Top Banner
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI LAKSATIF DAN OBAT PENCERNAAN LAIN BLOK DIGESTIVE Asisten: Wisnu Lisa Pratiwi NIM. G1A012057 Kelompok C-1 Nurrokhmah Kurniasih G1A013064 Elsy Emmily Gracia G1A013065 Herthyaning Prasetyo G1A013067 Dyah Ratnasih K G1A013068 Sofyan Hardi G1A013069 Ghufron Febriyan Akbar G1A013102 Gembong Satria M G1A013103 Rizki Rijatullah G1A013104 KEMENTERIAN PENDIDIKAN TINGGI, RISET DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN JURUSAN KEDOKTERAN
81

Laporan-fusion.doc

Jan 11, 2016

Download

Documents

RizkiRijatullah
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Laporan-fusion.doc

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

LAKSATIF DAN OBAT PENCERNAAN LAIN

BLOK DIGESTIVE

Asisten:

Wisnu Lisa Pratiwi

NIM. G1A012057

Kelompok C-1

Nurrokhmah Kurniasih G1A013064

Elsy Emmily Gracia G1A013065

Herthyaning Prasetyo G1A013067

Dyah Ratnasih K G1A013068

Sofyan Hardi G1A013069

Ghufron Febriyan Akbar G1A013102

Gembong Satria M G1A013103

Rizki Rijatullah G1A013104

KEMENTERIAN PENDIDIKAN TINGGI, RISET DAN TEKNOLOGIUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN JURUSAN KEDOKTERAN

PURWOKERTO

2015

Page 2: Laporan-fusion.doc

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI KEDOKTERANBLOK DIGESTIF

LAKSATIF DAN OBAT PENCERNAAN LAIN

Oleh:

Kelompok C.1

Elsy Emmily Gracia G1A013065

Herthyaning Prasetyo G1A013067

Dyah Ratnasih K G1A013068

Sofyan Hardi G1A013069

Ghufron Febriyan Akbar G1A013102

Gembong Satria Mahardika G1A013103

Rizki Rijatullah G1A013104

Disusun untuk memenuhi persyaratan mengikuti ujian praktikum Biokimia Kedokteran Blok Digestif

Jurusan Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman

Purwokerto

diterima dan disahkan,

Purwokerto, Juni 2015

Asisten,

Wisnu Lisa Pratiwi

G1A012057

Page 3: Laporan-fusion.doc

I. PENDAHULUAN

A. Judul Praktikum

Laksatif dan Obat Pencernaan Lain.

B. Hari dan Tanggal Praktikum

Jumat, 5 Juni 2015.

C. Tujuan Praktikum

1. Umum

Setelah menyelesaikan praktikum farmakologi obat lasatif dan obat saluran

cerna ini mahasiswa dapat menerapkan prinsip-prinsip farmakologi

berbagai macam obat dan memiliki keterampilan dalam member dan

mengaplikasikan obat secara rasional untuk kepentingan klinik.

2. Khusus

Setelah menyelesaikan percobaan ini mahasiswa akan dapat:

a. Menjelaskan efek obat laksatif.

b. Menjelaskan jenis-jenis obat laksatif.

c. Menjelaskan bahan-bahan alami yang dapat bersifat laksatif.

d. Memilih jenis laksatif yang paling tepat dalam praktik klinik.

Page 4: Laporan-fusion.doc

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Fisiologi Terkait

1. Fisiologi kolon

Kolon merupakan salah satu organ sistem digestif yang berfungsi

sebagai organ absorbsi dan penyimpanan feses. Kolon normalnya

menerima sekitar 1500 mL massa dari usus halus. Jumlah ini

kemudian akan direduksi menjadi 200 mL sebelum dikeluarkan

menjadi feses (Martini et al, 2014).

Fungsi utama dari kolon adalah untuk (1) absorbsi air dan

elektrolit dari kimus untuk membentuk feses dan (2) penyimpanan

feses sampai dikeluarkan. Area proksimal kolon berfungsi untuk

absorbsi, sedangkan area distal berfungsi untuk penyimpanan. Karena

kedua fungsi utamanya ini, motilitas kolon cenderung lambat (Hall,

2015).

Gambar 2.1 Proses absorbsi kimus di kolon (Hall, 2015)

1. Sekresi kolon

Kolon memiliki banyak kripte Lieberkühn seperti usus halus,

namun tidak memiliki vili. Sel epitel kolon sebagian besar disusun

oleh sel mukus yang hanya mensekresikan mukus. Mukus ini

mengandung ion bikarbonat yang disekresikan beberapa sel epitel

Page 5: Laporan-fusion.doc

non-mukus. Kadar sekresi mukus diatur oleh stimulasi taktil pada

sel epitel kolon dan refleks saraf lokal pada kripte Lieberkühn

(Hall, 2015).

Mukus pada kolon melindungi dinding kolon dari ekskoriasi

dn sebgai medium untuk menahan feses. Mukus juga melindungi

dinding kolon dari aktivitas bakteri dan asam yang terbentuk di

feses (Hall, 2015).

2. Substansi pada kolon

1) Vitamin

Vitamin merupakan molekul organik yang penting untuk

proses metabolisme. Bakteri pada kolon normalnya akan

menghasilkan 3 vitamin yang penting, yaitu (Martini et al,

2014):

a) Vitamin K

b) Biotin

c) Vitamin B

2) Organic wastes

Bakteri kolon akan mengubah bilirubin menjadi

urobilinogen dan sterkobilinogen. Sebagian urobilinogen akan

diserap oleh pembuluh darah untuk kemudian dibuang lewat

urin, sedangkan sisanya yang tertinggal di kolon akan diubah

menjadi urobilin dan sterkobilin setelah pajanan ke oksigen.

Substansi inilah yang akan memberi warna pada feses (Martini

et al, 2014).

3. Motilitas kolon

1) Kontraksi haustra

Kontraksi haustra merupakan motilitas utama kolon.

Gerakan ini menyebabkan pengadukan isi kolon sehingga isi

kolon terpanjan ke mukosa penyerapan. Kontraksi haustra

dipicu oleh ritmisitas otonom sel-sel otot polos kolon. Hal ini

jugalah yang membuat kolon memiliki penampakan berupa

kantung-kantung haustra (Sherwood, 2013).

Page 6: Laporan-fusion.doc

Gambar 2.2 Penampakan kantung-kantung haustra pada kolon

(Sherwood, 2013)

2) Mass movement

Mass movement adalah kontraksi peristaltik kuat yang

terjadi beberapa kali dalam sehari. Kontraksi ini berfungsi

untuk mendorong massa dari kolon tranversum langsung ke

sepanjang sisa kolon. Stimulus untuk kondisi ini adalah

distensi gaster dan duodenum (Martini et al, 2014).

Saat makanan memasuki lambung, terjadi refleks

gastrokolon yang diperantarai dari lambung ke kolon melalui

gastrin dan saraf otonom ekstrinsik. Pada banyak orang, refleks

ini paling jelas setelah sarapan dan sering diikuti keinginan

buang air besar. Massa yang terdorong akhirnya akan

memasuki rektum dan mengaktifkan refleks defekasi

(Sherwood, 2013).

4. Mekanisme defekasi

Sebagian besar pencernaan dan penyerapan telah diselesaikan

di usus halus, oleh karena itu massa yang diterima kolon terdiri dari

residu makanan yang tidak tercerna, komponen empedu yang tidak

terserap, dan cairan. Kolon mengekstraksi H2O dan garam dari isi

Page 7: Laporan-fusion.doc

lumennya. Hasil akhir dari proses inilah yang disebut feses

(Sherwood, 2013).

Proses defekasi dipengaruhi oleh refleks defekasi. Mass

movement menyebabkan rektum terisi feses. Distensi pada dinding

rektum memicu munculnya refleks defekasi. Refleks ini terdiri atas

dua feedback positif, yaitu refleks pendekdan refleks panjang.

Refleks panjang menyebabkan terjadinya dua aksi. Aksi yang

pertama dimediasi oleh saraf parasimpatis dan menyebabkan

sfingter ani internal relaksasi. Hal ini menyebabkan feses yang

telah terbentuk masuk ke kanalis anal. Aksi kedua adalah releks

somatis yang menstimulasi kontraksi sfingter ani eksterna sehingga

proses defekasi dapat diatur secara sadar (Martini et al, 2014).

Proses defekasi biasanya dibantu oleh gerakan mengejan

volunter yang melilbatkan kontraksi otot abdomen dan ekspirasi

paksa dengan glotis tertutup secara bersamaan. Hal ini bertujuan

untuk meningkatkan tekanan intraabdomen sehingga membantu

proses pendorongan feses (Sherwood, 2013).

Gambar 2.3 Mekanisme defekasi (Martini et al, 2014)

Page 8: Laporan-fusion.doc

2. Pembentukan asam lambung

Pada area fundus dan corpus lambung, setiap gastric pit diisi oleh

kelenjar gastrika yang terus memanjang sampai ke area lamina propria

(Martini et al, 2014). Kelenjar gastrika disusun terutama oleh 3 jenis

sel, yaitu (1) sel leher yang mensekresikan mukus; (2) sel chief yang

mensekresikan pepsinogen; dan (3) sel parietal yang mensekresikan

HCl dan faktor instrinsik (Hall, 2015).

Saat terstimulasi, sel parietal akan mensekresikan larutan asam

yang mengandung sekitar 160 mmol/l HCl yang memiliki pH 0,8 (Hall,

2015). Namun, sel parietal tidak membuat HCl di sitoplasmanya karena

HCl merupakan asam yang sangat kuat sehingga bila langsung dibuat di

dalam sitoplasma maka bisa merusak sel. Oleh karena itu, ion H+ dan

Cl- yang membentuk HCl ditransportasikan secara terpisah dengan

mekanisme masing-masing (Martini et al, 2014).

Langkah awal pembuatan HCl adalah pembentukan asam karbonat

dalam sel parietal. Asam karbonat kemudian akan mengalami proses

disosiasi sehingga menghasilkan ion bikarbonat dan H+. Ion H+

kemudian ditransport secara aktif ke lumen kelenjar gaster. Sementara

itu ion bikarbonat akan ditukar dengan Cl- dari cairan intersisial. Cl-

kemudian akan memasuki lumen kelenja gaster melalui kanal klorida,

dan bereaksi dengan H+ untuk membentuk HCl (Martini et al, 2014).

Gambar 2.4 Proses pembentukan HCl (Martini et al, 2014)

Page 9: Laporan-fusion.doc

3. Fisiologi mual dan muntah

a) Mual

Rasa mual seringkali didefinisikan sebagai suatu sensasi yang

seringkali dialami sebelum seseorang muntah. Mual sendiri adalah

ekspresi sadar tubuh saat area medula yang berada di dekat pusat

muntah terangsang secara tidak sadar. Hal ini bisa terjadi karena 3

hal, yaitu (Hall, 2015):

1) Impuls iritatif dari saluran pencernaan

2) Impuls dari otak yang berhubungan dengan motion sickness

3) Impuls dari korteks serebral untuk memulai proses muntah

Muntah terkadang terjadi tanpa didahului oleh mual,

mengindikasikan bahwa tidak seluruh area pusat muntah

berhubungan dengan medula yang mengatur rasa mual (Hall,

2015).

b) Muntah

Muntah merupakan proses pengeluaran isi gaster melalui

mulut secara paksa (Sherwood, 2013).Sinyal sensorik yang

menginisiasi refleks muntah terutama berasal dari faring, esofagus,

lambung, dan area proksimal usus halus. Impuls saraf kemudian

akan dibawa ke pusat muntah di medula oblongata melalui jalur

vagal dan saraf aferen simpatis (Hall, 2015).

