Page 1
KARYA TULIS ILMIAH
SPEKTRUM PENDERITA NEGLECTED FRACTURE DI RSUD DR. ABDOER
RAHEM PADA PERIODE
1 JANUARI 2012 SAMPAI DENGAN DESEMBER 2013
Penulis :Adhinanda Gema Wahyudiputra, dr.
Haris Dwi Khoirur, dr.Rizki Adrian Hakim, dr.M Rosyid Narendra, dr.
RSUD DR ABDOER RAHEMSITUBONDO 2013
Page 2
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma merupakan penyebab utama kematian dan
kecacatan di seluruh dunia. Tingkat kematian (Mortality Rate)
dari kasus trauma didapatkan lebih tinggi pada negara-
negara dengan tingkat penghasilan menengah ke bawah, hal
ini berhubungan dengan tingginya penggunaan transportasi
bermotor, kurang maksimalnya pembangunan jalan dan sistem
penanganan trauma yang terbatas. Secara statistik dari
setiap satu korban meninggal akibat trauma, masih lebih
banyak lagi yang berakhir dengan kecacatan baik sementara
maupun permanen. Statistik gabungan dari kasus trauma
akibat jatuh dan kecelakaan lalu lintas, didapatkan angka
berkisar antara 1000-2600/ 100.000 jiwa per tahun pada
negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah. Pada
negara-negara berpenghasilan tinggi angka ini hanya
Page 3
2
skitar 500/100.000 jiwa per tahun (Jain dan Kumar, 2011).
Di Indonesia sendiri menurut Statistik WHO Tahun 2007,
berdasarkan jumlah kematian akibat kecelakaan lalu-lintas
dan estimasi kecelakaan lalu-lintas per 100.000 penduduk,
diantara negara-negara se-Asia Tenggara, Indonesia ada di
urutan ke-1 terbanyak, yaitu 37.438 kematian atau sekitar
16,2 bila di-estimasi per 100.000 penduduk.(WHO,2007)
Trauma muskuloskeletal yang membutuhkan perawatan yang
segera adalah keadaan yang paling sering dijumpai di
lapangan, yang mana pada pelayanan kesehatan primer tidak
selalu tersedia ahli bedah orthopedi,ahli trauma, bedah
umum, anestesiologi maupun praktisi umum dengan keahlian
emergensi. Dalam hal ini fraktur merupakan kondisi yang
banyak ditemui pada trauma muskuloskeletal. Di Indonesia
angka penderita patah tulang pada tahun 2007 yaitu 43.808
kasus atau 4,5% dari kasus cedera yang ada di Indonesia
(Riskesdas,2007) Sebagian besar kasus ditangani oleh
dokter umum, perawat, maupun paramedis yang memiliki
keterbatasan kemampuan dan tentunya fasilitas yang kurang
memadai untuk penanganan awal. Pasien biasanya datang ke
pusat pelayanan kesehatan rujukan sudah dalam keadaan
Page 4
3
fraktur ekstremitas yang mal-united, un-united, infected atau mal-
positioned (Jain dan Kumar, 2011). Sedangkan di Indonesia
sendiri, pasien dengan trauma muskuloskeletal terutama
pasien fraktur kebanyakan masih memilih mengobati
penyakitnya pada pengobatan patah tulang tradisional.
Neglected fracture dengan atau tanpa dislokasi adalah suatu
fraktur dengan atau tanpa dislokasi yang tidak ditangani
atau ditangani dengan tidak semestinya sehingga
menghasilkan keadaan keterlambatan dalam penanganan, atau
kondisi yang lebih buruk dan bahkan kecacatan (Kawiyana,
1985). Sedangkan menurut Prof dr. Subroto Sapardan, dalam
penelitiannya di RSCM dan RS Fatmawati Jakarta, Februari
– April 1975, neglected fracture adalah penanganan patah
tulang pada extremitas (anggota gerak) yang salah oleh bone
setter (dukun patah tulang), yang masih sering dijumpai di
masyarakat Indonesia.
Menurut Jain dan Kumar (2011) penyebab neglected trauma
dapat berupa: (a) Pasien dengan trauma multiple, yang
meliputi trauma kapitis atau bagian rongga dada, sehingga
membutuhkan penanganan yang lebih segera yang secara
tidak langsung akan menunda waktu penanganan trauma
Page 5
4
ekstremitas yang tidak mengancam nyawa secara langsung.
(b) Pasien dengan pengobatan konservatif yang berlangsung
lama dan tidak berhasil. Sebagian besar kasus ini akan
berujung pada non-union dan malunion fraktur.(c) Pasien
yang dilakukan operasi dengan kondisi yang kurang optimal
dapat berujung pada kasus non-union terinfeksi atau implant
failure. (d)Trauma yang terlambat terdiagnosa.
Penelitian OlaOlorun,dkk.(2001) menemukan lebih dari
50% komplikasi pengobatan fraktur oleh traditional bone setter
(pengobatan patah tulang tradisional ) adalah malunion ,
25% non-union, sisanya yaitu delayed union, gangrene,
kekakuan sendi, Volksman’s ischaemic contracture, dan tetanus.
Hanya satu diantara 36 orang (2,8%) yang tidak memiliki
keluhan dan puas dengan pengobatan patah tulang
tradisional. Dada,dkk. (2011) mengatakan bahwa pasien
yang menjalani pengobatan tulang tradisional hasilnya
sering buruk disertai dengan efek yang besar pada pasien
yaitu kecacatan.
Indonesia masih termasuk negara berkembang dengan
jumlah penduduk miskin
Page 6
5
pada bulan September 2012 sebanyak 28,59 juta orang
(11,66 %) (BPS,2013) dan sebagian besar penduduk
berpendidikan rendah. Pasien-pasien trauma patah tulang
di Indonesia kebanyakan masih memercayakan pengobatannya
pada pengobatan patah tulang tradisional, karena dianggap
lebih terjangkau baik itu dalam hal biaya dan jarak, dan
menghindari tindakan pembedahan yang invasif
(Notosiswoyo,1992).
Seringkali pasien datang ke dokter bedah tulang
setelah gagal menjalani pengobatan di pengobatan patah
tulang tradisional dengan keadaan patah tulang yang
mengalami komplikasi. Di Indonesia data mengenai gambaran
neglected fracture yang datang ke rumah sakit masih sedikit.
Oleh karena itu, penelitian ini perlu untuk dilakukan.
Rumusan Masalah
1. Berapa jumlah penderita neglected fracture di RSUD dr
Abdoer Rahem pada periode Januari 2012- Desember
2013?
2. Bagaimana distribusi dan frekuensi penderita
neglected fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada periode
Page 7
6
Januari 2012- Desember 2013 berdasarkan jenis
kelamin?
3. Bagaimana distribusi dan frekuensi penderita
neglected fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada periode
Januari 2012- Desember 2013 berdasarkan usia?
4. Bagaimana distribusi dan frekuensi penderita
neglected fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada periode
Januari 2012- Desember 2013 berdasarkan lokasi
anatomisnya?
5. Bagaimana distribusi dan frekuensi penderita
neglected fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada periode
Januari 2012- Desember 2013 berdasarkan kelas
pelayanan yang digunakan?
6. Bagaimana distribusi dan frekuensi penderita
neglected fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada periode
Januari 2012- Desember 2013 berdasarkan komplikasi
yang terjadi?
1.2 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Page 8
7
Untuk mengetahui spektrum dari penderita neglected
fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada periode Januari
2012- Desember 2013.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui jumlah penderita neglected fracture di
RSUD dr Abdoer Rahem pada periode Januari 2012-
Desember 2013.
2. Untuk mengetahui distribusi dan frekuensi penderita
neglected fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada periode
Januari 2012- Desember 2013 berdasarkan jenis
kelamin.
3. Untuk mengetahui distribusi dan frekuensi penderita
neglected fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada periode
Januari 2012- Desember 2013 berdasarkan usia.
4. Untuk mengetahui distribusi dan frekuensi penderita
neglected fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada periode
Januari 2012- Desember 2013 berdasarkan lokasi
anatomisnya.
