DAFTAR ISI
BAB 1PENDAHULUAN
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
32. 1 Definisi
32.2 Epidemiologi
3-42.3 Etiologi
42.4 Patogenesis
5-82.5 Klasifikasi
8-102.6 Dasar diagnosis2.6.1 Gejala Klinis
10-13
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
13-18
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang
18-20
2.7 Reaksi Kusta
20-212.8 Pengobatan
21-282.9 Prognosis
28BAB III KESIMPULAN
29BAB IV DAFTAR PUSTAKA
30BAB 1
PENDAHULUAN
Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa
India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata Lepra
disebut dalam kitab Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath,
yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Ternyata
terdapat pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur,
apabila dibanding dengan kusta yang kita kenal sekarang.
Kata kusta juga dikenal dengan Lepra atau Morbus Hansen.
Penyakit ini adalah suatu penyakit infeksi kronis yang disebabkan
Mycobacterium Leprae, mikroorganisma yang mempunyai predileksi pada
kulit dan saraf. Karekteristik penyakit ini secara klinis terdiri
atas tiga tanda cardinal; lesi kulit hipopigmentasi ata eritematosa
yang disertai hilangya sensasi sensoris/ anestesia, penebalan saraf
perifer dan BTA positif pada apusan kulit atau material biopsy.
M. Leprae menginfeksi sel Schwann dari saraf perifer sehingga
menyebabkan kerusakan saraf dan menyebabkan disabilitas. Walaupun
terdapat penurunan prevalensi infeksi M. Leprae pada negara yang
endemis setelah implementasi multidrug therapy, kasus baru yang
dideteksi masih tinggi, menunjukkan adanya transmisi yang
aktif.
Kerentanan terhadap mycobakterium dan gejala klinis bergantung
kepada respon immune penderita . Penderita dengan respon imun yang
baik menunjukkan gejala kearah tipe tuberkuloid sementara penderita
dengan sistem imun yang buruk menunjukkan gejala kearah
lepromatosa.BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 Definisi(1)
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya
ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat.
Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa
traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain
kecuali susunan saraf pusat.2.2 Epidemiologi (1)
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain
sampai tersebar ke seluruh dunia tampaknya disebabkan oleh
perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya
kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia diperkirakan
terbawa oleh orang-orang cina. Distribusi penyakit ini tiap-tiap
negara maupun dalam negara sendiri ternyata berbeda-beda.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis
kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan
lingkungan, varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan,
perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya reservoir diluar manusia
. Belum ditemukan medium artifisial , mempersulit dalam mempelajari
sifat-sifat M. Leprae . Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia
meskipun masih dipikirkan adanya kemungkinan di luar manusia.
Penderita yang mengandng M. Leprae sampai 103 per gram jaringan,
penularannya tiga sampai sepulh kali lebih besar dibanding dengan
penderita yang mengandung 107 basil per gram jaringan.
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di folikel
rambut, kelenjar keringat, air susu dan jarang di dapat di dalam
urin. Sputum dapat mengandung banyak M.leprae yang berasal dari
mukosa traktus respiratorius bagian atas. Tempat implantasi tidak
selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur,
anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Di Indonesia
penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun didapatkan 13% tetapi
anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi
terdapat pada kelompok umur anatar 25-35 tahun.
Kusta terdapat dimana-mana terutama di Asia, Afrika, Amerika
Latin , daerah tropis dan subtropics, serta masyarakat yang sosiol
ekonominya rendah. Makin rendah sosial ekonomi makin berat
penyakitnya, sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi sangat
membantu penyembuhan. Ada variasi reaksi terhadap infeksi M. Leprae
yang mengakibatkan varian gambaran klinis (spektrum dan lain-lain)
di pelbagai suku bangsa. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor
genetik yang berbeda.
Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini
telah menurun 85% di sebagian besar negara atau wilayah endemis.
Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 1997 kurang lebih 890.000
penderita. Walaupun penyakit ini masih merupakan problem kesehatan
masyarakat di 55 negara atau wilayah, 91% dari jumlah kasus berada
di 16 negara , dan 82% nya di 5 negara yaitu Brazil, India ,
Indonesia , Myanmar dan Nigeria. Jumlah kasus kusta di seluruh
dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun tajam di sebagian
besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar pada
permulaan tahun 2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal dari
121 negara, sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 baru tercatat
249.0007.Di Indonesia,distribusi tidak merata, yang tertinggi
antara lain di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Prevalensi
pada tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah 0,73.
2.3 Etiologi(1)(4)
Kuman penyebab adalah Myocobacterium leprae yang ditemukan oleh
G.A HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum
juga dibiakkan dalam media artifisial . M. Leprae berbentuk basil
dengan ukuran 3-8Um x 0.5 Um, tahan asam dan alkohol serta
Gram-positif.