Page 10: Laporan-fusion.doc

Gambar 2.5 Jalur saraf terkait pada refleks muntah (Hall, 2015)

Pada saat proses muntah, gelombang peristaltik balik yang

kuat terjadi di duodenum sehingga mendorong massa di duodenum

untuk masuk ke dalam gaster (Martini et al, 2014). Namun, pada

proses muntah, organ terkait seperti lambung, esofagus, dan

sfingternya justru dalam kondisi relaksasi. Pengeluaran isi lambung

terjadi bukan karena kontraksi dari lambung itu sendiri, melainkan

dari kontraksi diafragma dan otot abdominal (Sherwood, 2013).

Muntah diawali dengan inspirasi dalam dan penutupan glotis.

Diafragma dan otot abdominal akan berkontraksi, menyebabkan

peningkatan tekanan intraabdominal. Lambung yang terjepit

diantara diafragma dan tekanan dari area abdominal akan

menyebabkan terdorongnya isi lambung melalui sfingter lambung

dan esofagus yang relaksasi dan keluar melalui mulut. Glotis

tertutup sehingga muntah tidak akan masuk ke saluran pernapasan.

Page 11: Laporan-fusion.doc

Uvula juga dinaikkan sehingga muntah tidak masuk ke cavitas

nasalis. Muntah biasanya diikuti dengan hipersalivasi, berkeringat,

peninhkatan denyut jantung, dan rasa mual. Hal ini merupakan

karakteristik dari penngaktifan saraf autonom (Sherwood, 2013).

Refleks muntah bisa disebabkan oleh beberapa hal, yaitu

(Sherwood, 2013):

1) Stimulasi taktil di palatum

2) Iritasi atau distensi lambung dan duodenum

3) Peningkatan tekanan intrakranial

4) Rotasi atau akselerasi kepala

5) Rangsangan pada CTZ (Chemoreceptor trigger zone)

6) Muntah psikogenik, termasuk akibat faktor emosi

B. Laksatif

1. Definisi

Laksatif atau urus-urus atau pencahar ringan adalah obat yang

berkhasiat untuk memperlancar pengeluaran isi usus. Disebut juga

sebagai aperients dan aperitive (Andrianto,2005).

2. Mekanisme Kerja Laksatif

Mekanisme pencahar yang sepenuhnya masih belum jelas, namun

secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut (Andrianto,2005). : 

a. Sifat hidrofilik atau osmotiknya sehingga terjadi penarikan air

dengan akibat massa, konsistensi, dan transit feses bertambah.

b. Laksatif bekerja secara langsung ataupun tidak langsung pada

mukosa kolon dalam menurunkan absorbs NaCl dan air

c. Laksatif juga dapat meningkatkan motilitas usus dengan akibat

menurunnya absorbs garam dan air yang selanjutnya mengubah

waktu transit feses.

3. Klasifikasi laksatif

a. Bulk Laxatives atau Laksatif Pembentuk Massa

Bulk laxative digunakan bila diet tinggi serat tidak berhasil

menangani konstipasi. Obat golongan merupakan obat yang berasal

dari alam atau dibuat secara semisintetik. Bulk laxative seperti

Page 12: Laporan-fusion.doc

metilselulosa, natrium karboksilmetilselulosa, kalsium polikarbofil

dan psyllium adalah polisakarida atau derivat selulosa yang

menyerap air ke dalam lumen kolon dan meningkatkan massa feses

dengan menarik air dan membentuk suatu hidrogel sehingga terjadi

peregangan dinding saluran cerna dan merangsang gerak peristaltik

(Ganiswarna,2007).

Hal tersebut akan menstimulasi motilitas dan mengurangi waktu

transit feses di kolon. Rasa kembung dan frekuensi flatus mungkin

meningkat. Namun, laksatif ini cukup aman digunakan dalam

jangka panjang. Pada penggunaan laksatif ini, asupan cairan yang

adekuat sangat diperlukan, jika tidak akan dapat menimbulkan

dehidrasi (Ganiswarna,2007).

Pada pasien yang tidak bereaksi terhadap terapi tunggalbulk

laxatives, pilihan selanjutnya adalah dengan menambahkan laksatif

jenis lain. Setiap jenis laksatif memiliki mekanisme tersendiri.

Berikut akan dijelaskan mengenai macam-macam laksatif

pembentuk massa (Andrianto,2005) : 

1) Metilselulosa

Obat ini diberikan secara oral, tidak diabsorbsi melalui

slauran cerna sehingga diekskresi melalui tinja. Dalam cairan

usus, metilselulosa akan mengembang membentuk gel emolien

atau larutan kental, yang dapat melunakkan tinja. Mungkin

residu yang tidak dicerna merangsang peristaltik usus secara

refleks. Efek pencahar diperoleh setelah 12-24 jam, dan efek

maksimal setelah beberapa hari pengobatan. Obat ini tidak

menimbulkan efek sistemik.7,8 Tetapi pada beberapa pasien

bisa terjadi obstruksi usus atau esofagus, oleh karena itu

metilselulosa tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan

mengunyah.

Metilselulosa digunakan untuk melembekkan feses pada

pasien yang tidak boleh mengejan, misalnya pasien dengan

hemoroid. Sediaan adalam bentuk bubuk atau granula 500 mg,

Page 13: Laporan-fusion.doc

tablet atau kapsul 500 mg. Dosis anak 3-4 kali 500 mg / hari,

sedangkan dosis dewasa 2-4 kali 1,5 g / hari.

2) Natrium karboksimetilselulosa

Obat ini memiliki sifat-sifat yang sama dengan metilselulosa,

hanya saja tidak larut dalam cairan lambung dan bisa digunakan

sebagai antasid.8 Sediaan dalam bentuk tablet 0,5 g dan 1 g,

atau kapsul 650 mg. Dosis dewasa adalah 3-6 g.

3) Psilium (Plantago)

Psilium sekarang telah digantikan dengan preparat yang lebih

murni dan ditambahkan musiloid, yaitu merupakan substansi

hidrofilik yang membentuk gelatin bila bercampur dengan air;

dosis yang dianjurkan 1-3 kali 3-3,6 g sehari dalam 250 ml air

atau sari buah. Pada penggunaan kronik, psilium dikatakan

dapat menurunkan kadar kolesterol darah karena mengganggu

absorbsi asam empedu.

4) Agar-agar

Merupakan koloid hidrofil, kaya akan hemiselulosa yang

tidak dicerna dan tidak diabsorbsi. Dosis yang dianjurkan ialah

4-16 g. Agar-agar yang biasa dibuat merupakan pencahar massa

yang muda didapat. Dosis dewasa 4-16 g.

5) Polikarbofil dan kalsium polikarbofil

Merupakan poliakrilik resin hidrofilik yang tidak diabsorbsi,

lebih banyak mengikat air dari pencahar pembentuk massa

lainnya.8 Polikarbofil dapat mengikat air 60-100 kali dari

beratnya sehingga memperbanyak massa tinja. Preparat ini

mengandung natrium dalam jumlah kecil. Dalam saluran cerna

kalsium polikarbofil dilepaskan ion Ca2+, sehingga tidak boleh

diberikan pada pasien dengan pembatasan asupan kalium. Dosis

dewasa 1-2 kali 1000 mg / hari, maksimum 6 g / hari, disertai air

minum 250 ml.

Page 14: Laporan-fusion.doc

b. Laksatif Emolien

Laksatif ini sering digunakan sebagai adjuvan

dari bulkatau stimulant laxatives. Laksatif ini dapat ditolerensi

tubuh dengan baik (Ganiswarna,2007).

Obat yang termasuk golongan ini memudahkan defekasi

dengan jalan melunakkan feses tanpa merangsang peristaltik usus,

baik secara langsung maupun tidak langsung.8Berikut adalah

macam-macam laksatif emolien (Andrianto,2005) : 

1) Zat Penurun Tegangan Permukaan (Surface Active Agent)

Obat yang termasuk golongan ini adalah dioktilnatrium

sulfosuksinat dan parafin.

a) Dioktilnatrium Sulfosuksinat

Cara kerja dioktilnatrium sulfosuksinat adalah dengan

menurunkan tegangan sehingga memepermudah peneterasi

air dan lemak ke dalam masa tinja. Tinja menjadi lunak

setelah 24-48 jam.

Sediaan dalam tablet 50-300 mg, suspensi 4 mg / ml.

Dosis untuk anak 10-40 mg / hari, sedangkan dosis untuk

dewasa adalah 50-500 mg / hari. Penggunaan bisa

mengakibatkan efek samping berupa kolik usus, bahkan

muntah dan diare. Dioktilnatrium sulfosuksinat juga bersifat

hepatotoksik.

b) Parafin Cair (Mineral Oil)

Adalah campuran hidrokarbon yang diperoleh dari

minyak bumi. Setelah minum obat ini, maka tinja akan

menjadi lunak disebabkan berkurangnya reabsorbsi air dari

tinja. Parafin cair tidak dicerna di dalam usus dan hanya

sedikit yang diabsorbsi. Yang diabsorbsi ditemukan pada

limfonosi mesenterik, hati, dan limpa.

Dosis yang dianjurkan untuk dewasa adalah 15-30 ml /

hari. Kebiasaan menggunakan parafin cair akan

mengganggu absorbsi zat larut lemak, misalnya absorbsi

Page 15: Laporan-fusion.doc

karoten menurun 50%, juga absorbsi vitamin A dan D akan

menurun. Absorbsi vitamin K menurun akibat

hipoprotrombinemia; dan juga dilaporkan terjadinya

pneumonia lipid. Obat ini juga memiliki efek samping

berupa pruritus ani, menyulitkan penyembuhan pascabedah

anorektal, dan bisa menyebabkan perdarahan. Jadi untuk

penggunaan kronik, obat ini tidak aman.

c) Minyak Zaitun

Minyak zaitun yang dicerna akan menurunkan sekresi

dan motilitas lambung dan juga bisa merupakan sumber

energi. Dosis yang dianjurkan sebanyak 30 mg.

c. Laksatif Stimulan (Perangsang)

Laksatif golongan ini mengalami hidrolisis di usus oleh enzim

enterosit atau flora di kolon. Efek primer laksatif ini berpengaruh

pada perubahan transport elektrolit pada mukosa intestinal dan

secara umum bekerja selama beberapa jam. Dalam klasifikasinya,

Schiller memasukan laksatif jenis ini ke dalam

kelas secretagogues dan agen yang berefek langsung pada epitel,

syaraf, atau sel otot polos (Ganiswarna,2007).

Laksatif perangsang bekerja merangsang mukosa, saraf

intramural atau otot polos sehingga meningkatkan peristaltis dan

sekresi lendir usus. Banyak di antara laksatif perangsang bekerja

untuk mensistesis prostaglandin dan siklik AMP, di mana hal ini

akan meningkatkan sekresi elektrolit. Penghambatan sintesis

prostaglandin dengan indometasin menurunkan efek berbagai obat

ini terhadap sekresi air. Difenilmetan dan antrakinon kerjanya

terbatas hanya pada usus besar sehingga terdapat masa laten 6 jam

sebelum timbul efek pencahar. Minyak jarak, hanya bekerja pada

usus halus memiliki masa laten 3 jam. Berikut akan dijelaskan

beberapa jenis laksatif perangsang (Andrianto,2005):

1) Minyak Jarak (Castrol Oil-Oleum Ricini)

Page 16: Laporan-fusion.doc

Berasal dari biji Ricinus communis, merupakan suatu

trigliserida asam risinoleat dan asam lemak tidak jenuh. Di

dalam usus halus minyak jarak dihidrolisis menjadi gliserol

dan asam risinoleat oleh enzim lipase. Asam risinoleat

merupakan bahan aktif. Minyak jarak juga bersifat emolien.

