Lumpuh otak (bahasa Inggris: cerebral palsy, spastic paralysis, spastic hemiplegia, spastic diplegia, spastic quadriplegia, CP) adalah suatu kondisi terganggunya fungsi otak dan jaringan saraf yang mengendalikan gerakan, laju belajar, pendengaran, penglihatan, kemampuan berpikir.[1] Penyebab lumpuh otak sampai saat ini belum dapat dipastikan,[2] banyak orang beranggapan bahwa CP disebabkan oleh karena: Bayi lahir prematur sehingga bagian otak belum berkembang dengan sempurna. Bayi lahir tidak langsung menangis sehingga otak kekurangan oksigen saat dalam kandungan (bahasa Inggris: hypoxia) Adanya cacat tulang belakang dan pendarahan di otak. Jenis-jenis lumpuh otak Secara umum lumpuh otak dikelompokkan dalam empat jenis yaitu: Spastik (tipe kaku-kaku) dialami saat penderita terlalu lemah atau terlalu kaku. Jenis ini adalah jenis yang paling sering muncul. Sekitar 65 persen penderita lumpuh otak masuk dalam tipe ini. Atetoid terjadi dimana penderita yang tidak bisa mengontrol gerak ototnya, biasanya mereka punya gerakan atau posisi tubuh yang tidak biasa. Kombinasi adalah campuran spastic dan athetoid. Hipotonis terjadi pada anak-anak dengan otot-otot yang sangat lemah sehingga seluruh tubuh selalu terkulai. Biasanya berkembang menjadi spastic atau athetoid. Lumpuh otak juga bisa berkombinasi dengan gangguan epilepsi, mental, belajar, penglihatan, pendengaran, maupun bicara. Ciri-ciri
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Lumpuh otak (bahasa Inggris: cerebral palsy, spastic paralysis, spastic hemiplegia, spastic diplegia, spastic quadriplegia, CP) adalah suatu kondisi terganggunya fungsi otak dan jaringan saraf yang mengendalikan gerakan, laju belajar, pendengaran, penglihatan, kemampuan berpikir.[1]
Penyebab lumpuh otak sampai saat ini belum dapat dipastikan,[2] banyak orang beranggapan bahwa CP disebabkan oleh karena:
Bayi lahir prematur sehingga bagian otak belum berkembang dengan sempurna.
Bayi lahir tidak langsung menangis sehingga otak kekurangan oksigen saat dalam kandungan (bahasa Inggris: hypoxia)
Adanya cacat tulang belakang dan pendarahan di otak.
Jenis-jenis lumpuh otak
Secara umum lumpuh otak dikelompokkan dalam empat jenis yaitu:
Spastik (tipe kaku-kaku) dialami saat penderita terlalu lemah atau terlalu kaku. Jenis ini adalah jenis yang paling sering muncul. Sekitar 65 persen penderita lumpuh otak masuk dalam tipe ini.
Atetoid terjadi dimana penderita yang tidak bisa mengontrol gerak ototnya, biasanya mereka punya gerakan atau posisi tubuh yang tidak biasa.
Kombinasi adalah campuran spastic dan athetoid.
Hipotonis terjadi pada anak-anak dengan otot-otot yang sangat lemah sehingga seluruh tubuh selalu terkulai. Biasanya berkembang menjadi spastic atau athetoid.
Lumpuh otak juga bisa berkombinasi dengan gangguan epilepsi, mental, belajar, penglihatan, pendengaran, maupun bicara.
Ciri-ciri
Gejala lumpuh otak sudah bisa diketahui saat bayi berusia 3-6 bulan, yakni saat bayi mengalami keterlambatan perkembangan.
Ciri umum dari anak lumpuh otak adalah:
Perkembangan motorik yang terlambat.
Refleks yang seharusnya menghilang tapi masih ada seperti:
Refleks menggenggam hilang saat bayi berusia 3 bulan
Bayi yang berjalan jinjit atau merangkak dengan satu kaki diseret.
Terapi
Sampai saat ini belum ada obat yang bisa menyembuhkan lumpuh otak. Namun tetap ada harapan untuk mengoptimalkan kemampuan anak lumpuh otak dan membuatnya mandiri dengan terapi.
Terapi yang diberikan pada penderita lumpuh otak akan disesuaikan dengan:
Usia anak
Berat/ ringan penyakit
Menimbang dari area pada otak mana yang rusak.
Meski ada bagian otak yang rusak, namun sel-sel yang bagus akan menutupi sel-sel yang rusak, dengan cara mengoptimalkan bagian otak yang sehat seperti pemberian rangsangan agar otak anak berkembang baik. Rangsangan/ stimulasi otak secara intensif bisa dilakukan melalui panca indera. Salah satu cara adalah dengan Compensatory Dendrite Sprouting yaitu rangsangan agar dendrit tersebar dengan berimbang.
Beberapa orangtua yang memiliki anak penderita lumpuh otak mengaku berhasil mengoptimalkan kemampuan anaknya lewat metode Glenn Doman . Metode ini digunakan untuk anak dengan cedera otak berupa patterning (pola) untuk melatih :
Gerakan kaki dan tangan (merayap, merangkak)
Menghirup oksigen (masking) untuk melatih paru-paru agar membesar.
