BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semua organisme memiliki perilaku. Perilaku merupakan bentuk respons terhadap kondisi internal dan eksternalnya. Suatu respons dikatakan perilaku bila respons tersebut telah berpola, yakni memberikan respons tertentu yang sama terhadap stimulus tertentu. Perilaku juga dapat diartikan sebagai aktivitas suatu organisme akibat adanya suatu stimulus. Dalam mengamati perilaku, kita cenderung untuk menempatkan diri pada organisme yang kita amati, yakni dengan menganggap bahwa organisme tadi melihat dan merasakan seperti kita. Ini adalah antropomorfisme (Y: anthropos = manusia), yaitu interpretasi perilaku organisme lain seperti perilaku manusia. Semakin kita merasa mengenal suatu organisme, semakin kita menafsirkan perilaku tersebut secara antropomorfik. Seringkali suatu perilaku hewan terjadi karena pengaruh genetis (perilaku bawaan lahir atau innate behavior), dan karena akibat proses belajar atau pengalaman yang dapat disebabkan oleh lingkungan. Munculnya tingkah laku hewan tidak terlepas dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Semua organisme memiliki perilaku. Perilaku merupakan bentuk
respons terhadap kondisi internal dan eksternalnya. Suatu respons dikatakan
perilaku bila respons tersebut telah berpola, yakni memberikan respons
tertentu yang sama terhadap stimulus tertentu. Perilaku juga dapat diartikan
sebagai aktivitas suatu organisme akibat adanya suatu stimulus. Dalam
mengamati perilaku, kita cenderung untuk menempatkan diri pada organisme
yang kita amati, yakni dengan menganggap bahwa organisme tadi melihat
dan merasakan seperti kita. Ini adalah antropomorfisme (Y: anthropos =
manusia), yaitu interpretasi perilaku organisme lain seperti perilaku manusia.
Semakin kita merasa mengenal suatu organisme, semakin kita menafsirkan
perilaku tersebut secara antropomorfik.
Seringkali suatu perilaku hewan terjadi karena pengaruh genetis
(perilaku bawaan lahir atau innate behavior), dan karena akibat proses belajar
atau pengalaman yang dapat disebabkan oleh lingkungan. Munculnya tingkah
laku hewan tidak terlepas dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal berhubungan dengan kondisi hewan yang meliputi factor genetic,
system saraf, hormone, dan jam biologis. Sedangkan factor eksternal berupa
lingkungan di sekitar hewan. Tingkah laku yang dihasilkan hewan itu
sebenarnya merupakan hasil kerjasama antara factor internal dan factor
eksternal hewan. Untuk mengetahui pengaruh dari setiap factor tersebut
terhadap tingkah laku diperlukan beberapa metode penelitian yang berbeda.
1.2. Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan munculnya tingkah laku
hewan.
2. Mengetahui hubungan faktor internal dalam mempengaruhi tingkah laku
hewan
3. Mengetahui hubungan faktor eksternal dalam mempengaruhi tingkah laku
hewan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Faktor Internal
Hafez (1969) melaporkan bahwa perilaku satwa (animal behaviour)
bersifat genetis tetapi dapat berubah disesuaikan dengan pengaruh lingkungan dan
proses belajar (learning process). Menurut Tanudimadja dan Kusumamihardja
(1985), perilaku merupakan suatu aktivitas yang perlu melibatkan fungsi fisiologis
dan setiap perilaku melibatkan penerimaan rangsangan melalui panca indera dan
perubahan rangsangan menjadi aktivitas neural, aksi integrasi susunan syaraf, dan
akhirnya aktivitas berbagai organ motorik, baik internal maupun eksternal.
Perilaku satwa adalah respon atau ekspresi satwa oleh adanya rangsangan atau
stimulus yang mempengaruhinya. Rangsangan tersebut terdiri dari dua macam,
yaitu rangsangan dalam dan luar. Rangsangan dalam adalah faktor fisiologis
sekresi hormon dan dorongan alat insentif sebagai akibat aktivititas. Rangsangan
luar dapat berbentuk suara, pandangan, tenaga mekanis, dan rangsangan kimia
(Mukhtar, 1986).