Gambar :Mycobacterium Leprae pada pewarnaan Ziehl-Neelsen2.4
Patogenesis(1)(2)(3)Meskipun cara masuk M. Leprae ke dalam tubuh
masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah
memperlihatkan bahwa yang tersering adalah melalui kulit yang lecet
pada bagian tubuh yang bersuhu dingin. Penularan melalui kontak
langsung antar kulit yang erat dan lama merupakan anggapan klasik.
Anggapan kedua ialah secara inhalasi dan melalui mukosa nasal,
sebab M. Leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.
Pengaruh M. Leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas
seseorang.Bila basil M. Leprae masuk ke dalam tubuh seseorang,
dapat timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut.
Bentuk tipe klinis bergantung kepada sistem imunitas seluler (SIS)
penderita. SIS yang baik akan tampak gambaran klinis kearah
tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran
lepromatosa.
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah
ada yang mempunyai nama lain sel Kupffer di hati, sel alveolar di
paru , sel glia dari otak, dan yang dari kulit disebut histiosit.
Salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis. Kalau ada
kuman masuk, akibatnya akan bergantung pada SIS. Apabila SIS-nya
tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. Leprae. Datangnya
histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik
dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan
tidak ada lagi yang harus di fagosit, makrofag akan berubah bentuk
menjadi sel epiteliod yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit
yang disebut tuberkel . Apabila SIS rendah atau lumpuh, histiosit
tidak dapat menghancurkan M. Leprae yang sudah ada didalamnya,
bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow
atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut
penyebarluasan.Sebagai proteksi awal sebelum bakteri masuk ke dalam
kulit, terutama kompartemen imunologik bakteri tersebut harus
melewati beberapa sawar, salah satunya adalah berbagai mekanisme
non-spesifik seperti sistem fagositosis yang diperankan terutama
oleh sel makrofag. Bakteri yang ditangkap oleh akan melalui
beberapa proses yang bertujuan untuk mengeliminasi bakteri,
sehingga pada 95% individu yang terinfeksi oleh M. Leprae tidak
menimbulkan gejala klinis atau minimal hanya subklinis saja.
Setelah berbagai sawar nonspesifik tersebut gagal, maka barulah
akan bekerja mekanisme imunitas spesifik, melalui aktivasi sel-sel
imunokompeten oleh stimulasi antigan M. Leprae.Pada kusta tipe LL
terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian
makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat
bermultiplikasi dengan bebas yang kemudian dapat merusak jaringan.
Kelainan kulit yang terjadi lebih ekstensif. Lesi kulit terdiri
dari nodus yang infiltratis dan plak. Kelainan saraf dapat
simetris.
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular
tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya
setelah semua kuman difagositosis, makrofag akan berubah menjadi
sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu
membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi
akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan
kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya. Tipe ini biasanya
menyerang kulit dan saraf perifer. Jumlah lesi kulit terbatas
dengan kulit kering dan hipoanestesia. Kelainan saraf biasanya
asimetris.
Gambar : Prinsip mekanisme imunitas non spesifik dan
spesifik
Gambar : Imunitas selular dan humoral pada respon imun
spesifik
Sel Schwann(SS) merupakan target utama untuk infeksi oleh M.
leprae sehingga menyebabkan cedera pada saraf, demielinasi, dan
akibatnya, cacat. Pengikatan M. leprae ke SS menyebabkan
demielinasi dan hilangnya konduktansi aksonal. Telah ditunjukkan
bahwa M. leprae dapat menyerang SS melalui ikatan spesifik protein
laminin dari 21 kDa PGL-1. PGL-1, sebuah glycoconjugate khas utama
pada permukaan M.leprae., mengikat laminin-2, yang menjelaskan
kecenderungan bakteri untuk saraf perifer . Identifikasi M. leprae-
SC reseptor yang ditaget,iaitu dystroglycan (DG), menunjukkan peran
molekul ini dalam degenerasi saraf awal . Mycobacterium leprae
induced demyelination adalah hasil dari ligasi bakteri langsung ke
reseptor neuregulin, erbB2 dan Erk1 / 2 aktivasi, dan sinyal MAP
kinase berikutnya dan proliferasi.
Gambar : Mekanisme delayed type hypersensitivity yang diduga
berkaitan dengan adanya lesi pada kulit sebagai reaksi terhadap
lepromin2.5 Klasifikasi(1)(3)(5)
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate
pada penyakit lepra yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu:
TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti: tuberkuloid indefiniteBT: borderline tuberculoidBB: mid
borderline
bentuk yang labil
BL: borderline lepromatousLi: lepromatosa indefiniteLL:
lepromatosa polar, bentuk yang stabil
Tipe 1 (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah
tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil.
Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe
lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti
dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran
antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50%
tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak
tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya.
Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat
beralih tipe, baik ke arah TT maupun LL.Zona spektrum kusta menurut
berbagai klasifikasi dapat dilihat dibawah.