Sejak tahun 1998, lebih dari 1700 anak cedera otak mengalami perbaikan cukup berarti setelah melakukan terapi ini.
Lalu, pertanyaannya adalah: Apa yang menyebabkannya?
Menurut survey Gallup tahun 1992, hampir semua orang dewasa mengalami Sleep Paralysis, paling tidak dua tahun sekali. Jadi fenomena ini bukan sesuatu yang asing bagi manusia. Usaha untuk menelitinya telah berlangsung sejak tahun 1950an, namun baru benar-benar bisa dipahami ketika para peneliti mulai mengerti hubungan antara kondisi REM (Rapid eye movement) denganmimpi.
Ketika kita tidur, kita akan memasuki beberapa tahapan tertentu. Memang ada banyak, namun kita hanya akan melihat dua tahapan besarnya, yaitu Non REM dan REM.
Ketika kita tidur, 80 menit pertama, kita memasuki kondisi Non Rem, lalu diikuti 10 menit REM. Siklus 90 menit ini berulang sekitar 3 sampai 6 kali semalam. Selama Non REM, tubuh kita menghasilkan beberapa gerakan minor dan mata kita bergerak-gerak kecil.
Ketika kita masuk ke kondisi REM, detak jantung bertambah cepat, hembusan nafas menjadi cepat dan pendek dan mata kita bergerak dengan cepat (Rapid eye movement - REM). Dalam kondisi inilah mimpi kita tercipta dengan jelas dan kita bisa melihat objek-objek di dalam mimpi.
Dr.Max Hirshkowitz, direktur Sleep Disorders Center di Veterans Administration Medical Center di Houston mengatakan kalau Sleep Paralysis muncul ketika otak kita mengalami kondisi transisi antara tidur mimpi yang dalam (REM dreaming Sleep) dan kondisi sadar.
Selama REM dreaming sleep, otak kita mematikan fungsi gerak sebagian besar otot tubuh sehingga kita tidak bisa bergerak. Dengan kata lain, kita lumpuh sementara. Fenomena ini disebut REM Atonia.
"Kadang, otak kita tidak mengakhiri mimpi atau lumpuh kita dengan sempurna ketika terbangun. Ini bisa menjelaskan mengapa tubuh kita menjadi kaku."
Menurut hasil penelitiannya, Dr.Hirshkowitz menyimpulkan kalau efek ini hanya berlangsung selama beberapa detik hingga paling lama satu menit. Namun, bagi korban, sepertinya pengalaman ini berlangsung sangat lama.
Lalu, bagaimana dengan perasaan adanya makhluk gaib yang muncul di kamar
Florence Cardinal, seorang peneliti lain mengatakan kalau halusinasi biasanya memang menyertai Sleep Paralysis. Kadang ada perasaan kalau ada orang lain di dalam ruangan atau bahkan kita bisa merasakan adanya makhluk yang sedang melayang di atas kita.
Lalu, kita bisa merasakan adanya tekanan di dada seperti sedang diinjak atau diduduki. Malah, ada beberapa korban yang melaporkan mendengar suara langkah kaki, pintu terbuka dan suara-suara aneh. Ini cukup menakutkan, tapi normal. Bahkan banyak peneliti yang percaya kalau fenomena "penculikan oleh alien" atau "diserang roh jahat" kebanyakan hanyalah halusinasi yang terkait dengan Sleep Paralysis.
Sinkop merupakan problem klinis yang penting karena sering terjadi dan menimbulkan disabilitas serta dapat menjadi satu-satunya tanda yang muncul sebelum timbulnya kematian mendadak karena jantung (Sudden Cardiac Death). Akan tetapi penyebab dari sinkop seringkali sulit untuk didiagnosis sehingga seringkali penderita harus menjalani rawat inap di rumah sakit, melibatkan konsultasi dengan multidisiplin ilmu serta menjalani berbagai tes diagnostik (Kapoor, 2000).
Selain masalah medis, sinkop juga menimbulkan masalah sosial ekonomi yang cukup berarti dimana biaya yang dikeluarkan tiap tahun untuk evaluasi dan terapi penderita sinkop mencapai 800 juta dolar serta adanya penurunan kualitas hidup dari penderita (Calkins, 2005).
Seringkali penyebab sinkop merupakan sesuatu yang tidak membahayakan serta merupakan kondisi yang self limited. Meski demikian sinkop mungkin menunjukkan adanya kelainan serius yang dapat berakibat fatal. Faktor resiko yang terpenting adalah adanya kelainan jantung struktural (seperti penyakit jantung koroner, gagal jantung sebagai akibat disfungsi sistolik, penyakit jantung katup serta penyakit jantung kongenital) (Ludwig, 2007).
Pada penderita dengan penyakit jantung atau adanya abnormalitas pada pemeriksaan EKG, munculnya sinkop dapat meningkatkan resiko kematian dalam waktu satu tahun (Kapoor, 2000; Binder, 2005; Ludwig, 2007).