Sebagai pencahar, obat ini tidak banyak lagi digunakan karena

banyak obat lain yang lebih aman.6,7

Dosis untuk dewasa adalah 15-60 mL, sedangkan untuk

anak-anak adalah 5-15 mL. Efek samping dari minyak jarak

antara lain kolik, dehidrasi dengan gangguan elektrolit,

confussion, denyut nadi tidak teratur, kram otot, rash kulit, dan

kelelahan. Minyak jarak dianjurkan diberikan pagi hari waktu

perut kosong. Jika dosisnya ditambah, tidak akan menambah

efek pencahar, dan efek pencahar akan terlihat setelah 3 jam.

2) Difenilmetan

Derivat difenilmetan yang sering digunakan adalah

bisakodil. Beberapa derivat difenilmetan (Andrianto, 2005):

a) Fenolftalein

Diberikan per oral dan mengalami absorbsi kira-kira

15% di usus halus. Efek fenolftalein dapat bertahan lama

karena mengalami sirkulasi enterohepatik. Sebagian besar

fenolftalein diekskresi melalui tinja, sebagian lagi

diekskresikan di ginjal dalam bentuk metabolitnya. Jika

diberikan dalam dosis besar, akan ditemukan dalam bentuk

utuh dalam urin, dan pada suasana alkali akan menyebabkan

urin dan tinja berwarna merah. Ekskresi melalui ASI sangat

kecil sehingga tidak akan mempengaruhi bayi yang sedang

disusui.

Sediaan dalam bentuk tablet 125 mg, dosis 60-100 mg.

Fenolftalein relatif tidak toksik untuk pengobatan jangka

pendek, tetapi dosis yang berlebihan akan meningkatkan

kehilangan elektrolit. Bisa menyebabkan reaksi alergi. Efek

Page 17: Laporan-fusion.doc

pencahar akan terlihat setelah 6-8 jam. Namun penggunaan

fenilptalein sudah dilarang karena bersifat karsinogen.

b) Bisakodil

Pada penelitian pada tikus, bisakodil mampu dihidrolisis

menjadi difenol di usus bagian atas. Difenol yang diabsorbsi

mengalami konjugasi di hati dan dinding usus. Metabolit

akan diekskresi melalui empedu, dan selanjutnya

mengalami rehidrolisis menjadi difenol yang akan

merangsang motilitas usus besar.

Sediaan berupa tablet bersalut enteral 5 mg dan 10 mg.

Sediaan supositoria 10 mg. Dosis dewasa 10-15 mg, dosis

anak 5-10 mg. Efek samping berupa kolik usus dan

perasaan terbakar pada penggunaan rektal. Efek pencahar

akan terlihat setelah 6-12 jam, sedangkan pada pemberian

rektal efek pencahar terlihat setelah setengah sampai satu

jam. Pada pemberian oral, bisakodil diabsorbsi kira-kira 5%

dan diekskresi bersama urin dalam bentuk glukuronid,

tetapi ekskresi utama adalah di dalam tinja.

c) Oksifenisatin asetat

Bagaimana respon tubuh terhadap oksifenisatin asetat

mirip dengan bisakodil. Efek pencaharnya tidak melebihi

bisakodil. Obat ini jarang digunakan karena dapat

menimbulkan hepatitis dan ikterus.

Sediaan berupa tablet 5 mg atau sirup 5 mg / 5 ml,

supositoria 10 mg. Dosis dewasa oral 4-5 mg, per rektal 10

mg. Sedangkan untuk anak per oral 1-2 mg. Efek samping

bisa berupa hepatitis, ikterus, dan reaksi alergi. Efek

pencahar setelah 6-12 jam kemudian.

3) Antrakinon

Efek pencahar golongan ini bergantung pada antrakinon

yang dilepaskan dari ikatan glikosidanya. Efek pencahar

antrakinon timbul setelah 6 jam. Setelah pemberian oral

Page 18: Laporan-fusion.doc

sebagian akan diabsorbsi dalam bentuk glikosidanya. Sebagian

glikosida dihidrolisis oleh enzim flora usus menjadi antrakinon

dan bekerja sebagai pencahar di kolon. Efek antrakinon yang

tidak diinginkan adalah efek pencahar yang berlebihan. Zat

aktif bisa ditemukan pada ASI sehingga bisa mempengaruhi

bayi yang disusui. Melanosis kolon bisa terjadi, namun bisa

menghilang dengan penghentian pemakaian obat selama 4-12

bulan.

d. Laksatif Osmotik

Laksatif yang termasuk golongan ini adalah garam-garam

anorganik (yang tersusun oleh magnesium) dan alkohol organik

atau gula seperti laktulosa dan polyethylene glycol(PEG). .

Laksatif jenis ini bekerja dengan cara mempertahankan air tetap

berada dalam saluran cerna sehingga terjadi peregangan pada

dinding usus, yang kemudian merangsang pergerakan usus

(peristaltik). Laksatif jenis ini adalah preparat yang sangat lambat

diserap bahkan tidak diserap, sehingga terjadi sekresi air ke dalam

intestinum untuk mempertahankan isotonisitas yang sama dengan

plasma. Beberapa pilihan laksatif salin adalah garam-garam seperti

magnesium hidroksida, magnesium sulfat, magnesium sitrat,

sodium fosfat, dan sodium sulfat. Beberapa jenis Laksatif Osmotik

(Andrianto, 2005): 

1) Garam Magnesium (MgSO4 atau Garam Inggris)

Diabsorbsi melalui usus kira-kira 20% dan dieksresikan

melalui ginjal. Bila fungsi ginjal terganggu, garam magnesium

berefek sistemik menyebabkan dehidrasi, kegagalan fungsi

ginjal, hipotensi, dan paralisis pernapasan. Jika terjadi hal-hal

tersebut, maka harus diberian kalsium secara intravena dan

melakukan napas buatan. Garam magnesium tidak boleh

diberikan pada pasien gagal ginjal.

Sediaan yang ada misalnya adalah magnesium sulfat dalam

bubuk, dosis dewasa 15-30 g; efek pencahar terlihat setelah 3-6

Page 19: Laporan-fusion.doc

jam. Magnesium oksida dosis dewasa 2-4 g; efek pencahar

terliaht seteah 6 jam.

Walaupun garam magnesium bekerja secara lokal di traktus

gastrointestinal, efek farmakologisnya pun mungkin

disebabkan oleh pelepasan hormon seperti kolesistokinin suatu

hormon yang merangsang pergerakan usus besar dan sekresi

cairan.atau pengaktifan sintesa nitrit oksida. Senyawa ini dapat

diminum ataupun diberikan secara rektal.

2) Laktulosa

Merupakan suatu disakarida semisintetik yang tidak dipecah

oleh enzim usus dan tidak diabsorbsi di usus halus. Laktulosa

tersedia dalam bentuk sirup. Obat ini diminum bersama sari

buah atau air dalam jumlah cukup banyak. Dosis pemeliharaan

harian untuk mengatasi konstipasi sangatlah bervariasi,

biasanya 7-10 g dosis tunggal maupun terbagi.6,7

Kadang-kadang dibutuhkan dosis awal yang lebih besar,

misalnya 40 g dan efek maksimum laktulosa mungkin terlihat

setelah beberapa hari. Untuk keadaan hipertensi portal kronis

dan ensefalopati hepar, dosis pemeliharaan biasanya 3-4 kali

20-30 g (30-45 ml) laktulosa sehari; dosis ini disesuaikan

dengan defekasi 2-3 kali sehari dan tinja lunak, serta pH 5,5.

Laktulosa juga dapat diberikan per rektal.

Laktulosa adalah jenis gula yang tidak banyak diserap,

seperti galaktosa-fruktosa disakarida. Tubuh manusia

kekurangan enzim fruktosidase, karbohidrat yang tidak

terserap merupakan substrat bagi proses fermentasi bakteri

kolon yang akan diubah menjadi hidrogen, metana, karbon

dioksida, air, asam dan asam lemak rantai pendek. Selain

sebagai agen osmotic, produk-produk ini juga menstimulasi

motilitas dan sekresi intestinum. Rasa kembung, tidak nyaman

di perut, dan flatus yang sering merupakan efek samping yang

Page 20: Laporan-fusion.doc

sering dikeluhkan oleh pasien saat menggunaan laksatif jenis

ini.

C. Obat Anti Diare

Diare akut merupakan penyebab utama kematian anak di negara

berkembang. Tujuan pengobatan yang utama pada diare adalah mencegah

dehidrasi dan mengurangi durasi serta tingkat keparahan diare. Regimen

terapi yang direkomendasikan adalah rehidrasi oral, sebab cukup efektif

meringankan dehidrasi Pada beberapa kasus diare ternyata rehidrasi oral

tidak berpengaruh pada durasi, tingkat keparahan, atau frekuensi episode

diare, sehingga diperlukan terapi tambahan. Terapi tambahan pada kasus

diare adalah pemberian,  mikronutrien , probiotik , atau obat-obat anti

diare. (Faure, 2013).

Obat-obat anti diare yang ada saat ini ternyata cukup beragam yaitu

antara lain: golongan Antisecretory dan Antimotility (terdiri dari opioid,

Alpha 2 agonis misalnya clonidine dan somatostatin) serta Adsorbents

(Kaolin dan pectin, Bismuth subsalicylate serta Bile acid sequestrant).

Obat-obat tersebut direkomendasikan untuk mengatasi diare yang non

spesifik sebagai obat anti diare simptomatis. (Faure, 2013).

Manajemen yang tepat dengan pemberian obat tambahan yang

rasional dapat membantu mengurangi beban kesehatan dan ekonomi bagi

penderita diare akut pada anak-anak. Pemahaman khasiat farmakologis

dari obat-obat anti diare simptomatis serta antimikroba untuk diare

spesifik akan membantu dalam pemilihan obat yang rasional. Masing-

masing anti diare baik yang simptomatis maupun antimicrobial memiliki

keunggulan dan kelemahan secara spesifik. Obat anti diare golongan

opioid dapat mengatasi diare dengan memperlambat gerakan feses di

dalam saluran cerna sehingga dapat meningkatkan penyerapan air dan

elektrolit kembali ke dalam tubuh. Adsorbent akan menahan beberapa

substance penyebab diare seperti misalnya toksin untuk tetap berada dalam

feses sehingga tidak dapat diserap oleh mukosa, tentu juga menghambat

penyerapan beberapa nutrient yang diperlukan oleh tubuh. Golongan

antibiotika atau antimicrobial akan mengatasi diare melalui

Page 21: Laporan-fusion.doc

kemampuannya membunuh atau menghambat bakteri penyebab diare

dengan efek samping yang juga perlu mendapat perhatian paramedis.

Dalam artikel ini akan dibahas khasiat farmakologis dua golongan

antidiare, yaitu golongan Antisecretory dan antimotility serta golongan

Adsorbents.

1. Antisecretory dan Antimotility

Obat anti diare yang termasuk golongan Antisecretory dan

Antimotility adalah; opioid dan derivatnya,  alpha 2 agonis misalnya

clonidine dan somatostatin. Salah satu dari opioid adalah loperamide.

Loperamide merupakan turunan phenylpiperidine dengan struktur

kimia yang mirip dengan agonis reseptor opiat seperti diphenoxylate.

