Page 1
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
LAKSATIF DAN OBAT PENCERNAAN LAIN
BLOK DIGESTIVE
Asisten:
Wisnu Lisa Pratiwi
NIM. G1A012057
Kelompok C-1
Nurrokhmah Kurniasih G1A013064
Elsy Emmily Gracia G1A013065
Herthyaning Prasetyo G1A013067
Dyah Ratnasih K G1A013068
Sofyan Hardi G1A013069
Ghufron Febriyan Akbar G1A013102
Gembong Satria M G1A013103
Rizki Rijatullah G1A013104
KEMENTERIAN PENDIDIKAN TINGGI, RISET DAN TEKNOLOGIUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2015
Page 2
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI KEDOKTERANBLOK DIGESTIF
LAKSATIF DAN OBAT PENCERNAAN LAIN
Oleh:
Kelompok C.1
Elsy Emmily Gracia G1A013065
Herthyaning Prasetyo G1A013067
Dyah Ratnasih K G1A013068
Sofyan Hardi G1A013069
Ghufron Febriyan Akbar G1A013102
Gembong Satria Mahardika G1A013103
Rizki Rijatullah G1A013104
Disusun untuk memenuhi persyaratan mengikuti ujian praktikum Biokimia Kedokteran Blok Digestif
Jurusan Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
diterima dan disahkan,
Purwokerto, Juni 2015
Asisten,
Wisnu Lisa Pratiwi
G1A012057
Page 3
I. PENDAHULUAN
A. Judul Praktikum
Laksatif dan Obat Pencernaan Lain.
B. Hari dan Tanggal Praktikum
Jumat, 5 Juni 2015.
C. Tujuan Praktikum
1. Umum
Setelah menyelesaikan praktikum farmakologi obat lasatif dan obat saluran
cerna ini mahasiswa dapat menerapkan prinsip-prinsip farmakologi
berbagai macam obat dan memiliki keterampilan dalam member dan
mengaplikasikan obat secara rasional untuk kepentingan klinik.
2. Khusus
Setelah menyelesaikan percobaan ini mahasiswa akan dapat:
a. Menjelaskan efek obat laksatif.
b. Menjelaskan jenis-jenis obat laksatif.
c. Menjelaskan bahan-bahan alami yang dapat bersifat laksatif.
d. Memilih jenis laksatif yang paling tepat dalam praktik klinik.
Page 4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Fisiologi Terkait
1. Fisiologi kolon
Kolon merupakan salah satu organ sistem digestif yang berfungsi
sebagai organ absorbsi dan penyimpanan feses. Kolon normalnya
menerima sekitar 1500 mL massa dari usus halus. Jumlah ini
kemudian akan direduksi menjadi 200 mL sebelum dikeluarkan
menjadi feses (Martini et al, 2014).
Fungsi utama dari kolon adalah untuk (1) absorbsi air dan
elektrolit dari kimus untuk membentuk feses dan (2) penyimpanan
feses sampai dikeluarkan. Area proksimal kolon berfungsi untuk
absorbsi, sedangkan area distal berfungsi untuk penyimpanan. Karena
kedua fungsi utamanya ini, motilitas kolon cenderung lambat (Hall,
2015).
Gambar 2.1 Proses absorbsi kimus di kolon (Hall, 2015)
1. Sekresi kolon
Kolon memiliki banyak kripte Lieberkühn seperti usus halus,
namun tidak memiliki vili. Sel epitel kolon sebagian besar disusun
oleh sel mukus yang hanya mensekresikan mukus. Mukus ini
mengandung ion bikarbonat yang disekresikan beberapa sel epitel
Page 5
non-mukus. Kadar sekresi mukus diatur oleh stimulasi taktil pada
sel epitel kolon dan refleks saraf lokal pada kripte Lieberkühn
(Hall, 2015).
Mukus pada kolon melindungi dinding kolon dari ekskoriasi
dn sebgai medium untuk menahan feses. Mukus juga melindungi
dinding kolon dari aktivitas bakteri dan asam yang terbentuk di
feses (Hall, 2015).
2. Substansi pada kolon
1) Vitamin
Vitamin merupakan molekul organik yang penting untuk
proses metabolisme. Bakteri pada kolon normalnya akan
menghasilkan 3 vitamin yang penting, yaitu (Martini et al,
2014):
a) Vitamin K
b) Biotin
c) Vitamin B
2) Organic wastes
Bakteri kolon akan mengubah bilirubin menjadi
urobilinogen dan sterkobilinogen. Sebagian urobilinogen akan
diserap oleh pembuluh darah untuk kemudian dibuang lewat
urin, sedangkan sisanya yang tertinggal di kolon akan diubah
menjadi urobilin dan sterkobilin setelah pajanan ke oksigen.
Substansi inilah yang akan memberi warna pada feses (Martini
et al, 2014).
3. Motilitas kolon
1) Kontraksi haustra
Kontraksi haustra merupakan motilitas utama kolon.
Gerakan ini menyebabkan pengadukan isi kolon sehingga isi
kolon terpanjan ke mukosa penyerapan. Kontraksi haustra
dipicu oleh ritmisitas otonom sel-sel otot polos kolon. Hal ini
jugalah yang membuat kolon memiliki penampakan berupa
kantung-kantung haustra (Sherwood, 2013).
Page 6
Gambar 2.2 Penampakan kantung-kantung haustra pada kolon
(Sherwood, 2013)
2) Mass movement
Mass movement adalah kontraksi peristaltik kuat yang
terjadi beberapa kali dalam sehari. Kontraksi ini berfungsi
untuk mendorong massa dari kolon tranversum langsung ke
sepanjang sisa kolon. Stimulus untuk kondisi ini adalah
distensi gaster dan duodenum (Martini et al, 2014).
Saat makanan memasuki lambung, terjadi refleks
gastrokolon yang diperantarai dari lambung ke kolon melalui
gastrin dan saraf otonom ekstrinsik. Pada banyak orang, refleks
ini paling jelas setelah sarapan dan sering diikuti keinginan
buang air besar. Massa yang terdorong akhirnya akan
memasuki rektum dan mengaktifkan refleks defekasi
(Sherwood, 2013).
4. Mekanisme defekasi
Sebagian besar pencernaan dan penyerapan telah diselesaikan
di usus halus, oleh karena itu massa yang diterima kolon terdiri dari
residu makanan yang tidak tercerna, komponen empedu yang tidak
terserap, dan cairan. Kolon mengekstraksi H2O dan garam dari isi
Page 7
lumennya. Hasil akhir dari proses inilah yang disebut feses
(Sherwood, 2013).
Proses defekasi dipengaruhi oleh refleks defekasi. Mass
movement menyebabkan rektum terisi feses. Distensi pada dinding
rektum memicu munculnya refleks defekasi. Refleks ini terdiri atas
dua feedback positif, yaitu refleks pendekdan refleks panjang.
Refleks panjang menyebabkan terjadinya dua aksi. Aksi yang
pertama dimediasi oleh saraf parasimpatis dan menyebabkan
sfingter ani internal relaksasi. Hal ini menyebabkan feses yang
telah terbentuk masuk ke kanalis anal. Aksi kedua adalah releks
somatis yang menstimulasi kontraksi sfingter ani eksterna sehingga
proses defekasi dapat diatur secara sadar (Martini et al, 2014).
Proses defekasi biasanya dibantu oleh gerakan mengejan
volunter yang melilbatkan kontraksi otot abdomen dan ekspirasi
paksa dengan glotis tertutup secara bersamaan. Hal ini bertujuan
untuk meningkatkan tekanan intraabdomen sehingga membantu
proses pendorongan feses (Sherwood, 2013).
Gambar 2.3 Mekanisme defekasi (Martini et al, 2014)
Page 8
2. Pembentukan asam lambung
Pada area fundus dan corpus lambung, setiap gastric pit diisi oleh
kelenjar gastrika yang terus memanjang sampai ke area lamina propria
(Martini et al, 2014). Kelenjar gastrika disusun terutama oleh 3 jenis
sel, yaitu (1) sel leher yang mensekresikan mukus; (2) sel chief yang
mensekresikan pepsinogen; dan (3) sel parietal yang mensekresikan
HCl dan faktor instrinsik (Hall, 2015).
Saat terstimulasi, sel parietal akan mensekresikan larutan asam
yang mengandung sekitar 160 mmol/l HCl yang memiliki pH 0,8 (Hall,
2015). Namun, sel parietal tidak membuat HCl di sitoplasmanya karena
HCl merupakan asam yang sangat kuat sehingga bila langsung dibuat di
dalam sitoplasma maka bisa merusak sel. Oleh karena itu, ion H+ dan
Cl- yang membentuk HCl ditransportasikan secara terpisah dengan
mekanisme masing-masing (Martini et al, 2014).
Langkah awal pembuatan HCl adalah pembentukan asam karbonat
dalam sel parietal. Asam karbonat kemudian akan mengalami proses
disosiasi sehingga menghasilkan ion bikarbonat dan H+. Ion H+
kemudian ditransport secara aktif ke lumen kelenjar gaster. Sementara
itu ion bikarbonat akan ditukar dengan Cl- dari cairan intersisial. Cl-
kemudian akan memasuki lumen kelenja gaster melalui kanal klorida,
dan bereaksi dengan H+ untuk membentuk HCl (Martini et al, 2014).
Gambar 2.4 Proses pembentukan HCl (Martini et al, 2014)
Page 9
3. Fisiologi mual dan muntah
a) Mual
Rasa mual seringkali didefinisikan sebagai suatu sensasi yang
seringkali dialami sebelum seseorang muntah. Mual sendiri adalah
ekspresi sadar tubuh saat area medula yang berada di dekat pusat
muntah terangsang secara tidak sadar. Hal ini bisa terjadi karena 3
hal, yaitu (Hall, 2015):
1) Impuls iritatif dari saluran pencernaan
2) Impuls dari otak yang berhubungan dengan motion sickness
3) Impuls dari korteks serebral untuk memulai proses muntah
Muntah terkadang terjadi tanpa didahului oleh mual,
mengindikasikan bahwa tidak seluruh area pusat muntah
berhubungan dengan medula yang mengatur rasa mual (Hall,
2015).
b) Muntah
Muntah merupakan proses pengeluaran isi gaster melalui
mulut secara paksa (Sherwood, 2013).Sinyal sensorik yang
menginisiasi refleks muntah terutama berasal dari faring, esofagus,
lambung, dan area proksimal usus halus. Impuls saraf kemudian
akan dibawa ke pusat muntah di medula oblongata melalui jalur
vagal dan saraf aferen simpatis (Hall, 2015).
Page 10
Gambar 2.5 Jalur saraf terkait pada refleks muntah (Hall, 2015)
Pada saat proses muntah, gelombang peristaltik balik yang
kuat terjadi di duodenum sehingga mendorong massa di duodenum
untuk masuk ke dalam gaster (Martini et al, 2014). Namun, pada
proses muntah, organ terkait seperti lambung, esofagus, dan
sfingternya justru dalam kondisi relaksasi. Pengeluaran isi lambung
terjadi bukan karena kontraksi dari lambung itu sendiri, melainkan
dari kontraksi diafragma dan otot abdominal (Sherwood, 2013).
Muntah diawali dengan inspirasi dalam dan penutupan glotis.
