REFERAT REAKSI KUSTA Oleh : dr. DONI KRISTANTO PPDS 1 ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
REFERAT
REAKSI KUSTA
Oleh :
dr. DONI KRISTANTO
PPDS 1 ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG/
RSU DR. SAIFUL ANWAR MALANG
2014
I. PENDAHULUAN
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular kronik yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium leprae (M leprae) yang intra seluler obligat menyerang saraf perifer
sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas kemudian ke
organ lain kecuali susunan saraf pusat. Penyakit kusta dikenal juga dengan nama Morbus Hansen
atau lepra. Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha yang berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum1, 14.
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae
yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut)
saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Penyakit
kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks.
Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis, tetapi meluas sampai masalah sosial,
ekonomi, dan psikologis1,14.
II. EPIDEMIOLOGI
Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui secara pasti.
Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis. Dapat
menyerang semua umur, frekwensi tertinggi pada kelompok umur antara 30-50 tahun dan lebih
sering mengenai laki-laki daripada wanita2,14.
Menurut WHO (2002), diantara 122 negara yang endemik pada tahun 1985 dijumpai 107
negara telah mencapai target eliminasi kusta dibawah 1 per 10.000 penduduk pada tahun 2000.
Pada tahun 2006 WHO mencatat masih ada 15 negara yang melaporkan 1000 atau lebih
penderita baru selama tahun 2006. Lima belas negara ini mempunyai kontribusi 94% dari seluruh
penderita baru didunia. Indonesia menempati urutan prevalensi ketiga setelah India, dan Brazil14.
Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan pola
penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan tahun 2000 Indonesia secara nasional
sudah mencapai eliminasi kusta namun pada tahun tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 terjadi
peningkatan penderita kusta baru. Pada tahun 2006 jumlah penderita kusta baru di Indonesia
sebanyak 17.921 orang. Propinsi terbanyak melaporkan penderita kusta baru adalah Maluku,
Papua, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi lebih besar dari 20 per 100.000
penduduk.2 Pada tahun 2010, tercatat 17.012 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka
prevalensi 7,22 per 100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2011, tercatat 19.371 kasus baru
kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 8,03 per 100.000 penduduk14.
III. ETIOLOGI & PATOGENESIS
Penyebab kusta adalah M. leprae, yang ditemukan pada tahun 1873 oleh G.Amauer Hansen
di Norwegia. Kuman bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 μm, lebar 0,3 μm
dan bersifat obligat intraselluler. Kuman kusta tumbuh lambat, untuk membelah diri
membutuhkan waktu 12-13 hari dan mencapai fase plateau dari pertumbuhan pada hari ke 20-40.
Tumbuh pada tempratur 27-30oC (81-86oF)3.
Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan M.Leprae ke dalam telapak kaki
mencit yang telah diambil tymusnya dengan diikuti iradiasi (900 r), sehingga kehilangan respon
imun sellulernya akan menghasilkan granulomagranuloma penuh basil yang menyeluruh,
terutama di daerah yang dingin, yaitu hidung, cuping telinga, kaki, dan ekor.Sebenarnya
M.Leprae mempunyai patogenitas dan daya invasif yang rendah, sebab penderita yang
mengandung kuman jauh lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan
dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dan derajat penyakit, tidak lain
disebabkan oleh respon imun yang berbeda, oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai
penyakit imunologik, gejala-gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selulernya
daripada intensitas infeksinya3.
Respon imun pada penyakit kusta sangat kompleks, dimana melibatkan respon imun
seluler dan humoral. Sebagian besar gejala dan komplikasi penyakit ini disebabkan oleh reaksi
imunologi terhadap antigen yang dimiliki oleh M. leprae. Jika respon imun yang terjadi setelah
infeksi cukup baik, maka multiplikasi bakteri dapat dihambat pada stadium awal sehingga dapat
mencegah perkembangan tanda dan gejala klinis selanjutnya3.
M. leprae merupakan bakteri obligat intraseluler, maka respon imun yang berperan penting
dalam ketahanan tubuh terhadap infeksi adalah respon imun seluler. Respon imun seluler
merupakan hasil dari aktivasi makrofag dengan meningkatkan kemampuannya dalam menekan
multiplikasi atau menghancurkan bakteri3,14.
