Tutorial Skenario 2
Step 1
1. Sindroma Withdrawl: Gejala putus obat (sakaw), tahap setelah
ketergantungan dihentikan secara tiba-tiba
Step 2
1. Beda Sindroma Withdrawl dan Over Dosis, penangganannya?
2. Gejala yang muncul pada withdrawl/ putus obat?
3. Diagnosa yang bisa ditegakkan sesuai skenario?
4. Pera keluarga, tenaga medis dan masyarakat erhadap orang yang
putus obat?
5. Bagaimana mekanisme tubuh bila terjadi sakaw?
6. Apa yang membedakan alcohol dan narkoba, sehingga membuat
penangganan dari pemerintah berbeda?
7. Landasan hukum yang membedakan alcohol dan narkoba?
8. Bagaimana teknik yang digunakan untuk menghentikan
kecanduan?
9. Peran mahasiswa keperawatan dalam penyalahgunaan NAPZA?
10. Dosis seperti apa yang dapat disebut sebagai narkoba?
11. Cara lain selain penyembuhan rehabilitasi?
12. Pusat rehabilitasi selain BNN, alurnya seperti apa?
13. Bagaimana pencegahan biar tidak terjadi kecanduan lagi?
14. Apa saja alasan orang mengonsumsi NAPZA?
15. Bagaimana kriteria orang harus di rehabilitasi?
16. Continue dalam addict itu berapa lama?
17. Terapi apa sebelum TC?
18. Faktor risiko pengguna NAPZA
19. Golongan NAPZA apa yang disalahgnakan?
20. Dampak penggunaan NAPZA terhadap lingkungan sekitar?
Step 3
18. Faktor Internal & Eksternal
- orang tua terlalu menuntut
- usia/ jati diri
- koping kurang bagus
- lingkungan yang buruk
- orang tersebut kurang percaya diri, kurang pintar mengambil
keputusan, sulit
menerima kekecewaan, kurang asertif
20 Lost of control, membuat orang sekitar tidak nyaman
Keluarga( Narkoba mahal, memperparah konflik yang ada di
kelurga
Sekolah/ teman terbengkalai
Produktivitas kerja menjadi menurun
Hubungan interpersonal juga menurun
Menurunkan efektivitas ekenomi bangsa1. Withdrawl ( addict
umumnya 6x penggunaan OD ( Dosis berlebihan
Penangganan : Detoksifikasi ( dikurung, placebo, rapid
detoksifikasi)
Subtitusi obat dengan obat yang tidak menimbulkan
ketergantungan
Penangganan kognitif
Akupuntur untuk relaksasi otot11. Subtitusi (bisa dibeli di
apotek dengan resep dokter)
Tidak ada cara lain selain di rehabilitasi
12. Bisa dilakukan di RS dan di Lapas
Alur masuk BNN: daftar ( residen ( dijelaskan prosedur ( induksi
( terapi mengurangi medis( spot check ( detoksifikasi (
rehabilitasi medis ( primary care (rehab social/TC) ( re-entry (
after care
14. Alasan menggunakan NAPZA
Karena tuntutan, stress, mencari ketenangan, karena gengsi/
ikut-ikutan, menghilangkan galau, meningkatkan semangat euphoria,
menaikan percaya diri, karena kesepian2. Nyeri sampai sumsum
tulang: putaw (6-12 jam lakrimasi ; 12-24 jam susah tidur)
Kecemasan
Ganja ( gangguan presepsi
Extasy ( cemas, lemas, berenergi9. Ikut pemberantasan NAPZA,
Menjadi duta pemberantasan NAPZA, Role Model, Melaporkan pengguna
NAPZA sehingga ketika ditangkap bisa langsung di rehabbilitasi,
PIK-R17. Tradisional metode, Faith theraphy, terapi medis, Problem
solving, Terapi moral, terapi social, terapi psikososial
6. Batasan kadar alcohol dengan ketentuan-ketentuan tertentu,
BNN
5. LO
7.LOStep 4
Landasan ( NAPZA ( Golongan
Pencegahan
Peran kelompok masyarakat
Penanganan - - - Rehab, ASKEP, dll Gejala
Gagal
Berhasil
Dampak
Step 5
1. Tahap rehabilitasi/penyembuhan kecanduan narkoba
2. Mekanisme sakaw
3. Landasan yan membedakan hokum peredaran alcohol &
NAPZA
4. Perbedaan gejala sakaw pada masing-masing narkotika
Jawab
1. Pembinaan dari Pemerintah Terhadap Korban Narkotika,
Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya (NAPZA)
Pemerintah telah berupaya keras untuk memerangi permasalahan
Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) dengan
bantuan pihak-pihak lain seperti Kepolisian Republik Indonesia,
Dinas Kesehatan, Dinas Sosial serta masyarakat.
