L A P O R A N K A S U SPENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK)
Pembimbing:dr. Elisabeth
Disusun oleh:
Qarina Hasyala Putri 080100367Dian Primadia Putri 100100013Aulia
Suci Maurinda 100100034Romulus P Sianipar 100100180Achmad Rifqy
Rupawan 100100225
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAMFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
SUMATERA UTARARSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN2 0 1 4
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
telah melimpahkan berkatnya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul Ulkus Diabetikum ini
dengan lancar dan tanpa halangan yang berarti. Terima kasih juga
kami ucapkan kepada pembimbing kami, dr. Elisabeth, yang telah
bersedia membimbing kami dalam penyusunan laporan kasus ini.Pada
laporan kasus ini, kami memaparkan tinjauan teoritis dan
penatalaksanaan pada pasien dengan anemia hemolitik di bangsal
penyakit dalam RSUP Haji Adam Malik Medan. Adapun tujuan penulisan
laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
senior pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. Dalam penyusunan laporan kasus ini,
penulis mendapatkan banyak bimbingan dan bantuan dari berbagai
pihak. Maka pada kesempatan ini penulis berterimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu penulis.Penulis menyadari masih banyak
kekurangan dalam penulisan laporan kasus ini baik dari segi isi
maupun sistematika penulisan karena keterbatasan kemampuan penulis.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari
semua pihak untuk menyempurnakan laporan kasus ini. Semoga laporan
kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, November 2014,
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTARiDAFTAR ISIiiDAFTAR GAMBAR iiiBAB I
PENDAHULUAN11.1Latar Belakang11.2Rumusan Masalah11.3Tujuan
Penulisan21.4Manfaat Penulisan2BAB II TINJAUAN PUSTAKA32.1Definisi
Anemia Hemolitik32.2Epidemiologi Anemia Hemolitik42.3 Etiologi
Anemia Hemolitik 42.4 Klasifikasi Anemia Hemolitik 52.5Patogenesis
Anemia Hemolitik112.6Manifestasi Klinis Anemia
Hemolitik182.7Diagnosis Anemia Hemolitik182.8Penatalaksanaan Anemia
Hemolitik232.9Prognosis Anemia Hemolitik25BAB III LAPORAN
KASUS26BAB IV KESIMPULAN31DAFTAR PUSTAKA32
BAB IPENDAHULUAN1. Latar BelakangPPOK adalah klasifikasi luas
dari gangguan, yang mencakup bronchitis kronis, bronkiektasis,
emfisiema dan asma . PPOK merupakan kondisi irreversible yang
berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk
dan keluar udara paru-paru. PPOK merupakan penyebab kematian ke 5
terbesar di Amerika Serikat. Penyakit ini menyerang lebih dari 25%
dari populasi dewasa. Obstruksi jalan napas yang menyebabkan
reduksi aliran udara beragam tergantung pada penyakit. Pada
bronchitis kronik dan bronkiolitis, penumpukan lendir dan sekresi
yang sangat banyak menyumbat jalan napas. Pada emfisema, obstruksi
pada pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi akibat kerusakan
dinding alveoli yang disebabkan oleh overekstensi ruang udara dalam
paru-paru. Pada asma, jalan napas bronchial menyempit dan membatasi
jumlah udara yang mengalir dalam paru-paru. Protocol pengobatan
tertentu digunakan dalam semua kelainan ini, meski patafisiologi
dari masing-masing kelainan ini membutuhkan pendekatan spesifik.
PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhulubungan dengan interaksi
genetic dengan lingkungan. Merokok, polusi udara dan pemajanan
ditempat kerja (terhadap batu bara, kapas, padi-padian ) merupakakn
factor-faktor risiko penting yang menunjang pada terjadinya
penyakit ini. Prosesnya dapat terjadi dalam rentang lebih dari
20-30 tahunan. PPOK juga ditemukan terjadi pada individu yang tidak
mempunyai enzim yang normal mencegah panghancuran jaringan paru
oleh enzim tertentu. PPOK tampak timbul cukup dini dalam kehidupan
dan merupakan kelainan yang mempunyai kemajuan lambat yang timbul
bertahun-tahun sebelum awitan gejala-gejala klinis kerusakan fungsi
paru.PPOK sering menjadi simptomatik selama tahun-tahun usia baya,
tetapi insidennya meningkat sejalan dengan peningkatan usia.
meskipun aspek-aspek paru tertentu, seperti kapasitas vital dan
volume ekspirasi kuat, menurun sejalan dengan peningkatan usia,
PPOK memperburuk banyak perubahan fisiologi yang berkaitan dengan
penuaan dan mengakibatkan obstruksi jalan napas (dalam bronchitis)
dan kehilangan daya kembang elastic paru (pada emfisema).
