KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MENCUCI SAYURAN DENGAN ADANYA TELUR CACING PADA AIR BEKAS PENCUCI SAYURAN DI WARUNG LESEHAN KOTA YOGYAKARTA KaryaTulis Ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ahli Madya Analis Kesehatan Diajukan oleh : ALVIYATUN NIM : P 07134109002
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KARYA TULIS ILMIAH
HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MENCUCI SAYURAN DENGAN ADANYA TELUR CACING PADA AIR BEKAS PENCUCI SAYURAN
DI WARUNG LESEHAN KOTA YOGYAKARTA
KaryaTulis Ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ahli Madya Analis
Kesehatan
Diajukan oleh :ALVIYATUN
NIM : P 07134109002
Kementerian Kesehatan Republik IndonesiaPoliteknik Kesehatan Yogyakarta
Jurusan Analis Kesehatan2011
KARYA TULIS ILMIAH
HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MENCUCI SAYURAN DENGAN ADANYA TELUR CACING PADA AIR BEKAS PENCUCI SAYURAN
DI WARUNG LESEHAN KOTA YOGYAKARTA
Karya Tulis Ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ahli Madya Analis
Kesehatan
Diajukan oleh :
ALVIYATUNNIM : P 07134109002
Kementerian Kesehatan Republik IndonesiaPoliteknik Kesehatan Yogyakarta
Jurusan Analis Kesehatan2011
KARYA TULIS ILMIAH
Hubungan Antara Kebiasaan Mencuci Sayuran Dengan Adanya Telur Cacing Pada Air Bekas Pencuci Sayuran Di Warung Lesehan Kota Yogyakarta
Disusun oleh :
ALVIYATUNNIM. P 07134109002
Telah dipertahankan di depan Dewan PengujiPada Tanggal : 7 Februari 2011
BAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang................................................................................1B. Rumusan Masalah...........................................................................5C. Tujuan Penelitian.............................................................................5D. Ruang Lingkup................................................................................6E. Manfaat Penelitian...........................................................................6F. Keaslian Penelitian..........................................................................7
BAB II TINJAUAN PUSTAKAA. LandasanTeori................................................................................9
1. Pengertian..................................................................................92. Etiologi.......................................................................................93. Klasifikasi................................................................................... 104. Morfologi dan Siklus Hidup........................................................ 10
5. Epidemiologi.............................................................................. 19 6. Cara Penularan.......................................................................... 237. Cara Pencegahan...................................................................... 258. Pemeriksaan Laboratorium........................................................ 26
a. Metode Pemusingan Sederhana............................................ 26b. Metode Pengendapan dan Pengapungan.............................. 26
B. Kerangka eori................................................................................. 27C. Kerangka Konsep........................................................................... 28D. Hipotesis......................................................................................... 28
v
BAB III METODE PENELITIANA. Jenis Penelitian............................................................................. 29B. Tempat dan Waktu Penelitian....................................................... 29C. Alur Penelitian............................................................................... 29D. Definisi Operasional Variabel....................................................... 30
1. Variabel Bebas......................................................................... 302. Variabel Terikat........................................................................ 303. Variabel Pengganggu............................................................... 30
E. Populasi dan Sampel.................................................................... 31F. Alat dan Bahan.............................................................................. 32G. Cara Kerja..................................................................................... 33H. Prosedur Pengumpulan Data........................................................ 34I. Pengolahan dan Analisis Data...................................................... 34 1. Analisis Deskritif........................................................................ 34 2. Analisis Statistik........................................................................ 35
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASANA. Hasil Penelitian..............................................................................36B. Pembahasan.................................................................................40
BAB V KESIMPULAN DAN SARANA. Kesimpulan....................................................................................45B. Saran.............................................................................................45
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 47
Lampiran 2. Data Cara Pencucian Lalapan Di Warung Lesehan................... 50
Lampiran 3. Hasil Pemeriksaan Telur Cacing Pada Air Bekas Pencuci Lalapan Di Warung Lesehan Wilayah Kecamatan Mantrijeron. . 51
Lampiran 4. Hasil Uji Statistik......................................................................... 52
Lampiran 5. Surat Ijin Penelitian Dari Dinas Perijinan Kotamadya Yogyakarta.................................................................................. 53
Lampiran 6. Surat Ijin Penelitian Dari Poltekkes Depkes JurusanAnalis Kesehatan Yogyakarta.................................................... 54
Latar Belakang : Kecacingan merupakan salah satu adanya mikroorganisme penyebab penyakit dari kelompok cacing ( helminth) yang membesar dan hidup dalam usus halus manusia. Penyakit kecacingan masih merupakan masalah besar atau masalah kesehatan masyarakat karena prevalensinya yang masih sangat tinggi yaitu kurang lebih antara 45-65%, bahkan di wilayah-wilayah tertentu yang sanitasinya buruk prevalensi kecacingan bisa mencapai 80%. Salah satu faktor yang mempengaruhi angka kecacingan adalah kebiasaan masyarakat mengkonsumsi sayuran mentah yang banyak disajikan sebagai lalapan di warung lesehan Kota Yogyakarta.
