BAB. I
PENDAHULUAN
Pemicu 2
Berikut ini adalah pengalaman yang diceritakan oleh Intan,
dokter Internsip di sebuah Puskesmas di Kabupaten Kubu Raya.
Bacalah kasus ini dengan seksama:Saya akan menceritakan
pengalaman yang Saya dengar dari seorang bidan tempat Saya
menjalankan Internsip di suatu Puskesmasdi Kabupaten Kubu Raya.
Setelah hampir satu bulan Saya menjalankan Internsip di sana, saya
mengamati adanya fenomena yang unik di masyarakat sana.Bidan
tersebut bercerita bahwa ia pernahbersitegang dengan seorang pasien
yang didampingi oleh beberapa orang keluarganya. Kejadian tersebut
bermula ketika bidan tersebut mendapat laporan dari seorang warga
di sebuah desa bahwa ada seorang pasien wanita yang sedang
mengalami penyulit dalam proses persalinannya. Setelah melihat
kondisi pasien, bidan tersebut menyarankan agar pasien dibawa ke
fasilitas kesehatan.Namun pasien dan keluarga menolak saran
tersebut karena menurut tradisi di sana, persalinan biasanya
ditolong dukun beranak.Karena tidak kuasa meladeni pasien dan
keluarga, bidan tersebut akhirnya membiarkan kondisi tersebut. Dia
mengatakan kepada Saya bahwa masyarakat di sana sulit untuk
dipahamkan, terlebih penguasaan bahasa Indonesia mereka cukup
kurang, walaupun menurutnya, dia telah mencoba dengan berbagai cara
penyampaian.1
1. Diskusikan fenomena yang terjadi pada kasus ini.
2. Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut yang disadur dan
disesuaikan dari Model Pendekatan Explanatory dalam mempelajari
suatu kasus kompetensi budaya pada pelayanan kesehatan:
a. Disebut sebagai masalah apa cerita tersebut?
b. Menurut anda, apa penyebab dari kasus tersebut?
c. Apakah menurut anda kasus ini merupakan kasus yang
serius?
d. Intervensi yang bagaimana yang sebaiknya dilakukan?
e. Bagaimana akibatnya pada diri anda dan pikiran anda bila
kasus tersebut terjadi disekitar anda?
f. Apa yang paling anda khawatirkan terjadi dengan pasien pada
kasus tersebut?
g. Apa yang paling anda khawatirkan terjadi pada saat petugas
kesehatan melakukan penatalaksanaan pada pasien tersebut?
3. Laporkan hasil dikusi kelompok anda pada saat pleno
1.1. Klarifikasi dan Definisi
Pendekatan Explanatory : menjelaskan alasan mengapa masalah itu
ada dan sebagai panduan untuk mencari faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap masalah dan dapat diubah.Kata Kunci:
Tradisi
Permasalahan
Dukun beranak
Pendekatan explanatory
Puskesmas
Internsip 1.2. Rumusan Masalah
Seorang pasien wanita mengalami penyulit dalam proses persalinan
tetapi menolak dibawa ke fasilitas kesehatan karena masalah tradisi
dan bahasa di masyarakatnya.
1.3. Analisi Masalah
1.4. Hipotesis
Terdapat beberapa faktor internal dan eksternal yang menjadi
kendala dalam penyelesaian masalah kesehatan di lingkungan
masyarakat tersebut sehingga diperlukan pendekatan explanatory
dalam hal tradisi dan bahasa.1.5. Pertanyaan Diskusi
1. Jelaskan mengenai budaya! 2. Jelaskan mengenai kompetensi
budaya! 3. Jelaskan mengenai metode pendekatan explanatory! 4.
Bagaimana peran tenaga kesehatan dalam kasus? 5. Bagaimana cara
komunikasi dokter-pasien yang efektif? 6. Apa yang dapat dilakukan
dokter keluarga dalam menyelesaikan masalah sosial-budaya? 7. Apa
yang dimaksud dengan paradigma sehat? 8. Jelaskan mengenai
puskesmas: a. Definisi
b. Fungsi
c. Program-program
9. Jelaskan mengenai faktor-faktor internal dan eksternal yang
memengaruhi masalah kesehatan di lingkungan pada kasus! 10.
Pendekatan apa yang digunakan ke masyarakat pada kasus? 11. Siapa
saja tenaga kesehatan pembantu persalinan yang diakui? 12. Apa saja
program kerja bidan yang berkaitan dengan dukun beranak? BAB.
II
PEMBAHASAN
2.1 Budaya
Budaya didefinisikan sebagai pola perilaku manusia yang terdiri
dari etnis, ras, agama atau kelompok sosial. Beberapa perbedaan
kelompok budaya dapat dipengaruhi oleh imigrasi, struktur keluarga,
tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi.1Budaya adalah suatu
cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan
politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan
karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak
terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung
menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan
menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu
dipelajari. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya
bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut
menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini
tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.Beberapa
alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi
dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya.
Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang
dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas
keistimewaannya sendiri.2.2 Kompetensi budaya
Kompetensi budaya merupakan kumpulan dari kemampuan personal dan
akademik yang dapat membuat diri kita meningkatkan pengertian dan
apresiasi terhadap perbedaan budaya antar kelompok. kompetensi
budaya merupakan hal yang penting bagi seorang praktisi dan juga
bagi layanan dan organisasi. pada tingkat praktisi, definisi
mengenai kompetensi budaya biasanya mengarah kepada pengetahuan,
sikap, dan kemampuan-kemampuan yang menjadikan seorang praktisi
mengerti dan menghargai perbedaan budaya, dan kapasitas dalam
memberikan pelayanan kesehatan yang efektif yang memperhitungkan
keyakinan budaya seseorang, perilaku, dan kebutuhan.Kompetensi
budaya adalah seperangkat perilaku, sikap, dan kebijakan yang
datang bersama-sama dalam suatu sistem, lembaga atau kalangan
profesional dan mengaktifkan sistem itu, lembaga atau profesi
mereka bekerja secara efektif dalam situasi lintas budaya. Kata
budaya digunakan karena menyiratkan pola yang terintegrasi dari
perilaku manusia yang meliputi pikiran, komunikasi, tindakan,
kebiasaan, keyakinan, nilai-nilai dan lembaga-lembaga dari kelompok
ras, etnis, agama atau sosial. Kompetensi Kata digunakan karena
berarti memiliki kapasitas untuk berfungsi secara efektif. Lima
elemen penting berkontribusi pada sistem lembaga, atau kemampuan
lembaga untuk menjadi lebih kompeten budaya yang meliputi: a.
menghargai keanekaragaman
b. Memiliki kapasitas untuk self-assessment budayac. Menjadi
sadar akan dinamika yang melekat ketika budaya berinteraksid.
Setelah dilembagakan pengetahuan budayae. Setelah mengembangkan
adaptasi dengan pemberian layanan yang mencerminkan pemahaman
tentang keragaman budaya
Kelima elemen harus diwujudkan pada setiap jenjang organisasi
termasuk pembuatan kebijakan, administrasi, dan praktek.