Respon imun humoral terhadap M. leprae merupakan aktivitas sel limfosit B yang berada
dalam jaringan limfosit dan aliran darah. Rangsangan dari komponen antigen basil tersebut akan
mengubah sel limfosit B menjadi sel plasma yang akan menghasilkan antibodi yang akan
membantu proses opsonisasi. Namun pada penyakit kusta, fungsi respon imun humoral ini tidak
efektif, bahkan dapat menyebabkan timbulnya beberapa reaksi kusta karena diproduksi secara
berlebihan yang tampak pada kusta lepromatosa.
IV. GEJALA KLINIK
Keakuratan mendiagnosis penyakit kusta merupakan suatu dasar yang sangat penting yang
berkaitan dengan epidemiologi kusta, pengobatan dan pencegahan kecacatan pada pasien kusta.
Diagnosis yang tidak adekuat (under-diagnosis) akan menyebabkan penularan kuman kusta
berlanjut serta penyakit kusta pada pasien kusta bertambah parah sedangkan jika diagnosis yang
dilakukan terlalu berlebihan (over-diagnosis) akan mengakibatkan pemberian pengobatan
menjadi tidak tepat contohnya pemberian antibiotika yang terlalu banyak. Keadaan ini dapat
menyebabkaan pengumpulan data statistik dari epidemiologi pasien kusta menjadi tidak akurat6.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda
cardinal, yaitu:
1. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau erimatosa, mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati
rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu dan rasa nyeri.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang
terkena, yaitu:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema dan pertumbuhan rambut yang
terganggu
3. Ditemukan BTA
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang
aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau syaraf6.
Pada tahun 1982, WHO mengembangkan klasifikasi untuk memudahkan pengobatan di
lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh penderita kusta hanya dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe
Pausibasiler (PB) dan Multibasiler (MB). Sampai saat ini Departemen Kesehatan Indonesia
menerapkan klasifikasi menurut WHO sebagai pedoman pengobatan penderita kusta. Dasar dari
klasifikasi ini berdasarkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan bakteriologi14.
Tabel 4.1 Perbedaan Pausibasiler dan Multibasiler
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes serologi merupakan tes diagnostik penunjang yang paling banyak dilakukan saat ini.
Selain untuk penunjang diagnostik klinis penyakit kusta, tes serologi juga dipergunakan untuk
diagnosis infeksi M. leprae sebelum timbul manifestasi klinis. Uji laboratorium ini diperlukan
untuk menentukan adanya antibodi spesifik terhadap M. leprae di dalam darah. Dengan diagnosis
yang tepat, apalagi jika dilakukan sebelum timbul manifestasi klinis lepra diharapkan dapat
mencegah penularan penyakit sedini mungkin4.
Pemeriksaan serologis kusta yang kini banyak dilakukan cukup banyak manfaatnya,
khususnya dalam segi seroepidemiologi kusta di daerah endemik. Selain itu pemeriksaan ini
dapat membantu diagnosis kusta pada keadaan yang meragukan karena tanda-tanda klinis dan
bakteriologis tidak jelas. Karena yang diperiksa adalah antibodi spesifik terhadap basil kusta
maka bila ditemukan antibodi dalam titer yang cukup tinggi pada seseorang maka patutlah
dicurigai orang tersebut telah terinfeksi oleh M.leprae. Pada kusta subklinis seseorang tampak
sehat tanpa adanya penyakit kusta namun di dalam darahnya ditemukan antibodi spesifik
terhadap basil kusta dalam kadar yang cukup tinggi4,5.
Beberapa jenis pemeriksaan serologi kusta yang banyak digunakan, antara lain:
A. Uji FLA-ABS (Fluorescent leprosy Antibodi-Absorption test)
Uji ini menggunakan antigen bakteri M. leprae secara utuh yang telah dilabel dengan zat
fluoresensi. Hasil uji ini memberikan sensitivitas yang tinggi namun spesivisitasnya agak kurang
karena adanya reaksi silang dengan antigen dari mikrobakteri lain.
B. Radio Immunoassay (RIA)
Uji ini menggunakan antigen dari M. leprae yang dibiakkan dalam tubuh Armadillo yang
diberi label radio aktif.
C. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination)
Uji ini berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen sintetik PGL-1 dengan antibodi dalam
serum. Uji MLPA merupakan uji yang praktis untuk dilakukan di lapangan, terutama untuk
keperluan skrining kasus seropositif.