Diafragma dan otot abdominal akan berkontraksi, menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdominal. Lambung yang terjepit
diantara diafragma dan tekanan dari area abdominal akan
menyebabkan terdorongnya isi lambung melalui sfingter lambung
dan esofagus yang relaksasi dan keluar melalui mulut. Glotis
tertutup sehingga muntah tidak akan masuk ke saluran pernapasan.
Page 11
Uvula juga dinaikkan sehingga muntah tidak masuk ke cavitas
nasalis. Muntah biasanya diikuti dengan hipersalivasi, berkeringat,
peninhkatan denyut jantung, dan rasa mual. Hal ini merupakan
karakteristik dari penngaktifan saraf autonom (Sherwood, 2013).
Refleks muntah bisa disebabkan oleh beberapa hal, yaitu
(Sherwood, 2013):
1) Stimulasi taktil di palatum
2) Iritasi atau distensi lambung dan duodenum
3) Peningkatan tekanan intrakranial
4) Rotasi atau akselerasi kepala
5) Rangsangan pada CTZ (Chemoreceptor trigger zone)
6) Muntah psikogenik, termasuk akibat faktor emosi
B. Laksatif
1. Definisi
Laksatif atau urus-urus atau pencahar ringan adalah obat yang
berkhasiat untuk memperlancar pengeluaran isi usus. Disebut juga
sebagai aperients dan aperitive (Andrianto,2005).
2. Mekanisme Kerja Laksatif
Mekanisme pencahar yang sepenuhnya masih belum jelas, namun
secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut (Andrianto,2005). :
a. Sifat hidrofilik atau osmotiknya sehingga terjadi penarikan air
dengan akibat massa, konsistensi, dan transit feses bertambah.
b. Laksatif bekerja secara langsung ataupun tidak langsung pada
mukosa kolon dalam menurunkan absorbs NaCl dan air
c. Laksatif juga dapat meningkatkan motilitas usus dengan akibat
menurunnya absorbs garam dan air yang selanjutnya mengubah
waktu transit feses.
3. Klasifikasi laksatif
a. Bulk Laxatives atau Laksatif Pembentuk Massa
Bulk laxative digunakan bila diet tinggi serat tidak berhasil
menangani konstipasi. Obat golongan merupakan obat yang berasal
dari alam atau dibuat secara semisintetik. Bulk laxative seperti
Page 12
metilselulosa, natrium karboksilmetilselulosa, kalsium polikarbofil
dan psyllium adalah polisakarida atau derivat selulosa yang
menyerap air ke dalam lumen kolon dan meningkatkan massa feses
dengan menarik air dan membentuk suatu hidrogel sehingga terjadi
peregangan dinding saluran cerna dan merangsang gerak peristaltik
(Ganiswarna,2007).
Hal tersebut akan menstimulasi motilitas dan mengurangi waktu
transit feses di kolon. Rasa kembung dan frekuensi flatus mungkin
meningkat. Namun, laksatif ini cukup aman digunakan dalam
jangka panjang. Pada penggunaan laksatif ini, asupan cairan yang
adekuat sangat diperlukan, jika tidak akan dapat menimbulkan
dehidrasi (Ganiswarna,2007).
Pada pasien yang tidak bereaksi terhadap terapi tunggalbulk
laxatives, pilihan selanjutnya adalah dengan menambahkan laksatif
jenis lain. Setiap jenis laksatif memiliki mekanisme tersendiri.
Berikut akan dijelaskan mengenai macam-macam laksatif
pembentuk massa (Andrianto,2005) :
1) Metilselulosa
Obat ini diberikan secara oral, tidak diabsorbsi melalui
slauran cerna sehingga diekskresi melalui tinja. Dalam cairan
usus, metilselulosa akan mengembang membentuk gel emolien
atau larutan kental, yang dapat melunakkan tinja. Mungkin
residu yang tidak dicerna merangsang peristaltik usus secara
refleks. Efek pencahar diperoleh setelah 12-24 jam, dan efek
maksimal setelah beberapa hari pengobatan. Obat ini tidak
menimbulkan efek sistemik.7,8 Tetapi pada beberapa pasien
bisa terjadi obstruksi usus atau esofagus, oleh karena itu
metilselulosa tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan
mengunyah.
Metilselulosa digunakan untuk melembekkan feses pada
pasien yang tidak boleh mengejan, misalnya pasien dengan
hemoroid. Sediaan adalam bentuk bubuk atau granula 500 mg,
Page 13
tablet atau kapsul 500 mg. Dosis anak 3-4 kali 500 mg / hari,
sedangkan dosis dewasa 2-4 kali 1,5 g / hari.
2) Natrium karboksimetilselulosa
Obat ini memiliki sifat-sifat yang sama dengan metilselulosa,
hanya saja tidak larut dalam cairan lambung dan bisa digunakan
sebagai antasid.8 Sediaan dalam bentuk tablet 0,5 g dan 1 g,
atau kapsul 650 mg. Dosis dewasa adalah 3-6 g.
3) Psilium (Plantago)
Psilium sekarang telah digantikan dengan preparat yang lebih
murni dan ditambahkan musiloid, yaitu merupakan substansi
hidrofilik yang membentuk gelatin bila bercampur dengan air;
dosis yang dianjurkan 1-3 kali 3-3,6 g sehari dalam 250 ml air
atau sari buah. Pada penggunaan kronik, psilium dikatakan
dapat menurunkan kadar kolesterol darah karena mengganggu
absorbsi asam empedu.
4) Agar-agar
Merupakan koloid hidrofil, kaya akan hemiselulosa yang
tidak dicerna dan tidak diabsorbsi. Dosis yang dianjurkan ialah
4-16 g. Agar-agar yang biasa dibuat merupakan pencahar massa
yang muda didapat. Dosis dewasa 4-16 g.
5) Polikarbofil dan kalsium polikarbofil
Merupakan poliakrilik resin hidrofilik yang tidak diabsorbsi,
lebih banyak mengikat air dari pencahar pembentuk massa
lainnya.8 Polikarbofil dapat mengikat air 60-100 kali dari
beratnya sehingga memperbanyak massa tinja. Preparat ini
mengandung natrium dalam jumlah kecil. Dalam saluran cerna
kalsium polikarbofil dilepaskan ion Ca2+, sehingga tidak boleh
diberikan pada pasien dengan pembatasan asupan kalium. Dosis
dewasa 1-2 kali 1000 mg / hari, maksimum 6 g / hari, disertai air
minum 250 ml.
Page 14
b. Laksatif Emolien
Laksatif ini sering digunakan sebagai adjuvan
dari bulkatau stimulant laxatives. Laksatif ini dapat ditolerensi
tubuh dengan baik (Ganiswarna,2007).
Obat yang termasuk golongan ini memudahkan defekasi
dengan jalan melunakkan feses tanpa merangsang peristaltik usus,
baik secara langsung maupun tidak langsung.8Berikut adalah
macam-macam laksatif emolien (Andrianto,2005) :
1) Zat Penurun Tegangan Permukaan (Surface Active Agent)
Obat yang termasuk golongan ini adalah dioktilnatrium
sulfosuksinat dan parafin.
a) Dioktilnatrium Sulfosuksinat
Cara kerja dioktilnatrium sulfosuksinat adalah dengan
menurunkan tegangan sehingga memepermudah peneterasi
air dan lemak ke dalam masa tinja. Tinja menjadi lunak
setelah 24-48 jam.
Sediaan dalam tablet 50-300 mg, suspensi 4 mg / ml.
Dosis untuk anak 10-40 mg / hari, sedangkan dosis untuk
dewasa adalah 50-500 mg / hari. Penggunaan bisa
mengakibatkan efek samping berupa kolik usus, bahkan
muntah dan diare. Dioktilnatrium sulfosuksinat juga bersifat
hepatotoksik.
b) Parafin Cair (Mineral Oil)
Adalah campuran hidrokarbon yang diperoleh dari
minyak bumi. Setelah minum obat ini, maka tinja akan
menjadi lunak disebabkan berkurangnya reabsorbsi air dari
tinja. Parafin cair tidak dicerna di dalam usus dan hanya
sedikit yang diabsorbsi. Yang diabsorbsi ditemukan pada
limfonosi mesenterik, hati, dan limpa.
Dosis yang dianjurkan untuk dewasa adalah 15-30 ml /
hari. Kebiasaan menggunakan parafin cair akan
mengganggu absorbsi zat larut lemak, misalnya absorbsi
Page 15
karoten menurun 50%, juga absorbsi vitamin A dan D akan
menurun. Absorbsi vitamin K menurun akibat
hipoprotrombinemia; dan juga dilaporkan terjadinya
pneumonia lipid. Obat ini juga memiliki efek samping
berupa pruritus ani, menyulitkan penyembuhan pascabedah
anorektal, dan bisa menyebabkan perdarahan. Jadi untuk
penggunaan kronik, obat ini tidak aman.
c) Minyak Zaitun
Minyak zaitun yang dicerna akan menurunkan sekresi
dan motilitas lambung dan juga bisa merupakan sumber
energi. Dosis yang dianjurkan sebanyak 30 mg.
c. Laksatif Stimulan (Perangsang)
Laksatif golongan ini mengalami hidrolisis di usus oleh enzim
enterosit atau flora di kolon. Efek primer laksatif ini berpengaruh
pada perubahan transport elektrolit pada mukosa intestinal dan
secara umum bekerja selama beberapa jam. Dalam klasifikasinya,
Schiller memasukan laksatif jenis ini ke dalam
kelas secretagogues dan agen yang berefek langsung pada epitel,
syaraf, atau sel otot polos (Ganiswarna,2007).
Laksatif perangsang bekerja merangsang mukosa, saraf
intramural atau otot polos sehingga meningkatkan peristaltis dan
sekresi lendir usus. Banyak di antara laksatif perangsang bekerja
untuk mensistesis prostaglandin dan siklik AMP, di mana hal ini
akan meningkatkan sekresi elektrolit. Penghambatan sintesis
prostaglandin dengan indometasin menurunkan efek berbagai obat
ini terhadap sekresi air. Difenilmetan dan antrakinon kerjanya
terbatas hanya pada usus besar sehingga terdapat masa laten 6 jam
sebelum timbul efek pencahar. Minyak jarak, hanya bekerja pada
usus halus memiliki masa laten 3 jam. Berikut akan dijelaskan
beberapa jenis laksatif perangsang (Andrianto,2005):
1) Minyak Jarak (Castrol Oil-Oleum Ricini)
Page 16
Berasal dari biji Ricinus communis, merupakan suatu
trigliserida asam risinoleat dan asam lemak tidak jenuh. Di
dalam usus halus minyak jarak dihidrolisis menjadi gliserol
dan asam risinoleat oleh enzim lipase. Asam risinoleat
merupakan bahan aktif. Minyak jarak juga bersifat emolien.
Sebagai pencahar, obat ini tidak banyak lagi digunakan karena
banyak obat lain yang lebih aman.6,7
Dosis untuk dewasa adalah 15-60 mL, sedangkan untuk
anak-anak adalah 5-15 mL. Efek samping dari minyak jarak
antara lain kolik, dehidrasi dengan gangguan elektrolit,
confussion, denyut nadi tidak teratur, kram otot, rash kulit, dan
kelelahan. Minyak jarak dianjurkan diberikan pagi hari waktu
perut kosong. Jika dosisnya ditambah, tidak akan menambah
efek pencahar, dan efek pencahar akan terlihat setelah 3 jam.
