MINI PROJECTMENINGKATKAN PENGETAHUAN TENTANG PENYAKIT KUSTA PADA
KADER DI DESA NGEMBO KECAMATAN UJUNG PANGKAH
KABUPATEN GRESIK
Disusun oleh:
dr. Damas FitriyaniPembimbing:
dr. Hj. Setyorini
NIP. 19721004 200801 2 006
PUSKESMAS UJUNG PANGKAHKABUPATEN GRESIK, JAWA TIMURPROGRAM
DOKTER INTERNSHIP
PERIODE OKTOBER 2014 OKTOBER 2015KATA PENGANTAR
Segala puji dipanjatkan hanya kepada Allah SWT, Tuhan pencipta
semesta alam, yang telah memberi petunjuk dan hidayah-Nya. Yang
telah memberi setiap anugerah terindah, kemudahan dan pertolongan
sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Mini Project untuk
program Dokter Interenship yang berjudul Meningkatkan pengetahuan
tentang penyakit kusta pada kader di Desa Ngembo Kecamatan Ujung
Pangkah Kabupaten Gresik.Keberhasilan penulis dalam penulisan
makalah mini project ini tentunya tidak lepas dari berbagai pihak
yang sangat membantu. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Puskesmas Ujung Pangkah Gresik dan
Dinas Kesehatan Gresik Jawa Timur dan semua pihak yang telah
membantu terselesaikannya makalah ini.
Ketertarikan penulis dengan topik ini didasari oleh tingginya
tingkat penderita kusta di kecamatan Ujung Pangkah ini dan
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta baik itu
cara penularannya maupun pengobatannya yang sebenarnya digratiskan.
Sehingga penulis ingin meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang
penyakit kusta.
Penulis menyadari bahwa makalah mini project ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang sifatnya membangun dari semua pihak dan semoga Tugas
mini project ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan pihak lain.
Gresik, Februari 2015 PenulisDAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................1KATA
PENGANTAR..................................................................................................2
DAFTAR ISI
....................................................................................................................3BAB
I PENDAHULUAN................51.1 Latar
Belakang........................................................................................................51.2
Rumusan
Masalah....................................................................................................6
1.3 Tujuan...................61.4
Manfaat.....................................................................................................................6
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA..............................................................................................72.1
Definisi dan
Etiologi................................................................................................72.2
Epidemiologi............................................................................................................7
2.3 Klasifikasi Penyakit
Kusta.......................................................................................8
2.4 Cara Penularan Penyakit
Kusta..............................................................................102.5
Diagnosa Penyakit
Kusta.......................................................................................102.6
Pemeriksaan
Penderita...........................................................................................112.7
Pencegahan Penyakit
Kusta....................................................................................162.8
Pencegahan
Kecacatan...........................................................................................172.9
Penemuan dan Pengobatan Penyakit
Kusta............................................................19BAB
III
METODE.................................................................................................................273.1
Jenis Metode .................273.2 Sasaran ..................283.3
Media ..............29BAB IV
HASIL.......................................................................................................................304.1
Profil Komunitas Umum ..............304.2 Data Geografis
..............314.3 Data Demografik ..............314.4 Sumber Daya
Kesehatan Desa Ngembo..............324.5 Sarana Pelayanan Kesehatan
Desa Ngembo..............334.6 Data Kesehatan
Masyarakat..............334.7 Data Penderita Penyakit
Kusta...............................................................................33BAB
V
PEMBAHASAN........................................................................................................34BAB
VI
PENUTUP................................................................................................................376.1
Kesimpulan ..............376.2 Saran ..............37DAFTAR
PUSTAKA..............38LAMPIRAN ..............40BAB I
PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang1,2,3Kusta merupakan salah satu
penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks.
Masalah yang dimaksud bukan hanya masalah dari segi medis, tapi
juga meluas ke masalah sosial, budaya, ekonomi, keamanan, dan juga
ketahanan nasional. Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara
yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan negara tersebut
dalam memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan,
kesejahteraaan sosial ekonomi pada masyarakat. Penyakit kusta
sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk
sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya
pengetahuan maupun pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap
kusta. Pada tahun 1991 World Health Assembly telah mengeluarkan
suatu resolusi yaitu eliminasi kusta tahun 2000, sehingga penyakit
kusta tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Eliminasi
yang dimaksud World Health Organization (WHO) adalah suatu keadaan
dimana prevalensi (jumlah penderita yang tercatat) kurang dari
1/10.000 penduduk. Menurut WHO Weekly Epidemiological Report
mengenai kusta tahun 2010, selama tahun 2009 terdapat 17.260 kasus
baru di Indonesia, dengan 14.227 kasus teridentifikasi sebagai
kasus kusta tipe Multi Basiler (MB) yang merupakan tipe yang
menular.