Selanjutnya elemen-elemen ini harus tercermin dalam sikap,
struktur, kebijakan dan layanan organisasi.Kompetensi budaya
memiliki kapasitas untuk (1) keragaman nilai, (2) melakukan
penilaian diri, (3) mengelola dinamika perbedaan, (4) mendapatkan
dan melembagakan pengetahuan budaya, dan (5) beradaptasi dengan
keragaman dan konteks budaya masyarakat yang mereka layani.
Penggabungan di atas, dalam semua aspek pembuatan kebijakan,
administrasi, praktek dan pelayanan, sistematis melibatkan
konsumen, keluarga dan masyarakat. Pada sistem, organisasi atau
tingkat program, kompetensi budaya memerlukan rencana yang
komprehensif dan terkoordinasi yang mencakup intervensi pada
tingkat:
a. Pembuatan kebijakan
b. Bangunan infrastrukturc. Program administrasi dan evaluasid.
Pemberian layanan dan memungkinkan mendukunge. Individu.
Hal ini sering membutuhkan pemeriksaan kembali pernyataan misi;
kebijakan dan prosedur; praktek administratif; perekrutan staf,
perekrutan dan retensi; pengembangan profesional dan pelatihan
in-service; penerjemahan dan proses interpretasi; keluarga /
profesional / kemitraan masyarakat; praktek perawatan kesehatan dan
intervensi termasuk mengatasi kesenjangan kesehatan ras / etnis dan
masalah akses; praktek pendidikan dan promosi kesehatan / bahan;
dan masyarakat dan negara perlu protokol penilaian. Di tingkat
individu, ini berarti pemeriksaan sikap dan nilai-nilai sendiri,
dan perolehan nilai-nilai, pengetahuan, keterampilan dan atribut
yang akan memungkinkan seseorang untuk bekerja tepat dalam situasi
lintas budaya. Kompetensi budaya mengamanatkan bahwa organisasi,
program dan individu harus memiliki kemampuan untuk:
a. Keragaman nilai dan kesamaan di antara semua bangsa
b. Memahami dan secara efektif menanggapi perbedaan budaya
c. Terlibat dalam self-assessment budaya di tingkat individu dan
organisasid. Membuat adaptasi dengan pemberian layanan dan
memungkinkan mendukunge. Melembagakan pengetahuan budaya.2.3 Metode
pendekatan explanatory Model pendekatan eksplanatory oleh kleinman
dan benson, mendukung pemberian pelayanan kesehatan berbasis
person-centered dan juga perjanjian dari pengguna layanan, pemberi
pelayanan kesehatan dan keluarga pengguna layanan. 6 langkah pada
pendekatan ini adalah2:1. Identitas suku/etnis
Pada langkah ini seorang praktisi diharapkan untuk menanyakan
identitas suku pasien dan menentukan apakah hal tersebut dapat
menjadi suatu masalah bagi pasien, dan apakah hal tersebut menjadi
bagian yang penting dari perasaan pasien terhadap dirinya.
2. Konsekuensi pasien
Mengevaluasi apa yang dpertaruhkan oleh pasien dan orang-orang
yang dicitainya dalam peristiwa penyakit yang dialami pasien.
Evaluasi termasuk hubungan dekat, sumber material, komitmen agama,
dan kehidupan itu sendiri.
3. Menarasikan penyakit pasien
Membangun kembali narasi penyakit yang diutarakan oleh pasien.
Hal ini melibatkan beberapa pertanyaan yang mengarah kepada
pengertian pasien terhadap penyakitnya.
4. Stres psikososial
Mempertimbangkan stres yang sedang dialami, dan bantuan sosial
yang mencirikan kehidupan seseorang.
5. Pengaruh dari budaya terhadap hubungan klinis
Memeriksa budaya dalam hal pengaruhnya terhadap hubungan
klinis.
6. Masalah dari pendekatan kompetensi budaya
Memperhitungkan efikasi, karena kompetensi budaya memiliki efek
samping yang cukup serius seperti perhatian terhadap perbedaan
budaya dapat diintepretasikan oleh pasien dan keluarga sebagai hal
yang membosankan, bahkan mungkin dapat berkontribusi pada perasaan
terasingkan atau mendapat suatu stigma buruk.
2.4 Peran tenaga kesehatan dalam kasus
Peran merupakan konsekuensi dari status seseorang. Bila dalam
masyarakat ada orang yang berstatus sebagai perawat, dokter, bidan,
atau pasien, maka terhadap individu-individu tersebut diharapkan
muncul perilaku yang sesuai dengan statusnya masing-masing.3Tokoh
kunci dalam proses penyembuhan suatu penyakit adalah petugas
kesehatan, lebih khususnya adalah dokter. Menurut undang-undang
Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, profesi dokter
berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui
pendidikan berjenjang dan kode etik yang bersifat melayani.3Merujuk
pada kode etik tersebut, peran dokter dapat dirinci lebih spesifik
lagi kedalam beberapa perilaku berikut3:
a. Dokter sebagai pendidik, yaitu memberikan promosi pendidikan
kepada masyarakat baik individu, keluarga, maupun masyarakat
b. Dokter sebagai pengembang teknologi layanan kesehatan , yaitu
dalam praktik layanan kesehatan, seorang dokter dituntut untuk
memiliki kreatifitas dan inisiatif untuk menemukan dan memecahkan
masalah yang sedang dihadapi pasien sesuai dengan pengetahuan dan
kemampuannya sendiri
c. Dokter sebagai pengabdi masyarakat, yang dituntut memiliki
kesediaan untuk memberikan pertolongan. Setiap dokter harus siap
siaga sebagai dokter yang profesional dalam membantu masyarakat.d.
Dokter adalah pembelajar, yaitu dengan berbagai praktik atau
pengembangan ilmu yang ada ,seorang dokter dapat belajar dan
mengajari kembali baik kepada rekan sejawat atau pihak lain
mengenai perkembangan ilmu kedokteran.
Dalam kasus ini, dokter sebagai pelayan kesehatan meskipun tidak
semua ideal dapat memaksimalkan perannya untuk memberikan
pencerdasan kepada masyarakat dengan berbagai cara pendekatan.32.5
Cara komunikasi dokter-pasien yang efektifKurtz (1998) menyatakan
bahwa komunikasi efektif justru tidak memerlukan waktu lama.
Komunikasi efektif terbukti memerlukan lebih sedikit waktu karena
dokter terampil mengenali kebutuhan pasien (tidak hanya ingin
sembuh). Dalam pemberian pelayanan medis, adanya komunikasi yang
efektif antara dokter dan pasien merupakan kondisi yang diharapkan
sehingga dokter dapat melakukan manajemen pengelolaan masalah
kesehatan bersama pasien, berdasarkan kebutuhan pasien.