5. Untuk mengetahui distribusi dan frekuensi penderita
neglected fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada periode
Page 9
8
Januari 2012- Desember 2013 berdasarkan kelas
pelayanan yang digunakan.
6. Untuk mengetahui distribusi dan frekuensi penderita
neglected fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada periode
Januari 2012- Desember 2013 berdasarkan komplikasi
yang terjadi.
1.3 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis
Memberikan informasi ilmiah tentang spektrum dari
penderita neglected fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada
periode 1 Januari 2003 sampai dengan 31 Desember 2007
1.4.2 Manfaat praktis
Diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi
pemerintah khususnya Dinkes Situbondo dalam menyusun
kebijakan dalam mengurangi angka kejadian serta mencegah
terjadinya neglected fracture.
1.4.3 Manfaat Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
informasi dan dapat menambah wawasan terutama mengenai
spektrum penderita neglected fracture.
Page 10
9
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fraktur
2.1.1 Definisi Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang,
tulang rawan sendi, dan atau tulang rawan epiphysis, baik
yang bersifat total maupun parsial (Rasjad, 2007).
Patahan tersebut mungkin tak lebih dari suatu retakan,
suatu penyempitan korteks; biasanya patahan itu lengkap
dan fragmen tulangnya bergeser. Jika kulit diatasnya
masih utuh, keadaan ini disebut fraktur tertutup(atau
sederhana) . Jika kulit atau salah satu rongga tubuh
tertembus , keadaan ini disebut fraktur terbuka, yang
cenderung mengalami kontaminasi dan infeksi (Solomon et
all. , 2010).
2.1.2 Jenis dan Klasifikasi Fraktur
Menurut Rasjad (2007) klasifikasi fraktur sebagai berikut
:
2.1.2.1 Klasifikasi Etiologis
Page 11
10
1. Fraktur traumatik : terjadi karena trauma tiba-tiba.
Trauma bersifat langsung dan tidak langsung. Trauma
bersifat langsung yaitu trauma yang menyebabkan tekanan
langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah
tekanan. Trauma tidak bersifat langsung yaitu trauma
yang dihantarkan ke tempat yang lebih jauh dari daerah
fraktur. Misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat
menimbulkan fraktur klavikula.
2. Fraktur patologis : terjadi karena kelemahan tulang
akibat kelainan patologis di dalam tulang atau tulang
berpenyakit (kista tulang, penyakit Paget, metastasis
tulang, tumor)
3. Fraktur stress : karena adanya trauma terus menerus
pada suatu tempat
2.1.2.2 Klasifikasi Klinis
1. Fraktur terbuka (Compound Fracture) adalah fraktur
yang ada hubungannya dengan dunia luar melalui luka
pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk from
within (dari dalam) atau from without ( dari luar). Menurut
Gustilo et al. (1984), berdasarkan kerusakan jaringan
Page 12
11
lunak dan tulang, fraktur terbuka dibagi lagi menjadi
tiga derajat :
Derajat I : luka kurang dari 1 cm, relatif bersih,
kerusakan jaringan tidak berarti. Fraktur simple ,
dislokasi fraktur minimal
Derajat II : Luka lebih dari 1 cm. Kerusakan
jaringan lunak tidak luas, flap, atau avulsi dengan
derajat kememaran yang sederhana. Umumnya fraktur
yang terjadi adalah fraktur simple, transverse, dan
oblique dengan kominutif yang minimal. Dislokasi
fragmen terlihat jelas.
Derajat III : terjadi fraktur yang berat disertai
kerusakan jaringan lunak yang luas dan gangguan
neurovaskuler sering diakibatkan oleh trauma tumpul
yang hebat atau disertai cedera akibat kecepatan
tinggi (high velocity). Gustilo et al.(1984) membagi
lagi fraktur terbuka derajat III ini ke dalam 3
subtipe A, B, dan C.
o III A : fraktur derajat III dengan periosteal
coverage yang cukup walaupun terdapat robekan
atau kerusakan jaringan lunak yang luas
Page 13
12
o III B : fraktur derajat III dengan
kehilangan jaringan lunak yang luas,
pengelupasan periosteal dan kerusakan tulang.
Biasanya disertai kontaminasi yang luas.
o III C : fraktur derajat III disertai dengan
cedera arteri yang membutuhkan perbaikan
2. Fraktur tertutup adalah fraktur yang tidak ada
hubungannya dengan dunia luar
2.1.2.3 Klasifikasi Radiologis
1. Lokalisasi : terbagi atas diafisial, metafisial, intra-
artikuler, fraktur dengan dislokasi
2. Konfigurasi
Fraktur transversal adalah fraktur sepanjang garis
tengah tulang
Fraktur oblique atau z adalah fraktur membentuk sudut
dengan garis tengah tulang
Fraktur spiral adalah fraktur memuntir seputar batang
tulang
Fraktur segmental adalah fraktur garis patah tulang
lebih dari satu dan saling berhubungan
Page 14
13
Fraktur kominutif adalah fraktur tulang pecah menjadi
beberapa komponen
Fraktur depresi adalah fraktur fragmen patahan
terdorong ke dalam
Fraktur baji adalah fraktur biasanya pada vertebra
karena tulang mengalami kompresi
Fraktur avulsi adalah fraktur tertariknya fragmen
tulang oleh ligament atau tendon pada perlekatannya.
Fraktur pecah (burst) adalah fraktur dimana terjadi
fragmen kecil yang berpisah
Fraktur epifisial adalah fraktur melalui epifisis
Fraktur impaksi adalah fragmen tulang terdorong ke
fragmen tulang lainnya
3. Menurut ekstensi
Fraktur Greenstick (salah satu sisi tulang patah sedang
sisi lainnya membengkok), fraktur total,fraktur tidak
total, fraktur garis rambut, dan fraktur Buckle atau
torus
4. Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya:
terbagi atas bergeser dan tidak bergeser
Page 15
14
2.1.3 Komplikasi Fraktur
Menurut Rasjad (2007) komplikasi fraktur dapat
terjadi secara spontan, karena iatrogenic atau oleh karena
tindakan pengobatan. Komplikasi umumnya akibat tiga
faktor utama, yaitu penekanan lokal, traksi yang
berlebihan, dan infeksi. Komplikasi akibat tindakan
pengobatan (iatrogenic) umumnya dapat dicegah.
Pembagian komplikasi menurut Rasjad (2007) :
2.1.3.1Komplikasi Fraktur terhadap Organ
1. Komplikasi pada kulit
Lesi akibat penekanan
Ulserasi akibat dekubitus
Ulserasi akibat pemasangan gips
2. Komplikasi pada pembuluh darah
Ulserasi akibat pemasangan gips
Lesi akibat traksi dan penekanan
Iskemik Volkmann
Gangren
3. Komplikasi pada saraf
Lesi akibat traksi dan penekanan
4. Komplikasi pada sendi
Page 16
15
Infeksi (arthritis septic) akibat operasi terbuka pada
trauma tertutup
5. Komplikasi pada tulang
Infeksi akibat operasi terbuka pada trauma tertutup
(osteomielitis)
1. Komplikasi pada lempeng epifisis dan epifisis pada
fraktur anak-anak.
2.1.3.2 Komplikasi Menurut Waktu Disesuaikan dengan
Lokalisasi
A. Komplikasi Segera
Komplikasi lokal meliputi :
1. Komplikasi pada kulit
Trauma pada kulit
Dari luar : aberasi, laserasi, luka tusuk, luka
tembus peluru, avulsi, kehilangan kulit
Dari dalam : penetrasi kulit oleh fragmen
fraktur
2. Komplikasi vaskular
3. Komplikasi neurologis
4. Komplikasi pada otot biasanya bersifat tidak total
Page 17
16
5. Komplikasi pada organ
Komplikasi di luar fraktur pada organ lain:
1. Trauma multipel : trauma pada alat tubuh lain yang
tidak berhubungan dengan fraktur
2. Syok hemoragik
B. Komplikasi Awal
Komplikasi lokal meliputi :
1. Komplikasi sisa dari komplikasi yang segera terjadi
berupa nekrosis kulit, gangrene, iskemik Volkmann,
gas gangren, thrombosis vena serta komplikasi pada
alat- alat lain.