D. Antibodi monoklonal (Mab) epitop MLO4 dari protein 35-kDa M.leprae menggunakan M.
leprae sonicate (MLS) yang spesifik dan sensitif untuk serodiagnosis kusta. Protein 35-kDa M.
leprae adalah suatu target spesifik dan yang utama dari respon imun seluler terhadap M. leprae,
merangsang proliferasi sel T dan sekresi interferon gamma pada pasien kusta dan kontak.
E. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Assay)
Uji ELISA pertama kali digunakan dalam bidang imunologi untuk menganalisis interaksi
antara antigen dan antibodi di dalam suatu sampel, dimana interaksi tersebut ditandai dengan
menggunakan suatu enzim yang berfungsi sebagai penanda.
Dalam perkembangan selanjutnya, selain digunakan sebagai uji kualitatif untuk
mengetahui keberadaan suatu antibodi atau antigen dengan menggunakan antibodi atau antigen
spesifik, teknik ELISA juga dapat diaplikasikan dalam uji kuantitatif untuk mengukur kadar
antibodi atau antigen yang diuji dengan menggunakan alat bantu berupa spektrofotometer7.
Prinsip uji ELISA adalah mengukur banyaknya ikatan antigen antibodi yang terbentuk
dengan diberi label (biasanya berupa enzim) pada ikatan tersebut, selanjutnya terjadi perubahan
warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang tertentu.
Pemeriksaan ini umumnya menggunakan plat mikro untuk tempat terjadinya reaksi7.
VI. REAKSI KUSTA
Reaksi kusta adalah suatu episode akut di dalam perjalanan klinik penyakit kusta yang
ditandai dengan terjadinya reaksi radang akut (neuritis) yang kadang-kadang disertai dengan
gejala sistemik. Reaksi kusta dapat merugikan pasien kusta, oleh karena dapat menyebabkan
kerusakan syaraf tepi terutama gangguan fungsi sensorik (anestesi) sehingga dapat menimbulkan
kecacatan pada pasien kusta. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum mendapat pengobatan, pada saat
pengobatan, maupun sesudah pengobatan, namun reakis kusta paling sering terjadi pada 6 bulan
sampai satu tahun sesudah dimulainya pengobatan5,8.
Reaksi kusta dapat dibagi atas dua kelompok yaitu9,14:
1. Reaksi kusta tipe 1 (Reaksi Reversal= RR)
Reaksi imunologik yang sesuai adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV dari Coomb & Gel
(Delayed Type Hypersensitivity Reaction). Reaksi kusta tipe 1 terutama terjadi pada kusta tipe
borderline (BT, BB, BL) dan biasanya terjadi dalam 6 bulan pertama ataupun sedang mendapat
pengobatan. Pada reaksi ini terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat terhadap
kuman kusta dikulit dan syaraf pada pasien kusta. Hal ini berkaitan dengan terurainya M.leprae
yang mati akibat pengobatan yang diberikan.
Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan limfosit T disertai
perubahan imunitas selular yang cepat. Dasar reaksi kusta tipe 1 adalah adanya perubahan
keseimbangan antara imunitas selular dan basil. Diduga kerusakan jaringan terjadi akibat
langsung reaksi hipersensitivitas seluler terhadap antigen basil.24 Pada saat terjadi reaksi,
beberapa penelitian juga menunjukkan adanya peningkatan ekspresi sitokin pro-inflamasi seperti
TNF-α, IL-1b, IL-6, IFN-γ dan IL-12 dan sitokin immunoregulatory seperti TGF-β dan IL-10
selama terjadi aktivasi dari makrofag. Aktivasi CD4+ limfosit (Th-1) menyebabkan produksi IL-
2 dan IFN-γ meningkat sehingga dapat terjadi lymphocytic infiltration pada kulit dan syaraf.
IFNγ dan TNF-α bertanggung jawab terhadap terjadinya edema, inflamasi yang menimbulkan
rasa sakit dan kerusakan jaringan yang cepat.
