Top Banner
LAPORAN DISKUSI KELOMPOK PEMICU 4 MODUL METABOLIK ENDOKRIN Kelompok Diskusi 1 Irene Eka Renata Sitompul I11110020 Albertus Are Satriadi I11112047 Muthiah Azzahra I11112071 Ridhallah I10112079 Zainul Arifin I1011131008 Ariana I1011131032 Rina Rostiana I1011131039
73

Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

Dec 02, 2015

Download

Documents

Jefry Alfarizy

ok
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK

PEMICU 4

MODUL METABOLIK ENDOKRIN

Kelompok Diskusi 1

Irene Eka Renata Sitompul I11110020

Albertus Are Satriadi I11112047

Muthiah Azzahra I11112071

Ridhallah I10112079

Zainul Arifin I1011131008

Ariana I1011131032

Rina Rostiana I1011131039

Deby Wahyu Putriana I1011131052

Inggri Ocvianti Ningsih I1011131056

Jefry Alfarizy I1011131060

Akbar Taufik I1011131068

Dias Arivia Aswada I1011131082

Program Studi Pendidikan Dokter

Fakultas Kedokteran

Universitas Tanjungpura

Pontianak

Page 2: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

2015

BAB I

PENDAHULUAN

Pemicu 4

Ny X, 48 tahun datang dengan patah tulang setelah jatuh dari tangga di rumahnya

saat akan menjemur pakaian. Pasien memiliki riwayat alergi makanan dan rutin

minum obat CTM dan dexamethasone 3 kali sehari, sejak 5 tahun terakhir. Pada

pemeriksaan fisik didapatkan TD 150/90 mmHg. Di keluarga Ny.X tidak ada

yang menderita hipertensi maupun asma.

1.1. Klarifikasi dan Definisi

Alergi adalah sebuah kondisi dimana tubuh memiliki respon yang berlebihan

terhadap suatu zat misalnya makanan atau obat.

1.2. Kata Kunci

1. Wanita 48 tahun

2. Patah tulang

3. Riwayat alergi makanan

4. Rutin minum obat CTM dan dexamethasone sejak 5 tahun terakhir

5. TD 150/90 mmHg

6. Riwayat keluarga hipertensi dan asma (-)

1.3. Rumusan Masalah

Ny. X 48 tahun mengalami patah tulang dan memiliki riwayat alergi

makanan serta mengonsumsi CTM dan dexamethasone sejak 5 tahun

terakhir.

Page 3: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

1.4. Analisis Masalah

Ny. X, 48 tahun

Anamnesis

Patah Tulang

CTM Dexamethason

Alergi Makanan

Degenerasi Tulang

Kortikosteroid

Farmakokinetik

Farmakodinamik

Efek Samping

Hiperkortisolisme

Pemeriksaan Penunjang

Tatalaksana

TD: 150/90 mmHg

Page 4: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

1.5. Hipotesis

Ny. X 48 tahun mengalami patah tulang karena penggunaan kortikosteroid

jangka panjang.

1.6. Pertanyaan Diskusi

1. Kelenjar Adrenal

a. Anatomi

b. Histologi

c. Hormon yang diproduksi

d. Biosintesis, sekresi dan regulasi hormone kelenjar adrenal

e. Fungsi hormone kelenjar adrenal pada tubuh

f. Kelainan pada kelenjar adrenal

2. Hiperkortisolisme (Sindrom cushing)

a. Definisi

b. Epidemiologi

c. Etiologi

d. Patofisiologi

e. Manifestasi klinis

f. Diagnosis

g. Komplikasi

h. Tatalaksana

i. Prognosis

3. Kortikosteroid

a. Farmakokinetik

b. Farmakodinamik

c. Klasifikasi

d. Indikasi

e. Kontraindikasi

f. Dosis

g. Efek samping

4. CTM (Chlorpheniramine Maleate)

Page 5: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

a. Farmakokinetik

b. Farmakodinamik

c. Indikasi

d. Kontraindikasi

e. Dosis

f. Efek samping

5. Apa saja yang mempengaruhi kepadatan tulang?

6. Hubungan patah tulang dengan obat yang dikonsumsi Ny. X?

Page 6: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Kelenjar Adrenal

2.1.1. Anatomi

Kelenjar adrenal merupakan kelenjar kecil yang terletak dalam

fasia renalis di kutub atas ginjal. Kelenjar yang kanan terletak di

belakang lobus kanan hepar dan tepat di sebelah postolateral vena

cava inferior. Adrenal kiri di anterior dibatasi oleh kantung minor dan

lambung.1

Kelenjar adrenal terdiri dari korteks di luar dan medula di

dalam. Korteks berasal dari mesoderm dan bertanggung jawab untuk

memproduksi hormon steroid. Medula berasal dari ektoderm dan

berfungsi sebagai bagian dari sistem saraf otonom. Serabut

preganglionik simpatis didapat dari arteri splanknikus magna yang

menstimulasi medula untuk mensekresi noradrenalin dan adrenalin ke

aliran darah.1

Arteri frenikus, arteri renalis, dan aorta semua memberikan

cabang ke kelenjar adrenal. Drainase vena di sebelah kanan mengalir

ke vena cava inferior dan di sebelah kiri vena renalis sinistra.1

2.1.2. Histologi

a. Korteks Suprarenalis

Sel-sel parenkim korteks, berasal dari mesoderm, dibagi

menjadi tiga zona yang mensekresi hormon-hormon khusus.

Pengendalian sekresi hormonal ini sebagian besar diatur oleh

ACTH dari kelenjar hipofisis. Sel-sel zona glomerulosa

mensekresi aldosteron, suatu mineralokortikoid yang bekerja pada

sel-sel tubulus kontortus distalis ginjal untuk mengatur

keseimbangan air dan elektrolit. Sel-sel zona fasikulata

mensekresi kortisol dan kortikosteron. Glukokortikoid ini

Page 7: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

mengatur metabolisme karbohidrat, membantu katabolisme lemak

dan protein, memperlihatkan aktivitas antiinflamasi dan menekan

respons imun. Sel-sel zona retikularis mensekresi sedikit androgen

yang membantu sifat maskulinitas.2

Gambar: Zona Kelenjar Suprarenalis

b. Medula Suprarenalis

Sel-sel parenkim medulla berasal dari bahan Krista

neuralis. Medula terdiri atas dua kelompok dan sel-sel kromafin

yang terutama mensekresi epinefrin (adrenalin) atau norepinefrin

(noradrenalin). Sekresi kedua katekolamin ini secara langsung

diatur oleh serat-serat preganglionar dari susunan saraf simpatis

yang berpengaruh pada sel-sel neuron simpatis postgangliona

rmenyerupai kromafin. Pelepasan katekolamin terjadi pada stress

fisik dan strespsikologik. Lebih lanjut, sel-sel ganglion simpatis

dalam medulla bekerja pada sel-sel otot polos vena medularis,

sehingga mengendalikan aliran darah dalam korteks.2

Page 8: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

2.1.3. Hormon yang Diproduksi

Ada dua jenis hormon adrenokortikal yang utama yaitu

mineralokortikoid, glukokortikoid yang disekresikan oleh korteks

adrenal. Selain hormon ini, korteks adrenal juga mensekresi sedikit

hormon kelamin terutama hormon androgen yang efeknya pada tubuh

hampir mirip dengan hormon kelamin pada pria yaitu testosteron.3

Disebut mineralokortikoid karena hormon ini terutama

mempengaruhi elektrolit cairan ekstraseluler terutama natrium dan

kalium. Disebut glukokortikoid karena hormon ini mempunyai efek

yang penting dalam meningkatkan konsentrasi glukosa darah.

Glukokortikoid ini juga mempunyai efek tambahan pada metabolisme

protein dan lemak. Dari korteks adrenal dapat dikenali lebih dari 30

jenis steroid namun hanya dua jenis yang berguna untuk fungsi

endokrin manusia yaitu aldosteron yang merupakan mineralokortikoid

yang utama dan kortisol yang merupakan glukokortikoid yang utama.3

Page 9: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

2.1.4. Biosintesis, Sekresi dan Regulasi Hormone Kelenjar Adrenal

Korteks adrenal terdiri dari tiga lapisan atarzorai zona

glomerulosa, lapisan terluar; zona fasikulata, lapisan tengah dan

terbesar; dan zona retikularis, lapisan paling dalam. Korteks adrenal

mengeluarkan sejumlah hormon adrenokorteks, yang semuanya

adalah steroid yang berasal dari molekul prekursor bersama, yaitu

kolesterol.4

Variasi kecil dalam struktur berbagai hormon adrenokorteks

menyebabkan kemampuan masing-masing hormon berbeda.

Berdasarkan efek kerja primernya, steroid adrenal dapat dibagi

menjadi tiga kategori4:

1. Mineralokortikoid, terutama aldosteron, mempengaruhi

keseimbangan mineral (elektrolit), khususnya keseimbangan Na

dan K-.

2. Glukokortikoid, terutama kortisol, berperan besar dalam

metabolisme glukosa serta metabolisme protein dan lemak.

3. Hormon seks, identik atau serupa dengan yang dihasilkan oleh

gonad (testis pada pria, ovarium pada wanita).