2. Komplikasi pada sendi
Infeksi (arthritis septik) oleh karena trauma
terbuka
3. Komplikasi pada tulang
Infeksi (osteomielitis) pada daerah fraktur karena
adanya trauma terbuka
Nekrosis avaskular tulang biasanya mengenai satu
fragmen
Komplikasi di luar pada organ lain :
Page 18
17
1. Emboli lemak
2. Emboli paru
3. Pneumonia
4. Tetanus
5. Delirium tremens
C. Komplikasi Lanjut
Komplikasi lokal
1. Komplikasi pada sendi
Kekakuan sendi yang menetap
Penyakit degeneratif sendi pasca trauma
2. Komplikasi pada tulang’
Penyembuhan fraktur yang abnormal : malunion,
delayed union, dan nonunion
Gangguan pertumbuhan oleh karena adanya trauma pada
lempeng epifisis
Infeksi yang menetap (osteomielitis kronis )
Osteoporosis pasca trauma
Atrofi Sudeck
Refraktur
3. Komplikasi pada otot
Miositis osifikans pasca trauma
Page 19
18
Ruptur tendon lanjut
4. Komplikasi saraf
Tardy nerve palsy
Komplikasi pada organ lain :
1. Batu ginjal
2. Neurosis akibat kecelakaan
2.2 Prinsip Penatalaksanaan Fraktur Secara Umum
Tujuan pengobatan fraktur : (Arlis F, 2005)
1. Menghilangkan nyeri
2. Mendapatkan dan mempertahankan posisi yg memadai dari
fragmen fraktur
3. Mengharapkan dan mengusahakan union
4. Mengembalikan fungsi secara optimal dengan cara
mempertahankan fungsi otot dan sendi, mencegah atrofi
otot, adhesi, dan kekakuan sendi, mencegah terjadinya
komplikasi seperti dekubitus, trombosis vena, infeksi
saluran kencing serta pembentukan batu ginjal
5. Mengembalikan fungsi secara maksimal merupakan tujuan
akhir pengobatan fraktur
Ada enam prinsip pengobatan fraktur menurut Rasjad (2007)
:
Page 20
19
1. Jangan membuat keadaan lebih jelek
2. Pengobatan berdasarkan atas diagnosis dan prognosis
yang akurat
3. Seleksi pengobatan dengan tujuan khusus
Menghilangkan nyeri
Memperoleh posisi yang baik dari fragmen
Mengusahakan terjadinya penyambungan tulang
Mengembalikan fungsi secara optimal
4. Mengingat hukum – hukum penyembuhan secara alami
5. Bersifat realistik dan praktis dalam memilih jenis
pengobatan
6. Seleksi pengobatan sesuai dengan penderita secara
individual
Selain enam hal diatas masih terdapat empat prinsip lain
dalam pengobatan fraktur menurut Rasjad (2007) :
1. Recognition, yaitu diagnosis dan penilaian fraktur
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan
fraktur dengan anamnesis, pemeriksaan klink, dan
radiologis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan:
Lokalisasi fraktur
Bentuk fraktur
Page 21
20
Menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan
Komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah
pengobatan
2. Reduction, reduksi fraktur apabila perlu
Restorasi fragmen dilakukan untuk mendapatkan posisi
yang dapat diterima. Pada fraktur intra-artikuler
diperlukan reduksi anatomis dan sedapat mungkin
mengembalikan fungsi normal dan mencegah komplikasi
seperti kekakuan, deformitas, serta osteoarthritis di
kemudian hari. Posisi yang baik adalah :
Alignment yang sempurna
Aposisi yang sempurna
Fraktur klavikula, iga, dan fraktur impaksi dari
humerus tidak perlu reduksi. Angulasi <5 pada tulang
panjang anggota gerak bawah dan lengan atas dan
angulasi sampai 10 pada humerus dapat diterima.
Terdapat kontak sekurang-kurangnya 50 %, dan over-riding
tidak melebihi 0,5 inchi pada fraktur femur. Adanya
rotasi tidak dapat diterima dimanapun lokalisasi
fraktur.
3. Retaining, yaitu imobilisasi fraktur
Page 22
21
4. Rehabilitation, yaitu mengembalikan aktifitas fungsional
semaksimal mungkin
A. Fraktur Tertutup
Menurut Rasjad (2007), metode pengobatan fraktur
tertutup pada umumnya dibagi dalam 4 macam, yaitu
konservatif, reduksi tertutup dengan fiksasi eksterna
atau fiksasi perkutaneus dengan K-wire, reduksi terbuka dan
fiksasi interna atau fiksasi eksterna tulang, serta
eksisi fragmen tulang dan penggantian dengan protesis.
1. Konservatif
a. Proteksi semata-mata ( tanpa reduksi atau
imobilisasi)
Proteksi fraktur dilakukan dengan cara memberikan
sling (mitela) pada anggota gerak atas atau tongkat
pada anggota gerak bawah. Indikasi proteksi semata-
mata ini terutama adalah fraktur yang tidak
bergeser, fraktur iga yang stabil, falang dan
metakarpal atau fraktur klavikula pada anak.
b. Immobilisasi dengan bidai eksterna (tanpa reduksi)
Page 23
22
Immobilisasi pada fraktur dengan bidai eksterna
hanya nmemberikan sedikit imobilisasi, biasanya
mempergunakan plaster of Paris (gips) atau dengan
bermacam-macam bidai dari plastik atau metal.
Indikasi imobilisasi dengan bidai eksterna digunakan
pada fraktur yang perlu dipertahankan posisinya
dalam proses penyembuhan.
c. Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi
eksterna, mempergunakan gips. Reduksi tertutup yang
diartikan manipulasi dilakukan baik dengan pembiusan
umum ataupun lokal. Reposisi yang dilakukan melawan
kekuatan terjadinya fraktur. Penggunaan gips untuk
imobilisasi merupakan alat utama pada teknik ini.
Indikasi teknik ini adalah sebagai bidai pada
fraktur untuk pertolongan pertama, imobilisasi
sebagai pengobatan definitif pada fraktur,
imobilisasi untuk mencegah fraktur patologis,
sebagai alat bantu tambahan pada fiksasi interna
yang kurang kuat, serta apabila diperlukan
manipulasi pada fraktur yang bergeser dan diharapkan
Page 24
23
dapat direduksi dengan cara tertutup dan dapat
dipertahankan.
d. Reduksi tertutup dengan traksi berlanjut diikuti
dengan imobilisasi
Reduksi tertutup pada fraktur yang diikuti dengan
traksi berlanjut dapat dilakukan dengan beberapa
cara, yaitu traksi kulit dan traksi tulang
e. Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter
traksi
Dengan mempergunakan alat-alat mekanik seperti
bidai Thomas, bidai Brown Bohler, bidai Thomas
dengan Pearson Knee flexion attachment. Tindakan ini
mempunyai dua tujuan utama berupa reduksi yang
bertahap dan imobilisasi. Indikasi teknik ini adalah
:
- bilamana reduksi tertutup dengan manipulasi dan
imobilisasi tidak memungkinkan serta untuk
mencegah tindakan operatif misalnya pada fraktur
batang femur, fraktur vertebra servikalis
- bilamana terdapat otot yang kuat mengelilingi
fraktur pada tulang tangkai bawah yang menarik
Page 25
24
fragmen dan menyebabkan angulasi, over-riding, dan
rotasi yang dapat menimbulkan malunion, nonunion,
atau delayed union
- bilamana terdapat fraktur yang tidak stabil,
oblik, fraktur spiral atau kominutif pada tulang
panjang
- fraktur vertebra servikalis yang tidak stabil
- fraktur femur pada anak-anak
- fraktur dengan pembengkakan yang sangat hebat
disertai dengan pergeseran yang hebat serta tidak
stabil, misalnya pada fraktur suprakondiler humeri
Ada empat metode traksi kontinu yang digunakan
yaitu traksi kulit, traksi menetap, traksi tulang,
dan traksi berimbang – traksi sliding. Traksi kulit
dengan mempergunakan leukoplas yang melekat pada
kulit disertai dengan pemakaian bidai Thomas atau
bidai Brown Bohler. Traksi dapat dilakukan pada
fraktur suprakondiler humeri menurut Dunlop.