Sepanjang tahun 2013, Kementerian Kesehatan RI mencatat 16.825
kasus kusta baru, dengan angka kecacatan 6,82 per 1.000.000
penduduk. Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat ketiga dunia
dengan kasus baru kusta terbanyak setelah India (134.752 kasus) dan
Brasil (33.303 kasus).
1.2 Rumusan MasalahBerdasarkan uraian di atas, permasalahan yang
muncul adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pengetahuan warga Desa Ngembo yang khususnya
para kader di kecamatan Ujung Pangkah tentang penyakit kusta?b.
Tindakan apakah yang paling sesuai dilakukan untuk meningkatkan
pengetahuan para kader yang mewakili warga Desa Ngembo mengenai
penyakit kusta?1.3 Tujuan Penelitian a. Untuk menambah pengetahuan
para kader mengenai penyakit kusta dengan metode penyuluhan,
diskusi dan sesi tanya jawab sehingga dapat menyampaikan yang
diketahuinya setelah penyuluhan ini kepada warga Desa Ngembo.b.
Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya penyakit
kusta yang bisa menyebabkan kecacatan dan memberi informasi bahwa
pengobatan penyakit kusta bisa diperoleh gratis di puskesmas dan
sebenarnya kusta itu bisa disembuhkan.1.4 Manfaat
a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk
meningkatkan wawasan dan pengetahuan warga Desa Ngembo tentang
penyakit kusta.b. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat
menjadi masukan bagi peneliti lain untuk penelitian selanjutnya,
khususnya bagi penelitian yang berhubungan dengan peningkatan
pengetahuan tentang penyakit kusta.BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan Etiologi8
Kusta atau lepra atau morbus hansen adalah penyakit kronis yang
disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae ( M. Leprae ). M.
Leprae merupakan basil tahan asam (BTA), bersifat obligat
intraselular, menyerang saraf perifer, kulit, dan organ lain
seperti mukosa saluran napas bagian atas, hati, dan sumsum tulang
kecuali susunan saraf pusat. 2.2 Epidemiologi11,2,3a. Distribusi
Menurut Orang
Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi
dapat dilihat karena faktor geografi. Namun, jika diamati dalam
satu Negara atau wilayah yang sama kondisi lingkungannya ternyata
perbedaan distribusi dapat terjadi karena faktor etnik. Di Myanmar
kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma
dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga
mengindikasikan hal yang sama, yaitu kejadian kusta lebih banyak
pada etnik China dibandingkan etnik Melayu atau India. Demikian
pula kejadian di Indonesia, etnik Madura dan Bugis lebih banyak
menderita kusta dibandingkan etnik Jawa atau Melayu.
b. Distribusi Menurut Tempat dan Waktu
Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang
berbeda-beda. Diantara 122 negara yang endemis pada tahun 1985
dengan prevalensi >1/10.000 penduduk, hanya tinggal 6 negara
yang masih belum mencapai eliminasi di tahun 2005 yaitu : India,
Brazil, Indonesia, Bangladesh, Congo, dan Nepal.
Dari 10 negara dengan jumlah kasus baru terbesar di dunia,
Indonesia menempati posisi ke-3 setelah India dan Brazil.
Berdasarkan data kusta awal 2005 Indonesia menempati posisi ke-2
dengan angka prevalensi 0,9 per 10.000 penduduk. Di Indonesia,
kasus terbanyak terdapat di Jawa Timur dengan prevalensi rate 1,76
per 10.000 penduduk, dan paling sedikit terdapat di daerah Bengkulu
dengan prevalensi rate 0,17 per 10.000 jumlah penduduk. Penemuan
kasus baru selama bulan Januari-Desember 2005 paling banyak
ditemukan di Jawa Timur.c. DeterminanTimbulnya penyakit kusta bagi
seseorang tidak mudah, dan tidak perlu di takuti. Adapun beberapa
faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kusta dipengaruhi oleh
host, agent, dan environment antara lain :
a. Faktor Daya Tahan Tubuh (host)
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari
hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95
orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat, dan 2
orang menjadi sakit. Hal ini belum memperhitungkan pengaruh
pengobatan.
b. Faktor Kuman (agent)
Kuman dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1-9 hari
tergantung pada suhu atau cuaca, dan hanya kuman kusta yang utuh
(solid) saja yang dapat menimbulkan penularan.
c. Faktor Sumber Penularan (environment)
Sumber penularan adalah penderita kusta tipe Multi Baciler (MB).