Pada tinjauan kepustakaan kali ini akan dibahas beberapa aspek mengenai sinkop dengan harapan dapat membantu mengenali sinkop lebih mendalam agar dapat memberikan tatalaksana yang lebih baik.
Definisi, Epidemiologi dan Patofisiologi Sinkop
Istilah Sinkop berasal dari bahasa Yunani ‘Synkoptein’, ‘Syn’ yang berarti ‘dengan’, dan kata kerja ‘Kopto’ yang berarti ‘saya memotong’. Sinkop merupakan gejala yang didefinisikan sebagai hilangnya kesadaran sesaat, disertai hilangnya tonus postural yang biasanya diikuti dengan jatuhnya penderita, dengan onset yang relatif cepat serta pemulihan yang spontan, komplit, dan segera (Maisel, 2002; Brignole, 2004; Miller, 2005, Dave 2007).
Dari data yang didapat pada the Framingham Heart Study yang berlangsung antara 1971 hingga 1998 dengan jumlah partisipan 7814 orang, angka kejadian sinkop yang dilaporkan pertama kali sebesar 6,2
per 1000 orang tiap tahun, angka kejadian ini meningkat hampir dua kali lipat pada pasien dengan penyakit kardiovaskular dibandingkan dengan tanpa penyakit kardiovaskular. Penyebab utama yang diketahui adalah sinkop vasovagal (21,1 %), kardiak (9,5 %), ortostatik (9,4 %) sementara sinkop karena sebab yang tidak jelas mencapai 36,6 % (Soteriades, 2002; Dave 2007). Kejadian Sinkop tercatat sebanyak 3,5 % dari seluruh kunjungan ke pelayanan gawat darurat dan 1-6 % dari seluruh penderita yang masuk rumah sakit (MRS) di Amerika Serikat (Grubb, 2005).
Faktor-faktor spesifik yang mendasari terjadinya sinkop bervariasi pada tiap pasien, tetapi terdapat beberapa prinsip umum yang mendasari terjadinya sinkop yang perlu diketahui.
Pada individu muda dan sehat dengan aliran darah ke otak antara 50-60 ml/100 gram jaringan/menit ( kurang lebih 12-15 % dari curah jantung istirahat ), kebutuhan oksigen minimum yang harus dipenuhi agar tetap sadar ( sekitar 3-3,5 ml O2 / 100 gram jaringan / menit ) dapat dengan mudah terpenuhi. Tekanan perfusi serebral sebagian besar tergantung pada tekanan arteri sistemik, kerena itu segala hal yang menyebabkan penurunan curah jantung ataupun tahanan vaskular perifer total akan menyebabkan penurunan tekanan arteri sitemik serta tekanan perfusi serebral. Pada curah jantung, faktor determinan fisiologis yang paling penting adalah pengisian vena ( pre-load ). Karena itu penumpukan darah yang berlebih pada beberapa bagian tubuh atau penurunan volume darah dapat mencetuskan terjadinya sinkop. Curah jantung juga dapat terganggu karena bradiaritmia, takiaritmia atu penyakit katup. Dalam hubungannya dengan tahanan vaskular perifer, vasodilatasi yang luas dan berlebihan dapat berperan penting pada penurunan tekanan arterial. Gangguan kemampuan untuk dapat meningkatkan tonus vaskular saat berdiri adalah penyebab dari hipotensi ortostatik serta sinkop pada penderita yang mendapat obat vasoaktif serta pada pasien dengan neuropati otonom. Penghentian mendadak dari aliran darah otak selama 6-8 detik ternyata cukup untuk menyebabkan terjadinya kehilangan kesadaran total. Pengalaman dari Tilt testing menunjukkan penurunan dari tekanan darah sistolik hingga 60 mmHg berhubungan dengan terjadinya sinkop. Lebih lanjut diperkirakan penurunan 20% dari hantaran oksigen serebral cukup untuk menyebabkan hilangnya kesadaran. Dari fakta diatas, integritas dari sejumlah mekanisme kontrol berperan penting untuk mempertahankan hantaran oksigen serebral yang adekuat, termasuk:
Kemampuan autoregulator serebrovaskular yang membuat aliran darah ke otak dapat dipertahankan meskipun terdapat perbedaan yang relatif besar pada tekanan perfusi.
Kontrol kimia dan metabolik lokal yang dapat menyebabkan vasodilatasi serebral.
Penyesuaian dari detak jantung, kontraktitilas jantung serta tahanan vaskular sistemik yang dirangsang oleh baroreseptor arterial dengan tujuan melindungi aliran darah serebral.
Regulasi volume vaskular, dimana pengaruh ginjal dan hormonal membantu mempertahankan volume sirkulasi.
Apapun mekanisme yang mendasarinya, hipoperfusi serebral yang bersifat sementara hingga mencapai titik kritis merupakan faktor yang memicu terjadinya episode sinkop (Brignole, 2004).
