Top Banner
BAB 1 PENDAHULUAN Pada suatu kehamilan, cairan amnion yang mengisi kantung amnion memiliki berbagai fungsi penting. Cairan ini menjadi bantalan bagi fetus, melindungi dari trauma, membantu menjaga suhu, mempunyai fungsi nutrisional, serta mengandung faktor-faktor pertumbuhan. Saat proses persalinan, apabila bagian presentasi janin tidak berada pada segmen bawah uterus, cairan amnion akan membuka serviks melalui kerja hidrostatiknya 1,2 . Pada trimester pertama, cairan amnion hanya merupakan ultrafiltrat dari plasma ibu. Sejak trimester kedua, cairan ini sudah merupakan ultrafiltrat plasma janin dan dapat pula ditemukan sel- sel kulit janin yang berdeskuamasi. Mulai usia kehamilan 20 minggu, cairan amnion juga mengandung urin janin, cairan paru-paru, urea, kreatinin, asam urat, vernix, dan lanugo. Dengan bertambahnya usia kehamilan, osmolalitas cairan amnion akan berkurang. 1,2 Pada keadaan normal, volume cairan amnion terus meningkat antara usia kehamilan 14 hingga 31 minggu, kemudian berkurang hingga mencapai volume normal 800- 1000 ml pada saat aterm. Jika kehamilan bertambah panjang, volume cairan amnion malah dapat lebih berkurang lagi. Salah satu cara mengendalikan volume 1
42

Lapsus Polihidramnion2

Oct 24, 2015

Download

Documents

Tary Brahmantra

poli
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Lapsus Polihidramnion2

BAB 1

PENDAHULUAN

Pada suatu kehamilan, cairan amnion yang mengisi kantung amnion memiliki

berbagai fungsi penting. Cairan ini menjadi bantalan bagi fetus, melindungi dari

trauma, membantu menjaga suhu, mempunyai fungsi nutrisional, serta

mengandung faktor-faktor pertumbuhan. Saat proses persalinan, apabila bagian

presentasi janin tidak berada pada segmen bawah uterus, cairan amnion akan

membuka serviks melalui kerja hidrostatiknya1,2. Pada trimester pertama, cairan

amnion hanya merupakan ultrafiltrat dari plasma ibu. Sejak trimester kedua,

cairan ini sudah merupakan ultrafiltrat plasma janin dan dapat pula ditemukan sel-

sel kulit janin yang berdeskuamasi. Mulai usia kehamilan 20 minggu, cairan

amnion juga mengandung urin janin, cairan paru-paru, urea, kreatinin, asam urat,

vernix, dan lanugo. Dengan bertambahnya usia kehamilan, osmolalitas cairan

amnion akan berkurang. 1,2

Pada keadaan normal, volume cairan amnion terus meningkat antara usia

kehamilan 14 hingga 31 minggu, kemudian berkurang hingga mencapai volume

normal 800-1000 ml pada saat aterm. Jika kehamilan bertambah panjang, volume

cairan amnion malah dapat lebih berkurang lagi. Salah satu cara mengendalikan

volume cairan amnion yang paling penting adalah janin itu sendiri. Sejak trimester

kedua kehamilan, janin mulai menunjukkan kegiatan urinasi dan menelan cairan

amnion untuk mengimbangi cairan yang diproduksi oleh epitel amnion itu agar

tidak menumpuk terlalu banyak1,2,3.

1

Page 2: Lapsus Polihidramnion2

Polihidramnion adalah suatu keadaan dimana ditemukan cairan amnion

yang berlebih dalam uterus. Umumnya pasien dengan polihidramnion memiliki

insiden lebih tinggi terjadinya persalinan preterm dan juga dapat menimbulkan

komplikasi pada ibu dan bayi sehingga harus lebih diperhatikan dalam perawatan

baik itu sebelum, selama dan sesudah persalinan. Pada kehamilan yang

dipengaruhi oleh polihidramnion, sekitar 20% bayi lahir dengan kelainan

kongenital, dan umumnya prognosisnya buruk, sehingga perlu dipertimbangkan

untuk penanganan yang lebih lanjut di tempat pelayanan yang memiliki fasilitas

memadai3.

Kelainan yang paling sering menyertai kehamilan dengan polihidramnion

adalah kelainan kongenital sistem gastrointestinal, misalnya atresia atau obstruksi,

dan kelainan kongenital sistem saraf, misalnya anensefali. Kelainan-kelainan ini

akan menyebabkan janin tidak mampu mengendalikan cairan amnion dalam

kantongnya sehingga terjadi penumpukan cairan berlebih yang berujung pada

polihidramnion. Dari seluruh kejadian kongenital ini, atresia duodenum

merupakan jenis yang tersering dibanding atresia esofagus atau anensefali. Atresia

duodenum sudah dapat dideteksi sejak masa kandungan dengan adanya gambaran

double bubble pada USG. Kelainan kromosom, umumnya berupa trisomi, juga

sering menyertai polihidramnion dengan sebab yang tidak diketahui.

2

Page 3: Lapsus Polihidramnion2

Adanya kelainan kongenital dan kelainan kromosom tersebut di atas,

selain menyebabkan terjadinya polihidramnion, juga dapat menyebabkan

Pertumbuhan Janin Terganggu (PJT) atau Intra Uterine Growth Restriction

(IUGR), di mana berat janin berada di bawah persentil 10 pada umur kehamilan

normal yang diukur melalui USG. PJT ada yang bersifat simetris dan asimetris

tergantung dari faktor-faktor pencetus terjadinya PJT itu sendiri.

3

Page 4: Lapsus Polihidramnion2

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Polihidramnion

Polihidramnion adalah suatu keadaan dimana ditemukan cairan amnion yang

berlebih dalam uterus. Yang dimaksud dengan cairan berlebih di sini adalah jika

cairan amnion melebihi 2000 ml, indeks cairan amnion (Amniotic Fluid Index /

AFI) melebihi persentil 95 dari umur kehamilan, atau pada USG ditemukan

adanya deepest vertical pool atau vertical single pocket lebih dari 8 cm.1,2,4,5

Polihidramnion dapat bersifat akut yang terjadi mendadak dalam waktu beberapa

hari dan menimbulkan gambaran distensi yang nyata, atau dapat pula bersifat

kronis yang terjadi berangsur-angsur. Bagaimanapun sifatnya, komposisi cairan

pada polihidramnion serupa dengan cairan amnion biasa.1

2.2 Epidemiologi dan Klasifikasi

Kasus yang tersering diumpai adalah polihidramnion yang ringan dengan jumlah

cairan 2-3 liter sebanyak 80-85 %, 17 % sedang, dan 5 % yang berat.