Untuk pemulihan yang optimal maka pemerintah bekerja sama dengan
pihak-pihak terkait untuk menanggulangi dan membina korban
Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) melalui
pendekatan Medis. Dalam pendekatan medis ada 2 (dua) upaya yang
diterapkan pemerintah, yaitu:
a. Upaya Preventif
Penanggulangan adalah keterpaduan dan kepedulian dari semua yang
terkait, mulai dari pemakai, keluarga, masyarakat serta aparat
kepolisian.
b. Upaya Kuratif Upaya kuratif meliputi Treatment dan
Rehabilitasi terhadap korban Narkotika, Psikotropika dan Zat
Adiktif Lainnya (NAPZA) bilamana suatu penyakit berulang kali
relaps dan kronis sifatnya.
Upaya pentatalaksanaan meliputi:
a. Dilakukan pentatalaksanaan secara Supportif.
Terapi ini dilakukan pada penderita yang dalam keadaan gawat
darurat yaitu penderita yang Overdosis ataupun Underdosis (Sakaw),
dengan tindak pertolongannya dilakukan Resusitasi Jantung Paru
untuk mengembalikan kondisi hidup penderita.
b. Dilakukan Detoksifikasi yaitu menghilangkan racun yang berada
di dalam darah yang meliputi sebagai berikut:
1. Detoksifikasi Non Medis.
Cara pengobatannya seperti penyiraman air dingin, pemasungan,
dimasukkan ke dalam sel, dll.
2. Detoksifikasi Medis.
Detoksifikasi Medis terdiri dari beberapa metode antara
lain:
a. Abrupt Withdrawal Treatment (Penghentian obat/zat secara
total)
b. Gradual Withdrawal Treatment (menurunkan dosis pemberian
obat/zat secara bertahap)
c. Dengan penggunaan Antagonis Morphin (Neuroregulasi yang
dipercepat)
3. Rehabilitatif
Dalam tahap rehabilitasi ini, perhatian lebih dititikberatkan
pada pemantapan dan pengembangan kepribadiannya agar dapat
dikembalikan ke lingkungan keluarga dan masyarakat. Tahap ini
merupakan tahap pembinaan yang terbagi menjadi 2 (dua) macam
rehabilitasi, yaitu
a. Rehabilitasi Medis.
Rehabilitasi medis merupakan pemulihan terhadap gangguan fisik,
psikis dan mental yang diakibatkan oleh keadaan sakit melalui
panduan intervensi medis, terapi dan atau rehabilitatif untuk
mencapai kemampuan sistem fungsi tubuh yang optimal. b.
Rehabilitasi Non Medis
Untuk setiap tahap rehabilitasi diperlukan pengawasan dan
evaluasi secara terus menerus terhadap proses pulihan seorang
pecandu. Dalam penanganan pecandu narkoba, di Indonesia terdapat
beberapa metode terapi dan rehabilitasi yang digunakan yaitu :
1) Cold turkey; artinya seorang pecandu langsung menghentikan
penggunaan narkoba/zat adiktif. Metode ini merupakan metode tertua,
dengan mengurung pecandu dalam masa putus obat tanpa memberikan
obat-obatan. Setelah gejala putus obat hilang, pecandu dikeluarkan
dan diikutsertakan dalam sesi konseling (rehabilitasi nonmedis).