Traksi menetap juga mempergunakan leukoplas yang
melekat pada bidai Thomas atau bidai Brown Bohler
yang difiksasi pada salah satu bagian dari bidai
Page 26
25
Thomas. Biasanya dilakukan pada fraktur femur yang
tidak bergeser. Traksi tulang dengan kawat Kirschner
(K-wire) dan pin Steinmann yang dimasukkan ke dalam
tulang dan juga dilakukan traksi dengan
mempergunakan berat beban dengan bantuan bidai
Thomas dan bidai Brown Bohler. Tempat untuk
memasukkan pin yaitu pada bagian proksimal tibia di
bawah tuberositas tibia, bagian distal tibia,
trokanter mayor, bagian distal femur pada kondilus
femur, kalkaneus (jarang dilakukan), prosesus
olekranon, bagian distal metacarpal dan tengkorak.
Traksi berimbang dan traksi sliding terutama
dipergunakan pada fraktur femur, mempergunakan
traksi skeletal dengan beberapa katrol dan bantalan
khusus, biasanya dipergunakan bidai Thomas sab
Pearson attachment.
2. Reduksi Tertutup dengan Fiksasi Eksterna atau Fiksasi
Perkutaneus dengan K-Wire
Setelah dilakukan reduksi tertutup pada fraktur yang
bersifat tidak stabil, maka reduksi dapat dipertahankan
dengan memasukkan K-wire perkutaneus misalnya pada
Page 27
26
fraktur suprakondiler humeri pada anak-anak atau pada
fraktur Colles. Teknik ini biasanya memerlukan bantuan
alat rontgen image intensifier (C-arm)
3. Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Interna atau Fiksasi
Eksterna Tulang
Tindakan operasi harus dilakukan secepatnya (dalam
satu minggu) kecuali bila ada halangan. Alat-alat yang
dipergunakan dalam operasi yaitu K-wire, intramedullary nail,
plate dan screw, dan protesis. Selain alat-alat metal,
tulang yang mati ataupun hidup dapat pula digunakan
berupa bone graft baik autograft/allograft, untuk
mengisi defek tulang atau pada fraktur yang nonunion.
Operasi dilakukan dengan cara membuka daerah fraktur
dan fragmen direduksi secara akurat dengan penglihatan
langsung. Saat ini teknik operasi pada tulang
dikembangkan oleh grup ASIF (metode AO) yang dilakukan
di Swiss dengan menggunakan peralatan yang secara
biomekanik telah diteliti. Prinsip operasi teknik AO
berupa reduksi akurat, fiksasi rigid dan mobilisasi
dini yang akan memberikan hasil fungsional maksimal.
a. Reduksi terbuka dengan fiksasi interna,
Page 28
27
Contoh penerapan teknik ini antara lain pada :
- Fraktur intra-artikuler misalnya fraktur
maleolus, kondilus, olekranon, patella
- Reduksi tertutup yang mengalami kegagalan
misalnya fraktur radius dan ulna disertai
malposisi yang hebat atau fraktur yang tidak
stabil
- Bila terdapat interposisi jaringan di antara
kedua fragmen
- Bila diperlukan fiksasi rigid misalnya pada
fraktur leher femur
- Bila terjadi fraktur dislokasi yang tidak dapat
direduksi secara baik dengan reduksi tertutup
misalnya fraktur Monteggia dan fraktur Bennet
- Fraktur terbuka
- Bila terdapat kontraindikasi pada imobilisasi
eksterna sedangkan diperlukan mobilisasi yang
cepat, misalnya fraktur pada orang tua
- Eksisi fragmen yang kecil
Page 29
28
- Eksisi fragmen tulang yang kemungkinan
mengalami nekrosis avaskuler misalnya fraktur
leher femur pada orang tua
- Fraktur avulse misalnya pada kondilus humeri
- Fraktur epifisis tertentu pada grade III dan IV
(Salter-Harris) pada anak-anak
- Fraktur multiple misalnya fraktur pada tungkai
atas dan bawah
- Untuk mempermudah perawatan penderita misalnya
fraktur vertebra tulang belakang yang disertai
paraplegia
b. Reduksi terbuka dengan alat fiksasi eksterna
Reduksi terbuka dengan alat fiksasi eksterna
dengan mempergunakan kanselosa screw dengan
metilmetakrilat (akrilik gigi) atau fiksasi
eksterna dengan jenis-jenis lain misalnya menurut
AO atau inovasi sendiri dengan mempergunakan screw
Schanz. Contoh penerapan teknik ini pada fraktur
terbuka grade II dan grade III, fraktur terbuka
disertai hilangnya jaringan atau tulang yang
hebat, fraktur dengan infeksi atau infeksi
Page 30
29
pseudoartrosis, fraktur yang miskin jaringan ikat,
serta kadang-kadang pada fraktur tungkai bawah
penderita diabetes mellitus.
4. Eksisi Fragmen Tulang dan Penggantian dengan Protesis
Pada fraktur leher femur dan sendi siku orang tua,
biasanya terjadi nekrosis avaskuler dari fragmen atau
nonunion, oleh karena itu dilakukan pemasangan protesis
yaitu alat dengan komposisi metal tertentu untuk
menggantikan bagian yang nekrosis. Sebagai bahan
tambahan sering dipergunakan metilmetakrilat.
B. Fraktur terbuka
Penanganan pasien dengan fraktur terbuka harus
diawali dengan evaluasi secara menyeluruh. Pasien harus
distabilisasi terlebih dahulu sesuai dengan protokol
ATLS. Adanya trauma yang mengancam nyawa harus
ditangani terlebih dahulu. Pemeriksaan fisik harus
diawali dengan airway, breathing, dan sirkulasi.
Setelah pasien stabil dokter harus melakukan anamnesis
Page 31
30
pada pasien secara menyeluruh jika pasien itu sadar
ataupun kepada saksi jika pasien tersebut tidak sadar.
Anamnesis tersebut dapat meliputi lokasi anatomis yang
nyeri dan instabilitas; mekanisme trauma; dan perubahan
pada sensasi fungsi motorik. (Bucholz dkk., 2010)
Pemeriksaan fisik secara menyeluruh sangat diperlukan.
Pakaian yang melingkupi luka harus dilepas. Inspeksi
anggota badan dilakukan untuk mencari adanya deformitas
atau fragmen tulang yang menonjol di bawah kulit, tanda
gangguan vascular, bekas luka laman atau bekas insisi,
debris pada luka, luka bakarm abrasi dan degloving
jaringan lunak. Evaluasi adanya sindroma kompartemen
tidak boleh terlewatkan. Deskripsi luka harus
didokumentasikan meliputi lokasi, konfigurasinya
(linear, stellate atau lainnya), orientasi
(longitudinal , obliq, atau transversal ), kondisi
kulit di sekitarnya dan abrasi atau luka-luka
lainnya.Pemeriksaan status neurovaskular di area
fraktur dan distal dari fraktur merupakan hal yang
sangat vital. Luka harus ditutup menggunakan kasa yang
dibasahi normal salin dan dibebat bidai dengan bebat
Page 32
31
yang tidak memutar yang menstabilkan tulang yang patah
serta melewati sendi atas dan bawah lokasi fraktur.
Pemeriksaan berulang terhadap luka tidak boleh
dilakukan karena dapat meningkatkan risiko infeksi.
Beberapa hasil penelitian telah cukup membuktikan
pentingnya penggunaan antibiotik profilaksis sebelum
operasi. Penggunaan antibiotik preoperative menurunkan
angka infeksi pada lokasi operasi dengan sangat
signifikan. Antibiotik yang sering diberikan untuk
profilaksis yaitu cephalosporin generasi 1 yaitu
cefazolin 2gr setiap 8 jam. Tindakan operatif pada
fraktur terbuka meliputi debridema, irigasi, lalu
dilanjutkan dengan stabilisasi tulang. Debridema dibagi
dua yaitu debridema superficial dan debridema dalam.