Hormon seks adrenokorteks yang paling banyak dan penting

secara fisiologis adalah dehidroepiandrosteron, suatu hormon seks

"pria'. Tiga kategori steroid adrenal diproduksi di bagian-bagian

korteks adrenal yang berbeda akibat perbedaan distribusi enzim-

enzim yang diperlukan untuk mengatalisis jalur-jalur biosintetik yang

menyebabkan terbentuknya steroid-steroid ini. Dari dua hormon

adrenokorteks utama, aldosteron dihasilkan secara eksklusif di zona

glomerulosa sedangkan sintesis kortisol terbatas di dua lapisan

terdalam korteks, dengan zona fasikulata adalah sumber utama

glukokortikoid ini. Tidak ada jaringan steroidogenik lain yang

memiliki kemampuan menghasilkan mineralokortikoid atau

glukokortikoid. Sebaliknya, hormon seks adrenal, yang juga

diproduksi oleh dua zona korteks paling dalam, diproduksi jauh lebih

banyak di gonad.4

Page 10: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

Karena lipofilik maka hormon adrenokorteks semua diangkut

dalam darah dalam keadaan terikat ke protein plasma. Kortisol terikat

terutama ke protein plasma yang spesifi k untuknya yang dinamai

corticbsteroid- binding globulin (transkortin), sementara aldosteron

dan dehidroepiandrosteron umumnya terikat ke albumin, yang secara

nonspesifik mengikat berbagai hormon lipofilik lain.4

Kerja dan regulasi mineralokortikoid adrenokorteks utama,

aldosteron, dijelaskan secara lebih mendalam di bagian lain. Tempat

kerja utama aldosteron adalah di tubulus distal dan koligentes ginjal,

tempat hormon ini mendorong retensi Na dan meningkatkan eliminasi

K sewaktu proses pembentukan urin. Retensi Na. oleh aldosteron

akan secara sekunder menginduksi retensi amotik H2O,

meningkatkan volume CES, yang penting dalam regulasi jangka

panjang tekanan darah.4

Mineralokortikoid bersifat esensial antuh hidup. Tanpa

aldosteron, orang akan segera meninggal akibat syok sirkulasi karena

penurunan mencolok volume plasma akibat pengeluaran berlebihan

Na penahan H2O. Pada sebagian besar defisiensi hormon lain,

kematian tidak langsung terjadi, meskipun defisiensi kronik hormon

akhirnya dapat menyebabkan kematian dini. Sekresi aldosteron

ditingkatkan oleh: (1) pengaktifan sistem renin-angiotensin-aldosteron

oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan penurunan Na. dan tekanan

darah serta (2) stimulasi langsung korteks adrenal oleh peningkatan

konsentrasi K- plasma. Selain efeknya pada sekresi aldosteron,

angiotensin mendorong pertumbuhan zona glomerulosa, dengan cara

serupa dengan efek TSH pada tiroid.Hormon adrenokortikotropik

(ACTH) dari hipofisis anterior terutama mendorong sekresi kortisol,

bukan aldosteron. Karena itu, tidak seperti regulasi kortisol, reguiasi

sekresi aldosteron umumnya tidak bergantung pada kontrol hipofisis

anterior.4

Kortisol, glukokortikoid utama, berperan penting dalam

metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein; memiliki efek permisif

Page 11: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

signifikan bagi aktivitas hormon lain; dan membantu tubuh menahan

stres.4

2.1.5. Fungsi Hormon Kelenjar Adrenal pada Tubuh

a. Medula Adrenal

Medula adrenal menghasilkan suatu hormon yang disebut

sebagai katekolamin. Katekolamin memiliki beberapa derivat

seperti norepinefrin, epinephrine, dan dopamine yang disekresikan

oleh medulla adrenal. Norepinefrin dan epinephrine memiliki efek

metabolik yang mencakup glikogenolisis di hati dan otot rangka,

mobilisasi asam lemak bebas, peningkatan laktat plasma, dan

stimulasi kecepatan metabolisme.4

b. Korteks Adrenal

Korteks adrenal menghasilkan 3 jenis hormon yaitu4:

1. Mineralokortikoid, terutama aldosteron, mempengaruhi

keseimbangan mineral (elektrolit), khususnya keseimbangan

Na. dan K-. Tempat kerja utama aldosteron adalah di tubulus

distal dan koligentes ginjal, tempat hormon ini mendorong

retensi Natrium dan meningkatkan eliminasi Kalium sewaktu

proses pembentukan urin. Retensi Natrium oleh aldosteron

akan secara sekunder menginduksi retensi amotik H2O,

meningkatkan volume CES, yang penting dalam regulasi

jangka panjang tekanan darah.

2. Glukokortikoid, terutama kortisol berperan besar dalam

metabolisme glukosa serta metabolisme protein dan lemak

yang diuraikan sebagai berikut:

a. Merangsang glukoneogenesis di hati, perubahan sumber-

sumber nonkarbohidrat (yaitu asam amino) menjadi

karbohidrat di dalam hati

b. Menghambat penyerapan dan pemakaian glukosa oleh

banyak jaringan, kecuali otak, sehingga glukosa tersedia

Page 12: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

bagi otak yang membutuhkan bahan ini secara mutlak

sebagai bahan bakar metabolik.

c. Merangsang penguraian protein di banyak jaringan,

khususnya otot.

d. Mempermudah lipolisis, penguraian simpanan lemak

(lipid) di jaringan adiposa sehingga asam-asam lemak

dibebaskan ke dalam darah

e. Efek permisif pada kortisol dimana kadar kortisol harus

ada dalam jumlah memadai agar katekolamin dapat

menimbulkan vasokonstriksi.

f. Kortisol berperan kunci dalam adaptasi terhadap stres.

Segala jenis stres merupakan rangsangan utama bagi

peningkatan sekresi kortisol

g. Kadar kortisol farmakologis yang diberikan untuk

menghasilkan konsentrasi glukokortikoid yang lebih tinggi

daripada normal menimbulkan tidak hanya efek metabolik

yang menguat tetapi beberapa efek baru yang tidak terlihat

pada kadar fisiologik normal juga muncul. Efek

farmakologis glukokortikoid yang paling penting adalah

efeh antiinflamasi dan imunosupresif.

h. Efek kortisol "mempensiunkan" sel darah putih yang

bertanggung jawab untuk produksi antibodi serta sel-sel

yang secara langsung menghancurkan sel asing.

Efek samping kortisol:

1. Karena glukokortikoid menekan respons peradangan

dan imun normal yang menjadi tulang punggung

sistem pertahanan tubuh maka orang yang diterapi obat

ini mengalami keterbatasan kemampuan untuk

menahan infeksi.

2. Efek-efek jangka panjang mencakup timbuinya tukak

lambung, tekanan darah tinggi, aterosklerosis,

ketidakteraturan haid, dan penipisan tulang.

Page 13: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

3. Ketiga, glukokortioid eksogen dosis tinggi bekerja

secara umpan balik negatif untuk menekan sumbu

hipotalamus-hipofisis yang menjalankan sekresi

normal glukokortikoid dan mempertahankan integritas

korteks adrenal. Penekanan berkepanjangan sumbu ini

dapat menyebabkan atrofi ireversibel sel-sel penghasil

kortisol kelenjar adrenal sehingga tubuh dapat secara

permanen tidak mampu menghasilkan kortisolnya

sendiri.

3. Hormon seks identik dengan yang diproduksi oleh gonad.

Hormon seks adrenokorteks yang paling banyak dan penting

secara fisiologis adalah dehidroepiandrosteron, suatu hormon

seks pria.

2.1.6. Kelainan pada Kelenjar Adrenal

Penyakit yang timbul bila kelenjar adrenal mengalami

gangguan diantaranya:

1. Chusing’s syndrome

Hipersekresi korteks adrenal akan menyebabkan timbulnya

efek hormonal kompleks yang beruntun disebut sebagai Chusing’s

syndrome. Sebagian besar kelainan sindrom Chusing dianggap

karena jumlah kortisol yang abnormal, namun sekresi androgen

cukup bermakna. Hiperkortisolisme dapat terjadi karena berbagai

sebab meliputi (1) adenoma hipofisis anterior yang menyekresikan

sejumlah besar ACTH yang kemudian menyebabkan hyperplasia

adrenal dan sekresi kortisol berlebihan; (2) kelainan fungsi

hipotalamus yang menyebabkan tingginya kadar hormone CRH

yang merangsang pelepasan hormone ACTH berlebihan; (3)

sekresi ektopik ACTH oleh tumor di beberapa bagian tubuh lain

seperti karsinoma abdomen; (4) adenoma krteks adrenal.3

Cushing's syndrome sebagai sindrom kelebihan hormon

kortisol juga sering terjadi. Gejala Khusus adalah adanya

Page 14: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

mobilisasi lemak dalam jumlah besar dari bagian bawah tubuh,

disertai dengan banyaknya penimbunan lemak tambahan di daerah

toraks dan region abdomen atas sehingga tubuh tampak seperti

tubuh kerbau.Sekresi kortisol berlebihan juga menyebabkan wajah

pasien membengak dan terdapat jerawat serta

hirsutisme.Gambaran wajah seperti itu disebut moon face.3

Pengobatan Chusing syndrome terdiri atas pngangkatan

tumor jika penyebabnya adalah tumor.Hipertorfi kelenjar hipofisis

atau bahkan tumor kecil saja pada hipofisis dapat diangkat dengan

tindakan operasi atau dirusak dengan radiasi.Sekresi ACTH dapat

diturunkan juga dengan pemberian steroidogenesis, seperti

metirapon, ketokonazol, dan aminoglutemid, atau antagonis

serotonin dan inhibitor-transaminase GABA.3

2. Penyakit Addison

Gejala dari penyakit addison tidak spesifik. Gejala yang

muncul biasanya berhubungan dengan kelelahan, kelemahan,

anoreksia, nausea, nyeri abdomen, gastroenteritis, diare dan

labilitas mood. Pada orang dewasa dengan penyakit addison dapat

dijumpai penurunan berat badan 1 – 15 kg. Kelemahan badan ini

disebabkan karena gangguan keseimbangan air dan elektrolit serta

gangguan metabolisme karbohidrat dan protein sehingga didapat

kelemahan sampai paralisis oto bergaris. Di samping itu, akibat

metabolisme protein, terutama pada sel-sel otot menyebabkan

otot-otot bergaris atropi, bicaranya lemah. Gejala kelemahan otot

ini berkurang setelah pemberian cairan, garam serta kortikosteroid.