Metode ini bnayak digunakan oleh beberapa panti rehabilitasi dengan
pendekatan keagamaan dalam fase detoksifikasinya.
2) Metode alternatif
3) Terapi substitusi opioda; hanya digunakan untuk pasien-pasien
ketergantungan heroin (opioda). Untuk pengguna opioda hard core
addict (pengguna opioda yang telah bertahun-tahun menggunakan
opioda suntikan), pecandu biasanya mengalami kekambuhan kronis
sehingga perlu berulang kali menjalani terapi ketergantungan.
Kebutuhan heroin (narkotika ilegal) diganti (substitusi) dengan
narkotika legal. Beberapa obat yang sering digunakan adalah kodein,
bufrenorphin, metadone, dan nalrekson. Obat-obatan ini digunakan
sebagai obat detoksifikasi, dan diberikan dalam dosis yang sesuai
dengan kebutuhan pecandu, kemudian secara bertahap dosisnya
diturunkan. Keempat obat tersebut telah banyak beredar di Indonesia
dan perlu adanya kontrol penggunaan untuk menghindari adanya
penyimpangan/penyalahgunaan obat-obatan ini yang akan berdampak
fatal.
4) Therapeutic community (TC); metode ini mulai digunakan pada
akhir 1950 di Amerika Serikat. Tujuan utamanya adalah menolong
pecandu agar mampu kembali ke tengah masyarakat dan dapat kembali
menjalani kehidupan yang produktif. Program TC, merupakan program
yang disebut Drug Free Self Help Program. program ini mempunyai
sembilan elemen yaitu partisipasi aktif, feedback dari keanggotaan,
role modeling, format kolektif untuk perubahan pribadi, sharing
norma dan nilai-nilai, struktur & sistem, komunikasi terbuka,
hubungan kelompok dan penggunaan terminologi unik. Aktivitas dalam
TC akan menolong peserta belajar mengenal dirinya melalui lima area
pengembangan kepribadian, yaitu manajemen perilaku,
emosi/psikologis, intelektual & spiritual, vocasional dan
pendidikan, keterampilan untuk bertahan bersih dari narkoba.
5) Metode 12 steps; di Amerika Serikat, jika seseorang kedapatan
mabuk atau menyalahgunakan narkoba, pengadilan akan memberikan
hukuman untuk mengikuti program 12 langkah. Pecandu yang mengikuti
program ini dimotivasi untuk mengimplementasikan ke 12 langkah ini
dalam kehidupan sehari-hari.
C. Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat (RBM)
Adapun manfaat dari Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat
(RBM)
adalah sebagai berikut:
1. RBM merupakan kegiatan terpadu untuk menangani masalah
Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) dan
HIV/AIDS di masing-masing wilayah dengan mendayagunakan sumberdaya
dan partisipasi masyarakat setempat.
2. RBM dibutuhkan karena semakin rumitnya permasalahan
penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya
(NAPZA) dan HIV/AIDS serta keterbatasan Pemerintah dan swasta dalam
penanggulangannya, sehingga diperlukan kegiatan RBM yang bersifat
dari, oleh dan untuk masyarakat.
3. Pelaksanaan RBM dapat mendorong masyarakat dalam menghimpun
dan menyatukan sumberdaya yang dimiliki serta melaksanakan kegiatan
terpadu untuk menangani masalah penyalahgunaan Narkotika,
Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) dan HIV/AIDS.
4. Kegiatan RBM dapat dilakukan semua orang yang memiliki
kepedulian serta komitmen terhadap penanggulangan penyalahgunaan
Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) dan
HIV/AIDS.