2.1.1 Faktor Genetik
untuk mengetahui pengaruh faktor genetik yang mempengaruhi tingkah
laku hewan dilakukan penelitian dengan menggunkan 2 metode yaitu:
1. Dengan memebuat kondisi lingkungan hewan konstan, yang bertujuan
untuk mengetahui pengaruh variasi genetik
2. Degan membuat konstan faktor genetik, ynag berujuna untuk mengkaji
pengaruh lingkungan terhafap perilaku hewan.
Secara garis besar fenotip suatu organisme merupakan gabungan
natara faktor genetik, lingkungan dan interaksi dari kedua faktor tersebut.
Beberapa teknik penelitian yang bertujuan untuk menyelidiki hubungan
anatara faktor genetik dan tingkah laku adalah sebagai berikut.
a. Inbreeding
Penelitian ini digunkan untuk hewan dengan strain yang sama,
digunakan nya strain yang sama yaitu untuk mendapatkan komponen
faktor genetik hewan yang stabil.dengan adanya kesamaan faktor
genetik hewan, maka kondisi lingkungan dapat di manipulasi sehingga
dapat mengetahui pengaruh ingkungan terhadap tingah laku hewan.
b. Perbedaan Strain
Penilitan menggunkan hewan dengan strain yang berbeda akan dapat
diketahui mengenai pengaruh hereditas terhadap tingkah laku hewan
yaitu dengan lingkungan di buat dalam keadaan stabil.
c. Analisis cara penurunan karakter tingkah laku
Penelitian ini menggunkan hewan dengan strain yang berbeda dan
bertujuan untuk mengetahui tingkah laku hewan hasil dari perkawinan
yang berbeda strain.contohnya ingin mengetahui aktivitas berlari
memutar dari hewan mencit, maka digunakan 2 strain mencit yang
berbeda. Mencit strain pertama memiliki kecepatan rata rata 100
m/jam, sedangkan strain mecit keduan memilikiki kecepatan rata rata
20 m/jam. Jika keturunan dari perkawian dua strain mecit tersebut
menghasilakn keturuna yang memilikiki kkecepatan berputar seperti
salah satu induknya maka dapat dikatan bahwa sifat yang diturunkan
bersifat dominan. Namun jika kecepatan berlari keturunan adalah
60m/jam, maka di indikasikan bahwa keturunan tersebut bersifat
intermediet. Pada beberapa kasus kkecepatan lari dari keturnannya
lebih besar dari pada induknya maka dikenal sebagai overdominan atau
hibridvigor.
d. Gen dan Tingkah laku
Peristiwa pada tingkat gen dan DNA sehingga diterjemahkan dalam
fisiologi dan tingkah laku adalah terjadi peristiwa epigenesis yaitu
interaksi antara faktor genetik, pengalaman, dan ingkungan dari suatu
organisme. Gen dapat memepengaruhi tingkah laku hewan yaitu
denag cara mengaktifkan dan menonaktifkan gen tertentu khususnya
yang mensintesis protein tertentu.
Gambar. Hubungan antara gen dan tingkah laku
2.1.2 Faktor Syaraf
Setiap organisme hidup secara terus menerima stimulus dari
lingkungan. Agar tetap hidup, hewan dilengkapi dengan reseptor untuk
menerima informasi. System saraf akan memisah-misahkan dan
menterjemahkan stimulus, dan efektor atau sistem otot akan menghasilkan
respon berupa tingkah laku sesuai dengan stimulus yang diterima.