Karenanya, terdapat perubahan tambahan dalam rasio ventilasi
perkusi pada pasien lansia dengan PPOK.
0. Rumusan MasalahBagaimana temuan klinis, klasifikasi,
diagnosis, serta penatalaksanaan pada pasien PPOK di RSUP Haji Adam
Malik Medan?
0. Tujuan Penulisan1. Untuk memahami tinjauan ilmu teoritis
terapi PPOK.1. Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran yang telah
didapat terhadap kasus terapi PPOK.1. Untuk mengetahui gambaran
klinis, perjalanan penyakit, penatalaksanaan, dan tindak lanjut
pada pasien dengan PPOK.
0. Manfaat PenulisanBeberapa manfaat yang didapat dari penulisan
laporan kasus ini adalah:1. Untuk lebih memahami dan memperdalam
secara teoritis tentang ilmu penyakit dalam khususnya mengenai
terapi PPOK.1. Sebagai bahan informasi dan pengetahuan bagi pembaca
mengenai pengenalan, diagnosa, dan terapi PPOK.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.2. Penyakit Paru Obstruktif Kronik 2.2.1. Definisi PPOK
Penggunaan istilah Penyakit Paru Obstruktif Kronik sesungguhnya
kurang tepat, karena PPOK bukanlah suatu penyakit, melainkan
sekumpulan penyakit (Seaton, 2000). PPOK adalah istilah untuk
mendeskripsikan berbagai macam penyakit paru kronik yang ditandai
obstruksi aliran udara sebagai ciri khasnya, dengan gejala utama
sesak nafas, batuk, produksi sputum, dan mengi yang berkembang
progresif (Harding et all, 2004). GOLD (2012) mendefinisikan PPOK
sebagai penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara
yang tidak sepenuhnya reversibel, biasanya progresif, dan
berhubungan dengan abnormalitas respon inflamasi paru-paru terhadap
partikel atau gas berbahaya. Meskipun PPOK sering dibagi menjadi
bronkitis kronis dan emfisema di masa lalu, sekarang diakui bahwa
sebagian besar pasien memiliki unsur-unsur dari kedua kondisi
tersebut. Berikut dijelaskan secara ringkas mengenai kedua unsur
dalam PPOK tersebut. 1. Bronkitis Kronis : batuk dengan produksi
sputum yang berlangsung setidaknya 3 bulan dalam setahun selama 2
tahun berturut-turut, terkait dengan hipertrofi kelenjar lendir,
peningkatan jumlah sel goblet pada sentral saluran udara dan
fibrosis peribronkiolus di saluran udara perifer. 2. Emfisema :
pembesaran dan kerusakan dinding alveolus tanpa fibrosis yang
siknifikan. Proses perubahan ini tidak sepenuhnya dipahami dan
kemungkinan bersifat multifaktorial (Ali et all, 2010).
2.2.2. Epidemiologi PPOK Sebagai penyebab kematian ke-4 di dunia
(WHO, 2000), data prevalensi PPOK pada populasi dewasa saat ini
bervariasi pada setiap negara di seluruh dunia. Tahun 2000,
prevalensi PPOK pada individu berusia di atas 45 tahun di Amerika
dan Eropa berkisar 5-9%. Data penelitian lain menunjukkan
prevalensi PPOK bervariasi dari 7,8%-32,1% di beberapa kota Amerika
Latin. Prevalensi PPOK di Asia Pasifik rata-rata 6,3%, yang
terendah 3,5% di Hongkong dan Singapura, dan tertinggi 6,7% di
Vietnam.
Untuk Indonesia, penelitian Regional COPD Working Group (2003)
di 12 negara Asia Pasifik menunjukkan estimasi prevalensi PPOK di
Indonesia sebesar 5,6%. Prevalensi PPOK diperkirakan akan meningkat
sehubungan dengan peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia,
pola penyakit infeksi yang menurun sedangkan penyakit degeneratif
meningkat, meningkatnya kebiasaan merokok, dan polusi udara
(Riskesdas, 2010). Dari keseluruhan penyakit yang menjadi penyebab
kematian dominan, PPOK merupakan satu-satunya penyakit dengan laju
mortalitas yang melejit (Fishman, 2008). WHO (2010) meramalkan,
PPOK yang saat ini merupakan penyebab kematian kelima di seluruh
dunia diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi penyebab kematian
ketiga di seluruh dunia.