5. Upaya RBM sebaiknya melibatkan unsur-unsur yang terdapat di
masyarakat setempat di mana unsur-unsur tersebut juga dapat
dijadikan sasaran kegiatan RBM, antara lain :
a. masyarakat umum;
b. tokoh agama/masyarakat;
c. lemabaga pendidikan dan pelatihan;
d. LSM atau organisasi sosial;
e. instansi pemerintah;
f. eks penyalahguna Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif
lainnya (NAPZA);
g. pecandu aktifh. orang tua/keluarga penyalahguna Narkotika,
Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya(NAPZA);
i. lembaga rujukan (panti rehabilitasi NAPZA dan
sebagainya);
j. layanan kesehatan;
k. dunia usaha, dsb.
2. Pembinaan Lanjut (Aftercare)
Pemerintah Propinsi Sulawesi Utara menyadari bahwa, tindakan
rehabilitasi dan terapi saja belum cukup untuk memulihkan keadaan
atau kondisi eks penyalahguna Narkotika, Psikotropika dan Zat
Adiktif lainnya (NAPZA) sepenuhnya. Maka Pemerintah Sulawesi Utara
melalui Dinas Sosial Propinsi dan Lembaga Swadaya Masyarakat
setempat, membuat program pembinaan lanjut atau yang dikenal dengan
lokakarya pembinaan lanjutan (aftercare) bagi korban penyalahguna
Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA).
Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 82/HUK/2005 tentang
Organisasi Tata Kelola Kementrian Sosial Republik Indonesia, maka
Dinas Sosial dan LSM di Republik Indonesia wajib memiliki SDM dan
fasilitas yang memenuhi kualifikasi undang-undang tersebut. Program
pembinaan lanjutan (aftercare) merupakan bagian yang integral dalam
rangkaian perawatan ketergantungan dan tidak dapat dianggap sebagai
modalitas treatment yang berdiri sendiri. Hal ini berkaitan dengan
pemahaman umum bahwa setelah pecandu menjalani program rehabilitasi
di panti rehabilitasi atau institusi, mereka masih memerlukan
perawatan atau bimbingan lanjutan. Dengan demikian proses
reintegrasi para pecandu ke masyarakat bisa berjalan dengan
lancar.
Berisi tentang bahaya, pencegahan dan penanggulangan Narkotika,
Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) serta kegiatan yang
mengasah keterampilan para peserta. Kegiatan tersebut bertujuan
untuk mengembangkan rasa percaya diri dan konseptual positif dari
para peserta, sehingga peserta dapat mempraktikan keterampilan
mereka di depan masyarakat luas tanpa ada rasa minder dan rasa
perbedaan. Dan bagi penulis sebagai peserta biasa, dengan kegiatan
ini dapat memberi pemahaman dan jalan keluar yang tepat bagi eks
penyalahguna Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya
(NAPZA) yang ada di lingkungan mereka.
Adapun kegiatan atau program yang telah dilaksanakan oleh Dinas
Sosial dan pihak-pihak terkait lainnya, antara lain:
a. Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dan Kelompok Usaha Bersama
(KUBE).
b. Sheltered Workshop Sheltered workshop mantan penyalahguna
Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) adalah
program perantara yang menjembatani kegiatan rehabilitasi sosial
yang dilaksanakan dalam maupun luar panti untuk memantapkan
kemampuan mereka dalam bekerja dan menjalin hubungan sosial dengan
masyarakat.
c. Pembekalan petugas mediator.
d. Bimbingan pemantapan keterampilan hidup (Life Skills).
e. Pendampingan.
2. Mekanisme terjadinya toleransi dan ketergantungan
obatMekanisme secara pasti belum diketahui, kemungkinan oleh
adaptasi seluler yang menyebabkan perubahan aktivitas enzym,
pelepasan biogenic amin tertentu atau beberapa respon immun.