Berdasarkan uraian tersebut, terlihat bahwa salah satu fungsi
primer dari sensori dan system saraf adalah penyaring stimulus yang
diterima. Untuk melaksanakan proses penyaringan informasi tersebut,
hewan mengembangkan 2 sistem penyaringan yaitu peripheral dan sentral.
a. Sistem penyaringan periferal
Peranan system penyaring peripheral adalah pada tingkat
reseptor sensori. Setiap spesies hewan dapat menerima informasi
tetapi dengan cara terbatas. Adanya cara yang terbatas dan juga jarak
kuantitatif antara hewan dan sumber stimulus maka dapat
menyebabkan perbedaan kepekaan bagi seekor hewan. Misalnya,
diantara hewan-hewan yang ada ternyata tidak semua hewan dapat
mendeteksi cahaya ultraviolet. Sedangkan contoh hewan yang dapat
mendeteksi cahaya ultraviolet adalah lebah. Berdasarkan kondisi
tersebut terlihat bahwa keterbatasan system sensori periferal
berperan sebagai pelindung pertama suatu hewan terhadap stimulus
dari lingkungan yang selanjutnya informasi tersebut akan dikirim
menuju system saraf.
b. Sistem penyaring sentral
Proses penyaring sentral terjadi di dalam system saraf, yaitu
dengan memilah informasi yang datang, menyeleksi stimulus yang
penting sehingga akhirnya dihasilkan suatu respons tertentu.
Misalnya seekor hewan dihadapkan stimulus yang berbeda, maka
semua stimulus akan dideteksi oleh organ indera. Akan tetapi, respon
yang dihasilkan oleh hewan tersebut berdasarkan stimulus yang
efektif. Contoh proses tersebut seperti yang dilakukan oleh
Tinbergen (1953) yaitu dengan melakukan percobaan terhadap
tingkah laku burung camar yang sedang mengeram. Perlakuan yang
diberikan terhadap burung camar tersebut yaitu dengan
memindahkan telur yang sedang dierami ke tepi sarang, ternyata
burung tersebut kemudian mengembalikan telur yang dipindahkan
tadi ke dalam sarangnya. Selanjutnya burung camar tersebut dicoba
dengan menempatkan model telur yang bervariasi dalam bentuk,
ukuran, warna, dan pola warna di tepi sarang. Hasil percobaan
tersebut menunjukkan bahwa aspek penting dari telur sehingga
dihasilkan respon pengembalian telur ke dalam sarang adalah ukuran
dan bentuk telur. Berdasarkan percobaan ini Tinbergen
menyimpulkan bahwa sebenarnya di dalam tubuh burung terjadi
proses penyaringan sentral. Selain itu, diketahui bahwa hewan dapat
memperlihatkan respon yang berbeda untuk stimulus yang sama dan
untuk kondisi ini tergantung kondisi internalnya.
Beberapa metode yang dapat digunakan dalam penelitian
tentang hubungan antara system saraf dengan tingkah laku adalah
sebagai berikut.
a. Pengumuman electrode, yaitu dengan menempelkan electrode
pada system saraf organism. Tujuan penggunaan ini untuk
mencatat impuls saraf secara langsung.
b. Transeksi, yaitu dengan melakukan pemotongan atau
mengangkat saraf tertentu hewan, kemudian diamati tingkah
lakunya. Akibat proses ini dapat diketahui pengaruh
pemotongan saraf tertentu terhadap suatu rangkaian tingkah
laku.
c. Stimulasi electrode, yaitu dengan menempatkan electrode
secara langsung ke dalam daerah tertentu pada system saraf
periferal atau otak, selanjutnya dilewatkan aliran listrik mealui
electrode tersebut.
d. Psychipharmacology, yaitu dengan menyuntikkan zat
neurotransmitter dan obat yang berkaitan dengan tempat
tertentu dalam otak.
2.1.3 Faktor Hormon
a. Pengertian Hormon
Hormon merupakan senyawa kimiawi yang dihasilkan oleh
kelenjar endokrin atau saraf/neurosekretori (Susilowati dkk.,
2001). Hormon diedarkan melalui pembuluh darah dan bisa
mencapai seluruh tubuh, tetapi hanya sel atau organ tertentu yang
merupakan targetnya dan bisa merespon (Reece et. al., 2011).