Debridema superficial meliputi eksisi kulit dan
jaringan subkutan yang mengalami nekrosis. Kulit dengan
viabilitas yang marginal bisa ditinggal atau di ambil
di kemudian hari karena kulit bukan merupakan generator
utama infeksi, tidak seperti otot yang nekrosis. Pada
debridema dalam atau dalam halini debridema otot,
pendekatan “Jika ragu, bersihkan” merupakan jalan yang
Page 33
32
aman. Otot yang nekrosis merupakan tempat yang sangat
potensial untuk tumbuhnya bakteri dan berisiko tinggi
untuk terjadinya infeksi anaerob. Jika arteri utama
yang mensuplai otot yang rusak parah juga dalam keadaan
yang rusak maka solusi yang ada hanyalah total
eksisi.arteri, vena dan saraf yang intak tidak boleh
didebridema. Segmen tulang besar yang ditempeli
jaringan lunak harus dipertahankan. Fragmen kortikal
tanpa penempelan jaringan lunak harus dibersihkan.
Setelah melakukan debridema menyeluruh selanjutnya
dilakukan irigasi pada luka. Dua komponen penting
dalam fraktur terbuka yaitu mengembalikan posisi
anatomis tulang dan stabilisasi tulang. Seringkali
reduksi dan pemasangan srew secara terbatas disertai
dengan fiksasi eksternal merupakan rencana terapi awal
yang efektif. Selain itu fiksasi internal yang segera
juga dapat dilakukan dengan memerhatikan berbagai
faktor. Jika suatu diseksi jaringan lunak diperlukan
untuk mencapai reduksi dan fiksasi articular yang anatomis
seperti pada fraktur pillon dan tibial plateau, perlu
untuk dipertimbangkan penundaan eksplorasi luka,
Page 34
33
reduksi, dan fiksasi. Bucholz (2010) menyederhanakan
prinsip manajemen patah tulang terbuka setelah keadaan
umum pasien stabil menjadi :
1. Menempatkan kassa steril diatas luka untuk
mengantisipasi adanya debridema yang lebih luas pada
ruang OK
2. Immobilisasi ekstremitas yang patah
3. Pemberian antibiotik dan anti tetanus (jika
dibutuhkan) sejak awal
4. Operasi debridema dan irigasi segera, dengan
stabilisasi sistem skeletal sementara ataupun
definitif
5. Debridema ulang jika diperlukan dan stabilisasi
definitif skeletal dan/atau penutupan jaringan
dengan hati-hati
2.3 Definisi Neglected Fracture
Neglected fracture dengan atau tanpa dislokasi adalah
suatu fraktur dengan atau tanpa dislokasi yang tidak
ditangani atau ditangani dengan tidak semestinya sehingga
menghasilkan keadaan keterlambatan dalam penanganan, atau
Page 35
34
kondisi yang lebih buruk dan bahkan kecacatan. (Kawiyana,
1985)
Menurut Prof dr. Subroto Sapardan, dalam
penelitiannya di RSCM dan RS Fatmawati Jakarta, Februari
– April 1975, Neglected fracture adalah penanganan patah
tulang pada extremitas (anggota gerak) yang salah oleh bone
setter (dukun patah), yang masih sering dijumpai di
masyarakat Indonesia. Pada umumnya neglected fracture terjadi
pada yang berpendidikan dan berstatus sosio-ekonomi yang
rendah.
2.4 Jenis Neglected Fracture
Berdasarkan pada beratnya kasus akibat dari penanganan
patah tulang sebelumnya, neglected fracture dapat
diklasifikasikan menjadi 4 derajat : (Kawiyana, 1985)
1. Neglected derajat satu
Bila pasien datang saat awal kejadian maupun sekarang,
penanganannya tidak memerlukan tindakan operasi dan
hasilnya sama baik.
2. Neglected derajat dua
Page 36
35
Keadaan dimana apabila pasien datang saat awal kejadian,
penanganannya tidak memerlukan tindakan operasi,
sedangkan saat ini kasusnya menjadi lebih sulit dan
memerlukan tindakan operasi. Setelah pengobatan, hasilnya
tetap baik.
3.Neglected derajat tiga
Keterlambatan menyebabkan kecacatan yang menetap bahkan
setelah dilakukan operasi. Jadi pasien datang saat awal
maupun sekarang tetap memerlukan tindakan operasi dan
hasilnya kurang baik.
4. Neglected derajat empat
Keterlambatan di sini sudah mengancam nyawa atau bahkan
menyebabkan kematian pasien. Pada kasus ini penanganannya
memerlukan tindakan amputasi.
Arief Darmawan menyebutkan bahwa neglected fracture adalah
fraktur yang penanganannya lebih dari 72 jam, umumnya
terjadi pada masyarakat yang memiliki pendidikan dan
status sosio-ekonomi rendah. Arief Darmawan membagi
derajat neglected fracture berdasarkan waktu, yaitu :
(Darmawan, 2011)
Page 37
36
Derajat I : fraktur yang telah terjadi antara 3 hari
sampai dengan 3 minggu
Derajat II : fraktur yang telah terjadi antara 3 minggu
sampai dengan 3 bulan
Derajat III : fraktur yang telah terjadi antara 3 bulan
sampai dengan 1 tahun
Derajat IV : fraktur yang telah terjadi lebih dari 1
tahun
2.5 Definisi Bone Setter
Dukun patah tulang, atau traditional bonesetter (TBS) adalah
praktisi
kesehatan di bidang tulang dan sendi. Seorang dukun patah
tulang tidak memiliki latar belakang pendidikan formal
mengenai prosedur medis (Green SA, 1999; Samuel H, 2007).
Pelayanan kesehatan saat ini telah berkembang sangat
pesat seiring dengan kemajuan teknologi dan riset-riset
di bidang medis, akan tetapi peran dukun patah tulang
sebagai pengobatan alternatif masih terus ada. Di negara-
Page 38
37
negara berkembang – terutama di India, Afrika, dan
Amerika Selatan yang pelayanan kesehatannya masih
terbatas – dukun patah tulang masih banyak dijumpai.
Mereka bahkan seringkali bertindak sebagai penyedia
layanan kesehatan primer di tempat-tempat yang tidak
terjangkau pelayanan kesehatan resmi. Dukun patah tulang
ada di setiap suku dan etnis di seluruh dunia, dengan
istilah lokal dan metode penyembuhan yang berbeda-beda.
Statistik yang akurat mengenai distribusi dukun patah
tulang masih sedikit. Sebuah survei memperkirakan hanya
sebesar 10%-40% pasien dengan fraktur atau dislokasi
sendi di seluruh dunia ditangani oleh tenaga medis modern
(Green SA, 1999). Di negara berkembang seperti India,
dukun patah tulang adalah salah satu kelompok penyedia
jasa pengobatan alternatif spesialistik yang terbesar
(Shanker D, 2007). Jumlah mereka hanya kalah oleh dukun
beranak, atau lazim disebut ‘Dais’ di India. Diperkirakan
terdapat sekitar 70000 tabib dan dukun patah tulang di
India, dan mereka mengobati 60% dari seluruh kasus trauma
(Church J, 1998).
Page 39
38
2.6 Sejarah Bone Setter (Dukun Patah Tulang) dan
Orthopedi
Usaha manusia dalam mengobati cedera dan fraktur
sudah ditemukan sejak zaman prasejarah. Hal ini
dibuktikan dari ditemukannya tengkorak-tengkorak dari
zaman Neolitikum yang mengindikasikan pembebatan fraktur,
baik dengan akar pohon atau tongkat kayu. Manusia
primitif lainnya juga menggunakan cara unik dalam
mengimobilisasi tungkai yang cedera. Suku-suku di
Australia Selatan membuat bebat dari tanah liat,
sedangkan Suku India Shoshone merendam lembaran-lembaran
kulit hewan, dan membalutkannya pada tungkai yang patah.
Kulit hewan dan tanah liat mengeras saat mengering, yang
akan melindungi tulang yang cedera (Bishop WJ, 1960).
Seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia,
bermunculan profesi tabib dan dukun patah tulang.
