Top Banner
KARYA TULIS ILMIAH SPEKTRUM PENDERITA NEGLECTED FRACTURE DI RSUD DR. ABDOER RAHEM PADA PERIODE 1 JANUARI 2012 SAMPAI DENGAN DESEMBER 2013 Penulis : Adhinanda Gema Wahyudiputra, dr. Haris Dwi Khoirur, dr. Rizki Adrian Hakim, dr. M Rosyid Narendra, dr. RSUD DR ABDOER RAHEM SITUBONDO 2013
60

KTI ORTHO SITUBONDO

Mar 06, 2023

Download

Documents

Ali Muthohari
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: KTI ORTHO SITUBONDO

KARYA TULIS ILMIAH

SPEKTRUM PENDERITA NEGLECTED FRACTURE DI RSUD DR. ABDOER

RAHEM PADA PERIODE

1 JANUARI 2012 SAMPAI DENGAN DESEMBER 2013

Penulis :Adhinanda Gema Wahyudiputra, dr.

Haris Dwi Khoirur, dr.Rizki Adrian Hakim, dr.M Rosyid Narendra, dr.

RSUD DR ABDOER RAHEMSITUBONDO 2013

Page 2: KTI ORTHO SITUBONDO

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trauma merupakan penyebab utama kematian dan

kecacatan di seluruh dunia. Tingkat kematian (Mortality Rate)

dari kasus trauma didapatkan lebih tinggi pada negara-

negara dengan tingkat penghasilan menengah ke bawah, hal

ini berhubungan dengan tingginya penggunaan transportasi

bermotor, kurang maksimalnya pembangunan jalan dan sistem

penanganan trauma yang terbatas. Secara statistik dari

setiap satu korban meninggal akibat trauma, masih lebih

banyak lagi yang berakhir dengan kecacatan baik sementara

maupun permanen. Statistik gabungan dari kasus trauma

akibat jatuh dan kecelakaan lalu lintas, didapatkan angka

berkisar antara 1000-2600/ 100.000 jiwa per tahun pada

negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah. Pada

negara-negara berpenghasilan tinggi angka ini hanya

Page 3: KTI ORTHO SITUBONDO

2

skitar 500/100.000 jiwa per tahun (Jain dan Kumar, 2011).

Di Indonesia sendiri menurut Statistik WHO Tahun 2007,

berdasarkan jumlah kematian akibat kecelakaan lalu-lintas

dan estimasi kecelakaan lalu-lintas per 100.000 penduduk,

diantara negara-negara se-Asia Tenggara, Indonesia ada di

urutan ke-1 terbanyak, yaitu 37.438 kematian atau sekitar

16,2 bila di-estimasi per 100.000 penduduk.(WHO,2007)

Trauma muskuloskeletal yang membutuhkan perawatan yang

segera adalah keadaan yang paling sering dijumpai di

lapangan, yang mana pada pelayanan kesehatan primer tidak

selalu tersedia ahli bedah orthopedi,ahli trauma, bedah

umum, anestesiologi maupun praktisi umum dengan keahlian

emergensi. Dalam hal ini fraktur merupakan kondisi yang

banyak ditemui pada trauma muskuloskeletal. Di Indonesia

angka penderita patah tulang pada tahun 2007 yaitu 43.808

kasus atau 4,5% dari kasus cedera yang ada di Indonesia

(Riskesdas,2007) Sebagian besar kasus ditangani oleh

dokter umum, perawat, maupun paramedis yang memiliki

keterbatasan kemampuan dan tentunya fasilitas yang kurang

memadai untuk penanganan awal. Pasien biasanya datang ke

pusat pelayanan kesehatan rujukan sudah dalam keadaan

Page 4: KTI ORTHO SITUBONDO

3

fraktur ekstremitas yang mal-united, un-united, infected atau mal-

positioned (Jain dan Kumar, 2011). Sedangkan di Indonesia

sendiri, pasien dengan trauma muskuloskeletal terutama

pasien fraktur kebanyakan masih memilih mengobati

penyakitnya pada pengobatan patah tulang tradisional.

Neglected fracture dengan atau tanpa dislokasi adalah suatu

fraktur dengan atau tanpa dislokasi yang tidak ditangani

atau ditangani dengan tidak semestinya sehingga

menghasilkan keadaan keterlambatan dalam penanganan, atau

kondisi yang lebih buruk dan bahkan kecacatan (Kawiyana,

1985). Sedangkan menurut Prof dr. Subroto Sapardan, dalam

penelitiannya di RSCM dan RS Fatmawati Jakarta, Februari

– April 1975, neglected fracture adalah penanganan patah

tulang pada extremitas (anggota gerak) yang salah oleh bone

setter (dukun patah tulang), yang masih sering dijumpai di

masyarakat Indonesia.

Menurut Jain dan Kumar (2011) penyebab neglected trauma

dapat berupa: (a) Pasien dengan trauma multiple, yang

meliputi trauma kapitis atau bagian rongga dada, sehingga

membutuhkan penanganan yang lebih segera yang secara

tidak langsung akan menunda waktu penanganan trauma

Page 5: KTI ORTHO SITUBONDO

4

ekstremitas yang tidak mengancam nyawa secara langsung.

(b) Pasien dengan pengobatan konservatif yang berlangsung

lama dan tidak berhasil. Sebagian besar kasus ini akan

berujung pada non-union dan malunion fraktur.(c) Pasien

yang dilakukan operasi dengan kondisi yang kurang optimal

dapat berujung pada kasus non-union terinfeksi atau implant

failure. (d)Trauma yang terlambat terdiagnosa.

Penelitian OlaOlorun,dkk.(2001) menemukan lebih dari

50% komplikasi pengobatan fraktur oleh traditional bone setter

(pengobatan patah tulang tradisional ) adalah malunion ,

25% non-union, sisanya yaitu delayed union, gangrene,

kekakuan sendi, Volksman’s ischaemic contracture, dan tetanus.

Hanya satu diantara 36 orang (2,8%) yang tidak memiliki

keluhan dan puas dengan pengobatan patah tulang

tradisional. Dada,dkk. (2011) mengatakan bahwa pasien

yang menjalani pengobatan tulang tradisional hasilnya

sering buruk disertai dengan efek yang besar pada pasien

yaitu kecacatan.

Indonesia masih termasuk negara berkembang dengan

jumlah penduduk miskin

Page 6: KTI ORTHO SITUBONDO

5

pada bulan September 2012 sebanyak 28,59 juta orang

(11,66 %) (BPS,2013) dan sebagian besar penduduk

berpendidikan rendah. Pasien-pasien trauma patah tulang

di Indonesia kebanyakan masih memercayakan pengobatannya

pada pengobatan patah tulang tradisional, karena dianggap

lebih terjangkau baik itu dalam hal biaya dan jarak, dan

menghindari tindakan pembedahan yang invasif

(Notosiswoyo,1992).

Seringkali pasien datang ke dokter bedah tulang

setelah gagal menjalani pengobatan di pengobatan patah

tulang tradisional dengan keadaan patah tulang yang

mengalami komplikasi. Di Indonesia data mengenai gambaran

neglected fracture yang datang ke rumah sakit masih sedikit.

Oleh karena itu, penelitian ini perlu untuk dilakukan.

Rumusan Masalah

1. Berapa jumlah penderita neglected fracture di RSUD dr

Abdoer Rahem pada periode Januari 2012- Desember

2013?

2. Bagaimana distribusi dan frekuensi penderita

neglected fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada periode

Page 7: KTI ORTHO SITUBONDO

6

Januari 2012- Desember 2013 berdasarkan jenis

kelamin?

3. Bagaimana distribusi dan frekuensi penderita

neglected fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada periode

Januari 2012- Desember 2013 berdasarkan usia?

4. Bagaimana distribusi dan frekuensi penderita

neglected fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada periode

Januari 2012- Desember 2013 berdasarkan lokasi

anatomisnya?

5. Bagaimana distribusi dan frekuensi penderita

neglected fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada periode

Januari 2012- Desember 2013 berdasarkan kelas

pelayanan yang digunakan?

6. Bagaimana distribusi dan frekuensi penderita

neglected fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada periode

Januari 2012- Desember 2013 berdasarkan komplikasi

yang terjadi?

1.2 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Page 8: KTI ORTHO SITUBONDO

7

Untuk mengetahui spektrum dari penderita neglected

fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada periode Januari

2012- Desember 2013.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui jumlah penderita neglected fracture di

RSUD dr Abdoer Rahem pada periode Januari 2012-

Desember 2013.

