Top Banner

of 97

Lakip Yanfar 2013 (1)

Oct 06, 2015

Download

Documents

herisuko

Lakip Yanfar 2013 (1)
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA

    DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN

    TAHUN 2013

    DIREKTORAT JENDRAL

    BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN

    DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

    KEMENTERIAN KESEHATAN RI

    2013

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANG

    Arah Pembangunan Kesehatan adalah untuk meningkatkan

    kesejahteraan rakyat yang dicapai melalui peningkatan kualitas pelayanan

    kesehatan. Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, salah satunya

    melalui peningkatan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan yang

    berkualitas termasuk layanan kefarmasian.

    Pelayanan kefarmasian merupakan salah satu pilar dari 3 (tiga) pilar

    pelayanan kesehatan, yaitu pelayanan medik, pelayanan keperawatan dan

    pelayanan kefarmasian, sehingga pelayanan kefarmasian yang efektif dan

    efisien sangat diperlukan dalam peningkatan akses dan mutu pelayanan

    kesehatan. Pelayanan kefarmasian mencakup empat elemen yaitu promosi

    kesehatan dan pencegahan penyakit untuk mencapai tujuan di bidang

    kesehatan, suplai dan penggunaan obat, advokasi dan/atau suplai obat

    untuk pengobatan sendiri (self care), serta peningkatan penggunaan obat

    yang rasional.

    Peran bidang kefarmasian dalam reformasi kesehatan masyarakat

    sangat penting dalam penentuan strategi tindakan pencarian pelayanan

    kesehatan yang memadai, termasuk penggunaan obat yang rasional dan

    efisiensi pembiayaan obat serta akses dan informasi obat. Sasaran

    kegiatan Peningkatan Pelayanan Kefarmasian pada Program Kefarmasian

    dan Alat Kesehatan adalah Meningkatnya Penggunaan Obat Rasional

    melalui pelayanan kefarmasian yang berkualitas untuk tercapainya

    pelayanan kesehatan yang optimal.

    Untuk mewujudkan Sistem Kepemerintahan yang Baik (good

    governance) dan berkembangnya tuntutan masyarakat terhadap informasi

  • hasil atau manfaat dari barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah

    dari penggunaan data publik maka berkembang Sistem Akuntabilitas

    Instansi Pemerintah agar terwujud sistem manajemen kinerja yang

    menghasilkan kinerja yang berorientasi pada hasil (outcome) secara

    transparan dan akuntabel.

    Intruksi Presiden Nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja

    Instansi pemerintah, mewajibkan setiap instansi pemerintah sebagai unsur

    penyelenggara pemerintah negara untuk mempertanggungjawabkan

    pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya serta kewenangan pengelolaan

    sumberdaya, pelaksanaan kebikjakan, dan program dengan menyusun

    laporan akuntabilitas melalui proses penyusunan rencana stratejik, rencana

    kerja dan pengukuran kinerja.

    Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah adalah perwujudan

    kewajibaban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan

    keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam memcapai

    sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan melalui sitem

    pertanggungjawaban secara priodik.

    Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah ini disusun

    berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Kementerian Pendayagunaan

    Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi melalui PerMenPAN dan RB

    nomor 29 tahun 2010, yang telah dijabarkan dalam Petunjuk Pelaksanaan

    Penetapan Kinerja dan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

    Kementerian Kesehatan RI melalui Permenkes Nomor

    2416/Menkes/Per/XII/2011.

  • B. MAKSUD DAN TUJUAN

    Maksud dan tujuan menyusun Laporan Akuntabilitas Kinerja

    Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian adalah sebagai berikut:

    1. Bahan evaluasi akuntabilitas kinerja bagi pihak yang membutuhkan.

    2. Penyempurnaan dokumen perencanaan periode yang akan datang.

    3. Penyempurnaan pelaksanaan program dan kegiatan yang akan datang.

    4. Penyempurnaan berbagai kebijakan yang diperlukan.

    C. TUGAS POKOK, FUNGSI DAN SUSUNAN ORGANISASI

    Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

    1144/Menkes/Per/VIII/2010 tanggal 19 Agustus 2010 tentang Organisasi

    dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Bina

    Pelayanan Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan

    perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar,

    prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di

    bidang pelayanan kefarmasian.

    Dalam rangka melaksanakan tugas tersebut Direktorat Bina Pelayanan

    Kefarmasian menyelenggarakan fungsi :

    1. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi

    komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional;

    2. Pelaksanaan kegiatan di bidang standardisasi, farmasi komunitas,

    farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional;

    3. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang

    standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat

    rasional;

    4. Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang standardisasi, farmasi

    komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional;

  • 5. Pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan

    di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan

    penggunaan obat rasional; dan

    6. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat.

    Susunan Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian terdiri dari :

    1. Subdirektorat Standardisasi

    2. Subdirektorat Farmasi Komunitas

    3. Subdirektorat Farmasi Klinik

    4. Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional

    5. Subbagian Tata Usaha

    6. Kelompok Jabatan Fungsional.

    D. SISTEMATIKA

    Pada dasarnya laporan akuntabilitas kinerja Direktorat Bina Pelayanan

    Kefarmasian tahun 2013 ini menjelaskan pencapaian kinerja Direktorat Bina

    Pelayanan Kefarmasian selama tahun 2013. Pencapaian kinerja tersebut

    dibandingkan dengan perjanjian kinerja (penetapan kinerja) sebagai tolak

    ukur keberhasilan organisasi. Sistematika penyajian Laporan Akuntabilitas

    Kinerja Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian adalah sebagai berikut:

    Bab I Pendahuluan, menjelaskan latar belakang, maksud dan tujuan,

    tugas pokok, fungsi dan susunan organisasi Direktorat Bina Pelayanan

    Kefarmasian serta sistematika penyusunan laporan.

    Bab II Perencanaan dan Perjanjian Kinerja, menjelaskan muatan

    Rencana Strategis untuk periode 2010-2014 dan penetapan kinerja tahun

    2013.

  • Bab III Akuntabilitas Kinerja, menjelaskan pengukuran kinerja,

    pencapaian kinerja tahun 2013, analisis akuntabilitas kinerja dan realisasi

    anggaran dikaitkan dengan pertanggungjawaban publik terhadap

    pencapaian sasaran strategis untuk tahun 2013.

    Bab IV Penutup, menjelaskan kesimpulan atas laporan akuntabilitas

    kinerja Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian tahun 2013.

  • BAB II

    PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA

    DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN

    DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

    KEMENTERIAN KESEHATAN RI

    2013

  • BAB II

    PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA

    A. PERENCANAAN KINERJA

    Perencanaan kinerja merupakan proses penetapan kegiatan tahunan dan

    indikator kinerja berdasarkan program, kebijakan dan sasaran yang telah

    ditetapkan dalam sasaran strategis. Perencanaan Kinerja disusun sebagai

    pedoman bagi pelaksanaan tugas pokok dan fungsi secara sistematis,

    terarah dan terpadu.

    1. VISI

    Visi Kementerian Kesehatan yaitu MASYARAKAT SEHAT YANG

    MANDIRI DAN BERKEADILAN

    2. MISI

    Untuk mencapai masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan

    ditempuh melalui misi sebagai berikut:

    1. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, melalui pemberdayaan

    masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani.

    2. Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya

    upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan.

    3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan.

    4. Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik.

  • 3. TUJUAN

    Tujuan Kementerian Kesehatan: terselenggaranya pembangunan

    kesehatan secara berhasil-guna dan berdaya-guna dalam rangka

    mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

    4. SASARAN

    Sasaran kegiatan Peningkatan Pelayanan Kefarmasian pada Program

    Kefarmasian dan Alat Kesehatan adalah meningkatnya penggunaan

    obat rasional melalui pelayanan kefarmasian yang berkualitas untuk

    tercapainya pelayanan kesehatan yang optimal.

    Indikator pencapaian luaran tersebut pada tahun 2013 adalah:

    a. Persentase Instalasi Farmasi Rumah Sakit Pemerintah yang

    melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar sebesar 40 %.

    b. Persentase Puskesmas Perawatan yang melaksanakan pelayanan

    kefarmasian sesuai standar sebesar 35%.

    c. Persentase Penggunaan Obat Rasional di Sarana Pelayanan

    Kesehatan Dasar Pemerintah sebesar 55 %.

    B. PERJANJIAN KINERJA

    Di dalam perencanaan kinerja ditetapkan target kinerja untuk seluruh

    indikator kinerja yang ada pada tingkat sasaran dan kegiatan. Target kinerja

    ini akan menjadi komitmen bagi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian

    untuk mencapainya dalam tahun 2013.

    Target Kinerja Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Tahun 2013

    SASARAN INDIKATOR KINERJA TARGET

    Meningkatnya penggunaan

    obat rasional melalui

    pelayanan kefarmasian

    yang berkualitas untuk

    tercapainya pelayanan

    kesehatan yang optimal.

    Persentase Instalasi

    Farmasi Rumah Sakit

    Pemerintah yang

    melaksanakan pelayanan

    kefarmasian sesuai standar

    40%

    Persentase Puskesmas

  • Perawatan yang

    melaksanakan pelayanan

    kefarmasian

    35%

    Persentase Penggunaan

    Obat Rasional di Sarana

    Pelayanan Kesehatan

    Dasar Pemerintah

    55%

  • BAB III

    AKUNTABILITAS KINERJA

    DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN

    DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

    KEMENTERIAN KESEHATAN RI

    2013

  • BAB III

    AKUNTABILITAS KINERJA

    A. PENGUKURAN KINERJA

    Pengukuran kinerja adalah kegiatan manajemen khususnya

    membandingkan tingkat kinerja yang dicapai dengan standar, rencana, atau

    target dengan menggunakan indikator kinerja yang telah ditetapkan.

    Pengukuran tingkat capaian kinerja Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian

    tahun 2013 dilakukan dengan cara membandingkan antara target dengan

    realisasi masing-masing indikator kinerja sasaran, sehingga diperoleh

    gambaran tingkat keberhasilan pencapaian masing-masing indikator.

    Berdasarkan pengukuran kinerja tersebut diperoleh informasi menyangkut

    masing-masing indikator, sehingga dapat ditindaklanjuti dalam perencanaan

    program/kegiatan di masa yang akan datang agar setiap program/ kegiatan

    yang direncanakan dapat lebih berhasil guna dan berdaya guna. Manfaat

    pengukuran kinerja antara lain untuk memberikan gambaran kepada pihak-

    pihak internal dan eksternal tentang pelaksanaan misi organisasi dalam

    rangka mewujudkan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.

    Sasaran merupakan hasil yang akan dicapai secara nyata oleh kegiatan

    peningkatan pelayanan kefarmasian dalam rumusan yang lebih spesifik,

    terukur, dalam kurun waktu satu tahun. Dalam rangka mencapai sasaran,

    perlu ditinjau indikator kegiatan peningkatan pelayanan kefarmasian yang

    telah ditetapkan dengan sasaran sebagai berikut :

    Meningkatnya penggunaan obat rasional melalui pelayanan kefarmasian yang

    berkualitas untuk tercapainya pelayanan kesehatan yang optimal.

  • Berikut ini akan diuraikan realisasi pencapaian sasaran Direktorat Bina Pelayanan

    Kefarmasian tahun 2013 ditetapkan sebagai berikut:

    SASARAN

    INDIKATOR

    KINERJA

    TARGET

    2013

    REALISASI

    2013

    PRESENTASE

    Meningkatnya

    penggunaan

    obat rasional

    melalui

    pelayanan

    kefarmasian

    yang

    berkualitas

    untuk

    tercapainya

    pelayanan

    kesehatan

    yang optimal.

