LAPORAN KASUS MODUL HUKUM AGAMA DAN MORAL “Seorang Pasien Yang Menolak Pengobatan” KELOMPOK 6 030.07. 198 Olga Ayu Pratami 030.08. 218 Rifqa Wildaini 030.09. 016 Andreas Ronald Barata s 030.09. 017 Andreas Surya 030.09.018 Andri Changat 030.09.019 Angelia Elisabeth Mambu 030.09.021 Angelina Goenawan 030.09.082 Fanny Isyana Fardhani 030.09.084 Febrian Tan Jaya 030.09.085 Febriani Muldiati 030.09.086 Fenni Cokro 030.09.087 Fhiserra Kusuma Primadha 030.09.134 Lailil Indah Seftiana 030.09.135 Laksmi Putri Ayukinati
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN KASUS
MODUL HUKUM AGAMA DAN MORAL
“Seorang Pasien Yang Menolak Pengobatan”
KELOMPOK 6
030.07. 198 Olga Ayu Pratami
030.08. 218 Rifqa Wildaini
030.09. 016 Andreas Ronald Barata s
030.09. 017 Andreas Surya
030.09.018 Andri Changat
030.09.019 Angelia Elisabeth Mambu
030.09.021 Angelina Goenawan
030.09.082 Fanny Isyana Fardhani
030.09.084 Febrian Tan Jaya
030.09.085 Febriani Muldiati
030.09.086 Fenni Cokro
030.09.087 Fhiserra Kusuma Primadha
030.09.134 Lailil Indah Seftiana
030.09.135 Laksmi Putri Ayukinati
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam pelaksanaannya, dunia kedokteran berpegang teguh kepada empat
kaidah dasar moral (moral principles) yaitu: otonomi berarti setiap tindakan medis
haruslah memperoleh persetujuan dari pasien, beneficence berarti setiap tindakan
medis harus ditujukan untuk kebaikan pasien, non-maleficence berarti setiap tindakan
medis harus tidak boleh memperburuk keadaan pasien, dan justice berarti bahwa sikap
atau tindakan medis harus bersifat adil.
Persetujuan yang berdasarkan pengetahuan merupakan salah satu konsep inti
etika kedokteran saat ini. Hak pasien untuk mengambil keputusan mengenai
perawatan kesehatan mereka telah diabadikan dalam aturan hukum dan etika di
seluruh dunia. Deklarasi Hak-hak Pasien dari World Medical Association
menyatakan:
“Otonomi pasien adalah salah satu hak pasien yang mendasar oleh karena
berkaitan dengan hak asasi dalam memperoleh perlindungan atas integritas tubuhnya.
Pasien mempunyai hak untuk menentukan sendiri, bebas dalam membuat keputusan
yang menyangkut diri mereka sendiri. Dokter harus memberi tahu pasien konsekuensi
dari keputusan yang diambil.“
Pasien dewasa yang sehat mentalnya memiliki hak untuk memberi izin atau tidak
memberi izin terhadap prosedur diagnosa maupun terapi. Pasien mempunyai hak
untuk mendapatkan informasi yang diperlukan untuk mengambil keputusannya.
Pasien harus paham dengan jelas apa tujuan dari suatu tes atau pengobatan, hasil apa
yang akan diperoleh, dan apa dampaknya jika menunda keputusan.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
Skenario 1
Ny. S 35 tahun datang berobat ke sebuah klinik bedah dengan keluhan utama
tidak dapat buang air kecil. Setiap kali ingin BAK perlu ditolong dengan memakai
kateter. Setelah dilakukan pemeriksaan lengkap termasuk dengan kolonoskopi,
ditemukan adanya tumor pada daerah kolon yang mendesak vesika urinaria sehingga
mengakibatkan kesulitan BAK. Dokter menganjurkan untuk dilakukan tindakan
pembedahan pengangkatan tumor mengingat tumornya belum seberapa besar. Ny. S
dan keluarga setuju dengan saran dokter dan menandatangani informed consent.
Saat pembedahan dilakukan, dokter menemukan banyak terjadi perlengketan
dan ternyata karsinoma primernya ada pada ovarium sebelah kiri. Dihadapkan pada
kenyataan yang ada pada saat itu dan kondisi pasien yang tampak melemah, dokter
segera memutuskan untuk melakukan reseksi kolon dan mengangkat ovariumnya
tanpa konsultasi dulu dengan dokter obgyn.