2.2.3. Faktor Risiko PPOK PPOK terjadi sebagai hasil dari
akumulasi paparan berbagai faktor risiko selama periode waktu
tertentu (GOLD, 2013). Faktor risiko PPOK terdiri dari: Merokok
Menurut Bourke (2003), PPOK disebabkan terutama oleh merokok dan
prevalensi serta mortalitasnya mencerminkan riwayat merokok dalam
populasi. Dalam penelitian di Amerika Serikat, mortalitas pada
penderita PPOK yang pernah merokok rata-rata 24 kali lebih tinggi
dibandingkan mereka yang bukan perokok (Thun, 2013). Merokok
mencakup 80% sampai 90% dari risiko PPOK dan karena itu dianggap
penyebab utamanya. Perokok pasif juga mengalami peningkatan risiko
(Laurent dan Saphiro, 2006). Polusi Udara Partikel-partikel
berbahaya di udara dapat memicu respon inflamasi pada paru dan
berkorelasi langsung dengan lama paparan. Pencemaran lingkungan
kini diakui beperan dan persentasenya cukup signifikan dari
keseluruhan kasus PPOK di seluruh dunia (Ali et all, 2010).
Partikel-partikel dan gas yang dimaksud mencakup asap rokok, debu,
polutan dalam ruangan (Wilkins et all, 2007), asap dari pembakaran
tidak sempurna, dan abu (Blackler, 2007). Kerusakan jaringan akibat
polusi udara yang terinhalasi bergantung pada derajat paparan dalam
jangka waktu tertentu, komposisi substansi yang terinhalasi, dan
kemampuan penjamu (host) untuk mentoleransi. Sejauh ini polutan
yang paling berpengaruh adalah asap rokok, menjadikan perokok pasif
juga mengalami peningkatan risiko (Wilkins et all, 2007).
Usia Saluran nafas perifer pada orang bukan perokok berusia
lanjut juga dapat menunjukkan perubahan patologi yang hampir sama
dengan yang dijumpai pada penderita PPOK (Stockley, 2007).Faktor
Genetik Hampir semua penderita PPOK memiliki riwayat perokok berat,
namun hanya 15% perokok yang akhirnya menderita PPOK, menandakan
bahwa faktor-faktor lain turut berperan, salah satunya faktor
genetik (Bourke, 2003). Beberapa gen yang menunjukkan hubungan
peningkatan predisposisi kejadian PPOK ialah AAT (alpha-1
anti-trypsin) atau aPI (alpha-protease inhibitor), AACT
(alpha-1-antichymotrypsin), IL8RA (IL-8 receptor alpha), ACE
(angiotensin converting enzyme), TNF (tumour necrosis factor), dan
masih banyak lagi (Harding et all, 2004). Kasus yang terbukti
memiliki hubungan dengan gen AAT hanya 1%, tetapi individu dengan
defisiensi gen ini ternyata terbukti mengalami emfisema onset dini
(Ali et all, 2010). AAT atau aPI adalah protein serum yang
diproduksi oleh hati yang bertanggung jawab untuk menghambat
neutrofil elastase, enzim yang dilepaskan sel PMN untuk
mendegradasi elastin pada suatu respon inflamasi (Wilkins et all,
2007).Jenis Kelamin Prevalensi PPOK lebih tinggi pada laki-laki
daripada perempuan, mungkin dikarenakan lebih banyak laki-laki yang
merokok dibandingkan perempuan (Riskesdas, 2010). Selain itu, lebih
banyak laki-laki yang bekerja di luar ruangan daripada perempuan,
menyebabkan paparan polusi udara, apalagi di negara berkembang,
menjadi faktor yang penting. Status Ekonomi Prevalensi merokok
cenderung meningkat dengan meningkatnya status ekonomi namun
prevalensi lebih tinggi pada masyarakat pedesaan dibandingkan pada
masyarakat perkotaan (Riskesdas, 2010), dikarenakan tingkat
pendidikan dan sarana kesehatan yang lebih baik menjadikan
masyarakat perkotaan lebih peduli pada kesehatannya. Di sisi lain,
PPOK sendiri lebih banyak dijumpai pada masyarakat dengan status
ekonomi rendah dan pada daerah perkotaan (Bourke, 2003).
