BAB 1 PENDAHULUAN Kegawatdaruratan secara umum dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang dinilai sebagai ketergantungan seseorang dalam menerima tindakan medis atau evaluasi tindakan operasi dengan segera. Berdasarkan definisi tersebut the American College of Emergency Physicians states dalam melakukan penatalaksanaan kegawatdaruratan memiliki prinsip awal, dalam mengevaluasi, melaksanakan, dan menyediakan terapi pada pasien-pasien dengan trauma yang tidak dapat di duga sebelumnya serta penyakit lainnya. 1 Perbaikan pada saat pra rumah sakit dan perawatan gawat darurat dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien. 2 Penilaian awal pada pasien-pasien trauma dapat dibedakan menjadi penilaian primer (primary survey), penilaian sekunder (secondary survey), dan penilaian tersier (tertiary survey). Penilaian primer dilakukan dalam 2-5 menit yang memuat ABCDE: airway, breathing, circulation, disability, dan exposure. 3 Pasien yang mengalami trauma berat, harus dicurigai memiliki trauma pada abdomen hingga dibuktikan sebaliknya. Sebanyak 20% pasien dengan luka intraabdomen tidak memiliki rasa sakit atau tanda-tanda iritasi peritoneal (muscle guarding, nyeri ketuk, ataupun 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 1
PENDAHULUAN
Kegawatdaruratan secara umum dapat diartikan sebagai suatu keadaan
yang dinilai sebagai ketergantungan seseorang dalam menerima tindakan medis
atau evaluasi tindakan operasi dengan segera. Berdasarkan definisi tersebut the
American College of Emergency Physicians states dalam melakukan
penatalaksanaan kegawatdaruratan memiliki prinsip awal, dalam mengevaluasi,
melaksanakan, dan menyediakan terapi pada pasien-pasien dengan trauma yang
tidak dapat di duga sebelumnya serta penyakit lainnya.1
Perbaikan pada saat pra rumah sakit dan perawatan gawat darurat dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien.2 Penilaian awal pada pasien-pasien
trauma dapat dibedakan menjadi penilaian primer (primary survey), penilaian
sekunder (secondary survey), dan penilaian tersier (tertiary survey). Penilaian
primer dilakukan dalam 2-5 menit yang memuat ABCDE: airway, breathing,
circulation, disability, dan exposure. 3
Pasien yang mengalami trauma berat, harus dicurigai memiliki trauma
pada abdomen hingga dibuktikan sebaliknya. Sebanyak 20% pasien dengan luka
intraabdomen tidak memiliki rasa sakit atau tanda-tanda iritasi peritoneal (muscle
guarding, nyeri ketuk, ataupun ileus) pada pemeriksaan pertama. Trauma
abdomen sering dibedakan menjadi luka tembus (luka tembak dan luka tusuk) dan
tidak tembus (deselerasi, tabrakan, dan luka kompresi). Trauma tumpul abdomen
merupakan penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas dalam trauma, dan
menjadi penyebab utama pada luka intraabdomen.
Trauma abdomen yang berhubungan dengan kendaraan menjadi penyebab
utama dari trauma tumpul abdomen. Kendaraan-kendaraan dan kendaraan-pejalan
kaki dilaporkan menjadi penyebab sekitar 50-75% kasus. Penyebab yang sering
lainnya adalah jatuh, kecelakaan di tempat kerja, maupun kecelakaan sewaktu
rekreasi. Selain itu, penyebab yang agak jarang terjadi adalah iatrogenik sewaktu
resusitasi kardiopulmonal serta manuver Heimlich.
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penilaian Awal
Penilaian awal pada pasien-pasien trauma dapat dibedakan menjadi
penilaian primer (primary survey), penilaian sekunder (secondary survey), dan
penilaian tersier (tertiary survey). Penilaian primer dilakukan dalam 2-5 menit
yang memuat ABCDE: airway, breathing, circulation, disability, dan exposure.