Setelah operasi, kondisi pasien tampak membaik dan dokter segera
memberikan kemoterapi serta penyinaran. Akibat efek samping kemoterapi dan
penyinaran itu, Ny. S merasakan penderitaan yang luar biasa, tidak bisa makan karena
sangat mual dan nyeri yang kadang hampir tidak tertahankan.
Ny. S akhirnya mengambil keputusan untuk menolak terapi apapun dan
memilih tinggal dirumah bersama keluarganya. Ia menyadari bahwa penyakitnya
tidak bisa diobati dan hidupnya tidak lama lagi.
Skenario II
Sikap Ny. S yang menolak semua terapi dari dokter berdampak pada kondisi
fisiknya yang semakin kurus. Atas saran teman-temannya dan juga desakan keluarga,
Ny. S lalu mencoba berobat ke pengobatan alternative. Ramuan “jamu” dari
pengobatan alternative ternyata tidak memberikan perbaikan pada kondisi
2
kesehatannya. Kondisi Ny. S semakin parah dan sekarang malah sering merasakan
sakit yang luar biasa yang hampir tidak tertahankan. Melihat keadaan Ny. S,
suaminya lalu minta bantuan dokter didekat rumahnya untuk mengatasi rasa sakitnya.
Dokter lalu memberikan suntikan morfin. Akibat suntikan itu, Ny. S tertidur dan
kelihatannya rasa sakitnya bisa diredakan. Namun setelah efek morfin itu hilang, Ny.
S tampak kembali kesakitan sehingga dokter terpaksa harus memberikan suntikan
morfin beberapa kali dengan dosis yang semakin bertambah. Pada akhirnya nyawa
Ny. S tidak dapat dipertahankan, ia akhirnya meninggal.
3
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Status Pasien
Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Usia : 35 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Alamat : -
Status : Menikah
Pekerjaan : -
Tanda Vital
Kesadaran : -
Tekanan darah : -
Nadi : -
Pernapasan : -
Suhu : -
Keluhan Utama : Tidak dapat buang air kecil
Riwayat Penyakit Dahulu : -
Riwayat Penyakit Keluarga: -
3.2. Daftar Masalah
Daftar masalah Dasar Penjelasan
Ny. S Menderita tumor di kolon
yang menyebabkan sulit
buang air kecil kemudian saat
Hasil
pemeriksaan
dokter
Sangat mempengaruhi persepsi
pasien mengenai penyakitnya.
Pasien merasa sakit parah dan
4
dilakukan operasi, ditemukan
tumor primer di ovarium kiri.
penyakitnya tidak dapat
disembuhkan
Tindakan reseksi kolon dan
pengangkatan ovarium tanpa
konsultasi
Tindakan dokter
bedah
Menurut sisi medis dan moral,
tindakan yang dilakukan dokter
ini bertujuan baik demi
kebaikan pasien. Namun,
sebaiknya dokter memberikan
penjelasan akan tindakannya ini
kepada keluarga pasien setelah
operasi selesai. Ada pula
kemungkinan bahwa keluarga
pasien dapat menjadikan hal ini
sebagai perkara.
Komunikasi yang kurang baik Riwayat
pemeriksaan
oleh dokter
Komunikasi merupakan elemen
penting dalam setiap hubungan
dokter-pasien. Komunikasi
yang salah dan buruk dapat
berdampak buruk bagi kedua
belah pihak. Pada kasus ini
dokter seharusnya sigap dan
empati terhadap penderitaan
pasien dan berusaha
mengurangi penderitaannya.
Komunikasi buruk dapat
berdampak pada penolakan
terapi dan sederet masalah
lainnya.
Penyuntikan morfin Hasil
pemeriksaan
dokter di dekat
rumah
Menurut kelompok kami,
indikasi dan pemberian
mungkin sudah tepat, namun
dibutuhkan edukasi dan
pengawasan yang ketat akan
5
efek samping pemberian
morfin. Perlu juga ditelusuri
mengenai cascade anti nyeri
dalam menangani kasus kanker
stadium akhir.
Terapi alternatif yang sia-sia Hasil anamnesis Pasien berusaha mendapatkan
pengobatan dengan jamu namun
tidak mendapat hasil dan
kondisinya semakin memburuk.