Tujuan Penelitian : untuk mengetahui cara pencucian lalapan pada pedagang warung lesehan ,mengetahui dan mengidentifikasi telur cacing pada air bekas pencuci sayuran, dan hubungan antara kebiasaan mencuci sayuran dengan adanya telur cacing pada air bekas pencuci sayuran di warung lesehan Kota Yogyakarta.
Metode Penelitian : bersifat observasional yang datanya dianalisis secara deskriptif dan analitik statistik. Lokasi penelitian di warung lesehan wilayah kecamatan Mantrijeron Yogyakarta, dengan populasi sebanyak 25 warung lesehan dan jumlah sampel diambil secara acak sebanyak 15 warung lesehan. Analisis data menggunakan uji Chi-square dan uji Kontingensi Koefisien untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat.
Hasil : hasil pemeriksaan telur cacing pada air bekas pencuci sayuran didapatkan 33,33% positif pada pencucian 1 kali dan 6,67% positif pada frekuensi pencucian pencucian 2 kali, serta 100% negatif pada frekuensi pencucian tiga kali.
Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan mencuci sayuran dengan adanya telur cacing pada air bekas pencuci sayuran di warung lesehan kota Yogyakarta.
Kata Kunci : Kebiasaan mencuci sayuran, telurcacing, warung lesehan.
x
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kecacingan merupakan salah satu adanya mikroorganisme
penyebab penyakit dari kelompok cacing ( helmint ) yang membesar dan
hidup dalam usus halus manusia. Cacing ini terutama tumbuh dan
berkembang pada penduduk di daerah yang beriklim panas dan lembab
dengan sanitasi buruk. Biasanya penyakit ini banyak menyerang pada anak-
anak. Cacing-cacing tersebut adalah cacing gelang, cacing tambang, cacing
cambuk dan cacing pita (http: // www.arali 2008.wordpress.com).
Penyakit kecacingan masih merupakan masalah besar atau masalah
kesehatan masyarakat karena prevalensinya yang masih sangat tinggi yaitu
kurang lebih antara 45-65%, bahkan di wilayah-wilayah tertentu yang
sanitasinya buruk prevalensi kecacingan bisa mencapai 80% (http: //
www.arali2008.wordpress.com).
Berbagai faktor yang mendukung tingginya angka kesakitan
karena infeksi cacing perut di Indonesia adalah letak geografik Indonesia di
daerah tropis yang mempunyai iklim yang panas akan tetapi lembab,
memungkinkan cacing perut dapat berkembang biak dengan baik. Banyak
penduduk Indonesia yang masih berpendidikan rendah, sehingga
pengetahuan tentang cara untuk hidup bersih dan sehat dengan menjaga
kebersihan perseorangan dan kebersihan makanan dan minuman belum
dipahami dengan baik. Banyak keluarga yang tidak memiliki jamban
keluarga, sehingga mereka membuang kotoran di sembarang tempat misal di
kebun atau selokan terbuka, sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan
5. Larva menginvasi mukosa usus ,lalu terbawa aliran darah portal ke paru-paru.
6. Larva mature menuju ke paru-paru, penetrasi pada dinding alveoli, ke cabang bronchi, kerongkongan dan selanjutnya tertelan. Setelah mencapai usus, berkembang menjadi dewasa.