Penderita MB ini pun tidak akan menularkan kusta apabila berobat
teratur. Penyakit ini dapat ditularkan melalui pernafasan (droplet)
dan kulit.2.3 Klasifikasi Penyakit Kusta2,3Tujuan klasifikasi ini
untuk menentukan regimen pengobatan dan perencanaan operasional.
Untuk keperluan pengobatan kombinasi atau Multidrug Therapy (MDT)
yaitu menggunakan gabungan Rifampicin, Lamprene dan DDS, maka
penyakit kustadi Indonesia diklasifikasikan menjadi 2 tipe seperti
klasifikasi menurut WHO (1998) yaitu:
a. Tipe PB (Pausibasiler)
Yang dimaksud dengan kusta tipe PB adalah penderita kusta dengan
Basil Tahan Asam (BTA) pada sediaan apus, yakni tipe I
(Indeterminate) TT (Tuberculoid) dan BT (Boderline Tuberculoid)
menurut kriteria Ridley dan Joplin dan hanya mempunyai jumlah lesi
1-5 pada kulit.
b. Tipe MB (Multi Basiler)
Kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB (Mid Boderline),
BL (Boderline lepromatous) dan LL (lepromatosa) menurut kriteria
Ridley dan Joplin dengan jumlah lesi 6 atau lebih dan skin smer
positif.Menurut Madrid klasifikasi kusta dibagi menjadi 4 yaitu :
indeterminate, tuberculoid,
borderline, dan lepromatosa.
Hubungan Lymphocyte dengan Type Kusta.(Ridley dan Joplin,
1996)
Penentuan klasifikasi berdasarkan pemeriksaan laboratorium
(Bacteriological Index/BI).
Lapangan Pandang dengan pembesaran 100X
1+:1 Bacil dalam 100 lapangan pandang
2+ :1 Bacil dalam 10 lapangan pandang
3+ :1 Bacil dalam tiap lapangan pandang
4+ :10 Bacil dalam tiap lapangan pandang
5+ :100 Bacil dlam tiap lapangan pandang
6+ :1000 Bacil dalam tiap lapangan pandang
Dari hasil pemeriksaan bakteri dengan mikroskop diatas maka
kusta dapat di
klasifikasikan menjadi :
Tuberculoid
Noneseen
Boderline Tuberculoid
0 3+
Boderline Boderline
3 5+
Boderline Lepromatosa
5 6+
Lepromatosa Lepromatosa
>6+2.4 Cara Penularan Penyakit Kusta 4,5,6,7,8Penyakit kusta
dapat ditularkan dari penderita kusta tipe MB kepada orang lain
secara langsung. Cara penularan penyakit ini masih belum diketahui
secara pasti, tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa
penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan dan
kulit. Kusta mempunyai masa inkubasi 2-5 tahun, akan tetapi dapat
juga berlangsung sampai bertahun-tahun. Meskipun cara masuk kuman
M.leprae ke dalam tubuh belum diketahui secara pasti, namun
beberapa penelitian telah menunujukkan bahwa yang paling
sering adalah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang
bersuhu dingin dan pada mukosa nasal. Selain itu penularan juga
dapat terjadi apabila kontak dengan penderita dalam waktu yang
sangat lama.
2.5 Diagnosa Penyakit Kusta4,5,6,7,8Penyakit kusta dapat
menunjukkan gejala yang mirip dengan banyak penyakit lain.
Sebaliknya penyakit lain dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan
penyakit kusta. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan untuk
mendiagnosis penyakit kusta secara tepat dan membedakannya dengan
berbagai penyakit lain agar tidak membuat kesalahan yang merugikan
penderita.
Diagnosa penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal
(gejala utama), yaitu :
a. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau
meninggi (plakat). Mati rasa pada bercak bersifat total atau
sebagian saja terhadap rasa sentuh, rasa suhu, dan rasa nyeri
b. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan juga dapat disertai atau tanpa
gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu gangguan fungsi sensoris
(mati rasa), gangguan fungsi motoris (paresis atau paralysis), dan
gangguan fungsi otonom (kulit kering, retak, edema, pertumbuhan
rambut yang terganggu).c. Ditemukan basil tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi
kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari
biopsy kulit atau saraf. Untuk menegakkan penyakit kusta, paling
sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum
dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta
dan penderita perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan
sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.