Pengaruh hormon antara lain berkaitan dengan proses
pertumbuhan, metabolisme, keseimbangan air dan reproduksi.
Selain itu sistem hormon berperan penting dalam mekanisme
pengatur tingkah laku baik pada Avertebrata maupun Vertebrata
(Susilowati dkk., 2001).
b. Pengaruh Hormon terhadap Tingkah Laku
Pengaruh hormonal terhadap tingkah laku dibedakan
menjadi dua kategori (Susilowati dkk., 2001), yaitu:
1. Efek aksional: hormon berperan sebagai pemicu
terhadap ekspresi dan pembentukan tingkah laku. Efek
aksional dibedakan menjadidua, yaitu:
Efek langsung: berperan dalam respon cepat,
yaitu langsung terjadi pada saat sekresi hormon
atau ketika adanya senyawa penghalang untuk
sekresi hormon.
Efek tidak langsung: memerlukan rangkaian
yang lebih kompleks dari stimulasi dan sekresi
hormon.
2. Efek pengatur: terjadi selama perkembangan organisme,
contohnya perbedaan kelamin dan pola pertumbuhan
jaringan tubuh yang kesemuanya itu di bawah kendali
hormon.
c. MetodePenelitiantentangHubunganHormondanTingkahLaku
Tujuan jangka panjang dari penelitian di bidang behavioral
endocrinology adalah untuk memahami bagaimana hormon
bekerja pada organ target, termasuk otak, untuk memodifikasi
tingkah laku. Pemahaman mengenai mekanisme hormon dalam
mempengaruhi tingkah laku dihasilkan dari penelitian lintas
bidang, meliputi psikologi eksperimental, etologi, anatomi,
zoologi, biologi reproduksi dan endokrinologi (Etgen & Faff,
2009). Beberapa metode penelitian yang digunakan untuk
mengetahui hubungan antara hormon dan tingkah laku (Susilowati
darah, bertujuan untukmemindahkan hormon dari satu
hewan ke hewan lainnya.
4. Bioassay: mengukur secara tidak langsung kadar hormon
yang beredar dalam tubuh hewan.
5. Radioimmunoassay: mengukur secara langsung kadar
hormon yang beredar dalam tubuh hewan melalui
penggunaan metode immunologikal.
6. Autodiografi: melokalisir tempat beredarnya hormon di
dalam tubuh hewan.
d. Interaksi endokrin – lingkungan – tingkah laku
Beberapa efek aksional termasuk interaksi antara tingkah
laku, hormon dan stimulus lingkungan yang spesifik dicontohkan
pada rangkaian proses reproduksi burung puter (ring dove)atau
Streptopelia risoria (Susilowati dkk., 2001).
Burung puter jantan memulai tingkah laku peminangan
setelah dipasangkan dengan burung puter betina. Apabila burung
puter dikastrasi, maka tidak akan terjadi tingkah laku peminangan.
Keadaan ini menunjukkan bahwa untuk meginisiasi siklus
reproduksi, maka diperlukan suplai hormon androgen. Pada
burung betina kelenjar pituitari mensekresi Folicle Stimulating
Hormone (FSH). FSH akan mempengaruhi perkembangan folikel
di dalam ovari. Folikel mensekresi estrogen yang selanjutnya akan
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan uterus.
Kemudian dalam 1 atau 2 hari burung mulai membangun sarang.
Selama fase ini burung jantan dan betina melakukan kopulasi.
Selain itu, kedua burung tersebut akan semakin menyempurnakan
sarang yang telah dibangunnya.
Kehadiran sarang akan menstimulasi produksi dan sekresi
hormon progesteron pada burung jantan dan betina. Salah satu
efek hormon tersebut adalah pengembangan tingkah laku
pengeraman, terutama setelah telur diletakkan di dalam sarangnya.