KlasifikasiZona Spektrum Kusta
Ridley & JoplingTTBTBBBLLL
MadridTuberkuloidBorderlineLepromatosa
WHOPausibasilar (PB)Multibasilar (MB)
PuskesmasPBMB
Tabel : Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi
Menurut WHO (1981), lepra dibagi menjadi multibasilar (MB) dan
pausibasilar (PB). Yang termasuk multibasilar adalah tipe LL,BL dan
BB pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih
dari 2+, sedangkan pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan IB
kurang dari 2+.
Untuk kepentingan pengobatan, pada tahun 1987 telah terjadi
perubahan . Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA
negetif pada pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe I, BT dan TT
menurut klasifikasi Ridley- Jopling. Sedangkan kusta MB adalah
semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun klasifikasi
klinisnya degan BTA positif , harus diobati dengan rejimen
MDT-MB.
Kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis dan
hasil kulit hapusan. Dalam klasifikasi berdasarkan apusan kulit,
pasien menunjukkan apusan negatif yang dikelompokkan sebagai
paucibacillary kusta (PB), sementara mereka yang menunjukkan apusan
positif di situs manapun dikelompokkan sebagai memiliki kusta
multibasiler (MB).Namun, dalam praktiknya, sebagian besar program
menggunakan kriteria klinis untuk mengklasifikasikan dan menentukan
rejimen pengobatan yang tepat untuk setiap pasien, terutama
mengingat tidak-tersediaan layanan apusan kulit. Sistem klasifikasi
klinis untuk tujuan pengobatan meliputi penggunaan jumlah lesi
kulit dan saraf yang terlibat sebagai dasar untuk pengelompokan
pasien kusta multibasiler ke (MB) dan paucibacillary (PB)
kusta.PBMB
Lesi kulit ( makula datar, papul yang meninggi, nodus) 1-5
lesi
Hipopigmentasi/ eritema
Distribusi yang tidak simetris
Hilangnya sensasi yang jelas >5 lesi
Distribusi yang simetris
Hilangnya sensasi kurang jelas
Kerusakan saraf ( menyebabkan hilangnya sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh saraf yang terkena) Hanya satu cabang saraf
Banyak cabang saraf
Bagan diagnosis klinis menurut WHO (1995)2.6 Dasar
Diagnosis(1)(6)2.6.1 Gejala Klinis
Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya
berbentuk makula saja, infiltrat saja , atau keduanya. Kalau secara
inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat
membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak selalu jelas. Hal ini
mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas
terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas dengan kedua cara
tersebut barulah pengujian terhadapa rasa suhu, yaitu panas dan
dingin dengan menggunakan 2 tabung reaksi. Dehidrasi diperhatikan
di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak, dipertegas
dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara mengoresnya
mulai dari tengah lesi kearah kulit normal. Diperhatikan juga ada
atau tidak alopesia di daerah lesi.
Pada pemeriksaan saraf perifer diperhatikan apakah ada
pembesaran, konsistensi, dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf
superficial yang dapat dan perlu diperiksa yaitu, N. Fasialis, N.
Arikulus magnus, N. Ulnaris, N. Medianus, N. Radialis, N. Tibialis
posterior dan N Poplitea lateralis. Bagi tipe lepromataso, kelainan
saraf biasanya bilateral dan menyeluruh sedangkan bagi tipe
tuberkuloid , kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikut tempat
lesinya.
Deformitas pada kusta , dibagi menjadi deformitas primer dan
sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung granuloma yang
terbentuk sebagai reaksi terhadap M. Leprae , yang mendesak dan
merusak jaringan sekitarnya, yaitu kulit, mukosa respiratorius
bagian atas, tulang-tulang jari dan wajah. Deformitas sekunder
terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umunya deformitas
diakibatkan keduanya, tetapi terutama kerana keruskaan saraf.
Gejala kerusakan saraf:
N. ulnaris- anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan
jari manis
- clawing kelingking dan jari manis
- atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot
lumbrikalis medial
N. medianus- anestesia pada ujung jari anterior ibu jari,
telunjuk dan jari tengah
- tidak masuk aduksi ibu jari
- clawing ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah
- ibu jari kontraktur
- atrofi otot tenar dan otot lumbrikalis lateral
N. radialis- anestesia dorsum manus serta ujung proksimal jari
telunjuk
- tangan gantung (wrist drop)
- tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
N. poplitea lateralis- anestesia tungkai bawah, bagian lateral
dan dorsum pedis
- kaki gantung (foot drop)
- kelemahan otot peroneus
N. tibialis posterior- anestesia telapak kaki
- claw toes
- paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
N. Fasialis- cabang zigomatik dan temporal menyebabkan
lagoftalmus
- cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan
ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir
N. Trigeminus- anestesia kulit wajah, kornea dan konjugtiva
mata
Kerusakan mata pada kusta dapat juga primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat
mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya
nervus fasialis yang dapat membuat paralisis N. Orbikularis
palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus
yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya.