Polihidramnion sering disertai dengan malformasi janin, khususnya malformasi

sistem saraf pusat dan traktus gastro intestrinal. Polihidramnion sering kita dapati

bersamaan dengan :

a.       Gameli atau hamil ganda (12,5 %)

b.      Hidrops Fetalis

c.       DM

d.      Toxemia gravidarum

Adapun klasifikasi polihidramnion sebagai berikut :

1. Ringan terdiri dari kantung-kantung yang berukuran vertikal 8-11

cm

2. Sedang mengandung bagian-bagian kecil dan berukuran 12-15 cm

3. Berat adanya janin mengambang bebas dalam kantung cairan

berukuran ≥ 16 cm

4

Page 5: Lapsus Polihidramnion2

2.3 Patofisiologi dan Etiologi

Secara umum, polihidramnion disebabkan oleh peningkatan produksi cairan

amnion, penurunan absorbsi cairan amnion, atau keduanya. Peningkatan produksi

cairan amnion umumnya disebabkan oleh peningkatan produksi urin janin,

misalnya pada keadaan ibu dengan DM, uremia (peningkatan glukosa dan urea

yang menyebabkan diuresis osmotik), sirkulasi janin hiperdinamik, twin-to-twin

transfusion syndrome, defisiensi hormon ADH, dan lain-lain. Di samping itu,

peningkatan produksi cairan amnion juga dapat berasal dari transudasi cairan otak

dari meningen yang terbuka pada kelainan anencephalus, atau bisa juga murni

karena produksi berlebih epitel amnion.2,4,5

Penurunan absorbsi cairan amnion terutama disebabkan oleh penurunan

jumlah cairan amnion yang diminum oleh janin. Penurunan kegiatan meminum

cairan amnion ini dapat disebabkan oleh terhambatnya aktivitas menelan,

misalnya pada keadaan kelainan kongenital sistem gastrointestinal (atresia

esophagus, atresia duodenum, obstruksi usus, dan lain-lain), kelainan kongenital

sistem saraf atau muskuloskeletal (anensefali, spina bifida, distrofi muskuler, dan

lain-lain), compressive pulmonary syndrome (efusi pleura, hernia diafragmatika,

rongga dada kecil dan lain-lain), atau fetal akinesia syndrome yang menyebabkan

absennya gerakan menelan. Selain sebab-sebab di atas, adanya kelainan

5

Page 6: Lapsus Polihidramnion2

kromosom, misalnya trisomi 21, trisomi 18, dan trisomi 13 juga dapat

menyebabkan polihidramnion.1,2,3,4

Walaupun etiologi tidak jelas, namun ada faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi terjadinya polihidramnion antara lain5 :

1.      Penyakit Jantung.

2.      Nefritis.

3.      Edema Umum (anasarka).

4.     Anomali kongenital (pada anak). Seperti anesefali, spina bifida,

atresia/ striktur esophagus dan duodenum, hidrosefalus dan struma bloking

esofagus.

5.      Simpul tali pusat.

6.      Diabetes Militus.

7.      Gemelli uniovular.

8.      Malnutrisi.

9.      Penyakit kelenjar hipofisis.

2.4 Gejala klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala klinis polihidramnion umumnya didominasi oleh gejala-gejala mekanis

yang murni disebabkan oleh distensi uterus berlebih yang menyebabkan

penekanan organ sekitar. Keluhan ibu yang terutama adalah rasa tidak nyaman di

perut, susah bernafas, dan sulit buang air kecil. Pada inspeksi dapat ditemukan

besar perut yang tidak sesuai dengan usia kehamilan, gejala dispnea pada ibu

akibat penekanan pada diafragma, dan pada beberapa kasus dapat ditemukan

edema khususnya pada ekstremitas bawah, vulva, dan dinding abdomen akibat

penekanan pembuluh darah vena besar oleh uterus. Palpasi janin akan sulit

dilakukan atau bahkan tidak bisa dilakukan sama sekali akibat ketegangan dinding

uterus dan abdomen yang sangat hebat. Begitu pula dengan auskultasi,

pemeriksaan denyut jantung janin akan sangat sulit dilakukan. Oliguri yang berat

dapat dijumpai apabila terjadi obstruksi ureter oleh uterus. Pada pemeriksaan

dalam (VT) selaput ketuban akan terasa tegang dan menonjol walaupun di luar

his.1,2,5

Pada polihidramnion akut maupun kronis, gejala-gejala umum yang

muncul sama. Akan tetapi, pada polihidramnion akut, akibat onset penumpukan

6

Page 7: Lapsus Polihidramnion2

cairan yang mendadak dan cepat, maka distensi mendadak tersebut dapat

menimbulkan gangguan dan rasa tidak nyaman atau malah nyeri yang cukup

serius bagi ibu. Polihidramnion akut ini umumnya muncul pada kehamilan muda,

sekitar bulan ke-4 atau ke-5, dengan rata-rata kecepatan peninggian fundus uteri

lebih dari 1 cm/hari dan sering terjadi pada twin-to-twin transfusion syndrome.

Sedangkan polihidramnion kronis umumnya terjadi perlahan-lahan dalam

hitungan minggu sampai bulan sehingga tubuh ibu dapat beradaptasi dan keluhan

yang muncul tidak menonjol. Polihidramnion kronik sering muncul pada usia

kehamilan lanjut.1,2,5

2.4.1 Penentuan volume cairan amnion

Saat ini dikenal beberapa cara penentuan volume cairan amnion berdasarkan

pemeriksaan USG :

1. Penilaian subyektif (visual)

2. Penilaian semikuantitatif (pengukuran diameter satu atau lebih kantung

amnion)

3. Kombinasi kedua cara tersebut di atas

 

Penilaian subyektif cairan amnion

 Volume cairan amnion relatif masih sedikit sampai kehamilan 22 minggu,

kemudian dengan makin bertambahnya usia kehamilan jumlahnya akan

meningkat secara progresif. Dalam pemeriksaan USG pada kehamilan

trimester III, biasanya selalu ada bagian dari abdomen janin yang menyentuh

dinding depan uterus dan terlihat kantung-kantung berisi cairan amnion,

terutama diantara bagian ekstremitas janin. Ekstremitas biasanya dalam sikap

fleksi. Anatomi janin dapat dilihat dengan cukup jelas.

