DOA Tuhanku Dalam termenung Aku masih menyebut nama-Mu Biar susah sungguh Mengingat Kau penuh seluruh Caya-Mu panas suci Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi Tuhanku Aku hilang bentuk Remuk Tuhanku Aku mengembara di negeri asing Tuhanku Di Pintu-Mu aku mengetuk Aku tidak bisa berpaling (Karya: Chairil Anwar)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
DOA
Tuhanku
Dalam termenung
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di Pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
(Karya: Chairil Anwar)
Analisis Unsur Intrinsik Puisi “Doa”
1. Tema : Ketuhanan.
2. Nada dan Suasana
Nama berarti sikap penyair terhadap pokok persoalan (feeling) atau
sikap penyair terhadap pembaca. Sedangkan suasana berarti keadaan
perasaan pembaca sebagai akibat pembacaan puisi.
Nada yang berhubungan dengan tema ketuhanan menggambarkan
betapa dekatnya hubungan penyair dengan Tuhannya. Berhubungan dengan
pembaca, maka puisi “Doa” tersebut bernada sebuah ajakan agar pembaca
menyadari bahwa hidup ini tidak bisa berpaling dari ketentuan Tuhan.
Karena itu, dekatkanlah diri kita dengan Tuhan. Hayatilah makna hidup ini
sebagai sebuah “pengembaraan di negeri asing”.
3. Perasaan
Perasaan berhubungan dengan suasana hati penyair. Dalam puisi
”Doa” gambaran perasaan penyair adalah perasaan terharu dan rindu.
Perasaan tersebut tergambar dari diksi yang digunakan antara lain:
termenung, menyebut nama-Mu, Aku hilang bentuk, remuk, Aku tak bisa
berpaling.
4. Amanat
Sesuai dengan tema yang diangkatnya, puisi ”Doa” ini berisi amanat
kepada pembaca agar menghayati hidup dan selalu merasa dekat dengan
Tuhan. Agar bisa melakukan amanat tersebut, pembaca bisa merenung
(termenung) seperti yang dicontohkan penyair. Penyair juga mengingatkan
pada hakikatnya hidup kita hanyalah sebuah ”pengembaraan di negeri asing”
yang suatu saat akan kembali juga. Hal ini dipertegas penyair pada bait
terakhir sebagai berikut:
Tuhanku,
Di Puntu-Mu Aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
KARANGAN BUNGA
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu
“Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
siang tadi”.
Karya: Taufiq Ismail
Unsur Intrinsik Puisi “Karangan Bunga”
1. Tema: Kepahlawanan
2. Amanat
Kita harus menghargai jasa para pahlawan
Kita harus meneruskan perjuangan para pahlawan
3. Sudut Pandang: Orang ketiga
4. Nada dan suasana: Nada sedih menimbulkan suasana duka
5. Tipografi: Bentuknya rapi, terdiri dari 2 bait, bait pertama terdiri dari 4
baris, bait kedua terdiri dari 5 baris.
6. Irama:
Bait pertama bersajak a b c b
Bait kedua bersajak a a a b b
7. Penginderaan/Citraan/Imaji
Penglihatan: bait pertama baris 1-4
bait kedua baris 1-2
bait kedua baris 4-5
Perasaan : bait kedua baris 3
8. Bahasa:
1) Ungkapan/Pilihan Kata
Tiga anak kecil : tiga tuntunan rakyat yang mekar dan baru lahir.
Pita hitam sebagai tanda berduka cita/berkabung.
Kakak kami berarti orang yang dianggap sebagai kakak. ( AR Hakim)
Salemba: markas mahasiswa UI yang tergabung dalam KAMI
2) Majas
Datang ke Salemba: Alegori
Pita hitam pada karangan bunga: Metafora
BERDIRI AKU
Berdiri aku di senja senyap
Camar melayang menepis buih
Melayah bakau mengurai puncak
Berjulang dating ubur terkembang
Angin pulang menyeduk bumi
Menepuk teluk mengempas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun-ayun di atas alas
Benang raja mencelup ujung
Naik marak menggerak corak
Elang leka sayap tergulung
Dimabuk warna berarak-arak
Dalam rupa maha sempurna
Rindu-sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Menyecap hidup bertentu tuju.