2) Difenilmetan
Derivat difenilmetan yang sering digunakan adalah
bisakodil. Beberapa derivat difenilmetan (Andrianto, 2005):
a) Fenolftalein
Diberikan per oral dan mengalami absorbsi kira-kira
15% di usus halus. Efek fenolftalein dapat bertahan lama
karena mengalami sirkulasi enterohepatik. Sebagian besar
fenolftalein diekskresi melalui tinja, sebagian lagi
diekskresikan di ginjal dalam bentuk metabolitnya. Jika
diberikan dalam dosis besar, akan ditemukan dalam bentuk
utuh dalam urin, dan pada suasana alkali akan menyebabkan
urin dan tinja berwarna merah. Ekskresi melalui ASI sangat
kecil sehingga tidak akan mempengaruhi bayi yang sedang
disusui.
Sediaan dalam bentuk tablet 125 mg, dosis 60-100 mg.
Fenolftalein relatif tidak toksik untuk pengobatan jangka
pendek, tetapi dosis yang berlebihan akan meningkatkan
kehilangan elektrolit. Bisa menyebabkan reaksi alergi. Efek
Page 17
pencahar akan terlihat setelah 6-8 jam. Namun penggunaan
fenilptalein sudah dilarang karena bersifat karsinogen.
b) Bisakodil
Pada penelitian pada tikus, bisakodil mampu dihidrolisis
menjadi difenol di usus bagian atas. Difenol yang diabsorbsi
mengalami konjugasi di hati dan dinding usus. Metabolit
akan diekskresi melalui empedu, dan selanjutnya
mengalami rehidrolisis menjadi difenol yang akan
merangsang motilitas usus besar.
Sediaan berupa tablet bersalut enteral 5 mg dan 10 mg.
Sediaan supositoria 10 mg. Dosis dewasa 10-15 mg, dosis
anak 5-10 mg. Efek samping berupa kolik usus dan
perasaan terbakar pada penggunaan rektal. Efek pencahar
akan terlihat setelah 6-12 jam, sedangkan pada pemberian
rektal efek pencahar terlihat setelah setengah sampai satu
jam. Pada pemberian oral, bisakodil diabsorbsi kira-kira 5%
dan diekskresi bersama urin dalam bentuk glukuronid,
tetapi ekskresi utama adalah di dalam tinja.
c) Oksifenisatin asetat
Bagaimana respon tubuh terhadap oksifenisatin asetat
mirip dengan bisakodil. Efek pencaharnya tidak melebihi
bisakodil. Obat ini jarang digunakan karena dapat
menimbulkan hepatitis dan ikterus.
Sediaan berupa tablet 5 mg atau sirup 5 mg / 5 ml,
supositoria 10 mg. Dosis dewasa oral 4-5 mg, per rektal 10
mg. Sedangkan untuk anak per oral 1-2 mg. Efek samping
bisa berupa hepatitis, ikterus, dan reaksi alergi. Efek
pencahar setelah 6-12 jam kemudian.
3) Antrakinon
Efek pencahar golongan ini bergantung pada antrakinon
yang dilepaskan dari ikatan glikosidanya. Efek pencahar
antrakinon timbul setelah 6 jam. Setelah pemberian oral
Page 18
sebagian akan diabsorbsi dalam bentuk glikosidanya. Sebagian
glikosida dihidrolisis oleh enzim flora usus menjadi antrakinon
dan bekerja sebagai pencahar di kolon. Efek antrakinon yang
tidak diinginkan adalah efek pencahar yang berlebihan. Zat
aktif bisa ditemukan pada ASI sehingga bisa mempengaruhi
bayi yang disusui. Melanosis kolon bisa terjadi, namun bisa
menghilang dengan penghentian pemakaian obat selama 4-12
bulan.
d. Laksatif Osmotik
Laksatif yang termasuk golongan ini adalah garam-garam
anorganik (yang tersusun oleh magnesium) dan alkohol organik
atau gula seperti laktulosa dan polyethylene glycol(PEG). .
Laksatif jenis ini bekerja dengan cara mempertahankan air tetap
berada dalam saluran cerna sehingga terjadi peregangan pada
dinding usus, yang kemudian merangsang pergerakan usus
(peristaltik). Laksatif jenis ini adalah preparat yang sangat lambat
diserap bahkan tidak diserap, sehingga terjadi sekresi air ke dalam
intestinum untuk mempertahankan isotonisitas yang sama dengan
plasma. Beberapa pilihan laksatif salin adalah garam-garam seperti
magnesium hidroksida, magnesium sulfat, magnesium sitrat,
sodium fosfat, dan sodium sulfat. Beberapa jenis Laksatif Osmotik
(Andrianto, 2005):
1) Garam Magnesium (MgSO4 atau Garam Inggris)
Diabsorbsi melalui usus kira-kira 20% dan dieksresikan
melalui ginjal. Bila fungsi ginjal terganggu, garam magnesium
berefek sistemik menyebabkan dehidrasi, kegagalan fungsi
ginjal, hipotensi, dan paralisis pernapasan. Jika terjadi hal-hal
tersebut, maka harus diberian kalsium secara intravena dan
melakukan napas buatan. Garam magnesium tidak boleh
diberikan pada pasien gagal ginjal.
Sediaan yang ada misalnya adalah magnesium sulfat dalam
bubuk, dosis dewasa 15-30 g; efek pencahar terlihat setelah 3-6
Page 19
jam. Magnesium oksida dosis dewasa 2-4 g; efek pencahar
terliaht seteah 6 jam.
Walaupun garam magnesium bekerja secara lokal di traktus
gastrointestinal, efek farmakologisnya pun mungkin
disebabkan oleh pelepasan hormon seperti kolesistokinin suatu
hormon yang merangsang pergerakan usus besar dan sekresi
cairan.atau pengaktifan sintesa nitrit oksida. Senyawa ini dapat
diminum ataupun diberikan secara rektal.
2) Laktulosa
Merupakan suatu disakarida semisintetik yang tidak dipecah
oleh enzim usus dan tidak diabsorbsi di usus halus. Laktulosa
tersedia dalam bentuk sirup. Obat ini diminum bersama sari
buah atau air dalam jumlah cukup banyak. Dosis pemeliharaan
harian untuk mengatasi konstipasi sangatlah bervariasi,
biasanya 7-10 g dosis tunggal maupun terbagi.6,7
Kadang-kadang dibutuhkan dosis awal yang lebih besar,
misalnya 40 g dan efek maksimum laktulosa mungkin terlihat
setelah beberapa hari. Untuk keadaan hipertensi portal kronis
dan ensefalopati hepar, dosis pemeliharaan biasanya 3-4 kali
20-30 g (30-45 ml) laktulosa sehari; dosis ini disesuaikan
dengan defekasi 2-3 kali sehari dan tinja lunak, serta pH 5,5.
Laktulosa juga dapat diberikan per rektal.
Laktulosa adalah jenis gula yang tidak banyak diserap,
seperti galaktosa-fruktosa disakarida. Tubuh manusia
kekurangan enzim fruktosidase, karbohidrat yang tidak
terserap merupakan substrat bagi proses fermentasi bakteri
kolon yang akan diubah menjadi hidrogen, metana, karbon
dioksida, air, asam dan asam lemak rantai pendek. Selain
sebagai agen osmotic, produk-produk ini juga menstimulasi
motilitas dan sekresi intestinum. Rasa kembung, tidak nyaman
di perut, dan flatus yang sering merupakan efek samping yang
Page 20
sering dikeluhkan oleh pasien saat menggunaan laksatif jenis
ini.
C. Obat Anti Diare
Diare akut merupakan penyebab utama kematian anak di negara
berkembang. Tujuan pengobatan yang utama pada diare adalah mencegah
dehidrasi dan mengurangi durasi serta tingkat keparahan diare. Regimen
terapi yang direkomendasikan adalah rehidrasi oral, sebab cukup efektif
meringankan dehidrasi Pada beberapa kasus diare ternyata rehidrasi oral
tidak berpengaruh pada durasi, tingkat keparahan, atau frekuensi episode
diare, sehingga diperlukan terapi tambahan. Terapi tambahan pada kasus
diare adalah pemberian, mikronutrien , probiotik , atau obat-obat anti
diare. (Faure, 2013).
Obat-obat anti diare yang ada saat ini ternyata cukup beragam yaitu
antara lain: golongan Antisecretory dan Antimotility (terdiri dari opioid,
Alpha 2 agonis misalnya clonidine dan somatostatin) serta Adsorbents
(Kaolin dan pectin, Bismuth subsalicylate serta Bile acid sequestrant).
Obat-obat tersebut direkomendasikan untuk mengatasi diare yang non
spesifik sebagai obat anti diare simptomatis. (Faure, 2013).
Manajemen yang tepat dengan pemberian obat tambahan yang
rasional dapat membantu mengurangi beban kesehatan dan ekonomi bagi
penderita diare akut pada anak-anak. Pemahaman khasiat farmakologis
dari obat-obat anti diare simptomatis serta antimikroba untuk diare
spesifik akan membantu dalam pemilihan obat yang rasional. Masing-
masing anti diare baik yang simptomatis maupun antimicrobial memiliki
keunggulan dan kelemahan secara spesifik. Obat anti diare golongan
opioid dapat mengatasi diare dengan memperlambat gerakan feses di
dalam saluran cerna sehingga dapat meningkatkan penyerapan air dan
elektrolit kembali ke dalam tubuh. Adsorbent akan menahan beberapa
substance penyebab diare seperti misalnya toksin untuk tetap berada dalam
feses sehingga tidak dapat diserap oleh mukosa, tentu juga menghambat
penyerapan beberapa nutrient yang diperlukan oleh tubuh. Golongan
antibiotika atau antimicrobial akan mengatasi diare melalui
Page 21
kemampuannya membunuh atau menghambat bakteri penyebab diare
dengan efek samping yang juga perlu mendapat perhatian paramedis.
Dalam artikel ini akan dibahas khasiat farmakologis dua golongan
antidiare, yaitu golongan Antisecretory dan antimotility serta golongan
Adsorbents.
1. Antisecretory dan Antimotility
Obat anti diare yang termasuk golongan Antisecretory dan
Antimotility adalah; opioid dan derivatnya, alpha 2 agonis misalnya
clonidine dan somatostatin. Salah satu dari opioid adalah loperamide.
Loperamide merupakan turunan phenylpiperidine dengan struktur
kimia yang mirip dengan agonis reseptor opiat seperti diphenoxylate.
Loperamide sebagai antidiare bekerja dengan beberapa mekanisme
yang berbeda, yaitu mengurangi peristaltik dan sekresi cairan (Baker,
2007) serta meningkatkan tonus sphincter (Hanauer, 2008), sehingga
waktu transit gastrointestinal lebih lama sehingga meningkatkan
penyerapan cairan dan elektrolit dari saluran pencernaan (Baldiet
al.,2009). Loperamide merupakan obat agonis opiate sintetis yang
dapat mengaktivasi μ receptors pada pleksus myenterik usus besar.
Aktivasi terhadap receptors tersebut akan menghambat pelepasan
acetylcholine sehingga terjadi relaksasi otot pada saluran cerna.