Pada keadaan polihidramnion secara visual terlihat perbedaan yang nyata

antara ukuran janin dengan volume cairan amnion. Janin terlihat “berenang”

bebas di dalam cairan amnion. Tidak ada bagian dari abdomen janin yang

menyentuh dinding depan uterus. Pada polihidramnion yang ringan anatomi

janin terlihat lebih jelas. Pada hidramnion yang berat terlihat plasenta menipis

dan anatomi janin menjadi sulit dievaluasi oleh karena jarak antara janin dan

dinding depan abdomen semakin jauh.

7

Page 8: Lapsus Polihidramnion2

           

Penilaian semikuantitatif volume cairan amnion

1.  Pengukuran 1 kantung amnion

Pemeriksaan dilakukan dengan meletakkan probe USG tegak lurus

terhadap kontur dinding abdomen ibu, kemudian dicari kantung amnion

yang paling besar dan tidak berisi tali pusat atau organ janin (misalnya

ekstremitas). Pengukuran dilakukan terhadap diameter vertikal kantung.

 

 

Volume cairan amnion dianggap normal bila diameter kantung

amnion antara 2-8 cm. Bila diameter kantung kurang dari 2 cm disebut

oligodramnion; dan bila lebih dari 8 cm disebut polihidramnion.

Cara pengukuran lain diameter kantung amnion adalah mengukur

diameter vertical dan transversal, dan yang diambil nilainya adalah 8

Page 9: Lapsus Polihidramnion2

ukuran diameter yang lebih besar. Cara lainnya lagi adalah dengan

mengukur diameter rata-rata kantung amnion, yang diperoleh dari ukuran

vertikal, diameter transversal, dan diameter longitudinal kantung amnion.

2. Pengukuran indeks cairan amnion (ICA)

Pada teknik ini, uterus dibagi atas 4 kuadran yang dibatasi oleh linea nigra

dan garis tegak lurus terhadap linea nigra setinggi pusat. Berbeda dengan

teknik pengukuran 1 kantung amnion, pada pengukuran ICA kedudukan

probe USG adalah tegak lurus terhadap lantai (bukan terhadap dinding

abdomen ibu). Dilakukan pengukuran diameter vertical kantung amnion

yang terbesar pada masing-masing kuadran, kemudian hasilnya

dijumlahkan dan dinyatakan sebagai indeks cairan amnion

Nilai ICA normal adalah antara 5-20 cm. Bila ICA kurang dari 5 cm

disebut oligohidramnion, sedangkan bila ICA lebih dari 20 cm disebut

polihidramnion.

Penentuan volume cairan amnion berdasarkan ICA dianggap lebih baik

dibandingkan dengan teknik pengukuran 1 kantung amnion, berdasarkan bukti

:

1. Hasil pengukuran tetap akurat meskipun posisi janin asimetrik di dalam

uterus. Kesalahan dalam pengukuran ICA cukup kecil, yaitu sekitar

10%.

9

Page 10: Lapsus Polihidramnion2

2. Pengukuran  ICA lebih superior dalam mendiagnosis dan menentukan

klasifikasi derajat beratnya kelainan jumlah cairan amnion.

3. Gambaran  kurva regresi volume cairan amnion berdasarkan ICA lebih

mendekati keadaan yang sebenarnya.

2.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding

Diagnosis polihidramnion umumnya ditegakkan melalui gejala klinis dan

ultrasonografi (USG). Pembesaran uterus yang tidak sesuai umur kehamilan

disertai ketegangan dinding abdomen, kesulitan melakukan palpasi, serta kesulitan

mendengarkan denyut jantung janin merupakan petunjuk diagnostik utama

polihidramnion secara klinis. Melalui USG, dapat dipastikan adanya

polihidramnion, menyingkirkan diagnosis banding, memperkirakan etiologi, dan

memperkirakan jumlah cairan amnion. Akan tetapi penentuan jumlah cairan

amnion melalui USG masih sulit dilakukan, karena pemeriksaan USG sangat

subjektif dan tergantung oleh pemeriksa. Selain itu melalui USG 2 dimensi, masih

sulit dibedakan antara cairan amnion, plasenta, dan dinding uterus sehingga

hasilnya kurang akurat.

Kadang-kadang foto polos abdomen (BOF) dapat dilakukan. Akan tampak

daerah radiolusen yang luas di sekeliling skeleton janin yang tampak seperti

selubung kabur, yang menunjukkan banyaknya cairan. Terkadang bayangan

skeleton janin juga tampak tidak jelas. Dapat pula dilakukan amniografi dengan

menggunakan bahan kontras untuk memastikan adanya cairan. Kelebihan

amniografi ini adalah dapat menunjukkan kegiatan menelan pada janin.

Saat ini dengan tersedianya alat-alat canggih seperti USG 3 dimensi dan

MRI, penentuan polihidramnion semakin mudah dilakukan. Akan tetapi,

walaupun USG 3 dimensi dapat melihat rekonstruksi janin dan cairan amnion

dengan lebih baik, gerakan janin justru malah mengganggu pemeriksaan.

Sedangkan MRI, walaupun sangat akurat dalam mendeteksi adanya

polihidramnion, tapi juga tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin dalam

diagnosis karena memakan biaya, waktu, dan memerlukan tenaga ahli. Karena

alasan itulah hingga kini USG masih merupakan pilihan diagnosis

polihidramnion.1,2

10

Page 11: Lapsus Polihidramnion2

Bila seorang ibu datang dengan perut yang lebih besar dari kehamilan

yang seharusnya kemungkinan5 :

1. Hydramnion

2. Gemeli

3. Asites

4. Kista ovarii

5. Kehamilan beserta tumor

2.6 Penatalaksanaan

Polihidramnion dengan derajat ringan jarang memerlukan tindakan. Terkadang

polihidramnion derajat sedang juga dapat ditangani tanpa intervensi apapun. Akan

tetapi tetap harus dilakukan pengawasan yang ketat karena ibu dengan

polihidramnion cenderung melahirkan lebih cepat karena overdistensi uterus.