Seringkali teknik-teknik yang digunakan diturunkan dari
generasi ke generasi. Mereka menggunakan teknik-teknik
tertentu untuk mengobati pasien, dan seringkali
menggunakan mantra-mantra atau jimat-jimat tertentu untuk
mempercepat proses penyembuhan. Seringkali, bila usaha
Page 40
39
penyembuhannya tidak berhasil, para tabib dan dukun patah
tulang ini mendapat ‘penalti’. Sekitar tahun 1900 SM di
Babilonia, Raja Hammurabi mengeluarkan pertaturan yang
mengatur praktek medis dan menentukan hukuman atas
kegagalan yang terjadi. Peraturan tersebut secara
spesifik menyebut “Gallabu”, yaitu dukun patah tulang
yang menangani operasi kecil, operasi gigi, dan
‘pengecapan’ budak (Bishop WJ, 1960).
Instruksi tertulis pertama dalam hal pembedahan dan
fraktur ditemukan dari tahun 1600 SM di Mesir pada
Papirus Edwin Smith, diberi nama sesuai dengan nama
penemunya. Papirus tersebut mendeskripsikan penanganan
fraktur lengan atas. Untuk fraktur tulang tengkorak,
ahli bedah memberikan ramuan yang dibuat dari telur
burung unta untuk mengeringkan luka, dan merapalkan doa
kepada Isis, dewa kesuburan Mesir. Papirus tersebut juga
mendeskripsikan kondisi-kondisi di mana ahli bedah tidak
diperbolehkan melakukan pengobatan. Apabila seorang ahli
bedah mengobati pasien tidak sesuai dengan yang tertulis
dalam papirus dan pasien meninggal, dia dapat dikenai
hukuman mati (Bishop WJ, 1960).
Page 41
40
Pada tahun 5 Masehi, tulisan-tulisan Sustra di India
memberikan instruksii mengenai amputasi tungkai dan
pembuatan prostetik dari besi. Hippocrates juga menulis
instruksi mengenai fraktur dan dislokasi, yang terkenal
karena akurasinya dalam anatomi dan fisiologi. Tulisannya
mencakup fraktur, reduksi, bebat, dan imobilisasi (Bishop
WJ, 1960).
Setelah keruntuhan Kekaisaran Romawi, perekembangan
dalam bidang kedokteran melambat. Gereja Katolik Roma
menjadi pusat kegiatan sosial dan religius. Para pemimpin
Gereja meyakini bahwa sakit merupakan hukuman dari Tuhan
atas dosa seseorang, dan menganjurkan agar penderita
memperbanyak doa dan melakukan puasa. Mereka tidak
memercayai ilmu kedokteran yang berasal dari kepercayaan
pagan, dan hubungannya dengan Arab dan Yunani Kuno. Kode
moral Gereja saat itu sama dengan hukum, dan segala
bentuk pelanggaran dapat dikenai hukuman (Beck RT, 1974).
Bukannya berobat ke tabib atau dukun patah tulang,
penderita berdoa kepada para santa untuk kesembuhan
(Bishop WJ, 1960). Bila gagal, mereka pergi ke pendeta
(Beck RT, 1974). Selama hampir 1 milenium, tidak ada
Page 42
41
sekolah kedokteran atau pendidikan di bidang medis dalam
bentuk apapun di Eropa Barat (Bishop WJ, 1960). Para
pendeta mempelajari bahasa Latin, menjadikan mereka satu-
satunya yang dapat membaca dan menggunakan informasi dari
jurnal-jurnal medis. Pada tahun 1100, para pemimpin
gereja menjadi khawatir dengan pendeta-pendeta yang
berpraktek sebagai tabib. Mereka khawatir apabila
pengobatan gagal dan pasien meninggal, akan menjadi
skandal bagi Gereja. Maka Gereja mengeluarkan peraturan
yang melarang para pendeta menghadiri kuliah-kuliah medis
dan melakukan pembedahan (Beck RT, 1974). Peraturan yang
sama juga diberlakukan kepada dokter. Hanya para pembantu
pendeta, barber, yang diperbolehkan melakukan praktek
pembedahan (Bishop WJ, 1960; Beck RT, 1974).
Karena interaksi sehari-hari para barber dengan
pasiennya, mereka memiliki kesempatan yang luas untuk
mengembangkan teknik mereka. Karena kebanyakan pasiennya
adalah orang miskin, mereka dapat bereksperimen tanpa
perlu terlalu khawatir akan tuntutan. Fraktur harus
diluruskan, gigi yang sakit harus dicabut (Mazola R et
al, 1997). Pekerjaan seorang barber lebih mengutamakan
Page 43
42
kekuatan fisik, stamina, dan keterampilan, daripada
pendidikan. Para pendahulu ahli bedah awal ini
mendapatkan pendidikan secara langsung, bukan di sekolah.
Di sisi lain, dokter tidak memiliki pengalaman praktis.
Mereka dididik pada segi filosofis kedokteran, bukannya
ilmu pengetahuan dasar. Seringkali mereka hanya mengobati
keluarga kerajaan, bangsawan, dan orang-orang lain yang
mempunyai cukup uang untuk membayar jasa mereka. Apabila
dokter menginstruksikan bloodletting (pengobatan masa lampau
dengan cara mengeluarkan darah dari penderita) atau
bedah, mereka mengawasi pekerjaan barber atau ahli bedah
(Beck RT, 1974; Mazola R et al, 1997).
Sejak abad ke-15, dibentuklah sebuah organisasi para
barber di Inggris, yang bertujuan merekrut, melatih, dan
mengatur anggotanya. Profesi-profesi lain juga tidak mau
kalah. Para ahli bedah dan organisasinya bersaing dengan
para barber dalam mengobati penyakit yang sama. Dokter hanya
diperbolehkan untuk mengobati penyakit dalam. Ahli obat
meramu obat-obatan, tapi mereka harus membeli bahan-bahan
dari herbalis. Pada tahun 1540, Thomas Vicary membantu
menghentikan persaingan dan kebingungan ini dengan
Page 44
43
membuat raja menyetujui untuk mengeluarkan peraturan yang
menyatukan organisasi para barber dan ahli bedah. Peraturan
tersebut juga merinci tugas dari barber-ahli bedah, dokter,
dan herbalis (Bishop WJ, 1960). Selain dari mereka yang
memiliki izin yang sah untuk melakukan praktek, terdapat
para praktisi medis yang tidak memiliki ijin sah.
Meskipun mereka tidak memiliki pengalaman seperti barber-
ahli bedah dan pendidikan seperti dokter, dan beroperasi
secara ilegal, pada umumnya pemerintah membiarkan mereka,
sepanjang tidak membuat keributan (Bishop WJ, 1960;
Mazola R et al, 1997).
Pada abad ke-17, pengetahuan mengenai anatomi sudah lebih
jauh berkembang, sirkulasi darah telah ditemukan, dan
teknik amputasi sudah menggunakan flap (Bishop WJ, 1960).
Pada masa itu, pandangan masyarakat terhadap orang-orang
cacat sudah lebih simpatik. Penanganan terhadap kecacatan
bawaan seperti CTEV (Congenital Talipes Equino Varus) mulai
mendapat perhatian lebih.
Pandangan masyarakat yang seperti inilah yang
membuat Nicholas Andre, seorang profesor kedokteran di
Universitas Paris, mempublikasikan buku teks pertama
Page 45
44
mengenai pencegahan dan penanganan kecacatan
muskuloskeletal pada anak-anak. Judul bukunya, L’Orthopedie,
menggabungkan dua kata Yunani Kuno : orthos (bebas dari
kecacatan) dan paideia (anak) (Weinstein SL, Buckwalter JA,
1994; Strach EH, 1986). Buku tersebut, diterbitkan tahun
1741, kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris, Belgia,
dan Jerman, yang menyebarkan teknik-teknik Andre ke
seluruh dunia (Weinstein SL, Buckwalter JA, 1994). Andre
menggunakan teknik-teknik seperti latihan, manipulasi,
dan bebat untuk mengoreksi kecacatan, dan menganjurkan
pemberian obat-obatan untuk melemaskan tendon dan otot.