b. Trichuris trichiura
Cacing dewasa betina panjangnya kira-kira 5 cm, cacing jantan kira-
kira 4 cm. Bagian anterior seperti cambuk, panjang kira-kira 3/5 dari
panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk, pada
cacing betina bentuknya membulat tumpul dan pada cacing jantan
melingkar dan terdapat satu spikulum.Cacing dewasa hidupnya di kolon
asendens dan sekum dengan bagian anteriornya yang seperti cambuk
masuk ke dalam mukosa usus. Sekor cacing betina diperkirakan
Keterangan gambar menurut Ideham,2007, siklus hidup Trichuris trichiura
adalah :
1. Siklus hidup cacing ini sederhana, telur tidak mengandung embrio (tidak bersegmen) dihasilkan oleh cacing betina,akan keluar bersama tinja.
2. Di dalam tanah telur berkembang dan mengandung dua sel3. Selanjutnya membelah menjadi multiseluler4. Menjadi embrio. Telur menjadi infektif dalam waktu 15-30 hari bila kondisi
di sekitar sesuai untuk perkembangannya. Telur infektif tertelan manusia, larva menjadi aktif keluar melalui dinding telur yang sudah rapuh dan menetas di dalam usus halus.
5. Larva menuju usus halus bagian proksimal dan menembus vili-vili usus, dan menetap selama 3-10 hari di dekat Kripta Lieberkuhn.Setelah dewasa turun ke bawah ke daerah sekum dan kolon.
6. Cacing dewasa habitatnya pada sekum dan kolon asenden. Adanya struktur yang seperti ujung tombak pada bagian anterior membantu cacing menembus dan menempatkan bagian anterior yang seperti cambuk ke dalam mukosa usus tempat cacing mengambil makanan.Masa pertumbuhan dari telur sampai dewasa yang menghasilkan telur memerlukan waktu 30-90 hari.
c. Enterobius vermicularis
Cacing betina berukuran 8 -13 mm x 0,4 mm. Pada ujung anterior
ada pelebaran kutikula seperti sayap yang disebut alae. Bulbus esophagus
jelas sekali, ekornya panjang dan runcing.Uterus cacing yang gravid melebar
dan penuh dengan telur. Cacing betina gravid mengandung 11.000 – 15.000
butir telur. Telur berbentuk lonjong dan lebih datar pada satu sisi
(asimetrik).Dinding telur bening dan agak lebih tebal dari dinding telur cacing
tambang. Telur matang dalam waktu 6 jam setelah dikeluarkan pada suhu
badan, dan resisten terhadap desinfektan dan udara dingin
(Gandahusada;Ilahude;Pribadi,1998).
Cacing jantan berukuran 2-5 mm, mempunyai sayap dan ekornya
melingkar sehingga bentuknya seperti tanda tanya (?), spikulum pada ekor
5. Cacing betina gravid migrasi pada malam hari ke anus dan meletakkan telurnya di lipatan perianal. Telur berisi larva , menjadi infektif dalam 4-6 jam pada kondisi optimal.
d. Strongiloides stercoralis
Cacing betina berbentuk filiform, halus, tidak berwarna dan
panjangnya kira-kira 2 mm. Hanya cacing dewasa betina yang hidup
sebagai parasit di vilus duodenum dan jejunum. Bentuk rabditiformnya
berukuran kira-kira 225 x 16 mikron, dan bentuk infektifnya ( filariform )
berukuran kira-kira 700 mikron (Gandahusada;Ilahude;Pribadi,1998).
Gambar 4 . Siklus Hidup :Strongiloides stercoralis(http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Strongiloides.htm)
Keterangan gambar menurut Ideham, 2007, siklus hidup Strongiloides
stercoralis adalah :
a. Siklus free living :1. Larva rhabditiform keluar ke lingkungan luar bersama tinja.