Apabila fungsi dari tiga sistem pertama mengalami gangguan, resusitasi harus
segera dilakukan. Meskipun terdapat urutan ABCDE, tetapi penilaian ini harus
dilakukan secara simultan. Kemudian, monitoring dasar perlu dilakukan, termasuk
elektrokardiograf (EKG), pengukuran tekanan darah, serta saturasi O2. Setelah
dilakukan penilaian primer, maka dilanjutkan penilaian sekunder, kemudian
penilaian tersier.
2.1.1. Primary Survey
1. Airway
Stabilisasi dan mempertahankan jalan napas selalu menjadi prioritas
utama. Apabila pasien dapat berbicara, maka jalan napas biasanya bebas, tetapi
pada pasien yang tidak sadar, maka perlu dipastikan jalan napasnya. Tanda-tanda
yang penting pada obstruksi jalan napas meliputi snoring, gurgling, stridor, dan
gerakan dada yang paradoks. Adanya benda asing perlu dipikirkan pada pasien-
pasien yang tidak sadar. Penanganan jalan napas lanjutan (intubasi endotrakeal,
krikotiroidotomi, serta trakeostomi) diindikasikan apabila terdapat apnu, obstruksi
yang persisten, luka kepala berat, trauma maksilofasial, luka tembus di leher, atau
luka pada dada yang hebat.
Selain jalan napas, pada airway, perlu diperhatikan tentang kemungkinan
luka pada servikal. Terdapat lima kriteria yang meningkatkan kecurigaan akan
adanya fraktur servikal: (1) nyeri di leher, (2) nyeri hebat di tempat lain, (3) tanda
atau gejala neurologis, (4) intoksikasi, dan (5) hilangnya kesadaran di tempat
kejadian. Fraktur servikal harus dicurigai apabila terdapat salah satu dari kriteria
2
tersebut, meskipun tidak terdapat luka pada daerah di atas klavikula. Untuk
manuver yang aman dilakukan adalah dengan menggunakan manuver jaw-thrust
untuk mencegah hiperekstensi leher. Pasien-pasien yang tidak sadar disertai
dengan trauma berat, maka harus dipikirkan risiko terjadinya aspirasi, sehingga
jalan napas harus segera diamankan dengan menggunakan bantuan ETT maupun
trakeostomi.
Trauma pada daerah laring akan memperberat keadaan. Luka terbuka bisa
berhubungan dengan perdarahan dari pembuluh darah besar di daerah leher,
obstruksi dari hematoma maupun edema, emfisema subkutis, dan luka servikal.
Trauma laring tertutup lebih tidak jelas, tetapi dapat ditandai dengan adanya
krepitasi pada daerah leher, hematoma, disfagia, hemoptisis, atau kesulitan
berbicara. Apabila sulit untuk dilakukan ETT, maka trakeostomi dapat
dipertimbangkan.
2. Breathing
Penilaian tentang ventilasi akan paling baik dilakukan dengan pendekatan
look, listen, and feel. Look, lihat tanda-tanda sianosis, penggunaan otot bantu
pernapasan, ketinggalan bernapas, atau luka tembus di dada. Listen, dengar ada
atau tidaknya suara napas. Feel, untuk emfisema subkutis, pendorongan trakea,
maupun fraktur iga. Klinisi wajib memiliki kecurigaan yang besar terhadap
adanya pneumotoraks tension dan hemotoraks, terutama pada pasien-pasien
dengan distres nafas. Drainase pleura mungkin diperlukan sebelum rontgen dada
bisa didapatkan.
Sebagian besar pasien-pasien yang mengancam nyawa memerlukan
bantuan (atau kontrol) nafas. Bag-valve devices akan menyediakan ventilasi yang
adekuat segera setelah intubasi dan saat transportasi pasien. Penilaian tentang
analisa gas darah arteri (AGDA) diperlukan untuk menilai konsentrasi oksigen
yang dikirimkan ke jaringan.
