BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV/AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan salah satu masalah kesehatan yang sedang dihadapi masyarakat dunia akhir-akhir ini. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari HIV (Human Immunodeficiency Virus) maupun AIDS. HIV/AIDS menyebabkan krisis multidimensi yaitu krisis kesehatan, pembangunan negara, ekonomi, pendidikan maupun kemanusiaan (Djoerban, Djauzi. 2006). Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) telah menjadi pendemi yang mengkhawatirkan, karena disamping belum ditemukan obat dan vaksin untuk pencegahan, penyakit ini juga memiliki window period dan fase asimptomatik yang relatif panjang sehingga menyebabkan iceberg phenomenon. Jumlah penduduk global yang tertular HIV berdasarkan WHO (2006) berjumlah 46,7 juta jiwa. Sedangkan di Indonesia sendiri jumlah orang yang terinfeksi HIV diperkirakan mencapai 130.000 jiwa, dengan kasus terbanyak terjadi pada laki-laki (DepKes, 2006). Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami peningkatan kasus tertinggi. Pada akhir tahun 1996, kasus HIV/AIDS yang tercatat di Depkes RI pusat (Departemen Kesehatan Republik Indonesia) berjumlah 501 orang, terdiri dari 119 kasus AIDS dan 382 HIV yang dilaporkan dari 19 propinsi (Ditjen PPM & PL Depkes RI. 2010). Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan sesara resmi oleh Departemen Kesehatan tahun 1987 yaitu pada seorang warga negara Belanda di Bali. Sebenarnya sebelum itu telah ditemukan kasus pada bulan Desember 1985 yang secara klinis sangat sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes Elisa tiga kali diulang menyatakan 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
HIV/AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan salah satu masalah
kesehatan yang sedang dihadapi masyarakat dunia akhir-akhir ini. Saat ini tidak ada negara
yang terbebas dari HIV (Human Immunodeficiency Virus) maupun AIDS. HIV/AIDS
menyebabkan krisis multidimensi yaitu krisis kesehatan, pembangunan negara, ekonomi,
pendidikan maupun kemanusiaan (Djoerban, Djauzi. 2006).
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau Acquired Immunodeficiency
Syndrome (AIDS) telah menjadi pendemi yang mengkhawatirkan, karena disamping belum
ditemukan obat dan vaksin untuk pencegahan, penyakit ini juga memiliki window period dan
fase asimptomatik yang relatif panjang sehingga menyebabkan iceberg phenomenon.
Jumlah penduduk global yang tertular HIV berdasarkan WHO (2006) berjumlah 46,7 juta
jiwa. Sedangkan di Indonesia sendiri jumlah orang yang terinfeksi HIV diperkirakan
mencapai 130.000 jiwa, dengan kasus terbanyak terjadi pada laki-laki (DepKes, 2006).
Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami peningkatan kasus tertinggi.
Pada akhir tahun 1996, kasus HIV/AIDS yang tercatat di Depkes RI pusat (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia) berjumlah 501 orang, terdiri dari 119 kasus AIDS dan 382
HIV yang dilaporkan dari 19 propinsi (Ditjen PPM & PL Depkes RI. 2010).
Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan sesara resmi oleh Departemen
Kesehatan tahun 1987 yaitu pada seorang warga negara Belanda di Bali. Sebenarnya
sebelum itu telah ditemukan kasus pada bulan Desember 1985 yang secara klinis sangat
sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes Elisa tiga kali diulang menyatakan hasil
positif.Hanya, hasil tes Western Blot, yang saat itu dilakukan di Amerika Serikat, hasilnya
negative sehingga tidak dilaporkan sebagai kasus AIDS. Kasus kedua infeksi HIV ditemukan
pada bulan Maret 1986 di RS Cipto Mangunkusumo, pada pasien hemophilia dan termasuk
jenis non – progesor, artinya kondisi kesehatan dan kekebalanya cukup baik selama 17
tahun tanpa pengobatan, dan sudah dikonfirmasi dengan Western Blot, serta masih berobat
jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2002 (Ditjen PPM, 2003).
Pada penderita HIV AIDS sering terdapat infeksi oportunistik akibat gangguan sistem
kekebalan tubuh. Salah satu infeksi paling sering adalah jamur. Spesies jamur yang paling
sering dijumpai pada penderita immunocompromise yaitu infeksi candida. Jamur candida
1
merupakan flora mikrobial normal rongga mulut, saluran pencernaan dan vagina, bersifat
invasif/patogen bila daya tahan host menurun. Infeksi jamur ini umumnya terjadi di daerah
mukokutaneus, tetapi dapat pula terjadi pada organ lain di dalam tubuh seperti esofagus,
ginjal, hati, jantung, mata, otak dan paru. Salah satu yang terjadi pada penderita HIV yaitu
Candidiasis esophageal yang merupakan infeksi jamur candidiasis pada esofagus.