Jadi peranan progesteron pada burung jantan berlawanan dengan
peran hormon testosteron yang berperan dalam tingkah laku
peminangan dan agresi. Adapun tingkah laku bertelur pada burung
betina dipengaruhi oleh LH yang disekresikan oleh kelenjar
pituitary.
Aktivitas pengeraman telur terjadi selama 24 hari. Selama
proses ini burung jantan dan burung betina bergantian melakukan
kegiatan pengeraman telur. Adanya kehadiran telur, sarang dan
pengeraman, maka mempengaruhi kelenjar pituitari kedua burung
tersebut untuk mensekresikan hormon prolaktin. Hormon ini akan
menghambat sekresi LH dan FSH, serta menghentikan semua
tingkah laku kawin. Selain itu hormon prolaktin juga
menstimulasi perkembangan tembolok dan produksi susu
tembolok (pigeon milk) pada burung jantan dan betina, serta
membantu tingkah laku pengeraman. Ketika anak menetas setelah
dierami selama 2 minggu, induk burung segera akan memberinya
susu tembolok. Pemberian susu ini berlangsung selama 10-12
hari. Singkatnya waktu pemberian susu tersebut kemungkinan
dikarenakan menurunnya kadar hormon prolaktin. Akibat
menurunnya hormon prolaktin ini, kelenjar pituitari
mensekresikan FSH dan LH. Adanya FSH dan LH mengakibatkan
pasangan burung puter tersebut memulai lagi tingkah laku
peminangan, yang akhirnya rangkaian reproduksi dimulai lagi.
Gambar Tingkah Laku Reproduksi Ring Dove.Rangkaian tingkah laku tersebut meliputi a) peminanagan dan
kopulasi, b) pembuatan sarang, c) bertelur, d) pengeraman, e) pemberian susu tembolok (pigeon milk) oleh induk kepada anak yang baru menetas (Drickamer, 1982 dalam Susilowati dkk., 2001).
Perubahan aktivitas sistem endokrin diinduksi oleh stimulus
dari berbagai aspek dari lingkungan pada berbagai fase reproduksi
berbeda. Perubahan sekresi hormon ini menginduksi perubahan
perilaku yang bisa menjadi stimulus selanjutnya. Regulasi siklus
reproduksi ring dove setidaknya tergantung pada dua interaksi,
yaitu interaksi efek hormon terhadap perilaku dan efek kondisi
eksternal (termasuk yang timbul akibat perilaku) terhadap sekresi
hormon; efek keberadaan dan tingkah laku burung pertama
terhadap sistem endokrin burung kedua dan efek adanya tingkah
laku burung kedua terhadap sistem endokrin burung pertama
(Lehrman, 1964). Hubungan tersebut digambarkan pada diagram
berikut:
Gambar Interaksi antara hormon dan tingkah laku pada kedua ring dove (Lehrman, 1964).
Siklus reproduksi merupakan hasil interaksi antara faktor
internal dengan faktor eksternal (Susilowati dkk., 2001). Faktor-
faktor tersebut meliputi:
1. Kondisi hormonal burung jantan dan betina.
2. Tingkah laku setiap anggota pasangan burung akan
memicu perubahan kadar hormonal dan tingkah laku
kawin.
3. Kondisi eksternal seperti sarang dan telur akan
mempengaruhi perubahan hormonal dan tingkah laku
kedua burung.
2.1.4 Faktor Jam Biologis
Tingkah laku hewan yang dihasilkan berlangsung pada
waktu interval tertentu. Misalnya beruang yang melakukan
hibernasi pada musim dingin. Semua fenomena periodik tersebut
bersumber dari ritme biologikal yang dimiliki hewan.Setiap ritme
terdiri atas unit-unit pengulangan disebut siklus . lama waktu yang
dibutuhkan agar suatu siklus berlangsung lengkap disebut periode,
sedangkan bagian-bagian yang ada dalam siklus disebut fase.