Tabel 6.1 Gambaran Reaksi Kusta Tipe 1
2. Reaksi tipe 2 (Reaksi Eritema Nodosum Leprosum=ENL)
Reaksi kusta tipe 2 terutama terjadi pada kusta tipe lepromatous (BL, LL). Diperkirakan
50% pasien kusta tipe LL Dan 25% pasien kusta tipe BL mengalami episode ENL. Umumnya
terjadi pada 1-2 tahun setelah pengobatan tetapi dapat juga timbul pada pasien kusta yang belum
mendapat pengobatan Multi Drug Therapy (MDT). ENL diduga merupakan manifestasi
pengendapan kompleks antigen antibodi pada pembuluh darah. Termasuk reaksi hipersensitivitas
tipe III menurut Coomb & Gel. Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur,
sehingga banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi IgG, IgM dan
komplemen C3 membentuk kompleks imun yang terus beredar dalam sirkulasi darah dan
akhirnya akan di endapkan dalam berbagai organ sehingga mengaktifkan sistem komplemen
Berbagai macam enzim dan bahan toksik yang menimbulkan destruksi jaringan akan dilepaskan
oleh netrofil akibat dari aktivasi komplemen. Pada ENL, dijumpai peningkatan ekspresi sitokin
IL-4, IL-5, IL 13 dan IL-10 (respon tipeTh-2) serta peningkatan, IFN-γ danTNF-α. IL-4, IL-5,
IFN-γ,TNF-α bertanggung jawab terhadap kenaikan suhu dan kerusakan jaringan selama terjadi
reaksi ENL10.
Reaksi ENL cenderung berlangsung kronis dan rekuren. Kronisitas dan rekurensi ENL
menyebabkan pasien kusta akan tergantung kepada pemberian steroid jangka panjang11,12.
Gambar 6.1 Spektrum Reaksi Kusta RR dan ENL
Tabel 6.2 Gambaran Reaksi Kusta Tipe 2
Ada kalanya petugas kesulitan untuk membedakan antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, dan
untuk membedakannya bisa dilihat pada table berikut12,13 :
Tabel 6.3 Perbedaan Reaksi Tipe 1 dan 2
Untuk mengetahui perbedaan reaksi ringan dan berat pada reaksi tipe 1 dan 2 dapat dilihat pada
table berikut 12,13:
Tabel 6.4 Perbedaan Reaksi Ringan-Berat Pada Reaksi Kusta Tipe 1 dan 2
VII. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama program pemberantasan penyakit kusta adalah memutuskan rantai penularan
untuk menurunkan insidensi penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita serta
mencegahkan timbulnya cacat. Untuk mencapai tujuan itu sampai sekarang strategi pokok yang
dilakukan masih didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita, yang tampaknya masih
tetap diperlukan walaupun nanti vaksin kusta yang efektif telah tersedia. Sejak dilaporkan
adanya resistensi terhadap dapson baik primer maupun sekunder, pada tahun 1977 WHO
memperkenalkan pengobatan kombinasi yang terdiri paling tidak dua obat antikusta yang
efektif14.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika kelompok
Studi Kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan
rejimen MDT-WHO. Regimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat dapson, rifampisin, dan
klofasimin. Selain itu mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, penggunaan MDT
dimaksudkan juga untuk mengurangi ketidaktaatan penderita dan menurunkan angka putus-obat
(dro-out) yang cukup tinggi pada masa monoterapi dapson. Disamping itu diharapkan juga
dengan MDT dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan15.
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen pengobatan yang
direkomendasikan oleh WHO Regimen tersebut adalah sebagai berikut 14,16:
7.1. Tipe PB
Untuk kusta tipe PB, terdiri atas kombisnasi rifampisin dan dapson.
a. Jenis dan obat untuk orang dewasa:
1. Rifampicin 600 mg/bulan dan DDS 100 mg / hari ditelan di depan petugas.
2. DDS 100 mg / hari diminum di rumah.
b. Jenis dan dosis obat untuk anak-anak :
1. DDS 1-2 mg / kg berat badan
2. Rifampisin 10-15 mg / kg barat badan
c. Lama pengobatan
Lama pengobatan untuk penderita tipe PB adalah selama 6-9 bulan.
7.2. Tipe MB
Untuk kusta tipe MB, terdiri atas kombinasi rifampisin, dapson, klofazimin (lamprene).
a. Jenis dan dosis obat untuk orang dewasa:
1. Lamprene 300 mg / bulan
2. Rifampisin 600 mg / bulan
3. DDS 100 mg / bulan
Ketiga obat ini ditelan di depan petugas setiap bulan.