Candidiasis esophageal dapat menyebabkan penderita mengalami nyeri menelan dan
tenggorokan terasa menyempit sehingga mempengaruhi nafsu makan penderita. Infeksi
jamur tersebut harus segera diatasi karena dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas
pada orang dengan gangguan sistem kekebalan tubuh (Laila, 2010).
Selain candidiasis, infeksi oportunistik lain yang sering menginfeksi pasien dengan
Viramune, Neviral Nevirapin (NVP) NNRTI Tablet 200 mg 1 x 200 mg selama 14
hari, dilanjutkan 2 x
200 mg
Retrovir, Adovi, Avirzid Zidovudin (ZDV, AZT) NsRTI Kapsul 100 mg 2 x 300 mg, atau 2 x
250 mg
Videx Didanosin (ddI) NsRTI Tablet kunyah
100 mg
> 60 kg : 2 x 200 mg,
atau 1 x 400 mg
< 60 kg : 2 x 125 mg,
atau 1 x 250 mg
Stocrin Efavirenz (EFV, EFZ) NNRTI Kapsul 200 mg 1 x 600 mg, malam
Nelvex, Viracept Nelfinavir (NFV) PI Tablet 250 mg 2 x 1250 mg
Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat
ARV akan diberikan dalam jangka panjang. Berikut ketentuanya:
1. ARV dimulai pada semua pasien yang telah menunjukkan gejala yang termasuk dalam
kriteria diagnosis AIDS, atau menunjukkan gejala yang sangat berat, tanpa melihat jumlah
limfosit CD4+.
2. ARV dimulai pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ kurang dari 350 sel / mm3.
3. ARV dimuali pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200 – 350 sel / mm3.
4. ARV dapat dimulai atau ditunda pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih
dari 350 sel / mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml.
5. ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3
dan viral load kurang dari 100.000 kopi/ml.
Tabel 2.9.3 Keadaan klinik dalam penentuan pemberian terapi ARV (WHO, 2010)
14
Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi dari 3
obat ARV.Terdapat beberaoa regimen yang dapat dipergunakan (Tabel 4), dengan
keunggulan dan kerugianya masing – masing.Kombinasi obat antiretroviral lini pertama yang
umumnya digunakan di Indonesia adalah kombinasi zidovudin (ZDV) / lamivudin (3TC),
dengan nevirapin (NVP).
Tabel 2.9.4 Kombinasi Obat ARV untuk Terapi Inisial
Kolom A Kolom B
Lamivudin + zidovudin
Lamivudin + didanosin
Lamivudin + stavudin
Evafirenz *
Lamivudin + zidovudin
Lamivudin + stavudin
Lamivudin + didanosin
Nevirapin
Lamivudin + zidovudin
Lamivudin + stavudin
Lamivudin + didanosin
Nelvinafir
* Tidak dianjurkan pada wanita hamil trimester pertama atau wanita yang berpotensi tinggi
untuk hamil.
Catatan : kombinasi yang sama sekali tidak boleh adalah : zidovudin + stavudin.
Obat ARV juga diberikan pada beberapa kondisi khusus seperti pengobatan
profilaksis pada orang yang terpapar dengan cairan tubuh yang mengandung virus HIV (post
– exposure prophylaxis) dan pencegahan penularan dari ibu ke bayi.
Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian obat ARV
penting untuk mendapat perhatian lebih besar mengingat sudah ada beberapa bayi di
Indonesia yang tertular HIV dari ibunya.Efektivitas penularan HIV dari ibu ke bayi adalah
sebesar 10 – 30 %. Artinya dari 100 ibu hamil yang terinfeksi HIV, ada 10 sampai 30 bayi
yang akan tertular. Sebagian besar penularan terjadi sewaktu proses melahirkan, dan
sebagian kecil melalui plasenta selama kehamilan dan sebagian lagi melaui air susu ibu.
Kendala yang dikhawatirkan adalah biaya untuk membeli obat ARV.Obat ARV yang
dianjurkan untuk PTMCT adalah zidovudin (AZT) atau nevirapin.Pemberian nevirapin dosis
tunggal untuk ibu dan anak dinilai sangat mudah untuk diterapkan dan ekonomis.Sebetulnya
15
pilihan yang terbaik adalah pemberian ARV yang dikombinasikan dengan operasi Caesar,
karena dapat menekan penularan sampai 1 %.Namun sayangnya di negara berkembang
seperti Indonesia tidak mudah untuk melakukan operasi section caesaria yang murah dan
aman.