2. Mengalami pergantian kulit sebanyak 4 kali dan menjadi cacing dewasa jantan dan betina free living, atau mengalami pergantian kulit (molting) dua kali dan menjadi larva rhabditiform yang infektif pada manusia (perkembangan langsung) (no.6).
3. Proses kopulasi dan menghasilkan telur.4. Menetas menjadi larva rhabditiform.5. Larva berkembang menjadi generasi baru cacing dewasa free living
(seperti gambar no.2) atau 6. menjadi larva filariform yang infektif . Larva menembus kulit manusia
untuk mengawali siklus parasitik.b. Siklus parasitik :7. Larva filariform yang mengkontaminasi tanah dan menginfeksi
manusia melalui kulit, selanjutnya ikut aliran darah ke paru-paru dan menembus alveoli paru,ke percabangan bronki ke faring, tertelan dan selanjutnya ke usus halus.
8. Pada usus halus akan mengalami 2 kali pergantian kulit menjadi dewasa.
9. Cacing betina habitatnya pada epitel usus halus dan memproduksi telur secara partenogenesis.
10. Selanjutnya menjadi larva rhabditiform dan keluar bersama tinja (1) lihat siklus free living atau dapat menyebabkan autoinfeksi.
c. Siklus AutoinfeksiSelama di dalam saluran pencernaan hospes, larva rhabditiform
mengalami dua kali pergantian kulit menjadi larva filariform yang infektif dan menembus mukosa usus halus (internal autoinfection) atau melalui kulit di daerah perianal (external autoinfection). Larva filariform melalui sirkulasi darah ke paru-paru, percabangan bronki, faring dan di usus halus menjadi cacing dewasa, tanpa meninggalkan tubuh hospes.
e. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus ( Ideham,2007 )
Ancylostoma duodenale mempunyai ukuran kecil, relatife gemuk,
gilig/silindris, bagian anterior lebih langsing, bagian servikal melengkung
kea rah dorsal-anterior sehingga tampak seperti huruf C. Cacing hidup
berwarna coklat muda atau merah muda keputihan. Cacing jantan
panjangnya 8- 11 mm, diameter 0,4-0,5 mm dan betina panjangnya 10-
13 mm dengan diameter 0,6 mm.
Necator americanus berbentuk gilig, ujung posterior menekuk
kearah dorsal sehingga tampak seperti huruf S. Buccal capsule terdapat
bentukan semilunar cutting plate (digunakan untuk membedakan dengan
17
Ancylostoma duodenale). Cacing dewasa jantan berukuran 7-9 mm,
diameter 0,3 mm. Cacing betina 9-11 mm dengan diameter 0,4 mm.
Bursa copulatric cacing panjang dan lebar.
Telur Necator americanus dan Ancylostoma duodenale secara
morfologi sukar dibedakan, berdinding tipis dan mengandung 2-8 sel,
ukuran 60x40 µ.Cacing betina memproduksi telur sebanyak 25.000-
30.000 perhari.
Gambar 5.Siklus hidup Hookworm
(http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Hookworm.htm)
Keterangan gambar menurut Ideham,2007 siklus hidup hookworm
adalah :
1. Telur yang dihasilkan oleh cacing keluar bersama tinja.2. Bila kondisi lingkungan optimal (lembab, hangat, teduh) larva
menetas dalam 1-2 hari.3. Setelah 5-10 hari larva mengalami dua kali pergantian kulit
selanjutnya menjadi larva filariform yang merupakan stadium infektif.
4. Jika kontak dengan hospes manusia larva filariform (L-3) masuk melalui sela-sela jari kaki atau bagian lateral punggung kaki, dan pada petani melalui tangan. Larva menembus kulit atau melalui
folikel rambut dengan melepaskan kutikulanya. Larva masuk ke subkutandan mencapai vena-vena kecil superfisial, melalui aliran darah ke jantung dan paru-paru. Larva menembus alveoli pulmonum, percabangan bronki, ke faring dan tertelan.