Disamping itu, penghambatan terhadap acetylcholine juga
menimbulkan efek anti sekretori sehingga mengurangi sekresi air dan
dapat mencegah kekurangan cairan dan elektrolit (Faure, 2013).
Loperamide memiliki keunggulan karena memiliki efek antidiare
dengan aspek-aspek negatif yang terkait dengan pengaruhnya terhadap
reseptor opiate yang minimal. Hal ini disebabkan oleh karena
penyerapan loperamide rendah serta sulit menembus sawar darah otak,
sehingga efek yang ditimbulkan pada sistem saraf pusat minimal.
Dibandingkan derivate opiate yang lain misalnya diphenoxylate,
loperamide memiliki durasi yang lebih lama,namun tidak memiliki
aktivitas analgesik yang signifikan sehingga tidak mengurangi rasa
sakit yang terkait dengan beberapa bentuk sindrom iritasi usus dan
Page 22
diare (Baker, 2007).Loperamide cukup efektif untuk mengatasi gejala
diare yang disebabkan oleh berbagai sebab non spesifik termasuk
traveler’s diarrhea; dan chemotherapy-related diarrhea(Hanauer,
2008).
Loperamide dimetabolisme oleh sitokrom P450 (CYP) sistem dan
merupakan substrat untuk isoenzim CYP3A4. Administrasi bersamaan
dengan inhibitor CYP3A4 dapat meningkatkan konsentrasi
loperamide. Reaksi merugikan umum untuk loperamide termasuk
kram dan mual. Loperamide adalah pengobatan yang efektif untuk
pasien dengan diare tanpa rasa sakit dan dianggap bebas dari potensi
menimbulkan ketergantungan. Loperamide pad imbul akibat dari
adanya motilitas usus seperti nyeri abdomen, perut gembung, mual
dan muntah serta konstipasi(Hanauuer, 2008).
Obat antidiare yang lain yang bekerja dengan mempengaruhi
neurotransmitter opiat (bukan reseptor opiate) adalah Racecadotril
yang diindikasikan untuk pengobatan simptomatis diare akut pada
anak-anak dan orang dewasa. Racecadotril adalah suatu pro drug yang
akan dihydrolisa pada plasma menjadi metabolit thiorphan.
Mekanisme kerja dari racecadotril adalah mengadakan interaksi
dengan opioid neurotransmitter system pada dinding saluran cerna.
Racecadotril bersifat sebagai inhibitor enzyme neutral endopeptidase
yang akan memecah endogenous opioid peptides Met- and Leu-
enkephalin, yang mengatur sekresi pada saluran cerna, sehingga
terjadi penurunan sekresi air dan elektrolit. Jadi obat ini bersifat
sebagai antisekretori(Faure, 2013).
Pengembangan obat anti diare masa depan adalah melalui
penghambatan sekresi atau menemukan obat antisecretory pada epitel
mukosa usus. Penemuan terakhir di bidang ini adalah penemuan
tentang peran protein FXR pada epithelial cells kolon dan memberi
harapan bahwa FXR agonists merupakan harapan yang sangat bagus
untuk pengembangan obat antidiare yang baru(Mrozet al.,2013).
2. Adsorbent
Page 23
Beberapa contoh obat yang termasuk kelompok adsorbent adalah:
bismuth subsalicylate (Pepto-Bismol), kaolin-pectin, activated
charcoal, attapulgite (Kaopectate). Walaupun pemberian adsorbent
pada diare misalnya pada penderita HIV tidak memberikan hasil yang
lebih baik dari placebo, namun pemberian absorben masih
direkomendasikan. Mekanisme kerja secara umum dari adsorben
adalah melapisi permukaan mukosa pada dinding saluran pencernaan
sehingga toksin dan mikroorganisme tak bisa masuk menembus dan
merusak mukosa. Selain itu, absorben juga mengikat bakteri penyebab
atau racun, yang kemudian dieliminasi melalui tinja.(Nwachukwuand
Okebe, 2008).
a) Bismuth subsalicylate
Selain untuk diare, obat ini juga dapat dipakai untuk mengatasi
mual, gangguan lambung. Farmakodinamik, Bismuth subsalicylate
menunjukkan efek terapi melalui efek anti-inflammasi oleh
salicylic acid, juga antibiotik ringan oleh bismuth. Mekanisme
sebagai anti diare belum jelas, diduga melalui peningkatan
absorpsi air dan elektrolit (antisekretori) dan juga sebagai
penghambat sintesis prostaglandin sehingga terjadi efek
antiinflamasi dan penurunan motilitas usus(Goldman,2013).
Sebagai mekanisme tambahan, bismuth subsalicylate dapat
mengikat toksin yang diproduksi oleh bakteri misalnya oleh
Escherichia coli. Obat ini juga sebagai antimikroba (Alharbiet
al.,2012).
b) Kaolin dan Pectin
Merupakan Bulk-Forming and Hydroscopic Agents. Mekanisme
kerja dari obat ini adalah dengan merubah viskositas feses sehingga
nampak lebih kental. Selain itu obat ini juga dapat mengikat toksin
bakteri terutama enterotoksin dan dapat berikatan dengan garam
empedu. Kaolin merupakan magnesium alumunium silikat
terhidrasi (atal pugit) yang ada di alam, pectin adalah karbohidrat
yang tidak tercerna dari apel. Keduanya bekerja sebagai absorben
Page 24
bakteri, toksin, dan cairan sehingga menurunkan ke cairan dari
feses. Efektif pada diare akut namun jarang digunakan pada jangka
panjang. Dosis yang digunakan biasanya adalah 1,2-1,5 g setelah
habis defekasi (maksimal 9 g/hari). Sedian ini tidak memilki efek
samping yang bermakna.Obat ini tidak bias digunakan bersamaan
dengan obat lain dalam waktu 2 jam, karena obat lain dapat diikat
oleh kaolin-pektin (Katzung, 2010).
c) Resin pengikat-garam empedu
Garam empedu konjugat biasa diserap di ileum terminal.
Penyakit pada ileum terminal atau reseksi bedah menyebabkan
malabsrobsi garam empedu, yang dapat menyebabkan diare
sekretorik kolonik (Katzung, 2010). Kolestipol atau kolestiramin
merupakan obat yang dapat mengurangi diare yang disebabkan
oleh asam empedu yang berlebihan dalam feses. Dosis yang
digunakan biasanya 4-5 gram satu hingga tiga kali sehari sebelum
makan. Efek samping yang dapat muncul meliputi perut kembung,
flatulens, konstipasi, dan impaksi feses. Pada penderita dengan
penurunan asam empedu, pengurangan asam empedu lebih lanjut
menyebabkan eksaserbasi malabsorpsi lemak. Agen-agen ini
mengikat sejumlah obat dan mengurangi absorpsinya, karena itu
obat ini tidak boleh digunakan bersama obat lain dalam waktu 2
jam. (Katzung, 2010)
Adsorbent menurunkan penyerapan banyak banyak obat lain
misalnya, digoksin, klindamisin, kinidina, dan agen
hipoglikemik.Absorben menyebabkan peningkatan pendarahan saat
iberikan dengan antikoagulan
D. Antiemetik
Muntah sebenarnya merupakan pertahanan tubuh alamiah dan
mungkin juga sebagai pertanda adanya penyakit, seperti adanya organ
yang tidak berfungsi atau untuk mengeluarkan benda atau zat yang
berbahaya dari lambung. Muntah mungkin juga disebabkan oleh flu,
hamil, naik kendaraan atau goncangan (motion sicknes), infeksi didalam
Page 25
telinga atau efek samping obat-obat tertentu, terutama obat kanker.
(Gunawan, 2007)
Perangsangan pada pusat muntah atau sering disebut chemoreseptor
trigger zone (CTZ) dapat menyebabkan kontraksi lambung. Obat-obat anti
muntah umumnya bekerja menghambat rangsangan pada CTZ. Namun
demikian antiemetic yang tergolong antihistamin dan fenotiasin
menghambat muntah melalui mekanisme dopaminergik atau kolinergik
(Gunawan, 2007)
Beberapa golongan antiemetik yang sampai sekrang masih dibenarkan
yaitu :
1. Golongan fenotiazin
2. Antagonis H1
3. Serotonin antagonis
E. Obat gangguan lambung
1. Agen Pereduksi Asam Lambung
a. Antasid
Antasida berasal dari kata anti = lawan dan acidus = asam.
Antasida adalah senyawa yang mempunyai kemampuan untuk
menetralkan asam klorida (lambung) atau mengikatnya secara
kimiawi. Obat maag atau antasida adalah obat yang mengandung
bahan-bahan yang efektif yang menetralkan asam dilambung.
Untuk mengatasi nyeri lambung, antasida mengandung senyawa
magnesium hidroksida dan aluminium hidroksida yang berfungsi
menetralkan asam lambung (Depkes RI, 2010).
Antasid tidak mengurangi volume HCl yang dikeluarkan
lambung, tetapi peninggian pH aka menurunkan aktivitas pepsin.
Umumnya antasid merupaka basa lemah. Senyawa oksi-
alumunium sukar untuk meninggikan pH lambung lebih dari 4,
sedangkan basa yang lebih kuat seperti magnesium-hidroksida
secara teoritis dapat meningkatkan pH lambung sampai 9, tetapi
kenyataannya tidak terjadi. Semua antasid meningkatkan produksi
Page 26
HCl berdasarkan kenaikan pH yang meningkatkan aktivitas gastrin
(Gunawan, 2009).
Antasid dibagi dalam dua golongan yaitu antasid sistemik dan
antasid nonsistemik. Antasid sistemik, misalnya natrium
bikarbonat, diabsorbsi dalam usus halus sehingga menyebabkan
urin bersifat alkalis. Pada pasien dengan kelainan ginjal dapat
terjadi alkalosis metabolik. Penggunaan kronik natrium bikarbonat
memudahkan nefrolitiasis fostat. Antasid nonsistemik hampir tidak
diabsorbsi dalam usus sehingga tidak menimbulkan alkalosis
metabolik. Contoh antasid nonsistemik ialah sediaan magnesium,
alumunium, dan kalsium.Tidak ada antasid yang bebas efek
samping, terutama pada peggunaan dosis besar jangka lama. Efek
samping yang timbul antara lain: sindroma susu alkali, batu ginjal,
osteomalasia, osteoporosis, neurotoksisitas, saluran cerna, dan
asupan natrium(Gunawan, 2009).
1) Antasid Sistemik
a) Natrium Bikarbonat.
Natrium bikarbonat cepat menetralkan HCl lambung
karena daya larutnya tinggi; reaksi kimanya adalah sebagai
berikut(Gunawan, 2009):
NaHCO3 + HCl NaCl + H2O + CO2
Karbon dioksida yang terbentuk dalam lambung akan
menimbulkan sendawa. Distensi lambung dapat terjadi, dan
dapat menimbulkan perforasi. Selain menimbulkan
alkalosis metabolik obat ini dapat menyebabkan retensi
natrium dan edema.Natrium bikarbonat sudah jarang
digunakan sebagai antasid. Obat ini digunakan untuk
mengatasi asidosis metabolik, alkalinisasi urin, dan
pengobatan lokal pruritus(Gunawan, 2009).
Natrium bikarbonat tersedia dalam bentuk tablet 500-
1000 mg. doss yang dianjurkan 1-4 gram.Pemberian dosis
besar NaHCO3 atau CaCO3 bersama susu atau krim pada
Page 27
pengobatan tukak peptik dapat menimbulkan sindrom alkali
susu (Gunawan, 2009).
