BAB I PENDAHULUAN Abortus didefinisikan sebagai ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. 1 Berdasarkan aspek klinisnya, abortus spontan dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu abortus imminens (threatened abortion), abortus insipiens (inevitable abortion), abortus inkomplit, abortus komplit, missed abortion, dan abortus habitualis (recurrent abortion), abortus servikalis, abortus infeksiosus, dan abortus septik. 1,2 Abortus inkomplit adalah pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih terdapat sisa jaringan tertinggal dalam uterus. Prevalensi abortus juga meningkat dengan bertambahnya usia, dimana pada wanita berusia 20 tahun adalah 12%, dan pada wanita diatas 45 tahun adalah 50%. 3 Delapan puluh persen abortus terjadi pada 12 minggu pertama kehamilan. 2 Penelitian-penelitian terdahulu menyebutkan bahwa angka kejadian abortus sangat tinggi. Sebuah penelitian pada tahun 1993 memperkirakan total kejadian abortus di Indonesia berkisar antara 750.000. dan dapat mencapai 1 juta per tahun dengan rasio 18 abortus per 100 konsepsi. Angka 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Abortus didefinisikan sebagai ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi
sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan
kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.1
Berdasarkan aspek klinisnya, abortus spontan dibagi menjadi beberapa
kelompok, yaitu abortus imminens (threatened abortion), abortus insipiens
(inevitable abortion), abortus inkomplit, abortus komplit, missed abortion, dan
dan pingsan disangkal. Sebelumnya pasien dikatakan hamil oleh bidan (25/07/12)
setelah menjalani tes kehamilan pada urin.
Berdasarkan riwayat menstruasi diketahui bahwa pasien amenorea yang
mengindikasikan bahwa pasien sedang hamil. Disamping itu telah dilakukan tes
urin kehamilan di bidan dan hasilnya dikatakan positif. Lebih lanjut, pasien
mengeluhkan adanya perdarahan pervaginam yang awalnya berupa flek-flek
berwarna merah dan encer, namun kemudian keluar gumpalan berwarna hitam
dan teraba keras yang merupakan tanda terlepasnya hasil konsepsi dari dinding
endometrium. Sedangkan nyeri perut pada bagian bawah yang hilang-timbul
mengindikasikan kontraksi uterus sebagai respon untuk mengeluarkan hasil
konsepsi tersebut.
Pasien tidak mengeluhkan perubahan daerah nyeri dari satu sisi kemudian
ke bagian tengah abdomen maupun nyeri bahu seperti yang lazim dijumpai pada
kasus kehamilan ektopik. Selain itu pasien tidak mengeluh mual atau muntah yang
merupakan salah satu gejala khas mola hidatidosa karena peningkatan kadar hCG,
ataupun mengeluhkan demam yang merupakan tanda infeksi.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status present dan general dalam batas
normal, pemeriksaan abdomen fundus uteri tidak teraba, nyeri tekan tidak ada,
tanda cairan bebas tidak ada, massa tidak ada. Pada inspikulo didapatkan
19
pembukaan OUE dan tampak jaringan. Dari pemeriksaan dalam didapatkan,
terdapat fluksus, pembukaan ostium uteri eksternum (OUE) dan tampak jaringan.
Diagnosis banding kasus ini meliputi abortus insipiens, kehamilan ektopik,
dan mola hidatidosa. Pada abortus insipiens telah terdapat pendataran dan dilatasi
ostium uteri, namun hasil konsepsi masih berada di dalam kavum uteri dan dalam
proses pengeluaran. Sedangkan berdasarkan anamnesis, didapatkan bahwa pasien
telah mengalami perdarahan pervaginam yang berisi gumpalan hitam padat dan
keras yang diduga merupakan campuran antara stolsel dan jaringan konsepsi.
Sementara itu kehamilan ektopik ditandai dengan nyeri perut yang luar
biasa apabila terjadi ruptur tuba. Adanya perdarahan yang masif dan mendadak
dapat menyebabkan distensi abdomen dan pasien jatuh ke dalam syok
hipovolemik yang dapat disertai dengan penurunan kesadaran. Selain itu, pada
kehamilan ektopik terdapat gejala khas berupa slinger pain, yakni nyeri yang
muncul saat serviks uteri berusaha digoyangkan. Seluruh gejala tersebut tidak
ditemukan pada pasien ini.
Dengan demikian, berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
dilakukan dapat ditegakkan diagnosis pasien tersebut adalah berupa abortus
inkomplit.
4.2 Etiologi.
Berdasarkan anamnesis kejadian abortus ini adalah kejadian yang kedua.
Sebelumnya, anak pertama pasien mengalami abortus pada usia kehamilan tiga
bulan. Sehingga karena hal tersebut pasien dapat digolongkan memiliki riwayat
obstetri yang buruk. Penyebab terjadinya abortus inkomplit pada pasien ini belum
dapat dipastikan namun kuat dugaan bahwa terdapat kelainan karotipe embrio,
mengingat lebih dari 50 persen kejadian abortus pada trimester pertama
disebabkan oleh kelainan sitogenetik (Wiknjosastro dkk, 2008). Pada literatur
disebutkan bahwa penyatuan dua kromosom yang abnormal dapat menyebabkan
abortus berulang dan bila didapatkan kelainan kariotipe pada kejadian abortus,
maka kehamilan berikutnya juga berisiko mengalami abortus.