5. Setelah mencapai usus halus mengalami pergantian kulit dan menjadi larva stadium 4 (L-4) dan menjadi dewasa jantan dan betina. Diperlukan waktu 5 minggu atau lebih, dari infeksi L-3 sampai menjadi dewasa yang menghasilkan telur. Cacing dewasa dapat menetap 1-2 tahun atau lebih.
5. Epidemiologi
Secara deskriptif Epidemiology, SoilTransmitted Helminth biasa hidup
di daerah beriklim sedang dan perbedaannya hanya terletak pada jenis
species dan beratnya penyakit yang ditimbulkan.Misalnya :Trichuris sp bila di
daerah yang beriklim sedang menimbulkan penyakit yang jauh lebih berat
dibandingkan bila berada di daerah tropis. Hal yang sama dapat pula
ditemukan pada infeksi dengan Ascaris lumbricoides yang jarang
menimbulkan kasus berat di daerah tropis (Sandjaja, 2008 ).
Menurut Sandjaja,2007, secara Analitycal Epidemiologi dikenal
beberapa faktor yang mempengaruhi EpidemiologiSoil Transmitted Helminth.
Faktor-faktor tersebut diantaranya :
a. Tanah
Dikenal tiga jenis tanah, yaitu pasir (sand) berdiameter 0.05-2 mm,
lumpur (sailt) berdiameter 0.05-0.02 mm, tanah liat (clay) berdiameter
0.02mm-2. Stadium dari Hookworm yang infeksius adalah
larvanya.Larva ini lebih mudah bergerak di pasir daripada di tanah liat,
sebab diameter pasir lebih besar sehingga larva ini lebih mudah
19
menyelinap diantara partikel pasir. Oleh karena itu Hookwormakan hidup
lebih baik di tanah yang berpasir.
Ascaris lumbricoides,Trichuris trichiura tumbuh lebih baik di tanah
liat karena kelembaban tanah jenis ini sangat cocok.Karakteristik ketiga
jenis tanah yang juga menguntungkan pertumbuhan dan perkembangan
telur cacing adalah berat jenis masing-masing jenis tanah. Berat jenis
pasir paling besar, ia akan tenggelam di air, oleh karena itu biasa
ditemukan di dasar sungai. Sailt berat jenisnya sama dengan air, maka
akan melayang-layang di air. Sedangkan berat jenis clay lebih kecil
daripada air sehingga terdapat di lapisan atas air sungai. Berat jenis
Ascaris lumbricoides,Trichuris trichiura sama dengan berat jenis air, oleh
karena itu akan bersama-sama dengan sailt bila telur tadi jatuh di sungai.
Dengan keadaan seperti ini, maka telur-telur di dalam sungai akan
terlindungi dari sinar matahari.
b. Curah hujan
Curah hujan sangat besar kaitannya dengan kelembaban. Pada
permulaan musim penghujan, arus air yang ditimbulkannya masih lambat.
Arus air lambat ini merupakan perangsang bagi larva Hookworm untuk
bergerak menentang arus. Bila arus air meresap ke dalam pasir, maka
larva Hookwormakan bergerak ke permukaan tanah dan mempermudah
terjadinya infeksi. Bila curah hujan menjadi sedemikian besar akan
menyapu seluruh larva di pasir masuk jauh ke dalam tanah. Hal inilah
yang menerangkan mengapa di permulaan musim penghujan, penularan
Hookworm lebih tinggi daripada saat musim hujan.
c. Suhu udara
20
Suhu paling tinggi yang masih dapat ditahan oleh larva cacing
adalah 450C. Suhu optimum bagi Ascaris lumbricoides dan Trichuris
trichiura adalah 200-250C sedangkan untuk Hookworm 250-300C. Larva
Hookworm mempunyai daya thermotaxis yaitu selalu bergerak ke suhu
yang lebih tinggi, walaupun suhu tersebut 1000C dapat membunuhnya.