2) Antasid Nonsistemik
a) Aluminium Hidroksida (Al (OH)3).
Reaksi yang terjadi di dalam lambung adalah sebagai
berikut(Gunawan, 2009):
Al (OH)3 + 3 HCl AlCl3 + 3 H2O
Daya menetralkan asam lambungnya lambat, tetapi
masa kerjanya lebih panjang. Al (OH)3 bukan merupakan
obat yang unggul dibandingkan dengan obat yang tidak
larut lainnya. Al (OH)3 dan sediaan Al lainnya akan
bereaksi dengan fosfat membentuk aluminium fosfat yang
sukar diabsorbsi usus kecil, sehingga ekskresi fosfat melalui
urin berkurang sedangkan melalui feses bertambah. Ion
aluminium dapat bereaksi dengan protein sehingga bersifat
astringen. Antasid ini mengadsorbsi pepsin dan
menginaktivasinya. Absorbsi makanan setelah pemberian
Al tidak banyak dipengaruhi dan komposisi feses tidak
berubah. Aluminium juga bersifat demulsen dan
adsorben(Gunawan, 2009).
Efek samping Al (OH)3 yang utama ialah konstipasi. Ini
dapat diatasi dengan memberikan antasid garam Mg. mual
dan muntah dapat terjadi. Gangguan absorbsi fosfat dapat
terjadi sehingga menimbulkan deplesi fosfat disertai
osteomalasia. Al (OH)3 dapat mengurangi absorbsi
bermacam-macam vitamin dan tetrasiklin. Al (OH)3 lebih
sering menimbulkan konstipasi pada usia lanjut(Gunawan,
2009).
b) Kalsium Karbonat.
Kalsium karbonat merupakan antasid yang efektif,
karena mula kerjanya cepat, maka kerjanya lama dan daya
menetralkan asamnya cukup tinggi.Kalsium karbonat dapat
Page 28
menyebabkan konstipasi, mual, muntah, perdarahan saluran
cerna, dan disfungsi ginjal serta fenomena acid rebound.
Fenomena tersebut bukan berdasar daya netralisasi asam,
tetapi merupakan kerja langsung kalsium di antrum yang
mensekresi gastrin yang merangsang sel parietal yang
mengeluarkan HCl (Gunawan, 2009).
Sebagai akibatnya, sekresi asam pada malam hari akan
sangat tinggi yang akan mengurangi efek netralisasi obat
ini. Efek serius yang dapat terjadi ialah hiperkalsemia,
kalsifikasi metastatik, alkalosis, azotemia, terutama terjadi
pada penggunaan kronik kalsium karbonat bersama susu
dan antasid lain.Kalsium karbonat tersedia dalam bentuk
tablet 600 dan 1000 mg. dosis yang dianjurkan 1-2
gram(Gunawan, 2009).
c) Magnesium Hidroksida (Mg (OH)2).
Magnesium hidroksida digunakan sebagai katartik dan
antasid. Obat ini praktis tidak larut dan tidak efektif
sebelum obat ini bereaksi dengan HCl membentuk MgCl2.
Magnesium hidroksida yang tidak bereaksi akan tetap
berada di lambung dan akan menetralkan HCl yag disekresi
belakangan sehingga masa kerjanya lama. Antasid ini dan
natrium bikarbonat sama efektif dalam hal menetralkan
HCl.Ion magnesium dalam usus akan diabsorbsi dan cepat
diekskresi melalui ginjal, hal ini akan membahayakan
pasien yang fungsi ginjalnya kurang baik (Gunawan, 2009).
Ion magnesium yang diabsorbsi akan bersifat sebagai
antasid sistemik sehingga menimbulkan alkaliuri, tetapi
jarang terjadi alkalosis.Pemberian kroik magnesum
hidroksida akan menyebabka diare akibat efek katartiknya,
sebab magnesium yang larut tidak akan diabsorbsi, tetap
berada dalam usus dan akan menarik air. Sebanyak 5-10%
magnesium diabsorbsi dan dapat menimbulkan kelainan
Page 29
neurologik, neuromuskular, dan kardiovaskular.Sediaan
susu magnesium berupa suspensi yang berisi 7-8,5% Mg
(OH)2. Dosis yang dianjurkan 5-30 mL(Gunawan, 2009).
b. Antagonis Reseptor H2
Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam
lambung. Buimamid dan metiamid merupakan antagonis reseptor
H2 yang pertama kali ditemukan, namun karena toksik tidak
digunakan di klinik. Atagonis reseptor H2 yang ada dewasa ini
adalah simetidin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin.
Mekanisme kerja dari AH2R sangat spesifik, karena tidak
bereaksi terhadap reseptor H1 dan H3. Oleh karena itu efikasi dari
AH2R lebih tinggi dari golongan antihistamin lainnya. Efek AH2R
adalah menurunkan sekresi HCl yang distimulasi oleh histamin.
Histamin memiliki efek langsung terhadap sekresi gastrin dan agen
kolinomimetik melalui beberapa mekanisme berikut (Katzung et
al., 2010; Fessenden & Fessenden, 2007; Chang, 2008):
1) AH2R memblok histamin yang dikeluarkan dari stimulasi
gastrin dan vagus pada sel ECL.
2) AH2R langsung mengihibisi reseptor H2 pada sel parietal,
sehingga histamin yang dikeluarkan ECL tidak dapat
berikatan dengan reseptor H2.
Semua golongan AH2R memiliki efek inhibisi sekresi HCl 60-
70% dalam 24 jam, namun lebih efektif apabila diberikan saat sore
hari menjelang malam, karena ternyata efikasi AH2R dipengaruhi
oleh adanya makanan di dalam gaster. Adanya makanan di dalam
lumen gaster akan menurunkan absorpsi dan efikasi dari AH2R,
karena berdasarkan struktur dasar dari AH2R sangat bersifat
lipofilik dengan gugus aktif berupa gugus CN yang terikat pada
rantai induk yang mengandung gugus siklik yang heterofilik.
Sifatnya ini menyebabkan interaksinya dengan protein dapat
menurunkan kadar obat yang dapat di absorpsi dan berefek pada
Page 30
reseptor H2 (Katzung et al., 2010; Fessenden & Fessenden, 2007;
Chang, 2008).
c. Penghambat Pompa Proton
Penghambat pompa proton merupakan penghambat sekresi
asam lambung lebih kuat dari AH2R. obat ini bekerja diproses
terakhir produksi asam lambung, lebih distal dari AMP. Saat ini
yang digunakan di klinik adalah omeprazol, esomeprazol,
lansoprazol, rabeprazol, dan pantoprazol. Perbedaan ke lima
sediaan tersebut adalah pada substitusi di cincin pridin dan/atau
benzimidazol. Omeprazol adalah campuran rasemik isomer R dan
S. esomeprazol adalah isomer S omeprazol (S-ome-prazol) yang
mengalami eliminasi lebih lambat dari R-omeprazol(Gunawan,
2009).
Penghambat pompa proton adalah suatu prodrug yang
membutuhkan suasana asam untuk aktivasinya. Setelah diabsorbsi
dan masuk ke sirkulasi sstemik obat ini akan berdifusi ke sel
parietal lambung, terkumpul di kanalikuli sekretoar dan mengalami
aktivasi di situ menjadi bentuk sulfonamid tetrasiklik. Bentuk aktif
ini berikatan dengan gugus sulfhidril enzim H+, K+, ATPase dan
berada di membran apikal sel parietal. Ikatan ini menyebabkan
terjadinya penghambatan enzim tersebut. Produksi asam lambung
terhenti 80% s/d 95%, setelah penghambatan pompa proton
tersebut (Gunawan, 2009).
Obat inimempunyai masalah bioavailabilitas, formulasi
berbeda memperlihatkan presentasi jumlah absorbsi yang
bervariasi luas. Bioavailabilitas tablet yang bukan salut enterik
meningkat dalam 5-7 hari, ini dapat dijelaskan dengan
berkurangnya produksi asam lambung setelah obat bekerja. Obat
ini dimetabolisme di hati oleh sitokrom P450 terutama CYP2C19
dan CYP3A4 (Estuningtyas, 2012).
Indikasi penghambat pompa proton sama dengan AH2R yaitu
penyakit peptik. Terhadap sindrom Zollinger-Ellison, obat ini
Page 31
dapat menekan produksi asam lambung lebih baik dari AH2R pada
dosis yang efek sampingnya tidak terlalu mengganggu. Efek
samping pada umumnya adalah mual, nyeri perut, konstipasi,
flatulence, dan diare. Penghambat pompa proton mempengeruhi
eliminasi beberapa obat yang memiliki jalur metabolisme yang
sama dengannya antara lain warfarin (esomeprazol, lansoprazol,
omeprazol, dan rabeprazol), diazepam (esomeprazol dan
omeprazol), dan siklosporin (omeprazol dan rabeprazol.
Omeprazol tersedia sebagai kapsul 10 mg dan 20 mg, esomeprazol
sebagai tablet salut enterik 20 mg dan 40 mg serta vial 40
mg/10mL. Lansoprazol tersedia sebagai kapsul 15 mg dan 30 mg,
rabeprazol tersedia sebagai tablet 10 mg, pantoprazol tersedia
sebagai tablet 20 mg dan 40 mg (Estuningtyas, 2012).
2. Agen Pelindung Mukosa
a. Sukralfat
Senyawa aluminuim sukrosa sulfat ini membentuk polimer
mirip lem dalam suasana asam dan terikat pada jaringan nekrotik
tukak secara selektif.Sukralfat hampir tidak diabsorbsi secara
sistemik. Obat yang bekerja sebagai sawar terhadap HCl dan pepsin
ini terutama efektif terhadap tukak duodenum. Karena suasana
asam perlu untuk mengaktifkan obat ini, pemberian bersama AH2R
atau antasid menurunkan bioavailabilitas(Gunawan, 2009).
1) Indikasi
Sukralfat sama efektifnya dengan simetidin untuk
pengobatan tukak lambung da tukak duodenum. Data terbatas
menunjukan bahwa kekambuhan ulkus lebih rendah setelah
pemberian sukralfat(Gunawan, 2009).
2) Farmakodinamik
Sukralfat adalah suatu kompleks yang dibentuk dari sukrosa
oktasulfat dan polialumunium hidroksida. Aktifitas sukralfat
sebagai anti ulkus merupakan hasil dari pembentukan komplek
sukralfat dengan protein yang membentuk lapisan pelindung
Page 32
menutupi ulkus serta melindungi dari serangan asam lambung,
pepsin dan garam empedu. Percobaan laboratorium dan klinis
menunjukkan bahwa sukralfat menyembuhkan tukak dengan
tiga cara, yaitu (Basuki, 2008):
a) Membentuk kompleks kimiawi yang terikat pada pusat
ulkus sehingga merupakan lapisan pelindung.
b) Menghambat aksi asam, pepsin, dan garam empedu.
c) Menghambat difusi asam lambung menembus lapisan film
sukralfat-albumin.
3) Farmakokinetik
Penelitian menunjukkan bahwa sukralfat dapat berada
dalam jangka waktu lama dalam saluran cerna sehingga
menghasilkan efek obat panjang. Sukralfat sangat sedikit
terabsorpsi di saluran pencernaan sehingga menghasilkan efek
samping sistemik yang minimal (Basuki, 2008).