Dokter sebaiknya mengedukasi
mengenai terapi alternative
dengan benar agar pasien tidak
membahayakan dirinya sendiri.
Paliatif care Hasil
pemeriksaan
Dapat dilakukan untuk
meningkatkan kualitas hidup
pasien. Dilaksanakan melalui
ilmu interdisiplin. Sebaiknya
juga melibatkan rohaniwan
sesuai dengan kepercayaan
pasien. Dipandang dari segi
bioetik juga baik sebab
mengutamakan prinsip
beneficience.
3.3. Perspektif hukum
A. Perluasan Operasi
Pada pasal 7 PerMenKes No.585/MenKes/Per/IX/1989 disebutkan bahwa:
(1) Informasi juga harus diberikan jika ada kemungkinan perluasan operasi.
(2) Perluasan operasi ang tidak dapat diduga sebelumnya, dapat dilakukan untuk
menyelamatkan jiwa pasien.
6
(3) Setelah perluasan operasi sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan, dokter
harus memberikan informasi kepada pasien atau keluarganya.1
→ Pada kasus ini, diketahui bahwa saat pembedahan dilakukan, dokter menemukan
banyak perlengketan dan ternyata karsinoma primernya ada pada ovarium kiri. Pada
keadaan ini, perluasan operasi dapat dilakukan karena dihadapkan pada kenyataan
yang ada saat itu dan kondisi pasien yang tampak melemah. Namun yang sangat
disayangkan, bagaimana bisa terjadi hal seperti ini, seharusnya dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang lain seperti USG sebelum dilakukan operasi agar tidak terjadi
kesalahan diagnosis. Dalam hal ini, seperti yang tercantum pada ayat ke (3), dokter
harus memberikan informasi kepada pasien atau keluarganya mengenai perluasan
operasi yang telah dilakukan.
B. Penolakan Tindakan Medis Oleh Pasien
Pada Declaration of Lisbon (1981) : The Rights of the Patient disebutkan beberapa
hak pasien, diantaranya hak memilih dokter, hak dirawat dokter yang “bebas”, hak
menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi, hak atas
kerahasiaan, hak mati secara bermartabat, dan hak atas dukungan moral atau
spiritual.2
Dalam UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 53 menyebutkan beberapa hak
pasien, yakni hak atas informasi, hak atas second opinion, hak atas kerahasiaan, dan
hak atas persetujuan tindakan medis.
Menurut UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pada pasal 4-8 disebutkan setiap
orang berhak atas kesehatan; akses atas sumber daya; pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu dan terjangkau; menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang
diperlukan; lingkungan yang sehat; info dan edukasi kesehatan yg seimbang dan
bertanggung jawab; dan informasi tentang data kesehatan dirinya. Hak-hak pasien
dalam UU No. 36 tahun 2009 itu diantaranya meliputi:
1. Hak menerima atau menolak sebagian atau seluruh pertolongan (kecuali tak
sadar, penyakit menular berat, gangguan jiwa berat).
7
2. Hak atas rahasia pribadi (kecuali perintah UU, pengadilan, izin ybs,
kepentingan ybs, kepentingan masyarakat).
3. Hak tuntut ganti rugi akibat salah atau kelalaian (kecuali tindakan
penyelamatan nyawa atau cegah cacat).
Selain itu, dalam UU No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan (Perlindungan Pasien)
Pasal 56 disebutkan:
(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan
pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami
informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
pada:
a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam
masyarakat yang lebih luas;
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. gangguan mental berat.
(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.3
→ Pada kasus diketahui bahwa setelah operasi, kondisi pasien tampak membaik dan
dokter segera memberikan kemoterapi serta penyinaran. Akibat efek samping
kemoterapi dan penyinaran itu, Ny. S merasakan penderitaan yang luar biasa, tidak
bisa makan karena mual dan nyeri yang kadang-kadang hampir tidak tertahankan.