Sifat yang dimiliki ritme biologikal ada dua. Pertama, laju
reaksi-reaksi kimia dan proses yang berlangsung didalam sel
berubah karena perubahan suhu. Secara umum laju reaksi berubah
menjadi dua kali untuk kenaikan 10°C. Kedua, jam biologis secara
umum tidak dipengaruhi oleh toksin yang merupakan hasil
metabolit atau zat yang menghalangi jalur biokimiawi dalam sel.
Selain itu jam biologi dikontol oleh dua faktor yaitu faktor
endogen dan eksogen. Seorang peneliti bernama Hoffmann
membuktikan bahwa mekanisme jam biologis diturunkan dan
bersifat endogen. Hoffman melakukan percobaan tingkah lak
berlari pada lizard. Yang digunakan dalam percobaannya adalah
telur lizard yang dimasukkan kedalam 3 kelompok seperti tabel
dibawah ini
Tabel percobaan Hoffman
No. Kelompok Perlakuan
1. 1 9 jam dipaparkan cahaya dan 9 jam
dalam kondisi gelap
2. 2 12 jam dipaparkan cahaya dan 12
jam dalam kondisi gelap
3. 3 18 jam dipaparkan cahaya dan 18
jam dalam kondisi gelap
Hasil dari percobaan Hoffman, setelah menetas anak-anak
lizard dipelihara dalam kondisi lingkungan yangsama atau stabil.
Ternyata hewan-hewan tersebut memiliki periode berlari sekitar
23,4-23,9 jam.
Selain itu pola tingkah laku hewan satu dengan hewan lain
berbeda disebabkan oleh perbedaan jam biologis tiap individu
seperti tabel dan diagram dibawah. Pola harian Haarimau Sumatra
berbeda dengan pola harian Gajah Sumatra.
Sumber : Ganesa dan Aunurohim 2012
Sumber: Yudarini et al 2013
Berikut perbedaan ritme biologi hewan lain dari periode
bebrapa menit hingga beberapa tahun
Tipe siklus Organisme Tingkah laku
Episikle (bervariasi)
Lungworm Makan (setiap 6-8 menit)
Meadow vole Makan/ istirahat (setiap 15-20
menit selama siang hari)
Tidal (12,4 jam)Oyster Membuka cangkang
Fiddler crab Bergerak/makan
Lunar (28 hari)
Midge (serangga
laut)
Kawin/pelekatan telur
Grunion (ikan laut) Peletakan telur
Sirkadian (24 jam)
Deermouse Minum/aktivitas umum
Fruit fly Pembentukan hewan dewasa
dari pupa
Sirkadian (12 bulan)
Woodchuck Hibernasi
Chickadee Reproduksi
Robin Migrasi/reproduksi
Rentangan yang tidak
memiliki waktu yang
jelas, dari beberapa
hari sampai beberapa
tahun
Desert insect Reproduksi (dipicu oleh hujan)
Lion Makan (dipicu oleh rasa lapar)
Shiner (ikan air
tawar)
Reproduksi (dipicu oleh
kondisi banjir).
Faktor eksogen antara lain seperti cahaya, suhu, dan
kelembapan dapat menjadi faktor kritis pada beberapa organisme,
khususnya hewan yang kulitnya mudah kehilangan cairan tubuh ke
lingkungan eksternal. Lebih lanjut suhu dan kelembapan udara
berpengaruh terhadap proses perkembangan fisik flora dan fauna,
sedangkan sinar matahari sangat dibutuhkan oleh tanaman untuk
fotosintesis dan metabolisme tubuh bagi beberapa jenis hewan.
Faktor eksternal tersebut sebenarnya berkaitan dengan faktor biotik
seperti kompetisi untuk sumber-sumber terbatas, kebiasaan makan,
dan predasi. Contohnya evolusi primata yang bersifat diurnal
kemungkinan dihasilkan dari kompetisi dengan rodensia nokturnal,
hibernasi hewan mamalia dan migrasi burung di daerah iklim
sedang dan merupakan adaptasi evolusioner untuk menghindari
kondisi musim dingin yang cukup dingin.