4) Efek Samping
Dari suatu penelitian, kira-kira 4,7% pasien mengalami
efek samping dan yang tersering adalah konstipasi. Karena
sukralfat mengandung aluminium, penggunaanya pada pasien
gagal ginjal harus hati-hati. Data keamanannya pada wanita
hamil belum ada, jadi sebaiknya tidak digunakan(Gunawan,
2009).
5) Interaksi
Sukralfat dapat mengganggu absorbsi tetrasiklin, warfarin,
fenitoin, dan digoksin, sehingga dianjurkan untuk diberikan
dengan interval 2 jam. Sukralfat juga menurunkan
bioavailabilitas siprofloksasin dan norfloksasin, sehingga
untuk menghindari kegagalan pengobatan dengan antibiotika
ini, jagan diberikan secara bersamaan (Gunawan, 2009).
6) Dosis
Dewasa, untuk tukak duodenum dan tukak peptik 1 gram,
4 kali sehari dalam keadaan lambung kosong, selama 4-8
Page 33
minggu. Pemberian antasid untuk mengurangi nyeri dapat
diberikan dengan interval 1 jam setelah sukralfat. Pencegahan
stress ulcer diberikan 1 gram, 6 kali sehari sebagai suspensi
oral (Gunawan, 2009).
b. Misoprostol
Misoprostol, suatu analog metilester prostaglandin E1. Obat ini
berefek menghambat sekresi HCl dan bersifat sitoprotektif untuk
mencegah tukak saluran cerna yang diinduksi obat-obat AINS.
Misoprostol adalah prostaglandin sintetik pertama yang efektif
secara oral. Obat ini menyembuhkan tukak lambung dan
duodenum, efeknya berbeda bermakna dibanding plasebo dan
sebanding dengan simetidin. Misoporstol menyembuhkan tukak
duodenum yang telah refrakter terhadap AH2R(Gunawan, 2009).
Pada penelitian klinis, misoprostol sama efektifnya dengan
simetidin untuk pengobatan jangka pendek tukak duodenum dan
jelas efektif untuk menyembuhkan tukak lambung. Tetapi AH2R
atau sukralfat lebih sering dipilih untuk pengobatan tukak bukan
karena obat AINS, karena efek sampingnya lebih ringan(Gunawan,
2009).
Efek samping yang ditimbulkan berupa ringan antara lain
mual, gangguan abdomen, pusing dan sakit kepala; diare timbul
pada 14-40% pasien. Misoprostol sebaiknya tidak diberikan pada
wanita hamil. Dalam suatu penelitian dilaporkan timbulnya
perdarahan pada 50% wanita hamil trimester I, dan 7% mengalami
keguguran(Gunawan, 2009).
Dosis dan sediaan yang beredar adalahoral, dewasa 200 mg, 4
kali sehari atau 400 mg, 2 kali sehari. Obat ini diindikasikan untuk
profilaksis tukak lambung pada pasien berisiko tinggi (usia lajut
dan pasien yang pernah menderita tukak lambung atau perdarahan
saluran cerna yang memerlukan AINS)(Gunawan, 2009).
c. Bismuth
Page 34
Bismuth subsalisilat adalah satu-satunya sediaan garam
bismuth yang tersedia di Amerika Serikat. Mekanisme
penyembuhan ulkus yang paling mungkin adalah melalui efek
antibakteri, efek lokal gastroproteksi, dan stimulasi sekresi
prostaglandin endogen. Garam bismuth tidak menghambat sekresi
asam lambung atau pun menetralisasikannya. Garam bismuth
subsalisilat dinyatakan aman dengan sedikit efek merugikan jika
digunakan pada dosis yang direkomendasikan (Hakim, 2007).
Insufisiensi ginjal dapat menurunkan ekskresi bismuth, maka
penggunaan bismuth pada pasien gagal ginjal harus disertai
peringatan. Bismuth subsalisilat dapat meningkatkan sensitivitas
terhadap salisilat dan penyakit pendarahan, sehingga harus ada
peringatan terhadap pasien yang juga mendapat terapi salisilat.
Pasien harus diberi pengertian bahwa selama terapi bismuth
subsalisilat ini dapat mengakibatkan tinja berwarna hitam (Hakim,
2007).
Obat-obat golongan ini mempunyai masalah bioavailabilitas
karena mengalami aktivitasi di dalam lambung lalu terikat pada
berbagai gugus sulfhidril mukus dan makanan. Oleh karena itu,
sebaiknya diberikan dalam bentuk tablet salut enterik. Obat-obat
golongan ini mengalami metabolisme lengkap. Tidak ditemukan
dalam bentuk asal di urin, 20% dari obat radioaktif yang ditelan
ditemukan dalam tinja. Bismut subnitrat dapat membentuk lapisan
pelindung yang menutupi tukak,lagi pula berkhasiat bakteriostatik
terhadap H. pylori. Kini banyak digunakan sebagai eradikasi tukak,
selalu bersama dengan dua atau tiga obat lain (Hakim, 2007).
Pada penggunaan jangka panjang bismuth salisilat dapat
menimbulkan kenaikan gastrin darah dan dapat menimbulkan
tumor karsinoid pada tikus percobaan. Pada manusia belum dapat
dibuktikan (Hakim, 2007).
Page 35
III. METODE PRAKTIKUM
A. Alat
1. Beakerglass
2. Sonde lambung
3. Spuit injeksi 3 cc
4. Kertas saring
B. Bahan
1. Bisakodil
2. MgSO4
3. Vegeta
4. Merit
C. Cara kerja
Timbang Tikus
Hitung sode
Sonde lambung
Perhatikan feses
Warna konsistensi Jumlah
Page 36
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Tabel 4.1. Hasil pengamatan feses tikus setelah diberi perlakuan khusus.
KEL. SAAT PRAKTIKUM 20.00 06.00
J W K J W K J W K
C1 6 Cokelat
kehijauan
Lembek 16 Cokelat Lembek 1 Padat Cokelat
C2 5 Cokelat
kuning
Lembek 10 Cokelat Lembek 6 Hitam Lunak
padat
C3 3 Cokelat
kehijauan
Lembek 6 Cokelat Lunak 5 Cokelat tua Lunak
padat
C4 - - - 9 Coklat
kuning
Lunak
encer
- Kekuningan Cair
Keterangan:
J : Jumlah C1: Bisakodil
W : Warna C2: MgSO4
K : Konsistensi C3: Merit
C4: Vegeta
Gambar 4.1 Feses tikus I sebelum praktikum
Page 37
Gambar 4.2 Feses tikus I pada pengamatan pukul 20.00
Gambar 4.3 Feses tikus I pada pengamatan pukul 06.00
B. Pembahasan
Tikus I diberikan bisakodil, reaksi yang dihasilkan adalah pada 30
menit sebelum pemberian laksatif tersebut, konsistensi feses tikus
cenderung baik, padat, dan tidak membasahi kertas saring. Pada 30 menit
setelah pemberian laksatif juga belum memberikan pengaruh yang berarti
dari feses tikus. Akan tetapi pada pukul 20.00 WIB setelah pemberian
laksatif, feses tikus terlihat lebih lembek dan membasahi kertas. kemudian
Page 38
pada pukul 06.00 WIB setelah pembeian laksatif, feses cenderung sama
yaitu terlihat lebih lembek dan sangat membasahi kertas.
Tikus II diberikan MgSO4, reaksi yang dihasilkan adalah pada 30
menit sebelum pemberian laksatif tersebut, konsistensi feses tikus
cenderung baik, padat, dan tidak membasahi kertas saring. Pada 30 menit
setelah pemberian laksatif juga belum memberikan pengaruh yang berarti
dari feses tikus. Akan tetapi pada pukul 20.00 WIB setelah pemberian
laksatif, feses tikus terlihat lembek dan membasahi kertas. Kemudian pada
pukul 06.00 WIB setelah pembeian laksatif, feses terlihat lembek dan
sangat membasahi kertas, akan tetapi jumlahnya relatif lebih sedikit.
Tikus III diberikan merit sebanyak 0,45 ml. Reaksi yang dihasilkan
adalah pada 30 menit sebelum pemberian laksatif tersebut, konsistensi
feses tikus cenderung baik, padat, dan tidak membasahi kertas saring. Pada
30 menit setelah pemberian laksatif juga belum memberikan pengaruh
yang berarti dari feses tikus. Akan tetapi pada pukul 20.00 WIB setelah
pemberian laksatif, feses tikus terlihat sangat lembek dan membasahi
kertas. kemudian pada pukul 06.00 WIB setelah pembeian laksatif, feses
terlihat lembek dan membasahi kertas.
Tikus IV diberikan vegeta cair, reaksi yang dihasilkan adalah pada 30
menit sebelum pemberian laksatif tersebut, konsistensi feses tikus
cenderung baik, padat, dan tidak membasahi kertas saring. Pada 30 menit
setelah pemberian laksatif juga belum memberikan pengaruh yang berarti
dari feses tikus. Akan tetapi pada pukul 20.00 WIB setelah pemberian
laksatif, feses tikus terlihat lembek dan membasahi kertas. kemudian pada
pukul 06.00 WIB setelah pembeian laksatif, feses terlihat cair dan sangat
membasahi kertas.
Tikus I diberikan bisakodil, bisakodil sendiri adalah bahan aktif yang
termasuk dalam golongan laksatif perangsang, bisakodil secara oral
dihidrolisis menjadi difenol yang diabsorbsi mengalami konjugasi dihati
dan dinding usus. metabolit ini diekskresi melalui empedu, selanjutnya
mengalami rehidrolisis menjadi difenol kembali yang akan merangsang
motilitas usus besar (Estuningtyas, 2009).
Page 39
Efek pencahar bisakodil timbul 6-12 jam setelah pemberian oral, dan
seperempat sampai satu jam setelah pemberian rektal. pada pemberian
oral, bisakodil diabsorbsi kira-kira 5%, dan diekskresikan bersama urin
dalam bentuk glukoronid. ekskresi bisakodil terutama di tinja
(Estuningtyas, 2009). Sehingga efek pada tikus yang dihsilkan dari
pemberian bisakodil sesuai dengan teori yang berlaku, yaitu pengeluaran
feses yang konsistensinya sangat lembek dan membasahi kertas.
Tikus II diberikan MgSO4, MgSO4 biasa disebut dengan garam
inggris. zat ini diabsorbsi melalui usus kira-kira 20% dan diekskresikan
melalui ginjal. pencahar ini termasuk dalam golongan pencahar garam atau
osmotik yang menyebabkan air ditarik nkedalam lumen usus dan tinja
menjadi lebih lembek setelah 3-6 jam, secara tidak langsung, pencahar ini
juga mengakibatkan peristaltis usus meningkat. sehingga apa yang terjadi
pada hewan coba sesuai dengan teori yang telah ada sebelumnya
(Estuningtyas, 2009).
Tikus I diberikan dengan bisakodil. Obat ini adalah kelompok laksatif
stimulan yang menginduksi inflamasi secara terbatas, mengaktivasi
prostaglandin, dan menginhibisi Na+K+ATPase. Obat ini harus
dihidrolisis agar menjadi aktif. Itulah sebabnya, efeknya tidak akan bekerja
kurang dari 6 jam dan akan terlihat efeknya besok paginya (Brunton,
2006).