Nicholson dan Spaeth melaporkan pada beberapa penderita

Addison dapat terjadi paralisis flasid yang bersifat periodik akibat

hiperkalemia dimana mekanismenya belum diketahui, walaupun

hal ini jarang didapatkan. Nausea, Vomitus, dan nyeri abdomen

difus dijumpai sekitar 90% dari pasien dan biasanya merupakan

inpending dari krisis addison. Diare kurang umum daripada

nausea, vomitus dan nyeri abdomen dan terjadi pada sekitar 20%

Page 15: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

pasien. Jika dijumpai diare, biasanya akan disertai dengan

komplikasi dehidrasi dan harus segera dihidrasikan. Gajala flu

berulang telah dilaporkan dalam beberapa kasus. Gangguan mood

termasuk depresi, iritabilitas, dan konsentrasi menurun.5,6

Diagnosis mungkin tertunda karena depresi komorbid atau

penyakit kejiwaan lainnya. Temuan fisik termasuk

hiperpigmentasi pada kulit dan membran mukosa, berkurangnya

rambut pubis dan aksila pada wanita, vitiligo, dehidrasi, dan

hipotensi. Membran mukosa oral hiperpigmentasi merupakan

patognomonik untuk penyakit ini . Pigmentasi pada penyakit

Addison disebabkan karena timbunan melanin pada kulit dan

mukosa. Pigmentasi juga dapat terjadi pada penderita yang

menggunakan kortikosteroid jangka panjang, karena timbul

insufisiensiadrenal dengan akibat meningkatnya hormon

adrenokortikotropik. Hormon adrenokortikotropik ini

mempunyaiMSH-like effect. Pada penyakit Addison terdapat

peningkatan kadar beta MSH dan hormon adrenokortikotropik.

Hiperpigmentasi pada kulit (lihat gambar di bawah) dianggap

sebagai ciri khas penyakit Addison dan dijumpai dalam 95%

pasien dengan insufisiensi adrenal kronis primer. Namun,

hiperpigmentasi bukanlah tanda universal ketidakcukupan adrenal.

Tampilan kulit normal tidak menyingkirkan diagnosis penyakit

addison. Kulit mungkin tampak normal, atau vitiligo mungkin

hadir. Peningkatan pigmentasi menonjol di daerah kulit seperti

lipatan kulit. Hiperpigmentasi ini juga menonjol pada puting,

aksila, perineum. Wanita mungkin kehilangan androgen yang

menstimulus pertumbuhan rambut, seperti rambut pubis dan

aksila, karena androgen diproduksi di korteks adrenal. Pria tidak

memiliki kehilangan rambut karena androgen pada laki-laki

diproduksi terutama di testis.5,6

Page 16: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

2.2. Hiperkortisolisme (Sindrom cushing)

2.2.1. Definisi

Sindrom cushing adalah manifestasi klinis dari kelebihan

abnormal hormon glukokortikoid dalam waktu lama dengan segala

konsekuensinya.7

2.2.2. Epidemiologi

Sindrom Cushing relatif langka dan paling sering terjadi

pada usia 20 hingga 50 tahun. Orang yang menderita obesitas dan

DM-tipe 2, disertai dengan hipertensi dan gula darah yang tidak

terkontrol, akan meningkatkan risiko terserang penyakit ini.8

Sebagian besar kasus sindrom Cushing disebabkan iatrogenik

pemberian glukokortikoid eksogen, sedangkan kejadian tahunan

sindrom Cushing endogen telah diperkirakan sebesar 13 kasus per

juta individu. Dari kasus-kasus ini, sekitar 70% disebabkan

hiperplasi adrenal bilateral oleh hipersekresi ACTH hipofisis atau

produksi ACTH oleh tumor non endokrin (pituitary ACTH-

producing tumor), 15% karena ACTH ektopik, dan 15% karena

tumor adrenal primer.9 Insiden hiperplasi hipofisis adrenal tiga kali

lebih besar pada wanita dari pada laki-laki, kebanyakan muncul

pada usia dekade ketiga atau keempat.10 Insiden puncak dari sindrom

Cushing, baik yang disebabkan oleh adenoma adrenal maupun

hipofisis terjadi sekitar usia 25-40 tahun. Pada ACTH ektopik,

insiden lebih sering pada laki-laki dibanding wanita.9

2.2.3. Etiologi

Penyebab sindrom Cushing dikategorikan menjadi ACTH

dependent dan ACTH independent11 :

a. ACTH dependent

1. Penyakit Cushing

Penyakit Cushing menyebabkan 70% dari sindrom

Cushing. Pada penyakit ini kelenjar adrenal menunjukkan

Page 17: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

hiperplasia adrenokortikal bilateral serta pelebaran zona

fasikulata dan zona retikularis.

2. Sindrom ACTH ectopic

Sindrom ini meliputi 10% kasus ACTH dependent.

Produksi ACTH dari tumor yang bukan berasal dari

hipsofisis, yang menyebabkan hiperkortisolism berat tapi

tidak selalu menunjukkan gejala klasik kelebihan

glukokortikoid. Gambaran klinik dari sindrom ini sering

didapati pada penderita tumor paru yaitu tipe bronchial

carcinoid dan small cell carcinoma

b. ACTH independent

1. Adenoma adrenal dan karsinoma adrenal pensekresi kortisol

Adenoma meliputi 10 – 15% sindrom cushing dan

carcinoma meliputi < 5%. Gambaran hiperkotisolism disertai

nyeri pinggang dan abdomen. Tumor mungin dapat teraba.

Tumor dapat mensekresi steroid lain seperti androge dan

mineralolortikoid. Sehingga pada wanita sering dijumpai

hirsuitisme, clitoromegali, atropi payudara, suara menjasi

dalam dan jerawat berlebihan.

2. Sindrom McCune Albright

Manifestasi yang paling sering adalah pubertas prekoks

dan kelebihan hormon pertumbuhan serta sindrom Cushing.

Penyebab sindrom ini adalah mutasi G protein yang

menyebabkan aktivasi G protein yang memiliki efek seperti

ACTH sehingga menyebabkan ACTH menurun dan terjai

adenoma adrenal.

3. Sindrom Cushing iatrogenik

Timbulnya sindrom Cushing tergantung dosis, lama

pemberian dan potensi kortikosteroid. Beberapa gejala klinis

yang nampak seperti peningkatan tekanan intraokular,

katarak, benign intracranial hypertension, osteoporosis.

Page 18: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

Hipertensi, hirsuitisme, amenorrhea, dan oligomenorrhea

juga bisa timbul.

2.2.4. Patofisiologi

Abnormalitas sekresi ACTH. Walaupun terdapat hipersekresi

ACTH, respons terhadap stress tidak ada, stimulasi-stimulasi seperti

hipoglikemia atau tindakan pembedahan gagal untuk meningkatkan

sekresi ACTH dan kortisol lebih lanjut. Hal ini mungkin disebabkan

oleh adanya supresi fungsi hipotalamus dan sekresi CRH oleh

hiperkortisolisme, yang menyebabkan hilangnya kontrol hipotalamus

pada sekresi ACTH.12

Efek kortisol yang berlebihan. Kortisol yang berlebihan tidak

hanya menghambat fungsi hipotalamus dan hipofisis yang normal,

mempengaruhi pelepasan ACTH, tirotropin, GH dan gonadotropin,

tetapi juga mempengaruhi semua sistim akibat efek sistemik

glukokortikoid yang berlebihan.12

Androgen yang berlebihan. Sekresi androgen oleh adrenal juga

meningkat pada penyakit Cushing dan derajat berlebihnya androgen

paralel dengan ACTH serta kortisol. Jadi kadar DHEA sulfat dan

androstenedion dalam plasma meningkat dalam tingkat sedang pada

penyakit Cushing; konversi perifer hormon hormon ini menjadi

testosterone dan dihidrotestosteron menyebabkan kelebihan

androgen. Pada wanita hal ini menyebabkan hirsutisme,

aknedanamenorea. Pada pria pasien penyakit Cushing, supresi LH

oleh kortisol akan menyebabkan penurunan sekresi testosterone oleh

testis, menyebabkan menurunnya libido dan impotensi. Peningkatan

sekresi androgen adrenal tidak cukup untuk mengkompensasi

terjadinya penurunan produksi testosteron gonadal.12

2.2.5. Manifestasi klinis

Sindrom Cushing memiliki manifestasi klinis diantaranya11 :

Page 19: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

a. Obesitas

Peningkatan berat badan dan obesitas adalah gejala yang

sangat sering dijumpai pada sindrom Cushing. Obesitas terjadi di

abdominal kecuali anak-anak terjadi menyeluruh. Dapat pula

menunjukkan adanya deposisi lemak di daerah torakoservikal

atau dikenal sebagai buffalo hump, pada daerah supraklavikular,

dan pada pipi dan regio temporal sehingga memberi gambaran

wajah bulat seperti bulan (moon face).

b. Organ reproduktif

Disfungsi gonad sering dijumpai pada wanita dan pria.