Loperamide sebagai antidiare bekerja dengan beberapa mekanisme

yang berbeda, yaitu mengurangi peristaltik dan sekresi cairan (Baker,

2007) serta meningkatkan tonus sphincter (Hanauer, 2008), sehingga

waktu transit gastrointestinal lebih lama sehingga meningkatkan

penyerapan cairan dan elektrolit dari saluran pencernaan (Baldiet

al.,2009). Loperamide merupakan obat agonis opiate sintetis yang

dapat mengaktivasi μ receptors pada pleksus myenterik usus besar.

Aktivasi terhadap receptors tersebut akan menghambat pelepasan

acetylcholine sehingga terjadi relaksasi otot pada saluran cerna.

Disamping itu, penghambatan terhadap acetylcholine juga

menimbulkan efek anti sekretori sehingga mengurangi sekresi air dan

dapat mencegah kekurangan cairan dan elektrolit (Faure, 2013).

Loperamide memiliki keunggulan karena memiliki efek antidiare

dengan aspek-aspek negatif yang terkait dengan pengaruhnya terhadap

reseptor opiate yang minimal.  Hal ini disebabkan oleh karena

penyerapan loperamide rendah serta sulit menembus sawar darah otak,

sehingga efek yang ditimbulkan pada sistem saraf pusat minimal.

Dibandingkan derivate opiate yang lain misalnya diphenoxylate,

loperamide memiliki durasi yang lebih lama,namun tidak memiliki

aktivitas analgesik yang signifikan sehingga tidak mengurangi rasa

sakit yang terkait dengan beberapa bentuk sindrom iritasi usus dan

Page 22: Laporan-fusion.doc

diare (Baker, 2007).Loperamide cukup efektif untuk mengatasi gejala

diare yang disebabkan oleh berbagai sebab non spesifik termasuk

traveler’s diarrhea; dan chemotherapy-related diarrhea(Hanauer,

2008).

Loperamide dimetabolisme oleh sitokrom P450 (CYP) sistem dan

merupakan substrat untuk isoenzim CYP3A4. Administrasi bersamaan

dengan inhibitor CYP3A4 dapat meningkatkan konsentrasi

loperamide. Reaksi merugikan umum untuk loperamide termasuk

kram dan mual. Loperamide adalah pengobatan yang efektif untuk

pasien dengan diare tanpa rasa sakit dan dianggap bebas dari potensi

menimbulkan ketergantungan. Loperamide pad imbul akibat dari

adanya motilitas usus seperti nyeri abdomen, perut gembung, mual

dan muntah serta konstipasi(Hanauuer, 2008).

Obat antidiare yang lain yang bekerja dengan mempengaruhi

neurotransmitter opiat (bukan reseptor opiate) adalah Racecadotril

yang diindikasikan untuk pengobatan simptomatis diare akut pada

anak-anak dan orang dewasa. Racecadotril adalah suatu pro drug yang

akan dihydrolisa pada plasma menjadi metabolit thiorphan.

Mekanisme kerja dari racecadotril adalah mengadakan interaksi

dengan  opioid neurotransmitter system pada dinding saluran cerna.

Racecadotril bersifat sebagai  inhibitor enzyme neutral endopeptidase 

yang akan memecah endogenous opioid peptides Met- and Leu-

enkephalin, yang mengatur sekresi pada saluran cerna, sehingga

terjadi penurunan sekresi air dan elektrolit. Jadi obat ini bersifat

sebagai antisekretori(Faure, 2013).

Pengembangan obat anti diare masa depan adalah melalui

penghambatan sekresi atau menemukan obat antisecretory pada epitel

mukosa usus. Penemuan terakhir di bidang ini adalah penemuan

tentang peran  protein  FXR pada epithelial cells kolon dan memberi

harapan bahwa  FXR agonists merupakan harapan yang sangat bagus

untuk pengembangan obat antidiare yang baru(Mrozet al.,2013).

2. Adsorbent

Page 23: Laporan-fusion.doc

Beberapa contoh obat yang termasuk kelompok adsorbent adalah:

bismuth subsalicylate (Pepto-Bismol), kaolin-pectin, activated

charcoal, attapulgite (Kaopectate). Walaupun pemberian adsorbent

pada diare misalnya pada penderita HIV tidak memberikan hasil yang

lebih baik dari placebo, namun pemberian absorben masih

direkomendasikan. Mekanisme kerja secara umum dari adsorben

adalah melapisi permukaan mukosa pada dinding saluran pencernaan

sehingga toksin dan mikroorganisme tak bisa masuk menembus dan

merusak mukosa. Selain itu, absorben juga mengikat bakteri penyebab

atau racun, yang kemudian dieliminasi melalui tinja.(Nwachukwuand 

Okebe, 2008).

a) Bismuth subsalicylate

Selain untuk diare, obat ini juga dapat dipakai untuk mengatasi

mual, gangguan lambung. Farmakodinamik, Bismuth subsalicylate

menunjukkan efek terapi melalui efek anti-inflammasi oleh

salicylic acid, juga antibiotik ringan oleh bismuth. Mekanisme

sebagai anti diare belum jelas, diduga melalui peningkatan

absorpsi air dan elektrolit (antisekretori) dan juga sebagai

penghambat sintesis prostaglandin sehingga terjadi efek

antiinflamasi dan penurunan motilitas usus(Goldman,2013).

Sebagai mekanisme tambahan, bismuth subsalicylate dapat

mengikat toksin yang diproduksi oleh bakteri misalnya oleh

Escherichia coli. Obat ini juga sebagai antimikroba (Alharbiet

al.,2012).

b) Kaolin dan Pectin

Merupakan Bulk-Forming and Hydroscopic Agents. Mekanisme

kerja dari obat ini adalah dengan merubah viskositas feses sehingga

nampak lebih kental. Selain itu obat ini juga dapat mengikat toksin

bakteri terutama enterotoksin dan dapat berikatan dengan garam

empedu. Kaolin merupakan magnesium alumunium silikat

terhidrasi (atal pugit) yang ada di alam, pectin adalah karbohidrat

yang tidak tercerna dari apel. Keduanya bekerja sebagai absorben

Page 24: Laporan-fusion.doc

bakteri, toksin, dan cairan sehingga menurunkan ke cairan dari

feses. Efektif pada diare akut namun jarang digunakan pada jangka

panjang. Dosis yang digunakan biasanya adalah 1,2-1,5 g setelah

habis defekasi (maksimal 9 g/hari). Sedian ini tidak memilki efek

samping yang bermakna.Obat ini tidak bias digunakan bersamaan

dengan obat lain dalam waktu 2 jam, karena obat lain dapat diikat

oleh kaolin-pektin (Katzung, 2010).

c) Resin pengikat-garam empedu

Garam empedu konjugat biasa diserap di ileum terminal.

Penyakit pada ileum terminal atau reseksi bedah menyebabkan

malabsrobsi garam empedu, yang dapat menyebabkan diare

sekretorik kolonik (Katzung, 2010). Kolestipol atau kolestiramin

merupakan obat yang dapat mengurangi diare yang disebabkan

oleh asam empedu yang berlebihan dalam feses. Dosis yang

digunakan biasanya 4-5 gram satu hingga tiga kali sehari sebelum

makan. Efek samping yang dapat muncul meliputi perut kembung,

flatulens, konstipasi, dan impaksi feses. Pada penderita dengan

penurunan asam empedu, pengurangan asam empedu lebih lanjut

menyebabkan eksaserbasi malabsorpsi lemak. Agen-agen ini

mengikat sejumlah obat dan mengurangi absorpsinya, karena itu

obat ini tidak boleh digunakan bersama obat lain dalam waktu 2

jam. (Katzung, 2010)

Adsorbent  menurunkan penyerapan banyak  banyak obat lain

misalnya, digoksin, klindamisin, kinidina, dan  agen

hipoglikemik.Absorben menyebabkan peningkatan pendarahan saat

iberikan dengan antikoagulan

D. Antiemetik

Muntah sebenarnya merupakan pertahanan tubuh alamiah dan

mungkin juga sebagai pertanda adanya penyakit, seperti adanya organ

yang tidak berfungsi atau untuk mengeluarkan benda atau zat yang

berbahaya dari lambung. Muntah mungkin juga disebabkan oleh flu,

hamil, naik kendaraan atau goncangan (motion sicknes), infeksi didalam

Page 25: Laporan-fusion.doc

telinga atau efek samping obat-obat tertentu, terutama obat kanker.

(Gunawan, 2007)

Perangsangan pada pusat muntah atau sering disebut chemoreseptor

trigger zone (CTZ) dapat menyebabkan kontraksi lambung. Obat-obat anti

muntah umumnya bekerja menghambat rangsangan pada CTZ. Namun

demikian antiemetic yang tergolong antihistamin dan fenotiasin

menghambat muntah melalui mekanisme dopaminergik atau kolinergik

(Gunawan, 2007)

Beberapa golongan antiemetik yang sampai sekrang masih dibenarkan

yaitu :

1. Golongan fenotiazin

2. Antagonis H1

3. Serotonin antagonis

E. Obat gangguan lambung

1. Agen Pereduksi Asam Lambung

a. Antasid

Antasida berasal dari kata anti = lawan dan acidus = asam.

Antasida adalah senyawa yang mempunyai kemampuan untuk

menetralkan asam klorida (lambung) atau mengikatnya secara

kimiawi. Obat maag atau antasida adalah obat yang mengandung

bahan-bahan yang efektif yang menetralkan asam dilambung.

Untuk mengatasi nyeri lambung, antasida mengandung senyawa

magnesium hidroksida dan aluminium hidroksida yang berfungsi

menetralkan asam lambung (Depkes RI, 2010).

Antasid tidak mengurangi volume HCl yang dikeluarkan

lambung, tetapi peninggian pH aka menurunkan aktivitas pepsin.

Umumnya antasid merupaka basa lemah. Senyawa oksi-

alumunium sukar untuk meninggikan pH lambung lebih dari 4,

sedangkan basa yang lebih kuat seperti magnesium-hidroksida

secara teoritis dapat meningkatkan pH lambung sampai 9, tetapi

kenyataannya tidak terjadi. Semua antasid meningkatkan produksi

Page 26: Laporan-fusion.doc

HCl berdasarkan kenaikan pH yang meningkatkan aktivitas gastrin

(Gunawan, 2009).

Antasid dibagi dalam dua golongan yaitu antasid sistemik dan

antasid nonsistemik. Antasid sistemik, misalnya natrium

bikarbonat, diabsorbsi dalam usus halus sehingga menyebabkan

urin bersifat alkalis. Pada pasien dengan kelainan ginjal dapat

terjadi alkalosis metabolik. Penggunaan kronik natrium bikarbonat

memudahkan nefrolitiasis fostat. Antasid nonsistemik hampir tidak

diabsorbsi dalam usus sehingga tidak menimbulkan alkalosis

metabolik. Contoh antasid nonsistemik ialah sediaan magnesium,

alumunium, dan kalsium.Tidak ada antasid yang bebas efek

samping, terutama pada peggunaan dosis besar jangka lama. Efek

samping yang timbul antara lain: sindroma susu alkali, batu ginjal,

osteomalasia, osteoporosis, neurotoksisitas, saluran cerna, dan

asupan natrium(Gunawan, 2009).

1) Antasid Sistemik

a) Natrium Bikarbonat.

Natrium bikarbonat cepat menetralkan HCl lambung

karena daya larutnya tinggi; reaksi kimanya adalah sebagai

berikut(Gunawan, 2009):

NaHCO3 + HCl NaCl + H2O + CO2

Karbon dioksida yang terbentuk dalam lambung akan

menimbulkan sendawa. Distensi lambung dapat terjadi, dan

dapat menimbulkan perforasi. Selain menimbulkan

alkalosis metabolik obat ini dapat menyebabkan retensi

natrium dan edema.Natrium bikarbonat sudah jarang

digunakan sebagai antasid. Obat ini digunakan untuk

mengatasi asidosis metabolik, alkalinisasi urin, dan

pengobatan lokal pruritus(Gunawan, 2009).