Klasifikasi Sinkop
Penyebab dari sinkop dapat diklasifikasikan dalam enam kelompok utama: Vaskular, Kardiak, Neurologi-serebrovaskular, Psikogenik, Metabolik dan Sinkop tanpa kausa yang diketahui (Calkins, 2005).
Penyebab utama dari sinkop karena vaskular adalah Hipotensi Ortostatik serta Reflex-mediated Syncope yang meliputi sepertiga angka kejadian sinkop karena vaskular sementara Subclavian Steal Syndrome terjadi pada 0,1 persen dari episode sinkop (Calkins, 2005; Grubb, 2005). Saat seseorang berdiri, 500-800 ml darah berpindah ke abdomen serta ekstremitas bawah sehingga terjadi penurunan mendadak dari venous return ke jantung. Penurunan ini menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung serta merangsang baroreseptor untuk meningkatkan rangsangan simpatis sehingga denyut jantung, kontraktilitas serta tahanan vaskular akan meningkat untuk mempertahankan stabilitas tekanan darah sistemik saat berdiri. Hipotensi ortostatik adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan 20 mmHg tekanan darah sistolik atau 10 mmHg tekanan darah diastolik saat berdiri selama 3 menit. Hipotensi ortostatik dapat asimtomatis atau juga dapat menimbulkan gejala seperti kepala terasa ringan, pusing, pandangan kabur serta sinkop. Obat-obat yang dapat menyebabkan penurunan volume cairan tubuh serta menyebabkan terjadinya vasodilatasi merupakan penyebab terbanyak terjadinya hipotensi ortostatik (Calkins, 2005).
Terdapat banyak reflek yang menyebabkan terjadinya episode sinkop ( Reflex-mediated syncope ). Pada tiap kondisi reflek terdiri atas dua komponen yaitu pemicu serta respon. Sinkop karena reflek memiliki persamaan pada respon yang dihasilkan, terdiri dari peningkatan tonus vagal serta penurunan tonus simpatis perifer yang menyebabkan terjadinya bradikardi, vasodilatasi dan pada akhirnya terjadi hipotensi, presinkop hingga sinkop. Yang membedakan reflek tersebut adalah faktor yang memicu terjadinya sinkop antara lain karena proses miksi, defekasi serta menelan. Dua tipe utama Reflex-mediated syncope adalah Hipersensitivitas sinus karotis serta Hipotensi karena sistim saraf (Neurally Mediated Hypotension or Syncope) (Calkins, 2005; Grubb, 2005; Miller, 2005).
Neurally Mediated Syncope dikenal juga sebagai Vasovagal, Vasodepresor, serta Neurokardiogenik sinkop. Vasovagal sinkop merupakan jenis sinkop yang paling banyak diderita, dimana terjadi abnormalitas regulasi tekanan darah yang ditandai oleh terjadinya hipotensi yang mendadak dengan atau tanpa disertai bradikardi (Calkins, 2005). Meski penyebabnya masih kontroversial, sinkop vasovagal diperkirakan terjadi pada orang yang memiliki predisposisi kondisi pengumpulan berlebih dari vena perifer yang mengakibatkan penurunan mendadak dari peripheral venous return. Hal ini berakibat pada terjadinya kondisi “hiperkontraktil” pada jantung sehingga mengaktifkan mekanoreseptor yang biasanya hanya aktif saat ada regangan (Grubb, 2005). Mekanoreseptor atau dikenal juga sebagai serat-C ( C-fibers ) yang terdiri atas serat non mielin dapat dijumpai di atrium, ventrikel serta arteri pulmonal dimana kontraksi pada ventrikel sebagai akibat dari penurunan volume yang berat dapat mengaktifkan serat-C tersebut yang berakibat pada timbulnya stimulus yang diteruskan oleh jaras aferen dari serat C menuju dorsal dari nukleus vagus pada medulla hingga terjadi peningkatan tonus vagal sehingga muncul vasodilatasi dan bradikardi ( Calkins, 2005 ).
Sinkop vasovagal dapat dicetuskan oleh berdiri yang lama, olah raga yang berlebihan pada lingkungan hangat, rasa takut, tekanan emosional serta nyeri yang berat. Terdapat tiga fase berbeda pada sinkop vasovagal yaitu fase prodromal, fase kehilangan kesadaran serta fase pasca sinkop. Fase prodromal ditandai dengan adanya diaforesis, gangguan epigastrik, kelelahan berat, kelemahan, mual, pusing serta vertigo yang berasal dari meningkatnya tonus parasimpatis dan dapat berlangsung beberapa detik hingga menit. Usaha untuk mencegah fase prodromal berlanjut menuju fase kehilangan kesadaran dapat dilakukan dengan jalan berbaring, mengurangi nyeri serta menghilangkan faktor pencetus lainnya. Fase pasca sinkop dapat berlangsung selama beberapa jam hingga hari yang meliputi rasa mual, pusing, disorientasi, serta kebingungan. Fase pasca sinkop yang memanjang mungkin berhubungan dengan kausa sinkop yang lebih serius dari vasovagal dan membutuhkan pemeriksaan lebih mendalam ( Miller, 2005 ).