Tirah baring diperlukan untuk menurunkan kemungkinan kelahiran prematur.

Sedatif bisa diberikan jika ibu membutuhkan. Pemberian steroid bisa dilakukan

pada polihidramnion sedang atau berat untuk mempercepat maturitas paru-paru

janin untuk mengantisipasi kelahiran prematur.

Terapi medikamentosa berupa prostaglandin inhibitor baru-baru ini

terbukti dapat menurunkan volume cairan pada kasus-kasus selain kasus gangguan

menelan pada janin. Prostaglandin inhibitor, seperti indometasin dapat

mengurangi volume urin janin yang kemudian akan mengurangi volume cairan

amnion. Cara lain untuk menangani polihidramnion, terutama derajat berat, adalah

dengan amniosentesis atau mengeluarkan sebagian cairan amnion dengan

menggunakan kateter melalui dinding abdomen. Cairan yang dikeluarkan dalam

sekali amniosentesis tidak boleh terlalu banyak, tergantung dari jumlah cairan

amnion, dan harus dilakukan secara perlahan-lahan agar tidak menimbulkan

komplikasi seperti solusio plasenta. Cara ini dapat meringankan beban ibu dan

jika berespon baik dan tidak terjadi infeksi, dapat diulang beberapa kali dengan

tindakan aseptik yang memadai.1,6

2.7 Prognosis dan Komplikasi

Pada janin prognosisnya agak buruk (mortalitas + 50 %) terutama karena :

1. Kongenital anomali.

11

Page 12: Lapsus Polihidramnion2

2. Prematuritas.

3. Komplikasi karena kesalahan letak anak, yaitu pada letak lintang dan

tali pusat menumbung, dll.

4. Eritoblastosis.

5. Diabetes Melitus.

6. Solusio plasenta, kalau ketuban pecah tiba-tiba.

Pada Ibu, bisa terjadi komplikasi berikut :

1. Solusio Plasenta

2. Atonia uteri

3. Perdarahan post partum

4. Retensio plasenta

5. Syok

6. Kesalahan-kesalahan letak janin menyebabkan partus menjadi lama

dan sukar

 

2.8 Atresia Duodenum

Atresia duodenum merupakan atresia yang paling sering terjadi. Insidennya

adalah 1 dari 2500-5000 kelahiran hidup, dan 40% kasus terjadi pada kasus-kasus

trisomi 21 atau sindrom Down. Satu-satunya tindakan yang dapat dilakukan

adalah pembedahan, yaitu duodenoduodenostomi, dan sebaiknya dilakukan pada

saat-saat baru lahir. Kelainan ini disebabkan oleh kesalahan pembentukan

duodenum yang dapat disebabkan oleh proliferasi endodermal yang tidak adekuat

(proliferasi pemanjangan usus yang berlebihan) atau dapat juga disebabkan oleh

kegagalan rekanalisasi epitel solid cord (kegagalan vakuolasasi).

Atresia duodenum dapat dideteksi sebelum maupun setelah lahir.

Diagnosis sebelum lahir bisa didapatkan melalui pemeriksaan USG rutin, maupun

kecurigaan adanya kelainan kongenital sistem gastrointestinal pada ibu dengan

polihidramnion. Polihidramnion dapat dijumpai pada 50% kasus atresia

duodenum.

Pada pemeriksaan USG sebelum lahir didapatkan gambaran double bubble

yang merupakan lambung dan duodenum proksimal yang berdilatasi dan terisi

cairan. Gelembung pertama adalah lambung, sedangkan gelembung kedua adalah

12

Page 13: Lapsus Polihidramnion2

duodenum bagian proksimal yang mengalami dilatasi. Gambaran double bubble

juga dapat dijumpai pada stenosis duodenum, tetapi lebih jarang.

Atresia duodenum yang didiagnosis pada saat setelah kelahiran umumnya

berdasarkan tanda-tanda adanya obstruksi intestinal bagian atas. Gejala yang khas

terdapat pada atresia duodenum adalah muntah-muntah beberapa jam setelah

kelahiran. Muntah tersebut umumnya berwarna hijau dan mengandung empedu

(bilious), tapi 15% kasus atresia terjadi di bagian proksimal dari ampula Vater

sehingga muntah bersifat non-bilious. Bayi dengan atresia duodenum akan

memiliki scaphoid abdomen yang khas, karena bagian epigastrik yang penuh

akibat dilatasi lambung dan duodenum proksimal. Pengeluaran mekonium dalam

24 jam pertama nampak normal, tetapi kemudian bisa terjadi dehidrasi, penurunan

berat badan, dan ketidakseimbangan elektrolit. Pemberian cairan secara IV sangat

penting dilakukan untuk mencegah terjadinya alkalosis metabolik akibat

hipokalemia atau hipokloremia dan asiduria.7,8

2.9 Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT)

Definisi dari PJT atau yang dikenal juga dengan IUGR (Intra Uterine Growth

Restriction) adalah berat janin yang berada di bawah persentil 10 pada umur

kehamilan normal yang diukur melalui USG. Ada dua tipe dari PJT, yaitu9,10:

1. Simetrik atau PJT primer seluruh organ dalam berkurang dari segi

ukuran. Terdapat 20%-25% dari seluruh kasus PJT, biasanya terjadi

pada kelainan-kelainan kromosom, infeksi-infeksi kongenital, atau

pengaruh ekstrinsik pada awal masa kehamilan.