Pada wanita terjadi gangguan menstruasi dan libido pada wanita

maupun pria. Hirsuitisme dan jerawat sering terjadi pada wanita.

Bentuk hirsuitisme yang sering adalah vellus hypertrihosis pada

wajah.

c. Gangguan psikiatri

Gangguan ini terjadi pada > 50% penderita. Depresi dengan

agitasi, letargi, paranoid dan psikosis dapat dijumpai pada

penderita. Terjadi juga gangguan memori dan fungsi kognitif

serta mudah tersinggung dan insomnia.

d. Tulang

Pada anak, gangguan yang terjadi pada pertumbuhan linear

dan kenaikan berat badan. Pada penderita lama sering terjadi

kolaps vertebra akibat osteoporosis. Fraktur patologis bisa tejadi

sponton dan akibat trauma minor seperti fraktur kosta,

osteonekrosis pada caput femoris dan humer.

e. Kulit

Sindrom ini menyebabkan kulit menipis dan kerutan pada

punggung tangan yang disebut Liddle. Trauma minor

menyebabkan memar. Kulit plethoric terjadi pada wajah disertai

penipisan jaringan lemak subkutan. Jerawat dan lesi papular

sering terjadi di wajah, dada dan punggung. Striae yang berwarna

merah keunguan sering ditemukan di perut.

Page 20: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

f. Otot

Miopati pada otot proksimal tungkai bawah dan otot bahu

serta memar otot adalah gejala yang sering dijumpai.

g. Kardiovaskular

Hipertensi adalah gejala yang umum dijumpai pada

sindrom ini (75%). Hipertensi, DM dan dislipidemia

meningkatkan mortalitas kardiovaskular. Tromboemboli juga

terjadi pada sindrom ini.

h. Infeksi

Infeksi terjadi karena respon inflamasi yang menurun,

seperti reaktibvasi pada kasus TBC. Infeksi kulit yang sering

terjadi seperti tinea versicolor. Luka menjadi sukar sembuh dan

perforasi usus yang tidak disadari sering terjadi pada sindrom ini.

i. Metabolik endokrin

Gangguan toleransi glukosa dan DM terjadi pada sepertiga

kasus sindrom ini. Hiperkortisolisme menyebabkan

hypogonadotropic hypogonadism akibat penekanan pada sekresi

TSH dan gonadotropin serta menurunkan hormon pertumbuhan.

Peningkatan kolesterol dan trigliserida juga terjadi pada sindrom

ini.

j. Mata

Gangguan yang terjadi seperti peningkatan tekanan

intraokular dan eksoftalmus akibat deposisi lemak retroorbital

yang meningkat. Sering juga ditenui katarak pada sindrom ini.

2.2.6. Diagnosis

Langkah-langkah diagnostik yang dianjurkan adalah:

mengenali sindrom cushing, konfirmasi tes biokimiawi untuk

membuktikan kelebihan kortisol, mencari penyebab dan mencari

strategi terpai yang sesuai. Tentunya anamnesis yang detail (terutama

membedakan sindrom cushing endogen dan eksogen), pemeriksaan

fisik yang teliti, dan pemeriksaan penunjang yang tepat akan

Page 21: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

membawa ke arah etiologi yang jelas. Tampilan yang klasik dari

aspek metabolik, kardiovaskular, kulit, muskuloskeletal, dan

manifestasi psikiatrik, biasanya mudah bagi dokter untuk

mengenalinya, tetapi tidak jarang kasusnya ringan, dan hanya

beberapa tanda saja yang muncul karena kenaikan hormon kortisol

yang ringan dan siklik. Tugas para klinisi saat mencurigai sindrom

cushing tentu berusaha mengenali secermat mungkin gejala dan

tanda yang berhubungan dengan hiperkortisolisme.11

Setelah kita mencurigai secara klinis maka langkah selanjutnya

adalah membuktikan bahwa terdapat kelebihan sekresi hormon

kortisol dan mekanisme umpan balik aksis hipotallamus-pituitari-

adrenal. untuk pemeriksaan laboratorium awal banyak guidelines

menganjurkan salah satu dari beberapa tes berikut: dua kali

pemeriksaan 24 jam kortisol bebas urin, late-night salivary kortisol,

1-mg overnight dexamethason suppression test (DST), atau longer

low-dose DST. Pada suatu survey di kalangan endocrinologist, ketiga

pemeriksaan di atas adalah jenis pemeriksaan awal yang paling

sering dilakukan untuk mengevaluasi kemungkinan sindrom cushing.

Seringkali sulit atau belum tersedia pemeriksaan-pemeriksaan yang

disebutkan di atas di negara berkembang, sehingga secara pragmatis

seringkali hanya memeriksa kortisol pagi. Untuk kortisol plasma

sewaktu pagi hasilnya cukup dapat diterima jika hasilnya ekstrim

tinggi.11

Jika sudah cukup bukti adanya sindrom cushing dari klinis dan

laboratorium, maka langkah selanjutnya adalah mencari penyebab

kelainan hormon kortisol tersebut. Pemeriksaan ACTH adalah

langkah selanjutnya, dimana jika didapatkan hasil ACTH <10 pg/mL

maka sindrom cushing tersebut adalah ACTH-independent (adrenal

cushing) dan jika ACTH normal atau menetap tinggi lebih dari 15

pg/mL maka termasuk kelompok yang ACTH-dependent.11

Page 22: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

2.2.7. Komplikasi

Sindrom cushing mengakibatkan beragam komplikasi sistemik

diantaranya obesitas sentral, hipertensi, gangguan toleransi glukosa

dan diabetes, dyslipidemia, thrombosis, kelainan psikiatrik, penyakit

ginjal, osteoporosis, bersama-sama dengan meningkatnya resiko

kardiovaskular.7

2.2.8. Tatalaksana

Disesuaikan dengan penyebab dasar dan organ yang terkena.

Pilihan terapi adalah operasi, radioterapi, atau medikametosa. Untuk

penyakit cushing pilihan utama adalah operasi transfenoid lalu

dilanjutkan dengan radioterapi dan medikametosa bila diperlukan.

Untuk adrenal cushing pilihan terapi adalah operasi sesuai dengan

lesi yang ditemukan dan selalu didahului dengan pemberian anti

streoidogeesis (ketokonazol, mifepristone, mitotan, metirapon).

Untuk adrenalektomi bilateral diperlukan subsitusi hormonal

glukokortikoid dan mineralokortikoid terus-menerus pasca operasi.11

2.2.9. Prognosis

Penderita sindrom ini akan meninggal 5 tahun terutama akibat

komplikasi vaskular bila tidak mendapat terapi efektif. Secara

paradoksal setelah koreksi hiperkortisolisme, sering menimbulkan

keluhan lebih berat pada deskuamasi kulit, artropathi, letargi selama

beberapa bulan sebelum gejala membaik. Juga sering terjadi

penurunan produksi GH. Setelah pengobatan sindrom ini akan

menghilang dalam 2 – 12 bulan. DM dan hipertensi akan membaik.

Osteopenia akan membaik dalam 2 tahun. fraktur vertebra dan

osteonekrosis dapat menyebabkan deformitas permanen. Obesitas

sentral dan miopati bersifat reversibel. Gangguan reproduksi

membaik setelah 6 bulan.11

Page 23: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

2.3. Kortikosteroid

2.3.1. Farmakokinetik

a) Absorpsi

Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral

diabsorpsi cukup baik. Untuk mencapai kadar tinggi dengan cepat

dalam cairan tubuh, ester kortisol dan derivat sintetiknya

diberikan secara IV. Untuk mendapatkan efek yang lama kortisol

dan esternya diberikan secara IM. Perubahan struktur kimia sangat

mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama kerja

karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan

protein. Prednison adalah prodrug yang dengan cepat diubah

menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh.

Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjuntiva

dan ruang sinovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah

kulit yang luas dapat menyebabkan efek sistemik, antara lain

supresikorteks adrenal.13

b) Distribusi

Pada keadaan normal, 90% kortisol terikat pada 2 jenis

protein plasma yaitu globulin pengikat kortikosteroid dan

albumin. Afinitas globulin tinggi tetapi kapasitas ikatnya rendah,

sebaliknya afinitas albumin rendah tetapi kapasitas ikatnya

relative tinggi. Karena itu pada kadar rendah atau normal,

sebagian besar kortikosteroid terikat globulin. Bila kadar

kortikosteroid meningkat jumlah hormon yang terikat albumin dan

bebas juga meningkat, sedangkan yang terikat globulin sedikit

mengalami perubahan. Kortikosteroid berkompetisi sesamanya

untuk berikatan dengan globulin pengikat kortikosteroid; kortisol

mempunyai afinitas tinggi sedangkan metabolit yang terkonjugasi

dengan asam glukoronat dan aldosteron afinitasnya rendah.13

Kehamilan atau penggunaan estrogen dapat meningkatkan

kadar globulin pengikat kortikosteroid, kortisol plasma total dan

Page 24: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

kortisol bebas sampai beberapa kali. Telah diketahui bahwa hal ini

tidak terlalu bermakna terhadap fungsi tubuh.13

c) Metabolisme

Biotransformasi steroid terjadi di dalam dan di luar hati.

Metabolitnya merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah.