Apabila terjadi penurunan jumlah CD4+ dalam masa pengobatan terapi lini pertama
dan didapat tanda terjadinya toksisitas dapat dipertimbangkan untuk mengganti terapi. Hal
ini dapat dilihat pada tabel 2.9.5 di bawah ini :
Tabel 2.9.5 Langkah pertimbangan untuk mengganti terapi ARV (WHO, 2010)
Tabel 2.9.6 Terapi lini kedua pengobatan ARV (WHO, 2010)
Pengembangan vaksin HIV yang efektif merupakan tantangan yang besar
karena HIV memiliki karakteristik yang kompleks dan adanya mutasi genetic. Vaksin ideal
seyogyanya dapat memicu imunitas humoral dan selular. Saat ini sudah dimulai dan sedang
dilakukan uji – uji klinis terhadap efektivitas vaksin seiring dengan semakin banyaknya
16
informasi mengenai HIV yang diketahui. Namun, program pencegahan HIV yang terpadu
mencakup tidak saja pengembangan vaksin tetapi juga riset dan pendidikan yang ditujukan
untuk mencegah penularan virus (Price, et.al., 2005).
2.10 Candidiasis Esophageal pada HIV/AIDS
Candidiasis esophageal adalah infeksi oportunistik yang disebabakan oleh jamur
candida terutama spesies Candida albican pada esofagus. Pada infeksi ini terjadi
pertumbuhan yang berlebih dari candida. Candida merupakan normal flora yang terdapat
pada mulut, traktus gastrointestinal, dan vagina namun dapat bersifat invasif/patogen bila
daya tahan host menurun seperrti yang terjadi pada penderita HIV/AIDS (Maclean, 2001).
2.10.1 Gambar candidiasis Esophageal
Ada tiga faktor umum yang bisa mengarah pada candidiasis oral yang dapat meluas
ke esofagus. Ketiga faktor tersebut adalah: (1) status imun host, (2) lingkungan mukosa
mulut, (3) turunan C. albicans tertentu (bentuk hifa biasanya terkait dengan infeksi
patogenik). Kondisi-kondisi spesifik yang bisa menyebabkan seorang pasien rentan untuk
mengalami candidiasis yaitu:
1.Faktor-faktor yang merubah status imun host:
- Diskrasia darah atau tumor ganas lanjut
- Usia tua/masa kanak-kanak
- Terapi radiasi/Kemoterapi
- Infeksi HIV atau gangguan imunodefisiensi lainnya
- Kelainan-kelainan endokrin
- Diabetes mellitus
- Hipotiroidisme atau hipoparatiroidisme
- Kehamilan
- Terapi kortikosteroid/Hipoadrenalisme17
2.Faktor-faktor yang mengubah lingkungan mukosa mulut
- Xerostomia
- Terapi antibiotik
- Kesehatan gigi atau mulut yang buruk
- Kurang gizi/malabsorpsi gastrointestinal
- Kekurangan zat besi, asam folat, atau vitamin
- Saliva asam/Diet kaya karbohidrat
- Merokok berat
- Displasia epitelium oral
Karena jamur Candida normalnya hidup pada tubuh manusia, maka sulit untuk
menghindarinya. Namun ada beberapa cara agar pertumbuhannya dapat terkontrol yaitu
(Maclean, 2001).:
a. Menjaga respon imun tubuh tetap kuat atau tidak mengalami penurunan.
Pemberian antiretroviral yang efektif dapat mngontrol HIV sehingga dapat
mencegah penghancuran sel CD4+
b. Mengurangi makanan dengan kandungan karbohidrat dan glukosa yang tinggi
c. Memakan yogurt yang terbuat dari Lactobacillus acidophilus setiap hari dipercaya
dapat mengontrol pertumbuhan Candida
Terapi farmakologis diberikan berdasarkan tingkat keparahan Candidiasis esophageal
yang berbeda-beda pada tiap penderita. Berikut ini beberapa pilihan terapi untuk
Candidiasis esophageal (Maclean, 2001). :
- Nystatin oral
- Fluconazole tablet 100 – 200 mg/hari
- Itraconazole cair 100-200 mg/hari
- Iv Fluconazole atau Amphotericin B untuk 5-7 hari
2.10 HIV/AIDS DENGAN TB PARU
Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan
kemungkinan koinfeksi TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan untuk
seluruh TB pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan
prevalens HIV yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV hanya diindikasi pada pasien
TB dengan keluhan dan tanda-tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan pada
pasien TB dengan riwayat resiko tinggi terpajan HIV
18
Pemeriksaan minimal yang perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis TB paru
aadalah dengan pemeriksaan BTA dahak. Gambaran penderita HIV-TB dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 7. Gambaran TB-HIV
Infeksi dini(CD4>200/mm3)
Infeksi lanjut(CD4<200/mm3)
Sputum mikroskopis Sering positif Sering negatifTB ekstra pulmonal Jarang Umum/ banyakMikobakterimia Tidak ada AdaTuberkulin Positif NegatifFoto toraks Reaktivasi TB, kaviti di puncak Tipikal primer TB milier /
interstisialAdenopati hilus/ mediastinum
Tidak ada Ada
Efusi pleura Tidak ada Ada
Pengobatan OAT pada TB-HIV:
Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS
Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam
jumlah cukup dan dosis dan jangka waktu yang tepat.
Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan
menyebabkan efek toksik berat pada kulit.
Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika ntersedia alat suntik sekali pakai yang
steril.
Desensitisasi obat (INH, rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan
efek toksik yang serius pada hati.
Interaksi obat TB dengan ARV:
Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan kemungkinan
terjadinya efek toksik OAT.
Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleotida, kecuali
Didanosin yang harus diberikan selang 1 jam karena OAT bersifat buffer antasida.
Interaksi obat OAT terutama terjadi dengan ARV golongan nukleotida dan inhibitor
protease. Rifampisin jangan diberikan bersama nelvinavir karena rifampisin dapat
menurunkan kadar kerjanya hingga 37%, teteapi sampai saat ini belum ada
peningkatan dosis nevirapin yang direkomendasikan.
Pasien dengan koinfeksi TB-HIV, segera diberikan OAT dan pemberian ARV dalam
8 minggu pemberian ARV tanpa mempertimbangkan kadar CD4. Pertimbangan
pemberian ARV segera setelah diagnosis TB adalah bahwa angka kematian pada
pasien TB-HIV terjadi umumnya 2 bulan pertama pemberian OAT.
19
Setiap penderita HIV-TB harus diberikan profilaksis kotrimoksasol dosis 960mg / hari
(dosis tunggal) selama pemberian OAT.
2.10.1 The Three I’s for HIV-TB
Pada pasien dengan HIV, TB merupakan infeksi oportunistik yang dapat
menyebabkan kematian. WHO telah mengeluarkan strategi (sebelum pemberian ART) yaitu
Isoniazid preventif tratment (IPT)jika ada indikasi.
Intensified case finding (ICF) untuk menemukam kasus TB aktif.
Infection control (IC) untuk pencegahan dan pengendalian infeksi TB di tempat
pelayanan kesehatan.
20
BAB III
DATA MEDIS PASIEN
3.1 Identitas Pasien
Nama Lengkap : Tn Riza Holanda
Tanggal Lahir : 1 januari 1983
Umur : 29 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Alamat : Jl. RA Kartini 17 Probolinggo
Telp : --
Pekerjaan :Wiraswasta (bengkel)
Status : Menikah
Pendidikan : -
Etnis/Suku : Jawa
Agama : Islam
MRS : 13 – 06 - 2012
Rekam Medis : 10973486
3.2 Anamnesis (autoanamnesis dan heteroanamnesis)
Keluhan Utama : Lemah badan
Pasien Mengeluh lemah badan sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Lemah badan
disertai pusing, nafsu makan yang menurun, perut pasien terasa mual yang disertai muntah.
Muntah sehari sekitar 5 kali. Muntahan berisi air.
Pasien juga mengeluh ingatan yang menurun. Selain itu pasien mengeluh dari mulut banyak
bercak-bercak putih seperti sariawan.
Pasien mengeluh badan terasa demam sejak 3 hari SMRS. Demamnya tidak tinggi
Pasien mengeluh diare sejak 3 hari SMRS. Diare tampak berlendir, sehari frekuensi 3x,
tidak ada darah.
Pasien mengeluh berat badan yang terus menurun sejak 1 bulan terakhir. Penurunan
sekitar 5 sampai 6 kilogram.
Pasien bekerja swasta di bengkel motor.
Pasien riwayat menikah 2x. Istri yang pertama meninggal. Diketahui istri pasien pernah
perawatan inap di RSSA, dirawat di ruang 29, terdiaagnosa HIV dan meninggal) . istri yang
kedua saat ini ada di probolinggo.
21
1 hari SMRS pasien cek darah (tes HIV) di RS probolinggo, hasil tes positif (+) terjangkit HIV