2. Untuk mengetahui distribusi dan frekuensi penderita

neglected fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada periode

Januari 2012- Desember 2013 berdasarkan jenis

kelamin.

3. Untuk mengetahui distribusi dan frekuensi penderita

neglected fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada periode

Januari 2012- Desember 2013 berdasarkan usia.

4. Untuk mengetahui distribusi dan frekuensi penderita

neglected fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada periode

Januari 2012- Desember 2013 berdasarkan lokasi

anatomisnya.

5. Untuk mengetahui distribusi dan frekuensi penderita

neglected fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada periode

Page 9: KTI ORTHO SITUBONDO

8

Januari 2012- Desember 2013 berdasarkan kelas

pelayanan yang digunakan.

6. Untuk mengetahui distribusi dan frekuensi penderita

neglected fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada periode

Januari 2012- Desember 2013 berdasarkan komplikasi

yang terjadi.

1.3 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis

Memberikan informasi ilmiah tentang spektrum dari

penderita neglected fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada

periode 1 Januari 2003 sampai dengan 31 Desember 2007

1.4.2 Manfaat praktis

Diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi

pemerintah khususnya Dinkes Situbondo dalam menyusun

kebijakan dalam mengurangi angka kejadian serta mencegah

terjadinya neglected fracture.

1.4.3 Manfaat Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai

informasi dan dapat menambah wawasan terutama mengenai

spektrum penderita neglected fracture.

Page 10: KTI ORTHO SITUBONDO

9

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fraktur

2.1.1 Definisi Fraktur

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang,

tulang rawan sendi, dan atau tulang rawan epiphysis, baik

yang bersifat total maupun parsial (Rasjad, 2007).

Patahan tersebut mungkin tak lebih dari suatu retakan,

suatu penyempitan korteks; biasanya patahan itu lengkap

dan fragmen tulangnya bergeser. Jika kulit diatasnya

masih utuh, keadaan ini disebut fraktur tertutup(atau

sederhana) . Jika kulit atau salah satu rongga tubuh

tertembus , keadaan ini disebut fraktur terbuka, yang

cenderung mengalami kontaminasi dan infeksi (Solomon et

all. , 2010).

2.1.2 Jenis dan Klasifikasi Fraktur

Menurut Rasjad (2007) klasifikasi fraktur sebagai berikut

:

2.1.2.1 Klasifikasi Etiologis

Page 11: KTI ORTHO SITUBONDO

10

1. Fraktur traumatik : terjadi karena trauma tiba-tiba.

Trauma bersifat langsung dan tidak langsung. Trauma

bersifat langsung yaitu trauma yang menyebabkan tekanan

langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah

tekanan. Trauma tidak bersifat langsung yaitu trauma

yang dihantarkan ke tempat yang lebih jauh dari daerah

fraktur. Misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat

menimbulkan fraktur klavikula.

2. Fraktur patologis : terjadi karena kelemahan tulang

akibat kelainan patologis di dalam tulang atau tulang

berpenyakit (kista tulang, penyakit Paget, metastasis

tulang, tumor)

3. Fraktur stress : karena adanya trauma terus menerus

pada suatu tempat

2.1.2.2 Klasifikasi Klinis

1. Fraktur terbuka (Compound Fracture) adalah fraktur

yang ada hubungannya dengan dunia luar melalui luka

pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk from

within (dari dalam) atau from without ( dari luar). Menurut

Gustilo et al. (1984), berdasarkan kerusakan jaringan

Page 12: KTI ORTHO SITUBONDO

11

lunak dan tulang, fraktur terbuka dibagi lagi menjadi

tiga derajat :

Derajat I : luka kurang dari 1 cm, relatif bersih,

kerusakan jaringan tidak berarti. Fraktur simple ,

dislokasi fraktur minimal

Derajat II : Luka lebih dari 1 cm. Kerusakan

jaringan lunak tidak luas, flap, atau avulsi dengan

derajat kememaran yang sederhana. Umumnya fraktur

yang terjadi adalah fraktur simple, transverse, dan

oblique dengan kominutif yang minimal. Dislokasi

fragmen terlihat jelas.

Derajat III : terjadi fraktur yang berat disertai

kerusakan jaringan lunak yang luas dan gangguan

neurovaskuler sering diakibatkan oleh trauma tumpul

yang hebat atau disertai cedera akibat kecepatan

tinggi (high velocity). Gustilo et al.(1984) membagi

lagi fraktur terbuka derajat III ini ke dalam 3

subtipe A, B, dan C.

o III A : fraktur derajat III dengan periosteal

coverage yang cukup walaupun terdapat robekan

atau kerusakan jaringan lunak yang luas

Page 13: KTI ORTHO SITUBONDO

12

o III B : fraktur derajat III dengan

kehilangan jaringan lunak yang luas,

pengelupasan periosteal dan kerusakan tulang.

Biasanya disertai kontaminasi yang luas.

o III C : fraktur derajat III disertai dengan

cedera arteri yang membutuhkan perbaikan

2. Fraktur tertutup adalah fraktur yang tidak ada

hubungannya dengan dunia luar

2.1.2.3 Klasifikasi Radiologis

1. Lokalisasi : terbagi atas diafisial, metafisial, intra-

artikuler, fraktur dengan dislokasi

2. Konfigurasi

Fraktur transversal adalah fraktur sepanjang garis

tengah tulang

Fraktur oblique atau z adalah fraktur membentuk sudut

dengan garis tengah tulang

Fraktur spiral adalah fraktur memuntir seputar batang

tulang

Fraktur segmental adalah fraktur garis patah tulang

lebih dari satu dan saling berhubungan

Page 14: KTI ORTHO SITUBONDO

13

Fraktur kominutif adalah fraktur tulang pecah menjadi

beberapa komponen

Fraktur depresi adalah fraktur fragmen patahan

terdorong ke dalam

Fraktur baji adalah fraktur biasanya pada vertebra

karena tulang mengalami kompresi

Fraktur avulsi adalah fraktur tertariknya fragmen

tulang oleh ligament atau tendon pada perlekatannya.

Fraktur pecah (burst) adalah fraktur dimana terjadi

fragmen kecil yang berpisah

Fraktur epifisial adalah fraktur melalui epifisis

Fraktur impaksi adalah fragmen tulang terdorong ke

fragmen tulang lainnya

3. Menurut ekstensi

Fraktur Greenstick (salah satu sisi tulang patah sedang

sisi lainnya membengkok), fraktur total,fraktur tidak

total, fraktur garis rambut, dan fraktur Buckle atau

torus

4. Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya:

terbagi atas bergeser dan tidak bergeser

Page 15: KTI ORTHO SITUBONDO

14

2.1.3 Komplikasi Fraktur

Menurut Rasjad (2007) komplikasi fraktur dapat

terjadi secara spontan, karena iatrogenic atau oleh karena

tindakan pengobatan. Komplikasi umumnya akibat tiga

faktor utama, yaitu penekanan lokal, traksi yang

berlebihan, dan infeksi. Komplikasi akibat tindakan

pengobatan (iatrogenic) umumnya dapat dicegah.

Pembagian komplikasi menurut Rasjad (2007) :

2.1.3.1Komplikasi Fraktur terhadap Organ

1. Komplikasi pada kulit

Lesi akibat penekanan

Ulserasi akibat dekubitus

Ulserasi akibat pemasangan gips

2. Komplikasi pada pembuluh darah

Ulserasi akibat pemasangan gips

Lesi akibat traksi dan penekanan

Iskemik Volkmann

Gangren

3. Komplikasi pada saraf

Lesi akibat traksi dan penekanan

4. Komplikasi pada sendi

Page 16: KTI ORTHO SITUBONDO

15

Infeksi (arthritis septic) akibat operasi terbuka pada

trauma tertutup

5. Komplikasi pada tulang

Infeksi akibat operasi terbuka pada trauma tertutup

(osteomielitis)

1. Komplikasi pada lempeng epifisis dan epifisis pada

fraktur anak-anak.