2. Asimetrik atau PJT sekunder kepala dan otak dalam ukuran normal,

namun abdomen lebih kecil (karena ukuran hepar kurang), ekstremitas

kurus kering (karena masa otot kurang), dan kulit tipis (karena jaringan

lemak kurang). Hal ini terjadi karena merupakan mekanisme

kompensasi terhadap aliran darah dan suplai energi yang berkurang,

sehingga darah lebih dialirkan ke organ-organ vital. Keadaan ini terjadi

pada kasus-kasus insufisiensi plasenta, ibu malnutrisi, atau pengaruh

ekstrinsik pada akhir masa kehamilan. Jika suatu PJT asimetris

berlangsung lama, janin isa menjadi PJT simetris. Karena ukuran

13

Page 14: Lapsus Polihidramnion2

kepala normal, umumnya PJT tipe ini tidak terdeteksi sampai dengan

trimester 3.

Adapun kehamilan yang memiliki faktor risiko untuk terjadinya PJT adalah9 :

1. Berat ibu kurang dari 45 kg

2. Nutrisi yang buruk selama kehamilan

3. Adanya birth defects atau kelainan kromosom

4. Penggunaan obat-obatan, rokok dan alcohol

5. Kehamilan yang menginduksi hipertensi

6. Abnormalitas plasenta, umbilical cord

7. Kehamilan multipara

8. Diabetes Gestasional

9. Oligohidramnion

Hal yang terpenting dalam mendiagnosis PJT adalah memastikan umur

kehamilan. Dimana dapat diukur melalui HPHT dan juga melalui pemeriksaan

USG. Setelah umur kehamilan telah didapatkan, ada beberapa metode yang dapat

dikerjakan untuk mendiagnosis PJT, yaitu9,10 :

1. Tinggi fundus yang tidak sesuai dengan umur kehamilan (umumnya

beda tinggi fundus sebesar 4 cm atau lebih merupakan kecurigaan

IUGR)

2. Ketidaksesuaian umur kehamilan setelah dilakukan pemeriksaan

dengan USG

3. Abnormalitas denyut jantung janin

Selain itu harus dilakukan pemeriksaan kondisi ibu untuk menemukan keadaan

yang berkaitan dengan terjadinya PJT. Demikian pula harus dilakukan USG atau

jika memungkinkan juga dilakukan pemeriksaan kariotip untuk mendeteksi

adanya kelainan kongenital atau kelainan kromosom yang juga dapat

mempengaruhi terjadinya PJT. Beberapa tes antenatal juga dapat ditambahkan,

antara lain10,11:

1. Non-Stress Test (NST) : merupakan tes yang paling mudah dikerjakan,

yaitu dengan menghubungkan denyut jantung janin dengan gerakan janin

14

Page 15: Lapsus Polihidramnion2

2. Profil biofisik : merupakan gabungan antara NST dengan 4 parameter

USG (volume cairan amnion, pergerakan pernafasan, pergerakan tubuh

and tonus otot janin)

3. Pemeriksaan Doppler arteri umbilikalis : dapat memberikan informasi

mengenai index resistensi arteri umbilikalis

4. Oxytocin Challenge Test

Penatalaksanaan PJT harus dilakukan secara individu pada tiap pasien,

menyangkut kemungkinan pencetus terjadinya PJT. Jika faktor ibu berperan,

penatalaksanaan dapat dimulai dengan cara memodifikasi faktor pencetus

tersebut, misalnya mempebaiki asupan pada ibu malnutrisi, mengurangi bahan-

bahan toksik masuk ke dalam tubuh ibu seperti rokok dan alkohol, dan lain-lain.

Secara umum penatalaksanaan pada PJT antara lain9,10,11 :

1. Tirah baring diperlukan untuk memaksimalkan aliran darah ke uterus.

Tirah baring ini dapat dilakukan di rumah ataupun di rumah sakit

dengan efektifitas yang sama.

2. Bila umur kehamilan 32 minggu atau lebih, disarankan untuk

menginduksi persalinan.

3. Bila umur kehamilan kurang dari 32 minggu, dilakukan monitoring

sampai dengan umur kehamilan 32 minggu, dimana yang perlu

dimonitor adalah kesejahteraan janin dan jumlah cairan amnion.

Apabila salah satu dari hal tersebut mengalami gangguan disarankan

terminasi kehamilan.

4. Apabila dicurigai paru-paru janin belum matur, dapat diberikan steroid

untuk mempercepat maturitas paru-paru janin.

5. ANC disarankan setiap 2-6 minggu sampai persalinan.

6. Pemberian aspirin pada PJT masih menjadi kontroversi hinggai kini.

Pemberian aspirin harus pada kehamilan di bawah 20 minggu. Jika

pemberian dilakukan pada trimester ketiga, aspirin tidak akan

bermanfaat.

7. Saat ini pemberian suplemen seng (Zn), minyak ikan, dan terapi

oksigen dapat diberikan pada ibu dengan PJT.

15

Page 16: Lapsus Polihidramnion2

BAB 3

LAPORAN KASUS

16

Page 17: Lapsus Polihidramnion2

3.1 Identitas

Nama : NWBS

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 30 tahun

Status : Menikah

Agama : Hindu

Suku bangsa : Bali

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Alamat : Laud, Blahbatuh Gianyar

Tanggal MRS : 2 Februari 2009

3.2 Anamnesis

Keluhan Utama : sakit perut hilang timbul

Perjalanan penyakit :

Pasien mengeluh sakit perut hilang timbul sejak pukul 20.30 (1/2/2009), keluar air

tidak ada, keluar lendir campur darah tidak ada, gerak anak baik.

HPHT : 24/5/2008

TP : 3/3/2007

ANC : Teratur di bidan , USG (+) 1 kali umur kehamilan 6 bulan, dalam batas

normal.