3. Circulation
Penilaian untuk sirkulasi berdasarkan pada denyut nadi, tekanan/volume,
tekanan darah, dan tanda-tanda dari perfusi jaringan. Tanda-tanda yang bisa
dijumpai apabila terdapat sirkulasi yang tidak adekuat, antara lain: takikardi,
3
pulsasi nadi yang lemah hingga tidak teraba, hipotensi, serta ekstremitas yang
pucat, dingin, atau sianosis. Prioritas utama untuk mengembalikan sirkulasi yang
adekuat adalah dengan menghentikan perdarahan; kedua adalah dengan
menggantikan volume intravaskular. Henti jantung selama transportasi ke rumah
sakit atau segera setelah luka tembus maupun tumpul pada toraks merupakan
suatu indikasi torakotomi emergensi.
Untuk kontrol perdarahan, harus diketahui asal perdarahan, kemudian
lakukan tekanan di daerah luka tersebut. Luka pada daerah ekstremitas biasanya
dapat dengan mudah dikontrol dengan melakukan penekanan. Pada pasien-pasien
dengan trauma berat, maka perlu dipikirkan tentang syok. Syok yang sering
terjadi pada pasien trauma adalah syok hipovolemik. Respon fisiologis yang dapat
terjadi adalah takikardi, perfusi jaringan yang kurang, dan penurunan dari tekanan
nadi, hipotensi, takipnu, serta delirium. Hematokrit dan hemoglobin bukanlah
menjadi tolok ukur utama untung menggambarkan jumlah perdarahan akut. Pada
pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil seperti ini, perlu dipertimbangkan
monitoring tekanan darah arteri secara invasif. Pada hipovolemia berat, maka
denyut nadi dapat terasa hilang saat fase inspirasi.
Untuk kepentingan resusitasi dan cairan, maka diperlukan IV-kateter
nomor besar (14-16 G) pada vena yang mudah didapatkan. Meskipun terbukti
bahwa pemasangan jalur sentral akan memberikan informasi yang penting terkait
status volume pada pasien, mereka akan sangat memakan waktu dan memiliki
risiko komplikasi yang mengancam nyawa (pneumotoraks), sehingga jalur perifer
menjadi pilihan utama untuk resusitasi awal.
Untuk pemilihan cairan, kristaloid adalah cairan yang tersedia dengan
cepat dan lebih murah. Resusitasi memerlukan jumlah yang lebih banyak, karena
sebagian besar dari cairan kristaloid tidak bertahan lama di dalam kompartemen
intravaskular. Koloid jauh lebih mahal dibandingkan dengan kristaloid, tetapi
lebih efektif dan lebih cepat dalam mengembalikan volume intravaskular. Akan
tetapi, defisit cairan interstisial terkait dengan syok hipovolemik lebih baik
diberikan cairan kristaloid, atau kombinasi antara koloid dan kristaloid.
4
Sedangkan untuk darah, akan cukup memakan waktu untuk cross-match, yakni
sekitar 45-60 menit, sehingga bukan menjadi pilihan utama.
4. Disability
Evaluasi untuk disabilitas memerlukan penilaian neurologis yang cepat.
Karena tidak ada waktu untuk menggunakan sistem GCS, maka sistem AVPU
lebih digunakan, yaitu: Awake, Verbal response, Painful response, Unresponsive.
5. Exposure
Buka pakaian pasien untuk memeriksa luka yang terdapat pada tubuhnya.
In-line immobilization harus digunakan jika terdapat kecurigaan adanya luka pada
tulang belakang.
2.1.2. Secondary Survey
Penilaian sekunder hanya dilakukan apabila ABC sudah dalam kondisi
stabil. Pada penilaian sekunder, pasien diperiksa dari ujung kepala hingga ujung
kaki (head-to-toe examination) dan pemeriksaan lainnya dilakukan (radiografi,
laboratorium, prosedur diagnostik lainnya). Pemeriksaan kepala meliputi luka
pada kulit kepala, mata, dan telinga. Pemeriksaan neurologis meliputi GCS dan
evaluasi dari fungsi motorik dan sensorik termasuk refleks-refleks. Pupil yang
berdilatasi maksimal tidak selamanya menandakan kerusakan otak yang
ireversibel. Pemeriksaan dada, lakukan auskultasi dan inspeksi kembali untuk
melihat fraktur maupun fungsi dari pernapasannya (ketinggalan bernapas).