Secarra sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan
kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri ata
kelenjar keringat, kelenjar palit dan folikel rambut dapat
mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa
dapat timbul ginekomestia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan
oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus
testis.
Pada kusta, didapatkan 3 tanda kardinal, dimana jika salah
satunya ada, sudah cukup untuk menetapkan diagnosis dari penyakit
kusta, yakni :a) Lesi kulit yang anestesi ,b) Penebalan saraf
perifer, c) Ditemukannya M. Leprae sebagai bakteriologis
positif.
Masa inkubasinya 40 hari 40 tahun (rata-rata 3 5 tahun). Onset
terjadinya perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali
mengenai sistem saraf perifer dengan parestesi dan baal yang
persisten atau rekuren tanpa terlihat adanya gejala klinis. Pada
stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa makula dan bula
yang bersifat sementara. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan
kelemahan otot, atrofi otot, nyeri neuritik yang berat, dan
kontraktur tangan dan kaki. Gejala prodromal yang dapat timbul
kadang tidak dikenali sampai lesi erupsi ke kutan terjadi. 90%
psien biasanya mengalami keluhan pada pertama kalinya adalah rasa
baal, hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat membedakan panas
dengan dingin. Selanjutnya, sensasi raba dan nyeri, terutama
dialami pada tangan dan kaki, sehingga dapat terjadi kompliksi
ulkus atau terbakar pada ekstremitas yang baal tersebut. Bagian
tubuh lain yang dapat terkena kusta adalah daerah yang dingin,
yaitu daerah mata, testis, dagu, cuping hidung, daun telinga, dan
lutut. Perubahan saraf tepi yang terjadi dapat berupa (1)
pembesaran saraf tepi yang asimetris pada daun telinga, ulnar,
tibia posterior, radial kutaneus, (2) Kerusakan sensorik pada lesi
kulit (3) Kelumpuhan nervus trunkus tanpa tanda inflamasi berupa
neuropati, kerusakan sensorik dan motorik, serta kontraktur (4)
kerusakan sensorik dengan pola Stocking-glove (4) Acral distal
symmethric anesthesia (hilangnya sensasi panas dan dingin, serta
nyeri dan raba).
Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya
berbentuk makula saja, infiltrate saja, atau keduanya. Kalau secara
inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesi sangat membantu
penentuan diagnosis, meskipun tidak selalu jelas2.6.2 Pemeriksaan
fisik
1. Tuberculoid Leprosy (TT, BT)
Pada TT, imunitas masih baik,dapat sembuh spontan dan masih
mampu melokalisir sehingga didapatkan gambaran batas yang tegas.
Mengenai kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa,
dapat berupa makula atau plak, dan pada bagian tengah dapat
ditemukan lesi yang regresi atau central clearing. Permukaan lesi
dapat bersisik, dengan tepi yang meninggi. Dapat disertai penebalan
saraf tepi yang biasanya teraba. Kuman BTA negatif merupakan tanda
terdapatnya respon imun yang adekuat terhadap kuman kusta. Pada BT,
tidak dapat sembuh spontan, Lesi menyerupai tipe TT namun dapat
disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau
beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau
skuama tidak sejelas TT. Gangguan saraf tidak berat dan
asimetris.
Gambar : Lesi Tuberculoid leprosy, soliter, anesthetic,
annular
Gambar :Lesi Kulit pada Tuberculoid Leprosy
Gambar :Borderline Tuberculoid Leprosy, gambaran anular
inkomplit dengan papul satelit2. Borderline Leprosy Pada tipe BB
borderline,merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga
bentuk dimorfik. Lesi kulit berbentuk antara tuberculoid dan
lepromatous. Terdiri dari macula infiltratif, mengkilap, batas lesi
kurang tegas, jumlah banyak melebihi tipe BT dan cenderung
simetris. Lesi bervariasi, dapat perbentuk punch out yang khas..
Pada tipe ini terjadi anestesia dan berkurangnya keringat.
Gambar : Lesi Kulit pada Borderline BB Leprosy3. Lepromatous
LeprosyTipe BL, secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya
sedikit drngan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih
bervariasi bentuknya. Distribusi lesi hampir seimetris. Lesi
innfiltrat, dan plak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan
saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya
keringat dan hilangnya rambut lebih cepat muncul. Penebalan saraf
tepi teraba pada tempat predileksi. Tipe LL, jumlah lesi sangat
banyak, nodul mencapai ukuran 2 cm, simetris, permukaan halus,
lebih eritematous, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium
dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Ditemukan juga lesi
Dematofibroma-like multipel, batas tegas, nodul eritem. Distribusi
lesi khas pada wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif membentuk
facies leonine. Kerusakan saraf menyebabkan gejalan stocking and
glove anesthesia.