Riwayat Menstruasi : Menarche : 13 tahun

Siklus : 30 hari

Lamanya haid : 3-5 hari

Riwayat Perkawinan : Pasien menikah 1x selama 8 tahun

Riwayat Persalinan :

1. ♀, 3300 gram, spontan, bidan, 7 tahun

2. ♀, 3000 gram, spontan, bidan, 3 tahun

3. ini

Riwayat Kontrasepsi : Pasien menggunakan KB suntik 3 bulanan setelah

melahirkan anak kedua, berhenti ± 1 tahun yang lalu

Riwayat penyakit dahulu :

17

Page 18: Lapsus Polihidramnion2

Hipertensi sebelumnya (-)

Diabetes mellitus (-)

Riwayat penyakit jantung (-)

Asma (-)

Alergi (-)

3.3 Pemeriksaan Fisik

Status Present

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis (GCS: E4V5M6)

Tanda Vital : Tekanan darah 120/80 mmHg

Nadi 84x / menit

Napas 20x / menit

Suhu 36,5 oC

Berat badan : 50 kg

Tinggi badan : 160 cm

Status Generalis

Mata : Anemis ( -/- ), Ikterus ( -/- ), Reflek pupil

(+/+),isokor

Jantung : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)

Paru : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

Abdomen : ~ Status Obstetrikus

Ekstremitas : Akral hangat, odem (-)/(-)

Status Obstetrikus

Pemeriksaan luar:

Wajah : Kloasma gravidarum (-)

Mamma : Hiperpigmentasi pada areola mamma +/+

Abdomen : Inspeksi : Tampak perut membesar kedepan, tampak ada

striae

gravidarum, Tidak tampak adanya parut bekas

operasi SC

Palpasi : (Pemeriksaan Leopold)

18

Page 19: Lapsus Polihidramnion2

L I : FUT 3 jari bpx (33 cm), teraba bagian bulat

dan lunak (kesan bokong)

L II : Teraba tahanan keras disisi perut kiri

(kesan punggung) dan bagian kecil di

sebelah kanan.

L III : Teraba bagian bulat dan keras dan mudah

digerakkan (kesan kepala)

L IV : Bagian bawah janin belum masuk bagian

pintu atas panggul (penurunan kepala 5/5)

His (+) lemah, jarang

Auskultasi : DJJ terdengar paling keras di sebelah kiri bawah

umbilikus (12.11.12)

Pemeriksaan dalam:

VT (22.30 WITA) : PØ 2 jari, eff 25 % Ketuban (+)

Teraba kepala, denominator belum jelas, ↓

H I (-)

Tidak teraba bagian kecil / tali pusat.

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Pemeriksaan Satuan

DARAH RUTIN

WBC 21,8 103/µL

HGB 11,2 gr/dl

PLT 184 103/µL

BT 3’40” -

CT 6’56” -

NST

Kesimpulan ~ suspisius

19

Page 20: Lapsus Polihidramnion2

USG

- Janin T/H, letak kepala, FHB (+)

- BPD 88,3 ~ 35W+5D

- HC 310,5 ~ 34W+5D

- AC 282,5 ~ 32W+3D

- FL 63,3 ~ 32W+5D

- GAm ~ 33W+6D

- EFW 2029 gram

- AFI I : 9,94

II : 11,78

III : 8,58

IV : 11,52

Total AFI : 41,82

USG Konfirmasi :

- Janin T/H, letak kepala, FHB (+)

- BPD 82,0 ~ 33W

- HC 300 mm

- AC 297,4 mm

- FL 52 mm

- EFW 1851 gram

- SVP = 13,2 cm

- HA/AC ratio = 1,0087

Anomaly Scan

- Kelainan kepala : (-)

- Kelainan wajah : belum dapat dikonfirmasi

- Kelainan leher : (-)

- Thoraks : kelainan (-)

- Abdomen : Double bubble (+)

Omphalocele (+)

3.5 Diagnosis

G3P2002, 35-36 minggu, T/H, Polihidramnion, susp PJT (tipe simetrik) +

kelainan kongenital (susp atresia duodeni) pbb

20

Page 21: Lapsus Polihidramnion2

3.6 Resume

Pasien 30 tahun, G3P2002, 35-36 minggu, T/H, Polihidramnion, susp PJT (tipe

simetrik) + kelainan kongenital (susp atresia duodeni) datang ke RSU

Sanjiwani Gianyar dengan keluhan sakit perut hilang timbul sejak pukul

20.30 (1/2/2009), keluar air tidak ada, keluar lendir campur darah tidak ada,

gerak anak baik. Pasien melakukan ANC teratur di bidan, USG (+) 1 kali

umur kehamilan 6 bulan, dalam batas normal. Berat badan meningkat sesuai

dengan umur kehamilan.

Riwayat hipertensi, diabetes mellitus , asma, jantung disangkal.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan TD 120/80 mmHg, Nadi 84x/menit,

respirasi 20x/menit. Status general dalam batas normal.

Dari status obstetrikus didapatkan FUT 3 jari bpx (33cm), His (+)lemah,

jarang, DJJ (+) 12.11.12. Pada pemeriksaan dalam didapatkan PØ 2 jari, eff

25% Ketuban (+), teraba kepala denominator belum jelas ↓ H I (-) Tidak

teraba bagian kecil / tali pusat.

Dari hasil pemeriksaan laboratorium Darah Lengkap didapatkan WBC 21,8

K/UL .

NST didapatkan hasil suspisius. USG didapatkan polihidramnion, PJT tipe

simetrik dan kelainan kongenital susp.atresia duodeni.

3.7 Penatalaksanaan

Rencana diagnosis : (-)

Rencana Terapi

Rujuk untuk persalinan RS Rujukan (RSUP)

- MRS

- SF 2x1 tab

Monitoring

Observasi keluhan, denyut jantung janin, tanda vital.

Edukasi

KIE penderita dan keluarga tentang rencana perawatan

21

Page 22: Lapsus Polihidramnion2

3.8 Catatan Kemajuan dan Laporan Partus

3 Februari 2009

Pukul 02.00 Wita Evaluasi

His (+) 2x/ 10’ ~ 15-20” DJJ (+) 12.11.12

VT : PØ 2 cm, eff 25 %, Ketuban (+)

Teraba kepala, denom belum jelas, ↓ H I (-)

Tidak teraba bagian kecil / tali pusat.

Ass : G3P2002, 35-36 minggu, T/H, Polihidramnion, susp PJT (tipe simetrik) +

kelainan kongenital (susp atresia duodeni)

Pukul 06.00 Wita Evaluasi :

His (+) 2-3x/ 10 menit ~ 25-30 detik, DJJ (+) 12.12.12

VT : P Ø 3 cm, eff 25%, Ketuban (+)

Teraba kepala, denom belum jelas, ↓ H I,

Tidak teraba bagian kecil/tali pusat.