2.1.3.2 Komplikasi Menurut Waktu Disesuaikan dengan

Lokalisasi

A. Komplikasi Segera

Komplikasi lokal meliputi :

1. Komplikasi pada kulit

Trauma pada kulit

Dari luar : aberasi, laserasi, luka tusuk, luka

tembus peluru, avulsi, kehilangan kulit

Dari dalam : penetrasi kulit oleh fragmen

fraktur

2. Komplikasi vaskular

3. Komplikasi neurologis

4. Komplikasi pada otot biasanya bersifat tidak total

Page 17: KTI ORTHO SITUBONDO

16

5. Komplikasi pada organ

Komplikasi di luar fraktur pada organ lain:

1. Trauma multipel : trauma pada alat tubuh lain yang

tidak berhubungan dengan fraktur

2. Syok hemoragik

B. Komplikasi Awal

Komplikasi lokal meliputi :

1. Komplikasi sisa dari komplikasi yang segera terjadi

berupa nekrosis kulit, gangrene, iskemik Volkmann,

gas gangren, thrombosis vena serta komplikasi pada

alat- alat lain.

2. Komplikasi pada sendi

Infeksi (arthritis septik) oleh karena trauma

terbuka

3. Komplikasi pada tulang

Infeksi (osteomielitis) pada daerah fraktur karena

adanya trauma terbuka

Nekrosis avaskular tulang biasanya mengenai satu

fragmen

Komplikasi di luar pada organ lain :

Page 18: KTI ORTHO SITUBONDO

17

1. Emboli lemak

2. Emboli paru

3. Pneumonia

4. Tetanus

5. Delirium tremens

C. Komplikasi Lanjut

Komplikasi lokal

1. Komplikasi pada sendi

Kekakuan sendi yang menetap

Penyakit degeneratif sendi pasca trauma

2. Komplikasi pada tulang’

Penyembuhan fraktur yang abnormal : malunion,

delayed union, dan nonunion

Gangguan pertumbuhan oleh karena adanya trauma pada

lempeng epifisis

Infeksi yang menetap (osteomielitis kronis )

Osteoporosis pasca trauma

Atrofi Sudeck

Refraktur

3. Komplikasi pada otot

Miositis osifikans pasca trauma

Page 19: KTI ORTHO SITUBONDO

18

Ruptur tendon lanjut

4. Komplikasi saraf

Tardy nerve palsy

Komplikasi pada organ lain :

1. Batu ginjal

2. Neurosis akibat kecelakaan

2.2 Prinsip Penatalaksanaan Fraktur Secara Umum

Tujuan pengobatan fraktur : (Arlis F, 2005)

1. Menghilangkan nyeri

2. Mendapatkan dan mempertahankan posisi yg memadai dari

fragmen fraktur

3. Mengharapkan dan mengusahakan union

4. Mengembalikan fungsi secara optimal dengan cara

mempertahankan fungsi otot dan sendi, mencegah atrofi

otot, adhesi, dan kekakuan sendi, mencegah terjadinya

komplikasi seperti dekubitus, trombosis vena, infeksi

saluran kencing serta pembentukan batu ginjal

5. Mengembalikan fungsi secara maksimal merupakan tujuan

akhir pengobatan fraktur

Ada enam prinsip pengobatan fraktur menurut Rasjad (2007)

:

Page 20: KTI ORTHO SITUBONDO

19

1. Jangan membuat keadaan lebih jelek

2. Pengobatan berdasarkan atas diagnosis dan prognosis

yang akurat

3. Seleksi pengobatan dengan tujuan khusus

Menghilangkan nyeri

Memperoleh posisi yang baik dari fragmen

Mengusahakan terjadinya penyambungan tulang

Mengembalikan fungsi secara optimal

4. Mengingat hukum – hukum penyembuhan secara alami

5. Bersifat realistik dan praktis dalam memilih jenis

pengobatan

6. Seleksi pengobatan sesuai dengan penderita secara

individual

Selain enam hal diatas masih terdapat empat prinsip lain

dalam pengobatan fraktur menurut Rasjad (2007) :

1. Recognition, yaitu diagnosis dan penilaian fraktur

Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan

fraktur dengan anamnesis, pemeriksaan klink, dan

radiologis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan:

Lokalisasi fraktur

Bentuk fraktur

Page 21: KTI ORTHO SITUBONDO

20

Menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan

Komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah

pengobatan

2. Reduction, reduksi fraktur apabila perlu

Restorasi fragmen dilakukan untuk mendapatkan posisi

yang dapat diterima. Pada fraktur intra-artikuler

diperlukan reduksi anatomis dan sedapat mungkin

mengembalikan fungsi normal dan mencegah komplikasi

seperti kekakuan, deformitas, serta osteoarthritis di

kemudian hari. Posisi yang baik adalah :

Alignment yang sempurna

Aposisi yang sempurna

Fraktur klavikula, iga, dan fraktur impaksi dari

humerus tidak perlu reduksi. Angulasi <5 pada tulang

panjang anggota gerak bawah dan lengan atas dan

angulasi sampai 10 pada humerus dapat diterima.

Terdapat kontak sekurang-kurangnya 50 %, dan over-riding

tidak melebihi 0,5 inchi pada fraktur femur. Adanya

rotasi tidak dapat diterima dimanapun lokalisasi

fraktur.

3. Retaining, yaitu imobilisasi fraktur

Page 22: KTI ORTHO SITUBONDO

21

4. Rehabilitation, yaitu mengembalikan aktifitas fungsional

semaksimal mungkin

A. Fraktur Tertutup

Menurut Rasjad (2007), metode pengobatan fraktur

tertutup pada umumnya dibagi dalam 4 macam, yaitu

konservatif, reduksi tertutup dengan fiksasi eksterna

atau fiksasi perkutaneus dengan K-wire, reduksi terbuka dan

fiksasi interna atau fiksasi eksterna tulang, serta

eksisi fragmen tulang dan penggantian dengan protesis.

1. Konservatif

a. Proteksi semata-mata ( tanpa reduksi atau

imobilisasi)

Proteksi fraktur dilakukan dengan cara memberikan

sling (mitela) pada anggota gerak atas atau tongkat

pada anggota gerak bawah. Indikasi proteksi semata-

mata ini terutama adalah fraktur yang tidak

bergeser, fraktur iga yang stabil, falang dan

metakarpal atau fraktur klavikula pada anak.

b. Immobilisasi dengan bidai eksterna (tanpa reduksi)

Page 23: KTI ORTHO SITUBONDO

22

Immobilisasi pada fraktur dengan bidai eksterna

hanya nmemberikan sedikit imobilisasi, biasanya

mempergunakan plaster of Paris (gips) atau dengan

bermacam-macam bidai dari plastik atau metal.

Indikasi imobilisasi dengan bidai eksterna digunakan

pada fraktur yang perlu dipertahankan posisinya

dalam proses penyembuhan.

c. Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi

eksterna, mempergunakan gips. Reduksi tertutup yang

diartikan manipulasi dilakukan baik dengan pembiusan

umum ataupun lokal. Reposisi yang dilakukan melawan

kekuatan terjadinya fraktur. Penggunaan gips untuk

imobilisasi merupakan alat utama pada teknik ini.

Indikasi teknik ini adalah sebagai bidai pada

fraktur untuk pertolongan pertama, imobilisasi

sebagai pengobatan definitif pada fraktur,

imobilisasi untuk mencegah fraktur patologis,

sebagai alat bantu tambahan pada fiksasi interna

yang kurang kuat, serta apabila diperlukan

manipulasi pada fraktur yang bergeser dan diharapkan

Page 24: KTI ORTHO SITUBONDO

23

dapat direduksi dengan cara tertutup dan dapat

dipertahankan.

d. Reduksi tertutup dengan traksi berlanjut diikuti

dengan imobilisasi

Reduksi tertutup pada fraktur yang diikuti dengan

traksi berlanjut dapat dilakukan dengan beberapa

cara, yaitu traksi kulit dan traksi tulang

e. Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter

traksi

Dengan mempergunakan alat-alat mekanik seperti

bidai Thomas, bidai Brown Bohler, bidai Thomas

dengan Pearson Knee flexion attachment. Tindakan ini

mempunyai dua tujuan utama berupa reduksi yang

bertahap dan imobilisasi. Indikasi teknik ini adalah

:

- bilamana reduksi tertutup dengan manipulasi dan

imobilisasi tidak memungkinkan serta untuk

mencegah tindakan operatif misalnya pada fraktur

batang femur, fraktur vertebra servikalis

- bilamana terdapat otot yang kuat mengelilingi

fraktur pada tulang tangkai bawah yang menarik

Page 25: KTI ORTHO SITUBONDO

24

fragmen dan menyebabkan angulasi, over-riding, dan

rotasi yang dapat menimbulkan malunion, nonunion,

atau delayed union

- bilamana terdapat fraktur yang tidak stabil,

oblik, fraktur spiral atau kominutif pada tulang

panjang

- fraktur vertebra servikalis yang tidak stabil

- fraktur femur pada anak-anak

- fraktur dengan pembengkakan yang sangat hebat

disertai dengan pergeseran yang hebat serta tidak

stabil, misalnya pada fraktur suprakondiler humeri

Ada empat metode traksi kontinu yang digunakan

yaitu traksi kulit, traksi menetap, traksi tulang,

dan traksi berimbang – traksi sliding. Traksi kulit

dengan mempergunakan leukoplas yang melekat pada

kulit disertai dengan pemakaian bidai Thomas atau

bidai Brown Bohler. Traksi dapat dilakukan pada

fraktur suprakondiler humeri menurut Dunlop.