2.6 Pemeriksaan Penderita4,5,6,7,81. Anamnesis
a. Keluhan penderita
b. Riwayat kontak dengan penderitac. Latar belakang keluarga,
misalnya keadaan sosial ekonomis.2. Inspeksi
Dengan penerangan yang baik, lesi kulit harus diperhatikan dan
juga kerusakan kulit.
3. Palpasi
a. Kelainan kulit, nodus infiltrate, jaringan perut, ulkus,
khususnya paa tangandan kaki
b. Kelainana saraf : pemeriksaan saraf, termasuk meraba dengan
teliti :
N.aurikularis magnus, N.ulnaris, dan N.peroneus. Petugas harus
mencatat, adanya nyeri tekan dan penebalan saraf. Harus
diperhatikan raut wajah si penderita, apakah kesakitan atau tidak
pada waktu saraf diraba. Pemeriksaan saraf harus sistematis, meraba
atau palpasi sedemikian rupa jangan sampai menyakiti atau penderita
mendapat kesan kurang baik.Cara pemeriksaan saraf :a. Bandingkan
saraf bagian kiri dan kanan.b. Membesar atau tidakc. Bentuk bulat
atau ovald. Pembesaran regular (smooth) atau irregular, lumps,
kerotse. Perabaan keras atau kenyalf. Nyeri atau tidak
Untuk mendapat kesan saraf mana yang masih normal,
diperlukan
pengalaman yang banyak.
Cara pemeriksaan saraf tepi :
1. N. aurikularis magnus :
Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mungkin, maka saraf
yang terlihat akan terdorong oleh otot dibawahnya sehingga sudah
dapat terlihat bila membesar. Dua jari pemeriksaan diletakkan di
atas persilangan jalannya saraf tersebut dengan arah otot, perabaan
secara seksama akan menentukan jaringan seperti kabel atau kawat,
bila ada penebalan. Jangan lupa membandingkan yang kiri dan
kanan.2. N. ulnaris :
Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya
diletakkan diatas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain
meraba lekukan di bawah siku (sulkus nervi ulnaris) dan merasakan,
apakah ada penebalan atau tidak. Perlu dibandingkan N. ulnaris
kanan dan kiri untuk melihat adanya perbedaan atau tidak.3. N.
peroneus lateralis :
Pasien disuruh duduk dengan kedua kaki menggantung kemudian
diraba di sebelah lateral dari capitulum fibulae biasanya sedikit
ada ke posterior. Bila saraf yang dicari tersentuh oleh jari
pemeriksa, sering pasien merasakan seperti terkena setrum pada
daerah yang dipersarafi oleh saraf tersebut. Pada keadaan neuritis
akut, sedikit sentuhan sudah memberikan rasa nyeri yang hebat.4.
Tes fungsi saraf
a. Tes sensoris
Rasa raba : dengan kapas atau sepotong kapas yang dilancipkan
dipakai untuk memeriksa perasaan dengan menyinggung kulit. Yang
diperiksaharus duduk pada waktu pemeriksaan. Terlebih dahulu
petugas menerangkan bahwa bila mana merasa disinggung bagian
tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disinggung
dengan jari telunjuknya dan dikerjakan dengan mata terbuka.
Tanda-tanda di kulit dan bagian-bagian kulit lain yang dicurigai,
diperiksa sensibilitasnya. Harus diperiksa sensibilitas kulit yang
tersangka diserang kusta. Bercak-bercak di kulit harus diperiksa
ditengahnya dan jangan dipinggirnya.
Rasa nyeri : diperiksa degan memakai jarum. Petugas menusuk
kulit dengan ujung jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya
yang tumpul dan penderita harus mengatakan tusukan mana yang
tumpul.
Rasa suhu : dilakukan dengan mempergunakan 2 tabung reaksi, yang
satu berisi air panas(sebaiknya 40 C) yang lainnya air dingin
(sebaiknya sekitar 20 C). kenudian mata penderita ditutup atau
menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua tabung tersebut
ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai. Bila penderita salah
menyebutkan rasa pada tabung yang ditempelkan, maka dapat
disimpulkan bahwa sensasi suhu di daerah tersebut terganggu.
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada
penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan test
anhidrosis.
b. Tes motoris : Voluntary muscle test (VMT)5. Komplikasi :
dicari komplikasi
a. Pada mata, hidung, laring dan testis
b. Reaksi : nyeri saraf, eritema nodosum leprosum,
iridosiklitis, tenosinovitis.
c. Kerusakan saraf sensoris
d. Kerusakan saraf motoris
e. Kerusakan saraf otonom
6. Pemeriksaan bakterioskopik
Pemeriksaan hapusan sayatan kulit (bakterioskopik) berguna untuk
:
a. Membantu menentukan diagnosis penyakit
b. Membantu menentukan klasifikasi (tipe) penyakit kusta.
c. Membantu menilai hasil pengobatan.