Natrium bikarbonat tersedia dalam bentuk tablet 500-

1000 mg. doss yang dianjurkan 1-4 gram.Pemberian dosis

besar NaHCO3 atau CaCO3 bersama susu atau krim pada

Page 27: Laporan-fusion.doc

pengobatan tukak peptik dapat menimbulkan sindrom alkali

susu (Gunawan, 2009).

2) Antasid Nonsistemik

a) Aluminium Hidroksida (Al (OH)3).

Reaksi yang terjadi di dalam lambung adalah sebagai

berikut(Gunawan, 2009):

Al (OH)3 + 3 HCl AlCl3 + 3 H2O

Daya menetralkan asam lambungnya lambat, tetapi

masa kerjanya lebih panjang. Al (OH)3 bukan merupakan

obat yang unggul dibandingkan dengan obat yang tidak

larut lainnya. Al (OH)3 dan sediaan Al lainnya akan

bereaksi dengan fosfat membentuk aluminium fosfat yang

sukar diabsorbsi usus kecil, sehingga ekskresi fosfat melalui

urin berkurang sedangkan melalui feses bertambah. Ion

aluminium dapat bereaksi dengan protein sehingga bersifat

astringen. Antasid ini mengadsorbsi pepsin dan

menginaktivasinya. Absorbsi makanan setelah pemberian

Al tidak banyak dipengaruhi dan komposisi feses tidak

berubah. Aluminium juga bersifat demulsen dan

adsorben(Gunawan, 2009).

Efek samping Al (OH)3 yang utama ialah konstipasi. Ini

dapat diatasi dengan memberikan antasid garam Mg. mual

dan muntah dapat terjadi. Gangguan absorbsi fosfat dapat

terjadi sehingga menimbulkan deplesi fosfat disertai

osteomalasia. Al (OH)3 dapat mengurangi absorbsi

bermacam-macam vitamin dan tetrasiklin. Al (OH)3 lebih

sering menimbulkan konstipasi pada usia lanjut(Gunawan,

2009).

b) Kalsium Karbonat.

Kalsium karbonat merupakan antasid yang efektif,

karena mula kerjanya cepat, maka kerjanya lama dan daya

menetralkan asamnya cukup tinggi.Kalsium karbonat dapat

Page 28: Laporan-fusion.doc

menyebabkan konstipasi, mual, muntah, perdarahan saluran

cerna, dan disfungsi ginjal serta fenomena acid rebound.

Fenomena tersebut bukan berdasar daya netralisasi asam,

tetapi merupakan kerja langsung kalsium di antrum yang

mensekresi gastrin yang merangsang sel parietal yang

mengeluarkan HCl (Gunawan, 2009).

Sebagai akibatnya, sekresi asam pada malam hari akan

sangat tinggi yang akan mengurangi efek netralisasi obat

ini. Efek serius yang dapat terjadi ialah hiperkalsemia,

kalsifikasi metastatik, alkalosis, azotemia, terutama terjadi

pada penggunaan kronik kalsium karbonat bersama susu

dan antasid lain.Kalsium karbonat tersedia dalam bentuk

tablet 600 dan 1000 mg. dosis yang dianjurkan 1-2

gram(Gunawan, 2009).

c) Magnesium Hidroksida (Mg (OH)2).

Magnesium hidroksida digunakan sebagai katartik dan

antasid. Obat ini praktis tidak larut dan tidak efektif

sebelum obat ini bereaksi dengan HCl membentuk MgCl2.

Magnesium hidroksida yang tidak bereaksi akan tetap

berada di lambung dan akan menetralkan HCl yag disekresi

belakangan sehingga masa kerjanya lama. Antasid ini dan

natrium bikarbonat sama efektif dalam hal menetralkan

HCl.Ion magnesium dalam usus akan diabsorbsi dan cepat

diekskresi melalui ginjal, hal ini akan membahayakan

pasien yang fungsi ginjalnya kurang baik (Gunawan, 2009).

Ion magnesium yang diabsorbsi akan bersifat sebagai

antasid sistemik sehingga menimbulkan alkaliuri, tetapi

jarang terjadi alkalosis.Pemberian kroik magnesum

hidroksida akan menyebabka diare akibat efek katartiknya,

sebab magnesium yang larut tidak akan diabsorbsi, tetap

berada dalam usus dan akan menarik air. Sebanyak 5-10%

magnesium diabsorbsi dan dapat menimbulkan kelainan

Page 29: Laporan-fusion.doc

neurologik, neuromuskular, dan kardiovaskular.Sediaan

susu magnesium berupa suspensi yang berisi 7-8,5% Mg

(OH)2. Dosis yang dianjurkan 5-30 mL(Gunawan, 2009).

b. Antagonis Reseptor H2

Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam

lambung. Buimamid dan metiamid merupakan antagonis reseptor

H2 yang pertama kali ditemukan, namun karena toksik tidak

digunakan di klinik. Atagonis reseptor H2 yang ada dewasa ini

adalah simetidin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin.

Mekanisme kerja dari AH2R sangat spesifik, karena tidak

bereaksi terhadap reseptor H1 dan H3. Oleh karena itu efikasi dari

AH2R lebih tinggi dari golongan antihistamin lainnya. Efek AH2R

adalah menurunkan sekresi HCl yang distimulasi oleh histamin.

Histamin memiliki efek langsung terhadap sekresi gastrin dan agen

kolinomimetik melalui beberapa mekanisme berikut (Katzung et

al., 2010; Fessenden & Fessenden, 2007; Chang, 2008):

1) AH2R memblok histamin yang dikeluarkan dari stimulasi

gastrin dan vagus pada sel ECL.

2) AH2R langsung mengihibisi reseptor H2 pada sel parietal,

sehingga histamin yang dikeluarkan ECL tidak dapat

berikatan dengan reseptor H2.

Semua golongan AH2R memiliki efek inhibisi sekresi HCl 60-

70% dalam 24 jam, namun lebih efektif apabila diberikan saat sore

hari menjelang malam, karena ternyata efikasi AH2R dipengaruhi

oleh adanya makanan di dalam gaster. Adanya makanan di dalam

lumen gaster akan menurunkan absorpsi dan efikasi dari AH2R,

karena berdasarkan struktur dasar dari AH2R sangat bersifat

lipofilik dengan gugus aktif berupa gugus CN yang terikat pada

rantai induk yang mengandung gugus siklik yang heterofilik.

Sifatnya ini menyebabkan interaksinya dengan protein dapat

menurunkan kadar obat yang dapat di absorpsi dan berefek pada

Page 30: Laporan-fusion.doc

reseptor H2 (Katzung et al., 2010; Fessenden & Fessenden, 2007;

Chang, 2008).

c. Penghambat Pompa Proton

Penghambat pompa proton merupakan penghambat sekresi

asam lambung lebih kuat dari AH2R. obat ini bekerja diproses

terakhir produksi asam lambung, lebih distal dari AMP. Saat ini

yang digunakan di klinik adalah omeprazol, esomeprazol,

lansoprazol, rabeprazol, dan pantoprazol. Perbedaan ke lima

sediaan tersebut adalah pada substitusi di cincin pridin dan/atau

benzimidazol. Omeprazol adalah campuran rasemik isomer R dan

S. esomeprazol adalah isomer S omeprazol (S-ome-prazol) yang

mengalami eliminasi lebih lambat dari R-omeprazol(Gunawan,

2009).

Penghambat pompa proton adalah suatu prodrug yang

membutuhkan suasana asam untuk aktivasinya. Setelah diabsorbsi

dan masuk ke sirkulasi sstemik obat ini akan berdifusi ke sel

parietal lambung, terkumpul di kanalikuli sekretoar dan mengalami

aktivasi di situ menjadi bentuk sulfonamid tetrasiklik. Bentuk aktif

ini berikatan dengan gugus sulfhidril enzim H+, K+, ATPase dan

berada di membran apikal sel parietal. Ikatan ini menyebabkan

terjadinya penghambatan enzim tersebut. Produksi asam lambung

terhenti 80% s/d 95%, setelah penghambatan pompa proton

tersebut (Gunawan, 2009).

Obat inimempunyai masalah bioavailabilitas, formulasi

berbeda memperlihatkan presentasi jumlah absorbsi yang

bervariasi luas. Bioavailabilitas tablet yang bukan salut enterik

meningkat dalam 5-7 hari, ini dapat dijelaskan dengan

berkurangnya produksi asam lambung setelah obat bekerja. Obat

ini dimetabolisme di hati oleh sitokrom P450 terutama CYP2C19

dan CYP3A4 (Estuningtyas, 2012).

Indikasi penghambat pompa proton sama dengan AH2R yaitu

penyakit peptik. Terhadap sindrom Zollinger-Ellison, obat ini

Page 31: Laporan-fusion.doc

dapat menekan produksi asam lambung lebih baik dari AH2R pada

dosis yang efek sampingnya tidak terlalu mengganggu. Efek

samping pada umumnya adalah mual, nyeri perut, konstipasi,

flatulence, dan diare. Penghambat pompa proton mempengeruhi

eliminasi beberapa obat yang memiliki jalur metabolisme yang

sama dengannya antara lain warfarin (esomeprazol, lansoprazol,

omeprazol, dan rabeprazol), diazepam (esomeprazol dan

omeprazol), dan siklosporin (omeprazol dan rabeprazol.

Omeprazol tersedia sebagai kapsul 10 mg dan 20 mg, esomeprazol

sebagai tablet salut enterik 20 mg dan 40 mg serta vial 40

mg/10mL. Lansoprazol tersedia sebagai kapsul 15 mg dan 30 mg,

rabeprazol tersedia sebagai tablet 10 mg, pantoprazol tersedia

sebagai tablet 20 mg dan 40 mg (Estuningtyas, 2012).

2. Agen Pelindung Mukosa

a. Sukralfat

Senyawa aluminuim sukrosa sulfat ini membentuk polimer

mirip lem dalam suasana asam dan terikat pada jaringan nekrotik

tukak secara selektif.Sukralfat hampir tidak diabsorbsi secara

sistemik. Obat yang bekerja sebagai sawar terhadap HCl dan pepsin

ini terutama efektif terhadap tukak duodenum. Karena suasana

asam perlu untuk mengaktifkan obat ini, pemberian bersama AH2R

atau antasid menurunkan bioavailabilitas(Gunawan, 2009).

1) Indikasi

Sukralfat sama efektifnya dengan simetidin untuk

pengobatan tukak lambung da tukak duodenum. Data terbatas

menunjukan bahwa kekambuhan ulkus lebih rendah setelah

pemberian sukralfat(Gunawan, 2009).

2) Farmakodinamik

Sukralfat adalah suatu kompleks yang dibentuk dari sukrosa

oktasulfat dan polialumunium hidroksida. Aktifitas sukralfat

sebagai anti ulkus merupakan hasil dari pembentukan komplek

sukralfat dengan protein yang membentuk lapisan pelindung

Page 32: Laporan-fusion.doc

menutupi ulkus serta melindungi dari serangan asam lambung,

pepsin dan garam empedu. Percobaan laboratorium dan klinis

menunjukkan bahwa sukralfat menyembuhkan tukak dengan

tiga cara, yaitu (Basuki, 2008):

a) Membentuk kompleks kimiawi yang terikat pada pusat

ulkus sehingga merupakan lapisan pelindung.

b) Menghambat aksi asam, pepsin, dan garam empedu.

c) Menghambat difusi asam lambung menembus lapisan film

sukralfat-albumin.