Sinkop karena penyebab kardiak utamanya disebabkan oleh karena takiaritmia dan bradiaritmia. Takikardi ventrikel ( Ventricular Tachycardia / VT ) adalah penyebab terbanyak timbulnya sinkop akibat takiaritmia. Supraventricular Tacyicardia (SVT)juga dapat menimbulkan sinkop akan tetapi sebagian besar pasien dengan aritma supraventrikular menunjukkan gejala yang lebih ringan seperti berdebar, sesak, serta kepala yang terasa berputar. Bradiaritmia yang dapat menimbulkan sinkop termasukSick Sinus Syndrome serta blok Atrioventrikular. Secara anatomi, penyebab sinkop termasuk adanya hambatan aliran darah seperti emboli paru masif, miksoma atrium atau stenosis aorta ( Calkins, 2005 ).
Selain penyebab diatas, sinkop juga dapat ditimbulkan karena faktor neurologis, faktor metabolik serta penyebab lain yang belum diketahui. Sinkop karena faktor neurologis terjadi kurang dari 10 persen dari kejadian sinkop sementara karena faktor metabolik kurang dari 5 persen dari episode sinkop ( Calkins, 2005 ). Klasifikasi sinkop dapat dilihat lebih detil pada tabel berikut:
Tabel 1. Klasifikasi Sinkop
Diagnosis Sinkop
Identifikasi penyebab pasti dari sinkop seringkali menyulitkan tetapi juga menantang. Hal ini karena sinkop biasanya sporadis dan jarang terjadi serta sangat sulit untuk bisa memeriksa atau bahkan mendapatkan rekaman EKG pada saat episode sinkop. Karena itu untuk mendiagnosis serta menentukan kausa dari sinkop dibutuhkan kecermatan serta kerjasama yang baik dengan berbagai disiplin ilmu.
Anamnesis dan Pemeriksaan fisik
Anamnesis dan pemeriksaan fisik memegang peranan penting dalam evaluasi penderita sinkop. Beberapa studi menunjukkan kemungkinan penyebab sinkop dapat diketahui berdasarkan anamnesis serta pemeriksaan fisik yang baik pada lebih dari 25 persen pasien dengan sinkop ( Calkins, 2005 ). Literatur lain bahkan menyebutkan bahwa dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik, penyebab dari sinkop dapat diketahui pada 60 persen penderita ( Miller, 2005 ).
Dalam anamnesis perlu digali tentang faktor-faktor pencetus sinkop serta gejala sebelum dan sesudah serangan sinkop. Faktor pencetus seperti perubahan postur tubuh menunjukkan penyebab ortostatik sementara sinkop yang berhubungan dengan menelan, miksi serta defekasi menunjukkan penyebab neurokardiogenik dan yang berhubungan dengan saat kepala menoleh menunjukkan sindroma sinus karotis ( Ludwig, 2007 ).
Secara umum dalam mengevaluasi penderita sinkop beberapa hal penting yang perlu diperhatikan yaitu:
Menentukan apakah penderita memiliki riwayat penyakit jantung atau riwayat keluarga dengan penyakit jantung, sinkop atau kematian mendadak.
Mengenali terapi serta obat-obatan yang dapat berperan pada timbulnya sinkop.
Mengidentifikasi faktor pencetus termasuk posisi tubuh.
Mengenali tipe serta durasi dari gejala prodromal serta pemulihan dari sinkop.
Mengenali jumlah serta kronisitas dari episode sinkop maupun presinkop terdahulu.
Juga perlu didapatkan data dari orang yang menyaksikan saat penderita mendapatkan episode sinkop ( Calkins, 2005 ).
Setelah melakukan anamnesis yang cermat, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik yang komprehensif. Data tentang tanda vital meliputi tekanan darah baik pada posisi berbaring maupun berdiri serta evaluasi denyut nadi penting untuk membantu menentukan kausa dari sinkop. Selain pemeriksaan kardiak yang menyeluruh dan cermat serta difokuskan apakah penderita memiliki kelainan jantung struktural, perlu juga diperiksa tentang status hidrasi serta pemeriksaan untuk mendeteksi adanya kelainan yang signifikan pada sistim saraf penderita.
Pemeriksaan Penunjang
Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat, pemeriksaan penunjang juga dibutuhkan untuk membantu menegakkan diagnosis serta menentukan kausa dari episode sinkop.
Masase Sinus Karotis
Masase karotis direkomendasikan pada semua pasien yang terbukti tidak memiliki penyakit arteri karotis (adanya bruit karotis, riwayat endarterektomi serta TIA dan stroke) dengan monitor ketat pada tekanan darah penderita ( Calkins, 2005; Ludwig, 2007).
Telah lama diketahui bahwa tekanan pada bifurkasio arteri karotis komunis menghasilkan reflek memperlambat denyut jantung serta penurunan dari tekanan darah. Pada penderita dengan sinkop terutama yang berusia lebih dari 40 tahun, respon abnormal dari masase sinus karotis dapat terlihat. Adanya henti ventrikular selama 3 menit atau lebih dan penurunan tekanan darah sistolik 50 mmHg atau lebih dikatakan abnormal dan dikenal sebagai hipersensitivitas sinus karotis ( Brignole, 2004 ).