1. DDS 100 mg / hari
2. Lamprene 50 mg / hari
Kedua obat ini diminum di rumah.
b. Dosis Lamprene untuk anak-anak:
Umur dibawah 10 tahun : Bulanan : 100 mg / bulan
Harian : 50 mg / 2 kali / minggu
Umur 11 – 14 tahun : Bulanan : 200 mg / bulan
Harian : 50 mg / 3 kali / minggu
c. Lama pengobatan 2 tahun
Setelah pengobatan dihentikan (Release from Treatment/RFT) penderita masuk dalam
masa pengamatan (control) yaitu: penderita dikontrol secara klinik dan bakterioskopik minimal
sekali setahun selama 5 tahun untuk penderita kusta multibasiler dan dikontrol secara klinik
sekali setahun selama 2 tahun untuk penderita kusta pausibasiler. Bila pada masa tersebut tidak
ada keaktifan, maka penderita dinyatakan bebas dari pengamatan (Release from Control /RFC).
7.3 Penatalaksanaan Reaksi Kusta
Sebagian besar pasien reaksi dapat ditangani oleh petugas pengelola program kusta di
purkesmas. Namun, adakalanya harus dirujuk. Hal itu tergantung pada 12:
Tipe reaksi yang dialami dan berat ringannya reaksi tersebut
Ada/tidaknya komplikasi atau kontra indikasi yang dapat mempengaruhi penanganan
reaksi
Obat yang tersedia
Tingkat kemampuan penanganan yang tersedia
Sebelum memulai penanganan reaksi, terlebih dahulu lakukan identifikasi tipe reaksi yang
dialami serta derajat reaksinya. Hal ini dapat dinilai dari hasil kesimpulan pemeriksaan pada
formulir pencatatan pencegahan cacat (POD), seperti :
Adanya lagoftalmos baru terjadi dalam 6 bulan terakhir
Adanya nyeri raba saraf tepi
Adanya kekuatan otot berkurang dalam 6 bulan
Adanya rasa raba berkurang dalam 6 bulan terakhir
Adanya bercak pecah atau nodul pecah
Adanya bercak aktif (meradang) di atas lokasi saraf tepi
Bila terdapat salah satu dari gejala diatas berarti ada reaksi berat dan perlu diberikan obat anti
reaksi. Obat anti reaksi terdiri atas :
Prednison (untuk reaksi tipe 1 dan 2)
Obat ini digunakan untuk penanganan/pengobatan reaksi. Cara pemberiannya dapat
dilihat pada pengobatan reaksi berat (tabel 7.1)
Lampren (Untuk reaksi tipe 2)
Obat ini dipergunakan untuk penanganan/pengobatan reaksi ENL yang berulang (steroid
dependent). Cara pemberiannya, dapat dilihat pada tabel pengobatan reaksi berat (Tabel
7.1)
Thalidomid (Untuk reaksi tipe 2)
Obat ini tidak dipergunakan dalam program
VII.3.1Tatalaksana Reaksi Ringan
Prinsip pengobatan reaksi ringan12
Berobat jalan, istirahat di rumah
Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu
MDT diberikan terus dengan dosis tetap
Menghindari/menghilangkan factor pencetus
VII.3.2Tatalaksana Reaksi Berat
Prinsip pengobatan reaksi berat12
Imobilisasi local/istirahat di rumah
Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu
MDT tetap diberikan dengan dosis todak berubah
Menghindari/menghilangkan factor pencetus
Memberikan obat anti reaksi (Prednison, Lampren)
Bila ada indikasi rawat inap pasien dikirim ke rumah sakit
Reaksi tipe 2 berat yang berulang diberikan prednisone dan lampren
Pengobatan reaksi berat dapat dilihat pada tabel 7.1
Tabel 7.1 Pengobatan Reaksi Berat
Catatan untuk pemberian prednisone:
1. Pemberian prednisone harus dibawah pengawasan dokter puskesmas/petugas kabupaten dan
harus dicatat pada formulir evaluasi pengobatan reaksi berat
2. Kondisi pasien yang mungkin merupakan kontra indikasi pemberian prednisone; TB, kencing
manis, tukak lambung berat, infeksi sekunder pada luka di tangan atau kaki yang memburuk.
Jika kondisi tersebut berat, maka pengobatan reaksi harus di unit rujukan (rumah sakit
rujukan)
3. Untuk reaksi, prednisone diberikan dalam dosis tunggal pagi hari sesudah makan, kecuali
jika keadaan terpaksa dapat diberikan secara dosis terbagi, misalnya 2x4tablet/hari
4. Perlu diingat bahwa prednisone bisa menyebabkan efek samping yang serius. Oleh karena itu
pasien harus mematuhi aturan pemberian prednisone. Tidak boleh dihentikan tiba-tiba karena
dapat menyebabkan rebound phenomena (Demam, nyeri otot, nyeri sendi, malaise).