Hal ini terbukti dengan jumlah feses tikus I yang tetap pada
pengamatan 4 jam setelah diberi bisakodil karena obatnya belum bekerja.
Peningkatan jumlah feses tikus I baru tampak pada pengamatan pada jam
20.00 dan esok paginya, di mana jumlah fesesnya meningkat, tapi tidak
berubah konsistensinya.
Berbeda dengan tikus I, tikus II diberi MgSO4. Magnesium sulfat
adalah kelompok saline laxatives atau laksatif garam. Cara kerjanya adalah
dengan sistem osmotik; retensi air sehingga terjadi akumulasi cairan dan
elektrolit intralumen dan memicu peristaltik usus (Brunton, 2006). Karena
sifatnya yang menarik air ke intralumen inilah yang menyebabkan feses
tikus II yang diberi MgSO4 menjadi lebih cair. Bahkan menurut Brunton,
Page 40
2006, diperkirakan dengan dosis normal magnesium, sekitar 40-120 mEq
dapat menghasilkan 300-600 ml feses dalam 6 jam
Sedangkan pada tikus III, diberikan merit atau jamu galian singset
yang dikenal dapat membantu menjaga bentuk tubuh, terutama untuk
wanita. Jamu ini memiliki komposisi, antara lain: daun jati belanda,
kencur, temu lawak, kunyit, asam jawa, kayu manis, merica, laos, serai,
kunyit, cengkeh, kapulaga, ketumbar, dan beberapa rempah tradisional.
Namun di antara beberapa bahan yang menjadi campuran tersebut, bahan
utama yang berkhasiat mengencangkan badan adalah daun jati belanda
(Widyawati, 2012).
Berdasarkan analisis fitokimia dalam daun jati belanda terkandung
beberapa senyawa kimia, seperti sterol, alkaloid, karotenoid, flavonoid,
tannin, karbohidrat dan saponin. Tannin dapat menyerap lemak atau
karbohidrat yang berlebihan dari makanan dan mengurangi absorpsinya di
dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan berat badan. Sedangkan
saponin dapat berfungsi untuk melarutkan air dan lemak (Widyawati,
2012).
Bila dikaitkan dengan golongan obat laksatif, fungsi dari kandungan
dalam jamu ini sama dengan obat aktif lumen, di mana dapat berperan
sebagai pembentuk massa yang meretensi absorpsi nutrisi sehingga
meningkatkan volume feses. Selain itu, fungsinya juga hampir sama
dengan emolien yang dapat memudahkan pelarutan lemak dan air sehingga
menyebabkan feses tikus III lebih lunak daripada sebelum diberi merit.
Pada tikus IV yang diberi obat pencahar vegeta, efek kerjanya terlihat
sejak 30 menit pasca pemberian obat dimana terjadi perubahan jumlah dan
konsistensi feses tikus menjadi lebih banyak dan kenyal setelah pemberian
obat dibandingkan pada saat awal pengamatan sebelum pemberian obat. 3
jam setelah pemberian obat, terlihat feses yang dihasilkan menjadi sedikit
namun terjadi perubahan konsistensi menjadi lebih encer. Begitu pula
dengan kondisi jumlah dan konsistensi feses 6 jam setelah dilakukan
pemberian pencahar vegeta.
Page 41
Vegeta merupakan obat pencahar golongan pembentuk massa yang
cara kerjanya dengan mengikat air dan ion dalam lumen kolon, sehingga
tinja yang dihasilkan akan menjadi lebih banyak dan lunak. Efek kerja
pencahar golongan ini pada manusia biasanya terlihat 12-24 jam setelah
pemberian obat. Pada tikus percobaan ini, 30 menit pertama tidak
mengeluarkan feses sama sekali dan efek pencahar mulai terlihat sejak 3
jam pasca pemberian vegeta. Keadaan ini mungkin terjadi akibat faktor
stres dari tikus, karena pada waktu praktikum praktikan kurang memberi
efek stres pada tikus sehingga feses yang dihasilkan tidak banyak. Selain
itu, kondisi tubuh tikus yang berbeda dengan manusia juga mungkin
berpengaruh pada hasil percobaan sehingga obat lebih cepat memberikan
efek (Brunton, 2006).
C. Aplikasi Klinis
1. Konstipasi
Konstipasi merupakan suatu kondisi sulit defekasi. Para ahli telah
merumuskan suatu kriteria untuk menegakkan diagnosis konstipasi
(Kriteria Rome III), dengan ketentuan sebagai berikut (Yamada et al,
2008):
a. Suatu konstipasi fungsional harus mengandung dua atau lebih dari
gejala-gejala berikut :
1) <3 kali defekasi per minggu
2) Straining selama minimal 25% defekasi
3) Feses keras pada minimal 25% defekasi
4) Sensasi evakuasi inkomplet pada minimal 25% defekasi
5) Sensasi hambatan anorektal pada minimal 25% defekasi
6) Dibutuhkan manuver manual untuk membantu defekasi pada
minimal 25% defekasi
b. Feces lunak jarang tanpa penggunaan laksatif
c. Terdapat kriteria yang kurang mencukupi untuk menegakkan IBS
(Irritable Bowel Syndrome)
Studi observasional menunjukkan bahwa banyak pasien
dengankonstipasi tidak memenuhi kriteria Rome, sehingga American
Page 42
College of Gastroenterology Chronic Constipation Task Force
merekomendasikan suatu definisi yang lebih luas, yakni defekasi tak
memuaskan yang dicirikan dengan feses tak teratur, pengeluaran feses
yang sulit, ataupun keduanya. Namun perlu diingat bahwa konstipasi
berbeda dengan obstipasi, di mana kesulitan defekasi pada obstipasi
dikarenakan adanya massa pada lumen saluran cerna yang menghalangi
(obstruksi) pengeluaran feses.
Secara umum, konstipasi dapat dibagi menjadi dua kelompok
besar, yakni konstipasi primer dan sekunder. Konstipasi primer
merupakan hasil dari gangguan regulasi fungsi neuromuskular pada
kolon dan anorektal serta gangguan fungsi neuroenterik otak-saluran
cerna.
Sementara konstipasi sekunder dapat disebabkan oleh barbagai
faktor, mulai dari diet, obat-obatan, gaya hidup, gangguan metabolik,
endokrin, neurologik, dsb.
Berdasarkan patofisoologinya, konstipasi primer dapat dibagi lagi
menjadi tiga subtipe, yaitu :
1) Normal-transit constipation (NTC)
Merupakan subtiper paling umum dari konstipasi primer. Pada
subtipe ini, meskipun feses melalui kolon dengan laju dan
kecepatan normal, pasien mengalami kesulitan untuk defekasi.
Pasien pada kategori ini terkadang memnuhi kriteria IBS dengan
konstipasi (IBS-C). Perbedaan utamanya adalah bahwa pada IBS-C
terdapat rasa tidak nyaman atau rasa sakit pada abddomen yang
prominen. Pasien degnan NTC biasanya memiliki hasil
pemeriksaan fisik yang normal.
2) Slow-transit constipation (STC)
STC dicirikan dengan pergerakan saluran cerna yang infrequent,
penurunan urgency, atau adanya straining untuk defekasi. Hal ini
lebih sering dialami pasien wanita. Pasien dengan STC memiliki
aktivitas motorik kolon yang terganggu.
3) Pelvic floor dysfunction
Page 43
Subtipe ini dicirikan dengan adanya disfungsi pada lantai pelvis
atau sfingter anal.
2. GERD
Gastroesophageal reflux disease (GERD) timbul dari gagalnya
mekanisme antireflux normal untuk melindungi dari gastroesofageal
refluks yang frekuen dan dalam jumlah kebih dari normal.
Gastroesofageal refluks merupakan suatu perpindahan pasif isi gaster
dari gaster ke esofagus. Gastroesophageal reflux bukanlan merupakan
suatu penyakit, melainkan suatu proses fisiologis. Hal ini terjadi pada
setiap orang beberapa kali dalam sehari terutama setelah makan besar
tanpa menimbulkan gejala ataupun tanda-tanda kerusakan mukosa.
Namun GERD merupakan suatu spektrum penyakit yang biasanya
menimmbulkan gejala berupa heartburn dan regurgitasi asam. Sebagian
pasien tidak memperlihatkan kerusakan mukosa pada pemeriksaan
endoskopi (GERD nonerosif), sementara yang lain memiliki esofagitis,
striktur peptik, Barrett esophagus, atau bukti-bukti lain adanya kelainan
ekstraesofagus seperti sakit dada, gejala-gejala pulmonal, hidung,
telinga, dan tenggorokan. GERD merupakan suatu proses multifaktorial
dan merupakan salah satu penyakit manusia yang paling umum
(Yamada et al, 2009).
Patofisiologi dari GERD merupakan suatu proses yang kompleks
dan timbul dari adanya ketidakseimbangan antara faktor-faktor defensif
yang melindungi esofagus (antireflux barriers, esophageal acid
clearance, tissue resistance) dan faktor-faktor agresif dari isi gaster
(gastric acidity dan volume serta isi dari duodenum) (Yamada et al,
2009).
Esofagitis pada pasien GERD timbul ketika asam lambung dan
pepsin yang terrefluks berlebihan mengakibatkan nekrosis pada mukosa
esofagus dan kemudian menyebabkan erosi dan ulkus karena sistem
clearance esofagus yang juga terganggu. Ketidakseimbangan refluks
dan clearance ini dapat dikarenakan adanya inkompetensi pada
Page 44
esophagogastric junction, yang mekanisme utamanya sebagai berikut
(Longo et al, 2012):
1) Relaksasi LES (lower esophageal sphincter) yang transient.
Merupakan relaksasi LES yang dirangsang oleh distensi gaster,
suatu refleks vagovagal.
2) Hipotensi LES
3) Distorsi esophagogastric junction terkait dengan hernia hiatal.
Selain ketiga hal tersebut, faktor lain yang cenderung
meningkatkan eksaserbasi refluks meliputi obesitas abdominal,
kehamilan, kondisi hiperseekresi gaster, delayed gastric emptying,
gangguan peristaltik esofagus, dan kerakusan (Longo et al, 2012).
Setelah refluks, peristaltik akan mengembalikan cairan yang
terrefluks tersebut kembali ke gaster dan clearance asam dipurnakan
dengan titrasi zat asam residual dengan bikarbonat yang terkandung
dalam saliva yang tertelan. Gangguan peristaltik dan penurunan salivasi
akan menyebabkan clearance asam yang diperpanjang(Longo et al,
2012).
Asam lambung yang berbahaya bagi epitel esofagus tak dapat
dilepaskan dari patofisiologi GERD. Namun, hipersekresi asam
lambung biasanya bukan merupakan faktor utama dalam perkembangan
esofagitis. Pepsin, sekret empedu, dan enzim-enzim pankreas dalam
sekret gaster dapat pula melukai epitel esofagus, namun efek berbahaya
zat-zat tersebut akan berkurang dalam suasana asam ataupun
sebaliknya. Garam empedu dapat melalui membran sel, melukai sel
dalam suasana asam lemah, dan dapat pula berperan sebagai kofaktor
dalam patogenesis dari metaplasia Barrett dan adenokarsinoma. Oleh
karena itu, bahaya dari refluks gaster tidak hanya berasal dari HCl
lambung saja (Witteman et al, 2015).