Pada banyak studi, masase dilakukan pada posisi berbaring tapi beberapa juga melakukan pada posisi berbaring dan berdiri dengan monitor EKG serta tekanan darah yang terus terpasang. Setelah data hemodinamik dasar diperoleh, dilakukan masase pada arteri karotis kanan selama 5-10 detik pada batas anterior dari otot sternocleidomastoid setinggi kartilago krikoid, bila belum menunjukkan hasil maka setelah satu hingga dua menit dilakukan masase pada sisi yang berlawanan. Respon dari masase sinus karotis umumnya berupa penghambatan kardiak ( asistol ), vasodepresif ( penurunan tekanan darah sistolik ) atau gabungan keduanya.
Komplikasi dari masase ini utamanya adalah komplikasi neurologis. Meskipun jarang, masase karotis sebaiknya dihindari pada penderita dengan riwayat TIA atau stroke yang terjadi 3 bulan terakhir atau pada pasien dengan bruit karotis. Komplikasi yang jarang lainya adalah timbulnya Atrial fibrilasi yang self-limited. Karena asistol yang terjadi saat masase dapat pulih sendiri segera setelah masase dihentikan, maka hampir tidak dibutuhkan resusitasi lebih lanjut ( Brignole, 2004 ).
Tilt-table Testing
Tilt-table Testing merupakan salah satu metode untuk membantu diagnosis neurokardiogenik/vasovagal sinkop yang telah menjalani banyak studi. Sensitivitas dari tes ini untuk Neurally-mediated syncope mencapai 67-83% dengan spesifisitas antara 75-100% ( Grubb, 2005; Raj, 2005; Ludwig, 2007 ).
Tes ini berguna pada penderita dengan penyakit jantung struktural dimana penyebab lain dari sinkop telah disingkirkan. Indikasi lain dari tes ini dapat dilihat pada tabel 2 ( Grubb, 2005; Ludwig, 2007 ).
Tabel 2. Indikasi Tilt-table Testing
( Grubb, 2005 )
Tes ini biasanya dilakukan antara 30 hingga 40 menit dengan sudut sekitar 60 hingga 80 derajat ( rata-rata 70 derajat ). Sensitivitas dari tes ini dapat ditingkatkan dengan jalan memperlama durasi, menambah curam sudut serta dengan menggunakan obat-obatan seperti isoproterenol atau nitrogliserin. Tes ini kurang berguna bila digunakan untuk membantu diagnosis sinkop situasional (sinkop post miksi, dll) (Grubb, 2005)
Gambar 1. Tilt-table testing (Grubb, 2005)
Elektrokardiografi (EKG)
EKG biasanya normal pada penderita dengan sinkop. EKG awal pada penderita sinkop dapat membantu menegakkan diagnosis pada 5 persen penderita dan menjadi alat diagnosis utama pada 5 persen
lainnya. Ketika muncul abnormalitas pada EKG, maka biasanya menunjukkan aritmia yang berhubungan dengan sinkop atau kelainan lain yang menjadi predisposisi timbulnya aritmia serta sinkop. Temuan spesifik yang mungkin dapat mengidentifikasi kemungkinan penyebab sinkop antara lain pemanjangan interval QT ( Long QT Syndrome ), adanya pemendekan interval PR dengan disertai munculnya gelombang delta yang menunjukkan adanya sindrom WPW, munculnya RBBB dengan elevasi segmen ST yang mengarah pada sindroma Brugada, munculnya infark miokard akut, blok AV, dan yang lainnya. Hasil pemeriksaan EKG yang normal menunjukkan kecil hubungan antara timbulnya sinkop karena faktor kardiak dimana hal ini berkaitan dengan prognosis yang lebih baik pada pendertita sinkop terutama pada penderita muda (Brignole, 2004; Calkins, 2005).
Ekhokardiografi
Meski pemeriksaan ini digunakan secara luas pada evaluasi penderita sinkop, hanya sedikit penelitian yang mendukung penggunaanya pada penderita dengan pemeriksaan fisik serta EKG yang normal. Salah satu tujuan dari pemeriksaan ekhokardiografi adalah stratifikasi resiko penderita dengan mengekslusi kemungkinan kelainan jantung tersembunyi yang tidak tampak setelah dilakukan ananmesa, pemeriksaan fisik serta EKG. Kondisi dimana ekhokardiografi dapat menjadi alat diagnostik dari penyebab sinkop adalah obsrtuksi outflow ventrikel kiri yang berat serta miksoma atrium ( Brignole, 2004; Calkins, 2005 ).
