nilai-nilai lokal yang bersifat
kondusif terhadap uapaya memelihara harmoni sosial dan solidaritas sosial suatu
bangsa.
Dalam otonomi daerah, ada pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan daerah yang
diatur menurut UU No.32 tahun 2004. Pembagian wewenang itu meliputi:
1. Kewewenangan pemerintah pusat (Pasal 10 ayat 3) meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. Keamanan;
d. Yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama;
2. Kewenangan Pemerintah Provinsi meliputi (Pasal 13 ayat 1 UU. No. 32 Tahun 2004):
a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 10
e. Penanganan bidang kesehatan;
f. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
g. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas
kabupaten/kota;
j. Pengendalian lingkungan hidup;
k. Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh
kabupaten/kota ; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
3. Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota (Pasal 14 ayat 1, UU No. 32 Tahun 2004)
a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. Penanganan bidang kesehatan;
f. Penyelenggaraan pendidikan;
g. Penanggulangan masalah sosial;
h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. Pengendalian lingkungan hidup;
k. Pelayanan pertanahan;
2.6. Monitoring Keuangan Daerah
1. Monitoring
Monitoring merupakan suatu rangkaian aktivitas yang dilakukan untuk mengawasi atau
memantau proses dan perkembangan pelaksanaan suatu program/kegiatan. Fokus monitoring
adalah untuk mendapatkan informasi mengenai pelaksanaan suatu kegiatan, bukan pada
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 11
hasilnya. Lebih spesifiknya, fokus monitoring adalah pada komponen proses pelaksanaan
program/kegiatan yang menyangkut proses pengambilan keputusan, prosedur yang harus
dilalui, dokumen-dokumen yang dihasilkan, waktu pelaksanaan dan pihak-pihak yang harus
terlibat pada setiap proses kegiatan dan lain sebagainya.
Monitoring dilakukan untuk maksud mengetahui apakah kegiatan berjalan sesuai aturan,
apa hambatan yang terjadi dan bagaimana cara mengatasi masalah tersebut. Dengan kata
lain monitoring menekankan pada pemantauan proses pelaksanaan kegiatan. Hasil monitoring
digunakan sebagai umpan balik untuk penyempurnaan kegiatan atau memperbaiki suatu
sistem.
Secara umum, pengertian dasar Monitoring mencakup:
Suatu penilaian yang dilaksanakan terus menerus (berkelanjutan) dalam suatu
kegiatan untuk program tertentu.
Mengecek & mencatat keadaan yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan yang
sedang berlangsung
Melihat perkembangan sesuatu kegiatan yang sedang berjalan
2. Keuangan daerah
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan daerah ada berbagai aspek.
Aspek-aspek tersebut adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan.
Dari sisi obyek yang dimaksud dengan keuangan daerah meliputi semua hak dan
Daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam
bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, serta
segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subyek yang dimaksud dengan keuangan daerah meliputi seluruh obyek
sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah
Daerah, Perusahaan Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan
daerah.
Dari sisi proses, keuangan daerah mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang
berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 12
perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan
pertanggunggjawaban.
Dari sisi tujuan, keuangan daerah meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan
hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana
tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Dalam panduan praktis ini, rumusan yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah dari sisi
proses, yakni seluruh rangkaian kegiatan pengelolaan keuangan daerah yang dimulai dari
perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban.
Masyarakat pada umumnya lebih mengenal pengelolaan keuangan daerah istilah APBD.
Adapun pengertian dari APBD itu adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang
ditetapkan dengan peraturan daerah.
3. Monitoring keuangan daerah
Dengan menyimak pengertian dan batasan tentang monitoring dan keuangan daerah, maka
yang dimaksud dengan monitoring keuangan daerah adalah serangkaian usaha yang
dilakukan untuk menilai proses pengelolaan keuangan daerah, yang dimulai dari
perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban, dengan mengecek dan mencatat berbagai
keadaan dan melihat perkembangan yang ada di lapangan.
4. Menyusun sistem monitoring keuangan daerah
Pengertian menyusun sistem monitoring keuangan derah adalah membuat instrumen yang
berisikan tool-tool yang akan memandu atau membantu usaha monitoring keuangan daerah.
Dengan instrumen tersebut proses pengelolaan keuangan daerah bisa diamati dan dinilai
dengan cara-cara praktis dan sederhana.
Tujuan
Upaya melakukan serangkaian kegiatan monitoring keuangan daerah tidak lepas dari tujuan-
tujuan yang ingin dicapai. Tujuan tersebut meliputi: (1) tujuan utama (goal), dan (2) tujuan
khusus.
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 13
Tujuan Umum
Tujuan umum (goal) dari monitoring keuangan daerah adalah terciptanya tata kelola
pemerintahan yang good governance. Pengertian good governance disini adalah
penyelenggaraan pemerintahan yang menjalankan prinsip-prinsip seperti:
Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat mutlak diperlukan agar penyelenggara pemerintahan dapat
mengenal lebih dekat siapa masyarakat dan warganya berikut cara pikir dan
kebiasaan hidupnya, masalah yang dihadapinya, cara atau jalan keluar yang
disarankannya, apa yang dapat disumbangkan dalam memecahkan masalah yang
dihadapi, dan sebagainya.
Transparansi
Semua urusan tata pemerintahan berupa kebijakan-kebijakan publik baik yang
berkenaan dengan pelayanan publik maupun pembangunan di daerah harus diketahui
publik. Isi keputusan dan alasan pengambilan kebijakan publik harus dapat diakses
oleh publik dan harus diumumkan agar pendapat tanggapan publik. Demikian pula
informasi tentang kegiatan pelaksanaan kebijakan tersebut dan hasil-hasilnya harus
terbuka dan dapat diakses publik.
Tegaknya Supremasi Hukum
Wujud nyata dari prinsip supremasi hukum antara lain mencakup upaya pembentukan