Semua kortikosteroid yang aktif memiliki ikatan rangkap pada

atom C4,5 dan gugus keton pada atom C3. Reduksi ikatan

rangkap C4,5 terjadi di dalam hati dan jaringan ekstra hepatic

serta menghasilkan senyawa inaktif. Perubahan gugus keton

menjadi gugus hidroksil hanya terjadi di hati. Sebagian besar hasil

reduksi gugus keton pada atom C3 melalui gugus hidroksinya

secara enzimatik bergabung dengan asam sulfat atau asam

glukoronat membentuk ester yang mudah larut dan kemudian

diekskresi. Reaksi ini terutama terjadi di hepar dan sebagian kecil

di ginjal.13

Oksidasi gugus 11-hidroksil yang reversible terjadi secara

cepat di hepar dan secara lambat di ekstra hepatik. Untuk aktivitas

biologiknya, kortikosteroid dengan gugus keton pada atom C11

harus direduksi menjadi senyawa 11-hidroksil; sedangkan reduksi

gugus keton pada atom C20 hanya memberikan senyawa dengan

aktivitas biologik yang lemah. Kortikosteroid dengan gugus

hidroksil pada atom C17 akan dioksidasi menjadi 17-ketosteroid

yang tidak mempunyai aktivitas kortikosteroid tetapi bersifat

androgenik. Adanya sekresi 17-keto-steroid dalam urin dapat

dipakai sebagai ukuran aktivitas hormon kortikosteroid dalam

tubuh.13

d) Ekskresi

Setelah penyuntikan IV steroid radioaktif sebagian besar

dalam waktu 72 jam diekskresi dalam urin, sedangkan di feses dan

empedu hamper tidak ada. Diperkirakan paling sedikit 70%

kortisol yang diekskresi mengalami metabolisme di hepar. Masa

paruh eliminasi kortisol sekitar 1,5 jam. Adanya ikatan rangkap

Page 25: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

dalam atom C 1-2 atau substitusi atom fluor menghambat proses

metabolism dan karenanya dapat memperpanjang masa paruh

eliminasi.13

2.3.2. Farmakodinamik

Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat,

protein dan lemak; dan mempengaruhi juga fungsi sistem

kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf, dan organ lain. Korteks

adrenal berfungsi homeostatik, artinya penting bagi organisme untuk

dapat mempertahankan diri dalam menghadapi perubahan

lingkungan.14

Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya

dosis, makin besar dosis terapi makin besar efek yang didapat. Tetapi

disamping itu juga ada keterkaitan kerja kortikosteroid dengan

hormon-hormon lain. Peran kortikosteroid dalam kerjasama ini

disebut permissive effects, yaitu kortikosteroid diperlukan supaya

terjadi suatu efek hormon lain, diduga mekanismenya melalui

pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah

respon jaringan terhadap hormon lain. Misalnya otot polos bronkus

tidak akan berespon terhadap katekolamin bila tidak ada

kortikosteroid, dan pemberian kortikosteroid dosis fisiologis akan

mengembalikan respon tersebut.14

Suatu dosis kortikosteroid dapat memberikan efek fisiologik

atau farmakologik, tergantung keadaan sekitar dan aktivitas individu.

Misalnya, hewan tanpa kelenjar adrenal yang berada dalam keadaan

optimal hanya membutuhkan kortikosteroid dosis kecil untuk dapat

mempertahankan hidupnya. Meskipun kortikosteroid mempunyai

berbagai macam aktivitas biologik, umumnya potensi sediaan alamiah

maupun yang sintetik, ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium

dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat

antiinflamasinya.14

Page 26: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan atas dua

golongan besar, yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Efek

utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan

efek anti-inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air

dan elektrolit kecil. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol.

Sebaliknya golongan mineralokortikoid efek utamanya adalah

terhadap keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya

terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat kecil. Prototip golongan

ini adalah desoksikortikosteron. Umumnya golongan

mineralokortikoid tidak mempunyai khasiat anti-inflamasi yang

berarti, kecuali 9 α-fluorokortisol.14

Pengaruh kortikosteroid terhadap fungsi dan organ tubuh ialah

sebagai berikut14 :

a. Metabolisme karbohidrat dan protein. Glukokortikoid

meningkatkan kadar glukosa darah sehingga merangsang

pelepasan insulin dan menghambat masuknya glukosa ke dalam

sel otot. Glukokortikoid juga merangsang lipase yang sensitive

dan menyebabkan lipolisis. Peningkatan kadar insulin merangsang

lipogenesis dan sedikit menghambat lipolisis sehingga hasil

akhirnya adalah peningkatan deposit lemak, peningkatan

pelepasan asam lemak, dan gliserol ke dalam darah. Efek ini

paling nyata pada kondisi puasa, dimana kadar glukosa otak

dipertahankan dengan cara glukoneogenesis, katabolisme protein

otot melepas asam amino, perangsangan lipolisis, dan hambatan

ambilan glukosa di jaringan perifer.

Hormon ini menyebabkan glukoneogenesis di perifer dan di

hepar. Di perifer steroid mempunyai efek katabolic. Efek

katabolik inilah yang menyebabkan terjadinya atrofi jaringan

limfoid, pengurangan massa jaringan otot, terjadi osteoporosis

tulang, penipisan kulit, dan keseimbangan nitrogen menjadi

negative. Asam amino tersebut dibawa ke hepar dan digunakan

Page 27: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

sebagai substrat enzim yang berperan dalam produksi glukosa dan

glikogen.

b. Metabolisme lemak. Pada penggunaan glukokortikoid dosis besar

jangka panjang atau pada sindrom cushing, terjadi gangguan

distribusi lemak tubuh yang khas. Lemak akan terkumpul secara

berlebihan pada depot lemak; leher bagian belakang (buffalo

hump), daerah supraklavikula dan juga di muka (moon face),

sebaliknya lemak di daerah ekstremitas akan menghilang.

c. Keseimbangan air dan elektrolit. Mineralokortikoid dapat

meningkatkan reabsorpsi Na+ serta ekskresi K+ dan H+ di tubuli

distal. Dengan dasar mekanisme inilah, pada hiperkortisisme

terjadi: retensi Na yang disertai ekspansi volume cairan ekstrasel,

hipokalemia, dan alkalosis. Pada hipokortisisme terjadi keadaan

sebaliknya: hiponatremia, hiperkalemia, volume cairan ekstrasel

berkurang dan hidrasi sel.

d. System kardiovaskular. Kortikosteroid dapat mempengaruhi

sistem kardiovaskular secara langsung dan tidak langsung.

Pengaruh tidak langsung ialah terhadap keseimbangan air and

elektrolit; misalnya pada hipokortisisme, terjadi pengurangan

volume yang diikuti peningkatan viskositas darah. Bila keadaan

ini didiamkan akan timbul hipotensi dan akhirnya kolaps

kardiovaskular. Pengaruh langsung steroid terhadap sistem

kardiovaskular antara lain pada kapiler, arteriol, dan miokard.

Defisiensi kortikosteroid dapat menyebabkan hal-hal

sebagai berikut: permeabilitas dinding kapiler meningkat, respons

vasomotor pembuluh darah kecil menurun, fungsi jantung dan

curah jantung menurun, sehingga pasien harus dimonitor untuk

gejala dan tanda-tanda edema paru.

Pada aldosteronisme primer gejala yang mencolok ialah

hipertensi dan hipokalemia. Hipokalemia diduga disebabkan oleh

efek langsung aldosteron pada ginjal, sedangkan hipertensi diduga

akibat retensi Na yang berlebihan dan berlangsung lama yang

Page 28: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

dapat menimbulkan edema antara dinding arteriol, akibatnya

diameter lumen berkurang dan resistensi pembuluh perifer akan

bertambah.

e. Otot rangka. Untuk mempertahankan otot rangka agar dapat

berfungsi dengan baik, dibutuhkan kortiosteroid dalam jumlah

cukup. Tetapi apabila hormon ini berlebihan, timbul gangguan

fungsi otot rangka tersebut. Disfungsi otot pada insufisiensi

adrenal diakibatkan oleh gangguan sirkulasi. Pada keadaan ini

tidak terjadi kerusakan otot maupun sambungan saraf otot.

Pemberian transfuse atau kortisol dapat mengembalikan kapasitas

kerja otot. Kelemahan otot pada pasien aldosterisme primer,

terutama karena adanya hipokalemia. Pada pemberian

glukokortikoid dosis besar untuk waktu lama dapat timbul wasting

otot rangka yaitu pengurangan massa otot, diduga akibat efek

katabolik dan antianaboliknya pada protein otot yang disertai

hilangnya massa otot, penghambatan aktivitas fosforilase, dan

adanya akumulasi kalsium otot yang menyebabkan penekanan

fungsi mitokondria.

f. Susunan saraf pusat. Pengaruh kortikosteroid terhadap SSP dapat

secara langsung dan tidak langsung. Pengaruhnya secara tidak

langsung disebabkan efeknya pada metabolisme karbohidrat,

sistem sirkulasi, dan keseimbangan elektrolit. Adanya efek steroid

pada SSP ini dapat dilihat dari timbulnya perubahan mood,

tingkah laku, EEG, dan kepekaan otak, terutama untuk

penggunaan waktu lama atau pasien penyakit Addison.

Pengunaan glukokortikoid dalam waktu lama dapat

menimbulkan serangkaian reaksi yang berbeda-beda. Sebagian

besar mengalami perbaikan mood yang mungkin disebabkan

hilangnya gejala penyakit yang sedang diobati; yang lain

memperlihatkan keadaan euphoria, insomnia, kegelisahan, dan

peningkatan aktivitas motorik. Kortisol juga dapat menimbulkan

Page 29: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

depresi. Pasien yang pernah mengalami gangguan jiwa sering

memperlihatkan reaksi psikotik.

g. Elemen pembentuk darah. Glukokortikoid dapat meningkatkan

kadar hemoglobin dan jumlah sel darah merah, hal ini terbukti

dari seringnya timbul polisitemia pada sindrom cushing.