1.2. Faktor eksternal
Faktor eksternal yang mempengaruhi tingkah laku hewan
adalah kondisi lingkungan yang berada di sekitar hewan. Kondisi
tersebut meliputi cahaya matahari, suhu udara atau air, dan
kelembaban udara. Adanya perubahan kondisi lingkungan sekitar
maka akan memicu adanya tingkah laku yang spesifik dari seekor
hewan.
Pada daerah gurun yang cahaya matahari tinggi serta suhu
yang mencapai 500 C di siang hari dan akan turun drastis hingga
suhu -300 C pada malam hari, menyebabkan banyak hewan yang
akan bersifat nokturnal untuk menghindari suhu tinggi di siang
hari. Pada daerah savana yang hujan turun secara musiman akan
memicu migrasi besar besaran populasi hewan pemakan rumput
demi tetap mendapatkan rumput yang segar dan genangan air
untuk memenuhi kebutuhan air dan migrasi ini akan
mempengaruhi pula perilaku karnivora selaku predator. Pada
hutan dengan 4 musim yang pada musim dingin rata-rata bersuhu
00C dan pada musim panas bersuhu hingga mendekati suhu 350C
menyebabkan banyak hewan mammalia melakukan hibernasi di
musim dingin dan populasi burung akan bermigrasi ke daerah
yang lebih hangat (Champbell, 2009).
Suhu udara yang semakin menurun di daerah iklim sedang
maka akan memicu burung untuk melakukan migrasi. Suhu udara
yang terdapat pada benua Australia mengakibatkan distribusi dari
kanguru merah ((Macropus rufus). Pada gambar populasi kanguru
merah melimpah pada beberapa daerah yang berada pada bagian
dalam benua yang merupakan area yang jarang terjadi hujan, serta
tidak ditemukan pada area yang tingkat hujan tinggi, hal ini
membuktikan bahwa distribusi populasi dipengaruhi oleh faktor
luar (abiotik) (Champbell, 2009).
DAFTAR RUJUKAN
Abdurrajak, Jusuf. 1995. Hormon dan Perilaku Hewan. Malang: IKIP Malang
Campbell, Neil A. 2009. Biologi Edisi Kelima Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Etgen, A. M. & Faff, D. W. 2009. Molecular Mechanisms Hormone Actions on Behavior. Oxford: Elsevier, Inc.
Ganesa, Aridan Aunurohim. 2012. Perilaku Harian Harimau Sumatera (Phantera trigis sumatrae) dalam konservasi ex-situ Kebun Binatang Surabaya. Jurnal Sains dan Seni ITS, (online), 1(1):48-53, (http://download.portalgaruda.org), diakses pada 3 September 2014
Hafez, E. S. (Ed). (1969). The behaviour of domestic animals (2nd). Baltimore: Williams & Withins Co.
Lehrman, D. S. 1964. The Reproductive Behavior of Ring Doves. California: W. H. Freeman and Company.
Mukhtar, A. S. (1986). Dasar-dasar ilmu tingkah laku satwa (Ethologi). Bogor: Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan.
Reece, J. B., Urry, L. A., Cain, M. L., Wasserman, S. A., Minorsky, P. V. & Jackson, R. B. 2011. Campbell Biology 9th Edition. San Francisco: Benjamin Cummings – Pearson Education, Inc.
Susilowati, Rahayu, S. E. & Amin, M. 2001. Tingkah Laku Hewan. Malang: Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang.
Tanudimadja, K., & Kusumamihardja, S. (1985). Perilaku hewan ternak. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Yudarini, Nur dwi, I Gede Soma, dan Srikayati Widyastuti. 2013. Tingkah laku Harian Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Bali Safari and Marine Park Gianyar. Jurnal Indonesia Medicus veterinus. , (online), 2(4): 461-468, (Http://ojs.unud.ac.id), diakses pada 3 September 2014.