Ny. S akhirnya mengambil keputusan untuk menolak terapi apa pun dan memilih
tinggal di rumah bersama keluarganya. Ia menyadari bahwa penyakitnya tidak bisa
diobati dan hidupnya tidak akan lama lagi. Berdasarkan ketentuan hukum yang telah
tersebut di atas, seorang dokter wajib memberikan penjelasan mengenai segala
tindakan medis yang akan dilakukan pada pasien, namun Ny. S berhak untuk
memilih atau menghentikan pengobatan baginya. Dalam hal ini, dokter tidak bisa
memaksakan keputusan pasien, namun dokter dapat memberikan penjelasan ulang
tentang apa yang akan terjadi apabila pasien menolak pengobatan, serta memberikan
8
second opinion pada pasien. Jika memungkinkan, dapat pula disarankan pada pasien
dan keluarganya untuk mendapatkan pelayanan perawatan paliatif.
C. Paliatif Care
Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization; WHO) memberikan definisi
perawatan paliatif sebagai berikut (2005):
Paliative Care is an integrated system of care that: improves the quality of life, by
providing pain and symptom relief, spiritual and psychosocial support from diagnosis
to the end of life and bereavement.
(Perawatan paliatif adalah sistem perawatan terpadu yang meningkatkan kualitas
hidup, dengan meringankan nyeri dan penderitaan lain, memberikan dukungan
spiritual dan psikososial mulai saat diagnosa ditegakkan sampai akhir hidup, dan
dukungan terhadap keluarga yang merasa kehilangan).
perawatan paliatif merupakan bentuk pelayanan kesehatan yang relatif baru di
Indonesia. Kebijakan perawatan paliatif ini baru dicanangkan pemerintah, dalam hal
ini Departemen Kesehatan Republik Indonesia, dengan diterbitkannya SK Menkes RI
nomor 604/MENKES/SK/IX/1989. Sedangkan pelayanan perawatan paliatif untuk
masyarakat baru dimulai pada tanggal 19 Februari 1992.
→ pada pasien ini, dimana telah mengalami kanker stadium lanjut karena diketahui
telah terjadi penyebaran dari kanker primernya dan menolak untuk mendapatkan
pengobatan, sebenarnya mungkin dapat disarankan untuk mengikuti paliatif care
sebagai second opinion untuk meningkatkan kualitas hidup serta meringankan
penderitaannya. Selain itu, dapat pula memberikan dukungan pada keluarga melalui
pelayanan ini.
3.4. Perspektif Bioetika
1. Dokter bedah mengangkat tumor ovarium tanpa konsultasi ahli Obstetri
dan Ginekologi
Penjelasan dari sudut pandang bioetika:
9
Secara bioetika seorang dokter bedah yang melakukan perluasan operasi tanpa
mengkonsultasikan terlebih dahulu kepada yang lebih berkompeten dapat
dibenarkan apabila tujuannya adalah untuk menegakkan asa beneficence dan
nonmaleficence. Dalam sudut pandang beneficence, dokter akan melakukan segala
sesuatu demi kebaikan pasien sehingga yang telah dilakukan dokter adalah baik
menurut etika karena pada saat itu gangguan kausatif ( tumor primer ) Ny. S adalah
pada ovarium kirinya sehingga demi kesembuhan Ny. S seharusnya ovarium kiri
harus diangkat
Menurut aspek non maleficence (do no harm), maka tindakan pengangkatan
ovarium kiri yang dilakukan dokter bedah tersebut adalah baik karena apabila
dokter bedah harus menutup kembali luka operasi demi kepentingan untuk
mengkonsultasikan dan memeriksakan Ny. S terlebih dahulu kepada ahli Obstetri
dan Ginekologi, maka ini akan merugikan pasien dari segi waktu, luka operasi, dan
biaya karena operasi harus dilakukan dua kali.
Pandangang etika menyatakan tindakan dokter bedah tersebut buruk apabila
setelah perluasan operasi yang dilakukan, dokter bedah tidak memenuhi aspek
otonomi pasien dan justice bagi pasien. Sehingga untuk memenuhi aspek tersebut,
maka komunikasi post operasi menjadi sesuatu yang penting dan jangan sampai
diabaikan.
2. Penolakan kemoterapi dan radioterapi
Tindakan Ny. S melakukan penolakan kemoterapi dan radioterapi dipandang
buruk dalam sudut pandang etika. Hal ini dikarenakan etika berpandangan bahwa
apabila Ny. S menolak melakukan terapi yang seharusnya dapat berhasil karena
tumor primer yang ada telah diangkat tetapi malah menolaknya, maka hal ini akan
berdampak pada pembiaran diri untuk meninggal perlahan seperti yang terjadi
pada eutanasia pasif atau bunuh diri.