Gambar Lesi Kulit pada Lepromatous LeprosyPada reaksi lepra tipe
1, terjadi inflamasi akut pada lesi kulit, terdapat edema dan
nyeri, bisa ulserasi. Edema paling berat terjadi di wajah, tangan,
dan kaki. Pada reaksi lepra tipe 2, terdapat nodul yang nyeri dan
berwarna merah, bisa abses atau ulserasi. Paling sering timbul di
wajah dan ekstremitas bagian ekstensor.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan 1) ekstremitas: neuropati
sensoris, ulserasi telapak kaki, infeksi sekunder, ulnar and
peroneal palsies, sendi Charcot, 2) hidung: kongesti kronik,
epistaksis, destruksi kartilago dengan deformitas saddle-nose, 3)
mata: kelumpuhan nervus kranialis, lagoftalmus, insensitivitas
kornea. Pada LL, dapat terjadi uveitis, glaucoma, pembentukan
katarak. Kerusakan kornea dapat terjadi sekunder terhadap
trichiasis dan neuropati sensoris, infeksi sekunder, dan paralisis
otot, 4) testis: terjadi hipogonadisme pada pasien LL, 5)
amiloidosis sekunder karena gangguan hepar/ ginjal.
Tabel : Gambaran klinis, Baakteriologik, Imunologik Kusta
Multibasile (MB)
SIFATLLBLBB
Lesi
Bentuk
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Batas
AnestesiaMakula, Infiltrat Difus, Papul, Nodul
Tidak terhitung, praktis tidak ada kulit sehat
Simetris
Halus Berkilat
Tidak Jelas
Biasanya Tak JelasMakula, Plakat, Papul
Sukar dihitung, masih ada kulit sehat
Hampir simetris
Halus Berkilat
Agak Jelas
Tak JelasPlakat, Dome Shaped (Kubah), Punched Out
Dapat dihitung, kulit sehat jelas ada
Asimetris
Agak Kasar/berkilat
Agak Jelas
Lebih Jelas
BTA
Lesi kulit
Sekret hidungBanyak (ada globus)
Banyak (ada globus)Banyak
Biasanya NegatifAgak Banyak
Negatif
Tes LeprominNegatifNegatifBiasanya negatif
Tabel Gambaran klinis, Baakteriologik, Imunologik Kusta
Pausibasiler (PB)
SIFATTTBTI
Lesi
Bentuk
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Batas
AnestesiaMakula saja, makula dibatasi infiltratSatu, dapat
beberapa
asimetris
kering bersisik
Jelas
Biasanya Tak JelasMakula dibatasi infiltrat
Beberapa, atau satu dengan satelit
Masih asimetris
Kering bersisik
Jelas
Tak JelasHanya makula
Satu atau beberapa
variasi
halus agak berkilat
jelas/tidak tidak ada sampai tidak jelas
BTA
Lesi kulit
Sekret hidungNegatif
Banyak (ada globus)Negatif/positif 1
Biasanya NegatifBiasanya negatif
Negatif
Tes LeprominPositif kuat (3+)Positif lemahPositi lemah sampai
negatif
2.6.3 Pemeriksaan penunjanga)Pemeriksaaan bakterioskopik Sediaan
dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung
yang diwarnai dengan pewarnaan BTA Ziehl Neelsen. Pertama tama
harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh
basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil.
Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya
minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4
lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan
paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada
atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena atas dasar pengalaman
tempat tersebut diharapkan mengandung basil paling banyak.
M.Leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan.
Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented),
dan butiran(granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedangkan
fragmented dan granular merupakan bentuk mati.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0
sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan
pandang (LP).
1 + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP
2+Bila 1 10 BTA dalam 10 LP
3+Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP
4+Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP
5+Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP
6+Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LP
Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak
emersi pada pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalah IB
rata-rata semua lesi yang dibuat sediaan.
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan
dengan jumlah solid dan non solid.
IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100
BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA
harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+
maksimum harus dicari 100 lapangan.
Ada pendapat , bahwa jika jumlah BTA kurang dari 100, dapat pula
dihitung IM-nya tetapi tidak dinyatakan dalam %, tetap dalam
pecahan yang tidak boleh diperbesar atau diperkecil.
b) Pemeriksaan histopatologi,
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan
kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya
sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi
subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah
langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa
dijumpai sel Virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline
terdapat campuran unsur- unsur tersebut. Sel Virchow adalah
histiosit yang dijadikan M. Leprae sebagai tempat berkembangbiak
dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.c) Pemeriksaan
serologik
Didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M.leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat
spesifik terhadap M. Leprae , yaitu antibody anti phenolic
glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35 kD.
Sedangkan antibody tidak spesifik antara lain antibody
anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan kuman M.
Tuberkulosis.Pemeriksaan serologik kusta adalah MLPA (Mycobacterium
Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick, PCR.
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan
prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk
menunjukkan sistem imun penderita terhadap M. Leprae. 0,1 ml
lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan
intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi
Fernandez) atau 3 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez
positif bila terdapat indurasi dan eritemayang menunjukkan kalau
penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe
lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberkolosis.