    1 Persentase

    Instalasi Farmasi

    Rumah Sakit

    Pemerintah yang

    melaksanakan

    pelayanan

    kefarmasian sesuai

    standar

    40 %

    40.90 %

    102 %

    2

    Persentase

    Puskesmas

    Perawatan yang

    melaksanakan

    pelayanan

    kefarmasian

    35 %

    35.15 %

    100,43 %

    3 Persentase

    Penggunaan Obat

    Rasional di Sarana

    Pelayanan

    Kesehatan Dasar

    Pemerintah

    55 %

    61,9 %

    112,54%

  • Perbandingan Capaian indiKator kinerja tahun 2012 dan capaian indicator kinerja

    tahun 2013 sebagai berikut :

    Sasaran

    Indikator

    Kinerja

    Target

    2012

    Realisasi

    2012

    %

    tase

    Target

    2013

    Realisasi

    2013

    % tase

    Meningkat

    nya

    pengguna

    an obat

    rasional

    melalui

    pelayanan

    kefarmasi

    an yang

    berkualita

    s untuk

    tercapainy

    a

    pelayanan

    kesehatan

    yang

    optimal.

    1 Persen

    tase

    Instala

    si

    Farma

    si

    Rumah

    Sakit

    Pemeri

    ntah

    yang

    melaks

    anaka

    n

    pelaya

    nan

    kefarm

    asian

    sesuai

    standa

    r

    35 %

    35.33%

    100,9

    40 %

    40.90 %

    102 %

    2

    Persen

    tase

    Puske

    smas

    Peraw

    atan

    yang

    melaks

    anaka

    n

    25 %

    25.01%

    100.4

    %

    35 %

    35.15 %

    100.43

    %

  • pelaya

    nan

    kefarm

    asian

    3 Persen

    tase

    Pengg

    unaan

    Obat

    Rasion

    al di

    Sarana

    Pelaya

    nan

    Keseh

    atan

    Dasar

    Pemeri

    ntah

    50 %

    62.63 %

    125.2

    6 %

    55 %

    61,9 %

    112,54

    %

    B. SUMBER DAYA

    1. SUMBER DAYA MANUSIA

    Sumberdaya manusia yang bertugas di Direktorat Bina Pelayanan

    Kefarmasian sampai saat ini berjumlah 40 orang PNS dan 8 orang

    tenaga Non PNS dengan rincian sebagai berikut :

    Jumlah Pegawai Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Menurut

    Jabatan:

    - Jabatan Struktural = 14 orang

    - Jabatan Fungsional = - orang

    - Adminkes = 12 orang

  • - Bendaharawan = 1 orang

    - Perencana = 1 orang

    - Sekretaris = 1 orang

    - Pengolah Data = 2 orang

    - Penata Lap. Keuangan = 1 orang

    - Tenaga Pramubakti = 8 orang

    Jumlah Pegawai Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Menurut

    Golongan:

    - Golongan II = 3 orang

    - Golongan III = 18 orang

    - Golongan IV = 11 orang

    Jumlah Pegawai Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Menurut

    Pendidikan:

    - S2 = 10 orang

    - Apoteker = 21 orang

    - Sarjana Hukum = 1 orang

    - S1 Farmasi = 1 orang

    - D3 Farmasi = 3 orang

    - SMA = 2 orang

    Tenaga Non PNS :

    - Apoterker = 4 orang

    - Sarjana Komputer = 1 orang

    - D3 Keuangan = 1 orang

    - SMA = 2 orang

  • Gambar : Jumlah Pegawai Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Menurut

    Jabatan

    42%

    58%

    Struktural

    Staf

    Gambar : Jumlah Pegawai Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Menurut

    Golongan

    9%

    63%

    28%

    Gol II

    Gol III

    Gol IV

  • Gambar : Jumlah Pegawai Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Menurut

    Pendidikan

    24%

    60%

    2%2%7% 5%

    S2

    Apoteker

    S1 Hukum

    S1 Farmasi

    D3 Farmasi

    SMA

  • 2. SUMBER DAYA ANGGARAN

    Anggaran DIPA Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian tahun 2013

    adalah Rp. 19.746.733.000 dengan realisasi sebesar Rp.

    19.223.027.684 ( 97.35 % ).

    Perbandingan realisasi anggaran tahun 2012 dan tahun 2013 Direktorat

    Bina Pelayanan Kefarmasian sebagai berikut :

    Anggaran

    2012

    Realisasi

    (Rp)

    %

    tase

    Anggaran

    2013

    Realisasi

    (Rp)

    %

    tase

    18.201.651.000

    15.715.775.360

    89.34

    19.746.733.000

    19.223.027.684

    97.35

    C. ANALISIS AKUNTABILITAS KINERJA

    Dalam rangka menunjang program peningkatan pelayanan kefarmasian

    maka Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian melakukan berbagai

    kegiatan.

    Berikut ini akan diuraikan kinerja dari Direktorat Bina Pelayanan

    Kefarmasian:

    Indikator: Persentase Instalasi Farmasi Rumah Sakit Pemerintah yang

    melaksanakan pelayaan kefarmasian sesuai standar

    Indikator Target Realisasi Presentase

    Persentase Instalasi Farmasi Rumah

    Sakit Pemerintah yang melaksanakan

    pelayaan kefarmasian sesuai standar

    40.00 %

    40.90 %

    102 %

  • Kondisi yang dicapai:

    Jumlah Rumah Sakit yang melaksanakan pelayanan kefarmasian di Rumah

    Sakit sesuai standar untuk cawu I (satu) sebanyak 296 RS dengan indikator

    capaian 35.79 %, cawu II (dua) sebanyak 313 RS dengan capaian indikator

    37.80 %, cawu III (tiga) sebanyak 317 RS dengan capaian indikator 38.33

    %, dan cawu IV (empat) sebanyak 338 RS dengan capaian indicator 40.90

    % (perhitungan berdsaarkan jumlah Rumah Sakit milik Pemerintah seluruh

    Indonesia sebanyak 827 RS (SIRS, Oktober 2013)

    Permasalahan:

    Pelaksanaan pelayanan kefarmasian sesuai standar di rumah sakit

    dipengaruhi oleh:

    1. Kualitas dan Kuantitas SDM;

    Sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit jumlah

    apoteker rasio tempat tidur pada rawat inap adalah 1: 30 dan rawat jalan

    1 : 50. Dari hasil monitoring dan evaluasi sebagian besar rumah sakit

    belum memenuhi standar jumlah tenaga apoteker. Situasi ini

    mengakibatkan tugas apoteker lebih banyak fokus pada pengelolaan

    sediaan farmasi di rumah sakit, belum maksimal melakukan pelayanan

    farmasi klinik (Pharmaceutical Care).

    2. Kompetensi tenaga farmasi

    Ketika apoteker dituntut melakukan pelayanan farmasi klinik hal ini

    mengandung konsekuensi peningkatan kapasitas pengetahuan, skill dan

    pengalaman. Karena pelayanan farmasi klinik adalah pelayanan

    kolaboratif dengan tenaga kesehatan lainnya. Dari hasil evaluasi

    pembekalan/pelatihan yang diselenggaranakan oleh subdit farmasi klinik

    sebagian besar apoteker rumah sakit yang dilatih belum terbiasa dan

    terencana melakukan pelayanan kolaboratif dengan tenaga kesehatan

    lainya, sehingga banyak hambatan diantaranya; komunikasi dengan

    tenaga kesehatan lainnya.

  • 3. Dukungan Manajemen Rumah Sakit

    Kebermanfaatan pelayanan farmasi klinik belum cukup baik dipahami

    oleh manajemen rumah sakit sehingga beberapa program terkait

    farmasi klinik yang akan dilaksanakan oleh instalasi farmasi rumah sakit

    (IFRS) mendapatkan hambatan regulasi. Beberapa kegiatan farmasi

    klinik seperti: Pengkajian Resep, Pelayanan Informasi Obat, Konseling,

    Visite, Evaluasi Penggunaan Obat, Handling Sitostatika dll perlu

    mendapatkan dukungan legal dari manajemen rumah sakit supaya

    dalam pelaksanaannya bisa berjalan dengan baik. Dukungan

    manajemen diperlukan agar tercipta suasana kerja yang kondusif

    karena setiap bagian memahami ruang lingkup serta fungsi apoteker

    diantaranya memantau terapi pasien

    Usul Pemecahan Permasalahan:

    Berikut adalah usul pemecahan permasalahan diatas, yaitu:

    1. Kualitas dan Kuantitas SDM;

    Untuk permasalahan kualitas secara berkala menyelenggarakan

    pelatihan berkesinambungan baik yang bersifat meningkatkan

    pengetahuan maupun peningkatan skill teknis pelayanan, juga

    menciptakan rumah sakit khsusnya instalasi farmasi sebagai pusat

    pembelajaran penyakit tertentu dan diharapkan rumah sakit ini dapat

    menjadi pusat rujukan pembelajaran bagi rumah sakit di sekitarnya.

    Untuk permasalahan kuantitas upaya yang dapat dilakukan adalah

    dengan memberikan advokasi kepada pihak yang berkepentingan

    seperti: Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dan Manajemen rumah

    sakit mengenai standar jumlah apoteker yang harus ada di fasyankes

    khusus nya rumah sakit yaitu: pada rawat inap adalah 1: 30 dan rawat

    jalan 1 : 50.

    2. Kompetensi tenaga farmasi

    Apoteker yang merasa kurang percaya diri melaksanakan pelayanan

    kefarmasian dapat dimotivasi bahwa apoteker adalah pihak yang

  • memiliki pengetahuan yang mumpuni dan kewenangan yang dilimpahi

    oleh Undang-Undang Kesehatan No . 36 Tahun 2009 Pasal 108 untuk

    melaksanakan pelayanan kefarmasian.

    Selain itu, dengan memberi kesempatan kepada apoteker melihat role

    model yaitu apoteker yang mampu melaksanakan pelayanan

    kefarmasian sesuai standar, maka apoteker lainyya dapat terinspirasi

    dan memiliki motivasi diri yang kuat bahwa ia juga mampu

    melaksanakan pelayanan kefarmasian.

    3. Dukungan Manajemen Rumah Sakit

    Melalui pelaksanaan advokasi kepada rumah sakit, khususnya pihak

    manajemen rumah sakit terkait tugas dan fungsi seorang apoteker

    sesuai peraturan perundang-undangan, maka diharapkan pihak

    manajemen mendukung pelaksanaan pelayanan kefarmasian secara

    langsung maupun tidak langsung. Diharapkan, pihak manajemen dapat

    mengambil keputusan yang mendukung pelaksanaan pelayanan

    kefarmasian, khususnya jika didapatkan terdapat tenaga kesehatan

    yang tidak mendukung pelayanan kefarmasian.

    Advokasi terhadap manajemen rumah sakit meliputi : tugas dan peran

    apoteker sesuai Keputusan Menteri Kesehatan tentang Standar

    pelayanan kefarmasian, pengalaman Direktur rumah sakit yang

    instalasi farmasi rumah sakitnya telah melaksanakan pelayanan

    kefarmasian, serta kebijakan pelayanan kefarmasian terkait pelayanan

    farmasi klinik.