Tujuan dari komunikasi efektif antara dokter dan pasiennya
adalah untuk mengarahkan proses penggalian riwayat penyakit lebih
akurat untuk dokter, lebih memberikan dukungan pada pasien, dengan
demikian lebih efektif dan efisien bagi keduanya.4Menurut Kurzt
dalam dunia kedokteran ada dua pendekatan komunikasi yang
digunakan4:
Disease centered communication style atau doctor centered
communication style. Komunikasi berdasarkan kepentingan dokter
dalam usaha menegakkan diagnosis, termasuk penyelidikan dan
penalaran klinik mengenai tanda dan gejala-gejala.
Illness centered communication style atau patient centered
communication style. Komunikasi berdasarkan apa yang dirasakan
pasien tentang penyakitnya yang secara individu merupakan
pengalaman unik. Di sini termasuk pendapat pasien, kekhawatirannya,
harapannya, apa yang menjadi kepentingannya serta apa yang
dipikirkannya.
Dengan kemampuan dokter memahami harapan, kepentingan,
kecemasan, serta kebutuhan pasien, patient centered communication
style sebenarnya tidak memerlukan waktu lebih lama dari pada doctor
centered communication style. Keberhasilan komunikasi antara dokter
dan pasien pada umumnya akan melahirkan kenyamanan dan kepuasan
bagi kedua belah pihak, khususnya menciptakan satu kata tambahan
bagi pasien yaitu empati. Empati itu sendiri dapat dikembangkan
apabila dokter memiliki ketrampilan mendengar dan berbicara yang
keduanya dapat dipelajari dan dilatih.
Carma L. Bylund & Gregory Makoul dalam tulisannya tentang
Emphatic Communication in Physician-Patient Encounter, menyatakan
betapa pentingnya empati ini dikomunikasikan. Dalam konteks ini
empati disusun dalam batasan definisi berikut5:
(1) kemampuan kognitif seorang dokter dalam mengerti kebutuhan
pasien (a physician cognitive capacity to understand patients
needs),
(2) menunjukkan afektifitas/sensitifitas dokter terhadap
perasaan pasien (an affective sensitivity to patients
feelings),
(3) kemampuan perilaku dokter dalam memperlihatkan/menyampaikan
empatinya kepada pasien (a behavioral ability to convey empathy to
patient).
Sementara, camal, Bylund & Makoul (2002) mengembangkan 6
tingkat empati yang dikodekan dalam suatu sistem (The Empathy
Communication Coding System (ECCS) Levels). Berikut adalah contoh
aplikasi empati tersebut:
Level 0: Dokter menolak sudut pandang pasien
Mengacuhkan pendapat pasien
Membuat pernyataan yang tidak menyetujui pendapat pasien seperti
Kalau stress ya, mengapa datang ke sini? Atau Ya, lebih baik
operasi saja sekarang.
Level 1: Dokter mengenali sudut pandang pasien secara sambil
lalu
A ha, tapi dokter mengerjakan hal lain: menulis, membalikkan
badan, menyiapkan alat, dan lain-lain
Level 2: Dokter mengenali sudut pandang pasien secara
implisit
Pasien, Pusing saya ini membuat saya sulit bekerja
Dokter, Ya...? Bagaimana bisnis Anda akhir-akhir ini?
Level 3: Dokter menghargai pendapat pasien
Anda bilang Anda sangat stres datang ke sini? Apa Anda mau
menceritakan lebih jauh apa yang membuat Anda stres?Level 4: Dokter
mengkonfirmasi kepada pasien
Anda sepertinya sangat sibuk, saya mengerti seberapa besar usaha
Anda untuk menyempatkan berolah raga
Level 5: Dokter berbagi perasaan dan pengalaman (sharing
feelings and experience) dengan pasien.
Ya, saya mengerti hal ini dapat mengkhawatirkan Anda berdua.
Beberapa pasien pernah mengalami aborsi spontan, kemudian setelah
kehamilan berikutnya mereka sangat, sangat, khawatir
Empati pada level 3 sampai 5 merupakan pengenalan dokter
terhadap sudut pandang pasien tentang penyakitnya, secara
eksplisit.Berdasarkan hari penelitian, manfaat komunikasi efektif
dokter-pasien di antaranya:
(1) Meningkatkan kepuasan pasien dalam menerima pelayanan medis
dari dokter atau institusi pelayanan medis.
(2) Meningkatkan kepercayaan pasien kepada dokter yang merupakan
dasar hubungan dokter-pasien yang baik.(3) Meningkatkan
keberhasilan diagnosis terapi dan tindakan medis.(4) Meningkatkan
kepercayaan diri dan ketegaran pada pasien fase terminal dalam
menghadapi penyakitnya.Aplikasi Komunikasi Efektif Dokter-Pasien1.
Sikap Profesional Dokter
Di dalam proses komunikasi dokter-pasien, sikap profesional ini
penting untuk membangun rasa nyaman, aman, dan percaya pada dokter,
yang merupakan landasan bagi berlangsungnya komunikasi secara
efektif.6 Sikap profesional ini hendaknya dijalin terus-menerus
sejak awal konsultasi, selama proses konsultasi berlangsung, dan di
akhir konsultasi. Contoh sikap dokter ketika menerima pasien:
Menyilakan masuk dan mengucapkan salam.
Memanggil/menyapa pasien dengan namanya.
Menciptakan suasana yang nyaman (isyarat bahwa punya cukup
waktu, menganggap penting informasi yang akan diberikan,
menghindari tampak lelah).
Memperkenalkan diri, menjelaskan tugas/perannya (apakah dokter
umum, spesialis, dokter keluarga, dokter paliatif, konsultan gizi,
konsultan tumbuh kembang, dan lain-lain).
Menilai suasana hati lawan bicara
Memperhatikan sikap non-verbal (raut wajah/mimik, gerak/bahasa
tubuh) pasien
Menatap mata pasien secara profesional yang lebih terkait dengan
makna menunjukkan perhatian dan kesungguhan mendengarkan.
Memperhatikan keluhan yang disampaikan tanpa melakukan interupsi
yang tidak perlu.
Apabila pasien marah, menangis, takut, dan sebagainya maka
dokter tetap menunjukkan raut wajah dan sikap yang tenang.
Melibatkan pasien dalam rencana tindakan medis selanjutnya atau
pengambilan keputusan.
Memeriksa ulang segala sesuatu yang belum jelas bagi kedua belah
pihak.
Melakukan negosiasi atas segala sesuatu berdasarkan kepentingan
kedua belah pihak. Membukakan pintu, atau berdiri ketika pasien
hendak pulang.2. Sesi Pengumpulan Informasi
Sesi penggalian informasi terdiri dari:
a. Mengenali alasan kedatangan pasien
b Penggalian riwayat penyakit
Sesi Penyampaian Informasi
Secara ringkas ada 6 (enam) hal yang penting diperhatikan agar
efektif dalam berkomunikasi dengan pasien, yaitu:
a Materi Informasi apa yang disampaikan
Tujuan anamnesis dan pemeriksaan fisik (kemungkinan rasa tidak
nyaman/sakit saat pemeriksaan).