2.7 Reaksi Kusta(1)
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada
perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi imun
dapat menguntungkan, tetapi dapat pula merugikan yang disebut
reaksi imun patologik, dan reaksi kusta ini tergolong di dalamnya.
Eritema nodusum leprosum (E.N.L)
ENL timbul terutama pada tipe lepromatosa polar dan BL. Secara
imunopatologis, ENL termasuk respons imun humoral, berupa fenomena
kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. Leprae + antibody
(IgM, IgG) + komplemen ( kompleks imun. Hal ini terjadi karena,
pada tipe lepromatosa, jumlah basil jauh lebih banyak daripada tipe
tuberkuloid . ENL lebih banyak terjadi pada tahun kedua pengobatan
karena banyak basil lepra yang mati dan hancur, berarti banyak
antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibody, mengaktifkan
sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam
sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ.
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema
dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila
mengenai organ lain dapat menyebabkan gejala seperti iridosiklitis,
neuritis akut, limfadenitis, arthritis , orkitis dan nefritis akut
dengan adanya proteinuria . ENL dapat disertai gejala konstitusi
dari ringan sampai berat .
Reaksi reversal atau reaksi upgrading
Reaksi ini dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB,
BT,Ti) sehingga disebut juga sebagai reaksi borderline. Yang
memegang peran utama dalam terjadi hal ini adalah SIS. Reaksi
peradangan terjadi pada tempat-tempat basil M.leprae berada, yaitu
pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan
pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara
mendadak, oleh karena itu memerlukan pengobatan segera yang
memadai. Pada reaksi reversal, dapat terjadi perpindahan egativ
arah TT dengan disertai peningkatan SIS, hanya bedanya dengan cara
mendadak dan cepat.
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau
seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif atau timbul lesi baru
dalam waktu relative singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi
eritema, lesi eritema menjadi lebih eritemotosa, lesi makula
menjadi egativee, lesi egativee menjadi lebih egativee dan lesi
lama bertambah luas. Adanya gejala neuritis akut penting
diperhatikan, karena sangat menentukan pemberian pengobatan
kortikosteroid.2.8 Pengobatan(1)(3)(5)(6)
Sejak tahun 1951 pengobatan tuberkulosis dengan obat kombinasi
ditujukan untuk mencegah kemungkinan resistensi obat, sedangkan
multi drug treatment (MDT) untuk kusta baru dimlai pada tahun 1971.
Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk , mencegah dan mengobati
resistensi, memerpendek masa pengobatan dan mempercepat pemutusan
mata rantai penularan. Untuk menyusun kombinasi obat perl
diperhatikan antara lain: efek teraptik obat, efek samping obat,
harga obat dan kemungkinan penerapannya.i) DDS atau Dapsone
Pengertian MDT pada saat ini ialah DDS sebagai obat dasar
ditambah dengan obat-obat lain. Dosis DDS ialah 1-2mg/kg berat
badan setiap hari. Dapson, diamino difenil sulfon bersifat
bakteriostatik yaitu mengahalangi atau menghambat pertumbuhan
bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari
para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk
sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson adalah anemia
hemolitik,leucopenia,insomnia, neuropatia perifer, sindrom DDS,
nekrolisis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia,
methemoglobinemia, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit
kepala, dan vertigo.ii) Lamprene atau Clofazimin Merupakan
bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta. Clofazimin bekerja
dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase.Dosis
sebagai antikusta ialah 50mg setiap hari atau 100mg selang sehari ,
atau 3x100mg setiap minggu. Bersifat antiinflamasi dan dapat
dipakai untuk pengobatan ENL dengan dosis 200-300mg/hari, namun
awitan kerja timbul seteah 2-3 minggu. Efek sampingnya adalah warna
kecoklatan pada kulit dan warna kekuningan pada sklera sehingga
mirip ikterus. Hal ini disebabkan zat warna klofazimin yang
dideposit terutama pada sel system retikuloendotelial, mukosa dan
kulit. Efek samping hanya terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan
gastrointestinal yaitu nyeri abdomen, nausea, diare, anokresia dan
vomitus. Perubahan warna mulai menghilang setelah 3 bulan obat
dihentikan.iii) Rifampicin
Rifampicin bersifat bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin
bekerja dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada
sel bakteri dengan berikatan pada subunit beta. Dosisnya ialah
10mg/kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap bulan. Efek
sampingnya adalah hepatotoksik,nefrotoksik, gejala
gastrointestinal, flu-like syndrome dan erupsi kulit.iv)
Ofloksasin
Merupakan turunan flurokuinolon yang paling aktif terhadap
Mycobacterium Leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400mg.
Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman
Myocobacterium leprae hidup sebesar 99.99%. Efek sampingnya adalah
mual, diare dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan
susunan saraf pusat termasuk imsonia, nyeri kepala , dizziness,
nervousness dan halusinasi. Penggunaan pada anak, remaja, wanita
hamil dan menyusui harus hati-hati, karena pada hewan muda kuinolon
menyebabkan artropati.v) Minosiklin
Termasuk kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi
dari klaritromisin, tetapi lebih rendah dari rifampisin. Dosis
standar harian 100mg. Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi
dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan
membrane mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan susunan saraf
pusat termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak
dianjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan.
vi) Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotic makrolid dan mempunyai aktivitas
bakterisidal terhadap Mycobacterium Leprae pada tikus dan manusia.
Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500mg dapat membunuh
99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99.9% dalam 56 hari.
Efek sampingnya adalah nausea, voitus dan diare yang terbukti
sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000mg.
Kombinasi obat ini diberikan 2 tahun sampai 3 tahun dengan
syarat bakterioskopis harus negetif. Apabila bakterioskopis masih
positif, pengobatan dilanjutkan sampai bakterioskopis negetif.
Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan
dan secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan .
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment
(RFT). Setelah RFT dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa
pengobatan secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun
selama 5 tahun. Kalau bakterioskopis tetap egative dan klinis tidak
ada keaktifan baru, maka dinyatakan Release From Control (RFC).
Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan,
penderita kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasilar dengan
lesi tunggal, pausibasilar dengan lesi 2-5 buah , dan penderita
multibasilar dengan lesi lebih dari 5 buah. Sebagai standar
pengobatan, WHO Expert Committee pada tahun 1998 telah memperpendek
masa pengobatan untuk kasus MB menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan,
sedangkan pengobatan untuk kasus PB dengan lesi kulit 2-5 buah
tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. Bagi kasus PB dengan lesi tunggal
pengobatan adalah rifampisin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400
mg dan minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang
direkomendasikan oleh WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi
kusta disederhanakan menjadi:
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= Multi Drug Treatment.
Kegunaan MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin
meningkat, mengatasi ketidakteraturan penderita dalam berobat,
menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan
dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi
tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian
obat sekali saja langsung RFT/=Release From Treatment. Obat diminum
di depan petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila
obat ROM belum tersedia di Puskesmas diobati dengan regimen
pengobatan PB lesi (2-5). Bila lesi tunggal dgn pembesaran saraf
diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5). Tabel : Regimen
pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut WHO/DEPKES
RIRifampicinOfloxacinMinocyclin
Dewasa
(50-70 kg)600 mg400 mg100 mg
Anak
(5-14 th)300 mg200 mg50 mg
PB dengan lesi 2 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan
selama (6-9) bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT
(Release From Treatment) yaitu berhenti minum obat.Tabel : Regimen
MDT pada kusta Pausibasiler (PB)RifampicinDapson
Dewasa600 mg/bulan
Diminum di depan petugas kesehatan100 mg/hr diminum di rumah
Anak-anak
(10-14 th)450 mg/bulan
Diminum di depan petugas kesehatan50 mg/hari diminum di
rumah
MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini
bisa diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12
dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From Treatment yaitu
berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara
pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahunTabel
:Regimen MDT pada kusta Multibasiler
(MB)RifampicinDapsonLamprene
Dewasa600 mg/bulan diminum di depan petugas kesehatan100 mg/hari
diminum di rumah300 mg/bulan diminum di depan petugas kesehatan
dilanjutkan dgn 50 mg/hari diminum di rumah
Anak-anak
(10-14 th)450 mg/bulan diminum di depan petugas50 mg/hari
diminum di rumah150 mg/bulan diminum di depan petugas kesehatan
dilanjutkan dg 50 mg selang sehari diminum di rumah
Kalau susunan MDT tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alas
an, WHO Expert Committee pada tahun 1998 mempunyai rejimen untuk
situasi khusus. Penderita MB yang resisten dengan rifampisin
biasanya akan resisten dengan DDS sehingga hanya bisa mendapatkan
klofazimin. Dalam hal ini , rejimen pengobatan menjadi klofazimin
50 mg, ofloksasin 400 mg, minosiklin 100 mg setiap hari selama 6
bulan dan lagi selama 8 bulan. Pengobatan reaksi kusta. i)
Pengobatan ENL
Obat yang sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, yaitu
prednisone dengan dosis 15-30 mg/ hari. Dosis dapat dinaikkan
sesuai dengan berat penyakit dan pada penyakit yang ringan
sebaiknya tidak diberikan kortikosteroid. Apabila terdapat
perbaikan, dosis kortikosteroid diturunkan secara tapering off.
Selain itu dapat diberikan analgesic-antipiretik dan sedative, dan
jika perlu dirawat inap. Thalidomide merupakan obat pilihan
pertama, namun mempunyai efek teratogenik. Pada saat ini , obat ini
sudah tidak diproduksi dan didapat di Indonesia. Klofazimin dengan
dosis 200-300mg/ hari dapat dipakai untuk pengobatan ENL.