Solusi yang terbaik adalah memberikan edukasi dan komunikasi, serta
pendekatan yang lebih komprehensif dan holistik dari aspek biopsikososial dan
kulturan yang dilakukan oleh dokter, keluarga, dan pemuka agama untuk
memperbaiki persepsi pasien sehingga pasien memiliki motivasi tinggi untuk
mejalankan pengobatan dan sembuh.
10
3. Persepsi pasien akan penyakit yang tidak bisa diterapi lagi
Persepsi pasien akan penyakit yang tidak bisa diterapi lagi sesungguhnya
merupaka hak otonomi pasien, menurut sudut pandang bioetika. Namun, hal ini
dipandang buruk secara etika karena berdasarkan etika teleologi yang berpegang
teguh pada hasil yang didapatkan akibat perbuatan pasien tersebut, maka akan
berakibat pada penyerahan diri kepada kematian yang seharusnya bisa ditunda
apabila pasien mau menjalankan terapi sebagaimana mestinya sesuai prosedur
yang ada.
4. Pengobatan alternatif yang menjadi pengobatan sia-sia
Secara deontologi, maka pengobatan alternatif adalah baik adanya karena
tujuannya adalah untuk menolong orang yang sakit, tetapi hal ini dipandang buruk
oleh etika karena dalam pandangan teleologi, hasil yang didapatkan oleh Ny. S
melalui pengobatan alternatif tidak ada dan cenderung memperburuk keadaan Ny.
S karena penyakit Ny. S yang tidak terobati oleh terapi alternatif tersebut. Hal ini
mengakibatkan terjadinya pengobatan sia-sia yang merugikan Ny. S sehingga
aspek beneficence dan nonmaleficence tidak terpenuhi.
5. Terapi palliative dengan morphin
Pada dasarnya tujuan dokter memberikan terapi palliative dengan morphin
adalah untuk mengurangi rasa sakit Ny. S karena dokter bermaksud untuk
melakukan yang terbaik demi pasien, seperti yang tercermin dalam praktik
beneficence menurut bioetika. Hal ini menjadi baik menurut etika. Namun, akan
menjadi buruk menurut etika apabila dokter dalam pemberian morphin pada Ny. S
tidak memberikan edukasi yang adekuat kepada keluarga Ny. S mengenai efek
samping yang mungkin timbul akibat pemberian morphin tersebut, pemberian
morphin tidak sesuai indikasi, tidak melakukan pemantauan berkala terhadap Ny.
S setelah pemberian morphin. Hal demikian berarti dokter melanggar prinsip
otonomi pasien, beneficence, non maleficence dan justice.
11
3.5 Perspektif Kedokteran
Perspektif kedokteran dapat dimasukkan dalam pandangan kedokteran
terhadap tindakan dokter bedah dalam perluasan operasi, edukasi yang diberikan
dalam kemoterapi dan radioterapi, terapi alternative, pemberian analgetik pada
pengobatan paliatif
a. Tindakan perluasan operasi
seharusnya dokter bedah menyadari kompetensinya pada saat akan
melakukan perluasan operasi pada tumor primer ovarium kiri. Tumor
primer ditemukan saat operasi dilakukan sehingga pengangkatan
ovarium kiri tidak tercantum dalam informed consent yang telah
dilakukan pada preoperative sehingga diperlukan pendapat dari dokter
obstetric dan ginekologi sebelum dilakukan pengangkatan. Konsultasi
seharusnya dilakukan sehingga menghindarkan dokter bedah tersebut
dari tindakan yang tidak sesuai dengan SOP yang legal
b. KIE dalam kemoterapi dan radioterapi
Pola hubungan dokter pasien sangat memegang peranan dalam
keadaan tersebut. Collegial model menjadi pola hubungan dokter
pasien yang paling dapat diterima. Seharusnya diperlukan adanya
praktisi interdisisplin yang terdiri dari ahli bedah, ahli onkoloh,
psikiater, dan dokter keluarga yang dengan komunikasi persuasive dan
penuh pengertian sehingga dapat memberikan perspektif yang baik
bagi persepsi pasien
c. Terapi alternative
Untuk kasus penyakit yang berat dan membahayakan nyawa
seharusnya tidak dilakukan terapi alternative. Terapi yang dilakukan