Sementara efek samping pemakaian jangka panjang adalah : gangguan cairan dan elektrolit,
hiperglikemia, mudah infeksi, perdarahan atau perforasi pada pasien tukak lambung,
osteoporosis, cushing syndrome : moon face, obesitas sentral, jerawat, pertumbuhan rambut
berlebihan, timbunan lemak supraklavikuler
a
b
Gambar 7.1 Skema Pemberian Prednison (a) dan Lampren (b)
Catatan untuk pemberian lampren lepas :
1. Lampren lepas diberikan pada penderita ENL berat, berulang (setelah terjadi ≥ 2 episode).
Sehingga terdapat ketergantungan terhadap steroid (steroid dependent)
2. Lampren diberikan dalam dosis tunggal, pagi hari sesudah makan, kecuali jika keadaan
terpaksa dapat diberikan secara dosis terbagi, misalnya 3x1 tablet/hari atau 2x1 tablet/hari
7.3.3 Indikasi Rujukan Pasien Reaksi Ke Rumah Sakit
Berikut adalah kondisi reaksi yang sebaiknya dilakukan di unit rujukan 12,14,17:
1. ENL melepuh, pecah (ulserasi), suhu tubuh tinggi, neuritis
2. Reaksi tipe 1 disertai dengan bercak ulserasi atau neuritis
3. Reaksi yang disertai komplikasi penyakit lain yang lebih berat, misalnya hepatitis, DM,
hipertensi, tukak lambung berat
VIII. KOMPLIKASI
8.1 Kerusakan Syaraf Tepi
Syaraf tepi yang terserang akan menunjukkan berbagai kelainan yaitu12,18:
N.fasialis: lagoftalmos, mulut mencong
N.trigeminus: anestesi kornea
N.aurikularis magnus
N.radialis: tangan lunglai (drop wrist)
N.ulnaris: anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari V dan sebagian jari IV
N.medianus: anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari I, II, III, dan sebagian jari IV.
Kerusakan N.ulnaris dan N.medianus menyebabkan jari kiting (clow toes) dan tangan
cakar (claw hand)
N.peroneus komunis: kaki semper (drop foot)
N.tibialis posterior: mati rasa telapak kaki dan jari kiting (claw toes
8.2 Kecacatan Kusta
Kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat karena cacatnya. Cacat kusta terjadi
akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan atau kaki. Namun, orang-orang yang cacat akibat
kusta “dicap” seumur hidup sebagai “penderita kusta” walaupun sembuh dari penyakit.
Sementara sebenarnya hampir semua cacat dapat dicegah19.
Cacat yang timbul pada penyakit kusta dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok,
yaitu12,14:
1. Kelompok cacat primer
Kelompok cacat primer adalah kelompok cacat yang disebabkan langsung oleh aktifitas
penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap M. leprae. Termasuk cacat primer
adalah:
a. Cacat pada fungsi syaraf sensorik, misalnya anestesi; fungsi syaraf motorik, misalnya
claw hand, drop foot, claw toes, lagoftalmos dan cacat pada fungsi otonom dapat
menyebabkan kulit menjadi kering, elastisitas berkurang, serta gangguan refleks
vasodilatasi.
b. Infiltrasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan kulit berkerut dan
berlipat-lipat (misalnya fesies leonina, blefaroptosis, ektropion). Kerusakan folikel
rambut menyebabkan alopesia atau madarosis, kerusakan glandula sebasea dan
sudorifera menyebabkan kulit kering dan tidak elastik.
c. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi pada tendon,
ligamen, sendi, tulang rawan, testis, tulang, dan bola mata.4
2. Kelompok cacat sekunder
Kelompok cacat sekunder ini terjadi akibat cacat primer, terutama akibat adanya
kerusakan syaraf (sensorik, motorik, otonom). Anestesi akan memudahkan terjadinya luka akibat
trauma mekanis atau termis yang dapat mengalami infeksi sekunder dengan segala akibatnya.
Kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur sehingga dapat menimbulkan gangguan
menggenggam atau berjalan juga memudahkan terjadinya luka. Demikian pula akibat
lagoftalmus dapat menyebabkan kornea kering sehingga mudah timbul keratitis. Kelumpuhan
syaraf otonom menyebabkan kulit kering dan elastisitas berkurang. Akibatnya kulit mudah retak-
retak dan dapat terjadi infeksi sekunder12,14.