Perkembangan Paru Fungsi paru maksimum yang dicapai pada masa
perkembangan paru sejak usia muda dipengaruhi oleh kecukupan
nutrisi saat berada dalam kandungan, paparan asap rokok dan polusi
udara, dan penyakit paru saat kecil (Bourke, 2003). Pekerjaan
Lingkungan pekerjaan yang rentan paparan polusi seperti penambang
batu bara, pekerja logam, pabrik kapas, pabrik kertas, dan
sebagainya, meningkatkan risiko PPOK. Kadmium dan silika juga
meningkatkan risiko pada perokok (Blacker, 2007). Infeksi Peran
infeksi virus pada saluran nafas atas dan bawah pada patogenesis
PPOK masih belum dapat dipastikan. Infeksi pada masa kanak-kanak
berhubungan dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan masalah
pernafasan saat dewasa, yang dapat berkembang menjadi PPOK. Begitu
seseorang menderita PPOK, infeksi berulang mempercepat penurunan
fungsi paru (Blacker, 2007). Asma/ Hiperaktivitas Jalan Nafas Pada
suatu penelitian, orang dewasa dengan asma memiliki risiko 12 kali
lebih mungkin menderita PPOK dalam hidupnya dibandingkan mereka
yang bukan penderita asma. Studi lain juga menunjukkan 20%
penderita asama mengalami pembatasan aliran nafas yang ireversibel
(GOLD, 2013).
2.2.4. Patogenesis PPOK PPOK merupakan hasil dari interaksi
berbagai faktor risiko yang telah dibahas sebelumnya. Pada
penderita PPOK proses inflamasi kronis berlangsung berbeda dari
respon normal karena mengalami modifikasi yang diduga bergantung
pada faktor genetik. Inflamasi paru tetap berlangsung meskipun
setelah penderita berhenti merokok dan masih belum diketahui
mengapa demikian, walaupun autoantigen dan mikroorganisme mungkin
turut berperan (Cosio, 2009, dalam GOLD, 2013). PPOK umumnya
dihubungkan dengan respon inflamasi derajat rendah pada epitel dan
lapisan submukosa pada bagian bronkus sentral (Stockley, 2007).
Berikut ini beberapa mekanisme yang berperan dalam inflamasi
pada PPOK menurur GOLD (2013): Stres Oksidatif Pertanda stres
oksidatif (hidrogen peroksida, 8-isoprostan) meningkat pada nafas
yang diekshalasi, sputum, dan sirkulasi sistemik penderita PPOK.
Saat eksaserbasi kadar marker stres oksidatif tersebut bahkan lebih
tinggi. Spesies oksigen reaktif berasal dari asap rokok,
patikel-partikel lain di udara, sel-sel inflamasi yang teraktivasi
(makrofag dan neutrofil), bahkan dari hasil reduksi antioksidan
endogen pada penderita PPOK sebagai akibat dari berkurangnya faktor
transkripsi (Nrf2) yang meregulasi gen-gen aktioksidan.
Ketidakseimbangan Protease-Antiprotease Ketidakseimbangan antara
protease dan antiprotease telah lama menjadi pusat perhatian pada
perkembangan emfisema (Ali, 2010). Protease mencerna jaringan ikat
(terutama elastin yang merupakan jaringan ikat utama pada paru)
sedangkan antiprotease melindungi jaringan ikat dari protease.
Beberapa protease yang dilepaskan sel-sel inflamasi dan epitel
meningkat pada penderita PPOK dan protease ini dapat saling
berinteraksi satu sama lain. Sel-sel Inflamasi Asap rokok dan
partikel-partikel berbahaya dalam udara akan memicu infiltrasi
sel-sel inflamasi (makrofag, neutrofil, dan limfosit CD8+
sitotoksik) pada epitel saluan pernafasan (Stockley, 2007). Bersama
dengan neutrofil dan makrofag sel-sel inflamasi ini akan melepaskan
mediator-mediator inflamasi seperti faktor-, IL-8, leukotrien,
(Saetta, 1994, dalam Mintz, 2006) dan enzim-enzim yang akan
mempengaruhi sel-sel struktural di jalan nafas, parenkim paru, dan
vaskularisasinya. Respon inflamasi kronis menginduksi kerusakan
jaringan parenkim (menyebabkan emfisema) dan menghalangi mekanisme
perbaikan dan pertahanan yang normal (menyebakan fibrosis).
Eosinofil tidak dijumpai pada PPOK, kecuali selama eksaserbasi
bronkitis akut, dan intensitas dari respon inflamasi pada emfisema
jauh lebih rendah dari pada asma (Ali et all, 2010).