Kondisi saat ini dan berbagai kemungkinan diagnosis.
Berbagai tindakan medis yang akan dilakukan untuk menentukan
diagnosis, termasuk manfaat, risiko, serta kemungkinan efek
samping/komplikasi.
Hasil dan interpretasi dari tindakan medis yang telah dilakukan
untuk menegakkan diagnosis.
Diagnosis, jenis atau tipe.
Pilihan tindakan medis untuk tujuan terapi (kekurangan dan
kelebihan masing-masing cara).
Prognosis.
Dukungan (support) yang tersedia.
b Siapa yang diberi informasi
Pasien, apabila dia menghendaki dan kondisinya memungkinkan.
Keluarganya atau orang lain yang ditunjuk oleh pasien.
Keluarganya atau pihak lain yang menjadi wali/pengampu dan
bertanggung jawab atas pasien kalau kondisi pasien tidak
memungkinkan untuk berkomunikasi sendiri secara langsung
c Berapa banyak atau sejauh mana
Untuk pasien: sebanyak yang pasien kehendaki, yang dokter merasa
perlu untuk disampaikan, dengan memerhatikan kesiapan mental
pasien.
Untuk keluarga: sebanyak yang pasien/keluarga kehendaki dan
sebanyak yang dokter perlukan agar dapat menentukan tindakan
selanjutnya.
d Kapan menyampaikan informasi
Segera, jika kondisi dan situasinya memungkinkan.
e Di mana menyampaikannya
Di ruang praktik dokter.
Di bangsal, ruangan tempat pasien dirawat.
Di ruang diskusi.
Di tempat lain yang pantas, atas persetujuan bersama,
pasien/keluarga dan dokter.
f Bagaimana menyampaikannya
Informasi penting sebaiknya dikomunikasikan secara langsung,
tidak melalui telpon, juga tidak diberikan dalam bentuk tulisan
yang dikirim melalui pos, faksimile, sms, internet.
Persiapan meliputi:
materi yang akan disampaikan (bila diagnosis, tindakan medis,
prognosis sudah disepakati oleh tim);
ruangan yang nyaman, memperhatikan privasi, tidak terganggu
orang lalu lalang, suara gaduh dari tv/radio, telepon;
waktu yang cukup;
mengetahui orang yang akan hadir (sebaiknya pasien ditemani oleh
keluarga/orang yang ditunjuk; bila hanya keluarga yang hadir
sebaiknya lebih dari satu orang).
Jajaki sejauh mana pengertian pasien/keluarga tentang hal yang
akan dibicarakan. Tanyakan kepada pasien/keluarga, sejauh mana
informasi yang diinginkan dan amati kesiapan pasien/keluarga
menerima informasi yang akan diberikan.
3. SAJI, Langkah-langkah Komunikasi
Ada empat langkah yang terangkum dalam satu kata untuk melakukan
komunikasi, yaitu SAJI.S = Salam
A = Ajak Bicara
J = Jelaskan
I = Ingatkan2.6 Peran Dokter keluarga dalam menyelesaikan
masalah sosial-budayaPelayanan dokter keuarga sellau berusaha
berpartisipasi aktif dalam segala kegiatan peningkatan kesehatan di
sekitarnya dan siap memberikan pendapatnya pada setiap kondisi
kesehatan di daerahnya. Bentuknya antara lain7:
a Menjadi anggota perkumpulan sosial
b Partisipasi dalam kegiata kesehatan masyarakat
c Partisipasi dalam penanggulangan bencana disekitarnya
2.7 Paradigma sehat
Paradigma sehat merupakan model pembangunan kesehatan yang
jangka panjang diharapkan mampu mendorong masyarakat untuk bersikap
mandiri dalam menjaga. Pembangunan kesehatan sebagai salah satu
upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran,
kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar
dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Dalam merubah
derajat kesehatan melalui pembangunan kesehatan, seluruh penduduk
harus menjadi sasaran pembangunan kesehatan. Artinya, setiap
penduduk atau warga masyarakat dimana pun berada dan siapapun
mereka, harus terjangkau oleh pembangunan kesehatan dan dapat
dirasakan hasil upayanya oleh seluruh lapisan masyarakat.8Paradigma
sehat dengan sebutan: Gerakan Pembangunan Yang Berwawasan Kesehatan
dicanangkan oleh Presiden RI pada tanggal 1 Maret 1999. Lebih dari
itu, paradigma sehat adalah bagian dari pembangunan peradaban dan
kemanusiaan secara keseluruhan. Paradigma sehat adalah perubahan
mental dan watak dalam pembangunan. Paradigma sehat adalah
perubahan sikap dan orientasi, yaitu sebagai berikut9:
1. Pola pikir yang memandang kesehatan sebagai kebutuhan yang
bersifat pasif, menjadi merupakan keperluan dan bagian dari hak
asasi manusia (HAM).2. Sehat bukan hal yang konsumtif, melainkan
suatu investasi karena menjamin tersedianya SDM yang produktif
secara sosial dan ekonomi.3. Kesehatan yang semula hanya berupa
penanggulangan yang bersifat jangka pendek ke depannya akan menjadi
bagian dari upaya pengembangan SDM yang bersifat jangka panjang.4.
Pelayanan kesehatan tidak hanya pelayanan medis yang melihat bagian
dari yang sakit/penyakit, tetapi merupakan pelayanan kesehatan
paripurna yang memandang manusia secara utuh.5. Kesehatan tidak
hanya sehat jasmani, tetapi juga sehat mental dan sosial.6.
Pelayanan kesehatan tidak lagi terpecah-pecah (fragmented), tetapi
terpadu (integrated).7. Fokus kesehatan tidak hanya penyakit,
tetapi juga bergantung pada permintaan pasar.8. Sasaran pelayanan
kesehatan bukan hanya masyarakat umum (pelayanan kesehatan pada
fasilitas kesehatan umum), melainkan juga masyarakat swasta
(pelayanan kesehatan untuk perorangan/pribadi, misalnya
homecare).9. Kesehatan bukan hanya menjadi urusan pemerintah,
melainkan juga menjadi urusan swasta.10. Biaya yang ditanggung
pemerintah adalah untuk keperluan publik (seperti pemberantasan
penyakit menular, penyuluhan kesehatan), sedangkan keperluan
lainnya perlu ditanggung bersama dengan pengguna jasa.11. Biaya
kesehatan bergeser dari pembayaran setelah pelayanan
menjadipembayaran di muka dengan model Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat.12. Kesehatan tidak hanya berfungsi sosial,
tetapi juga dapat berfungsi ekonomi.13. Pengaturan kesehatan tidak
lagi diatur dari atas (top down), tetapi berdasarkan aspirasi dari
bawah (bottom up).14. Pengaturan kesehatan tidak lagi
tersentralisasi, tetapi telah terdesantralisasi.15. Pelayanan
kesehatan tidak lagi bersifat birokratis tetapi entrepreneur.16.