  • Untuk mencapai indikator persentase Instalasi Farmasi Rumah Sakit

    Pemerintah yang melaksanakan pelayaan kefarmasian sesuai standar

    diperlukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

    RINCIAN KEGIATAN I

    1. Judul Kegiatan

    Peningkatan Kemampuan SDM IFRS Dalam Pelayanan

    Kefarmasian Sesuai Standar

    2. Sasaran Kegiatan

    Apoteker di Instalasi Farmasi Rumah Sakit

    3. Kondisi yang dicapai:

    a. Apoteker dapat memiliki kesadaran akan konsep pelayanan

    kefarmasian dan melaksanakan pelayanan farmasi klinik sesuai

    dengan standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit

  • b. Memahami pergeseran paradigma pelayanan farmasi dari

    orientasi pada obat (Drug Oriented) ke orientasi pada pasien

    (Patient Oriented)

    c. Materi dalam Pembekalan Farmasi Klinik di Rumah Sakit meliputi

    ; Penulusuran riwayat pengobatan, pengkajian dan pelayanan

    resep, konseling, Pelayanan Informasi Obat, Pemantauan terapi

    obat dan Visite

    d. Tersedianya Apoteker yang kompeten dalam melaksanakan

    pelayanan farmasi klinik di rumah sakit

    4. Pelaksananaan sebagai berikut:

    Pembekalan ini dilaksanakan di 3 (tiga) regional dengan rincian

    sebagai berikut;

    REGIONAL BARAT

    (REGIONAL I)

    REGIONAL TENGAH

    (REGIONAL II)

    REGIONAL

    TIMUR

    (REGIONAL III)

    Prov. Kepulauan Riau:

    RSU Tanjung Pinang,

    RSU Kab. Karimun, RS

    Otorita Batam, RSUL

    Natuna Anambas

    Palmatak, RSUL Lingga

    Prov. Kalimantan

    Barat:

    RS Jiwa Singkawang,

    RSUD

    Kab.Bengkayang,

    RSUD Landak, RSUD

    Kab.Sekadau, RSUD

    Melawi Nanga Pinoh,

    RSUD Kota Pontianak

    Prov. Sulawesi

    Utara: RSU

    Datoe

    Binangkang,

    RSU Dr.Sam

    Ratulangi, RSU

    Noongan, RSU

    Liun Kendage,

    RSUD Kab

    Talaud,

    Prov. Jambi:

    RSU May. H.A. Tahalib,

    RSUD Sultan Taha

    Saifudin, RSUD Kolonel

    Prov. Kalimantan:

    Tengah: RSU Dr H

    Soemarno S, RSU

    Kuala Kurun, RSU

    Prov. Papua:

    RSU Mimika,

    RSU Nabire,

    RSU Biak

  • Abundjani, RSUD

    Muaro Jambi, RSUD

    K.H. Daud Arif

    Buntok, RSU Tamiang

    Layang, RSUD Kuala

    Pembuang, RSUD

    Pulang Pisau

    Prov. Banten:

    RSU Pandeglang, RSU

    Dr Adjidarmo, RSUD

    Balaraja, RSUD

    Tangerang Selatan,

    RSUD Milimping

    Prov. Kalimantan

    Selatan:

    RSU H Boejasin

    Pelaihari, RSU Brigjen

    H Hasan Basry, RSU H

    Damanhuri Barabai,

    RSU H.Badaruddin

    Prov. Jawa

    Timur: RSUD

    Lawang, RSUD

    Prof, Dr,

    Soekandar, RS

    Kusta

    Sumberglagah,

    RSU Sumberejo,

    RSU Padangan,

    RSUD Tongas,

    RSUD

    Kertosono, RS

    Paru Batu

    Prov. Jawa Tengah:

    RSU Majenang, RSUD

    Ajibarang, RSU

    Banjarnegara, RSU Dr.

    R.Soedjati

    Soemodiardjo, RSU

    Blora

    Prov. Kalimantan

    Timur:

    RSU Panglima Sebaya

    Pasir, RS Harapan

    Insani Kubar, RSUD

    Sangatta Kutai Timur,

    RSUD Kab.Malinau,

    RSK Bersalin Sayang

    Ibu Balikpapan

    Prov. NTT:

    RSU Soe, RSU

    Larantuka,

    RSUD Kalabahi,

    RSUD Kota

    Kupang

    5. Tahapan kegiatan

    a. Pre Test

    Tahapan ini dimaksudkan untuk mengetahui atau mengukur

    tingkat pemahaman dan pengetahuan peserta tentang pelayanan

    farmasi klinik di rumah sakit

  • b. Teori

    Adapaun teori yang diberikan adalah; (1) Kebijakan Direktorat

    Bina Pelayanan Kefarmasian tentang pelayanan kefarmasian di

    rumah sakit, (2) Dukungan Dirjen BUK terhadap pelayanan

    farmasi klinik di rumah sakit, (3) Penulusuran riwayat

    pengobatan, (4) Pengkajian dan pelayanan resep, (5) konseling,

    (6) Pelayanan Informasi Obat, (7) Pemantauan terapi obat dan

    (8) Visite.

    Teori tentang pelayanan farmasi klinik di sampaikan oleh para

    Apoteker spesialis farmasi rumah sakit di RSUD Dr. Soetomo

    c. Simulasi

    Pada sesi ini peserta diberikan studi kasus berupa rekam medik

    pasien dan diminta untuk menganalisa masalah terkait obat

    (DRP) kemudian menyusun rekomendasi terapinya

    d. Praktek Lapangan

    Pada saat praktek lapangan pertama kali peserta beraudiensi

    dengan IFRS pada Rumah Sakit yang menjadi tempat praktek,

    hal ini dimaksudkan agar peserta mengekplorasi banyak hal

    tentang; struktur organisasi, manajemen SDM, dll.

    Kemudian peserta dibagi menjadi beberapa kelompok, pada

    setiap kelompok diberi studi kasus dan penugasan kemudian

    ditentukan jalur kunjungannya. Peserta juga diberi kesempatan

    langsung untuk melakukan konseling dan visite pada pasien.

    e. Presentasi

    Setiap kelompok mempresentasikan hasil praktek lapangannya

    yang meliputi; pembahasan studi kasus, rekomendasi

  • f. Rencana Tindak Lanjut

    Setiap peserta pembekalan diminta untuk menyusun Rencana

    Tindak Lanjut (RTL), setibanya lagi nanti di rumah sakit masing

    masing agar membuat program pelayanan farmasi klinik, tentu

    disesuaikan dengan kondisi setempat, misal; ketersediaan SDM,

    dukungan manajemen, beban kerja. Penyusunan RTL ini

    meliputi; jenis, jumlah dan frekuensi program agar dapat diukur

    tingkat keberhasilannya.

    g. Post test

    Sesi akhir ditutup dengan post test, hal ini dilakukan untuk

    mengevaluasi tingkat keberhasilan pembekalan ini.

    6. Permasalahan

    a. Belum masifnya pergeseran paradigma pelayanan farmasi dari

    orientasi pada obat (Drug Oriented) ke orientasi pada pasien

    (Patient Oriented) di seluruh elemen rumah sakit

    b. Keterbatasan Jumlah Apoteker di rumah sakit

    c. Kompetensi Apoteker masih dominan pada wilayah pengelolaan

    logistik obat

    d. Kebijakan manajamen rumah sakit belum berpihak penuh

    terhadap pelayanan farmasi klinik

    7. Usulan pemecahan masalah

    a. Peningkatan kompetensi apoteker khususnya farmasi klinik

    b. Sosialisasi pada manajemen rumah sakit tentang peran apoteker

    dalam pelayanan farmasi klinik

    RINCIAN KEGIATAN II

    1. Judul Kegiatan

    Peningkatan Kapasitas SDM Instalasi Farmasi Rumah Sakit Dalam

    rangka menghadapi Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012

  • 2. Sasaran Kegiatan:

    Apoteker instalasi farmasi rumah sakit

    3. Kondisi yang dicapai:

    Apoteker mendapatkan pembekalan dengan materi:

    a. Perubahan paradigma dalam akreditasi RS versi 2012

    b. Metode telusur akreditasi RS versi 2012

    c. Workshop Persiapan Akreditasi RS

    4. Pelaksananaan sebagai berikut:

    Peserta 22 orang dari rumah sakit berasal dari wilayah barat, tengah

    dan timur Indonesia.

    5. Tahapan kegiatan:

    Kegiatan ini terdiri atas pemberian materi, diskusi serta workshop.

    Dalam workshop, peserta ditunjukkan dan diberi kesempatan melalui

    simulasi terkait handling sitotoksik, penanganan High alert

    medication serta persiapan dalam menghadapai pelaksanaan survey

    akreditasi rumah sakit.

    6. Permasalahan:

    Peserta masih minimnya kegiatan sosialisasi terkait akreditasi RS

    versi 2012, padahal pelaksanaan akreditasi memerlukan kerja sama

    seluruh bagian dari rumah sakit. Selain itu, masalah sarana dan

    prasarana yang terbatas, sehingga perlu dukungan biaya agar

    masing masing rumah sakit mampu memenuhi apa yang

    dipersyaratkan dalam standar akreditasi RS

  • 7. Usulan pemecahan masalah

    a. Perlu dilaksanakan pelatihan dan bimbingan teknis kepada

    tenaga kesehatan di RS terkait akreditasi RS versi 2012

    sehingga terlakasana pelayanan farmasi klinik sesuai standar.

    b. Perlunya dukungan dari pemerintah pusat dan daerah dalam

    peningkatan sarana dan prasarana kesehatan sehingga

    masing-masing rumah sakit mampu memberikan pelayanan

    kefarmasian sesuai standar akreditasi RS versi 2012.

    RINCIAN KEGIATAN III

    1. Judul Kegiatan:

    Sosialisasi Sistem Pelaporan Pelayanan Kefarmasian Secara

    Elektronik

    2. Sasaran Kegiatan:

    Apoteker Instalasi Farmasi Rumah Sakit dari Dinas Kesehatan

    Provinsi/Kabupaten/Kota

    3. Kondisi yang dicapai:

    Apoteker mampu menggunakan software pelaporan pelaksanaan

    pelayanan kefarmasian.

    4. Pelaksananaan sebagai berikut:

    Pembekalan ini dilaksanakan di 2 propinsi yaitu sumatera barat dan

    jawa timur

    5. Tahapan kegiatan:

    Kegiatan ini terdiri atas pemberian materi, diskusi serta simulasi.

    Dalam simulasi, peserta ditunjukkan dan diberi kesempatan melalui

    simulasi terkait penggunaan aplikasi software pelaporan

    pelaksanaan pelayanan kefarmasian.

  • 6. Permasalahan:

    a. Sarana dan prasarana di Rumah Sakit yang terbatas terutama

    dalam hal fasilitas internet.

    b. Software yang digunakan belum applicable sehingga tenaga

    farmasi kesulitan dalam pengaplikasiannya.

    7. Usulan pemecahan masalah

    a. Perlunya dukungan dari pemerintah daerah dan pusat dalam

    penyediaan sarana dan prasarana fasilitas internet sehingga

    memudahkan tenaga farmasi dalam pelaporan pelayanan

    kefarmasian menggunakan software

    b. Perlu dilakukan pengembangan software e-yanfar sehingga lebih

    mudah digunakan.

    RINCIAN KEGIATAN IV

    1. Judul Kegiatan :

    Penyusunan Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk Terapi HIV

    AIDS

    2. Sasaran Kegiatan:

    a. Penanggungjawab pelayanan kefarmasian di klinik untuk dasar

    dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian.

    b. Kementerian Kesehatan RI, Dinkes Provinsi/Kab/Kota sebagai

    dasar melakukan kebijakan di bidang pelayanan kefarmasian dan

    penggunaan obat rasional

    3. Kondisi yang dicapai:

    Hasil kegiatan berupa tersusunnya draft siap cetak Pedoman

    Pelayanan Kefarmasian untuk Terapi HIV AIDS

    4. Pelaksananaan sebagai berikut:

    Penyusunan Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk Terapi HIV

    AIDS dilaksanakan melalui beberapa pertemuan yaitu :

  • No Nama, Tempat &

    Waktu Peserta Narasumber

    1 Rapat Persiapan

    Jakarta, 18-19

    Maret 2013

    7 orang peserta

    dari Direktorat Bina

    Pelayanan

    Kefarmasian

    -

    2 Pembahasan

    Bangka Belitung,

    25-28 Maret 2013

    17 orang peserta

    terdiri dari

    Direktorat Bina

    Pelayanan

    Kefarmasian,

    Rumah Sakit,

    Perguruan Tinggi,

    Dinas Kesehatan

    Propinsi, unit terkait

    di Kementerian

    Kesehatan

    8 orang yang

    berasal dari

    Perguruan Tinggi

    dan Rumah Sakit

    3 Finalisasi

    Jakarta, 20-23

    April 2013

    17 orang peserta

    terdiri dari

    Direktorat Bina

    Pelayanan

    Kefarmasian,

    Rumah Sakit,

    Perguruan Tinggi,

    unit terkait di

    Kementerian

    Kesehatan

    8 orang yang

    berasal dari

    Perguruan Tinggi

    dan Rumah Sakit,

    unit terkait di

    Kementerian

    Kesehatan

    5. Tahapan kegiatan:

    Tahapan kegiatan Penyusunan Pedoman Pelayanan Kefarmasian

    untuk Terapi HIV AIDS sebagai berikut :

    Rapat Persiapan

  • Rapat persiapan dilaksanakan dalam rangka pembentukan

    kepanitiaan dan tim penyusun Pedoman Pelayanan Kefarmasian

    untuk Terapi HIV AIDS

    Pembahasan Draft

    Pembahasan Draft dilaksanakan untuk membahas outline pedoman,

    diskusi umum dan membuat draft awal.