Sementara itu penyebab lain yang dapat berperan adalah faktor lingkungan
seperti akibat dari paparan obat, bahan kimia (terutama rokok), atau radiasi, faktor
20
paternal, serta paparan obat-obatan dan toksin lingkungan. Disamping itu juga
perlu dipikirkan kemungkinan adanya gangguan pada uterus berupa kelainan
hormonal yang mempengaruhi endometrium, kelainan oleh karena faktor mekanik
(adanya mioma submukus) serta kelainan anatomis uterus.
4.3 Penatalaksanaan
Pada kasus ini pada saat pasien MRS keadaan umumnya stabil, dan tidak
didapatkan tanda-tanda syok. Oleh karena pada pemeriksaan fisik teraba massa
jaringan maka harus dilakukan evakuasi isi uterus dengan kuretase dan
selanjutnya diberikan medikamentosa berupa antibiotika, analgetika dan
uterotonika. Yang penting setelah tindakan adalah observasi dua jam setelah
kuretase untuk monitoring keluhan dan tanda-tanda vital. Maka dari itu adanya
komplikasi seperti perdarahan ringan sampai berat, infeksi, dan kelainan fungsi
pembekuan darah dapat dihindari.
Mengingat komplikasi tindakan ini cukup banyak, maka perlu dilakukan
dengan prosedur yang benar dan hati-hati untuk mengurangi resiko tersebut
seminimal mungkin.
Sebelum dilakukan dilatasi dan kuretase, ostium uteri perlu dipersiapkan
sehingga menjadi lunak dan terdilatasi, yakni menggunakan misprostol ¼ tablet
yang dimasukkan pada forniks posterior. Kemudian barulah dilakukan dilatasi dan
kuretase untuk mengeluarkan jaringan yang tersisa di dalam kavum uteri.
Keadaan pasien stabil dan diberikan pengobatan amoksisilin untuk terapi karena
tindakan yang invasif pada kuretase dapat menyebabkan infeksi, asam mefenamat
untuk mengurangi nyeri dan metil ergometrin untuk mempertahankan kontraksi
uterus yang mana berperan dalam mengurangi perdarahan. Sementara itu sulfat
ferosus diberikan untuk menambah cadangan zat besi yang diperlukan dalam
pembuatan sel darah merah, mengingat pasien ini telah kehilangan darah akibat
perdarahan.
KIE kepada pasien dan keluarganya mengenai diagnosis kerja, rencana
terapi, serta prognosis penyakit pasien.
21
4.4 Prognosis
Prognosis pada kasus ini adalah mengarah ke baik, dubius ad bonam
karena dengan kuretase berhasil mengeluarkan semua sisa jaringan sehingga
resiko perdarahan menjadi sangat minimal, setelah observasi dua jam pasca
kuretase tidak didapatkan keluhan dan keadaan umum pasien stabil. Selain itu
pada pasien ini tidak didapatkan adanya penyulit atau komplikasi yang
berbahaya misalnya perdarahan, perforasi, infeksi dan syok.
22
BAB V
KESIMPULAN
Telah dilaporkan kasus pasien G3P1010 usia kehamilan 9-10 minggu
dengan riwayat obstetri buruk, usia 21 tahun, Hindu, Bali dengan keluhan
perdarahan per vaginam yang akhirnya didiagnosis sebagai abortus inkomplit.
Penatalaksanaan awal pada kasus abortus adalah melakukan penilaian secara
cepat mengenai keadaan umum pasien dan selanjutnya diperiksa apakah ada
tanda-tanda syok. Untuk mengurangi resiko perdarahan dan komplikasi lain yang
mungkin timbul, maka pada kasus abortus inkomplit ini dilakukan pengeluaran
sisa jaringan dengan kuretase, kemudian diberikan medikamentosa seperti
golongan uterotonika, antibiotika dan analgetik.
Abortus inkomplit yang di evakuasi lebih dini tanpa disertai infeksi
memberikan prognosis yang baik.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Wibowo B. Wiknjosastro GH. Kelainan dalam Lamanya Kehamilan. Dalam : Wiknjosastro GH, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, editor. Ilmu Kebidanan. Edisi 5. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo ; 2008 : hal. 459 - 491.
2. Pedoman Diagnosis – Terapi Dan Bagian Alir Pelayanan Pasien, Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RS Sanglah Denpasar. 2004.
3. Abortion. In : Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Bilstrap LC, Wenstrom KD, editors. William Obsetrics. 22nd ed. USA : The McGraw-Hills Companies, Inc ; 2005 : p. 231-247.
4. Abortion. In: Leveno KJ, et all. Williams Manual of Obstetrics. USA: McGraw-Hill Companies, 2003 : p. 45 – 55
5. Stovall TG. Early Pregnancy Loss and Ectopic Pregnancy. In : Berek JS, et all. Novak's Gynaecology. 13th ed. Philadelphia; 2002 : p. 507 - 9.
6. Griebel CP, Vorsen JH, Golemon TB, Day AA. Management of Spontaneus Abortion. Tersedia di: AAFP Home Page>New & Publications>Joumals>American Family Physician. October 012005;72;1.
7. Rand SE. Recurrent spontaneous abortion: evaluation and management. In: AmericanFamilyPhysician.December1993. Tersedia di: .http://www/findarticles.com/p/articles/mi_m3255/is_n8_v48/ai_14674724/pg_1 (Diakses tanggal: 1 September 2012).