Ass : G3P2002, 35-36 minggu, T/H, Polihidramnion, susp PJT (tipe simetrik) +

kelainan kongenital (susp atresia duodeni)

Pukul 10.00 Wita Evaluasi :

His (+) 3-4x/ 10 menit ~ 30-40 detik, DJJ (+) 13.11.12

VT : P Ø 4 cm, eff 50%, Ketuban (+)

Teraba kepala, UUK depan, ↓ H I,

Tidak teraba bagian kecil/tali pusat.

Ass : G3P2002, 35-36 minggu, T/H, Polihidramnion, susp PJT (tipe simetrik) +

kelainan kongenital (susp atresia duodeni) + PK I

Tx : Exp. Pervaginam, SF 2x1 tab

Mx : Kelola ~ partograf WHO, observasi keluhan, denyut jantung janin, tanda

vital.

Pukul 14.00 Wita Evaluasi :

His (+) 4x/ 10 menit ~ 35-40 detik, DJJ (+) 12.12.13

VT : P Ø 8 cm, eff 75%, Ketuban (+)

Teraba kepala, UUK depan, ↓ H II (+),

Tidak teraba bagian kecil/tali pusat.

22

Page 23: Lapsus Polihidramnion2

Ass : G3P2002, 35-36 minggu, T/H, Polihidramnion, susp PJT (tipe simetrik) +

kelainan kongenital (susp atresia duodeni) + PK I

Pukul 16.30 Wita

Pasien ingin mengedan evaluasi :

His (+) 4-5x/ 10 menit ~ 40-45 detik, DJJ (+) 11.12.12

VT : P Ø lengkap, Ketuban (+)

Teraba kepala, UUK depan, ↓ H III (+),

Tidak teraba bagian kecil/tali pusat.

Ass : G3P2002, 35-36 minggu, T/H, Polihidramnion, susp PJT (tipe simetrik) +

kelainan kongenital (susp atresia duodeni) + PK II

Tx : Amniotomi jernih ± 3000 cc

Pimpin persalinan

Laporan Partus

Pukul 16.40 Wita lahir bayi ♂, BB 1500 gram, AS 1-3, anus (+), kelainan

kongenital (-) susp atresia duodeni Rawat perinatologi.

Pukul 16.45 Wita lahir plasenta, kesan komplit, kalsifikasi (-)

Evaluasi : Kontraksi uterus (+) baik, Perdarahan pada kala III dan IV ± 200 cc,

perdarahan aktif (-), luka jalan lahir (+) laserasi derajat II hecting.

Ass : P2103 P spt B PP hr 0

Tx :

Amoksisilin 3x500mg

Asam mefenamat 3x500mg

Metil ergometrin tab 3x1

Biosanbe tab 2x1

Mx : Observasi keluhan, vital sign.

KIE : Pasien dan keluarga.

Observasi 2 jam Post Partum

WAKTU TENSI NADI KONTRAKSI PERDARAHAN

23

Page 24: Lapsus Polihidramnion2

(mmHg) (kali/mnt) UTERUS AKTIF

Pk. 17.00 110/70 88 (+) baik (-)

Pk. 17.15 110/80 84 (+) baik (-)

Pk 17.30 120/70 84 (+) baik (-)

Pk. 17.45 110/70 80 (+) baik (-)

Pk. 18.00 120/80 80 (+) baik (-)

Pk. 18.30 120/80 84 (+) baik (-)

Pk. 19.00 110/70 80 (+) baik (-)

3.9 Follow Up

4/2/2009 pukul 06.00 Wita

S : keluhan subyektif (-)

ASI (-), BAB (-), BAK (+)

O : St. present

TD : 110/80 mmHg, N: 80x/mnt, R: 18x/mnt

St. general

Mata : anemi -/-, ikterus -/-

Thorax : cor/po dbn

St. Obstetri

Abdomen : fut 2 jr bpst

Kontraksi (+) baik

BU (+) N

Vagina : perdarahan (-), Lochia (+) rubra

Ass : P2103 P spt B PP hr 1

Tx : - Amoksisilin 3x500mg

- Asam Mefenamat 3x500mg

- Metil ergometrin 3x1 tab

- Biosanbe 2x1 tab

Mx : Observasi keluhan, vital sign

KIE : - Mobilisasi

- KB PP

24

Page 25: Lapsus Polihidramnion2

- BPL kontrol poli kebidanan 1 minggu lagi

BAB 4

25

Page 26: Lapsus Polihidramnion2

PEMBAHASAN

Pasien perempuan, umur 30 tahun datang ke RSU Sanjiwani Gianyar dengan

keluhan sakit perut hilang timbul sejak pukul 20.30 (1/2/2009), keluar air

tidak ada, keluar lendir campur darah tidak ada, gerak anak baik. Pasien

melakukan ANC teratur di bidan, USG (+) 1 kali umur kehamilan 6 bulan,

dalam batas normal. Berat badan meningkat sesuai dengan umur kehamilan.

Riwayat hipertensi, diabetes mellitus , asma, jantung disangkal.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan TD 120/80 mmHg, Nadi 84x/menit,

respirasi 20x/menit. Status general dalam batas normal. Dari status

obstetrikus didapatkan FUT 3 jari bpx (33cm), His (+) lemah, jarang, DJJ

(+) 12.11.12. Pada pemeriksaan dalam didapatkan PØ 2 jari, eff 25%

Ketuban (+), teraba kepala denominator belum jelas ↓ H I (-) Tidak teraba

bagian kecil / tali pusat.

Dari hasil pemeriksaan laboratorium Darah Lengkap didapatkan WBC

21,8 K/UL. NST didapatkan hasil suspisius. USG didapatkan

polihidramnion, PJT tipe simetrik dan kelainan kongenital susp.atresia

duodeni.