    Hasil pertemuan berupa tersusunnya Draft awal Pedoman

    Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi HIV AIDS yang akan dibahas

    pada Rapat Finalisasi.

    Finalisasi

    Rapat Finalisasi dilaksanakan untuk mendiskusikan draft hasil

    pembahasan awal dan mengatasi permasalahan yang ditemukan.

    Hasil pertemuan berupa tersusunnya Draft final Pedoman Pelayanan

    Kefarmasian Untuk Terapi HIV AIDS

    6. Permasalahan:

    a. Penyesuaian jadwal kegiatan dengan Tim Ahli, kadang jadwal

    yang telah direncanakan berubah sehingga mempengaruhi

    jadwal kegiatan lain

    b. Proses pengumpulan materi dan editing membutuhkan waktu

    7. Usulan pemecahan masalah

    a. Pembuatan rencana kegiatan termasuk jadwal, penetapan

    anggota tim Ahli serta konfirmasi peserta dilakukan sedini

    mungkin agar tidak terjadi perubahan secara mendadak

    b. Menggunakan sumber daya yang cukup, jadwal kegiatan yang

    tidak berdekatan agar cukup waktu untuk pengumpulan materi

    dan editing

  • RINCIAN KEGIATAN V

    1. Judul Kegiatan :

    Penyusunan Pedoman Pelayanan Kefarmasian di RUANG ICU

    2. Sasaran Kegiatan:

    a. Penanggungjawab pelayanan kefarmasian di klinik untuk dasar

    dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian.

    b. Kementerian Kesehatan RI, Dinkes Provinsi/Kab/Kota sebagai

    dasar melakukan kebijakan di bidang pelayanan kefarmasian dan

    penggunaan obat rasional

    3. Kondisi yang dicapai:

    Hasil kegiatan berupa tersusunnya draft siap cetak Pedoman

    Pelayanan Kefarmasian di Ruang ICU

    4. Pelaksananaan sebagai berikut:

    Penyusunan Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Ruang ICU

    dilaksanakan melalui beberapa pertemuan yaitu :

    No Nama, Tempat &

    Waktu Peserta Narasumber

    1 Rapat Persiapan

    Jakarta, 10-11

    Juni 2013

    5 orang peserta

    dari Direktorat Bina

    Pelayanan

    Kefarmasian

    -

    2 Pembahasan

    Bogor, 12-15 Juni

    2013

    16 orang peserta

    terdiri dari

    Direktorat Bina

    Pelayanan

    Kefarmasian,

    Rumah Sakit,

    Perguruan Tinggi,

    unit terkait di

    Kementerian

    Kesehatan

    8 orang yang

    berasal dari

    Perguruan

    Tinggi dan

    Rumah Sakit

  • 3 Finalisasi

    Jakarta, 22-24

    Agustus 2013

    16 orang peserta

    terdiri dari

    Direktorat Bina

    Pelayanan

    Kefarmasian,

    Rumah Sakit,

    Perguruan Tinggi,

    unit terkait di

    Kementerian

    Kesehatan

    8 orang yang

    berasal dari

    Perguruan

    Tinggi dan

    Rumah Sakit

    5. Tahapan kegiatan:

    Tahapan kegiatan Penyusunan Pedoman Pelayanan Kefarmasian di

    Ruang ICU sebagai berikut :

    Rapat Persiapan

    Rapat persiapan dilaksanakan dalam rangka pembentukan

    kepanitiaan dan tim penyusun Pedoman Pelayanan Kefarmasian di

    Ruang ICU

    Pembahasan Draft

    Pembahasan Draft dilaksanakan untuk membahas outline pedoman,

    diskusi umum dan membuat draft awal.

    Hasil pertemuan berupa tersusunnya Draft awal Pedoman

    Pelayanan Kefarmasian Kefarmasian di Ruang ICU yang akan

    dibahas pada Rapat Finalisasi.

    Finalisasi

    Rapat Finalisasi dilaksanakan untuk mendiskusikan draft hasil

    pembahasan awal dan mengatasi permasalahan yang ditemukan.

    Hasil pertemuan berupa tersusunnya Draft final Pedoman Pelayanan

    Kefarmasian Kefarmasian di Ruang ICU

  • 6. Permasalahan:

    a. Penyesuaian jadwal kegiatan dengan Tim Ahli, kadang jadwal

    yang telah direncanakan berubah sehingga mempengaruhi

    jadwal kegiatan lain

    b. Proses pengumpulan materi dan editing membutuhkan waktu

    7. Usulan pemecahan masalah

    a. Pembuatan rencana kegiatan termasuk jadwal, penetapan

    anggota tim Ahli serta konfirmasi peserta dilakukan sedini

    mungkin agar tidak terjadi perubahan secara mendadak

    b. Menggunakan sumber daya yang cukup, jadwal kegiatan yang

    tidak berdekatan agar cukup waktu untuk pengumpulan materi

    dan editing

    RINCIAN KEGIATAN VI

    1. Judul Kegiatan :

    Penyusunan Modul Pelayanan Kefarmasian di ICU

    2. Sasaran Kegiatan:

    a. Penanggungjawab pelayanan kefarmasian di klinik untuk dasar

    dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian.

    b. Kementerian Kesehatan RI, Dinkes Provinsi/Kab/Kota sebagai

    dasar melakukan kebijakan di bidang pelayanan kefarmasian

    dan penggunaan obat rasional

    3. Kondisi yang dicapai:

    Hasil kegiatan berupa tersusunnya draft siap cetak Modul Pelayanan

    Kefarmasian di ICU

    4. Pelaksananaan sebagai berikut:

    Penyusunan Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Ruang ICU

    dilaksanakan melalui beberapa pertemuan yaitu :

  • No Nama, Tempat &

    Waktu Peserta Narasumber

    1 Rapat Persiapan

    Jakarta, 01-02

    Agustus 2013

    5 orang peserta

    dari Direktorat Bina

    Pelayanan

    Kefarmasian

    -

    2 Pembahasan

    Batam, 28-31

    Agusutus 2013

    16 orang peserta

    terdiri dari

    Direktorat Bina

    Pelayanan

    Kefarmasian,

    Rumah Sakit,

    Perguruan Tinggi,

    unit terkait di

    Kementerian

    Kesehatan

    8 orang yang

    berasal dari

    Perguruan

    Tinggi dan

    Rumah Sakit

    3 Finalisasi

    Jakarta, 22-24

    Agustus 2013

    16 orang peserta

    terdiri dari

    Direktorat Bina

    Pelayanan

    Kefarmasian,

    Rumah Sakit,

    Perguruan Tinggi,

    unit terkait di

    Kementerian

    Kesehatan

    8 orang yang

    berasal dari

    Perguruan

    Tinggi dan

    Rumah Sakit

    5. Tahapan kegiatan:

    Tahapan kegiatan Penyusunan Pedoman Pelayanan Kefarmasian

    untuk Terapi HIV AIDS sebagai berikut :

    Rapat Persiapan

    Rapat persiapan dilaksanakan dalam rangka pembentukan

    kepanitiaan dan tim penyusun Pedoman Pelayanan Kefarmasian

    untuk Terapi HIV AIDS

  • Pembahasan Draft

    Pembahasan Draft dilaksanakan untuk membahas outline pedoman,

    diskusi umum dan membuat draft awal.

    Hasil pertemuan berupa tersusunnya Draft awal Pedoman

    Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi HIV AIDS yang akan dibahas

    pada Rapat Finalisasi. Rapat Finalisasi dilaksanakan untuk

    mendiskusikan draft hasil pembahasan awal dan mengatasi

    permasalahan yang ditemukan. Hasil pertemuan berupa tersusunnya

    Draft final Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi HIV AIDS

    6. Permasalahan:

    a. Penyesuaian jadwal kegiatan dengan Tim Ahli, kadang jadwal

    yang telah direncanakan berubah sehingga mempengaruhi

    jadwal kegiatan lain

    b. Proses pengumpulan materi dan editing membutuhkan waktu

    7. Usulan pemecahan masalah

    a. Pembuatan rencana kegiatan termasuk jadwal, penetapan

    anggota tim Ahli serta konfirmasi peserta dilakukan sedini

    mungkin agar tidak terjadi perubahan secara mendadak

    b. Menggunakan sumber daya yang cukup, jadwal kegiatan yang

    tidak berdekatan agar cukup waktu untuk pengumpulan materi

    dan editing

    RINCIAN KEGIATAN VI

    1. Judul Kegiatan :

    Kajian Penggunaan Obat di RS dalam Pelaksanaan SJSN

    2. Sasaran Kegiatan:

    Apoteker instalasi farmasi rumah sakit

  • 3. Kondisi yang dicapai:

    Tersedianya gambaran menyeluruh mengenai kerangka konsep

    aplikasi INA CBGs dalam sistem jaminan kesehatan nasional

    4. Pelaksananaan sebagai berikut:

    Pelaksanaan kajian penggunaan obat di RS dalam pelaksanaan

    SJSN dilaksanakan melalui beberapa pertemuan yaitu rapat

    persiapan, expert meeting dan finaliasasi

    5. Tahapan kegiatan:

    Tahapan kegiatan kajian penggunaan obat di RS dalam

    pelaksanaan SJSN sebagai berikut

    a. Rapat persiapan

    Rapat persiapan dilaksanakan dalam rangka pembentukan

    kepanitiaan dan tim penyusun kajian penggunaan obat di RS

    dalam pelaksanaan SJSN

    b. Expert meeting

    Expert meeting dilaksanakan untuk mengkaji materi usulan yang

    masuk dari rumah sakit dan institusi perguruan tinggi. Hasil

    pertemuan berupa tersusunnya draft kajian evaluasi penggunaan

    obat

    c. Finalisasi

    Rapat finalisasi dilaksanakan untuk meminta masukan dari

    rumah sakit, institusi perguruan tinggi dan organisasi profesi

    terhadap draft kajian evaluasi penggunaan obat.

    Hasil pertemuan berupa draft kajian penggunaan obat di RS

    dalam pelaksanaan SJSN

  • 6. Permasalahan:

    a. Penyesuaian jadwal kegiatan dengan Tim Ahli, kadang jadwal

    yang telah direncanakan berubah sehingga mempengaruhi

    jadwal kegiatan lain.

    b. Proses pengumpulan dan kompilasi materi membutuhkan waktu.

    7. Usulan pemecahan masalah:

    a. Pembuatan rencana kegiatan termasuk jadwal, penetapan

    anggota tim Ahli serta konfirmasi peserta dilakukan sedini

    mungkin agar tidak terjadi perubahan secara mendadak

    b. Menggunakan sumber daya yang cukup, jadwal kegiatan yang

    tidak berdekatan agar cukup waktu untuk pengumpulan materi

    dan editing

    RINCIAN KEGIATAN VI

    1. Judul Kegiatan :

    Peningkatan Kualitas Pelayanan Kefarmasian Dalam Menghadapi

    Universal Coverage

    2. Sasaran Kegiatan:

    a. Penanggungjawab pelayanan kefarmasian di klinik untuk dasar

    dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian.

    b. Kementerian Kesehatan RI, Dinkes Provinsi/Kab/Kota sebagai

    dasar melakukan kebijakan di bidang pelayanan kefarmasian dan

    penggunaan obat rasional

    3. Kondisi yang dicapai:

    Peningkatan kompetensi apoteker dalam melaksanakan pelayanan

    farmasi klinik di rumah sakit sesuai standar

    4. Pelaksananaan sebagai berikut:

    Pembekalan ini dihadiri oleh peserta dari rumah sakit, organisasi

    profesi serta unit terkait di Kementerian Kesehatan.