Masyarakat tidak sekedar ikut berperan serta, tetapi telah berperan
sebagai mitra.
Tiga pilar Indonesia sehat, antara lain9:
1. Lingkungan sehat, adalah lingkungan yang kondusif untuk hidup
yang sehat, yakni bebas polusi, tersedia air bersih, lingkungan
memadai, perumahanpemukiman sehat, perencanaan kawasan sehat,
terwujud kehidupan yang saling tolong-menolong dengan tetap
memelihara nilai-nilai budaya bangsa.2. Perilaku sehat, yaitu
bersikap proaktif memelihara dan meningkatkan kesehatan (contih:
aktifitas fisik, gizi seimbang), mencegah resiko terjadinya
penyakit (contoh: tidak merokok), melindungi diri dari ancaman
penyakit (contoh: memakai helm dan sabuk pengaman, JPKM), berperan
aktif dalam gerakan kesehatan (contoh: aktif di posyandu).3.
Pelayanan kesehatan yang bermutu, adil, dan merata, yang menjangkau
semua lapisan masyarakat tanpa adanya hambatan ekonomi, sesuai
dengan standar dan etika profesi, tanggap terhadap kebutuhan
masyarakat, serta memberi kepuasan kepada pengguna jasa.
2.8 Puskesmas
a. Definisi
Puskesmas adalah organisasi kesehatan fungsional yang merupakan
pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran
serta masyarakat dan memberikan pelayanan secara menyeluruh dan
terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan
pokok.10 Dengan kata lain puskesmas mempunyai wewenang dan
tanggungjawab atas pemeliharaan kesehatan masyarakat dalam wilayah
kerjanya.Menurut Kepmenkes RI No. 128/Menkes/SK/II/2004 puskesmas
merupakan Unit Pelayanan Teknis Dinas kesehatan kabupaten/kota yang
bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu
wilayah kerja.11b. FungsiPuskesmas memiliki wilayah kerja yang
meliputi satu kecamatan atau sebagian dari kecamatan. Faktor
kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan geografi dan keadaan
infrastruktur lainnya merupakan bahan pertimbangan dalam menentukan
wilayah kerja puskesmas. Untuk perluasan jangkauan pelayanan
kesehatan maka puskesmas perlu ditunjang dengan unit pelayanan
kesehatan yang lebih sederhana yang disebut puskesmas pembantu dan
puskesmas keliling.Khusus untuk kota besar dengan jumlah penduduk
satu juta jiwa atau lebih, wilayah kerja puskesmas dapat meliputi
satu kelurahan. Puskesmas di ibukota kecamatan dengan jumlah
penduduk 150.000 jiwa atau lebih, merupakan puskesmas Pembina yang
berfungsi sebagai pusat rujukan bagi puskesmas kelurahan dan juga
mempunyai fungsi koordinasi.12Menurut Trihono ada 3 (tiga) fungsi
puskesmas yaitu: pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan
yang berarti puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau
penyelenggaraan pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat
dan dunia usaha di wilayah kerjanya, sehingga berwawasan serta
mendukung pembangunan kesehatan. Disamping itu puskesmas aktif
memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan
setiap program pembangunan diwilayah kerjanya. Khusus untuk
pembangunan kesehatan, upaya yang dilakukan puskesmas adalah
mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa
mengabaikan penyembuhan penyakit
dan pemulihan kesehatan.13Pusat pemberdayaan masyarakat berarti
puskesmas selalu berupaya agar perorangan terutama pemuka
masyarakat, keluarga dan masyarakat termasuk dunia usaha memiliki
kesadaran, kemauan dan kemampuan melayani diri sendiri dan
masyarakat untuk hidup sehat, berperan aktif dalam memperjuangkan
kepentingan kesehatan termasuk sumber pembiayaannya, serta ikut
menetapkan, menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program
kesehatan. Pemberdayaan perorangan, keluarga dan masyarakat ini
diselenggarakan dengan memperhatikan kondisi dan situasi, khususnya
sosial budaya masyarakat setempat.Pusat pelayanan kesehatan strata
pertama berarti puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan
pelayanan kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan. Pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menjadi
tanggungjawab puskesmas meliputi : Pelayanan kesehatan perorangan
adalah pelayanan yang bersifat pribadi (privat goods) dengan tujuan
utama menyembuhkan penyakit dan pemulihan kesehatan perorangan,
tanpa mengabaikan pemeliharan kesehatan dan pencegahan penyakit.
Pelayanan perorangan tersebut adalah rawat jalan dan untuk
puskesmas tertentu ditambah dengan rawat inap. Pelayanan kesehatan
masyarakat adalah pelayanan yang bersifat publik (public goods)
dengan tujuan utama memelihara dan meningkatkan kesehatan serta
mencegah penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan
pemulihan kesehatan. Pelayanan kesehatan masyarakat disebut antara
lain adalah promosi kesehatan, pemberantasan penyakit, penyehatan
lingkungan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan keluarga,
keluarga berencana, kesehatan jiwa masyarakat serta berbagai
program kesehatan masyarakat lainnya.c. Program-programProgram
Pokok Puskesmas
Kegiatan pokok Puskesmas dilaksanakan sesuai kemampuan tenaga
maupun fasilitasnya, karenanya kegiatan pokok di setiap Puskesmas
dapat berbeda-beda. Namun demikian kegiatan pokok Puskesmas yang
lazim dan seharusnya dilaksanakan adalah sebagai berikut :
1. Kesejahteraan ibu dan Anak ( KIA )
2. Keluarga Berencana
3. Usaha Peningkatan Gizi
4. Kesehatan Lingkungan
5. Pemberantasan Penyakit Menular
6. Upaya Pengobatan termasuk Pelayanan Darurat Kecelakaan
7. Penyuluhan Kesehatan Masyarakat
8. Usaha Kesehatan Sekolah
9. Kesehatan Olah Raga
10. Perawatan Kesehatan Masyarakat
11. Usaha Kesehatan Kerja
12. Usaha Kesehatan Gigi dan Mulut
13. Usaha Kesehatan Jiwa
14. Kesehatan Mata
15. Laboratorium ( diupayakan tidak lagi sederhana )
16. Pencatatan dan Pelaporan Sistem Informasi Kesehatan
17. Kesehatan Usia Lanjut
18. Pembinaan Pengobatan Tradisional
Pelaksanaan kegiatan pokok Puskesmas diarahkan kepada keluarga
sebagai satuan masyarakat terkecil. Karenanya, kegiatan pokok
Puskesmas ditujukan untuk kepentingan kesehatan keluarga sebagai
bagian dari masyarakat di wilayah kerjanya. Setiap kegiatan pokok
Puskesmas dilaksanakan dengan pendekatan Pembangunan Kesehatan
Masyarakat Desa (PKMD). Disamping penyelenggaraan usaha-usaha
kegiatan pokok Puskesmas seperti tersebut di atas, Puskesmas
sewaktu-waktu dapat diminta untuk melaksanakan program kesehatan
tertentu oleh Pemerintah Pusat ( contoh: Pekan Imunisasi Nasional
). Dalam hal demikian, baik petunjuk pelaksanaan maupun perbekalan
akan diberikan oleh Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Daerah.