Mediator-mediator Inflamasi Sel-sel inflamasi di sirkulasi akan
terpanggil oleh faktor kemotaksis, memperbesar respon inflamasi
(sitokin-sitokin proinflamasi), dan memicu perubahan struktural
(oleh faktor-faktor pertumbuhan). Dalam saluran udara perifer,
terjadi deposisi kolagen dan pembentukan jaringan parut. Di ruang
alveolar yang terjadi adalah serabut elastin dan epitel rusak,
apoptosis sel endotel, dan hilangnya dinding alveolar tanpa
pembentukan jaringan parut. Perubahan vaskular paru terlihat jelas
pada PPOK yang progresif. Hilangnya kapiler paru (capillary bed)
berkorelasi dengan hilangnya luas permukaan alveolar pada emfisema.
Vasokonstriksi paru mengakibatkan hipoksia, penebalan intima,
hipertrofi otot polos sel, dan pembentukan jaringan ikat yang lebih
lanjut memberikan kontribusi untuk terjadinya hipertensi pulmonal
dan gagal jantung kanan (cor pulmonale).
Gambar 2.1 Skema Patogenesis PPOK (Ali et all, 2010)
Stockley (2007) membedakan perubahan patologis pada PPOK
menjadi:1. Gangguan Saluran Pernafasan Sentral Kelenjar mukus
tersebar di sepanjang bronkus sentral, berperan dalam mekanisme
pertahanan imun, letaknya di antara membran epitel dan kartilago.
Pembesaran volume kelenjar mukus 50-100% berkaitan dengan batuk dan
produksi sputum berlebihan, dijumpai pada banyak pasien PPOK namun
tidak semua penderita PPOK mengalaminya. Selain kelenjar mukus,
sel-sel goblet penghasil mukus yang terdapat pada epitel saluran
napas pada setiap tingkatan juga dapat mengalami peningkatan pada
penderita PPOK. Metaplasia epitel dan hilangnya silia juga telah
ditemui.Mengenai apakah proporsi otot polos dan kartilago pada
penderita PPOK berubah belum diketahui dengan jelas. 2. Gangguan
Saluran Pernafasan Perifer Perubahan patologis di bagian perifer
pada PPOK cenderung multipel dan relatif tidak spesifik. Perubahan
awal pada perokok muda yang ditemui hanyalah kumpulan fokal
makrofag berpigmen kecoklatan pada bronkiolus proksimal. Pada
pasien yang lebih tua, pada dinding membran bronkiolus sering
ditemui inflamasi derajat rendah (neutrofil, makrofag, dan limfosit
tersebar). Perubahan lain meliputi fibrosis, metaplasia sel
skuamosa dan sel goblet, pembesaran otot polos dan agregasi mukus
dalam lumen. Sebagian besar patologi ini mungkin sekali berhubungan
langsung dengan efek toksik dari asap rokok. Dinding bronkiolus
pada PPOK juga menebal karena peningkatan massa epitel, otot polos,
dan jaringan ikat. Dinding saluran napas yang menebal ini
menyebabkan volume paru mengecil, sebab saluran napas perifer
memendek dan menyempit saat paru-paru mengempis (Stockley, 2007).
Perubahan-perubahan patologis yang ditemukan pada jalan nafas,
parenkim paru, dan vaskularisasinya ini mengakibatkan udara akan
terperangkap dan pembatasan aliran udara progresif yang menjadi
ciri khas PPOK (GOLD, 2013). 2.2.5. Gejala Klinis PPOK Pemahaman
akan bagaimana perubahan patologis yang terjadi menimbulkan
gejala-gejala yang dijumpai pada PPOK kini sudah jauh lebih baik
(GOLD, 2013). Gejala utama yang dijumpai pada PPOK adalah sesak
nafas dan batuk kronik berdahak. Gejala awal bersifat episodik dan
eksaserbasi akut ditandai dengan peningkatan produksi sputum dan
nanah. Kehadiran mengi tidak penting untuk diagnosis, dan sputum
tidak perlu purulen (Ali et all, 2010).
Pembatasan Aliran Udara & Terperangkapnya Udara Derajat
inflamasi, fibrosis, dan eksudat dalam lumen saluran nafas perifer
berkorelasi dengan penurunan VEP1 dan rasio VEP1/KVP, kemungkinan
juga berhubungan dengan penurunan VEP1 yang cepat, khas pada PPOK.