3) Farmakokinetik

Penelitian menunjukkan bahwa sukralfat dapat berada

dalam jangka waktu lama dalam saluran cerna sehingga

menghasilkan efek obat panjang. Sukralfat sangat sedikit

terabsorpsi di saluran pencernaan sehingga menghasilkan efek

samping sistemik yang minimal (Basuki, 2008).

4) Efek Samping

Dari suatu penelitian, kira-kira 4,7% pasien mengalami

efek samping dan yang tersering adalah konstipasi. Karena

sukralfat mengandung aluminium, penggunaanya pada pasien

gagal ginjal harus hati-hati. Data keamanannya pada wanita

hamil belum ada, jadi sebaiknya tidak digunakan(Gunawan,

2009).

5) Interaksi

Sukralfat dapat mengganggu absorbsi tetrasiklin, warfarin,

fenitoin, dan digoksin, sehingga dianjurkan untuk diberikan

dengan interval 2 jam. Sukralfat juga menurunkan

bioavailabilitas siprofloksasin dan norfloksasin, sehingga

untuk menghindari kegagalan pengobatan dengan antibiotika

ini, jagan diberikan secara bersamaan (Gunawan, 2009).

6) Dosis

Dewasa, untuk tukak duodenum dan tukak peptik 1 gram,

4 kali sehari dalam keadaan lambung kosong, selama 4-8

Page 33: Laporan-fusion.doc

minggu. Pemberian antasid untuk mengurangi nyeri dapat

diberikan dengan interval 1 jam setelah sukralfat. Pencegahan

stress ulcer diberikan 1 gram, 6 kali sehari sebagai suspensi

oral (Gunawan, 2009).

b. Misoprostol

Misoprostol, suatu analog metilester prostaglandin E1. Obat ini

berefek menghambat sekresi HCl dan bersifat sitoprotektif untuk

mencegah tukak saluran cerna yang diinduksi obat-obat AINS.

Misoprostol adalah prostaglandin sintetik pertama yang efektif

secara oral. Obat ini menyembuhkan tukak lambung dan

duodenum, efeknya berbeda bermakna dibanding plasebo dan

sebanding dengan simetidin. Misoporstol menyembuhkan tukak

duodenum yang telah refrakter terhadap AH2R(Gunawan, 2009).

Pada penelitian klinis, misoprostol sama efektifnya dengan

simetidin untuk pengobatan jangka pendek tukak duodenum dan

jelas efektif untuk menyembuhkan tukak lambung. Tetapi AH2R

atau sukralfat lebih sering dipilih untuk pengobatan tukak bukan

karena obat AINS, karena efek sampingnya lebih ringan(Gunawan,

2009).

Efek samping yang ditimbulkan berupa ringan antara lain

mual, gangguan abdomen, pusing dan sakit kepala; diare timbul

pada 14-40% pasien. Misoprostol sebaiknya tidak diberikan pada

wanita hamil. Dalam suatu penelitian dilaporkan timbulnya

perdarahan pada 50% wanita hamil trimester I, dan 7% mengalami

keguguran(Gunawan, 2009).

Dosis dan sediaan yang beredar adalahoral, dewasa 200 mg, 4

kali sehari atau 400 mg, 2 kali sehari. Obat ini diindikasikan untuk

profilaksis tukak lambung pada pasien berisiko tinggi (usia lajut

dan pasien yang pernah menderita tukak lambung atau perdarahan

saluran cerna yang memerlukan AINS)(Gunawan, 2009).

c. Bismuth

Page 34: Laporan-fusion.doc

Bismuth subsalisilat adalah satu-satunya sediaan garam

bismuth yang tersedia di Amerika Serikat. Mekanisme

penyembuhan ulkus yang paling mungkin adalah melalui efek

antibakteri, efek lokal gastroproteksi, dan stimulasi sekresi

prostaglandin endogen. Garam bismuth tidak menghambat sekresi

asam lambung atau pun menetralisasikannya. Garam bismuth

subsalisilat dinyatakan aman dengan sedikit efek merugikan jika

digunakan pada dosis yang direkomendasikan (Hakim, 2007).

Insufisiensi ginjal dapat menurunkan ekskresi bismuth, maka

penggunaan bismuth pada pasien gagal ginjal harus disertai

peringatan. Bismuth subsalisilat dapat meningkatkan sensitivitas

terhadap salisilat dan penyakit pendarahan, sehingga harus ada

peringatan terhadap pasien yang juga mendapat terapi salisilat.

Pasien harus diberi pengertian bahwa selama terapi bismuth

subsalisilat ini dapat mengakibatkan tinja berwarna hitam (Hakim,

2007).

Obat-obat golongan ini mempunyai masalah bioavailabilitas

karena mengalami aktivitasi di dalam lambung lalu terikat pada

berbagai gugus sulfhidril mukus dan makanan. Oleh karena itu,

sebaiknya diberikan dalam bentuk tablet salut enterik. Obat-obat

golongan ini mengalami metabolisme lengkap. Tidak ditemukan

dalam bentuk asal di urin, 20% dari obat radioaktif yang ditelan

ditemukan dalam tinja. Bismut subnitrat dapat membentuk lapisan

pelindung yang menutupi tukak,lagi pula berkhasiat bakteriostatik

terhadap H. pylori. Kini banyak digunakan sebagai eradikasi tukak,

selalu bersama dengan dua atau tiga obat lain (Hakim, 2007).

Pada penggunaan jangka panjang bismuth salisilat dapat

menimbulkan kenaikan gastrin darah dan dapat menimbulkan

tumor karsinoid pada tikus percobaan. Pada manusia belum dapat

dibuktikan (Hakim, 2007).

Page 35: Laporan-fusion.doc

III. METODE PRAKTIKUM

A. Alat

1. Beakerglass

2. Sonde lambung

3. Spuit injeksi 3 cc

4. Kertas saring

B. Bahan

1. Bisakodil

2. MgSO4

3. Vegeta

4. Merit

C. Cara kerja

Timbang Tikus

Hitung sode

Sonde lambung

Perhatikan feses

Warna konsistensi Jumlah

Page 36: Laporan-fusion.doc

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel 4.1. Hasil pengamatan feses tikus setelah diberi perlakuan khusus.

KEL. SAAT PRAKTIKUM 20.00 06.00

J W K J W K J W K

C1 6 Cokelat

kehijauan

Lembek 16 Cokelat Lembek 1 Padat Cokelat

C2 5 Cokelat

kuning

Lembek 10 Cokelat Lembek 6 Hitam Lunak

padat

C3 3 Cokelat

kehijauan

Lembek 6 Cokelat Lunak 5 Cokelat tua Lunak

padat

C4 - - - 9 Coklat

kuning

Lunak

encer

- Kekuningan Cair

Keterangan:

J : Jumlah C1: Bisakodil

W : Warna C2: MgSO4

K : Konsistensi C3: Merit

C4: Vegeta

Gambar 4.1 Feses tikus I sebelum praktikum

Page 37: Laporan-fusion.doc

Gambar 4.2 Feses tikus I pada pengamatan pukul 20.00

Gambar 4.3 Feses tikus I pada pengamatan pukul 06.00

B. Pembahasan

Tikus I diberikan bisakodil, reaksi yang dihasilkan adalah pada 30

menit sebelum pemberian laksatif tersebut, konsistensi feses tikus

cenderung baik, padat, dan tidak membasahi kertas saring. Pada 30 menit

setelah pemberian laksatif juga belum memberikan pengaruh yang berarti

dari feses tikus. Akan tetapi pada pukul 20.00 WIB setelah pemberian

laksatif, feses tikus terlihat lebih lembek dan membasahi kertas. kemudian

Page 38: Laporan-fusion.doc

pada pukul 06.00 WIB setelah pembeian laksatif, feses cenderung sama

yaitu terlihat lebih lembek dan sangat membasahi kertas.

Tikus II diberikan MgSO4, reaksi yang dihasilkan adalah pada 30

menit sebelum pemberian laksatif tersebut, konsistensi feses tikus

cenderung baik, padat, dan tidak membasahi kertas saring. Pada 30 menit

setelah pemberian laksatif juga belum memberikan pengaruh yang berarti

dari feses tikus. Akan tetapi pada pukul 20.00 WIB setelah pemberian

laksatif, feses tikus terlihat lembek dan membasahi kertas. Kemudian pada

pukul 06.00 WIB setelah pembeian laksatif, feses terlihat lembek dan

sangat membasahi kertas, akan tetapi jumlahnya relatif lebih sedikit.

Tikus III diberikan merit sebanyak 0,45 ml. Reaksi yang dihasilkan

adalah pada 30 menit sebelum pemberian laksatif tersebut, konsistensi

feses tikus cenderung baik, padat, dan tidak membasahi kertas saring. Pada

30 menit setelah pemberian laksatif juga belum memberikan pengaruh

yang berarti dari feses tikus. Akan tetapi pada pukul 20.00 WIB setelah

pemberian laksatif, feses tikus terlihat sangat lembek dan membasahi

kertas. kemudian pada pukul 06.00 WIB setelah pembeian laksatif, feses

terlihat lembek dan membasahi kertas.

Tikus IV diberikan vegeta cair, reaksi yang dihasilkan adalah pada 30

menit sebelum pemberian laksatif tersebut, konsistensi feses tikus

cenderung baik, padat, dan tidak membasahi kertas saring. Pada 30 menit

setelah pemberian laksatif juga belum memberikan pengaruh yang berarti

dari feses tikus. Akan tetapi pada pukul 20.00 WIB setelah pemberian

laksatif, feses tikus terlihat lembek dan membasahi kertas. kemudian pada

pukul 06.00 WIB setelah pembeian laksatif, feses terlihat cair dan sangat

membasahi kertas.

Tikus I diberikan bisakodil, bisakodil sendiri adalah bahan aktif yang

termasuk dalam golongan laksatif perangsang, bisakodil secara oral

dihidrolisis menjadi difenol yang diabsorbsi mengalami konjugasi dihati

dan dinding usus. metabolit ini diekskresi melalui empedu, selanjutnya

mengalami rehidrolisis menjadi difenol kembali yang akan merangsang

motilitas usus besar (Estuningtyas, 2009).

Page 39: Laporan-fusion.doc

Efek pencahar bisakodil timbul 6-12 jam setelah pemberian oral, dan

seperempat sampai satu jam setelah pemberian rektal. pada pemberian

oral, bisakodil diabsorbsi kira-kira 5%, dan diekskresikan bersama urin

dalam bentuk glukoronid. ekskresi bisakodil terutama di tinja

(Estuningtyas, 2009). Sehingga efek pada tikus yang dihsilkan dari

pemberian bisakodil sesuai dengan teori yang berlaku, yaitu pengeluaran

feses yang konsistensinya sangat lembek dan membasahi kertas.

Tikus II diberikan MgSO4, MgSO4 biasa disebut dengan garam

inggris. zat ini diabsorbsi melalui usus kira-kira 20% dan diekskresikan

melalui ginjal. pencahar ini termasuk dalam golongan pencahar garam atau

osmotik yang menyebabkan air ditarik nkedalam lumen usus dan tinja

menjadi lebih lembek setelah 3-6 jam, secara tidak langsung, pencahar ini

juga mengakibatkan peristaltis usus meningkat. sehingga apa yang terjadi

pada hewan coba sesuai dengan teori yang telah ada sebelumnya

(Estuningtyas, 2009).