Tes Elektrofisiologi
Tes ini dapat memberikan informasi diagnostik dan prognostik yang penting pada penderita dengan episode sinkop. Hasil elektrofisiologi dapat menegakkan diagnosis dari Sick Sinus Syndrome, hipersensitivitas sinus karotis, blok konduksi jantung, takikardi supraventrikular serta takikardi ventrikel. Tes elektrofisiologi dapat dilakukan melalui metode non invasif dengan elektrofisiologi transesofageal atau melalui elektrofisiologi invasif. Sekitar 70 persen penderita sinkop yang dikirim untuk menjalani elektrofisiologi ternyata menunjukkan respon yang normal dimana hal ini erat hubungannnya dengan rendahnya resiko kematian mendadak karena jantung ( Brignole, 2004; Calkins, 2005 ).
Tes Adenosin Trifosfat ( ATP Test )
Injeksi intravena Adenosin Trifosfat (ATP) akhir-akhir ini digunakan sebagai alat bantu diagnostik pada penderita sinkop tanpa penyebab yang jelas (Unexplained syncope). Pada penderita dengan Unexplained syncope, rangsangan pada reseptor purinergik oleh efek dromotropik kuat pada nodus AV menyebabkan pemanjangan henti ventrikel karena adanya blok AV yang diperkirakan bertanggung jawab terhadap terjadinya serangan sinkop spontan.
Monitoring Holter
Monitoring EKG secara kontinyu menggunakan Holter banyak digunakan pada pasien dengan sinkop. Informasi tentang EKG yang didapatkan saat terjadinya sinkop sangat berharga karena dapat menegakkan atau menyingkirkan penyebab aritmia pada sinkop. Akan tetapi karena kejadian sinkop
yang jarang serta sporadis membuat nilai diagnostik monitor Holter pada sinkop dan presinkop hanya sekitar 4 %. Pemeriksaan Holter diindikasikan pada penderita sinkop dengan penyebab aritmia jantung berdasarkan data dari riwayat klinis, EKG yang abnormal serta adanya penyakit jantung struktural. Penggunaan Holter sangat membantu menegakkan diagnosa bila digunakan pada penderita sinkop yang sering mengalami episode sinkop maupun presinkop (contohnya episode harian).
Signal-Avaraged Electrocardiography
Signal-Averaged Electrocardiography (SAECG) merupakan teknok non invasif yang digunakan untuk mendeteksi sinyal amplitudo rendah pada bagian terminal dari komplek QRS (potensial akhir) yang merupakan bagian dari terjadinya aritmia ventrikel. Berbeda dengan EKG, peran dari SAECG dalam evaluasi pasien dengan sinkop masih belum sepenuhnya tegak. Pada sebuah studi dengan populasi yang terpilih, dilaporkan bahwa SAECG memiliki sensitivitas 73-89% dan spesifisitas 89-100% untuk memprediksi terjadinya VT pada pasien dengan sinkop. Meskipun hasil tersebut cukup menjanjikan tetapi belum ada studi lain yang mengevaluasi peran SAECG pada populasi acak. Hingga saat ini SAECG masih belum direkomendasikan menjadi bagian standar evaluasi penderita sinkop. Salah satu penggunaan penting SAECG saat ini adalah untuk evaluasi penderita dengan kecurigaan Arrhythmogenic Right Ventricular Dysplasia (ARVD).
Selain pemeriksaan penunjang yang disebut diatas, masih terdapat banyak alat maupun metode evaluasi penunjang diagnosis serta untuk menentukan kausa dari sinkop antara lain evaluasi sistim saraf serta psikiatrik, Elektroensefalografi, Event recorders, Implantable Event Recorders, Exercise testing serta Kateterisasi dan Angiografi jantung (Brignole, 2004; Calkins, 2005; Ludwig, 2007 ).
Pendekatan Evaluasi Penderita Sinkop
Berikut adalah diagram tentang alur evaluasi penderita dengan kehilangan kesadaran sesaat yang di rekomendasikan oleh European Society of Cardiology Task Force on Syncope.
Tatalaksana penderita sinkop sangat tergantung dari diagnosis yang dibuat, hal ini dikarenakan begitu banyak kausa dari sinkop sehingga banyak modalitas terapi yang dapat digunakan baik terapi latihan, medikamentosa hingga intervensi dengan menggunakan alat bantu (Brignole, 2004; Calkins, 2005; Ludwig, 2007). Sebagai contoh, penderita sinkop yang berhubungan dengan blok AV serta Sick Sinus Syndrome mungkin membutuhkan pemasangan alat pacu jantung permanen, sementara sinkop karena sindroma WPW membutuhkan terapi ablasi untuk mengatasi gangguan yang muncul dan sinkop yang berhubungan dengan timbulnya takikardi ventrikel (VT) dapat memperoleh manfaat dari pemasangan Implatable Defibrilator.Akan tetapi tidak semua penderita yang mengalami sinkop membutuhkan terapi. Pada kondisi sinkop vasovagal yang terjadi karena faktor pencetus yang jelas seperti ketakutan, kesedihan, maka terapi khusus tidak dibutuhkan (Calkins, 2005; Ludwig, 2007).