Sebaliknya pasien Addison dapat mengalami anemia

normokromik, normositik yang ringan.

Glukokortikoid juga dapat meningkatkan jumlah leukosit

PMN, karena mempercepat masuknya sel-sel tersebut ke dalam

darah dari sumsum tulang dan mengurangi kecepatan

berpindahnya sel dari sirkulasi. Sedangkan jumlah sel limfosit,

eosinofil, monosit, dan basofil dapat menurun dalam darah setelah

pemberian glukokortikoid.

h. Efek anti-inflamasi dan imunosupresif. Kortisol dan analog

sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala

inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen.

Secara mikroskopik obat ini menghambat fenomena inflamasi dini

yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke

tempat radang dan aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat

menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu

proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan kolagen dan

pembentukan sikatriks. Hal ini karena efeknya yang besar

terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit perifer dan

juga disebabkan oleh efek supresinya terhadap cytokyne dan

chemokyne imflamasi serta mediator inflamasi lipid dan

glukolipid lainnya. Inflamasi, tanpa memperhatikan penyebabnya,

ditandai dengan ekstravasasi dan infiltrasi leukosit kedalam

jaringan yang mengalami inflamasi. Peristiwa tersebut

diperantarai oleh serangkaian interaksi yang komplek dengan

molekul adhesi sel, khusunya yang berada pada sel endotel dan

dihambat oleh glukokortikoid. Sesudah pemberian dosis tunggal

glukokortikoid dengan masa kerja pendek, konsentrasi neutrofil

Page 30: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

meningkat , sedangkan limfosit, monosit dan eosinofil dan basofil

dalam sirkulasi tersebut berkurang jumlahnya. Perubahan tersebut

menjadi maksimal dalam 6 jam dan menghilang setelah 24 jam.

Peningkatan neutrofil tersebut disebabkan oleh peningkatan aliran

masuk ke dalam darah dari sum-sum tulang dan penurunan

migrasi dari pembuluh darah, sehingga menyebabkan penurunan

jumlah sel pada tempat inflamasi.

Glukokortikoid juga menhambat fungsi makrofag jaringan

dan sel penyebab antigen lainnya. Kemampuan sel tersebut untuk

bereaksi terhadap antigen dan mitogen diturunkan. Efek terhadap

makrofag tersebut terutama menandai dan membatasi

kemampuannya untuk memfagosit dan membunuh

mikroorganisme serta menghasilkan tumor nekrosis factor-a,

interleukin-1, metalloproteinase dan activator plasminogen.

Selain efeknya terhadap fungsi leukosit, glukokortikoid

mempengaruhi reaksi inflamasi dengan cara menurunkan sintesis

prostaglandin, leukotrien dan platelet-aktivating factor.

Glukokortikoid dapat menyebabkan vasokonstriksi apabila

digunakan langsung pada kulit, yang diduga terjadi dengan

menekan degranulasi sel mast. Glukokortikoid juga menurunkan

permeabilitas kapiler dengan menurunkan jumlah histamine yang

dirilis oleh basofil dan sel mast.

Penggunaan kortokosteroid dalam klinik sebagai

antiinflamasi merupakan terapi paliatif, yaitu hanya gejalanya

yang dihambat sedangkan penyebabnya tetap ada. Konsep terbaru

memperkirakan bahwa efek imunosupresan dan antiinflamasi

yang selama ini dianggap sebagai efek farmakologi kortikosteroid

sesungguhnya secara fisiologis pun merupakan mekanisme

protektif.

i. Jaringan limfoid dan sistem imunologi. Glukokortikoid tidak

menyebabkan lisis jaringan limfoid yang masif, golongan obat ini

dapat mengurangi jumlah sel pada leukemia limfoblastik akut dan

Page 31: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

beberapa keganasan sel limfosit. Kortikosteroid bukan hanya

mengurangi jumlah limfosit tetapi juga respons imunnya.

Kortikosteroid juga menghambat inflamasi dengan menghambat

migrasi leukosit ke daerah inflamasi.

j. Pertumbuhan. Penggunaan glukokortikoid dalam waktu lama

dapat menghambat pertumbuhan anak, karena efek antagonisnya

terhadap kerja hormon pertumbuhan di perifer. Terhadap tulang,

glukokortikoid dapat menghambat maturasi dan proses

pertumbuhan memanjang.

Penghambatan pertumbuhan pada pemakaian kortikosteroid

disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor: hambatan

somatomedin oleh hormon pertumbuhan, hambatan sekresi

hormon pertumbuhan, berkurangnya proliferasi sel di kartilago

epifisis dan hambatan aktivitas osteoblas di tulang.

2.3.3. Klasifikasi

Berikut berupa klasifikasi dari obat kortikosteroid15 :

Tabel 1. Klasifikasi obat kortikosteroid

Page 32: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

2.3.4. Indikasi

Ada 6 prinsip yang perlu diperhatikan dalam penggunaan

kortikosteroid, yaitu16 :

1. Untuk tiap penyakit pada tiap pasien dosis efektif harus

ditetapkan dengan trial and error, dan harus dievaluasi dari waktu

ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit.

2. Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak

berbahaya

3. Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya

kontraindikasi spesifik tidak membahayakan kecuali dengan dosis

sangat besar.

4. Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih hingga

dosis melebihi dosis substitusi, insidens efek samping dan efek

letal potensial akan bertambah

5. Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid

bukan merupakan terapi kausal maupun kuratif tetapi hanya

bersifat paliatif karena efek anti inflamasinya

6. Penghentian pengobatan secara tiba-tiba pada terapi jangka

panjang dengan dosis besar, mempunyai resiko insufisiensi

adrenal hebatdan dapat mengancam jiwa pasien

Adapun indikasi penggunaan kortikosteroid adalah sebagai berikut16 :

a. Terapi subtitisi

1. Insufisiensi adrenal akut

Biasanya diakibatkan oleh kelainan adrenal atau

penghentian kortkosteroid dosis besar secara tiba-tiba.

Insufisiensi primer : 20-30 mg hidrokortison tiap hari +

preparat mineralkortokoid

2. Insufisiensi adrenal kronik

Diakibatkan operasi atau lesi korteks adrenal. Diberi

Hidrokortison 20-30 mg/hari dlm dosis terbagi (+

mineralkortikoid)

3. Hiperplasia adrenal kongenital

Page 33: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

Terjadi defisiensi aktivitas salah satu enzim untuk

biosintesis kortikosteroid menyebabkan produksi

kortisol/aldosteron menurun dan tidak terjadi feedback

negative

4. Insufisiensi adrenalo sekunder akibat insufisiensi

adrenohipofisis

Dengan gejala utama hipoglikemia. Tatalaksana diberi

Kortisol (pagi 20 mg, sore 10 mg)

b. Terapi non endokrin

1. Penyempurnaan fungsi paru pada fetus

Sekresi kortisol fetus dapat mempengaruhi

penyempurnaan fungsi paru. Diberikan betametason/

deksametason dosis besar pada ibu hamil yang akan melahirkan

bayi prematur dapat diberikan selama 2 hari pd minggu ke 27-

34 kehamilan

2. Reumatoid artritis

Kortikosteroid diberikan pada beberapa pasien

rematoid artritis yang sifatnya progresif dengan

pembengkakan dan nyeri sendi hebat hingga tidak dapat

beraktivitas walaupun sudah istirahat, terapi fisik dan diberi

NSAID. Pada tahap awal diberikan Awal prednison 7,5

mg/hari, dosis terbagi. Jika perlu ditambah triamsinolon

asetonid 5-20 mg intraartikular (hanya boleh tiap 3 bulan)

3. Penyakit alergi

Jika hanya berlangsung pada waktu tertentu dan

glukokortikoid hanya sebagai tambahan. Pada keadaan

mengancam nyawa à diberi IV (misalnya deksametason

natrium fosfat 8-12 mg)

Page 34: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

2.3.5. Kontraindikasi

Pada umumnya tidak ada kontraindikasi absolut pada

pemberian kortikosteroid. Hanya saja apabila ingin menggunakan

kortikosteroid dalam waktu beberapa hari atau minggu perlu

diperhatikan riwayat Diabetes Mellitus, hipertensi, gangguan pada

jantung dan lain sebagainya. Pemberian obat ini juga perlu

memperhatikan besaran efek samping atau manfaat yang kita

harapkan.

2.3.6. Dosis

Di bawah ini terdapat potensi dan dosis ekivalen berbagai jenis

glukokortikoid, yaitu17 :

2.3.7. Efek samping

Berikut efek samping kortikosteroid15 :

a. Penekanan respon infeksi atau jejas

Infeksi oportunistik dapa berpotensi serius kecuali

ditangani cepat dengan agen antimikroba. Penyembuhan luka juga

tengganggu dan ulserasi peptik dapat terjadi. Candidiasis pada

oral sering terjadi saat penggunaan glukokortikoid inhalasi karena

penurunan mekanisme anti infeksi lokal

Page 35: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

b. Sindrom Cushing

Gambar 2. Penampakan tubuh sindrom Cushing

c. Osteoporosis menimbulkan suatu risiko fraktur yang berbahaya

dlam pemakaian glukokortikoid jangka panjang. Obat jenis ini

mempengaruhi densitas tulang dengan regulasi kalsium dan

metabolisme fosfat serta pergantian kolagen. Obat ini mengurangi

fungsi osteoblas untuk deposisi matriks tulang dan meningkatkan

aktivitas osteoklas yang merusak matriks tulang. Efek terhadap

suplai darah dapat mengakibatkan nkrosis avaskular caput

femoris.

d. Hiperglikemia diakibatkan obat ini dapat mengakibatkan DM

e. Muscle Wasting dan pelemahan otot

f. Hambatan pertumbuhan pada anak-anak pada terapi > 6 bulan

g. Pengaruh SSP seperti euforia, depresi dan psikosis

h. Pengaruh lain seperti glaukoma, peningkatan tekanan intrakranial

dan kejadian katarak

Page 36: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

i. Penghentian mendadak obat ini setelah terapi jangka panjang

dapat mengakibatkan insufisiensi adrenal akut dengan supresi

kapasitas sintesis.