Hilangnya suara napas dapat dicurigai adanya suatu pneumotoraks yang perlu
dilakukan pemasangan chest tube. Hal yang serupa, suara jantung yang menjauh,
tekanan nadi yang sempit (narrow pulse pressure), serta vena leher yang distensi
dapat menunjukkan adanya tamponade jantung, yang perlu dilakukan
perikardiosentesis. Pemeriksaan abdomen meliputi inspeksi, auskultasi, serta
palpasi. Pemeriksaan ekstremitas meliputi fraktur, dislokasi, dan pulsasi perifer.
Pemasangan kateter serta NGT juga dilakukan.
Analisis dasar laboratorium termasuk darah lengkap, elektrolit, gula darah,
blood urea nitrogen (BUN), serta kreatinin. AGDA juga sangat membantu. Foto
5
toraks harus segera dilakukan pada semua pasien dengan trauma hebat.
Kecurigaan adanya fraktur servikal harus dievaluasi dengan memeriksakan
ketujuh vertebra servikalis. Pemeriksaan lainnya berupa FAST dapat dilakukan
untuk menilai adanya perdarahan intraperitoneal maupun tamponade jantung.
2.1.3. Tertiary Survey
Beberapa pusat menyarankan adanya penilaian tersier untuk mencegah
adanya luka yang terlewatkan. Sekitar 2-50 % dari luka trauma dapat terlewatkan
di penilaian primer dan sekunder, terutama pada trauma multipel. Hal ini dapat
dilakukan dalam 24 jam pertama. Evaluasi yang lebih lama ini dapat
menyebabkan pasien menjadi lebih sadar, sehingga dapat berkomunikasi dengan
lebih baik, memberikan informasi yang lebih detail tentang mekanisme injuri,
serta penyakit-penyakit penyerta.
2.2. Trauma Abdomen
Pasien yang mengalami trauma berat, harus dicurigai memiliki trauma
pada abdomen hingga dibuktikan sebaliknya. Sebanyak 20% pasien dengan luka
intraabdomen tidak memiliki rasa sakit atau tanda-tanda iritasi peritoneal (muscle
guarding, nyeri ketuk, ataupun ileus) pada pemeriksaan pertama. Jumlah darah
yang banyak (hemoperitoneum akut) dapat dijumpai di abdomen (luka di hepar
maupun limpa) dengan tanda yang minimal. Trauma abdomen sering dibedakan
menjadi luka tembus (luka tembak dan luka tusuk) dan tidak tembus (deselerasi,
tabrakan, dan luka kompresi).
Luka tembus abdomen biasanya jelas dengan luka masuk pada abdomen
maupun di toraks bagian bawah. Organ yang paling sering terkena adalah hepar.
Pasien dapat dikelompokkan menjadi tiga subgrup: (1) pulseless, (2)
hemodinamik yang tidak stabil, serta (3) stabil. Pulseless dan hemodinamik yang
tidak stabil (yang tidak dapat mempertahankan tekanan darah sistolik di atas 80-
90 mmHg) dengan resusitasi 1-2 Liter harus segera dilakukan laparotomi.
Biasanya terdapat pembuluh darah besar atau organ padat yang terkena luka.
6
Pasien stabil dengan tanda-tanda peritonitis atau eviserasi harus dilakukan
laparotomi sesegera mungkin. Tanda yang jelas dari adanya injuri intraabdomen
adalah adanya free air di bawah diafragma pada foto toraks, darah dari NGT,
hematuria, serta darah dari rektum. Evaluasi lanjutan pada pasien dengan
hemodinamik stabil termasuk pemeriksaan fisik serial, eksplorasi luka, diagnostic
peritoneal lavage (DPL), FAST scan, CT-Scan abdomen, atau laparoskopi
diagnostik. Penggunaan FAST dan CT-Scan abdomen telah menurunkan
kebutuhan dari DPL.