IX. KESIMPULAN
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular kronik yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium leprae (M leprae) yang intra seluler obligat menyerang saraf perifer
sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas kemudian ke
organ lain kecuali susunan saraf pusat, selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut) saluran
pernafasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis.
Reaksi kusta adalah suatu episode akut di dalam perjalanan klinik penyakit kusta yang
ditandai dengan terjadinya reaksi radang akut (neuritis) yang kadang-kadang disertai dengan
gejala sistemik. Reaksi kusta dapat menyebabkan kerusakan syaraf tepi terutama gangguan
fungsi sensorik (anestesi) sehingga dapat menimbulkan kecacatan pada pasien kusta. Reaksi
kusta dapat terjadi sebelum mendapat pengobatan, pada saat pengobatan, maupun sesudah
pengobatan, namun reakis kusta paling sering terjadi pada 6 bulan sampai satu tahun sesudah
dimulainya pengobatan.
X. DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 4. Jakarta. EGC.2005.p.73
2. McDougall AC, Ulrich MI. Leprosy. In: Freedberg M, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF,
Goldsmith LA, Kate SI, et al, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed.
New York: McGraw-Hill; 1993.p.1787-94
3. Lockwood DNJ, Bryceson ADM. Leprosy. In : Champion RH, Burton JL, Burns DA,
Breathnach SM, editor. Rook. Wilkinson/Ebling Textbook of Dermatology. 7th ed. London :
Blackwel science; 1998.p.29.
4. James WD, Berger TG, Odom RB. Andrew’s Disease of The Skin Clinical Dermatology. 8th
ed. Philadelphia: W.B. Sounders Company; 2000.p.401
5. Silva MR, Castro MCR. Mycobacterial Infection. In: Bolognia Jl_, Jorisso JL, Rapini RP,
editor. Dermatology. London: Mosby;2003.p.1145-52
6. Moschella SL. Leprosy. In : Moschella SL, Hurley HJ, editor. Dermatology. 2nd ed.
Philadelpia: W.B. Sounders Company; 1985.p.965-70
7. Amiruddin MD. Ilmu Penyakit Kusta. Makassar: Penerbit Hasanuddin University Press;
2003.p.101-13
8. Anonym. Early Detection and Treatment of Reversal Reaction Under Field Conditions.
[online] 1997 Nov 12 [citied. 2008 Juni 05]; 3 screen. Available from www.ilep.org.uk
9. Shien J, Liu M. Occurrence and management of leprosy reaction in China in 2005.[online]
2009 [cited 2009 march 23]. Available from : www.webspawner.com
10. Husting RC, ed.Leprosy.2nded. New York: Chudchill Livingstone; 1994.p. 101-3
11. Prawoto_faktor-faktor resiko yang berpengaruh terhadap terjadinya reaksi kusta.
[online].2010 [cited 2008]; Available from: www.journalepidemiology.com
12. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan, Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta.17th ed.
Jakarta;2005.p.71-82
13. Agusni I. Imunopatogenesis Reaksi Reversal pada Penyakit Lepra. In: Andriani D,
Triestianawati W, editors. Media Dermato-Venereologica Indonesia 28th ed. Jakarta;
2001.p.82-4.
14. Lubis. Kusta. [online]. 2013. [cited September 6th 2012]. Availabel from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37321/4/Chapter%20II.pdf
15. Daili S, Menaldi SL, Wisnu IM. Kusta. Penyakit Kulit yang umum di Indonesia, sebuah
Panduan nBergambar. Indonesia. Jakarta Pusat : PT Medical Multimedia Indonesia;2005.
P.51-59.
16. Saunderson P, Gebre S, Byass P. ENL reactions in the multibacillary cases of the AMFES
cohort in central Ethiopia: incidence and risk factors. Leprosy Review. 2000;70;318-24
17. Wisnu IM, Hadilukito G. Pencegahan cacat lepra. In: Sjamsoe- daili ES, Menaldi SL, Ismiarto SP,
Nilasari H,editors. Lepra. 2nded. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003.p.90Anonym. Modul Program
Pengendalian Penyakit Kusta untuk CoAss. Pusat Latihan Kusta Nasional. Makassar.2010.p
46-50.
18. Ernest JD. Leprosy.[online].2009 Aug 28 [cited 2010 Feb 05]. Available from:
URL:http://www.medlineplus.com