Obstruksi jalan nafas perifer dan adanya emfisema secara progresif
memerangkap udara saat ekspirasi, menimbulkan hiperinflasi.
Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi, dan meningkatkan
kapasitas residu fungsional, terutama saat latihan/ berolahraga
(hiperinflasi dinamis), menimbulkan sesak nafas dan terbatasnya
kapasitas latihan (GOLD, 2013). Bila obstruksi jalan nafas berat,
mungkin terlihat pemakaian oto-otot pernafasan tambahan. Suatu
studi bahkan mendemonstrasikan bahwa eksaserbasi memperberat
kelemahan otot. (Fishman et all, 2008). Beberapa mekanisme lain
yang dianggap berkontribusi pada obstruksi adalah fibrosis
peribronkiolus (obstruksi saluran udara yang lebih kecil) dan edema
mukosa (karena infiltrasi sel-sel inflamasi). Selain itu, semua
saluran udara juga menunjukkan berbagai derajat tonus otot polos
yang mungkin juga menjadi faktor dalam obstruksi. Obstruksi
terutama jelas terlihat saat ekspirasi karena volume paru semakin
kecil dan volume napas berkurang (Ali et all, 2010). Emfisema juga
menyebabkan hilangnya elastic recoil saluran nafas perifer,
sehingga kolpas saat ekspirasi (Bourke, 2003). Sesak nafas adalah
karena peningkatan aktivitas kemoreseptor yang disebabkan hipoksia
dan hiperkapnia (Booth dan Dudgeon, 2006).
Abnormalitas Pertukaran Gas Gangguan pertukaran gas menyebabkan
hipoksemia dan hiperkapnia. Secara garis besar, pertukaran gas
oksigen dan karbon dioksida semakin terganggu seiring progesivitas
penyakit. Ventilasi yang berkurang mungkin karena berkurangnya
ventilatory drive. Obstruksi, hiperinflasi, dan kelemahan otot
pernafasan mempersulit ventilasi dan akhirnya menimbulkan retensi
karbon dioksida. Ditambah dengan vaskularisasi yang menurun,
timbullah abnormalitas VA/Q (Rodrigues-Roisin R. et all, 2009 dalam
GOLD, 2013) Hipersekresi Mukus Hipersekresi mukus pada PPOK terjadi
sebagai akibat dari peningkatan jumlah sel goblet dan hipertropi
kelenjar submukosa pada proksimal jalan nafas (Seaton et all, 2000)
sebagai respon terharap zat iritan (GOLD, 2013). Hipersekresi
lendir bersamaan disfungsi silia menyebabkan batuk kronis produktif
yang sering menjadi tanda awal penyakit ini. Penumpukan lendir
dapat berperan dalam menyebabkan obstruksi jalan nafas, namun ini
hanya terjadi saat eksaserbasi akut (Ali et all, 2010). Sekresi
mukus berlebihan pada awalnya diduga berperan penting dalam
perkembangan obstruksi saluran pernapasan pada PPOK (Stockley,
2007). Namun pada kenyataanya tidak semua penderita PPOK
mengalaminya. Hipertensi Pulmonal Terjadi disebabkan terutama oleh
vasokontriksi pembuluh darah kecil pada paru karena hipoksia, yang
akhirnya menyebabkan perubahan struktural seperti yang sudah
dijelaskan pada bagian patogenesis. Hipertensi pulmonal yang
progresif dapat menyebabkan hipertropi ventrikel kanan dan gagal
jantung kanan (cor pulmonal). Eksaserbasi Eksaserbasi biasanya
dipicu suatu infeksi (bakteri dan atau virus), polutan lingkungan,
ataupun faktor lain yang tidak diektahui. Bila penyebabnya infeksi
maka inflamasi akan meningkat. Saat eksaserbasi terjadi peningkatan
hiperinflasi dan udara yang terperangkap semakin banyak, dengan
berkurangnya aliran udara keluar, memperberat sesak nafas
(dispnoe). Kondisi lain yang dapat menyertai (pneumonia,
tromboemboli, dan gagal jantung akut) dapat terlihat seperi ataupun
memperberat eksaserbasi PPOK. Gejala Sistemik Hiperinflasi dan
pembatasan aliran udara secara tidak langsung mempengaruhi fungsi
jantung dan pertukaran gas. Mediator-mediator inflamasi di
sirkulasi mungkin berkontribusi dalam menurunnya massa otot skelet
(skeletal muscle wasting) dan kaheksia (penurunan berat bedan
sekunder) yang akan memperberat komorbiditas seperti penyakit
jantung iskemik, gagal jantung, osteoporosis, anemia normositik,
sindroma metabolik, dan depresi (GOLD, 2013). Penurunan hormon
pertumbuhan, testosteron, dan insulin juga berkontribusi
menyebabkan keadaam katabolik (Harding et all, 2004). Sebagai
penyakit yang berkembang progresif, ada peningkatan frekuensi
eksaserbasi, yang meliputi peningkatan batuk, hipoksemia, sputum
purulen, dan dispnoe. Bila penyakit berat, hipoksemia kronis dan
hiperkapnia juga dapat terjadi. Kondisi ini dapat menyebabkan
eritrositosis, sakit kepala pagi hari (dari hiperkapnia), cor
pulmonal, edema ekstremitas yang lebih rendah, dan penurunan berat
badan sekunder karen peningkatan beban kerja pernapasan (Ali et
all, 2010). Patofisiologi PPOK dikaitkan dengan sirkulasi berbagai
mediator yang berpotensi merugikan, dikombinasikan dengan sering
terjadinya hipoksia dan malnutrisi, berakibat pada proses penyakit
sistemik yang ditandai dengan hipermetabolisme, miopati otot
rangka, dan kejiwaan gangguan, bersama dengan penyakit jantung dan
ginjal (Ali et all, 2010).