Trauma tumpul abdomen merupakan penyebab utama dari morbiditas dan
mortalitas dalam trauma, dan menjadi penyebab utama pada luka intraabdomen.
Robekan atau ruptur pada limpa merupakan yang paling sering terjadi. Hasil
FAST scan yang positif pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil
merupakan suatu indikasi untuk dilakukan operasi segera.
Hipotensi sering kali terjadi saat pertama kali membuka abdomen, karena
efek tamponade dari darah di rongga abdomen (serta distensi usus) hilang secara
tiba-tiba. Saat diperlukan, siapkan cairan dan darah untuk resusitasi dengan infus
cepat. Penggunaan nitrous oxide dihindarkan untuk mencegah semakin buruknya
distensi usus. NGT akan membantu mencegah dilatasi dari lambung, dan harus
dimasukkan per oral apabila terdapat fraktur basis kranii. Transfusi darah yang
masif harus diantisipasi, terutama bila trauma abdomen mengenai pembuluh darah
besar, hepar, limpa, atau ginjal.
2.3. Trauma Tumpul Abdomen
2.3.1. Etiologi
Trauma abdomen yang berhubungan dengan kendaraan menjadi penyebab
utama dari trauma tumpul abdomen. Kendaraan-kendaraan dan kendaraan-pejalan
kaki dilaporkan menjadi penyebab sekitar 50-75% kasus. Penyebab yang sering
lainnya adalah jatuh, kecelakaan di tempat kerja, maupun kecelakaan sewaktu
rekreasi. Selain itu, penyebab yang agak jarang terjadi adalah iatrogenik sewaktu
resusitasi kardiopulmonal serta manuver Heimlich.
7
2.3.2. Patofisiologi
Luka intraabdomen sekunder terjadi akibat tabrakan antara pasien dan
lingkungan luar serta gaya akselerasi dan deselerasi yang bekerja pada organ
internal. Mekanisme trauma yang terjadi dapat dijelaskan dalam tiga mekanisme.
Mekanisme pertama adalah deselerasi. Deselerasi yang terjadi secara cepat
akan menyebabkan perubahan dalam struktur yang berdekatan. Sebagai akibatnya,
akan terjadi gaya gesek sehingga organ berongga, organ padat, pembuluh darah
bisa robek, terutama pada posisi-posisi yang relatif terfiksasi dengan kuat. Sebagai
contoh, aorta distal terfiksasi ke torakalis dan akan berdeselerasi lebih cepat
dibandingkan lengkung aorta yang cenderung mobile. Sebagai hasil, gaya gesek
ini akan menyebabkan aorta menjadi robek.
Mekanisme kedua melibatkan penekanan. Isi dalam rongga intraabdomen
akan tertekan antara dinding abdomen anterior dan kolumna vertebra. Hal ini akan
menyebabkan crushing effect, menyebabkan organ-organ padat (limpa, hepar, dan
ginjal) menjadi lebih rentan.
Mekanisme ketiga yang dapat terjadi adalah kompresi eksternal, apakah
dari efek pukulan secara langsung atau dari kompresi terhadap objek-objek yang
terfiksasi (sabuk pengaman, kolumna spinalis). Gaya kompresi ini akan
menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen secara tiba-tiba dan akan
menyebabkan ruptur dari organ berongga.
2.3.3. Manifestasi Klinis
Penilaian awal dari trauma tumpul abdomen sering kali agak sulit
dilakukan, dan cenderung tidak akurat. Beberapa tanda dan gejala yang harus
diperhatikan adalah: nyeri, perdarahan dari saluran pencernaan, hipovolemia, serta
bukti adanya iritasi peritoneal.
Kemudian, pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai adanya pola-pola
trauma yang bisa memprediksikan adanya trauma intraabdomen, antara lain: tanda
sabuk pengaman, tanda dari kemudi mobil, ekimosis di daerah pinggang atau
umbilikus, distensi abdomen, auskultasi dari suara usus di daerah toraks
(menggambarkan trauma diafragma), dan lain-lain.