Karya: Amir Hamzah
Unsur Intrinsik Puisi “Berdiri Aku”
1. Tema atau Sense
Tema Umum
Tema umum dari sajak ini adalah kesedihan.
Tema Khusus
Sajak “BerdiriAku” ini merupakan ekspresi kesedihan yang ditampilkan
penyair dengan suasana sunyi. Kesedihan ini tidak lain dikarenakan
oleh perpisahannya dengankekasihnya dan dia harus pulang ke
Medan dan menikah dengan putrid pamannya. Perasan sedih yang
sangat mendalam digambarkan penyair dengan suasana sunyi pantai
disore hari. Dengan demikian penyair hanya mampu melihat
keindahan alam sekitar karena kebahagiaannya dan harapan te;ah
hilang.
2. Feeling atau Rasa
Dalam sajak berdiri aku tergambar sikap pesimis penyair dalam
mengadapi permasalahan hidupnya, sikap pesimis ini mejadikannya
melankolis.
3. Amanat
Amir Hamzah ingin menyampaikan ide dan pemikiranya untuk yang
membacanya supaya menyerahkan hidupnya kepada Tuhan karena hanya
dialah yang mampu memberi kepastian dalam kehidupan di dunia ini.
4. Tipograf / Tata Wajah
Tifografi dalam sajak ini penyair memanfaatkan margin halaman kertas
dan dalam penulisan sajak ini. Penyair begitu memperhatikan EYD.
5. Diksi
Kata-kata seperti, senyap, mengurai, mengempas, berayun-ayun dan
sayap tergulung identik dengan kesunyian. Kata-kata tersebut membentuk
makna kesendirian yang ingin digambarkan pengarang.
Kata “maha sempurna” dalam akhir bait juga merupakan arti konotasi
dari tuhan yang maha sempurna. Kata “mengecap” memiliki arti yang ingin
dirasakan. Permainan kata-kata yang digunakan yang ditulis memang
sebuah misteri untuk menyembunyikan ide pengarang.
6. Citraan
Sajak Berdiri Aku ini menimbulkan imaji penglihatan ”visualimagery”,
seolah-olah kita melihat suasana pantai yang indah. Dalam kalimat pertama
imaji kita akan merasakan kesejukan dengan kata-kata tersebut tetapi
satyang angin itulah yang menghempaskan harapan dan membawa lari
sehingga yang terasa hanyalah sunyi yang semakin dalam. Dengan berbagai
citraan yang mampu ditampilkan penyair ini pembaca akan ikut merasakan
apa yang ditulis oleh penyair dengan inderanya sendiri.
IBU
kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir
bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
Ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku disini
saat bunga kembang menyerbak bau sayang
Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti
bila kasihmu ibarat samudra
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu
bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
Ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku.
Unsur Intrinsik Puisi “Ibu”
1. Rima, adalah persamaan bunyi yang terdapat pada larik-larik sajak.
Pada sajak “Ibu” tampak terutama berupa dominasi rima akhir, walau
juga terdapat rima tengah.
2. Diksi, yaitu pilihan kata sebagai simbol, hal ini karena bukan makna yang
sebenarnya. Pada sajak “Ibu” terdapat diksi pada kata gua pertapaanku
sebagai simbol makna kehidupan di dalam kandungan. Kemudian kata
pahlawan adalah sebagai simbol seseorang yang telah berjasa besar
dan telah rela berkorban. Kata bidadari juga menyiratkan suatu simbol
kecantikan lahiriah maupun keelokan akhlak/budi pekerti. Dan kata
bianglala adalah pelangi sebagai suatu simbol keindahan.
3. Majas, adalah ungkapan gaya dan rasa bahasa yang menunjukkan
kepiawaian penyair. Pada sajak “Ibu” pengarang menggunakan majas
perbandingan yang disebut metafor.
4. Imaji (pencitraan) yakni pembayangan kembali (reproduksi mental suatu
ingatan) terhadap pengalaman sensasional (perasaan) dan pengalaman
persepsional (fikiran). Pencitraan pada sajak “Ibu” berupa imaji visual
yaitu pembayangan kembali pengalaman sensasional-perseptual
terhadap gambaran yang nampak, terdapat pada: sumur-sumur, daunan,