Nukleus locus ceruleus diduga bertanggung jawab dalam menimbulkan
gejala withdrawl. Nukleus ini kaya akan tempat reseptor opioid,
alpha-adrenergic dan reseptor lainnya. Stimulasi pada reseptor
opioid danalpha-adrenergic memberikan respon yang sama pada
intraseluler. Stimulasi reseptor oleh agonis opioid (morfin) akan
menekan aktivitas adenilsiklase (?) pada siklik AMP.Bila stimulasi
ini diberikan secara terus menerus, akan terjadi adaptasi
fisiologik di dalam neuron yang membuat level normal dari
adeniliklase walaupun berikatan dengan opiat. Bila ikatan opiat ini
dighentikan dengan mendadak atau diganti dengan obat yang bersifat
antagonis opioid, maka akan terjadi peningkatan efek adenilsilase
pada siklik AMP secara mendadak dan berhubungandengan gejala pasien
berupa gejala hiperaktivitas. Gejala putus obat (gejala abstinensi
atau withdrawl syndrome) terjadi bila pecandu obat tersebut
menghentikan penggunaanobat secara tiba-tiba. Gejala biasanya
timbul dalam 6-10 jam setelah pemberian obat yang terakhir dan
puncaknya pada 36-48 jam. Withdrawl dapat terjadi secara spontan
akibat penghentian obat secara tibatiba atau dapat pula
dipresipitasi dengan pemberian antagonis opioid seperti naloxono,
naltrexone. Dalam 3 menit setelah injeksi antagonis opioid, timbul
gejala withdrawl, mencapai puncaknya dalam 10-20 menit, kemudian
menghilang setelah 1 jam.Gejala putus obat:o 6 12 jam , lakrimasi,
rhinorrhea, bertingkat, sering menguap, gelisaho 12 - 24 jam, tidur
gelisah, iritabel, tremor, pupil dilatasi (midriasi), anoreksiao
24-72 jam, semua gejala diatas intensitasnya bertambah disertai
adanya kelemahan, depresi,nausea, vornitus, diare, kram perut,
nyeri pada otot dan tulang, kedinginan dan kepanasan yang
bergantian, peningkatan tekanan darah dan denyut jantung,gerakan
involunter dari lengan dan tungkai, dehidrasi dan gangguan
elektrolit
o Selanjutnya, gejala hiperaktivitas otonom mulai berkurang
secara berangsurangsur dalam 7-10 hari, tetapi penderita masih
tergantung kuat pada obat.Beberapa gejala ringan masih dapat
terdeteksi dalam 6 bulan. Pada bayi dengan ibu pecandu obat akan
terjadi keterlambatan dalam perkembangan dan pertumbuhan yang dapat
terdeteksi setelah usia 1 tahun.
3. Di Indonesia, penyalahgunaan terhadap narkoba dapat
dipidanakan baik dengan pidana kurungan maupun rehabilitasi. Pidana
terhadap penyalahgunaan narkoba ini dikategorikan sebagai salah
satu pidana khusus. Undang-undang yang mengatur mengenai
penyalahgunaan narkoba ini adalah UU No.35/2009 tentang Narkotika
yang merupakan pembaruan dari UU No.22/1997 tentang narkotika dan
UU No.05/1997 tentang Psikotropika.
Sebagai salah satu pidana khusus, maka kasus penyalahgunaan
narkoba ini terkait erat dengan PP No.28/2006, di mana seorang
narapidana pidana khusus harus menjalani 1/3 dari masa pidananya
baru kemudian akan mendapatkan haknya seperti remisi dan
lain-lainnya (Kecuali pengguna murni yang terjerat pasal 127 UU
No.35/2009).
Pasal-pasal dalam UU No.35/2009 yang umum digunakan untuk
menjerat para pelaku penyalahgunaan narkoba ini adalah:
Pasal 111 UU No.35/2009, jika terbukti memiliki narkotika jenis
tanaman,
Pasal 112 UU No.35/2009, jika terbukti memiliki narkotika jenis
bukan tanaman (psikotropika),
Pasal 113 UU No.35/2009, jika terbukti memproduksi ataupun
mengimpor narkotika baik dalam bentuk tanaman maupun bukan
tanaman,
Pasal 114 UU No.35/2009, jika terbukti mengedarkan narkotika
baik dalam bentuk tanaman maupun bukan tanaman, dan
Pasal 127 UU No.35/2009, jika terbukti menggunakan narkotika
baik dalam bentuk tanaman maupun bukan tanaman bagi dirinya sendiri
(pengguna murni). LANDASAN HUKUM PEREDARAN MINUMAN BERALKOHOL DI
INDONESIA
Diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 74
Tahun 2013 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman
Beralkohol.