Traksi menetap juga mempergunakan leukoplas yang

melekat pada bidai Thomas atau bidai Brown Bohler

yang difiksasi pada salah satu bagian dari bidai

Page 26: KTI ORTHO SITUBONDO

25

Thomas. Biasanya dilakukan pada fraktur femur yang

tidak bergeser. Traksi tulang dengan kawat Kirschner

(K-wire) dan pin Steinmann yang dimasukkan ke dalam

tulang dan juga dilakukan traksi dengan

mempergunakan berat beban dengan bantuan bidai

Thomas dan bidai Brown Bohler. Tempat untuk

memasukkan pin yaitu pada bagian proksimal tibia di

bawah tuberositas tibia, bagian distal tibia,

trokanter mayor, bagian distal femur pada kondilus

femur, kalkaneus (jarang dilakukan), prosesus

olekranon, bagian distal metacarpal dan tengkorak.

Traksi berimbang dan traksi sliding terutama

dipergunakan pada fraktur femur, mempergunakan

traksi skeletal dengan beberapa katrol dan bantalan

khusus, biasanya dipergunakan bidai Thomas sab

Pearson attachment.

2. Reduksi Tertutup dengan Fiksasi Eksterna atau Fiksasi

Perkutaneus dengan K-Wire

Setelah dilakukan reduksi tertutup pada fraktur yang

bersifat tidak stabil, maka reduksi dapat dipertahankan

dengan memasukkan K-wire perkutaneus misalnya pada

Page 27: KTI ORTHO SITUBONDO

26

fraktur suprakondiler humeri pada anak-anak atau pada

fraktur Colles. Teknik ini biasanya memerlukan bantuan

alat rontgen image intensifier (C-arm)

3. Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Interna atau Fiksasi

Eksterna Tulang

Tindakan operasi harus dilakukan secepatnya (dalam

satu minggu) kecuali bila ada halangan. Alat-alat yang

dipergunakan dalam operasi yaitu K-wire, intramedullary nail,

plate dan screw, dan protesis. Selain alat-alat metal,

tulang yang mati ataupun hidup dapat pula digunakan

berupa bone graft baik autograft/allograft, untuk

mengisi defek tulang atau pada fraktur yang nonunion.

Operasi dilakukan dengan cara membuka daerah fraktur

dan fragmen direduksi secara akurat dengan penglihatan

langsung. Saat ini teknik operasi pada tulang

dikembangkan oleh grup ASIF (metode AO) yang dilakukan

di Swiss dengan menggunakan peralatan yang secara

biomekanik telah diteliti. Prinsip operasi teknik AO

berupa reduksi akurat, fiksasi rigid dan mobilisasi

dini yang akan memberikan hasil fungsional maksimal.

a. Reduksi terbuka dengan fiksasi interna,

Page 28: KTI ORTHO SITUBONDO

27

Contoh penerapan teknik ini antara lain pada :

- Fraktur intra-artikuler misalnya fraktur

maleolus, kondilus, olekranon, patella

- Reduksi tertutup yang mengalami kegagalan

misalnya fraktur radius dan ulna disertai

malposisi yang hebat atau fraktur yang tidak

stabil

- Bila terdapat interposisi jaringan di antara

kedua fragmen

- Bila diperlukan fiksasi rigid misalnya pada

fraktur leher femur

- Bila terjadi fraktur dislokasi yang tidak dapat

direduksi secara baik dengan reduksi tertutup

misalnya fraktur Monteggia dan fraktur Bennet

- Fraktur terbuka

- Bila terdapat kontraindikasi pada imobilisasi

eksterna sedangkan diperlukan mobilisasi yang

cepat, misalnya fraktur pada orang tua

- Eksisi fragmen yang kecil

Page 29: KTI ORTHO SITUBONDO

28

- Eksisi fragmen tulang yang kemungkinan

mengalami nekrosis avaskuler misalnya fraktur

leher femur pada orang tua

- Fraktur avulse misalnya pada kondilus humeri

- Fraktur epifisis tertentu pada grade III dan IV

(Salter-Harris) pada anak-anak

- Fraktur multiple misalnya fraktur pada tungkai

atas dan bawah

- Untuk mempermudah perawatan penderita misalnya

fraktur vertebra tulang belakang yang disertai

paraplegia

b. Reduksi terbuka dengan alat fiksasi eksterna

Reduksi terbuka dengan alat fiksasi eksterna

dengan mempergunakan kanselosa screw dengan

metilmetakrilat (akrilik gigi) atau fiksasi

eksterna dengan jenis-jenis lain misalnya menurut

AO atau inovasi sendiri dengan mempergunakan screw

Schanz. Contoh penerapan teknik ini pada fraktur

terbuka grade II dan grade III, fraktur terbuka

disertai hilangnya jaringan atau tulang yang

hebat, fraktur dengan infeksi atau infeksi

Page 30: KTI ORTHO SITUBONDO

29

pseudoartrosis, fraktur yang miskin jaringan ikat,

serta kadang-kadang pada fraktur tungkai bawah

penderita diabetes mellitus.

4. Eksisi Fragmen Tulang dan Penggantian dengan Protesis

Pada fraktur leher femur dan sendi siku orang tua,

biasanya terjadi nekrosis avaskuler dari fragmen atau

nonunion, oleh karena itu dilakukan pemasangan protesis

yaitu alat dengan komposisi metal tertentu untuk

menggantikan bagian yang nekrosis. Sebagai bahan

tambahan sering dipergunakan metilmetakrilat.

B. Fraktur terbuka

Penanganan pasien dengan fraktur terbuka harus

diawali dengan evaluasi secara menyeluruh. Pasien harus

distabilisasi terlebih dahulu sesuai dengan protokol

ATLS. Adanya trauma yang mengancam nyawa harus

ditangani terlebih dahulu. Pemeriksaan fisik harus

diawali dengan airway, breathing, dan sirkulasi.

Setelah pasien stabil dokter harus melakukan anamnesis

Page 31: KTI ORTHO SITUBONDO

30

pada pasien secara menyeluruh jika pasien itu sadar

ataupun kepada saksi jika pasien tersebut tidak sadar.

Anamnesis tersebut dapat meliputi lokasi anatomis yang

nyeri dan instabilitas; mekanisme trauma; dan perubahan

pada sensasi fungsi motorik. (Bucholz dkk., 2010)

Pemeriksaan fisik secara menyeluruh sangat diperlukan.

Pakaian yang melingkupi luka harus dilepas. Inspeksi

anggota badan dilakukan untuk mencari adanya deformitas

atau fragmen tulang yang menonjol di bawah kulit, tanda

gangguan vascular, bekas luka laman atau bekas insisi,

debris pada luka, luka bakarm abrasi dan degloving

jaringan lunak. Evaluasi adanya sindroma kompartemen

tidak boleh terlewatkan. Deskripsi luka harus

didokumentasikan meliputi lokasi, konfigurasinya

(linear, stellate atau lainnya), orientasi

(longitudinal , obliq, atau transversal ), kondisi

kulit di sekitarnya dan abrasi atau luka-luka

lainnya.Pemeriksaan status neurovaskular di area

fraktur dan distal dari fraktur merupakan hal yang

sangat vital. Luka harus ditutup menggunakan kasa yang

dibasahi normal salin dan dibebat bidai dengan bebat

Page 32: KTI ORTHO SITUBONDO

31

yang tidak memutar yang menstabilkan tulang yang patah

serta melewati sendi atas dan bawah lokasi fraktur.

Pemeriksaan berulang terhadap luka tidak boleh

dilakukan karena dapat meningkatkan risiko infeksi.