Keadaan darurat mengenai kesehatan dapat terjadi, misalnya karena
timbulnya wabah penyakit menular atau bencana alam. Untuk mengatasi
kejadian darurat seperti di atas bisa mengurangi atau menunda
kegiatan lain.2.9 Faktor-faktor internal dan eksternal yang
memengaruhi masalah kesehatan di lingkungan pada kasus
a Faktor internal : Kendala bahasa antara pelayan kesehatan dan
pasien
b Faktor eksternal : Tradisi
2.10 Pendekatan yang digunakan ke masyarakat pada kasus
Pendekatan yang digunakan ke masyarakat pada kasus adalah
pendekatan explanatory.2.11 Tenaga kesehatan yang membantu
persalinan
Tenaga penolong persalinan dikenal beberapa jenis tenaga yang
memberi pertolongan kepada masyarakat. Jenis tenaga tersebut adalah
sebagai berikut :
a Tenaga kesehatan, meliputi : dokter spesialis dan bidan.
b Tenaga non kesehatan :
(1) Dukun terlatih : Dukun yang telah mendapatkan pelatihan oleh
tenaga kesehatan dan telah dinyatakan lulus.(2) Dukun tidak
terlatih : Dukun yang belum pernah dilatih oleh tenaga kesehatan
atau dukun yang sedang dilatih dan belum dinyatakan lulus.
Tenaga penolong persalinan adalah orang yang memberikan
pertolongan persalinan selama persalinan berlangsung. Pada dasarnya
ada dua jenis tenaga penolong persalinan, yaitu mereka yang
mendapat pendidikan formal (Tenaga Medis), seperti bidan, dokter
umum, dokter ahli, dan mereka yang tidak mendapat pendidikan formal
melainkan mendapat keterampilan secara tradisional (Tenaga
Non medis) seperti dukun beranak.142.12 Program kerja bidan yang
berkaitan dengan dukun beranak
Pembinaan Dukun Bayi
Dalam lingkungan dukun bayi merupakan tenaga terpercaya dalam
segala soal yang terkait dengan reproduksi wanita. Pengetahuan
tentang fisiologis danpatologis dalamkehamilan,persalinan,
sertanifassangat terbatas oleh karena itu apabila timbul komplikasi
ia tidak mampu untuk mengatasinya, bahkan tidak menyadari
akibatnya, dukun tersebut menolong hanya berdasarkan pengalaman dan
kurang professional.15,16,17Berbagai kasus sering menimpa seorang
ibu atau bayinya seperti kecacatan bayi sampai pada kematian ibu
dan anak. Dalam usaha meningkatkan pelayanan kebidanan dan
kesehatan anak maka tenaga kesehatan sepertibidanmengajak dukun
untuk melakukan pelatihan dengan harapan dapat meningkatkan
kemampuan dalam menolongpersalinan, selain itu dapat juga mengenal
tanda-tanda bahaya dalamkehamilandanpersalinandan segera minta
pertolongan padabidan.Tingginya angka kematian ibu dan bayi
menunjukan masih rendahnya kualitas pelayanaan kesehatan. Delapan
puluh persenpersalinandi masyarakat masih di tolong oleh tenaga
non-kesehatan, seperti dukun. Dukun di masyarakat masih memegang
peranan penting, dukun di anggap sebagai tokoh masyarakat.
Masyarakat masih memercayakan pertolonganpersalinanoleh dukun,
karena pertolonganpersalinanoleh dukun di anggap murah dan dukun
tetap memberikan pendampingan pada ibu setelah melahirkan, seperti
merawat dan memandikan bayi. Untuk mengatasi
permasalahanpersalinanoleh dukun, pemeritah membuat suatu terobosan
dengan melakukan kemitraan dukun danbidan. Salah satu bentuk
kemitraan tersebut adalah dengan melakukan pembinaan
dukun.15,16,17Pembinaan dukun adalah suatu pelatihan yang di
berikan kepada dukun bayi oleh tenaga kesehatan yang menitik
beratkan pada peningkatan pengetahuan dukun yang bersangkutan,
terutama dalam hal hygiene sanitasi, yaitu mengenai kebersihan
alat-alatpersalinandan perawatan bayi baru lahir, serta pengetahuan
tentang perawatankehamilan, deteksi dini terhadap resiko tinggi
pada ibu dan bayi,KB, gizi serta pencatatan kelahiran dan kematian.
Pembinaan dukun merupakan salah satu upaya menjalin kemitraan
antara tenaga kesehatan (bidan) dan dukun dengan tujuan menurunkan
angka kematian ibu dan bayi.Beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa masyarakat sudah mengenal dukun bayi atau dukun beranak
sebagai tenaga pertolonganpersalinanyang diwariskan secara turun
temurun. Dukun bayi yaitu mereka yang memberi pertolongan pada
waktu kelahiran atau dalam hal-hal yang berhubungan dengan
pertolongan kelahiran, seperti memandikan bayi, upacara menginjak
tanah, dan upacara adat serimonial lainnya. Pada kelahiran anak
dukun bayi yang biasanya adalah seorang wanita tua yang sudah
berpengalaman, membantu melahirkan dan memimpin upacara yang
bersangkut paut dengan kelahiran itu..Pembagian Dukun Bayi, Menurut
Depkes RI, dukun bayi dibagi menjadi 2 yaitu15,16,17:
1. Dukun Bayi Terlatih, adalah dukun bayi yang telah mendapatkan
pelatihan oleh tenaga kesehatan yang dinyatakan lulus.
2. Dukun Bayi Tidak Terlatih, adalah dukun bayi yang belum
pernah terlatih oleh tenaga kesehatan atau dukun bayi yang sedang
dilatih dan belum dinyatakan lulus.
Kesalahan yang sering dilakukan oleh dukun sehingga dapat
mengakibatkan kematian ibu dan bayi, antara lain :1. Terjadinya
robekan rahim karena tindakan mendorong bayi didalam rahim dari
luar sewaktu melakukan pertolongan pada ibu bersalin2. Terjadinya
perdarahan pasca bersalin yang disebabkan oleh tindakan
mengurut-ngurut rahim pada waktu kala III.
3. Terjadinya partus tidak maju, karena tidak mengenal tanda
kelainan partus dan tidak mau merujuk ke puskesmas atau RS.Untuk
mencegah kesalahan tindakan dukun tersebut di perlukan suatu
bimbingan bagi dukun.
Upaya Pembinaan Dukun Bayi
Dalam praktiknya, melakukan pembinaan dukun di masyarakat
tidaklah mudah. Masyarakat masih menganggap dukun sebagai tokoh
masyarakat yang patut dihormati, memiliki peran penting bagi
ibu-ibu di desa. Oleh karena itu, di butuhkan upaya agarbidandapat
melakukan pembinaan dukun. Beberapa upaya yang dapat
dilakukanbidandi antaranya adalah sebagai berikut:
1. Melakukan pendekatan dengan para tokoh masyarakat
setempat.