Pasien ini didiagnosis dengan G3P2002, 35-36 minggu, T/H,

Polihidramnion, susp PJT (tipe simetrik) + kelainan kongenital (susp atresia

duodeni). Pasien didiagnosis polihidramnion berdasarkan pemeriksaan

penunjang USG yang menunjukkan adanya ICA > 20 cm. Berdasarkan

anamnesis tidak didapatkan keluhan yang menunjukkan tanda-tanda

penekanan uterus terhadap ibu sehingga kemungkinan yang terjadi pada

pasien adalah polihidramnion yang bersifat kronis. Diagnosis PJT pada

pasien ini juga ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG yang menunjukkan

perkiraan berat badan bayi sebesar 1857 gram yang berarti tergolong kecil

masa kehamilan dengan perbandingan lingkar kepala/lingkar abdomen yaitu

1,0087 menunjukkan PJT tipe simetrik. Pada USG juga didapatkan gambaran

double bubble sebagai petunjuk kelainan kongenital atresia duodenum yang

merupakan gambaran lambung dan duodenum proksimal yang berdilatasi dan terisi

cairan. Gambaran ini juga kadang didapatkan pada stenosis duodenum.

26

Page 27: Lapsus Polihidramnion2

Kelainan kehamian yang dialami diduga berasal dari kelainan kongenital yang

terjadi pada janin berupa atresia duodenum yang sering terjadi pada kasus-kasus

trisomi 21 atau sindrom Down (40%). Kelainan kongenital ini kemudian dapat

menyebabkan terjadinya polihidramnion melalui mekanisme penurunan absorbsi

cairan amnion terutama disebabkan oleh penurunan jumlah cairan amnion

yang diminum oleh janin akibat terhambatnya aktivitas menelan. Kelainan

kongenital (birth defects atau kelainan kromosom) ini menurut pustaka juga

erupakan salah satu penyebab dari kejadian PJT.

Pasien ini disarankan untuk rawat inap dengan tujuan tirah baring pada

pasien karena pada pasien ini mengalami polihidramnion kronik derajat berat

sekaligus untuk mengobservasi tanda-tanda in partu karena pasien telah

datang dengan pembukaan cervix 2 cm dan nyeri perut hilang timbul, dimana

menurut kepustakaan pada PJT dengan umur kehamilan lebih dari 34 minggu

sebaiknya dilakukan terminasi kehamilan.

BAB 5

27

Page 28: Lapsus Polihidramnion2

RINGKASAN

Pada suatu kehamilan, cairan amnion yang mengisi kantung amnion

memiliki berbagai fungsi penting. Cairan ini menjadi bantalan bagi fetus,

melindungi dari trauma, membantu menjaga suhu, mempunyai fungsi

nutrisional, serta mengandung faktor-faktor pertumbuhan. Polihidramnion

adalah suatu keadaan dimana ditemukan cairan amnion yang berlebih dalam

uterus. Umumnya pasien dengan polihidramnion memiliki insiden lebih

tinggi terjadinya persalinan preterm dan juga dapat menimbulkan komplikasi

pada ibu dan bayi sehingga harus lebih diperhatikan dalam perawatan baik

itu sebelum, selama dan sesudah persalinan.

Diagnosis polihidramnion umumnya ditegakkan melalui gejala klinis

dan ultrasonografi (USG). Pembesaran uterus yang tidak sesuai umur

kehamilan disertai ketegangan dinding abdomen, kesulitan melakukan

palpasi, serta kesulitan mendengarkan denyut jantung janin merupakan

petunjuk diagnostik utama polihidramnion secara klinis. Polihidramnion

dengan derajat ringan jarang memerlukan tindakan. Terkadang

polihidramnion derajat sedang juga dapat ditangani tanpa intervensi apapun.

Akan tetapi tetap harus dilakukan pengawasan yang ketat karena ibu dengan

polihidramnion cenderung melahirkan lebih cepat karena overdistensi uterus.

Adapun komplikasi yang sering terjadi pada ibu dan bayi dapat

menyebabkan kematian karena pada umumnya kasus polihidramnion dengan

komplikasi baik pada ibu dan bayi cenderung memiliki prognosis buruk.

28

Page 29: Lapsus Polihidramnion2

DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG, et al. Hidramnion. In: Ronardy DH (ed). Obstetri Williams (Wiliams Obstetrics). 18th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995.p. 652-656.

2. Rajiah P. Polyhydramnios. eMedicine 1996-2008. [last update July 13, 2006]. Available at: http://63.240.86.189/radio/TOPIC566.HTM. (Accessed: February 5, 2009).

3. Boyd RL, Carter BS. Polyhydramnios and Oligohydramnios. eMedicine 1994-2009. [updated: February 14, 2008]. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/975821-overview

4. Anonim. Pemeriksaan USG untuk Kehamilan 18-23 Minggu. Drnyol 2009. Available at: http://www.drnyol.info/index.php?option=com_content&view=article&id=53%3Akapan-saja-wanita-hamil-sebaiknya-periksa-us-&catid=43%3Afetomaternal&Itemid=73&limitstart=2. (Accessed: February 5, 2009).

5. Setiawan Y. Polihidramnion_Hidramnion dalam Kehamilan. Siaksoft Network. Available at: http://siaksoft.net/?p=476. (Accessed: February 5, 2009).

6. Boyd RL, Carter BS. Polyhydramnios and Oligohydramnios. eMedicine 1994-2009. [updated: February 14, 2008]. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/975821-treatment. (Accessed: February 5, 2009).

7. Calkins CM, Karrer F. Duodenal Atresia. eMedicine 1994-2009. [updated September 18, 2006]. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/932917-overview. (Accessed: February 5, 2009).

8. Miller FH, Laing FC. Duodenal Atresia. Bringham RAD 1994. Available at: http://brighamrad.harvard.edu/education/online/tcd/tcd.html. (Accessed: February 5, 2009).

9. Anonim. Intrauterine Growth Restriction (IUGR); Small for Gestational Age (SGA). American Pregnancy Association 2000-2004. [last update January, 2007]. Available at: http://www.americanpregnancy.org/prenataltesting/iugr.html. (Accessed: February 5, 2009).

10. Peleg D, et al. Intrauterine Growth Restriction: Identification and Management. American Family Physician 1998. Available at:

29

Page 30: Lapsus Polihidramnion2

http://www.aafp.org/afp/980800ap/peleg.html. (Accessed: February 9, 2009).

11. DeVore GR. What Treatment is Available. Fetal Diagnostic Centre. Available at: http://www.fetal.com/IUGR/treatment.html. (Accessed: February 9, 2009).

30