Ketentuan untuk lokasi sediaan :
a. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling akut.
b. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali
tidak ditemukan kelainan kulit di tempat lain.
c. Pada pemeriksaan ulangan dilakukan di tempat kelainan kulit
yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru
timbul.
d. Sebaiknya petugas yang mengambil dan memeriksa sediaan hapus
dilakukan oleh orang yang berlainan. Hal ini untuk menjaga pengaruh
gambaran klinis terhadap hasil pemeriksaan bakterioskopik.
e. Tempat yang sering diambil untuk sediaan hapus jaringan bagi
pemeriksaan M.leprae adalah : cuping telinga, lengan, punggung,
bokong, dan paha.f. Jumlah pengambilan sediaan apus jaringan kulit
harus minimum dilaksanakan di tiga tempat, yaitu : cuping telinga
kiri, cuping telinga kanan, dan bercak yang paling aktif.
g. Sediaan dari selaput lender hidung sebaiknya dihindarkan
karena : tidak menyenangkan bagi penderita, positif palsu karena
mikrobakterium lain, tidak pernah ditemukan M.leprae pada selaput
lender hidung apabila sediaan hapus kulit negatif, pada pengobatan
pemeriksaan bakterioskopis selaput lender hidung negatif lebih
dahulu daripada di kulit.
h. Beberapa ketentuan yang harus diambil sediaan hapus kulit :
semua orang yang dicurigai menderita kusta, semua penderita baru
yang didiagnosis secara klinis sebagai penderita kusta, semua
penderita kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka
kuman (resisten) kebal terhadap obat, dan semua penderita MB
setahun sekali.2.7 Pencegahan Penyakit Kusta9,10Mengingat di
masyarakat masih banyak yang belum memahami tentang penyakit kusta
yang bisa menjadi hambatan bagi pelaksanaan program pemberantasan
kusta termasuk dalam mengikutsertakan peran serta masyarakat, maka
diperlukan upaya-upaya pencegahan untuk dapat mengurangi
prevalensi, insidens dan kecacatan penderita kusta. Upaya-upaya
pencegahan diatas dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan
perjalanan penyakit yaitu: pencegahan primer, sekunder, dan
pencegahan tersier2.7.1 Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk
mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah
orang yang sehat menjadi sakit. Secara garis besar, upaya
pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum dan pencegahan khusus.
Pencegahan umum dimaksudkan untuk mengadakan pencegahan pada
masyarakat umum, misalnya personal hygiene, pendidikan kesehatan
masyarakat dengan penyuluhan dan kebersihan lingkungan. Pencegahan
khusus ditujukan pada orang-orang yang mempunyai resiko untuk
terkena suatu penyakit, misalnya pemberian immunisasi.
2.7.2 Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk
mencegah orang yang telah sakit agar sembuh dengan pengobatan,
menghindarkan komplikasi kecacatan secara fisik. Pencegahan
sekunder mencakup kegiatan-kegiatan seperti dengan tes penyaringan
yang ditujukan untuk pendeteksian dini serta penanganan pengobatan
yang cepat dan tepat. Tujuan utama kegiatan pencegahan sekunder
adalah untuk mengidentifikasikan orang-orang tanpa gejala yang
telah sakit atau yang jelas berisiko tinggi untuk mengembangkan
penyakit.
2.7.3 Pencegahan Tersier
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidak mampuan dan
mengadakan rehabilitasi. Upaya pencegahan tingkat tiga ini dapat
dilakukan dengan memaksimalkan fungsi organ tubuh, membuat protesa
ekstremitas akibat amputasi dan mendirikan pusat-pusat rehabilitasi
medik.
2.8. Pencegahan Kecacatan9,10M.leprae menyerang saraf tepi pada
tubuh manusia. Tergantung dari kerusakan urat saraf tepi, maka akan
terjadi gangguan fungsi saraf tepi : sensorik, motorik, dan
otonom.Menurut WHO tahun 1996 batasan istilah dalam cacat kusta
adalah :
a) Impairment : segala kehilangan atau abnormalitas struktur
fungsi yang bersifat psikologik, fisiologik, atau anatomik.
b) Disability : segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat
impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas kehidupan
yang normal bagi manusia.
c) Handicap : kemunduran pada seorang individu (akibat
impairment dan disability) yang membatasi atau menghalangi
penyelesaian tugas normal yang bergantung pada umur, seks, dan
faktor sosial budaya.