Beberapa hasil penelitian telah cukup membuktikan

pentingnya penggunaan antibiotik profilaksis sebelum

operasi. Penggunaan antibiotik preoperative menurunkan

angka infeksi pada lokasi operasi dengan sangat

signifikan. Antibiotik yang sering diberikan untuk

profilaksis yaitu cephalosporin generasi 1 yaitu

cefazolin 2gr setiap 8 jam. Tindakan operatif pada

fraktur terbuka meliputi debridema, irigasi, lalu

dilanjutkan dengan stabilisasi tulang. Debridema dibagi

dua yaitu debridema superficial dan debridema dalam.

Debridema superficial meliputi eksisi kulit dan

jaringan subkutan yang mengalami nekrosis. Kulit dengan

viabilitas yang marginal bisa ditinggal atau di ambil

di kemudian hari karena kulit bukan merupakan generator

utama infeksi, tidak seperti otot yang nekrosis. Pada

debridema dalam atau dalam halini debridema otot,

pendekatan “Jika ragu, bersihkan” merupakan jalan yang

Page 33: KTI ORTHO SITUBONDO

32

aman. Otot yang nekrosis merupakan tempat yang sangat

potensial untuk tumbuhnya bakteri dan berisiko tinggi

untuk terjadinya infeksi anaerob. Jika arteri utama

yang mensuplai otot yang rusak parah juga dalam keadaan

yang rusak maka solusi yang ada hanyalah total

eksisi.arteri, vena dan saraf yang intak tidak boleh

didebridema. Segmen tulang besar yang ditempeli

jaringan lunak harus dipertahankan. Fragmen kortikal

tanpa penempelan jaringan lunak harus dibersihkan.

Setelah melakukan debridema menyeluruh selanjutnya

dilakukan irigasi pada luka. Dua komponen penting

dalam fraktur terbuka yaitu mengembalikan posisi

anatomis tulang dan stabilisasi tulang. Seringkali

reduksi dan pemasangan srew secara terbatas disertai

dengan fiksasi eksternal merupakan rencana terapi awal

yang efektif. Selain itu fiksasi internal yang segera

juga dapat dilakukan dengan memerhatikan berbagai

faktor. Jika suatu diseksi jaringan lunak diperlukan

untuk mencapai reduksi dan fiksasi articular yang anatomis

seperti pada fraktur pillon dan tibial plateau, perlu

untuk dipertimbangkan penundaan eksplorasi luka,

Page 34: KTI ORTHO SITUBONDO

33

reduksi, dan fiksasi. Bucholz (2010) menyederhanakan

prinsip manajemen patah tulang terbuka setelah keadaan

umum pasien stabil menjadi :

1. Menempatkan kassa steril diatas luka untuk

mengantisipasi adanya debridema yang lebih luas pada

ruang OK

2. Immobilisasi ekstremitas yang patah

3. Pemberian antibiotik dan anti tetanus (jika

dibutuhkan) sejak awal

4. Operasi debridema dan irigasi segera, dengan

stabilisasi sistem skeletal sementara ataupun

definitif

5. Debridema ulang jika diperlukan dan stabilisasi

definitif skeletal dan/atau penutupan jaringan

dengan hati-hati

2.3 Definisi Neglected Fracture

Neglected fracture dengan atau tanpa dislokasi adalah

suatu fraktur dengan atau tanpa dislokasi yang tidak

ditangani atau ditangani dengan tidak semestinya sehingga

menghasilkan keadaan keterlambatan dalam penanganan, atau

Page 35: KTI ORTHO SITUBONDO

34

kondisi yang lebih buruk dan bahkan kecacatan. (Kawiyana,

1985)

Menurut Prof dr. Subroto Sapardan, dalam

penelitiannya di RSCM dan RS Fatmawati Jakarta, Februari

– April 1975, Neglected fracture adalah penanganan patah

tulang pada extremitas (anggota gerak) yang salah oleh bone

setter (dukun patah), yang masih sering dijumpai di

masyarakat Indonesia. Pada umumnya neglected fracture terjadi

pada yang berpendidikan dan berstatus sosio-ekonomi yang

rendah.

2.4 Jenis Neglected Fracture

Berdasarkan pada beratnya kasus akibat dari penanganan

patah tulang sebelumnya, neglected fracture dapat

diklasifikasikan menjadi 4 derajat : (Kawiyana, 1985)

1. Neglected derajat satu

Bila pasien datang saat awal kejadian maupun sekarang,

penanganannya tidak memerlukan tindakan operasi dan

hasilnya sama baik.

2. Neglected derajat dua

Page 36: KTI ORTHO SITUBONDO

35

Keadaan dimana apabila pasien datang saat awal kejadian,

penanganannya tidak memerlukan tindakan operasi,

sedangkan saat ini kasusnya menjadi lebih sulit dan

memerlukan tindakan operasi. Setelah pengobatan, hasilnya

tetap baik.

3.Neglected derajat tiga

Keterlambatan menyebabkan kecacatan yang menetap bahkan

setelah dilakukan operasi. Jadi pasien datang saat awal

maupun sekarang tetap memerlukan tindakan operasi dan

hasilnya kurang baik.

4. Neglected derajat empat

Keterlambatan di sini sudah mengancam nyawa atau bahkan

menyebabkan kematian pasien. Pada kasus ini penanganannya

memerlukan tindakan amputasi.

Arief Darmawan menyebutkan bahwa neglected fracture adalah

fraktur yang penanganannya lebih dari 72 jam, umumnya

terjadi pada masyarakat yang memiliki pendidikan dan

status sosio-ekonomi rendah. Arief Darmawan membagi

derajat neglected fracture berdasarkan waktu, yaitu :

(Darmawan, 2011)

Page 37: KTI ORTHO SITUBONDO

36

Derajat I : fraktur yang telah terjadi antara 3 hari

sampai dengan 3 minggu

Derajat II : fraktur yang telah terjadi antara 3 minggu

sampai dengan 3 bulan

Derajat III : fraktur yang telah terjadi antara 3 bulan

sampai dengan 1 tahun

Derajat IV : fraktur yang telah terjadi lebih dari 1

tahun

2.5 Definisi Bone Setter

Dukun patah tulang, atau traditional bonesetter (TBS) adalah

praktisi

kesehatan di bidang tulang dan sendi. Seorang dukun patah

tulang tidak memiliki latar belakang pendidikan formal

mengenai prosedur medis (Green SA, 1999; Samuel H, 2007).

Pelayanan kesehatan saat ini telah berkembang sangat

pesat seiring dengan kemajuan teknologi dan riset-riset

di bidang medis, akan tetapi peran dukun patah tulang

sebagai pengobatan alternatif masih terus ada. Di negara-

Page 38: KTI ORTHO SITUBONDO

37

negara berkembang – terutama di India, Afrika, dan

Amerika Selatan yang pelayanan kesehatannya masih

terbatas – dukun patah tulang masih banyak dijumpai.

Mereka bahkan seringkali bertindak sebagai penyedia

layanan kesehatan primer di tempat-tempat yang tidak

terjangkau pelayanan kesehatan resmi. Dukun patah tulang

ada di setiap suku dan etnis di seluruh dunia, dengan

istilah lokal dan metode penyembuhan yang berbeda-beda.

Statistik yang akurat mengenai distribusi dukun patah

tulang masih sedikit. Sebuah survei memperkirakan hanya

sebesar 10%-40% pasien dengan fraktur atau dislokasi

sendi di seluruh dunia ditangani oleh tenaga medis modern

(Green SA, 1999). Di negara berkembang seperti India,

dukun patah tulang adalah salah satu kelompok penyedia

jasa pengobatan alternatif spesialistik yang terbesar

(Shanker D, 2007). Jumlah mereka hanya kalah oleh dukun

beranak, atau lazim disebut ‘Dais’ di India. Diperkirakan

terdapat sekitar 70000 tabib dan dukun patah tulang di

India, dan mereka mengobati 60% dari seluruh kasus trauma

(Church J, 1998).

Page 39: KTI ORTHO SITUBONDO

38

2.6 Sejarah Bone Setter (Dukun Patah Tulang) dan

Orthopedi

Usaha manusia dalam mengobati cedera dan fraktur

sudah ditemukan sejak zaman prasejarah. Hal ini

dibuktikan dari ditemukannya tengkorak-tengkorak dari

zaman Neolitikum yang mengindikasikan pembebatan fraktur,

baik dengan akar pohon atau tongkat kayu. Manusia

primitif lainnya juga menggunakan cara unik dalam

mengimobilisasi tungkai yang cedera. Suku-suku di

Australia Selatan membuat bebat dari tanah liat,

sedangkan Suku India Shoshone merendam lembaran-lembaran

kulit hewan, dan membalutkannya pada tungkai yang patah.