Andre menganalogikan tekniknya dalam mengobati kecacatan
dengan teknik yang digunakan untuk meluruskan pohon yang
masih muda. Ilustrasi tersebut menjadi logo untuk
ortopedi, yang digunakan hingga saat ini (Weinstein SL,
Buckwalter JA, 1994; Strach EH, 1986).
Perhatian yang baru terhadap pengobatan muskuloskeletal
dan kecacatan anak ini secara finansial menguntungkan
bagi barber, ahli bedah, dan profesi dukun patah tulang
lainnya. Mereka menggunakan bahan-bahan tertentu untuk
Page 46
45
mengimobilisasi tungkai yang mengalami kecacatan (Strach
EH, 1986).
Pada abad ke-18, dibukalah rumah sakit ortopedi yang
pertama. Pendiri rumah sakit tersebut, Jean Andre Veneal,
mengembangkan sepatu khusus penderita CTEV, dan
mengembangkan teknik-teknik untuk mengobati kelainan
tulang belakang (Strach EH, 1986).
Beberapa faktor yang terjadi pada abad ke-18 hingga
19 memberi pengaruh pada transisi dari dukun patah tulang
menjadi ahli bedah ortopedi masa ini. Riset yang
dilakukan oleh John Hunter mengenai penyembuhan tendon
membuka jalan bagi operasi tendon (Strach EH, 1986).
Wilhelm Konrad Roentgen menemukan X-Ray yang dapat
memotret tulang. Teknik antiseptik dan anestesi membuat
tindakan-tindakan bedah menjadi lebih aman untuk
dilakukan (Green SA,1999). Akan tetapi, orthopedi tetap
berfokus pada mengobati kelainan muskuloskeletal pada
anak-anak hingga tahun 1890-an.
Evan Thomas adalah seorang dukun patah tulang yang
terkenal di Liverpool. Meskipun prakteknya sangat sukses,
dia tidak diperbolehkan menduduki posisi di rumah sakit
Page 47
46
karena dia bukan dokter. Thomas berkeras agar anaknya,
Hugh Owen Thomas, kuliah kedokteran. Thomas Jr kemudian
tertarik pada ortopedi dan bergabung dengan praktek
ayahnya, berfokus pada kecacatan anak-anak. Saat
kesehatan Evan semakin menurun, Hugh mempelajari teknik-
teknik dalam meluruskan tulang untuk melanjutkan praktek
ayahnya (Green SA,1999). Thomas kemudian menjadi terkenal
atas usahanya sendiri, mengembangkan bebat Thomas, yang
masih digunakan hingga sekarang (Green SA,1999; Sir Jones
R, 1997). Thomas meyakinkan keponakannya, Robert Jones,
untuk kuliah kedokteran dan bergabung dalam prakteknya.
Setelah lulus, Jones menjadi anak didiknya, dan
menggantikan prakteknya setelah Thomas meninggal karena
penyakit paru-paru. Pendidikan, pengalaman, dan lokasi
praktek Jones menjadikannya kandidat ideal dalam mengisi
posisi sebagai ahli bedah untuk proyek pembangunan Kanal
Kapal Manchester (Green SA,1999; Sir Jones R, 1997).
Kanal ini menghubungkan pelabuhan Liverpool dengan pusat
galangan di Manchester. Jones mendirikan pusat bedah di
sepanjang kanal untuk menangani cedera yang dialami oleh
20.000 pekerjanya. Proyek ini menjadikannya mahir dalam
Page 48
47
menangani fraktur. Dokter-dokter dari seluruh dunia yang
singgah di Liverpool akan berkunjung ke klinik milik
Jones untuk mempelajari teknik-tekniknya (Green SA,1999).
Saat Perang Dunia I meletus, Jones mengepalai para
ahli bedah yang mengobati
cedera yang dialami prajurit. Dia kemudian diberi gelar
bangsawan atas jasanya saat peperangan. Setelah perang,
Jones berperan dalam didirikannya beberapa rumah sakit
ortopedi untuk anak-anak dan mendirikan British Orthopaedic
Association pada tahun 1918 (Green SA,1999; Sir Jones R,
1997).
Para ahli bedah ortopedi saat ini telah berkembang
begitu jauh. Berbagai teknik
dikembangkan dalam menangani permasalahan tulang, tulang
rawan, sendi, tendon, ligamen, dan saraf. Berbeda dengan
dukun patah tulang dan ahli bedah zaman dahulu, ahli
bedah ortopedi saat ini dibekali dengan pendidikan dan
pengalaman yang cukup untuk memberikan pelayanan
berkualitas kepada pasien-pasiennya (Weinstein SL,
Buckwalter JA, 1994). Akan tetapi, pada negara-negara
berkembang, di mana akses ke fasilitas kesehatan masih
Page 49
48
jarang, dukun patah tulang adalah yang pertama kali
didatangi oleh pasien saat mereka mengalami cedera.
Bahkan WHO telah mendanai pelatihan untuk para dukun
tulang di Amerika Selatan dan Afrika. Dukun patah tulang
mengisi kekosongan yang tidak dapat dipenuhi oleh
keterbatasan jumlah ahli bedah ortopedi dan fasilitas
kesehatan, seperti halnya di Indonesia (Green SA,1999).
Pengobatan patah tulang tradisional memiliki kelebihan
dan kekurangan sendiri. Dengan kondisi sosioekonomi
sekarang dan jenis pelayanan kesehatan yang saat ini
dibutuhkan di negara- negara berkemban sulit untuk serta
merta melarang pengobatan patah tulang tradisional.
Komunitas dukun patah tulang telah menyebar luas dan
diterima serta didukung di dalam masyarkat. Selam
perkembangan infrastruktur dan sosioekonomi masih belum
mencukupi, dukun patah tulang sebagai pilihan utama
penyedia jasa kesehatan patah tulang. Methodologi mereka
menggunakan sumber daya daerah setempat dan dipercaya
lebih murah serta efektif. Walaupun telah ditunjukkan
kekurangan-kekurangan dalam praktek dukun patah tulang
tradisional, mereka akan dapat menjadi penyedia pelayanan
Page 50
49
kesehatan tingkat primer yang berguna. (Agarwal Anil and
Agarwal Rachna, 2010)
2.7 Gambaran Bonesetter di Indonesia
Menurut Handayani, dkk (2001) hampir semua grup
etnis di Indonesia memiliki dukun patah tulang-nya
masing-masing. Mereka berpraktek tidak hanya di daerah
pedesaan, namun juga di perkotaan. Praktek mereka
didasari pada konsep-konsep etnisitas di daerah masing-
masing. Di Jawa, dukun patah tulang dikenal dengan nama
‘sangkal putung’. Mereka sering mengobati berbagai macam
keluhan terkait dengan fraktur (komplit, inkomplit,
ataupun multipel), dislokasi, dan nyeri otot. Banyak
penderita lebih memilih datang ke dukun patah tulang
daripada ahli ortopedi, karena faktor biaya dan jarak
dari tempat tinggal yang lebih mudah dijangkau, selain
juga untuk menghindari prosedur bedah yang invasif.
Dari berbagai macam teknik dukun patah tulang,
sebagian benar-benar bersifat tradisional, sebagian ada
juga yang menggabungkan unsur tradisional dengan teknik-
teknik modern. Prosedur pengobatan oleh dukun patah
tulang adalah sebagai berikut: Mantra tertentu dirapalkan
Page 51
50
kepada pasien, atau memberikan minuman yang telah diberi
mantra. Beberapa praktisi dukun patah tulang menggunakan
benda-benda tertentu yang dianggap memiliki kekuatan,
seperti batu atau keris. Pasien kemudian diminta untuk
meminum air yang telah dicelupi benda-benda tersebut.
Mereka meyakini bahwa, melalui media air, mantra / doa
atau benda-benda dapat membantu menyembuhkan penyakit
pasien. dukun patah tulang tidak menanyakan banyak
pertanyaan kepada pasien. Hanya dengan mengobservasi dan
menyentuh fraktur, dukun patah tulang mengidentifikasi
permasalahannya (diagnosa). Banyak praktisi dukun patah
tulang mengatakan bahwa firasat merekalah yang menuntun
mereka dalam menentukan permasalahan penyakit, dan cara
menanganinya. Untuk meyakinkan pasien dan keluarganya
mengenai diagnosanya, dukun patah tulang seringkali
menggunakan simbol-simbol tertentu. Sebagai contoh, untuk
menunjukkan fraktur atau tidaknya tulang, dukun patah
tulang mengupas pisang, dan apabila ditemukan pisang itu
rusak, berarti tulang pasien tersebut mengalami fraktur.