Jenis cacat kusta dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok,
yaitu :
a) Kelompok cacat primer, adalah kelompok cacat yang disebabkan
langsung oleh aktifitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons
jaringan terhadap M.leprae. yang termasuk cacat primer adalah cacat
pada fungsi saraf sensorik, fungsi saraf motorik, dan cacat pada
fungsi otonom serta gangguan refleks vasodilatasi.
b) Kelompok cacat sekunder, yaitu cacat yang terjadi akibat
cacat primer, terutama akibat adanya kerusakan saraf. Anastesi akan
memudahkan terjadinya luka akibat trauma mekanis atau termis yang
dapat mengalami infeksi sekunder dengan segala akibatnya.Derajat
cacat kusta menurut WHO (1988), di bagi menjadi tiga tingkatan,
yaitu :
a) Cacat pada tangan dan kaki :
Tingkat 0 : tidak ada anestesi dan kelainan anatomis
Tingkat 1 : ada anestesi, tetapi tidak ada kelainan anatomis
Tingkat 2 : terdapat kelainan anatomis
b) Cacat pada mata :
Tingkat 0 : tidak ada kelainan pada mata (termasuk visus)
Tingkat 1 : ada kelainan mata, tetapi tidak terlihat, visus
sedikit berkurang
Tingkat 2 : ada lagoftalmos dan visus sangat terganggu
Upaya pencegahan cacat terdiri atas :
a) Upaya pencegahan cacat primer, yang meliputi :
- Pengobatan secara teratur dan adekuat
- Diagnosa dini dan penatalaksanaan neuritis
- Diagnosa dini dan penatalaksanaan reaksib) Upaya pencegahan
cacat sekunder, yang meliputi :
- Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka
- Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk
mencegah terjadinya kontraktur
- Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami
kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan
- Bedah plastic untuk menguragi perluasan infeksiPerawatan mata,
tangan, dan atau kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan
otot.
2.9. Penemuan dan Pengobatan Penderita Kusta4,5,72.9.1. Penemuan
Penderita
Dalam program pemberantasan penyakit kusta, penemuan penderita
secara dini sangat penting untuk mencegah penularan dan timbulnya
cacat pada penderita.Cara penemuan penderita kusta ada 2 (dua)
yaitu :
a. Penemuan penderita secara pasif (sukarela)
Penemuan ini dilakukan oleh penderita baru atau tersangka yang
belum pernah berobat kusta, datang sendiri atau saran dari orang
lain ke sarana kesehatan. Hal ini tergantung dari pengertian dan
kesadaran penderita itu sendiri untuk mendapatkan pengobatan.
Faktor-faktor yang menyebabkan penderita terlambat datang berobat
ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya, yaitu :
a) Tidak mengerti tanda dini kusta
b) Malu datang ke Puskesmas
c) Tidak tahu bahwa ada obat yang tersedia cuma-cuma di
Puskesmas
d) Jarak penderita ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya terlalu
jauh.b. Penemuan secara aktif
Kegiatan yang dilakukan dalam penemuan penderita secara aktif
adalah :
a) Pemeriksaan kontak serumah (Survei Kontak)
Dengan melakukan pemeriksaan kepada semua anggota keluarga yang
tinggal serumah dengan penderita. Pemeriksaan dilakukan minimal 1
tahun sekali, terutama ditujukan pada kontak tipe MB.b) Pemeriksaan
anak sekolah
Penderita pada usia dibawah 14 tahun atau anak Sekolah Dasar dan
Taman Kanak-kanak cukup banyak. Ini untuk mengantisipasi
kemungkinan adanya penderita kusta pada anak dan mencegah
terjadinya penularan di lingkungan sekolah.
c) Chase Survey
Mencari penderita baru sambil membina partisipasi masyarakat
untuk mengetahui tanda-tanda kusta dini secara benar.
d) Survei Khusus
Survei ini dilakukan apabila suatu daerah dimana proporsi
penderita MB minimal 60% dan dijumpai penderita pada usia muda
cukup tinggi sesuai dengan perencanaan dan petunjuk dari Depkes
yang sudah diadakan Set Up secara statistik oleh ahli statistik
dari WHO tahun 2013.