8
Harus ditanyakan tentang riwayat pada pasien, yang dapat disingkat
menjadi AMPLE (Allergies, Medications, Past medical history, Last meal, Events
leading to presentation).
2.3.4. Diagnosis
Terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis
trauma tumpul abdomen, antara lain dengan diagnostic peritoneal lavage (DPL),
Focused Assesment with Sonography for Trauma (FAST), serta dengan CT-scan.
DPL dapat diindikasikan pada pasien-pasien dengan: trauma pada tulang
belakang, luka multipel dan syok yang tidak dapat dijelaskan, serta pasien yang
dicurigai trauma abdomen.
FAST merupakan USG yang cepat, portabel, tidak invasif, dan akurat
untuk mendeteksi adanya hemoperitoneum. Protokol pemeriksaan FAST terkini
mencakup 4 jendela pemeriksaan (perikardiak, perihepatik, perilimpa, serta
pelvik) dengan pasien dalam posisi supine. Pemeriksaan dikatakan positif apabila
dijumpai adanya cairan di salah satu dari empat jendela pemeriksaan tersebut.
Negatif jika tidak dijumpai adanya cairan, dan indeterminate jika salah satu dari
jendela pemeriksaan tidak bisa dinilai secara adekuat.
CT-scan merupakan standar yang digunakan untuk mendeteksi adanya
luka pada organ padat. CT-scan juga menyediakan gambaran yang sangat baik
untuk pankreas, duodenum, dan sistem genitourinari. Serta, tidak seperti DPL dan
FAST, CT-scan dapat mendeteksi sumber perdarahan.
2.3.5. Prognosis
Secara keseluruhan, prognosis pasien dengan trauma tumpul abdomen
cukup baik. Angka mortalitas pada pasien-pasien yang dirawat sekitar 5-10%.
Sedangkan pada pasien anak, National Pediatric Trauma Registry melaporkan
sekitar 9% pasien anak meninggal akibat trauma tumpul abdomen. Suatu ulasan
dari Australia melaporkan bahwa sekitar 85% dari pasien dengan trauma tumpul
abdomen terjadi akibat kecelakaan dengan angka mortalitas sekitar 6%.
9
BAB IIILAPORAN KASUS
Tanggal Masuk 12 Agustus 2014Waktu 16.20Nama RNR.M. 00.61.22.59
3.1.1. Anamnesis
Identitas Pribadi
Nama : RN
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 22 tahun
Suku Bangsa : Batak
Agama : Kristen
Alamat : Jalan Sigalingging Parbuuan IV Kec Parbuluan
Status : Belum Menikah
Pekerjaan : Tidak bekerja
Tanggal Masuk : 12 Agustus 2014
3.1.2. Riwayat Perjalanan Penyakit
Jenis Kelamin, Umur, Berat Badan : Perempuan, 22 tahun, 50 kg
Keadaan Umum : Nyeri seluruh lapangan perut
Telaah :Hal ini dialami pasien sejak 1
minggu ini akibat terbentur stang kereta pasien karna terjatuh ke dalam
selokan, pasien sebelumnya dirawat dirumah skait daerah selama 5 hari
Mual (+), muntah (-). BAK (+), BAB berdarah(-). Buang angin (-).
Penurunan berat badan drastis (-), Riw. BAB seperti kotoran kambing (-),
sebelumnya Pasien sebelumnya berobat ke RS swasta.
10
Riwayat Penyakit Terdahulu : -.
Riwayat Penggunaan Obat : -.
3.2. Patient Assessment
1. Primary Survey
Sign Diagnosis Treatment Hasil WaktuAirway
Clear O2 2 L/iJalan Nafas
Aman16.20
Look : Obstruksi (-), debris (-)Listen : Snoring (-), Gurgling (-), crowing (-) Feel : gerakan udara (+)
Breathing
Adekuat -Sat O2 :
99%RR : 32 x/i
16.21Look : gerakan dinding dada (+)Listen : aus. vesikuler (+), Suara Tambahan (-)Feel : hipersonor (-), hiposonor (-)