Heartburn dan regurgitasi merupakan gejala tipikal dari GERD.
Gejala lain yang kurang umum adalah dysphagia dan nyeri dada. Pada
setiap kasus mungkin terdapat mekanisme yang berbeda dalam
perjalanan munculnya gejala, di mana mekanisme tersebut mungkin
Page 45
tidak hanya berkutat pada konsep dasar adanya erosi mukosa dan
aktivasi saraf sensoris aferen. Maka strategi klinis utama adalah dengan
penanganan empirik dengan acid inhibitor, dengan evaluasi lebih lanjut
untuk pasien-pasien yang gagal merespon dengan treatment
ini(Witteman et al, 2015).
Sindroma ekstraesofageal yang terkait dengan GERD diantaranya
adalah batuk kronis, laryngitis, asthma, dan erosi gigi. Kondisi-kondisi
lain meliputi pharyngitis, bronkitis kronik, fibrosis pulmonal, sinusitis
kronik, arritmia, sleep apnea, dsb. Mekanisme potensial untuk gejala-
gejala GERD ekstraesofageal adalah adanya regurgitasi dengan kontak
langsung antara zat terrefluks dengan struktur supraesofageal atau via
refleks vagovagal di mana aktvasi refluks dari saraf aferen esofagus
memicu refleks eferen vagal seperti bronkospasme, batuk, atau aritmia
(Kumar & Clark, 2009).
3. Diare
Diare dapat didefinisikan sebagai adanya feses tak terbentuk arau
berbentuk cair abnormal dalam frekuensi yang meningkat. Untuk
sorang dewasa dengan diet tipikal orang Barat, bobot feses >200g/hari
dapat dikatakan sebagai diare. Diare dapat diklasifikasikan sebagai akut
apabila terjadi dalam kurun waktu <2 minggu, persisten apabila
berlangsung selama 2-4 minggu dan kronis apabila berlangsung >4
minggu. Lebih dari 90% kasus diare akut disebabkan oleh agen
infeksius (E. Coli patogen, S. Aureus, C. Difficile, dll) yang sering
diiringi dengan gejal-gejala seperti demam, muantah, dan nyeri
abdomen. Sementara 10% sisanya disebabkan oleh obat-obatan, ingesti
zat toksik, iskemia, dan kondisi-kondisi lain (Longo et al, 2012).
Patofisiologi diare dapat terkait dengan hal-hal berikut (Yamada et
al, 2008):
a. Fungsi motorik abnormal
Peningkatan motilitas saluran cerna (dismotilitas) akan
mengakibatkan rapid transit pada pembentukan feses. Rapid transit
ini akan mengakibatkan adanya maldigesti dan mengasilkan feses
Page 46
yang cair dan terbentuk kurang sempurna. Dismotilitas atau
hipermotilitas usus dapat disebabkan oleh berbagai hal meliputi
dismotilitas promer, hipertiroid, sindroma karsinoid, obat-obatan
tertentu (prostaglandin, agen prokinetik), dsb.
b. Transport cairan dan elektrolit abnormal
1) Penurunan absorpsi
Gambar 4.5 Spiral diare.
Peningkatan cairan intralumen akibat adanya gangguan
transport cairan dan elektrolit akan menginisiasi aktivitas
propulsif dengan refleks maupun sebagai hasil dari gangguan
fungsi epitel. Rapid transit yang diikuti degnan penurunan waktu
kontak dan mungkin pula berkurangnya luas permukaan usus.
Hal ini kemudian akan mengakibatkan penurunan absorbsi, yang
mengakibatkan peningkatan lebih dari cairan intralumen,
propulsi lebih, dan seterusnya hingga terjadi diare.
2) Peningkatan sekresi
Sekresi kelenjar-kelenjar intestinal dapat terganggu dan
meningkat ketika terpapar enterotoksin dari bakteri dan
mediator-mediator inflamasi. Enterotoksin akan menstimulasi
reseptor pada sel enterochromaffin yang kemudian akan
melepaskan hormon yang akan mengaktivasi sistem saraf
enterik dan menstimulasi enterosit. Mediator-mediator inflamasi
seperti sitokin proinflamasi, adenosine, histamine, serotonin,
hidrogen peroksida, leukotrien, dan prostaglandin yang
Page 47
dilepaskan oleh sel-sel imun pada saluran cerna dapat secara
langsung menstimulasi enterosit dan mengaktivasi sistem saraf
enterik.
Berdasar patofisiologinya, terdapat tiga kategori umum diare
(Yamada et al, 2008):
a. Malabsorpsi
Diare ini akibat adanya malabsorbsi zat-zat gizi tertentu seperti
karbohidrat, lemak, protein, dsb.
b. Watery
1) Secretory
Merupakan diare yuang disebabkan karena peningkatan
sekresi kelenjar-kelenjar intestinal. Peningkatan sekresi ini dapat
disebabkan oleh infeksi bakteri ataupun respon inflamasi.
2) Osmotic
Pada diare ini, kondisi-kondisi tertentu seperti adanya zat-
zat yang tak dapat diserap oleh usus akan meningkatkan
osmolaritas intralumen. Peningkatan ini kemudian
mengakibatkan osmosis cairan dari ekstralumen ke intrallumen
yang kemudian meningkatkan konsentrasi cairan dalam feses.
c. Inflammatory
Adanya inflamasi saluran cerna dapat berujung pada diare.
Terdapat empat konsep yang mungkin menjadi penyebab diare ini.
Konsep pertama adalah bahwa zat-zat yang disekresi oleh sel-sel
imun akan menghambat absorbsi NaCl atau menstimulasi sekresi
Cl- oleh sel-sel epitel intestinal. Mediator-mediator proinflamasi
yang dilepaskan juga dapat merusak enterosit dan mengganggu
transport nutrient dan elektrolit.
Konsep kedua adalah bahwa sel-sel inflamasi pada lamina
propria dan sel-sel epitel yang kontak pertama kli dengan
mikroorganisme luminal diaktivasi oleh sutu proses yang bernama
innate immunity. Proses ini kemudian berlanjut dengan tujuan
Page 48
untuk membersihkan mikroorganisme melalui immunitas selular
dan humoral adaptif.
Konsep ketiga adalah bahwa mikroorganisme patogen dapat
menginvasi membran sel dan melalui sel spitel. Flora normal dan
mikoorganisme noninvasif juga dapat melewati barrier epitel
diantara sel, misalnya melaui tight junction yang menghubungkan
sel-sel menjadi suatu barrier. Beberapa sitokin (Interferon dan
TNF) kemudian dikeluarkan untuk merapatkan junction dan
maningkatkan permeabilitasnya.
Konsep keempat adalah bahwa beberapa bakteri seperti E. Coli
mampu menginjeksikan toksin ke dalam sel-sel epitel. Toksin ini
kemudaian dapat mengganggu transport elektrolit dan akhirnya
merubah permeabilitas mukosa saluran cerna.
Page 49
V. KESIMPULAN
1. Ada berbagai obat yang wajib praktikan ketahui di praktikum ini, yaitu
laksatif, antidiare, antiemetik, obat gangguan lambung.
2. Percobaan pada praktikum kali ini menggunakan Rattus norvegicus dengan
diberikan perlakuan MgSO4 melalui sonde lambung.
3. Seelah diberikan perlakuan dan diamati selama dua periode, diketahui ada
perbedaan pada feses Rattus norvegicusyaitu jadi lebih banyak dan lebih
lembek.
4. Dari keempat perlakuan (bisakodil, MgSO4, vegeta dan merit) menghasilkan
hasil yang berbeda.
Page 50
DAFTAR PUSTAKA
Alharbi S A et al. 2012. Bismuth-inhibitory effects on bacteria and stimulation of fungal growth in vitro. Saudi J Biol Sci. 19(2): 147–150.
Andrianto, P. 2005. Penataaksanaan dan Pencegahan Diare Akut. Penerbit Buku EGC : Jakarta.
Baker DE. 2007. Loperamide: a pharmacological review. Rev Gastroenterol Disord. 7(3):11-8.
Baldi F, et al. 2009. Focus on acute diarrhoeal disease. World J Gastroenterol. 15(27): 3341–3348.
Basuki, Triono. 2008. Efektifitas Sukralfat Dalam Menghambat Gastritis Akibat Penggunaan Asam Asetil Salisilat Pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus). Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Brunton, Laurence L., et al. 2006. Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basic of Therapeutics. New York: McGraw-Hill
Chang, R. 2008. Kimia Dasar : Prinsip Dasar Ilmu Kimia. Jakarta : EGC.
Depkes RI. 2010. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Indonesia.
Estuningtyas, Ari dan Azalia Arif. 2012. Obat Lokal dalam: Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FK UI
Faure C. 2013. Role of Antidiarrhoeal Drugs as Adjunctive Therapies for Acute Diarrhoea in Children. International Journal of Pediatrics. 65(3): 1-14.
Fessenden, R.J. & Fessenden, J.A. 2007. Kimia Organik Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Ganiswarna G., Sulistia. 2007. Farmakologi Dan Terapi. Jakarta: FKUI.
Goldman R D. 2013. Bismuth salicylate for diarrhea in children. Can Fam Physician. 59(8): 843-844.
Gunawan, S.G., et al. 2009. Farmakologi Dan Terapi FKUI Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Hakim, Lazuardi. 2007. Farmakokinetika. Yogyakarta: UGM Press.
Hall, JE. 2015. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology 13th Ed. Philadeplhia: Elsevier
Katzung, B.G. 2010. Farmakologi Dasar Dan Klinik Edisi 10. Jakarta: EGC.
Kumar et al. 2009. Kumar & Clark’s Clinical Medicine 7th edition. Edinburgh : Saunders Elsevier.
Longo, Dan et al. 2012. Harrison’s Principle of Internal Medicine 18th edition. New York : The McGraw-Hill Companies.
Page 51
Martini et al. 2014. Fundamentals of Anatomy & Physiology 9th Ed. US: Pearson Education Limited.
Mroz et al. 2013. Farnesoid X receptor agonists attenuate colonic epithelial secretory function and prevent experimental diarrhoea in vivo. Diabetes. 56(10): 2485-2493
Nwachukwu CE dan Okebe JU. 2008. Antimotility agents for chronic diarrhoea in people with HIV/AIDS. NY: John Wiley & Sons, Ltd.
Sherwood, Lauralee. 2013. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta: EGC
Widyawati, R. M. 2012. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda (Gauzuma ulmifolia lamk) terhadap Berat Badan, Berat Testis, dan Jumlah Sperma Mencit (Mus musculus L) Galur Swiss Webster. Universitas Pendidikan Indonesia. Tersedia pada: http://a-research.upi.edu/operator/upload/s_bio_0805316_chapter1.pdf (diakses 8 Juni 2015)
Witteman, Bart et al. 2015. Randomized Controlled Trial of Transoral Incisionless Fundoplication vs. Proton Pump Inhibitors for Treatment of Gastroesophageal Reflux Disease. Am J Gastroenterol. 110(4):531-542.
Yamada, Tadataka et al. 2008. Principles of Clinical Gastroenterology. Hoboken : Blackwell Publishing Ltd.
Yamada, Tadataka et al. 2009. Textbook of Gastroenterology. Hoboken : Blackwell Publishing Ltd.