  • Tahapan kegiatan:

    Kegiatan ini terdiri atas pemberian materi terkait pelayanan

    kefarmasian dalam menghadapi Jaminan Kesehatan Nasional dan

    dilanjutkan dengan diskusi.

    5. Permasalahan:

    Peserta masih minimnya kegiatan sosialisasi terkait Jaminan

    Kesehatan Nasional

    6. Usulan pemecahan masalah:

    Perlu dilaksanakan pelatihan dan bimbingan kepada tenaga

    kesehatan di RS terkait Jaminan Kesehatan Nasional sehingga

    terlaksana pelayanan farmasi klinik sesuai standar.

    RINCIAN KEGIATAN V

    1. Judul Kegiatan :

    Pemantapan Konsep Joint Training Tenaga Kesehatan

    (Dokter/Apoteker/Perawat)

    2. Sasaran Kegiatan:

    Apoteker pada instalasi farmasi rumah sakit, wakil dari akademisi

    fakultas farmasi, fakultas kedokteran dan fakultas ilmu keperawatan,

    asosiasi profesi (dokter, apoteker dan perawat), serta staf pada

    Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian

    3. Kondisi yang dicapai:

    Disepakati konsep joint training yang melibatkan dokter, apoteker

    dan perawat baik pada pendidikan maupun pada masa pekerjaan.

    4. Pelaksananaan sebagai berikut:

    Peserta mendengarkan beberapa paparan terkait pelaksanaan joint

    training. Peserta dikelompokkan dalam beberapa grup sesuai

  • dengan wilayah kerjanya, masing-masing terdiri atas wakil dari

    fakultas farmasi, kedokteran, ilmu keperawatan, praktisi di rumah

    sakit, serta staf direktorat pelayanan kefarmasian.

    5. Tahapan kegiatan:

    Kegiatan ini terdiri atas beberapa sessi, yaitu sessi pertama

    membahas pelaksanaan joint training di perguruan tinggi. Sessi

    selanjutnya membahas peran asosiasi kesehatan dalam

    pelaksanaan joint training serta bagaimana pelaksanaan joint training

    dalam rangka menghadapi SJSN.

    6. Permasalahan:

    Masalah dalam memberikan kesepahaman kepada semua tenaga

    kesehatan untuk menghargai peran dan fungsi masing-masing dalam

    memberikan pelayanan kesehatan.

    7. Usulan pemecahan masalah:

    Perlunya komitmen bersama antara tenaga kesehatan mengenai

    berbagai konsep serta pokok pikiran terkait joint training

    RINCIAN KEGIATAN VI

    1. Judul Kegiatan :

    AWGPD (Asean Working Group on Pharmaceutical Develovment)

    2. Sasaran Kegiatan: Dengan mengadakan kegiatan ini diharapkan peserta yang terdiri

    dari Angota ASEAN Working Group Pharmaceutical Development,

    Pejabat yang menangani bidang kefarmasian di Dinkes Provinsi dan

    Kab/Kota, Ketua Komite medik Rumah Sakit dan Kepala Puskesmas

    terpilih, dapat memperoleh informasi dan memahami pelayanan

    kefarmasian serta dapat mengimplementasikan pelayanan

    kefarmasian di masing-masing sarana kesehatan.

  • 3. Kondisi yang dicapai:

    a. Tersusunnya rencana koordinasi program antara Pusat, Dinas

    Kesehatan Provinsi, Dinkes Kab/Kota, Rumah Sakit dan

    Puskesmas dalam rangka pharmaceutical care

    b. Pelaksanaan Promosi Pharmaceutical Care di ASEAN

    4. Pelaksananaan sebagai berikut:

    Pelaksanaan kegiatan diikuti oleh peserta dari rumah sakit dari 33

    propinsi di Indonesia, perguruan tinggi, asosiasi profesi, direktorat

    bina pelayanan kefarmasian, unit terkait di Kementerian Kesehatan,

    WHO serta Apoteker dari Kementerian Kesehatan yang tergabung di

    ASEAN. Peserta dibagi dalam beberapa kelompok.

    5. Tahapan kegiatan:

    Tahapan kegiatan terdiri atas pemberian materi, diskusi serta

    rekomendasi dari peserta.

    6. Permasalahan:

    Penyesuaian jadwal kegiatan dengan narasumber, kadang jadwal

    yang telah direncanakan berubah sehingga mempengaruhi jadwal

    kegiatan lain.

    7. Usulan pemecahan masalah:

    Pembuatan rencana kegiatan termasuk jadwal, penetapan anggota

    narasumber serta konfirmasi peserta dilakukan sedini mungkin agar

    tidak terjadi perubahan secara mendada

  • 0%

    20%

    40%

    60%

    80%

    100%

    120%

    2012 2013

    Target

    Realisasi

    Indikator: Persentase Puskesmas Perawatan yang melaksanakan pelayanan

    kefarmasian.

    Indikator Target Realisasi Presentase

    Persentase Puskesmas

    Perawatan yang

    melaksanakan pelayanan

    kefarmasian sesuai standar

    35.%

    35,15%

    100,43%

    Ket: Hingga Desember 2013

    Kondisi yang Dicapai:

    Berdasarkan Data Jumlah Puskesmas Per Desember 2012,

    Indonesia memiliki 9.510 Puskesmas, yang terdiri dari 3.152 Puskesmas

    Perawatan dan 6358 Puskesmas Non Perawatan. Pada tahun 2013, jumlah

    Puskesmas Perawatan yang telah melaksanakan pelayanan kefarmasian

    sesuai standar sebanyak 1108 (35,15%) (data provinsi/kab/kota). Masih

    rendahnya jumlah puskesmas yang belum melaksanakan standar

    pelayanan kefarmasian terjadi karena masih kurangnya jumlah Tenaga

    kefarmasian di Puskesmas,

  • Undang-Undang Kesehatan No.36 tahun 2009, Pasal 108

    menyatakan bahwa Praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk

    pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,

    penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter,

    pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat

    tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai

    keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

    undangan. sedangkan menurut PP No. 51/2009 setiap pelayanan

    kefarmasian harus dilakukan oleh tenaga kefarmasian yaitu apoteker.

    Permasalahan:

    - Tenaga kefarmasian (apoteker atau tenaga teknis kefarmasian) masih

    sangat terbatas sehingga sulit tercapainya pelaksanaan undang-

    undang No. 36 tahun 2009 dan PP No. 51 tahun 2009

    - Puskesmas yang sudah memiliki apoteker-pun, masih belum semua

    melakukan pelayanan kefarmasian. Baru sebatas dalam pengelolaan

    obat saja.

    - Kendala dalam mendapatkan data based (peta pelayanan) karena

    sistem pelaporan belum menyatu di SIMPUS

    - Sebagian besar Provinsi tidak memiliki data based yang akurat,

    sehingga di sistem pelaporan berjenjang sangat sulit mendapatkan

    data di provinsi.

    Usul Pemecahan Masalah:

    Advokasi kepada pemangku kepentingan yaitu Pemda terkait

    kebutuhan apoteker di fasyankes dasar segera terpenuhi agar tercapai

    pelayanan kefarmasian yang baik.

    Meningkatkan kualitas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian yang

    sudah ada di Puskesmas, melalui pelatihan mengenai cara Pelayanan

    Kefarmasian yang Baik..

  • Provinsi harus lebih aktif dalam memantau pelaporan dari kab/kota

    menyegerakan pelaksanaan pelayanan kefarmasian.

    Untuk mencapai indikator Presentase Puskesmas Perawatan yang

    melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar diperlukan kegiatan-

    kegiatan sebagai berikut :

    1. Percepatan Peningkatan Mutu Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas

    Perawatan

    Sasaran Kegiatan

    Puskesmas Perawatan di 6 (enam) provinsi, yaitu NAD, Sumatera

    Selatan, Nusa Tenggara Timur, Bangka Belitung, Kepulauan Riau dan

    Maluku Utara.

    Kondisi yang Dicapai

    Kegiatan dilaksanakan di 6 (enam) provinsi, dimana peserta yang

    diundang adalah Kepala Puskesmas dan Apoteker/Pengelola Obat

    Puskesmas Perawatan, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan

    Kabupaten/Kota dan Organisasi Profesi (IAI). Narasumber yang

    memberikan materi untuk acara ini dari praktisi Rumah Sakit, praktisi

    perguruan tinggi, psikolog klinis, apoteker puskesmas, Kepala Puskesmas

    dan Dinas Kesehatan Kab/Kota yang telah melaksanakan kegiatan Pilot

    Project maupun percepatan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas di

    tahun-tahun sebelumnya dan telah melaksanakan pelayanan kefarmasian

    sesuai standar berdasarkan laporan yang diterima. Hal ini bertujuan untuk

    memotivasi Apoteker, Kepala Puskesmas dan Dinas Kesehatan untuk

    melaksanakan Pelayanan Kefarmasian yang lebih baik lagi sesuai standar.

    Kegiatan yang dilakukan adalah pembelajaran dan pelatihan kepada

    apoteker/pengelola obat di puskesmas perawatan tentang pelayanan

    kefarmasian juga merupakan advokasi kepada Kepala Puskesmas tentang

    pentingnya tugas dan tanggung jawab apoteker di puskesmas dalam

  • pelayanan kefarmasian, serta menerapkan praktik pelayanan kefarmasian.

    Untuk praktik lapangan dipilih puskesmas yang memiliki pasien rawat inap

    agar memudahkan untuk praktik visite.

    Permasalahan

    a. Puskesmas perawatan yang dilatih masih ada yang tidak punya

    apoteker atau TTK sehingga pelaksanaan ini tidak bisa terlalu

    sempurna

    b. Kepala puskesmas masih ragu-ragu apakah dapat mengajukan

    tenaga apoteker agar pelayanan kefarmasian dapat terlaksana

    dengan baik.

    Usulan Pemecahan Masalah

    - Diharapkan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat menduplikasi

    model pelatihan ini pada puskesmas lain di wilayahnya dan melatih

    apoteker untuk tercapainya pelayanan kefarmasian yang sesuai

    standar.

    - Kepala Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus

    melakukan advokasi terus menerus kepada BKD dalam hal

    penempatan apoteker di puskesmas.

    2. Koordinasi Lintas Sektor dalam rangka Peningkatan Mutu Pelayanan

    Kefarmasian

    Sasaran Kegiatan

    Dinas Kesehatan Provinsi dan Kab/Kota, Ditjen Dikti, Badan Kepegawaian

    Daerah Provinsi dan Kab/Kota, BKN, Kemenpan, Komite Farmasi Nasional,

    Badan PPSDM

  • Kondisi yang Dicapai

    Kegiatan berupa pertemuan yang membahas tentang peran apoteker dalam

    pelayanan dasar dalam hal ini Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian

    mengadvokasi stakeholder terkait khususnya Badan Kepegawaian Negara

    (BKN), Kemenpan, Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dalam penempatan

    tenaga kefarmasian, khususnya apoteker di puskesmas, sehingga

    diharapkan seluruh puskesmas dapat menerapkan pelayanan kefarmasian

    yang sesuai dengan standar. Pertemuan ini juga berkaitan dengan salah

    satu program Badan PPSDM dalam penyusunan standar kebutuhan tenaga

    kefarmasian di fasilitas pelayanan kesehatan

    Selain itu, juga dibahas peran Ditjen Dikti dan KFN untuk mempersiapkan

    lulusan apoteker dari perguruan tinggi farmasi dalam menjalankan

    perannya di puskesmas.

    Permasalahan

    - Terhambatnya penempatan apoteker di puskesmas ternyata disebabkan

    oleh kurang dimengertinya fungsi penting peran apoteker di puskesmas

    oleh stakehoder.