Tikus I diberikan dengan bisakodil. Obat ini adalah kelompok laksatif

stimulan yang menginduksi inflamasi secara terbatas, mengaktivasi

prostaglandin, dan menginhibisi Na+K+ATPase. Obat ini harus

dihidrolisis agar menjadi aktif. Itulah sebabnya, efeknya tidak akan bekerja

kurang dari 6 jam dan akan terlihat efeknya besok paginya (Brunton,

2006).

Hal ini terbukti dengan jumlah feses tikus I yang tetap pada

pengamatan 4 jam setelah diberi bisakodil karena obatnya belum bekerja.

Peningkatan jumlah feses tikus I baru tampak pada pengamatan pada jam

20.00 dan esok paginya, di mana jumlah fesesnya meningkat, tapi tidak

berubah konsistensinya.

Berbeda dengan tikus I, tikus II diberi MgSO4. Magnesium sulfat

adalah kelompok saline laxatives atau laksatif garam. Cara kerjanya adalah

dengan sistem osmotik; retensi air sehingga terjadi akumulasi cairan dan

elektrolit intralumen dan memicu peristaltik usus (Brunton, 2006). Karena

sifatnya yang menarik air ke intralumen inilah yang menyebabkan feses

tikus II yang diberi MgSO4 menjadi lebih cair. Bahkan menurut Brunton,

Page 40: Laporan-fusion.doc

2006, diperkirakan dengan dosis normal magnesium, sekitar 40-120 mEq

dapat menghasilkan 300-600 ml feses dalam 6 jam

Sedangkan pada tikus III, diberikan merit atau jamu galian singset

yang dikenal dapat membantu menjaga bentuk tubuh, terutama untuk

wanita. Jamu ini memiliki komposisi, antara lain: daun jati belanda,

kencur, temu lawak, kunyit, asam jawa, kayu manis, merica, laos, serai,

kunyit, cengkeh, kapulaga, ketumbar, dan beberapa rempah tradisional.

Namun di antara beberapa bahan yang menjadi campuran tersebut, bahan

utama yang berkhasiat mengencangkan badan adalah daun jati belanda

(Widyawati, 2012).

Berdasarkan analisis fitokimia dalam daun jati belanda terkandung

beberapa senyawa kimia, seperti sterol, alkaloid, karotenoid, flavonoid,

tannin, karbohidrat dan saponin. Tannin dapat menyerap lemak atau

karbohidrat yang berlebihan dari makanan dan mengurangi absorpsinya di

dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan berat badan. Sedangkan

saponin dapat berfungsi untuk melarutkan air dan lemak (Widyawati,

2012).

Bila dikaitkan dengan golongan obat laksatif, fungsi dari kandungan

dalam jamu ini sama dengan obat aktif lumen, di mana dapat berperan

sebagai pembentuk massa yang meretensi absorpsi nutrisi sehingga

meningkatkan volume feses. Selain itu, fungsinya juga hampir sama

dengan emolien yang dapat memudahkan pelarutan lemak dan air sehingga

menyebabkan feses tikus III lebih lunak daripada sebelum diberi merit.

Pada tikus IV yang diberi obat pencahar vegeta, efek kerjanya terlihat

sejak 30 menit pasca pemberian obat dimana terjadi perubahan jumlah dan

konsistensi feses tikus menjadi lebih banyak dan kenyal setelah pemberian

obat dibandingkan pada saat awal pengamatan sebelum pemberian obat. 3

jam setelah pemberian obat, terlihat feses yang dihasilkan menjadi sedikit

namun terjadi perubahan konsistensi menjadi lebih encer. Begitu pula

dengan kondisi jumlah dan konsistensi feses 6 jam setelah dilakukan

pemberian pencahar vegeta.

Page 41: Laporan-fusion.doc

Vegeta merupakan obat pencahar golongan pembentuk massa yang

cara kerjanya dengan mengikat air dan ion dalam lumen kolon, sehingga

tinja yang dihasilkan akan menjadi lebih banyak dan lunak. Efek kerja

pencahar golongan ini pada manusia biasanya terlihat 12-24 jam setelah

pemberian obat. Pada tikus percobaan ini, 30 menit pertama tidak

mengeluarkan feses sama sekali dan efek pencahar mulai terlihat sejak 3

jam pasca pemberian vegeta. Keadaan ini mungkin terjadi akibat faktor

stres dari tikus, karena pada waktu praktikum praktikan kurang memberi

efek stres pada tikus sehingga feses yang dihasilkan tidak banyak. Selain

itu, kondisi tubuh tikus yang berbeda dengan manusia juga mungkin

berpengaruh pada hasil percobaan sehingga obat lebih cepat memberikan

efek (Brunton, 2006).

C. Aplikasi Klinis

1. Konstipasi

Konstipasi merupakan suatu kondisi sulit defekasi. Para ahli telah

merumuskan suatu kriteria untuk menegakkan diagnosis konstipasi

(Kriteria Rome III), dengan ketentuan sebagai berikut (Yamada et al,

2008):

a. Suatu konstipasi fungsional harus mengandung dua atau lebih dari

gejala-gejala berikut :

1) <3 kali defekasi per minggu

2) Straining selama minimal 25% defekasi

3) Feses keras pada minimal 25% defekasi

4) Sensasi evakuasi inkomplet pada minimal 25% defekasi

5) Sensasi hambatan anorektal pada minimal 25% defekasi

6) Dibutuhkan manuver manual untuk membantu defekasi pada

minimal 25% defekasi

b. Feces lunak jarang tanpa penggunaan laksatif

c. Terdapat kriteria yang kurang mencukupi untuk menegakkan IBS

(Irritable Bowel Syndrome)

Studi observasional menunjukkan bahwa banyak pasien

dengankonstipasi tidak memenuhi kriteria Rome, sehingga American

Page 42: Laporan-fusion.doc

College of Gastroenterology Chronic Constipation Task Force

merekomendasikan suatu definisi yang lebih luas, yakni defekasi tak

memuaskan yang dicirikan dengan feses tak teratur, pengeluaran feses

yang sulit, ataupun keduanya. Namun perlu diingat bahwa konstipasi

berbeda dengan obstipasi, di mana kesulitan defekasi pada obstipasi

dikarenakan adanya massa pada lumen saluran cerna yang menghalangi

(obstruksi) pengeluaran feses.

Secara umum, konstipasi dapat dibagi menjadi dua kelompok

besar, yakni konstipasi primer dan sekunder. Konstipasi primer

merupakan hasil dari gangguan regulasi fungsi neuromuskular pada

kolon dan anorektal serta gangguan fungsi neuroenterik otak-saluran

cerna.

Sementara konstipasi sekunder dapat disebabkan oleh barbagai

faktor, mulai dari diet, obat-obatan, gaya hidup, gangguan metabolik,

endokrin, neurologik, dsb.

Berdasarkan patofisoologinya, konstipasi primer dapat dibagi lagi

menjadi tiga subtipe, yaitu :

1) Normal-transit constipation (NTC)

Merupakan subtiper paling umum dari konstipasi primer. Pada

subtipe ini, meskipun feses melalui kolon dengan laju dan

kecepatan normal, pasien mengalami kesulitan untuk defekasi.

Pasien pada kategori ini terkadang memnuhi kriteria IBS dengan

konstipasi (IBS-C). Perbedaan utamanya adalah bahwa pada IBS-C

terdapat rasa tidak nyaman atau rasa sakit pada abddomen yang

prominen. Pasien degnan NTC biasanya memiliki hasil

pemeriksaan fisik yang normal.

2) Slow-transit constipation (STC)

STC dicirikan dengan pergerakan saluran cerna yang infrequent,

penurunan urgency, atau adanya straining untuk defekasi. Hal ini

lebih sering dialami pasien wanita. Pasien dengan STC memiliki

aktivitas motorik kolon yang terganggu.

3) Pelvic floor dysfunction

Page 43: Laporan-fusion.doc

Subtipe ini dicirikan dengan adanya disfungsi pada lantai pelvis

atau sfingter anal.

2. GERD

Gastroesophageal reflux disease (GERD) timbul dari gagalnya

mekanisme antireflux normal untuk melindungi dari gastroesofageal

refluks yang frekuen dan dalam jumlah kebih dari normal.

Gastroesofageal refluks merupakan suatu perpindahan pasif isi gaster

dari gaster ke esofagus. Gastroesophageal reflux bukanlan merupakan

suatu penyakit, melainkan suatu proses fisiologis. Hal ini terjadi pada

setiap orang beberapa kali dalam sehari terutama setelah makan besar

tanpa menimbulkan gejala ataupun tanda-tanda kerusakan mukosa.

Namun GERD merupakan suatu spektrum penyakit yang biasanya

menimmbulkan gejala berupa heartburn dan regurgitasi asam. Sebagian

pasien tidak memperlihatkan kerusakan mukosa pada pemeriksaan

endoskopi (GERD nonerosif), sementara yang lain memiliki esofagitis,

striktur peptik, Barrett esophagus, atau bukti-bukti lain adanya kelainan

ekstraesofagus seperti sakit dada, gejala-gejala pulmonal, hidung,

telinga, dan tenggorokan. GERD merupakan suatu proses multifaktorial

dan merupakan salah satu penyakit manusia yang paling umum

(Yamada et al, 2009).

Patofisiologi dari GERD merupakan suatu proses yang kompleks

dan timbul dari adanya ketidakseimbangan antara faktor-faktor defensif

yang melindungi esofagus (antireflux barriers, esophageal acid

clearance, tissue resistance) dan faktor-faktor agresif dari isi gaster

(gastric acidity dan volume serta isi dari duodenum) (Yamada et al,

2009).

Esofagitis pada pasien GERD timbul ketika asam lambung dan

pepsin yang terrefluks berlebihan mengakibatkan nekrosis pada mukosa

esofagus dan kemudian menyebabkan erosi dan ulkus karena sistem

clearance esofagus yang juga terganggu. Ketidakseimbangan refluks

dan clearance ini dapat dikarenakan adanya inkompetensi pada

Page 44: Laporan-fusion.doc

esophagogastric junction, yang mekanisme utamanya sebagai berikut

(Longo et al, 2012):

1) Relaksasi LES (lower esophageal sphincter) yang transient.

Merupakan relaksasi LES yang dirangsang oleh distensi gaster,

suatu refleks vagovagal.

2) Hipotensi LES

3) Distorsi esophagogastric junction terkait dengan hernia hiatal.

Selain ketiga hal tersebut, faktor lain yang cenderung

meningkatkan eksaserbasi refluks meliputi obesitas abdominal,

kehamilan, kondisi hiperseekresi gaster, delayed gastric emptying,

gangguan peristaltik esofagus, dan kerakusan (Longo et al, 2012).

Setelah refluks, peristaltik akan mengembalikan cairan yang

terrefluks tersebut kembali ke gaster dan clearance asam dipurnakan

dengan titrasi zat asam residual dengan bikarbonat yang terkandung

dalam saliva yang tertelan. Gangguan peristaltik dan penurunan salivasi

akan menyebabkan clearance asam yang diperpanjang(Longo et al,

2012).

Asam lambung yang berbahaya bagi epitel esofagus tak dapat

dilepaskan dari patofisiologi GERD. Namun, hipersekresi asam

lambung biasanya bukan merupakan faktor utama dalam perkembangan

esofagitis. Pepsin, sekret empedu, dan enzim-enzim pankreas dalam

sekret gaster dapat pula melukai epitel esofagus, namun efek berbahaya

zat-zat tersebut akan berkurang dalam suasana asam ataupun

sebaliknya. Garam empedu dapat melalui membran sel, melukai sel

dalam suasana asam lemah, dan dapat pula berperan sebagai kofaktor

dalam patogenesis dari metaplasia Barrett dan adenokarsinoma. Oleh

karena itu, bahaya dari refluks gaster tidak hanya berasal dari HCl

lambung saja (Witteman et al, 2015).