Kulit hewan dan tanah liat mengeras saat mengering, yang

akan melindungi tulang yang cedera (Bishop WJ, 1960).

Seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia,

bermunculan profesi tabib dan dukun patah tulang.

Seringkali teknik-teknik yang digunakan diturunkan dari

generasi ke generasi. Mereka menggunakan teknik-teknik

tertentu untuk mengobati pasien, dan seringkali

menggunakan mantra-mantra atau jimat-jimat tertentu untuk

mempercepat proses penyembuhan. Seringkali, bila usaha

Page 40: KTI ORTHO SITUBONDO

39

penyembuhannya tidak berhasil, para tabib dan dukun patah

tulang ini mendapat ‘penalti’. Sekitar tahun 1900 SM di

Babilonia, Raja Hammurabi mengeluarkan pertaturan yang

mengatur praktek medis dan menentukan hukuman atas

kegagalan yang terjadi. Peraturan tersebut secara

spesifik menyebut “Gallabu”, yaitu dukun patah tulang

yang menangani operasi kecil, operasi gigi, dan

‘pengecapan’ budak (Bishop WJ, 1960).

Instruksi tertulis pertama dalam hal pembedahan dan

fraktur ditemukan dari tahun 1600 SM di Mesir pada

Papirus Edwin Smith, diberi nama sesuai dengan nama

penemunya. Papirus tersebut mendeskripsikan penanganan

fraktur lengan atas. Untuk fraktur tulang tengkorak,

ahli bedah memberikan ramuan yang dibuat dari telur

burung unta untuk mengeringkan luka, dan merapalkan doa

kepada Isis, dewa kesuburan Mesir. Papirus tersebut juga

mendeskripsikan kondisi-kondisi di mana ahli bedah tidak

diperbolehkan melakukan pengobatan. Apabila seorang ahli

bedah mengobati pasien tidak sesuai dengan yang tertulis

dalam papirus dan pasien meninggal, dia dapat dikenai

hukuman mati (Bishop WJ, 1960).

Page 41: KTI ORTHO SITUBONDO

40

Pada tahun 5 Masehi, tulisan-tulisan Sustra di India

memberikan instruksii mengenai amputasi tungkai dan

pembuatan prostetik dari besi. Hippocrates juga menulis

instruksi mengenai fraktur dan dislokasi, yang terkenal

karena akurasinya dalam anatomi dan fisiologi. Tulisannya

mencakup fraktur, reduksi, bebat, dan imobilisasi (Bishop

WJ, 1960).

Setelah keruntuhan Kekaisaran Romawi, perekembangan

dalam bidang kedokteran melambat. Gereja Katolik Roma

menjadi pusat kegiatan sosial dan religius. Para pemimpin

Gereja meyakini bahwa sakit merupakan hukuman dari Tuhan

atas dosa seseorang, dan menganjurkan agar penderita

memperbanyak doa dan melakukan puasa. Mereka tidak

memercayai ilmu kedokteran yang berasal dari kepercayaan

pagan, dan hubungannya dengan Arab dan Yunani Kuno. Kode

moral Gereja saat itu sama dengan hukum, dan segala

bentuk pelanggaran dapat dikenai hukuman (Beck RT, 1974).

Bukannya berobat ke tabib atau dukun patah tulang,

penderita berdoa kepada para santa untuk kesembuhan

(Bishop WJ, 1960). Bila gagal, mereka pergi ke pendeta

(Beck RT, 1974). Selama hampir 1 milenium, tidak ada

Page 42: KTI ORTHO SITUBONDO

41

sekolah kedokteran atau pendidikan di bidang medis dalam

bentuk apapun di Eropa Barat (Bishop WJ, 1960). Para

pendeta mempelajari bahasa Latin, menjadikan mereka satu-

satunya yang dapat membaca dan menggunakan informasi dari

jurnal-jurnal medis. Pada tahun 1100, para pemimpin

gereja menjadi khawatir dengan pendeta-pendeta yang

berpraktek sebagai tabib. Mereka khawatir apabila

pengobatan gagal dan pasien meninggal, akan menjadi

skandal bagi Gereja. Maka Gereja mengeluarkan peraturan

yang melarang para pendeta menghadiri kuliah-kuliah medis

dan melakukan pembedahan (Beck RT, 1974). Peraturan yang

sama juga diberlakukan kepada dokter. Hanya para pembantu

pendeta, barber, yang diperbolehkan melakukan praktek

pembedahan (Bishop WJ, 1960; Beck RT, 1974).

Karena interaksi sehari-hari para barber dengan

pasiennya, mereka memiliki kesempatan yang luas untuk

mengembangkan teknik mereka. Karena kebanyakan pasiennya

adalah orang miskin, mereka dapat bereksperimen tanpa

perlu terlalu khawatir akan tuntutan. Fraktur harus

diluruskan, gigi yang sakit harus dicabut (Mazola R et

al, 1997). Pekerjaan seorang barber lebih mengutamakan

Page 43: KTI ORTHO SITUBONDO

42

kekuatan fisik, stamina, dan keterampilan, daripada

pendidikan. Para pendahulu ahli bedah awal ini

mendapatkan pendidikan secara langsung, bukan di sekolah.

Di sisi lain, dokter tidak memiliki pengalaman praktis.

Mereka dididik pada segi filosofis kedokteran, bukannya

ilmu pengetahuan dasar. Seringkali mereka hanya mengobati

keluarga kerajaan, bangsawan, dan orang-orang lain yang

mempunyai cukup uang untuk membayar jasa mereka. Apabila

dokter menginstruksikan bloodletting (pengobatan masa lampau

dengan cara mengeluarkan darah dari penderita) atau

bedah, mereka mengawasi pekerjaan barber atau ahli bedah

(Beck RT, 1974; Mazola R et al, 1997).

Sejak abad ke-15, dibentuklah sebuah organisasi para

barber di Inggris, yang bertujuan merekrut, melatih, dan

mengatur anggotanya. Profesi-profesi lain juga tidak mau

kalah. Para ahli bedah dan organisasinya bersaing dengan

para barber dalam mengobati penyakit yang sama. Dokter hanya

diperbolehkan untuk mengobati penyakit dalam. Ahli obat

meramu obat-obatan, tapi mereka harus membeli bahan-bahan

dari herbalis. Pada tahun 1540, Thomas Vicary membantu

menghentikan persaingan dan kebingungan ini dengan

Page 44: KTI ORTHO SITUBONDO

43

membuat raja menyetujui untuk mengeluarkan peraturan yang

menyatukan organisasi para barber dan ahli bedah. Peraturan

tersebut juga merinci tugas dari barber-ahli bedah, dokter,

dan herbalis (Bishop WJ, 1960). Selain dari mereka yang

memiliki izin yang sah untuk melakukan praktek, terdapat

para praktisi medis yang tidak memiliki ijin sah.

Meskipun mereka tidak memiliki pengalaman seperti barber-

ahli bedah dan pendidikan seperti dokter, dan beroperasi

secara ilegal, pada umumnya pemerintah membiarkan mereka,

sepanjang tidak membuat keributan (Bishop WJ, 1960;

Mazola R et al, 1997).

Pada abad ke-17, pengetahuan mengenai anatomi sudah lebih

jauh berkembang, sirkulasi darah telah ditemukan, dan

teknik amputasi sudah menggunakan flap (Bishop WJ, 1960).

Pada masa itu, pandangan masyarakat terhadap orang-orang

cacat sudah lebih simpatik. Penanganan terhadap kecacatan

bawaan seperti CTEV (Congenital Talipes Equino Varus) mulai

mendapat perhatian lebih.

Pandangan masyarakat yang seperti inilah yang

membuat Nicholas Andre, seorang profesor kedokteran di

Universitas Paris, mempublikasikan buku teks pertama

Page 45: KTI ORTHO SITUBONDO

44

mengenai pencegahan dan penanganan kecacatan

muskuloskeletal pada anak-anak. Judul bukunya, L’Orthopedie,

menggabungkan dua kata Yunani Kuno : orthos (bebas dari

kecacatan) dan paideia (anak) (Weinstein SL, Buckwalter JA,

1994; Strach EH, 1986). Buku tersebut, diterbitkan tahun

1741, kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris, Belgia,

dan Jerman, yang menyebarkan teknik-teknik Andre ke

seluruh dunia (Weinstein SL, Buckwalter JA, 1994). Andre

menggunakan teknik-teknik seperti latihan, manipulasi,

dan bebat untuk mengoreksi kecacatan, dan menganjurkan

pemberian obat-obatan untuk melemaskan tendon dan otot.