Klofazimin dapat dipakai untuk lepas dari ketergantungan
kortikosteroid.
ii) Pengobatan reaksi reversal
Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah
kortikosteroid, yang dosisnya disesuaikan dengan berat ringan
neuritis. Biasanya diberikan prednisone 40-60 mg per hari dan
kemudian diturunkan perlahan-lahan. Anggota gerak yang terkena
neuritis akut harus direhatkan . Analgetik dan sedative kalau
diperlukan dapat diberikan . Klofazimin untuk reaksi reversal
kurang efektif, oleh karena itu jarang atau tidak pernah dipakai,
begitu juga talidomid tidak efektif terhadap reaksi reversal.
Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat
timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand ,
drop foot , claw toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal
tersebut diatas dilakukan pengobatan Prinsip pengobatan Reaksi
Kusta yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan
sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan
dosis yang tidak diubah.
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian
analgetik dan obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan
Chloroquine 150 mg 31 selama 3-5 hari, dan MDT (obat kusta)
diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian
analgesik dan sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis
tidak diubah, pemberian obat-obat anti reaksi dan pemberian
obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.Obat-obat anti
reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 6x/hari ) ,
Klorokuin dengan dosis 3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen
(8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara selang-seling
dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh
karena toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita
(teratogenik ).Dosis 400 mg/hari kemudian diturunkan sampai
mencapai 50 mg/hari.
Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau
sedang.Digunakan prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis
tunggal pada pagi hari lebih baik walaupun dapat juga diberikan
dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering off)
setelah terjadi respon maksimal.
Gambar : Regimen MDTPencegahan cacat
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of
disabilities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta
dan pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan
mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan
saraf serat memulai pengobatan kusta dengan kortikosteroid sesegera
mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi
petunjuk sederhana, misalnya memakai sepatu untuk melindngi kaki
yang telah terkena , memakai sarung tangan bila bekerja dengan
benda yang tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk
melindnginya. Perawatan kulit sehari-hari juga diajar. Hal ini
dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka atau ulkus.
Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar
tidak kering dan pecah.
WHO Expert Committee on Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam
WHO Technical Report Series No.607 (1997) telah membuat klasifikasi
cacat bagi penderita kusta.
Cacat pada kaki dan tangan
Tingkat 0Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada deformitas
atau kecacatan yang terlihat.
Tingkat 1Ada gangguan sensibilitas, tanpa kecacatan ata
deformitas yang terlihat.
Tingkat 2Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
Tingkat 0Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada
gangguan penglihatan
Tingkat 1Ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan
yang berat pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat
menghitung jari pada jarak 6 meter)
Tingkat 2Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60;
tidak dapat menghitung jari pada jarak 6 meter)
Tabel : Klasifikasi Cacat2.9 Prognosis(7) Bergantung pada
seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan
bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan.
Terkadang asien dapat mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta
kualitas hidup pasien menurun.BAB IIIKESIMPULAN
Akses terhadap informasi, diagnosis dan pengobatan dengan terapi
multidrug (MDT) tetap menjadi elemen penting dalam strategi untuk
mengeliminasi penyakit ini sebagai masalah kesehatan masyarakat,
yang didefinisikan sebagai mencapai suatu prevalensi kurang dari 1
kasus kusta per 10.000 penduduk. MDT pengobatan telah disediakan
oleh WHO secara gratis kepada semua pasien di seluruh dunia sejak
tahun 1995, serta menyediakan obat yang sederhana namun sangat
efektif untuk semua jenis penyakit kusta
Walaupun kusta adalah penyakit tradisional negara-negara
berkembang, mobilitas masyarakat saat ini membuatnya lebih mudah
untuk mengimpor M. leprae ke negara-negara maju. Dengan pelaksanaan
MDT, kusta sekarang jauh lebih mudah untuk dikontrol. Deteksi dini
dan pengobatan penyakit, reaksi, dan kekambuhan merupakan kunci
untuk mencegah kecacatan dan memungkinkan pasien untuk menjalani
kehidupan yang relatif normal.
BAB IVDAFTAR PUSTAKA
1. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih
Menaldi. Kusta. Dalam: Djuanda, Adhi dkk. (Ed.). Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin Edisi 5 Cetakan Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI. 2007; 73-88
2. Sudigdo, Adi. Imunologi Penyakit Kusta dalam Imunodermatologi
Bagi Pemula. 2000. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas
Padjajaran. h 62-67
3. Smith D.S. Leprosy
http://emedicine.medscape.com/article/220455-overview#a0104, 12
Oktober 2013.
4. Prakash Chaitra dan Bhat R.M. Leprosy: An overview of
pathophysiology. http://www.hindawi.com/journals/ipid/2012/181089/.
12 Oktober 2013.
5. WHO. Leprosy elimination: classification of leprosy.
http://www.who.int/lep/classification/en/index.html. Akses pada 12
Oktober 2013.
6. Desimone E.M et al. Leprosy: A new look at old disease
http://legacy.uspharmacist.com/index.asp?show=article&page=8_1649.htm.
12 Oktober 2013.
7. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine 7th ed. USA : McGraw Hill 2008. P
17889-17961