2.2.6. Diagnosis PPOK Prevalensi PPOK diduga jauh dari kenyataan
akan dampak yang sebenarnya pada masyarakat. Luputnya diagnosis
umum terjadi karena pasien jarang memeriksakan dirinya hingga
fungsi paru sudah sangat menurun dan aktivitasnya terbatas sehingga
mengganggu kehidupan sehari-harinya (Mintz, 2006) ataupun setelah
suatu episode eksaserbasi akut telah terjadi (GOLD, 2013). Hal ini
karena cadangan fisiologis sistem pernafasan besar sehingga masih
ada kompensasi pada tahap awal penyakit (Ali et all, 2010).
Diagnosis klinis harus dipertimbangkan pada pasien dengan sesak
nafas, batuk kronis atau batuk berdahak, dan pasien dengan riwayat
paparan faktor risiko (GOLD, 2013). Pemeriksaan juga harus
dilakukan pada mereka dengan emfisema onset dini, pada mereka
dengan PPOK tanpa faktor risiko dikenali, dan pada saudara kandung
dari penderita (Ali et all, 2010).Tabel 2.1 Indikator Kunci dalam
Pertimbangan Diagnosa PPOK (GOLD, 2013)
Pertimbangkan kemungkinan PPOK dan lakukan pemeriksaan
spirometri bila dijumpai indikator kunci berikut pada individu
berusia 40 tahun.
Sesak nafas Progresif, memberat dengan olahraga, persisten
Batuk kronik Dapat terjadi intermiten dan dapat pula tidak
produktif
Produksi sputum kronik Produksi sputum kronik dengan pola apapun
dapat menandakan PPOK
Riwayat pajanan faktor risiko Asap rokok, asap dari aktivitas
memasak dalam rumah tangga, mesin pemanas, debu di lingkungan
kerja, dan zat-zat kimia.
Adanya riwayat PPOK dalam keluarga
Anamnesis Dari anamnesis akan diketahui perkembangan dan
gejala-gejala yang dijumpai. Sesak Nafas. Sesak nafas yang
berkembang perlahan (Bourke, 2003) ialah gejala kardinal PPOK, juga
penyebab disablitilas dan keresahan utama (GOLD, 2013). Pasien
biasanya mengeluhkan sesak nafas sebagai kesulitan bernafas, dada
terasa berat, air hunger, atau tergagap saat bernafas, adanya
pursed lip breathing (Fishman et all, 2008) karena pasien berusaha
mempertahankan patensi jalan nafas (Wilkins et all, 2007).
Batuk. Batuk kronik biasanya dianggap semata-mata akibat merokok
dan/atau paparan polusi. Awalnya batuk hanya kadang-kadang, hingga
kemudian berlangsung setiap hari, bahkan sering sepanjang
hari.Batuk kronik dapat berlangsung tanpa produksi sputum. Pada
beberapa kasus, pembatasan aliran udara yang siknifikan dapat
terjadi tanpa adanya batuk.