    - Belum adanya standar kebutuhan tenaga kefarmasian di fasilitas

    pelayanan kesehatan.

    Usulan Pemecahan Masalah

    - Advokasi kepada BKD provinsi secara berjenjang dilanjutkan ke BKD

    Kabupaten/ Kota mengingat peserta yang hadir dalam kegiatan ini

    hanya merupakan perwakilan dari beberapa dinkes dan BKD

    provinsi/kab/kota. Selain itu perlu dilakukan advokasi kepada

    Kementerian PAN dan RB.

    - Standar kebutuhan tenaga kefarmasian di fasilitas pelayanan kesehatan

    segera di tetapkan.

  • 3. Pembuatan Audiovisual tentang Pelayanan Kefarmasian di Komunitas

    Sasaran Kegiatan

    Fasilitas pelayanan kesehatan primer yang telah atau belum

    melaksanakan pelayanan kefarmasian dan advokasi pemda atau

    stakeholder terkait.

    Kondisi yang Dicapai

    Kegiatan awal yaitu berupa pertemuan pembahasan konsep

    audiovisual pelayanan kefarmasian yang akan dibuat. Masukan konsep ini

    berasal dari praktisi puskesmas maupun apotek yang berasal dari 3 provinsi

    terpilih yaitu DKI Jakarta, Bengkulu dan D. I Yogyakarta. Masing-masing

    praktisi telah melakukan pelayanan kefarmasian yang baik sehingga dapat

    memotivasi puskesmas dan apotek lainnya untuk melakukan hal yang

    sama.

    Perolehan Informasi yang tepat dan akurat mengenai obat dari

    apoteker merupakan salah satu hak pasien. Dengan adanya informasi ini,

    diharapkan pasien dapat memperoleh hasil terapi yang optimal sehingga

    kualitas hidup pasien dapat meningkat. Hasil pembuatan audiovisual ini

    digandakan dalam bentuk CD untuk dapat mempermudah penyebaran ke

    seluruh provinsi yang ada di Indonesia dan diharapkan dapat juga sebagai

    media informasi dan promosi pelayanan kefarmasian yang dapat ditemui di

    komunitas

    Permasalahan

    - Terbatasnya jumlah praktisi yang dilibatkan dalam pembuatan

    audiovisual.

    Usulan Pemecahan Masalah

    - Menambah jumlah praktisi yang dilibatkan dalam pembuatan audiovisual

  • 4. Updating Software PIO

    Sasaran Kegiatan

    Apoteker, Tenaga Teknis Kefarmasian, Mahasiswa Apoteker dan

    Tenaga Kesehatan lain.

    Kondisi yang Dicapai

    Updating database sofware PIO terdiri dari pembahasan bersama

    tim ahli mengenai item obat / kelas terapi yang akan di masukan,

    diantaranya Praktisi dari Universitas, Praktisi dari Rumah Sakit, Praktisi dari

    Apotek, dan dibantu oleh tim IT sebagai pembuat aplikasi.

    Software Pelayanan Informasi Obat (PIO) 2013 merupakan hasil

    pemutakhiran dari Software PIO 2009. Software PIO 2013 disajikan dalam

    bentuk desktop web-based. Software ini juga dilengkapi dengan tautan

    situs-situs yang berkaitan dengan penyedia informasi obat yang dapat

    dipercaya.

    Software PIO ini diharapkan dapat menjadi sumber untuk

    mempercepat dalam memperoleh informasi obat yang akurat dan

    dibutuhkan sehingga dapat melengkapi Daftar Obat Esensial Nasional

    (DOEN) dan Formularium Nasional (FORNAS) dalam rangka mendukung

    Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

    Permasalahan

    - Kurangnya keterlibatan pakar dalam Updating Software PIO

    - Kurangnya frekuensi pertemuan updating Sotware PIO untuk

    mendiskusikan hasil updating

    Usulan Pemecahan Masalah

    - Menambah keterlibatan pakar dalam Updating Software PIO

    - Menambah frekuensi pertemuan pembahasan agar Updating Software

    PIO yang dihasilkan lebih optimal.

  • 5. Revisi Pedoman PIO

    Sasaran Kegiatan

    Apoteker yang melakukan pelayanan di fasilitas pelayanan

    kesehatan

    Kondisi yang Dicapai

    Kegiatan ini berupa pertemuan pembahasan draft yang melibatkan

    Praktisi Universitas, Rumah Sakit, Apotek, Puskesmas, dan Organisasi

    Profesi IAI. Hasil revisi pedoman Pelayanan Informasi Obat (PIO)

    merupakan pengembangan dari pedoman PIO Rumah Sakit. Pedoman PIO

    ini dimaksudkan agar dapat digunakan di semua fasilitas pelayanan

    kesehatan.

    Permasalahan

    a. Kurangnya praktisi/narasumber yang dapat dihadirkan dalam

    pembahasan.

    b. Waktu pembahasan yang singkat.

    Usulan Pemecahan Masalah

    a. Perlu melibatkan lebih banyak praktisi/narasumber untuk hadir dalam

    pembahasan sehingga dapat lebih menyempurnakan Pedoman PIO

    b. Menambah frekuensi pembahasan Pedoman PIO

    6. Advokasi Pelayanan kefarmasian di Puskesmas kepada mahasiswa

    Program Profesi Apoteker

    Sasaran Kegiatan

    Mahasiswa program profesi apoteker, dosen, yang berasal dari beberapa

    perguruan tinggi farmasi di wilayah DKI Jakarta, Bandung dan Yogyakarta

    serta puskesmas setempat.

  • Kondisi yang Dicapai

    Kegiatan ini berupa seminar yang bertujuan sebagai suatu media

    sosialisasi, sekaligus pembelajaran bagi para calon apoteker tentang

    tanggungjawab professional pada pelayanan kefarmasian di komunitas.

    Selain itu juga sebagai forum komunikasi antara Mahasiswa, Pemerintah

    Pusat dengan Perguruan tinggi terkait. Kegiatan ini juga merupakan

    advokasi pada perguruan tinggi untuk mempersiapkan calon apoteker yang

    dapat langsung bekerja di fasilitas pelayanan dasar.

    Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.51 tahun 2009 tentang

    Pekerjaan Kefarmasian yang menyatakan bahwa pekerjaaan kefarmasian

    harus dilakukan oleh tenaga kefarmasian dalam hal ini apoteker yang dapat

    dibantu dengan tenaga teknis kefarmasian maka diperlukan pembekalan

    pengetahuan mengenai pelayanan kefarmasian yang baik khususnya

    dalam mempersiapkan calon-calon tenga apoteker yang berkualitas.

    Menyadari pentingnya sinkronisasi antara teori yang diperoleh di perguruan

    tinggi dengan kondisi di lapangan serta pengetahuan mengenai prospek

    pelayanan kefarmasian di puskesmas membuat kegiatan ini mendapat

    respon yang sangat baik dari mahasiswa mau pun dari perguruan tinggi

    terkait.

    Permasalahan

    - Kurangnya jumlah tenaga apoteker di puskesmas bukan berarti tidak

    tersedianya lulusan apoteker namun formasi yang tersedia di unit

    puskesmas masih terbatas.

    Usulan Pemecahan Masalah

    - Perlu adanya advokasi kepada BKD dalam hal pembukaan formasi

    tenaga apoteker di puskesmas.

    - Dinas Kesehatan/Kab/Kota perlu berkoordinasi dengan perguruan tinggi

    farmasi yang ada dalam hal penempatan tenaga apoteker di

    wilayahnya.

    .

  • 7. Penyusunan Akreditasi dan Sertifikasi Apotek

    Sasaran Kegiatan

    Komite Farmasi Nasional (KFN), Asosiasi Apotek Indonesia

    (ASAPIN), PT. ASKES, Praktisi Apotek, Pengurus Pusat dan Pengurus

    Daerah Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).

    Kondisi yang Dicapai

    Tersususunnya form penilaian akreditasi dan sertifikasi apotek untuk

    meningkatkan pelaksanaan pelayanan kefarmasian sesuai standar di

    apotek serta memantau apoteker dengan sah dapat melaksanakan

    pelayanan kefarmasian sesuai undang-undang dan PP No. 51 tahun 2009.

    Permasalahan

    - Tools akreditasi disusun berdasarkan standar pelayanan kefarmasian di

    apotek tahun 2004

    Usulan Pemecahan Masalah

    - Standar pelayanan kefarmasian di apotek harus segera terbit

    - Perlu dilakukan terhadap uji coba terhadap tools akreditasi berikut

    skoring yang telah dibuat di beberapa provinsi

    - Perlu dilakukan pilot project terhadap pelaksanaan pelayanan

    kefarmasian di apotek

    8. Revisi Modul TOT Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas

    Sasaran Kegiatan

    Dinas Kesehatan Provinsi, Puskesmas, Praktisi Rumah Sakit, Praktisi

    Universitas, PPSDM

    Kondisi yang Dicapai

    Pertemuan penyusunan revisi Modul TOT pelayanan kefarmasian di

    puskesmas dilaksanakan sebanyak 3 kali pertemuan yaitu pertemuan

    penyusunan draft, pembahasan dan finalisasi. Hasil revisi modul TOT

  • menggunakan judul baru yaitu kurikulum pelatihan pelayanan kefarmasian

    untuk fasilitas pelayanan kesehatan primer dan kurikulum Training of

    Trainer (TOT) pelayanan kefarmasian untuk fasilitas pelayanan kesehatan

    primer.

    Permasalahan

    - Adanya perubahan kebijakan dari pusdiklat aparatur mengharuskan

    adanya penyesuaian kurikulum dan jumlah jam pelajaran

    - Dibutuhkan waktu pelaksanaan yang lebih lama

    Usulan Pemecahan Masalah

    - Perlu adanya koordinasi dengan pusdiklat aparatur PPSDM dalam

    penyesuaian penyusunan kurikulum dan jumlah jam pelajaran terkait

    dengan jumlah biaya penyelenggaraan.

    - Penambahan waktu pelaksanaan

    Indikator: Persentase Penggunaan Obat Rasional di Sarana Pelayanan

    Kesehatan Dasar Pemerintah

    Indikator Target Realisasi Presentase

    Persentase Penggunaan Obat

    Rasional di Sarana Pelayanan

    Kesehatan Dasar Pemerintah

    55 %

    61.9 %

    112,54 %

    1. Kondisi yang dicapai :

    a. Terlaksananya Penggerakan POR di Propinsi Papua Barat,

    Propinsi Bengkulu dan Propinsi Nusa Tenggara Timur.

    b. Terlaksananya Workshop Penggunaan Antibiotik Secara

    Rasional di Propinsi Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.

  • c. Terlaksananya Evaluasi Penggerakan POR di Propinsi

    Kepulauan Riau dan Propinsi Sulawesi Barat.

    d. Meningkatnya Penggunaan Obat Rasional pada swamedikasi

    oleh masyarakat melalui program pemberdayaan masyarakat

    dengan metode CBIA.

    e. Terlaksananya Pemantapan Koordinasi Kebijakan POR.

    f. Terlaksananya Peningkatan Kapasitas Teknis POR bagi Tenaga

    Kesehatan di Propinsi Bangka Belitung.

    g. Terlaksananya Pemantauan Pelaksanaan Program POR di 11

    Propinsi.

    h. Tersebarnya Informasi kepada Masyarakat dalam rangka

    Peningkatan Penggunaan Obat Rasional melalui media promosi.

    2. Permasalahan :

    a. Terbatasnya dukungan dari Pemerintah Daerah dalam

    penganggaran program yang terkait dengan peningkatan POR,

    sehingga Dinkes Propinsi maupun Kabupaten/Kota belum dapat

    menindaklanjuti program peningkatan POR dan pemberdayaan

    masyarakat di tingkat daerah secara optimal.

    b. Pelayanan kefarmasian khusunya POR masuk dalam salah satu

    standar pelayanan minimal sehingga tidak sehingga tidak

    menjadi program prioritas di daerah (SDM)

    c. Kurangnya koordinasi dengan bagian Promosi Kesehatan baik di

    tingkat pusat maupun daerah sehingga pelaksanaan Promosi

    Penggunaan Obat Rasional dan pemberdayaan masyarakat

    belum optimal.

    d. Terbatasnya sebaran media promosi kepada masyarakat

    sehingga sasaran masyarakat yang menerima informasi tentang

    Penggunaan Obat Rasional masih terbatas.