2.4. CTM (Chlorpheniramine Maleate)

2.4.1. Farmakokinetik

Pemberian antihistamin H1 secara oral bisa diabsorpsi dengan

baik dan mencapai konsentrasi puncak plasma rata-rata dalam 2 jam.

Ikatan dengan protein plasma berkisar antara 78-99%. Sebagian besar

antihistamin H1 dimetabolisme melalui hepatic microsomal mixed-

function oxygenase system. Konsentrasi plasma yang relative rendah

setelah pemberian dosis tunggal menunjukkan kemungkinan terjadi

efek lintas pertama oleh hati.16

Waktu paruh antihistamin H1 sangat bervariasi. Klorfeniramin

memiliki waktu paruh cukup panjang sekitar 24 jam, sedang akrivastin

hanya 2 jam. Waktu paruh metabolit aktif juga sangat berbeda jauh

dengan obat induknya, seperti astemizole 1,1 hari sementara metabolit

aktifnya, N-desmethylastemizole, memiliki waktu paruh 9,5 hari. Hal

inilah yang mungkin menjelaskan kenapa efek antihistamin H1 ratarata

masih eksis meski kadarnya dalam darah sudah tidak terdeteksi lagi.

Waktu paruh beberapa antihistamin H1 menjadi lebih pendek pada

anak dan jadi lebih panjang pada orang tua, pasien disfungsi hati,

danm pasien yang menerima ketokonazol, eritromisin, atau

penghambat microsomal oxygenase lainnya.16

2.4.2. Farmakodinamik

Farmakodinamik dari obat CTM (Chlorpheniramine Maleate), yaitu16 :

a. Antagonis terhadap histamine. AH1 menghambat efek histamine

pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-macam otot polos,

AH1 juga berguna untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau

keadaan lain yang disertai pelepasan histamine endogen

berlebihan.

Page 37: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

b. Otot polos. Menghambat kerja histamine pada otot polos usus dan

bronkus.

c. Permeabilitas kapiler, dapat menghambat peningkatan

permeabilitas kapiler dan edema akibat histamine.

d. Reaksi anafilaksis dan alergi. Reaksi anafilaksis dan beberapa

reaksi alergi refrakter terhadap pemberian AH1.

e. Kelenjar eksokrin. Efek perangsangan histamine terhadap sekresi

cairan lambung tidak dapat dihambat oleh AH1. AH1 dapat

mencegah asfiksi pada marmot akibat histamin, tetapi hewan ini

mungkin mati karena AH1 tidak mencegah perforasi lambung

akibat hipersekresi cairan lambung. AH1 dapat menghambat

sekresi saliva dan sekresi kelenjar eksokrin lain akibat histamin.

2.4.3. Indikasi

CTM berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit

alergi dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan.16

2.4.4. Kontraindikasi

Kontraindikasi dari obat CTM adalah pasien dengan riwayat

hipersensitif terhadap obat antihistamin, serangan asama akut, dan bayi

prematur.16

Page 38: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

2.4.5. Dosis

Berikut terdapat dosis berbagai jenis obat CTM, yaitu16 :

2.4.6. Efek samping

Pada dosis terapi, semua antihistamin menimbulkan efek

samping walaupun jarang bersifat serius dan kadang-kadang hilang

bila pengobatan diteruskan. Terdapat variasi yang besar dalam

toleransi terhadap obat antar individu, kadang-kadang efek samping ini

sangat mengganggu sehingga terapi perlu dihentikan. Efek samping

yang paling sering adalah sedasi, yang justru menguntungkan pasien

yang dirawat di RS atau pasien yang perlu banyak tidur. Tetapi efek ini

mengganggu bagi pasien yang memerlukan kewaspadaan tinggi

sehingga meningkatka kemungkinan terjadinya kecelakaan.

Pengurangan dosis atau penggunaan antihistamin jenis lain mungkin

dapat mengurangi efek sedasi ini.16

Page 39: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral

antihistamin ialah vertigo, tinitus, lelah, penat. Inkoordinasi,

penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah, insomnia, dan tremor.

Efek samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu makan

berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau

diare. Efek samping ini akan berkurang bila antihistamin diberikan

sewaktu makan.16

Efek samping lain yang mungkin timbul oleh antihistamin ialah

mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan

lemah pada tangan. Insidens efek samping karena efek antikolinergik

tersebut kurang pada pasien yang mendapat antihistamin nonsedatif.16

2.5. Faktor yang Mempengaruhi Kepadatan Tulang

a. Keturunan dan Ras

Penelitian yang dilakukan pada ibu dan anak mengkonfirmasikan

bahwa keturunan memiliki peran penting dalam kepadatan tulang.

Keturunan lebih banyak mempengaruhi maksimum massa tulang yang

mungkin dicapai selama masa pertumbuhan dan laju kehilangan massa

tulang setelah mengalami menopause.18

Orang Afrika memiliki massa tulang yang lebih padat

dibandingkan dengan orang Eropa. Etnis lain yang memiliki kepadatan

tulang yang lebih rendah selain orang yang berasal dari Eropa Utara

adalah ras asia yang berasal dari China dan Jepang, Meksiko Amerika,

Hispanik yang berasal dari Amerika Tengah dan Selatan.18

b. Umur

Akibat proses penuaan terjadi penurunan kemampuan fungsional

sel-sel tulang. Hal ini mengakibatkan pembentukan tulang berkurang

secara relative dibandingkan dengan resorpsi atau perusakan tulang.

Keadaan tersebut dibuktikan dengan adanya rongga bekas resorpsi yang

tidak sepenuhnya diisi oleh osteoblas setelah siklus remodelling

lengkap.18

Page 40: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

Berkurangnya kemampuan osteoblas membentuk sel tulang baru

dapat disebabkan oleh kerusakan selular atau berkurangnya faktor-faktor

pertumbuhan lokal yang diperlukan untuk memacu pertumbuhan sel

tulang baru. Berkurangnya penyerapan kalsium pada usia lanjut dapat

disebabkan oleh banyak factor diantaranya perubahan pada sel epitel usus

disertai dengan berkurangnya sintesis dan respon terhadap vitamin D.18

c. Riwayat Reproduksi

Wanita memiliki risiko untuk terkena osteoporosis lebih tinggi

daripada pria. Berhentinya sekresi estrogen pada masa menopause

memegang peranan penting terhadap pathogenesis kehilangan massa

tulang pada wanita pasca menopause. Beberapa studi menunjukkan

hubungan laju patah tulang yang meningkat setelah sekresi estrogen

berhenti pada wanita menopause. Selama masa menopause pengaruh

hilangnya estrogen tidak sama pada tiap-tiap bagian tulang trabecular.18

Selain menopause, terdapat beberapa factor reproduksi lain yang

membuat wanita lebih rentan mengalami osteoporosis dibandingkan

dengan laki-laki, factor ini masih perlu untuk diinvestigasi untuk

membutuhkan reliabilitasnya. Faktor tersebut adalah umur saat pertama

kali mengalami menstruasi, umur saat pertama kali mengalami

kehamilan, jumlah kehamilan, dan lamanya pemberian ASI.18

Beberapa penelitian melaporkan adanya kolerasi positif antara usia

saat menopause dan kepadatan mineral tulang dan kolerasi negative

antara umur saat pertama kali mengalami menstruasi dengan kepadatan

mineral tulang. Umur saat pertama kali menstruasi diduga memiliki efek

menstimulasi perkembangan tulang dengan cara meningkatkan aktivitas

osteoblas seiring dengan mulai aktifnya hormon estrogen.18

d. Aktivitas Fisik dan Berat Badan

Terdapat bukti yang sangat meyakinkan dari hasil penelitian secara

prospektif dan retrospektif yang menunjukkan bahwa aktivitas fisik

berkaitan dengan risiko fraktur tulang panggul, dan mereka yang

memiliki gaya hidup sedentary berisiko terkena fraktur tulang panggul

sebesar 20-40% lebih besar dibandingkan dengan mereka yang aktif.