2. Melakukan pendekatan dengan para dukun.
3. Memberikan pengertian kepada para dukun tentang
pentingnyapersalinanyang bersih dan aman.
4. Memberi pengetahuan kepada dukun tentang
komplikasi-komplikasikehamilandan bahaya prosespersalinan.5.
Membina kemitraan dengan dukun dengan memegang asas saling
menguntungkan.6. Menganjurkan dan mengajak dukun merujuk
kasus-kasus resiko tinggikehamilankepada tenaga kesehatan.
Pelaksana supervisi / bimbingan / pembinaan
a. Dokter
b. Bidanc. Perawat kesehatand. Petugas imunisasie. Petugas
gizi
Tempat pelasanaan pembinaan dukun bayi
a. Posyandu pada hari buka oleh petugas / pembina posyandu
b. Perkumpulan dukun bayi dilaksankan di puskesmas.
Waktu pelaksanaan pembinaan dukun bayi
a. Saat kunjungan supervisi petugas puskesmas di posyandu di
desa tempat tinggal dukun.
b. Pertemuan rutin yang telah disepakatic. Waktu-waktu lain saat
petugas bertemu dengan dukun bayi
d. Saat mendampingi dukun bayi waktu
menolongpersalinanKlasifikasi Pembinaan Dukun Bayi
Berikut adalah klasifikasi materi yang di berikan untuk
melakukan pembinaan dukun15,16,17:
1. PromosiBidanSiaga
Salah satu cara untuk melakukan promosibidansiaga, yaitu dengan
melakukan pendekatan dengan dukun bayi yang ada di desa untuk
bekerja sama dalam pertolonganpersalinan.Bidandapat memberikan
imbalan jasa yang sasuai apabila dukun menyerahkan ibu hamil untuk
bersalin ke tempatbidan. Dukun bayi dapat di libatkan dalam
perawatan bayi baru lahir. Apabila cara tersebut dapat di lakukan
dengan baik, maka dengan kesadaran, dukun akan memberitaukan ibu
hamil untuk melakukanpersalinandi tenaga kesehatan (bidan). Ibu dan
bayi selamat, derajat kesehatan ibu dan bayi di wilayah tersebut
semakin meningkat.
2. Pengenalan Tanda BahayaKehamilan,Persalinan,Nifas, dan
Rujukan
Dukun perlu mendapatkan peningkatan pengetahuan tentang
perawatan pada ibu hamil, sehingga materi tentang pengenalan
terhadap ibu hamil yang beresiko tinggi, tanda
bahayakehamilan,persalinan,nifas, dan rujukan merupakan materi yang
harus di berikan, agar dukun bayi dapat melakukan deteksi dini
kegawatan atau tanda bahaya pada ibu hamil, bersalin,nifasdan
segera mendapatkan rujukan cepat dan tepat.Peran Bidan Dengan Dukun
Dalam Pelaksanaan Kemitraan
A. Periode Kehamilan18BIDANDUKUN
1. Melakukan pemeriksaan ibu hamil dalam hal:
a. Keadaan umum
b. Menentukan taksiran partus
c. Menentukan keadaan janin dalam kandungan
d. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan
2. Melakukan tindakan pada ibu hamil dalam hal:
a. Pemberian Imunisasi TT
b. Pemberian tablet Fe
c. Pemberian pengobatan/tindakan apabila ada komplikasi
3. Melakukan Penyuluhan dan konseling pada ibu hamil dan
keluarga mengenai :
a. Tanda-tanda Persalinan
b. Tanda bahaya kehamilan
c. Kebersihan pribadi & lingkungan
d. Gizi
e. Perencanaan Persalinan (Bersalin di Bidan, menyiapkan
transportasi, menggalang dalam menyiapkan biaya, menyiapkan calon
donor darah)f. KB setelah melahirkan menggunakan Alat Bantu
Pengambilan Keputusan (ABPK)
4. Melakukan kunjungan rumah untuk:
a. Penyuluhan/Konseling pada keluarga tentang persencanaan
persalinan
b. Melihat Kondisi Rumah persiapan persalinan
c. Motivasi persalinan di Bidan pada waktu menjelang taksiran
pertus
5. Melakukan rujukan apabila diperlukan6. Melakukan pencatatan
seperti :
a. Kartu ibu
b. Kohort ibu
c. Buku KIA
7. Melakukan Laporan :
a. Melakukan laporan cakupan ANC1. Memotivasi ibu hamil untuk
periksa ke bidan2. Mengantar ibu hamil yang tidak mau periksa ke
bidan3. Membantu bidan pada saat pemeriksaan ibu hamil4. Melakukan
penyuluhan pada ibu hamil dan keluarga tentang
a. Tanda-tanda persalinan
b. Tanda bahaya kehamilan kebersihan
c. pribadi & lingkungand. Kesehatan & Gizi
e. Perencanaan Persalinan (Bersalin di bidan, menyiapkan
transportasi, menggalang dalam menyiapkan biaya, menyiapkan calon
donor darah)
5. Memotivasi ibu hamil dan keluarga tentang:
a. KB setelah melahirkan
b. Persalinan di bidan pada waktu menjelang taksiran partus
6. Melakukan ritual keagamaan/ tradisional yang sehat sesuai
tradisi setempat bila keluarga meminta7. Melakukan motivasi pada
waktu rujukan diperlukan8. Melaporkan ke Bidan apabila ada ibu
hamil baru
B. Periode Persalinan18BIDANDUKUN
1. Mempersiapkan sarana prasara persalinan aman dan alat
resusitasi bayi baru lahir, termasuk pencegahan infeksi2. Memantau
kemajuan persalinan sesuai dengan partogram3. Melakukan asuhan
persalinan
4. Melaksanakan inisiasi menyusu dini dan pemberian ASI segera
kurang dari 1 jam.5. Injeksi Vit K1 dan salep mata antibiotik pada
bayi baru lahir6. Melakukan perawatan bayi baru lahir7. Melakukan
tindakan PPGDON apabila mengalami komplikasi8. Melakukan rujukan
bila diperlukan9. Melakukan pencatatan persalinan pada:
a. Kartu ibu/partograf
b. Kohort Ibu dan Bayi
c. Register persalinan
10. Melakukan pelaporan:
a. Cakupan persalinan1. Mengantar calon ibu bersalin ke bidan2.