  • e. Kurangnya koordinasi dengan lintas sektor dan unit kerja lain

    yang terkait dalam pelaksanaan program POR sehingga program

    POR belum terintegrasi dengan program di unit kerja yang lain

    khususnya di bidang ketersediaan obat.

    f. Kurangnya pelatihan dan bimbingan teknis kepada tenaga

    kesehatan di puskesmas dalam pengumpulan data indikator

    peresepan sehingga menghambat terlaksananya pemantauan

    dan evaluasi POR.

    g. Kurangnya keterlibatan perguruan tinggi (akademisi) dalam

    pelaksanaan program peningkatan POR di daerah, sehingga

    program POR kurang terarah dan sistematis.

    h. Belum adanya kebijakan khusus dan sanksi yang tegas tentang

    penggunaan antibiotika, sehingga penggunaan antibiotika secara

    tidak rasional oleh tenaga kesehatan masih tinggi, serta

    pembelian antibiotik secara bebas oleh masyarakat banyak

    terjadi.

    i. Belum adanya format pemantauan POR di rumah sakit yang

    baku, sehingga penggunaan obat di rumah sakit belum dapat

    terukur kerasionalannya di tingkat Nasional.

    j. Masih kurangnya pedoman penggunaan obat yang rasional bagi

    penulis resep (prescriber), sehingga penggunaan obat yang tidak

    rasional oleh tenaga kesehatan masih banyak terjadi.

    3. Usul Pemecahan Masalah :

    a. Perlu dorongan kepada Dinas Kesehatan untuk melakukan

    advokasi secara intensif kepada Pemerintah Daerah agar dapat

    mendukung penganggaran program yang terkait dengan

    peningkatan POR dan pemberdayaan masyarakat di tingkat

    daerah.

    b. Perlu dilakukan koordinasi dengan Promosi Kesehatan baik di

    tingkat pusat maupun daerah secara kontinu agar pelaksanaan

  • Promosi Penggunaan Obat Rasional dan pemberdayaan

    masyarakat dapat optimal.

    c. Perlu peningkatan sebaran media promosi kepada wilayah yang

    lebih luas sehingga sasaran masyarakat yang menerima informasi

    tentang Penggunaan Obat Rasional dapat ditingkatkan.

    d. Perlu dilakukan koordinasi dengan lintas sektor dan unit kerja lain

    yang terkait dengan program POR sehingga program POR dapat

    terintegrasi dengan program di unit kerja yang lain.

    e. Perlu dilaksanakan pelatihan dan bimbingan teknis kepada tenaga

    kesehatan di puskesmas dalam pengumpulan data indikator

    peresepan sehingga memperlancar terlaksananya pemantauan

    dan evaluasi POR.

    f. Perlunya ditingkatkan keterlibatan Perguruan tinggi (akademisi)

    dalam pelaksanaan program peningkatan POR di daerah,

    sehingga program POR di daerah dapat terarah dan sistematis.

    g. Perlu dirancang kebijakan khusus dan sanksi yang tegas tentang

    penggunaan antibiotika, sehingga penggunaan antibiotika secara

    tidak rasional oleh tenaga kesehatan, serta pembelian antibiotik

    secara bebas oleh masyarakat dapat diturunkan.

    h. Perlu disusun format pemantauan POR di rumah sakit yang baku,

    sehingga penggunaan obat di rumah sakit dapat terukur

    kerasionalannya di tingkat nasional.

    i. Perlu disusun pedoman penggunaan obat yang rasional bagi

    penulis resep (prescriber), sehingga penggunaan obat yang tidak

    rasional berkurang.

    Untuk mencapai indikator Persentase Penggunaan Obat Rasional di

    Sarana Pelayanan Kesehatan Dasar Pemerintah diperlukan kegiatan-

    kegiatan sebagai berikut :

  • RINCIAN KEGIATAN I

    Penggerakan Penggunaan Obat Rasional

    a. Sasaran Kegiatan

    1. Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/ Kota

    2. Rumah Sakit Propinsi dan Kabupaten/ Kota

    3. Tenaga kesehatan dan Kader kesehatan puskesmas di Propinsi

    tempat penyelenggaraan pertemuan.

    b. Kondisi yang dicapai

    Kegiatan ini diselenggarakan secara swakelola dan dilaksanakan

    dengan metode Ceramah Tanya Jawab, Curah Pendapat, Praktek

    Kerja Lapangan (PKL) di puskesmas, Diskusi dan penyusunan

    Rencana Tindak Lanjut (RTL) di 3 (tiga) Propinsi. Narasumber yang

    memberikan materi terdiri dari pakar di bidang EBM dan POR,

    Praktisi dari Rumah Sakit terpilih, Tim Penggerak POR di propinsi

    lain, Direktorat Bina Pelayanan kefarmasian dan Bapelkes setempat.

    Penggerakan POR tahun ini dilaksanakan di 3 (tiga) Propinsi yaitu:

    1. Penggerakan POR di Propinsi Papua Barat

    Penggerakan POR dilaksanakan pada bulan Maret 2013.

    Peserta yang dilibatkan dalam Penggerakan POR adalah Kabid,

    Kasie dan staf Farmasi dan Promkes Dinas Kesehatan Propinsi

    Papua Barat, Rumah Sakit Propinsi Papua Barat dan 9

    Kabupaten, Seksi Farmasi dan Promkes Dinas Kesehatan di 2

    Kota dan 9 Kabupaten, Tenaga kesehatan dan Kader kesehatan

    dari 2 (dua) puskesmas di Kota Manokwari.

    2. Penggerakan POR di Propinsi Bengkulu

    Penggerakan POR dilaksanakan pada bulan April 2013.

    Peserta yang dilibatkan dalam Penggerakan POR adalah Kabid,

    Kasie, Staf Farmasi dan Promkes Dinas Kesehatan Propinsi

  • Bengkulu, Rumah Sakit Propinsi Bengkulu dan 9 Kabupaten,

    Seksi Farmasi dan Promkes Dinas Kesehatan di 1 Kota dan 9

    Kabupaten, Tenaga kesehatan dan Kader kesehatan dari 2 (dua)

    puskesmas di Kota Bengkulu.

    3. Penggerakan POR di Propinsi Nusa Tenggara Timur

    Penggerakan POR dilaksanakan pada bulan Juni 2013. Peserta

    yang dilibatkan dalam Penggerakan POR adalah Kasie, Staf

    Farmasi dan Promkes Dinas Kesehatan Propinsi Nusa Tenggara

    Timur, Rumah Sakit Propinsi Nusa Tenggara Timur dan 9

    Kabupaten, Seksi Farmasi dan Promkes Dinas Kesehatan di 1

    Kota dan 10 Kabupaten, Tenaga kesehatan dan Kader kesehatan

    dari 2 (dua) puskesmas di Kota Kupang.

    c. Permasalahan

    1. Terbatasnya dukungan dari Pemerintah Daerah dalam

    penganggaran program yang terkait dengan peningkatan POR,

    sehingga Dinkes Propinsi maupun Kabupaten/Kota belum dapat

    secara optimal menindaklanjuti program pelaksanaan POR dan

    pemberdayaan masyarakat di tingkat daerah.

    2. Kurangnya keterlibatan perguruan tinggi (akademisi) dalam

    pelaksanaan program peningkatan POR di daerah, sehingga

    program POR kurang terarah dan sistematis.

    3. Belum direvisinya SK Tim Penggerak POR di tingkat Nasional.

    4. Belum ada sertifikasi untuk peserta kegiatan penggerakan POR.

    d. Usulan Pemecahan Masalah

    1. Perlu dorongan kepada Dinas Kesehatan Propinsi dan

    Kabupaten/Kota untuk melakukan advokasi secara intensif

    kepada Pemerintah Daerah agar dapat mendukung

    penganggaran program yang terkait dengan peningkatan POR

    dan pemberdayaan masyarakat di tingkat daerah.

  • 2. Perlunya ditingkatkan keterlibatan Perguruan Tinggi (akademisi)

    dalam pelaksanaan program peningkatan POR di daerah,

    sehingga program POR di daerah dapat terarah dan sistematis.

    3. Perlu direvisinya SK Tim Penggerak POR di tingkat nasional.

    4. Perlu dilakukan sertifikasi untuk peserta kegiatan penggerakan

    POR.

    RINCIAN KEGIATAN II

    Workshop Penggunaan Antibiotik secara Rasional di 2 Propinsi yaitu

    Propinsi Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.

    a. Sasaran Kegiatan

    1. Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/ Kota

    2. Rumah Sakit Propinsi dan Kabupaten/Kota

    3. Fakultas Farmasi dan Kedokteran di Universitas setempat

    4. Pengurus IDI dan IAI di daerah setempat

    5. Dokter dan apoteker dari puskesmas terpilih.

    b. Kondisi yang dicapai

    Kegiatan Workshop Penggunaan Antibiotik secara Rasional tahun ini

    telah dilaksanakan di 2 (dua) Propinsi yaitu Propinsi Kalimantan

    Selatan dan Sulawesi Selatan, melalui peningkatan kapasitas

    sumber daya manusia dalam pelayanan kesehatan. Narasumber

    yang terlibat dari Tim PPRA RSUD Dr Soetomo, Pakar Farmakologi

    klinis dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Direktorat

    Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Direktorat Jenderal Pengendalian

    Penyakit dan penyehatan Lingkungan, Direktorat Bina Pelayanan

    Kefarmasian dan EDM konsultan WHO Indonesia.

  • Workshop Penggunaan Antibiotik secara Rasional di 2 Propinsi yaitu

    1. Workshop Penggunaan Antibiotik secara Rasional di Propinsi

    Kalimantan Selatan.

    Workshop Penggunaan Antibiotik secara Rasional dilaksanakan

    pada bulan Mei 2013. Peserta yang dilibatkan dalam Workshop

    Penggunaan Antibiotik secara Rasional adalah Kasie dan Staf

    Farmasi Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Selatan, Rumah

    Sakit Propinsi Kalimantan Selatan dan 6 Kabupaten, Seksi

    Farmasi Dinas Kesehatan di 6 Kabupaten, Dokter dan Apoteker

    dari Puskesmas terpilih sertaFakultas Farmasi dan Kedokteran di

    Universitas Lambung Mangkurat.

    2. Workshop penggunaan antibiotik secara rasional di Propinsi

    Sulawesi Selatan.

    Workshop penggunaan antibiotik secara rasional dilaksanakan

    bulan Juni 2013. Peserta yang dilibatkan dalam Workshop

    penggunaan Antibiotik secara rasional adalah Kasie dan Staf

    Farmasi Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan, Rumah

    Sakit Propinsi Sulawesi Selatan, 1 Kota dan 6 Kabupaten, Seksi

    Farmasi Dinas Kesehatan di 1 Kota dan 6 Kabupaten, 1 Dokter

    dan Apoteker Puskesmas terpilih dan Fakultas Farmasi dan

    Kedokteran di Universitas Hasanuddin dan IAI Propinsi Sulawesi

    Selatan.

    c. Permasalahan

    1. Kurangnya pelatihan dan bimbingan teknis kepada tenaga

    kesehatan di puskesmas dalam pengumpulan data indikator

    peresepan sehingga menghambat terlaksananya pemantauan

    dan evaluasi penggunaan antibiotik.

    2. Kurangnya keterlibatan perguruan tinggi (akademisi) dalam

    pelaksanaan program peningkatan POR di daerah, sehingga

    program POR kurang terarah dan sistematis.

  • 3. Belum adanya kebijakan khusus dan sanksi yang tegas tentang

    penggunaan antibiotika, sehingga penggunaan antibiotika secara

    bijak belum dilakukan oleh tenaga kesehatan secara optimal,

    serta pembelian antibiotik secara bebas oleh masyarakat banyak

    terjadi.