Andre menganalogikan tekniknya dalam mengobati kecacatan

dengan teknik yang digunakan untuk meluruskan pohon yang

masih muda. Ilustrasi tersebut menjadi logo untuk

ortopedi, yang digunakan hingga saat ini (Weinstein SL,

Buckwalter JA, 1994; Strach EH, 1986).

Perhatian yang baru terhadap pengobatan muskuloskeletal

dan kecacatan anak ini secara finansial menguntungkan

bagi barber, ahli bedah, dan profesi dukun patah tulang

lainnya. Mereka menggunakan bahan-bahan tertentu untuk

Page 46: KTI ORTHO SITUBONDO

45

mengimobilisasi tungkai yang mengalami kecacatan (Strach

EH, 1986).

Pada abad ke-18, dibukalah rumah sakit ortopedi yang

pertama. Pendiri rumah sakit tersebut, Jean Andre Veneal,

mengembangkan sepatu khusus penderita CTEV, dan

mengembangkan teknik-teknik untuk mengobati kelainan

tulang belakang (Strach EH, 1986).

Beberapa faktor yang terjadi pada abad ke-18 hingga

19 memberi pengaruh pada transisi dari dukun patah tulang

menjadi ahli bedah ortopedi masa ini. Riset yang

dilakukan oleh John Hunter mengenai penyembuhan tendon

membuka jalan bagi operasi tendon (Strach EH, 1986).

Wilhelm Konrad Roentgen menemukan X-Ray yang dapat

memotret tulang. Teknik antiseptik dan anestesi membuat

tindakan-tindakan bedah menjadi lebih aman untuk

dilakukan (Green SA,1999). Akan tetapi, orthopedi tetap

berfokus pada mengobati kelainan muskuloskeletal pada

anak-anak hingga tahun 1890-an.

Evan Thomas adalah seorang dukun patah tulang yang

terkenal di Liverpool. Meskipun prakteknya sangat sukses,

dia tidak diperbolehkan menduduki posisi di rumah sakit

Page 47: KTI ORTHO SITUBONDO

46

karena dia bukan dokter. Thomas berkeras agar anaknya,

Hugh Owen Thomas, kuliah kedokteran. Thomas Jr kemudian

tertarik pada ortopedi dan bergabung dengan praktek

ayahnya, berfokus pada kecacatan anak-anak. Saat

kesehatan Evan semakin menurun, Hugh mempelajari teknik-

teknik dalam meluruskan tulang untuk melanjutkan praktek

ayahnya (Green SA,1999). Thomas kemudian menjadi terkenal

atas usahanya sendiri, mengembangkan bebat Thomas, yang

masih digunakan hingga sekarang (Green SA,1999; Sir Jones

R, 1997). Thomas meyakinkan keponakannya, Robert Jones,

untuk kuliah kedokteran dan bergabung dalam prakteknya.

Setelah lulus, Jones menjadi anak didiknya, dan

menggantikan prakteknya setelah Thomas meninggal karena

penyakit paru-paru. Pendidikan, pengalaman, dan lokasi

praktek Jones menjadikannya kandidat ideal dalam mengisi

posisi sebagai ahli bedah untuk proyek pembangunan Kanal

Kapal Manchester (Green SA,1999; Sir Jones R, 1997).

Kanal ini menghubungkan pelabuhan Liverpool dengan pusat

galangan di Manchester. Jones mendirikan pusat bedah di

sepanjang kanal untuk menangani cedera yang dialami oleh

20.000 pekerjanya. Proyek ini menjadikannya mahir dalam

Page 48: KTI ORTHO SITUBONDO

47

menangani fraktur. Dokter-dokter dari seluruh dunia yang

singgah di Liverpool akan berkunjung ke klinik milik

Jones untuk mempelajari teknik-tekniknya (Green SA,1999).

Saat Perang Dunia I meletus, Jones mengepalai para

ahli bedah yang mengobati

cedera yang dialami prajurit. Dia kemudian diberi gelar

bangsawan atas jasanya saat peperangan. Setelah perang,

Jones berperan dalam didirikannya beberapa rumah sakit

ortopedi untuk anak-anak dan mendirikan British Orthopaedic

Association pada tahun 1918 (Green SA,1999; Sir Jones R,

1997).

Para ahli bedah ortopedi saat ini telah berkembang

begitu jauh. Berbagai teknik

dikembangkan dalam menangani permasalahan tulang, tulang

rawan, sendi, tendon, ligamen, dan saraf. Berbeda dengan

dukun patah tulang dan ahli bedah zaman dahulu, ahli

bedah ortopedi saat ini dibekali dengan pendidikan dan

pengalaman yang cukup untuk memberikan pelayanan

berkualitas kepada pasien-pasiennya (Weinstein SL,

Buckwalter JA, 1994). Akan tetapi, pada negara-negara

berkembang, di mana akses ke fasilitas kesehatan masih

Page 49: KTI ORTHO SITUBONDO

48

jarang, dukun patah tulang adalah yang pertama kali

didatangi oleh pasien saat mereka mengalami cedera.

Bahkan WHO telah mendanai pelatihan untuk para dukun

tulang di Amerika Selatan dan Afrika. Dukun patah tulang

mengisi kekosongan yang tidak dapat dipenuhi oleh

keterbatasan jumlah ahli bedah ortopedi dan fasilitas

kesehatan, seperti halnya di Indonesia (Green SA,1999).

Pengobatan patah tulang tradisional memiliki kelebihan

dan kekurangan sendiri. Dengan kondisi sosioekonomi

sekarang dan jenis pelayanan kesehatan yang saat ini

dibutuhkan di negara- negara berkemban sulit untuk serta

merta melarang pengobatan patah tulang tradisional.

Komunitas dukun patah tulang telah menyebar luas dan

diterima serta didukung di dalam masyarkat. Selam

perkembangan infrastruktur dan sosioekonomi masih belum

mencukupi, dukun patah tulang sebagai pilihan utama

penyedia jasa kesehatan patah tulang. Methodologi mereka

menggunakan sumber daya daerah setempat dan dipercaya

lebih murah serta efektif. Walaupun telah ditunjukkan

kekurangan-kekurangan dalam praktek dukun patah tulang

tradisional, mereka akan dapat menjadi penyedia pelayanan

Page 50: KTI ORTHO SITUBONDO

49

kesehatan tingkat primer yang berguna. (Agarwal Anil and

Agarwal Rachna, 2010)

2.7 Gambaran Bonesetter di Indonesia

Menurut Handayani, dkk (2001) hampir semua grup

etnis di Indonesia memiliki dukun patah tulang-nya

masing-masing. Mereka berpraktek tidak hanya di daerah

pedesaan, namun juga di perkotaan. Praktek mereka

didasari pada konsep-konsep etnisitas di daerah masing-

masing. Di Jawa, dukun patah tulang dikenal dengan nama

‘sangkal putung’. Mereka sering mengobati berbagai macam

keluhan terkait dengan fraktur (komplit, inkomplit,

ataupun multipel), dislokasi, dan nyeri otot. Banyak

penderita lebih memilih datang ke dukun patah tulang

daripada ahli ortopedi, karena faktor biaya dan jarak

dari tempat tinggal yang lebih mudah dijangkau, selain

juga untuk menghindari prosedur bedah yang invasif.

Dari berbagai macam teknik dukun patah tulang,

sebagian benar-benar bersifat tradisional, sebagian ada

juga yang menggabungkan unsur tradisional dengan teknik-

teknik modern. Prosedur pengobatan oleh dukun patah

tulang adalah sebagai berikut: Mantra tertentu dirapalkan

Page 51: KTI ORTHO SITUBONDO

50

kepada pasien, atau memberikan minuman yang telah diberi

mantra. Beberapa praktisi dukun patah tulang menggunakan

benda-benda tertentu yang dianggap memiliki kekuatan,

seperti batu atau keris. Pasien kemudian diminta untuk

meminum air yang telah dicelupi benda-benda tersebut.

Mereka meyakini bahwa, melalui media air, mantra / doa

atau benda-benda dapat membantu menyembuhkan penyakit

pasien. dukun patah tulang tidak menanyakan banyak

pertanyaan kepada pasien. Hanya dengan mengobservasi dan

menyentuh fraktur, dukun patah tulang mengidentifikasi

permasalahannya (diagnosa). Banyak praktisi dukun patah

tulang mengatakan bahwa firasat merekalah yang menuntun

mereka dalam menentukan permasalahan penyakit, dan cara

menanganinya. Untuk meyakinkan pasien dan keluarganya

mengenai diagnosanya, dukun patah tulang seringkali

menggunakan simbol-simbol tertentu. Sebagai contoh, untuk

menunjukkan fraktur atau tidaknya tulang, dukun patah

tulang mengupas pisang, dan apabila ditemukan pisang itu

rusak, berarti tulang pasien tersebut mengalami fraktur.