2.9.2. Pengobatan Penyakit Kusta
2.9.2.1. Program MDT
Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika Kelompok Studi
Kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan
kusta dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya dikenal dengan
rejimen MDTWHO.(2001) Regimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat
dapson, rifamfisin, dan klofasimin. Selain untuk mengatasi
resistensi adapson yang semakin meningkat, penggunaan MDT
dimaksudkan juga untuk mengurangi ketidaktaatan penderita dan
menurunkan angka putus obat (drop-out rate) yang cukup tinggi pada
masa monoterapi dapson. Di samping itu juga diharapkan juga dengan
MDT dapat mengeliminasi persistensi kuman dalam jaringan.Obat dan
dosis regimen MDT-PBObat & Dosis MDT Kusta PBDewasaAnak
BB < 35 kgBB > 35 kg10-14 thn
Rifampisin(diawasi petugas)450 mg/bln600 mg/bln450
mg/bln(12-15mg/kgBB/bln)
Dapson (Swakelola)50mg/hr(1-2mg/kgBB/hr)100 mg/hr50mg/hr(1-2
mg/kgBB/hr)
Pengobatan MDT untuk kusta tipe PB dilakukan dalam 6 dosis
minimal yang diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum
6 dosis maka dinyatakan RFT (Released From Treatment = berhenti
minum obat kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif.
Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan
istilah Completion of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam
pengawasan.
Obat dan dosis regimen MDT-MB
RifampicindapsonLamprene
Dewasa600 mg/ bulan diminum didepan petugas kesehatan100 mg/hari
diminum di rumah300 mg/bulan
diminum di
depan petugas kesehatan
dilanjutkan dgn
50 mg/hari
diminum di
rumah
Anak450 mg/bulan diminum didepan petugas50mg/hari diminum
dirumah150mg/bulan didepan petugas kemudian dilanjutkan 50mg selang
sehari diminum dirumah
Pengobatan MDT untuk Kusta tipe MB dilakukan dalam 24 dosis yang
diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Setelah selesai minum
24 dosis maka dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih
aktif dan pemeriksaan bakteri BTA positif. Menurut WHO (1998)
pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam
12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.2.9.2.2. Obat Kusta
BaruDalam pelaksanaan program MDT-WHO (2001) ada beberapa masalah
yang timbul, yaitu : adanya persister, resistensi rifampisin, dan
lamanya pengobatan terutama untuk kusta MB. Untuk penderita kusta
PB, rejimen MDT-PB juga masih menimbulkan beberapa masalah, antara
lain : masih menetapnya lesi kulit setelah 6 bulan pengobatan. Jika
seorang penderita mempunyai resistensi ganda terhadap dapson dan
rifampisin bersama-sama, tentunya hal ini akan membahayakan.
Oleh karena itu diperlukan obat-obat baru dengan mekanisme
bakterisidal yang berbeda dengan obat-obat dalam rejimen MDT-WHO
saat ini. Idealnya, obat-obat kusta baru harus memenuhi syarat
antara lain : bersifat bakterisidal kuat terhadap M.leprae, tidak
antagonis dengan obat yang sudah ada, aman dan akseptabilitas
penderita baik, dapat diberikan per oral, dan sebaiknya diberikan
tidak lebih dari sekali sehari. Di antara yang sudah terbukti
efektif adalah ofloksasin, minosiklin, dan klaritromisin.Regimen
pengobatan kusta (WHO/DEPKES RI)
a. PB dengan lesi tunggal diberikan ROM ( Rifampicin Ofloxacin
Minocyclin )
RifampicinofloxacinMinocyclin
Dewasa
(50-70kg)600 mg400 mg100 mg
Anak
(5-14tahun)300 mg200 mg50 mg
Pemberian obat satu kali saja langsung RFT. Obat diminum didepan
petugas kesehatan. Anak kurang dari 5 tahun dan ibu hamil tidak
diberikan ROM. Bila ROM tidak tersedia di Puskesmas maka diobati
dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5). Bila lesi tunggal tetapi
dengan pembesaran saraf maka menggunakan regimen pengobatan PB lesi
2-5.
b. PB dengan lesi 2-5
RifampicinDapson
Dewasa
600 mg/ bulan
Diminum didepan petugas100 mg/ hari
Diminum dirumah
Anak
10-14 tahun450 mg/ bulan
Diminum didepan petugas50 mg/hari
Diminum dirumah
Lama pengobatan 6 dosis, bisa diselesaikan 6-9 bulan. Setelah 6
dosis dinyatakan RFT.