Pada sinkop neurokardiogenik atau vasovagal sinkop dengan serangan berulang membutuhkan intervensi medis. Intervensi dapat berupa edukasi penderita untuk menghindari faktor pencetus termasuk panas yang berlebihan, dehidrasi, alkohol serta penggunaan vasodilator. Penderita juga diminta untuk segera berbaring saat mulai merasakan gejala prodromal. Kontraksi isometrik dari otot-otot tangan, kaki serta gluteal mungkin dapat membatalkan serangan sinkop dengan jalan meningkatkan venous return. Terapi farmakologis diindikasikan pada penderita dengan episode sinkop yang mendadak, berulang dan tidak dapat diprediksi dimana penderita memiliki pekerjaan yang dapat mengakibatkan kecelakaan bila terjadi sinkop. Penggunaan α-agonis (termasuk midodrine) serta penghambat penyerap serotonin yang selektif ( termasuk paroxetine ) terbukti efektif untuk terapi sinkop neurokardiogenik. Golongan penyekat beta juga banyak digunakan, tetapi data terbaru menunjukkan tidak didapatkan perbedaan antara metoprolol dengan plasebo pada terapi sinkop vasovagal ( Ludwig, 2007 ).
Penggunaan pacu jantung sebagai terapi pada sinkop vasovagal masih menjadi perdebatan. Sejak awal tahun 1990 an, pacu jantung telah digunakan sebagai salah satu terapi pada pasien dengan sinkop vasovagal yang memenuhi kriteria oleh British Pacing Electrophysiology group. Beberapa studi menyatakan keuntungan penggunaan pacu jantung pada penderita sinkop vasovagal diantaranya Vasovagal Pacemaker Study (VPS-1), Vasovagal Syncope International Study (VASIS) serta Syncope Diagnosis and Treatment Study. Pada VPS-1 didapatkan hasil penurunan signifikan pada timbulnya sinkop pada mereka yang mendapatkan pacu jantung dibandingkan terapi farmakologis. Meski ketiga studi diatas menunjukkan keuntungan penggunaan pacu jantung tetapi karena ketiganya merupakan studi open-label maka efek plasebo dari alat pacu jantung tidak dapat dihilangkan ( Wijesekera, 2002 ) .
Penderita sinkop orthostatik membutuhkan hidrasi yang adekuat. Perlu juga dipikirkan pemeriksaan fungsi adrenal lebih lanjut meski kondisi ini jarang menyebabkan sinkop ortostatik. Pemberian suplemen 120 mmol natrium ( setara 7 gram garam ) sehari dapat meningkatkan tekanan darah serta volume plasma. Latihan ortostatik ( berdiri 10 hingga 30 menit dengan bersandar pada tembok ) dapat mendesensitisasi penderita terhadap stres ortostatik ( Ludwig, 2007 ).
Sinkop karena hipersensitifitas sinus karotis dapat diatasi dengan menghentikan obat-obatan yang mencetuskan bradikardi serta hipotensi. Hindari juga penekanan pada sinus karotis ( seperti menggunakan baju dengan kerah yang ketat, bercukur ). Penggunaan pacu jantung juga dapat dipertimbangkan untuk mengatasi tipe kardioinhibitor dari sindroma sinus karotis ( Ludwig, 2007 ).
RINGKASAN
Sinkop merupakan problem klinis yang cukup menantang selain karena menimbulkan masalah sosial ekonomi, diagnosis serta menentukan kausa dari sinkop membutuhkan kecermatan dan seringkali melibatkan konsultasi serta kerjasama dengan disiplin ilmu lain. Secara garis besar sinkop terjadi karena adanya gangguan aliran darah ke otak ( hipoperfusi serebral ) dimana banyak hal yang dapat menyebabkan terjadinya kondisi ini antara lain karena faktor vaskular, kardiak, neurologis, metabolik serta sebab-sebab lain yang belum diketahui. Untuk mendiagnosis sinkop diperlukan anamnesis serta
pemeriksaan fisik yang cermat serta didukung dengan pemeriksaan penunjang yang tepat seperti EKG, ekhokardiografi, tes elektrofisiologi dan yang lainnya. Terapi dari sinkop dapat berupa terapi latihan, terapi medikamentosa atau farmakologis serta terapi intervensi dengan menggunakan alat bantu seperti pacu jantung untuk mengatasi sinkop secara adekuat.
Daftar Pustaka
Binder WD, Fifer MA, King ME, Stone JR ( 2005 ). Case 26-2005: A 48-Year-Old Man with Sudden Loss of Conciousness while Jogging. N Engl J Med; 353: 824-32.
Brignole M, et al ( 2004 ). Task Force on Syncope, European Society of Cardiology: Guidelines on Management ( Diagnosis and Treatment ) of Syncope – Update 2004. Europace 6: 467-537
Calkins H, Zipes DP ( 2005 ). Hypotension and Syncope. In: Braunwald’s Heart Disease A Textbook of Cardiovascular Medicine 7th ed. Editors: Zipes DP, Libby P, Bonow RO, Braunwald E. Elsevier Saunders, Philadelphia, pp: 909-919.
Dave J, Gaziano JM ( 2007 ). Syncope. www.emedicine.com . [ diakses tanggal 12 September 2007 ].
Grubb BP ( 2005 ). Neurocardiogenic Syncope. N Engl J Med; 352: 1004-10.