    4. Kurangnya kesadaran dari tenaga kesehatan dalam pemberian

    antibiotik yang tepat untuk pasien.

    5. Kurangnya komitmen pemerintah daerah untuk penggunaan

    antibiotik dan edukasi yang berkelanjutan dalam penggunaan

    antibiotik secara rasional.

    d. Usulan Pemecahan Masalah

    1. Perlu dilaksanakan pelatihan dan bimbingan teknis kepada

    tenaga kesehatan di puskesmas dalam pengumpulan data

    indikator peresepan sehingga memperlancar terlaksananya

    pemantauan dan evaluasi POR.

    2. Perlunya ditingkatkan keterlibatan Perguruan tinggi (akademisi)

    dalam pelaksanaan program peningkatan POR di daerah,

    sehingga program POR di daerah dapat terarah dan sistematis.

    3. Perlu dirancang kebijakan khusus dan sanksi yang tegas tentang

    penggunaan antibiotika, sehingga penggunaan antibiotika secara

    tidak rasional oleh tenaga kesehatan, serta pembelian antibiotik

    secara bebas oleh masyarakat dapat diturunkan.

    4. Perlu adanya kesadaran dari tenaga kesehatan dalam pemberian

    antibiotik yang tepat untuk pasien.

    5. Perlu adanya komitmen pemerintah daerah untuk penggunaan

    antibiotik dan edukasi yang berkelanjutan dalam penggunaan

    antibiotik secara rasional.

  • RINCIAN KEGIATAN III

    Evaluasi Penggerakan Penggunaan Obat Rasional

    a. Sasaran Kegiatan

    1. Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/ Kota

    2. Rumah Sakit Propinsi dan Kabupaten/Kota

    3. Dokter dan apoteker dari puskesmas yang terpilih.

    b. Kondisi yang dicapai

    Evaluasi penggerakan POR dilaksanakan bulan Agustus 2013 di

    Propinsi Kepulauan Riau (kota Batam) dan Propinsi Sulawesi Barat

    (Mamuju). Metode pelaksanaan kegiatan ini adalah swakelola

    melalui pertemuan dengan presentasi dari narasumber dan diskusi.

    Narasumber yang memberikan materi terdiri dari EDM konsultan

    WHO Indonesia, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, dan Dinas

    Kesehatan Propinsi/Kota setempat.

    Evaluasi penggerakan POR di 2 Propinsi yaitu

    1. Evaluasi penggerakan POR di Propinsi Kepulauan Riau.

    Peserta yang dilibatkan dalam Evaluasi Penggerakan POR

    secara rasional adalah Kabid, Kasie dan Staf Farmasi Dinas

    Kesehatan Propinsi Kepulauan Riau, di 2 Kota dan 5 Kabupaten,

    Rumah Sakit Propinsi Kepulauan Riau, di 2 Kota dan 5

    Kabupaten.

    2. Evaluasi Penggerakan POR di Propinsi Sulawesi Barat.

    Kegiatan Evaluasi Penggerakan POR di Propinsi Sulawesi Barat,

    melibatkan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi, Kasie dan Staf

    Farmasi Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Barat, dan 5 Rumah

    Sakit Propinsi Sulawesi Barat dan 5 Kabupaten.

  • c. Permasalahan

    1. Belum ada dukungan dari Pemerintah Daerah dalam

    penganggaran program yang terkait dengan peningkatan POR,

    sehingga dinkes propinsi maupun Kabupaten/Kota belum dapat

    secara optimal menindaklanjuti program pelaksanaan POR dan

    pemberdayaan masyarakat di tingkat daerah.

    2. Belum adanya format pemantauan POR di rumah sakit yang

    baku, sehingga penggunaan obat di rumah sakit belum dapat

    terukur kerasionalannya di tingkat nasional.

    3. Belum terbentuknya jejaring kerja lintas sektor dan unit kerja lain

    yang terkait dalam pelaksanaan program POR sehingga program

    POR belum terintegrasi dengan program di unit kerja yang lain

    khususnya di bidang ketersediaan obat.

    4. Kurangnya pelatihan dan bimbingan teknis kepada tenaga

    kesehatan di puskesmas dalam pengumpulan data indikator

    peresepan sehingga menghambat terlaksananya pemantauan

    dan evaluasi POR.

    d. Usulan Pemecahan Masalah

    1. Perlu dorongan kepada dinas kesehatan untuk melakukan

    advokasi secara intensif kepada Pemerintah Daerah agar dapat

    mendukung penganggaran program yang terkait dengan

    peningkatan POR dan pemberdayaan masyarakat di tingkat

    daerah.

    2. Perlu disusun format pemantauan POR di rumah sakit yang baku,

    sehingga penggunaan obat di rumah sakit dapat terukur

    kerasionalannya di tingkat nasional.

    3. Perlu dilakukan koordinasi dengan lintas sektor dan unit kerja lain

    yang terkait dengan program POR sehingga program POR dapat

    terintegrasi dengan program di unit kerja yang lain.

    4. Perlu dilaksanakan pelatihan dan bimbingan teknis kepada

    tenaga kesehatan di puskesmas dalam pengumpulan data

  • indikator peresepan sehingga memperlancar terlaksananya

    pemantauan dan evaluasi POR.

    RINCIAN KEGIATAN IV

    Pemberdayaan Masyarakat dalam rangka Peningkatan Penggunaan

    Obat Rasional

    a. Sasaran Kegiatan

    1. Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/ Kota

    2. Dokter dan apoteker dari puskesmas yang terpilih

    3. Tim penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (Kader

    Masyarakat)

    b. Kondisi yang dicapai

    Pemberdayaan Masyarakat dalam rangka Peningkatan Penggunaan

    Obat Rasional dilaksanakan di 2 (dua) Propinsi, melalui metode

    swakelola dan pelaksanaan oleh pihak ketiga. Narasumber yang

    memberikan materi terdiri dari Dinas Kesehatan Propinsi Lampung,

    Pakar Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gaja

    mada UGM, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian yaitu:

    1. Pemberdayaan Masyarakat dalam rangka Peningkatan

    Penggunaan Obat Rasional di Propinsi Lampung

    Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Mei 2013, Peserta yang

    dilibatkan dalam kegiatan ini adalah Kasie Farmasi Dinas

    Kesehatan Propinsi Lampung, 2 Kota dan 5 Kabupaten, Dokter

    dan apoteker dari puskesmas yang terpilih di Kota Bandar

    Lampung, dan Tim Penggerak Kesejahteraan Keluarga (PKK)

    dan Kader Kesehatan (Posyandu) dari Puskesmas terpilih di

    Kota Bandar Lampung.

    2. Pemberdayaan Masyarakat dalam rangka Peningkatan

    Penggunaan Obat Rasional di Propinsi Bali

  • Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013, Peserta

    yang dilibatkan dalam kegiatan ini adalah Kasie Farmasi Dinas

    Kesehatan Propinsi Bali, 1 Kota dan 5 Kabupaten, Dokter dan

    apoteker dari puskesmas yang terpilih di Kota Denpasar dan Tim

    Penggerak Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan Kader kesehatan

    (Posyandu) dari Puskesmas terpilih dari Kota Denpasar.

    c. Permasalahan

    1. Kurangnya komitmen dari kepada Dinas kesehatan untuk

    melakukan advokasi secara intensif kepada Pemerintah Daerah

    agar mendapat dukungan penganggaran program pemberdayaan

    masyarakat di tingkat daerah.

    2. Kurangnya koordinasi dengan Promosi Kesehatan baik di tingkat

    pusat maupun daerah secara kontinu.

    3. Kurangnya peningkatan kualitas tenaga kesehatan di dinas

    provinsi dan kabupaten/kota tentang POR sehingga bisa

    melakukan pemberdayaan masyarakat tentang POR kepada

    kader di puskesmas dan masyarakat di lingkungan kerjanya

    4. Kurangnya promosi penggunaan obat rasional dan obat generik

    kepada masyarakat melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat

    dengan menggunakan sarana/prasarana yang ada di Kab/Kota

    bekerjasama dengan lintas sektor dan lintas program.

    5. Belum adanya pemberdayaan masyarakat tentang penggunaan

    obat rasional di Kab/Kota secara berkesinambungan dan terus

    menerus sehingga masyarakat dapat melakukan pengobatan

    sendiri (swamedikasi), dengan metode yang digunakan Cara

    Belajar Insan Aktif (CBIA).

    d. Usulan pemecahan masalah

    1. Perlu dorongan kepada Dinas kesehatan untuk melakukan

    advokasi secara intensif kepada Pemerintah Daerah agar dapat

  • mendukung penganggaran program pemberdayaan masyarakat

    di tingkat daerah.

    2. Perlu dilakukan koordinasi dengan Promosi Kesehatan baik di

    tingkat pusat maupun daerah secara kontinu agar Promosi

    Penggunaan Obat Rasional dapat dilaksanakan secara optimal.

    3. Meningkatkan kualitas tenaga kesehatan di dinas provinsi dan

    kabupaten/kota tentang POR sehingga bisa melakukan

    pemberdayaan masyarakat tentang POR kepada kader di

    puskesmas dan masyarakat di lingkungan kerjanya

    4. Melakukan promosi penggunaan obat rasional dan obat generik

    kepada masyarakat melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat

    dengan menggunakan sarana/prasarana yang ada di Kab/Kota

    bekerjasama dengan lintas sektor dan lintas program.

    5. Melaksanakan pemberdayaan masyarakat tentang penggunaan

    obat rasional di Kab/Kota secara berkesinambungan dan terus

    menerus sehingga masyarakat dapat melakukan pengobatan

    sendiri (swamedikasi), dengan metode Cara Belajar Insan Aktif.

    RINCIAN KEGIATAN V

    Pemantapan Koordinasi Kebijakan POR

    a. Sasaran Kegiatan

    1. Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/ Kota

    2. Rumah Sakit Propinsi dan Kabupaten/ Kota

    b. Kondisi yang dicapai

    Pemantapan Kebijakan tentang Penggunaan Obat Rasional

    dilaksanakan 3 kali rapat di Jakarta. Metode Pelaksanaan kegiatan

    ini adalah swakelola. Peserta yang dilibatkan adalah Kepala Instalasi

    Farmasi Rumah Sakit terpilih, Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta,

    Direktorat Bina Upaua Kesehatan Rujukan, Direktorat Bina Upaya

    kesehatan Dasar, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian.

    Sedangkan Narasumber adalah EDM Konsultan WHO Indonesia,

  • pakar dari Fakultas Kedokteran Universitas Gajamada dan Fakultas

    Farmasi Universitas Indonesia.

    c. Permasalahan

    1. Kurang optimalnya program intervensi kepada tenaga

    kesehatan secara terkoordinasi dengan unit kerja lain.

    2. Kurangnya koordinasi dengan lintas sektor dan unit kerja lain

    yang terkait dalam pelaksanaan program POR sehingga program

    POR belum terintegrasi dengan program di unit kerja yang lain

    khususnya di bidang Promosi Kesehatan dan Direktorat jenderal

    Bina Upaya kesehatan.

    3. Kurangnya keterlibatan perguruan tinggi (akademisi) dalam

    pelaksanaan program peningkatan POR, sehingga program POR

    kurang optimal.

    4. Belum adanya format pemantauan POR di rumah sakit yang

    baku, sehingga penggunaan obat di rumah sakit belum dapat

    terukur kerasionalannya di tingkat nasional.

    5. Kurangnya koordinasi internal dalam lingkungan Direktorat Bina

    Pelayanan Kefarmasian.

    d. Usulan Pemecahan Masalah

    1. Perlunya disusun strategi intervensi baru bagi tenaga kesehatan

    baik dokter, perawat, apoteker, TTK dan masyarakat, secara

    terkoordinasi dengan unit kerja lain baik eksternal maupun

    internal.

    2. Perlu ditingkatkan koordinasi dengan lintas sektor dan unit kerja

    lain