Page 41: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

Sementara itu kajian sistematis dari Randomized Trials menunjukkan

bahwa olahraga secara teratur memiliki efek yang positif padat ulang

punggung dan tulang leher femoral.18

Individu dengan berat badan lebih tinggi cenderung untuk

mempunyai kepadatan tulang lebih tinggi dibandingkan individu yang

berat badannya lebih rendah. Hal ini diduga disebabkan karena berat

badan memiliki efek terhadap massa tulang lebih besar, terutama pada

tulang femur. Kelebihan berat badan membuat stress terhadap tulang

menjadi lebih besar dan meningkatkan tekanan untuk pembentukan

tulang baru untuk mengatasi hal tersebut. Alasan lain adalah karena

cadangan lemak pada individu yang gemuk lebih banyak dibandingkan

dengan individu yang kurus.18

e. Kebiasaan Merokok

Penelitian membuktikan bahwa mereka yang perokok cenderung

mengalami fraktur tulang ringan dibandingkan dengan yang bukan

perokok. Risiko terkena fraktur tulang panggul pada perokok meningkat

seiring dengan jumlah batang rokok yang mereka hisap, hal ini terjadi

pada pria dan wanita, hasil pengukuran kepadatan mineral tulang juga

menunjukkan bahwa perokok memiliki kepadatan mineral tulang yang

lebih rendah dibandingkan dengan yang bukan perokok. Berbagai hasil

penelitian menunjukkan bahwa merokok dapat meningkatkan laju

pengeroposan tulang, salah satunya dengan cara menurunkan absorpsi

kalsium pada usus. Menurunnya absorpsi kalsium berkaitan dengan

hiperparatiroidisme sekunder dan meningkatnya resorpsi tulang.18

f. Kelebihan Protein

Konsumsi protein sangat penting untuk pertumbuhan tulang, tapi

bila kebanyakan maka hal tersebut malah bisa berakibat buruk. Kelebihan

protein yang berasal dari hewani lebih membahayakan tulang ketimbang

protein nabati.19

Tubuh menghasilkan zat kimia tertentu yang disebut sulfat yang

dapat menyebabkan kalsium keluar dari tulang dan sulfat akan diproduksi

semakin banyak ketika Anda banyak makan daging merah.19,20

Page 42: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

g. Konsumsi Kafein Berlebih

Swedish Department of Toxicology’s National Food

Administration melakukan penelitian yang dilakukan pada 31.527 wanita

Swedia usia antara 40 dan 76 tahun yang minum tidak kurang dari 330

miligram kafein atau empat cangkir kopi harian. Penelitian menunjukkan

bahwa mereka lebih rentan terhadap patah tulang.19

Risiko semakin besar ketika Anda sering minum minuman cola.

Tidak hanya kandungan kafeinnya, tetapi juga kandungan fosfor yang

bisa mencuri kepadatan tulang.19

h. Kelebihan Vitamin A

Susu adalah makanan penting yang memasok tubuh dengan

vitamin A yang diperlukan dan kalsium penting untuk pertumbuhan

tulang. Tapi bila asupan vitamin A berlebihan, hal tersebut justru dapat

menyebabkan penurunan kepadatan tulang. Vitamin A mengandung

retinol yang akan menghambat penyerapan vitamin D oleh tulang.

Makanan tinggi vitamin A ditemukan dalam produk hewan seperti hati,

kuning telur dan produk susu. Untuk mendapatkan asupan vitamin A,

vitamin A dalam bentuk beta karoten, seperti sayuran berdaun hijau,

wortel dan ubi jalar lebih cocok untuk tubuh dan membantu dalam

kepadatan tulang.19,20

i. Konsumsi Alkohol

Orang yang kebanyakan mengonsumi alcohol lebih rentan terhadap

berkurangnya kepadatan tulang. Alkohol menghambat penyerapan

vitamin D dan kalsium, yang paling penting untuk pertumbuhan tulang

yang kuat.19,20,21

Satu-satunya cara untuk menghindari masalah ini adalah untuk

mengurangi asupan alcohol atau lebih baik tidak minum minuman

beralkohol sama sekali.19,20,21

2.6. Hubungan Patah Tulang Dengan Obat Yang Dikonsumsi Ny. X

Glukokortikoid mempengaruhi sel-sel tulang secara langsung melalui

berbagai mekanisme yaitu stimulasi osteoklastogenesis, menurunkan fungsi

Page 43: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

dan umur osteoblast, meningkatkan apoptosis osteoblast dan mengganggu

pembentukan proteoblast. Glukokortikoid juga meningkatkan apoptosis

osteosit. Osteosit merupakan sel tulang yang paling banyak jumlahnya dan

terhubung satu dengan yang lainnya membentuk suatu jaringan komunikasi

yang memberikan informasi kepada unit remodeling tulang mengenai lokasi

tulang yang memerlukan proses remodeling. Apoptosis pada osteosit

menyebabkan terputusnya proses signaling tersebut.11

Efek glukokortikoid pada tingkat molekul ar adalah menghambat efek

stimulasi dari insulin-like growth factor 1 pada pembentukan tulang,

menghambat Wnt/betacatenin signaling menyebabkan penurunan

pembentukan tulang, meningkatkan kadar osteoprotegerin menyebabkan

peningkatan osteoklastogenesis serta peningkatan resorpsi tulang.11

Terapi glukokortikoid dapat menyebabkan peningkatan resorpsi tulang

yang terjadi akibat peningkatan kecepatan remodeling tulang, disertai

penurunan pembentukan tulang. Proses tersebut meliputi peningkatan

produksi macrophage stimulating factor dan receptor activator of nuclear

factor k ßligand (RANKL) oleh sel-sel osteoblast, dan down regulation

osteoprotegerin (OPG) sehingga terjadi peningkatan osteoklastogenesis dan

bertambah panjangnya umur osteoklast. Selain itu juga terbukti bahwa

pemakaian glukokortikoid jangka panjang berkaitan dengan menurunnya

osteoblastogenesis dan meningkatkanya apoptosis osteoblast.11

Absorpsi kalsium menurun akibat pengaruh steroid, disertai dengan

penurunan reabsorpsi kalsium pada tubulus ginjal. Selain itu juga terjadi

gangguan pada sekresi hypothalamic gonadotropin releasing hormone yang

menyebabkan penurunan kadar testosterone dan estradiol serum. Terapi

glukokortikoid diduga juga mempengaruhi respon selular dalam

microenvironment tulang melalui modulasi sitokin yang bekerja local untuk

mengatur remodeling, factor tersebut meliputi interleukin-1, tumour necrosis

factor dan insulin-like growth factor.11

Mekanisme glukokortikoid meningkatkan risiko patah tulang belum

diketahui dengan jelas. Efek glukokortikoid terhadap risiko patah tulang

sebagian tidak tergantung densitas massa tulang (BMD), yang menunjukkan

Page 44: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

bahwa perubahan komposisi mineral tulang dan matriks berperan pada

peningkatan fragilitas tulang. Selain itu, peningkatan risiko jatuh pada pasien

dengan glukokortikoid akibat dari kelemahan otot atau kondisi penyakitnya

mungkin juga berperan pada peningkatan risiko fraktur tersebut.11

Gambar 3 Skema patogenesis osteoporosis diinduksi glukokortikoid

Gambar 4 Skema patogenesis osteoporosis diinduksi glukokortikoid

Page 45: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Nn. X, 48 tahun menderita osteoporosis induce glukokortikoid.

Page 46: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

DAFTAR PUSTAKA

1. Faiz, O dan Moffat, D. Anatomy at a Glance. Jakarta: Penerbit Erlangga;

2005.

2. Gartner, LP. Atlas Berwarna Histologi. Edisi 5. Tanggerang: Binarupa

Aksara; 2012.

3. Guyton, AC dan Hall, JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.

Jakarta: EGC; 2008.

4. Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta: EGC;

2012.

5. George, PC. Adenocotical and adenocortical antagonist. In: Katzung’s

editor. Basic and clinical pharmacology, 10th ed. Philadelphia: McGraw-

Hill; 2007.

6. Jacoeb, TZ. Organ Endokrin Ektragonad pada Reproduksi Wanita. Jakarta:

Kursus Imunoendokrinologi Reproduksi Dasar; 2002: 8-12 2.

7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2009.

8. NIDDK. Cushing Syndrome. U.S Department of Health and Human

Services. 2010.

9. Adler, GK. Cushing Syndrome. USA: Harvard Medical School; 2009.

10. Piliang S, Bahri C. Hiperkortisolisme. In : Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit

Dalam. Edisi IV FKUI; 2006. halm .1979-1983.

11. Setiati S, Alwi I, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI.

Jakarta: Internal Publising; 2014.

12. Anwar, S. Kelainan-Kelainan Adrenokortikal. Bandung: Bagian Obsetri

dan Ginekologi Universitas Padjajaran; 2005. p;17-29.

13. Suherman SK, Ascobat P. Farmakologi dan Terapi: Adrenokortikotropin,

Adrenokortikosteroid, Analog-Sintetik dan Antagonisnya. Edisi 5. Jakarta:

Badan Penerbit FKUI; 2012. h. 499-516.

14. Katzung, BG. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika;

2002.

Page 47: Laporan Pemicu 4 Kelompok 1

15. Rang H P, Dale M M, Ritter J M. Rang and dale’s pharmacology. Edisi 7.

Churchill livingstone Elsevier; 2012.

16. Gunawan, SG. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta: Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FKUI; 2012.

17. Schimmer BP, Parker KL. Adrenocortical hormone; Adrenocortical

steroids and their synthetic analogs; inhibitors of the synthesis and actions

of Adrenocortical hormones. In Hardman JG. Limbird LE. Malinoff EB

eds. Goodman& Gilman’s The Pharmacological Basis ofTheurapeutics

9th ed. McGraw-Hill, New York: 1996; 1459 –85

18. Sizer, FS dan Whitney, E. Nutrition: Concepts and Controversies. AS:

Thomson Wadsworth; 2007.

19. Hallström H, Wolk A, Glynn A, Michaëlsson K. Coffee, tea and caffeine

consumption in relation to osteoporotic fracture risk in a cohort of

Swedish women. Swedish Department of Toxicology’s National Food

Administration. 2006.

20. Moesijanti, S dan Kartono, D. Angka Kecukupan Gizi Mineral : Kalsium,

Fosfor, Magnesium, Tembaga, Kromium, Besi, Iodium, Seng, Selenium,

Mangan, Flurida, Natrium dan Kalium. Jakarta: WNPG; 2012.

21. Setyohadi, B. Struktur dan metabolisme tulang. Dalam Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta: Internal Publishing; 2009.