Heartburn dan regurgitasi merupakan gejala tipikal dari GERD.

Gejala lain yang kurang umum adalah dysphagia dan nyeri dada. Pada

setiap kasus mungkin terdapat mekanisme yang berbeda dalam

perjalanan munculnya gejala, di mana mekanisme tersebut mungkin

Page 45: Laporan-fusion.doc

tidak hanya berkutat pada konsep dasar adanya erosi mukosa dan

aktivasi saraf sensoris aferen. Maka strategi klinis utama adalah dengan

penanganan empirik dengan acid inhibitor, dengan evaluasi lebih lanjut

untuk pasien-pasien yang gagal merespon dengan treatment

ini(Witteman et al, 2015).

Sindroma ekstraesofageal yang terkait dengan GERD diantaranya

adalah batuk kronis, laryngitis, asthma, dan erosi gigi. Kondisi-kondisi

lain meliputi pharyngitis, bronkitis kronik, fibrosis pulmonal, sinusitis

kronik, arritmia, sleep apnea, dsb. Mekanisme potensial untuk gejala-

gejala GERD ekstraesofageal adalah adanya regurgitasi dengan kontak

langsung antara zat terrefluks dengan struktur supraesofageal atau via

refleks vagovagal di mana aktvasi refluks dari saraf aferen esofagus

memicu refleks eferen vagal seperti bronkospasme, batuk, atau aritmia

(Kumar & Clark, 2009).

3. Diare

Diare dapat didefinisikan sebagai adanya feses tak terbentuk arau

berbentuk cair abnormal dalam frekuensi yang meningkat. Untuk

sorang dewasa dengan diet tipikal orang Barat, bobot feses >200g/hari

dapat dikatakan sebagai diare. Diare dapat diklasifikasikan sebagai akut

apabila terjadi dalam kurun waktu <2 minggu, persisten apabila

berlangsung selama 2-4 minggu dan kronis apabila berlangsung >4

minggu. Lebih dari 90% kasus diare akut disebabkan oleh agen

infeksius (E. Coli patogen, S. Aureus, C. Difficile, dll) yang sering

diiringi dengan gejal-gejala seperti demam, muantah, dan nyeri

abdomen. Sementara 10% sisanya disebabkan oleh obat-obatan, ingesti

zat toksik, iskemia, dan kondisi-kondisi lain (Longo et al, 2012).

Patofisiologi diare dapat terkait dengan hal-hal berikut (Yamada et

al, 2008):

a. Fungsi motorik abnormal

Peningkatan motilitas saluran cerna (dismotilitas) akan

mengakibatkan rapid transit pada pembentukan feses. Rapid transit

ini akan mengakibatkan adanya maldigesti dan mengasilkan feses

Page 46: Laporan-fusion.doc

yang cair dan terbentuk kurang sempurna. Dismotilitas atau

hipermotilitas usus dapat disebabkan oleh berbagai hal meliputi

dismotilitas promer, hipertiroid, sindroma karsinoid, obat-obatan

tertentu (prostaglandin, agen prokinetik), dsb.

b. Transport cairan dan elektrolit abnormal

1) Penurunan absorpsi

Gambar 4.5 Spiral diare.

Peningkatan cairan intralumen akibat adanya gangguan

transport cairan dan elektrolit akan menginisiasi aktivitas

propulsif dengan refleks maupun sebagai hasil dari gangguan

fungsi epitel. Rapid transit yang diikuti degnan penurunan waktu

kontak dan mungkin pula berkurangnya luas permukaan usus.

Hal ini kemudian akan mengakibatkan penurunan absorbsi, yang

mengakibatkan peningkatan lebih dari cairan intralumen,

propulsi lebih, dan seterusnya hingga terjadi diare.

2) Peningkatan sekresi

Sekresi kelenjar-kelenjar intestinal dapat terganggu dan

meningkat ketika terpapar enterotoksin dari bakteri dan

mediator-mediator inflamasi. Enterotoksin akan menstimulasi

reseptor pada sel enterochromaffin yang kemudian akan

melepaskan hormon yang akan mengaktivasi sistem saraf

enterik dan menstimulasi enterosit. Mediator-mediator inflamasi

seperti sitokin proinflamasi, adenosine, histamine, serotonin,

hidrogen peroksida, leukotrien, dan prostaglandin yang

Page 47: Laporan-fusion.doc

dilepaskan oleh sel-sel imun pada saluran cerna dapat secara

langsung menstimulasi enterosit dan mengaktivasi sistem saraf

enterik.

Berdasar patofisiologinya, terdapat tiga kategori umum diare

(Yamada et al, 2008):

a. Malabsorpsi

Diare ini akibat adanya malabsorbsi zat-zat gizi tertentu seperti

karbohidrat, lemak, protein, dsb.

b. Watery

1) Secretory

Merupakan diare yuang disebabkan karena peningkatan

sekresi kelenjar-kelenjar intestinal. Peningkatan sekresi ini dapat

disebabkan oleh infeksi bakteri ataupun respon inflamasi.

2) Osmotic

Pada diare ini, kondisi-kondisi tertentu seperti adanya zat-

zat yang tak dapat diserap oleh usus akan meningkatkan

osmolaritas intralumen. Peningkatan ini kemudian

mengakibatkan osmosis cairan dari ekstralumen ke intrallumen

yang kemudian meningkatkan konsentrasi cairan dalam feses.

c. Inflammatory

Adanya inflamasi saluran cerna dapat berujung pada diare.

Terdapat empat konsep yang mungkin menjadi penyebab diare ini.

Konsep pertama adalah bahwa zat-zat yang disekresi oleh sel-sel

imun akan menghambat absorbsi NaCl atau menstimulasi sekresi

Cl- oleh sel-sel epitel intestinal. Mediator-mediator proinflamasi

yang dilepaskan juga dapat merusak enterosit dan mengganggu

transport nutrient dan elektrolit.

Konsep kedua adalah bahwa sel-sel inflamasi pada lamina

propria dan sel-sel epitel yang kontak pertama kli dengan

mikroorganisme luminal diaktivasi oleh sutu proses yang bernama

innate immunity. Proses ini kemudian berlanjut dengan tujuan

Page 48: Laporan-fusion.doc

untuk membersihkan mikroorganisme melalui immunitas selular

dan humoral adaptif.

Konsep ketiga adalah bahwa mikroorganisme patogen dapat

menginvasi membran sel dan melalui sel spitel. Flora normal dan

mikoorganisme noninvasif juga dapat melewati barrier epitel

diantara sel, misalnya melaui tight junction yang menghubungkan

sel-sel menjadi suatu barrier. Beberapa sitokin (Interferon dan

TNF) kemudian dikeluarkan untuk merapatkan junction dan

maningkatkan permeabilitasnya.

Konsep keempat adalah bahwa beberapa bakteri seperti E. Coli

mampu menginjeksikan toksin ke dalam sel-sel epitel. Toksin ini

kemudaian dapat mengganggu transport elektrolit dan akhirnya

merubah permeabilitas mukosa saluran cerna.

Page 49: Laporan-fusion.doc

V. KESIMPULAN

1. Ada berbagai obat yang wajib praktikan ketahui di praktikum ini, yaitu

laksatif, antidiare, antiemetik, obat gangguan lambung.

2. Percobaan pada praktikum kali ini menggunakan Rattus norvegicus dengan

diberikan perlakuan MgSO4 melalui sonde lambung.

3. Seelah diberikan perlakuan dan diamati selama dua periode, diketahui ada

perbedaan pada feses Rattus norvegicusyaitu jadi lebih banyak dan lebih

lembek.

4. Dari keempat perlakuan (bisakodil, MgSO4, vegeta dan merit) menghasilkan

hasil yang berbeda.

Page 50: Laporan-fusion.doc

DAFTAR PUSTAKA

Alharbi S A et al. 2012. Bismuth-inhibitory effects on bacteria and stimulation of fungal growth in vitro. Saudi J Biol Sci. 19(2): 147–150.

Andrianto, P. 2005. Penataaksanaan dan Pencegahan Diare Akut. Penerbit Buku EGC : Jakarta.

Baker DE. 2007. Loperamide: a pharmacological review. Rev Gastroenterol Disord. 7(3):11-8.

Baldi F, et al. 2009. Focus on acute diarrhoeal disease. World J Gastroenterol. 15(27): 3341–3348.

Basuki, Triono. 2008. Efektifitas Sukralfat Dalam Menghambat Gastritis Akibat Penggunaan Asam Asetil Salisilat Pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus). Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Brunton, Laurence L., et al. 2006. Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basic of Therapeutics. New York: McGraw-Hill

Chang, R. 2008. Kimia Dasar : Prinsip Dasar Ilmu Kimia. Jakarta : EGC.

Depkes RI. 2010. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Indonesia.

Estuningtyas, Ari dan Azalia Arif. 2012. Obat Lokal dalam: Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FK UI

Faure C. 2013. Role of Antidiarrhoeal Drugs as Adjunctive Therapies for Acute Diarrhoea in Children. International Journal of Pediatrics. 65(3): 1-14.

Fessenden, R.J. & Fessenden, J.A. 2007. Kimia Organik Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Ganiswarna G., Sulistia. 2007. Farmakologi Dan Terapi. Jakarta: FKUI.

Goldman R D. 2013. Bismuth salicylate for diarrhea in children. Can Fam Physician. 59(8): 843-844.

Gunawan, S.G., et al. 2009. Farmakologi Dan Terapi FKUI Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Hakim, Lazuardi. 2007. Farmakokinetika. Yogyakarta: UGM Press.

Hall, JE. 2015. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology 13th Ed. Philadeplhia: Elsevier

Katzung, B.G. 2010. Farmakologi Dasar Dan Klinik Edisi 10. Jakarta: EGC.

Kumar et al. 2009. Kumar & Clark’s Clinical Medicine 7th edition. Edinburgh : Saunders Elsevier.

Longo, Dan et al. 2012. Harrison’s Principle of Internal Medicine 18th edition. New York : The McGraw-Hill Companies.

Page 51: Laporan-fusion.doc

Martini et al. 2014. Fundamentals of Anatomy & Physiology 9th Ed. US: Pearson Education Limited.

Mroz et al. 2013. Farnesoid X receptor agonists attenuate colonic epithelial secretory function and prevent experimental diarrhoea in vivo. Diabetes. 56(10): 2485-2493

Nwachukwu CE dan Okebe JU. 2008. Antimotility agents for chronic diarrhoea in people with HIV/AIDS. NY: John Wiley & Sons, Ltd.

Sherwood, Lauralee. 2013. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta: EGC

Widyawati, R. M. 2012. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda (Gauzuma ulmifolia lamk) terhadap Berat Badan, Berat Testis, dan Jumlah Sperma Mencit (Mus musculus L) Galur Swiss Webster. Universitas Pendidikan Indonesia. Tersedia pada: http://a-research.upi.edu/operator/upload/s_bio_0805316_chapter1.pdf (diakses 8 Juni 2015)

Witteman, Bart et al. 2015. Randomized Controlled Trial of Transoral Incisionless Fundoplication vs. Proton Pump Inhibitors for Treatment of Gastroesophageal Reflux Disease. Am J Gastroenterol. 110(4):531-542.

Yamada, Tadataka et al. 2008. Principles of Clinical Gastroenterology. Hoboken : Blackwell Publishing Ltd.

Yamada, Tadataka et al. 2009. Textbook of Gastroenterology. Hoboken : Blackwell Publishing Ltd.