Beberapa dukun patah tulang menggunakan teknik modern,
seperti X-Ray. dukun patah tulang lainnya, terutama yang
Page 52
51
berdomisili di perkotaan, menangani fraktur menggunakan
teknik dan obat-obatan modern, seperti betadine, rivanol,
alkohol, kasa steril, dan perban. Pasien dengan fraktur
terbuka dirujuk ke pusat kesehatan setempat. Beberapa
dukun patah tulang bahkan memiliki ikatan kerjasama
informal dengan perawat-perawat yang berpraktek di
daerahnya.
Cara pengobatan tiap dukun patah tulang berbeda-
beda, dalam arti bagaimana mereka mengekspresikan
kekuatan magis atau supernatural mereka, misalnya melalui
jimat, minyak khusus, atau air khusus. Proses diagnosa
dan terapi terjadi secara bersamaan. Contohnya, dengan
merapalkan mantra / doa, dukun patah tulang mendiagnosa
sekaligus menyembuhkan tulang yang patah. Dislokasi sendi
ditangani dengan cara menekan, menarik, dan memijat
daerah yang sakit. Cara menangani permasalahan tergantung
dari kasus-kasus tiap orang.
Untuk menyembuhkan fraktur, area sekitar fraktur
pertama-tama dipijat terlebih dahulu untuk membuat otot-
otot rileks. Kemudian tulang direposisi dengan benar.
Langkah ini diikuti dengan terus menerus memijat area
Page 53
52
sekitar fraktur menggunakan minyak khusus. Selama proses
terapi, pasien diminta untuk menggerakkan bagian yang
cedera, yang selanjutnya ditekan lagi oleh dukun patah
tulang. Material yang digunakan untuk fiksasi antara lain
karton, bagian keras dari daun pisang, bambu atau kayu,
namun ada sebagian dukun patah tulang yang menggunakan
plester elastis.
Apapun material yang digunakan, fiksator dibuka tiap
tiga atau empat kali untuk mengevaluasi penyambungannya.
Pasien kemudian dipijat lagi. Pasien yang menjalani rawat
inap dipijat tiap hari.
Efektivitas pengobatan tradisional ini lebih dinilai
dari segi kepuasan pasien dan keluarganya. Dukungan
psikologi juga dipandang penting. Seorang pasien dianggap
sembuh apabila dia dapat menggerakkan bagian yang cedera
atau dapat berjalan, meskipun dengan kesakitan. Akan
tetapi, beberapa dukun patah tulang mendefinisikan
kesembuhan sebagai kemampuan untuk beraktivitas secara
normal. Derajat kesembuhan dapat dinilai dengan meminta
pasien untuk mengangkat beban; tidak timbulnya rasa sakit
menandakan kesembuhan (Handayani dkk, 2001).
Page 54
Neglected Fracture
Rekam Medis
Kelas Pelayanan
Jumlah Pasien
Umur Jenis Kelamin
Lokasi anatomis Fraktur
Jenis Komplikasi
53
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL
3.1 Kerangka Konseptual
3.2 Hipotesis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif sehingga tidak
memerlukan hipotesis penelitian.
Page 55
54
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian
observasional deskriptif untuk mengetahui spektrum dari
penderita neglected fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada
periode Januari 2012- Desember 2013(Gambar 4.1 Rancangan
Penelitian). Seluruh anggota populasi penderita neglected
fracture di RSUD dr Abdoer Rahem pada periode Januari 2012-
Desember 2013 dijadikan sebagai sampel (total sampling) dan
dihitung: jumlah penderita; frekuensi dan distribusi
berdasarkan jenis kelamin; frekuensi dan distribusi
berdasarkan usia; frekuensi dan distribusi berdasarkan
lokasi anatomis; frekuensi dan distribusi berdasarkan
komplikasi yang terjadi; serta frekuensi dan distribusi
berdasarkan kelas pelayanan.
4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik
Pengambilan Sampel
Page 56
55
Populasi di dalam penelitian ini adalah semua penderita
neglected fracture pada periode Januari 2012- Desember 2013
yang yang dioperasi di OK Ruang Bedah Pusat RSU Dr.Abdoer
Rahem dan memiliki rekam medis yang tercatat di dalam
Sistem Informasi Managemen RSUD dr.Abdoer Rahem Situbondo
dengan jenis fraktur, jenis kelamin, usia, tingkat
pendidikan, komplikasi dan status ekonomi yang dilihat
dari kelas pelayanan yang tercatat dengan jelas di rekam
medis.
Sampel di dalam penelitian ini adalah semua
penderita neglected fracture pada periode Januari 2012-
Desember 2013 yang dioperasi di OK Ruang Bedah Pusat RSU
Dr.Abdoer Rahem dan memiliki rekam medis yang tercatat di
dalam Sistem Informasi Managemen RSUD dr.Abdoer Rahem
Situbondo dengan jenis fraktur, jenis kelamin, usia,
tingkat pendidikan, komplikasi dan kelas pelayanan yang
tercatat dengan jelas di rekam medis.
Besar sampel yang digunakan di dalam penelitian ini
adalah semua penderita neglected fracture pada periode Januari
2012- Desember 2013 yang menjalani operasi dan memiliki
rekam medis yang tercatat di dalam Sistem Informasi
Page 57
56
Managemen RSUD dr.Abdoer Rahem Situbondo dengan jenis
fraktur, jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan,
komplikasi dan kelas pelayanan yang tercatat dengan jelas
di rekam medis. Teknik pengambilan sampel yang digunakan
di dalam penelitian ini adalah total sampling.
4.3 Variabel Penelitian
Variabel-variabel yang akan diteliti dalam
penelitian ini adalah:
1. Jumlah
2. Jenis fraktur
3. Jenis kelamin
4. Usia
5. Jenis komplikasi
6. Kelas pelayanan
4.4 Batasan Operasional Variabel
Variabel-variabel yang akan diteliti dalam
penelitian ini adalah:
1. Jumlah.
1) Definisi operasional: bilangan yang menyatakan
kuantitas dari penderita.
Page 58
57
2) Indikator: kuantitas rekam medis.
3) Kriteria hasil: hasil diukur dalam satuan orang.
4) Skala data: rasio.
2. Jenis komplikasi
1) Definisi operasional: jenis fraktur yang diderita
berdasarkan diagnosis dokter spesialis orthopaedi
2) Indikator: catatan di rekam medis.
3) Kriteria hasil: hasil adalah lokasi anatomi
terjadinya fraktur
4) Skala data: nominal.
3. Jenis kelamin
1) Definisi operasional: status sebagai pria atau
perempuan yang diakui seseorang pada saat
pemeriksaan dilakukan.
2) Indikator: catatan di rekam medis.
3) Kriteria hasil: hasil adalah pria atau perempuan.
4) Skala data: nominal.
4. Usia
1) Definisi operasional: waktu yang telah dilalui
seseorang mulai lahir sampai saat pemeriksaan
dilakukan.
Page 59
58
2) Indikator: catatan di rekam medis.
3) Kriteria hasil: hasil diukur dalam satuan tahun.
4) Skala data: rasio.
5. Kelas pelayanan
1) Definisi operasional: kelas ruangan dimana
seseorang dirawat.
2) Indikator: catatan di rekam medis.
3) Kriteria hasil: hasil adalah kelas I, kelas II
atau kelas III.
4) Skala data: ordinal.
4.5 Teknik Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dengan cara observasi rekam medis.
4.6 Lokasi dan Jadwal Penelitian
Lokasi penelitian adalah RSU dr Abdoer Rahem
Situbondo.
Jadwal penelitian adalah bulan Juni sampai dengan
Desember 2013.
4.7 Rancangan Analisis Data
Data dikumpulkan dan dianalisis secara deskriptif.