c. Tipe MB yaitu dengan lesi kulit >5
rifampicinDapsonLamprene
Dewasa600 mg/ bulan diminum didepan petugas kesehatan100 mg/hari
diminum di rumah300 mg/bulan
diminum di
depan petugas kesehatan
dilanjutkan dgn
50 mg/hari
diminum di
rumah
Anak
10-14 tahun450 mg/bulan diminum didepan petugas50mg/hari diminum
dirumah150mg/bulan didepan petugas kemudian dilanjutkan 50mg selang
sehari diminum dirumah
Dosis anak : -Rifampicin: 10-15 mg/kgBB
-Dapson : 1-2 mg/kgBB
-Lamprene dibawah 10 th
*bulanan : 100 mg/bulan
*harian : 50 mg/2x semingguLama pengobatan 12 dosis ini bisa
diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis
obat ini, dinyatakan: RFT/=Realease From Treatment yaitu berhenti
minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif
untuk : tipe PB selama 2 tahun tipe MB selama 5 tahun. Bila dalam
masa pengamatan terjadi tanda-tanda kusta aktif kembali dinamakan
dengan Relaps yaitu aktifnya kembali tanda2 kusta stlh masa
pengobatan.
BAB IIIMETODE
3.1 Jenis Metode
Metode pengumpulan data pada kegiatan mini project ini dilakukan
dengan cara mengumpulkan data primer dan sekunder. Data primer
didapatkan melalui kuisioner yang dibagikan sebelum intervensi.
Kuisioner berisi tentang pertanyaan-pertanyaan mengenai pengetahuan
tentang penyakit kusta. Sehingga dapat diketahui bagaimana tingkat
pengetahuan ibu-ibu kader di posyandu Desa Ngembo. Sedangkan data
sekunder didapatkan dari laporan dan catatan mengenai data
kesehatan Desa Ngembo selama periode tahun 2014 yang terdapat di
Puskesmas Ujung Pangkah.Intervensi dilakukan dengan cara penyuluhan
secara langsung dan tanya-jawab (diskusi) antara penyaji materi
(Dokter Internship) pada Posyandu Desa Ngembo. Materi penyuluhan
yang disajikan antara lain mengenai penyebab, cara penularan,
gejala kusta, bahaya kusta, kusta bisa disembuhkan jika diktahui
secara dini sehingga tidak menimbulkan kecacatan dan pengobatan
penyakit kusta yang sebenarnya gratis.
Pembagian kuesioner pada kegiatan ini dilakukan setelah
penyuluhan yang dilakukan pada hari yang sama yaitu Jumat, 14
Januari 2015 di Puskesmas pembantu Desa Ngembo. Kuesioner ini
bertujuan untuk mengetahui pengetahuan kader tentang penyakit
kusta.
Isi kuesioner yang dibagikan diantaranya sebagai berikut :
PERTANYAANYATIDAK
1. Apakah anda pernah mendengar tentang penyakit
kusta/lepra?
2. Apakah penyakit tersebut merupakan penyakit keturunan?
3. Apakah apakah penyakit tersebut merupakan penyakit
kutukan?
4. Apakah penyakit tersebut disebabkan oleh guna-guna?
5. Apakah penyakit tersebut disebabkan oleh makanan?
6. Apakah penyakit tersebut disebabkan oleh faktor genetik?
7. Apakah penyakit tersebut bisa menular?
Jika ya,
Apakah penyakit tersebut ditularkan melalui saluran
pernafasan?
Apakah penyakit tersebut ditularkan melalui kontak langsung
dengan penderita?
Apakah penyakit tersebut ditularkan melalui lingkungan?
8. Apakah setiap orang yang terpapar penyakit kusta akan
menderita penyakit kusta?
Alasan :
9. Apakah anda mengetahui gejala penyakit kusta/lepra?
Jika ya, sebutkan
10. Apakah penyakit kusta menyerang kulit?
11. Apakah penyakit kusta menyerang syaraf?
12. Apakah penyakit kusta menyerang jaringan/organ tubuh?
13. Apakah penyakit kusta menyerang otak?
14. Apakah penyakit kusta bisa menyebabkan kecacatan?
15. Apakah kusta bisa dicegah?
16. Apakah kusta bisa diobati?
17. Apakah kusta bisa disembuhkan?
18. Apakah penderita kusta dihindari/dikucilkan oleh penduduk
disekitar desa anda?19. Perlukah menghindari penderita kusta?
20. Mahalkah pengobatan kusta?
Dari data kuisioner diatas terdapat 20 nomer yang pada setiap
nomernya mempunyai skor 5. Jika semua benar mempunyai skor 100.
Sistem penilaian ini menunjukkan tingkat pengetahuan para kader
tentang pengetahuan tentang penyakit kusta yang dibagi menjadi 3
kategori, yaitu : 1. Baik: nilai 702. cukup: nilai 50-693. kurang:
nilai