Mengingatkan keluarga menyiapkan alat transport untuk pergi ke
bidan/memanggil bidan3. Mempersiapkan sarana prasaran persalinan
aman seperti :
a. Air bersih
b. Kain bersih
4. Mendampingi ibu pada saat persalinan5. Membantu Bidan pada
saat proses persalinan6. Melakukan ritual keagamaan/ tradisional
yang sehat sesuai tradisi setempat7. Membantu Bidan dalam perawatan
bayi baru lahir8. Membantu ibu dalam inisiasi menyusu dini kurang
dari 1 jam
9. Memotivasi rujukan bila diperlukan10. Membantu bidan
membersihkan ibu, tempat dan alat setelah persalinan
C. Periode Nifas18BIDANDUKUN
1. Mengantar calon ibu bersalin ke bidan2. Mengingatkan keluarga
menyiapkan alat transport untuk pergi ke bidan/ memanggil bidan3.
Mempersiapkan sarana prasarana persalinan aman seperti :
a. Air bersih
b. Kain bersih
4. Mendampingi ibu pada saat persalinan5. Membantu bidan pada
saat proses persalinan6. Melakukan ritual keagamaan/tradisional
yang sehat sesuai tradisi setempat7. Membantu bidan dalam perawatan
bayi baru lahir8. Membantu ibu dalam inisiasi menyusu dini kurang
dari 1 jam9. Memotivasi rujukan bila diperlukan10. Membantu Bidan
membersihkan ibu, tempat dan alat setelah persalinan1. Melakukan
kunjungan rumah dan memberikan penyuluhan tentang:
a. Tanda-tanda bahaya dan penyakit ibu nifas
b. Tanda-tanda bayi sakit
c. Kebersihan pribadi & lingkungan
d. Kesehatan & Gizi
e. ASI Ekslusif
f. Perawatan tali pusat
g. Perawatan payudara
2. Memotivasi ibu dan keluarga untuk ber-KB setelah melahirkan3.
Melakukan ritual keagamaan/ tradisional yang sehat sesuai tradisi
setempat4. Memotivasi rujukan bila diperlukan5. Melaporkan ke Bidan
apabila ada calon akseptor KB baru
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut yang disadur dan
disesuaikan dari Model Pendekatan Explanatory dalam mempelajari
suatu kasus kompetensi budaya pada pelayanan kesehatan:
a. Disebut sebagai masalah apa cerita tersebut?Jawab: Masalah
Budayab. Menurut anda, apa penyebab dari kasus tersebut?Jawab:
Tradisi persalinan yang ditolong oleh dukun yang masih dipegang
masyarakat dan kesulitan dalam komunikasi antara dokter dan
masyarakat karena penggunaan bahasa indonesia masyarakat yang
kurang.c. Apakah menurut anda kasus ini merupakan kasus yang
serius?Jawab: iya, seriusd. Intervensi yang bagaimana yang
sebaiknya dilakukan?Jawab: melakukan komunikasi efektif, mengerti
buaya, bahasa dan dapat mengerti kebiasaan masyarakat setempat,
serta mengadakan suatu kegiatan yang mengajak masyarakat ikut
berpartisipasi aktif di dalamnya.e. Bagaimana akibatnya pada diri
anda dan pikiran anda bila kasus tersebut terjadi disekitar
anda?Jawab: kita menjadi khawatir terhadap pasien yang berada di
wilayah kerja kita.f. Apa yang paling anda khawatirkan terjadi
dengan pasien pada kasus tersebut?Jawab: dikhawatirkan pasien akan
mengalami kegawatdaruratan medik. Apabila dirujuk ke tenaga
kesehatan terdekat dan jika terjadi hal yang fatal ditakutkan
tenaga kesehatan tersebut yang disalahkan oleh keluarga pasien.g.
Apa yang paling anda khawatirkan terjadi pada saat petugas
kesehatan melakukan penatalaksanaan pada pasien tersebut?Jawab:
kondisi pasien semakin memburuk sehingga sulit ditatalaksana, yang
seharusnya dapat ditangani dengan mudah tetapi menjadi sulit dan
terancam mengalami kematianBAB. III
PENUTUP
3.1. KseimpulanTerdapat beberapa faktor internal dan eksternal
yang menjadi masalah dalam penyelesaian masalah kesehatan dan
lingkungan masyarakat tesebut sehingga diperlukan komunikasi
efektif dan memaksimalkan peran sosial tenaga kesehatan kepada
pasien tersebut, keluarga, dan komunitasnya.Daftar Pustaka1. Kodjo,
Cheryl. Cultural Competence In Clinician Communication. National
Institute of Health. Pediatr Rev, P1-12; 2009.
2. Kleinman A, Benson P (2006) Anthropology in the clinic: The
problem of cultural competency and how to fix it. PLoS Med 3(10):
e294. DOI: 10.1371/ journal.pmed.0030294
3. Sudarma, Momon. 2008. Sosiologi Untuk Kesehatan. Jakarta:
Salemba Medika.
4. Kurtz, S., Silverman, J. & Drapper, J. (1998). Teaching
and Learning Communication Skills in Medicine. Oxon: Radcliffe
Medical Press.
5. Carma, L. Bylund & Gregory Makoul, Patient Education
& Counseling 48 (2002) 207-216
6. Silverman, J., Kurtz, S. & Drapper, J. 1998. Skills for
Communicating with Patients. Oxon: Radcliffe Medical Press.
7. Eka, Arsyta. 2010. Kedokteran Keluarga dan Wawasannya.
Universitas Sebelas Maret.
8. Anonymous. Pembangunan kesehatan pakai paradigm sehat.
Pangkalan Bun. Bpost. 20029. Entjang I. Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Bandung: Citra Aditya Bakti; 2000.
10. Depkes RI. 1991. Pedoman Kerja Puskesmas III tahun
1991/1992. Jakarta: Depkes RI.
11. Depkes RI. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
128/MENKES/SK/II/2004 ttg Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan
Masyarakat. Jakarta12. Efendi, F. 2009. Keperawatan Kesehatan
Komunitas : Teori dan Praktek dalam Keperawatan. Jakarta : Salemba
Medika
13. Trihono. 2005. Manajemen puskesmas berbasis paradigma sehat.
Jakarta : sagung Seto
Novi Khila Firani. Universitas Brawijaya : Hubungan Antara
Tingkat Pendidikan Ibu Hamil Dengan Perilaku Ibu Dalam Memilih
Penolong Persalinan ; 1996.
14. Dep Kes RI.1994.Pedoman Supervisi Dukun Bayi
15. Syafrudin, SKM, M. Kes, dkk. 2009. KebidananKomunitas.
Jakarta : EGC
16. Yulifah, Rita. 2009. Asuhan KebidananKomunitas. Jakarta :
Salemba Medika
17. Kemenkes RI. Pedoman Pelaksanaan Kemitraan Bidan dan Dukun.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2008.
Herediter
Ras
Suku
Masalah kesehatan (sesuai Pemicu)
Perilaku
Pengetahuan pasien
Pendidikan
Peran/upaya puskesmas
Lingkungan
Budaya
Kepercayaan
Pelayanan kesehatan
Dokter
Bidan
Komunikasi
Hubungan :
Dokter
Peran dokter keluarga
Bahasa
Tradisi
Paradigma sehat
Faktor internal/eksternal
Explanatory theory
Solusi/outcome