Beberapa dukun patah tulang menggunakan teknik modern,

seperti X-Ray. dukun patah tulang lainnya, terutama yang

Page 52: KTI ORTHO SITUBONDO

51

berdomisili di perkotaan, menangani fraktur menggunakan

teknik dan obat-obatan modern, seperti betadine, rivanol,

alkohol, kasa steril, dan perban. Pasien dengan fraktur

terbuka dirujuk ke pusat kesehatan setempat. Beberapa

dukun patah tulang bahkan memiliki ikatan kerjasama

informal dengan perawat-perawat yang berpraktek di

daerahnya.

Cara pengobatan tiap dukun patah tulang berbeda-

beda, dalam arti bagaimana mereka mengekspresikan

kekuatan magis atau supernatural mereka, misalnya melalui

jimat, minyak khusus, atau air khusus. Proses diagnosa

dan terapi terjadi secara bersamaan. Contohnya, dengan

merapalkan mantra / doa, dukun patah tulang mendiagnosa

sekaligus menyembuhkan tulang yang patah. Dislokasi sendi

ditangani dengan cara menekan, menarik, dan memijat

daerah yang sakit. Cara menangani permasalahan tergantung

dari kasus-kasus tiap orang.

Untuk menyembuhkan fraktur, area sekitar fraktur

pertama-tama dipijat terlebih dahulu untuk membuat otot-

otot rileks. Kemudian tulang direposisi dengan benar.

Langkah ini diikuti dengan terus menerus memijat area

Page 53: KTI ORTHO SITUBONDO

52

sekitar fraktur menggunakan minyak khusus. Selama proses

terapi, pasien diminta untuk menggerakkan bagian yang

cedera, yang selanjutnya ditekan lagi oleh dukun patah

tulang. Material yang digunakan untuk fiksasi antara lain

karton, bagian keras dari daun pisang, bambu atau kayu,

namun ada sebagian dukun patah tulang yang menggunakan

plester elastis.

Apapun material yang digunakan, fiksator dibuka tiap

tiga atau empat kali untuk mengevaluasi penyambungannya.

Pasien kemudian dipijat lagi. Pasien yang menjalani rawat

inap dipijat tiap hari.

Efektivitas pengobatan tradisional ini lebih dinilai

dari segi kepuasan pasien dan keluarganya. Dukungan

psikologi juga dipandang penting. Seorang pasien dianggap

sembuh apabila dia dapat menggerakkan bagian yang cedera

atau dapat berjalan, meskipun dengan kesakitan. Akan

tetapi, beberapa dukun patah tulang mendefinisikan

kesembuhan sebagai kemampuan untuk beraktivitas secara

normal. Derajat kesembuhan dapat dinilai dengan meminta

pasien untuk mengangkat beban; tidak timbulnya rasa sakit

menandakan kesembuhan (Handayani dkk, 2001).

Page 54: KTI ORTHO SITUBONDO

Neglected Fracture

Rekam Medis

Kelas Pelayanan

Jumlah Pasien

Umur Jenis Kelamin

Lokasi anatomis Fraktur

Jenis Komplikasi

53

BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL

3.1 Kerangka Konseptual

3.2 Hipotesis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif sehingga tidak

memerlukan hipotesis penelitian.

Page 55: KTI ORTHO SITUBONDO

54

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian

observasional deskriptif untuk mengetahui spektrum dari

penderita neglected fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada

periode Januari 2012- Desember 2013(Gambar 4.1 Rancangan

Penelitian). Seluruh anggota populasi penderita neglected

fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada periode Januari 2012-

Desember 2013 dijadikan sebagai sampel (total sampling) dan

dihitung: jumlah penderita; frekuensi dan distribusi

berdasarkan jenis kelamin; frekuensi dan distribusi

berdasarkan usia; frekuensi dan distribusi berdasarkan

lokasi anatomis; frekuensi dan distribusi berdasarkan

komplikasi yang terjadi; serta frekuensi dan distribusi

berdasarkan kelas pelayanan.

4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik

Pengambilan Sampel

Page 56: KTI ORTHO SITUBONDO

55

Populasi di dalam penelitian ini adalah semua penderita

neglected fracture pada periode Januari 2012- Desember 2013

yang yang dioperasi di OK Ruang Bedah Pusat RSU Dr.Abdoer

Rahem dan memiliki rekam medis yang tercatat di dalam

Sistem Informasi Managemen RSUD dr.Abdoer Rahem Situbondo

dengan jenis fraktur, jenis kelamin, usia, tingkat

pendidikan, komplikasi dan status ekonomi yang dilihat

dari kelas pelayanan yang tercatat dengan jelas di rekam

medis.

Sampel di dalam penelitian ini adalah semua

penderita neglected fracture pada periode Januari 2012-

Desember 2013 yang dioperasi di OK Ruang Bedah Pusat RSU

Dr.Abdoer Rahem dan memiliki rekam medis yang tercatat di

dalam Sistem Informasi Managemen RSUD dr.Abdoer Rahem

Situbondo dengan jenis fraktur, jenis kelamin, usia,

tingkat pendidikan, komplikasi dan kelas pelayanan yang

tercatat dengan jelas di rekam medis.

Besar sampel yang digunakan di dalam penelitian ini

adalah semua penderita neglected fracture pada periode Januari

2012- Desember 2013 yang menjalani operasi dan memiliki

rekam medis yang tercatat di dalam Sistem Informasi

Page 57: KTI ORTHO SITUBONDO

56

Managemen RSUD dr.Abdoer Rahem Situbondo dengan jenis

fraktur, jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan,

komplikasi dan kelas pelayanan yang tercatat dengan jelas

di rekam medis. Teknik pengambilan sampel yang digunakan

di dalam penelitian ini adalah total sampling.

4.3 Variabel Penelitian

Variabel-variabel yang akan diteliti dalam

penelitian ini adalah:

1. Jumlah

2. Jenis fraktur

3. Jenis kelamin

4. Usia

5. Jenis komplikasi

6. Kelas pelayanan

4.4 Batasan Operasional Variabel

Variabel-variabel yang akan diteliti dalam

penelitian ini adalah:

1. Jumlah.

1) Definisi operasional: bilangan yang menyatakan

kuantitas dari penderita.

Page 58: KTI ORTHO SITUBONDO

57

2) Indikator: kuantitas rekam medis.

3) Kriteria hasil: hasil diukur dalam satuan orang.

4) Skala data: rasio.

2. Jenis komplikasi

1) Definisi operasional: jenis fraktur yang diderita

berdasarkan diagnosis dokter spesialis orthopaedi

2) Indikator: catatan di rekam medis.

3) Kriteria hasil: hasil adalah lokasi anatomi

terjadinya fraktur

4) Skala data: nominal.

3. Jenis kelamin

1) Definisi operasional: status sebagai pria atau

perempuan yang diakui seseorang pada saat

pemeriksaan dilakukan.

2) Indikator: catatan di rekam medis.

3) Kriteria hasil: hasil adalah pria atau perempuan.

4) Skala data: nominal.

4. Usia

1) Definisi operasional: waktu yang telah dilalui

seseorang mulai lahir sampai saat pemeriksaan

dilakukan.

Page 59: KTI ORTHO SITUBONDO

58

2) Indikator: catatan di rekam medis.

3) Kriteria hasil: hasil diukur dalam satuan tahun.

4) Skala data: rasio.

5. Kelas pelayanan

1) Definisi operasional: kelas ruangan dimana

seseorang dirawat.

2) Indikator: catatan di rekam medis.

3) Kriteria hasil: hasil adalah kelas I, kelas II

atau kelas III.

4) Skala data: ordinal.

4.5 Teknik Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dengan cara observasi rekam medis.

4.6 Lokasi dan Jadwal Penelitian

Lokasi penelitian adalah RSU dr Abdoer Rahem

Situbondo.

Jadwal penelitian adalah bulan Juni sampai dengan

Desember 2013.

4.7 Rancangan Analisis Data

Data dikumpulkan dan dianalisis secara deskriptif.

Page 60: KTI ORTHO SITUBONDO

59