Tabel 2.2 Diagnosa Banding Batuk Kronik
Intratorakal : PPOK, asma, kanker paru, tuberkulosis,
bronkiektasis, gagal jantung kiri, penyakit paru interstitium,
cystic fibrosis, idiopatik
Ekstratorakal : rinitis alergi kronik, Upper Airway Cough
Syndrome (UACS), refluks gastroesofageal, obat-obatan (mis: ACE
Inhibitor)
Produksi Sputum Produksi sputum umumnya bermula setelah batuk
berlangsung selama waktu tertentu. Produksi sputum pada bronkitis
kronis adalah selama 3 bulan selama dua tahun berturut-turut (tanpa
penyebab lain yang dapat menjelaskannya). Sputum yang purulen
mengindikasikan peningkatan mediator-mediator inflamasi dan
perkembangannya mungkin menandakan onset eksaserbasi. Namun pada
penderita PPOK produksi sputum sulit untuk dievaluasi karena pasien
cenderung menelan sputum dan bukannya mengeluarkannya. Mengi dan
Chest TightnessKedua gejala ini tidak spesifik pada PPOK (tidak
harus dijumpai) dan bervariasi dalam keseharian. Mengi terdengar
pada laring dan tidak harus disertai abnormalitas lain saat
auskultasi. Mengi dapat terdengar saat inspirasi maupun ekspirasi,
namun biasanya lebih jelas saat inspirasi (Bourke, 2003). Sementara
itu rasa berat di dada biasanya setelah suatu aktivitas fisik yang
berat, lokalisasinya tidak jelas, dan kemungkinan terjadi akibat
kontraksi isometrik otot-otot interkostal. Gejala lain Rasa lelah,
penurunan berat badan, dan anoreksia umum dijumpai pada PPOK yang
berat dan sangat berat. Gejala mempengaruhi prognosis dan bisa juga
menandakan adanya penyakit lain (misalnya tuberkulosis, kanker
paru). Pembengkakan lutut dapat merupakan satu-satunya penunjuk
simptomatik cor pulmonal. Adanya depresi dan kerisauan berhubungan
dengan peningkatan risiko eksaserbasi dan status kesehatan yang
lebih jelek.
Riwayat KesehatanPerlu diketahui mengenai paparan faktor risiko,
adakah kebiasaan merokok, lingkungan kerja, riwayat penyakit
terdahulu (asma, alergi, sinusitis, polip nasal, infeksi paru pada
masa kanak-kanak, ataupun penyakit pernafasan lain), riwayat PPOK
dalam keluarga, pola perkembangan gejala, riwayat eksaserbasi,
riwayat rawat inap akibat masalah pernafasan, adanya komorbiditas
(penyakit jantung, osteoporosis, gangguan muskuloskeletal,
keganasan), dampak PPOK terhadap kehidupan pasien (keterbatasan
aktivitas, beban ekonomi, efek terhadap rutinitas dalam keluarga,
kecemasan atau depresi, aktivitas seksual), dukungan sosial dan
keluarga terhadap pasien.
Pemeriksaan Fisik Penemuan pada pemeriksaan fisik dada adalah
adanya obstruksi jalan nafas dan udara yang terperangkap. Penurunan
suara nafas pada auskultasi yang disebabkan emfisema (Wilkins et
all, 2007), mengi, dan bunyi jantung terdengar jauh, umum dijumpai
pada pasien PPOK. Jika sangat parah, pasien mungkin menggunakan
otot-otot bantuan respirasi dan mengerutkan bibir untuk
meningkatkan efisiensi pernapasan. Sianosis juga dapat dijumpai
(Ali et all, 2010). Tanda-tanda fisik PPOK biasanya hanya terlihat
ketika gangguan fungsi paru sudah berat, dan nilai sensitivitas dan
spesifisitas deteksi melalui pemeriksaan fisik tergolong rendah
(GOLD, 2013).
Pemeriksaan Tambahan Foto Polos Toraks Terlihat gambaran
hiperinflasi dengan diafragma yang datar, pemanjangan siluet
jantung, udara retrosternal meningkat dan tampilan hiperlusen. Jika
ada, bula tampak sebagai daerah radiolusen dengan berbagai ukuran
dan dikelilingi oleh garis tipis (Ali et all, 2010). Foto polos
toraks juga berguna dalam mengeksklusikan diagnosa alternatif lain
dan menilai adanya komorbiditas (GOLD, 2013). Tes Fungsi Paru
(Spirometri) Tes fungsi paru diperlukan untuk diagnosis dan
penilaian keparahan penyakit. Diagnosis PPOK membutuhkan nilai
perbandingan VEP1 : KVP setelah pemberian bronkodilator. Rasio