Pada Pasal 7 dinyatakan bahwa :
(1) Minuman Beralkohol golongan A, golongan B, dan golongan C
hanya dapat dijual di:
a. hotel, bar, dan restoran yang memenuhi persyaratan sesuai
peraturan perundang-undangan di bidang kepariwisataan;
b. toko bebas bea; dan
c. tempat tertentu selain huruf a dan b yang ditetapkan oleh
Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Daerah Khusus Ibukota
Jakarta.
(2) Penjualan dan/atau peredaran Minuman Beralkohol di tempat
tertentu yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota dan Gubernur untuk
Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c tidak berdekatan dengan tempat peribadatan, lembaga
pendidikan dan rumah sakit.
(3) Selain tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Minuman
Beralkohol golongan A juga dapat dijual di toko pengecer dalam
bentuk kemasan.
(4) Dengan mempertimbangkan karakteristik daerah dan budaya
lokal, Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Daerah Khusus Ibukota
Jakarta dapat menetapkan pembatasan peredaran Minuman Beralkohol di
tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3).
(5) Penjualan Minuman Beralkohol dilakukan terpisah dengan
barang-barang jualan lainnya.
( Menanggulangi Tindak Pidana Narkotika, Pemerintah telah
melakukan suatu usaha untuk mengatur mengenai masalah peredaran
Narkotika. Peraturan yang terkait dengan masalah narkotika ada
dalam Undang-undang, yaitu Undang-undang No. 22 Tahun 1997 mengenai
Narkotika. Menurut Undang-undang No. 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika Pasal 1 angka 1 yang dimaksud : Narkotika adalah zat atau
obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis
maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perbahan
kesadaran, hilangnya rasa, menurangi rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam
golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini
atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Menurut Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 1
yang dimaksud dengan: Narkotika adalah zat atau obat yang berasal
dari tanaman atau bukantanaman, baik sintetis maupun semisintetis,
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan
dapat menimbulkan ketergantungan,yang dibedakan ke dalam
golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang
ini.Analgesik narkotik : 4. Pengaruh NAPZA pada tubuh disebut
intoksikasi. Selain intoksikasi, ada juga sindroma putus zat yaitu
sekumpulan gejala yang timbul akibat penggunaan zat yang dikurangi
atau dihentikan. Tanda dan gejala intoksikasi dan putus zat berbeda
pada jenis zat yang berbeda.
Daftar Pustaka
1. Sumber : Asuhan Keperawatan Klien dengan Penyalahgunaan dan
KetergantunganNarkoba (NAPZA)
http://usupress.usu.ac.id/files/Asuhan%20Keperawatan%20pada%20Klien%20dengan%20Masalah%20Psikososial%20dan%20Gangguan%20Jiwa_Normal_bab%201.pdf2.
Sumber : KEPUTUSAN MENTER! KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR328/MENKES/SK/VIII/2013 TENTANG FORMULARIUM NASIONAL
mengingat
3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran
Negara Republik IndonesiaTahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5062);
4. Sumber : EFEK NEUROLOGIS PADA PENGGUNAAN HEROIN (PUTAUW)Dr
ISKANDAR JAPARDI Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas
Sumatera Utara 2002
5. Rendy T, 2013, PEMBINAAN KORBAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN
ZAT ADIKTIF LAINNYA (NAPZA) DI SULAWESI UTARA1, Lex Crimen Vol.
II/No. 3/Juli/2013, hlm 36-44
6.
(http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2012/08/24/514/tahap-tahap-pemulihan-pecandu-narkoba
diakses pada 10 april 2015 pukul 15.08)
NAPZA