Faktor curah hujan dan suhu udara berkolerasi erat dengan periode
transmisi penyakit cacing tambang.Transmisi yang terbaik terjadi pada
masa musim penghujan dengan suhu udara tinggi.
d. Kadar Oksigen
Baik Hookworm maupun Ascaris lumbricoides dan Trichuris
trichiura membutuhkan kadar oksigen dalam air sekitar 1,8 ppm untuk
pertumbuhannya. Jika orang buang air besar di air, maka oksigen dalam
air cukup untuk pertumbuhan telur cacing, sebaliknya bila buang air besar
di septic tank tidak banyak mengandung oksigen, telur cacing akan
segera mati.
e. Angin dan sinar matahari
Angin yang kencang membuat kelembaban berkurang bahkan
tanah menjadi kering dan hal ini kurang menguntungkan bagi
perkembangan larva Hookworm, sedangkan sinar matahari memberi
energi bagi pertumbuhan telur dan larva Hookworm.Sinar matahari terik
membuat suhu meningkat menyebabkan larva Hookworm naik ke
permukaan tanah karena daya thermotaxis dan mempermudah
21
penularan; namun sinar matahari yang terlalu terik akan membakar larva
Hookworm.
Larva Hookworm yang keluar dari telur setelah hari ke lima
bergerak aktif dan lebih menyukai tempat yang lembab, misalnya humus,
tanah gembur, atau pasir. Mereka suka tempat yang teduh yang tidak
terkena sinar matahari tetapi cukup hangat. Di tempat yang terlalu becek
larva akan mati karena tidak dapat bernafas (Djuanda,1980).
f. Vegetasi
Vegetasi adalah masyarakat tumbuhan yang terbentuk oleh
populasi jenis tumbuhan yang terdapat di dalam satu wilayah atau
ekosistem serta memiliki variasi pada setiap kondisi tertentu (Fahrul.,
2007).
Akar tanaman merupakan sarana yang lembab dan mampu
menarik larva hookworm untuk bermigrasi ke daun.Sedangkan untuk
Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura ada kolerasi yang erat antara
curah hujan, vegetasi, dan frekuensi kecacingan terutama di daerah-
daerah yang menggunakan tinja sebagai pupuk.Adanya tinja yang
berdekatan dengan tanaman dan adanya air hujan, menyebabkan
larutnya tinja dan membawa telur cacing untuk melekat di daun. Infeksi
terjadi bila orang memakan sayur atau daun tanaman mentah
(Sandjaja,2007).
Sayuran umumnya dikonsumsi dalam bentuk sudah dimasak,
namun banyak pula yang dikonsumsi dalam bentuk mentah sebagai
lalapan.Penyajian lalapan mentah relative mudah dan tidak memerlukan
banyak waktu. Lalapan mentah mempunyai cita rasa khas yang mungkin
22
tidak tertandingi oleh lalapan masak (www.mail.archive.com/../msg
09754.html).
g. Bahan kimia dan Derajat keasaman
Derajat keasaman sebesar 11,5 sudah dapat merusak telur
cacing, tetapi NaOH yang membuat pH 9,0 juga dapat merusak telur
cacing. Air yang mengandung NaCl 150.000 ppm cukup untuk mematikan
telur Hookworm (Sandjaja,2007)
6. Cara Penularan
Cara penularan Hookworm ( Sandjaja,2007) yaitu :
a. Melalui tanah dan transmisi ke manusia melalui kulit dan mukosa.
b. Melalui makanan yang terkontaminasi dengan tanah, kotoran hewan, dan
kotoran manusia.
c. Melalui sayuran yang terkontaminasi dengan larva infeksius.
d. Melalui makanan yang terkontaminasi serangga pembawa larva, misalnya
lalat.
e. Pernah dilaporkan trasmisi secara prenatal dan secara transmammary.
f. Pernah dilaporkan juga penularan melalui daging yang dimakan.
g. Liekianjoe pernah menemukan telur dan larva bersama-sama di mukosa
usus (penularan secara auto infeksi).
Menurut Sandjaja (2007) cara penularan Ascaris lumbricoides dan
Trichuris trichiura :
a. Sumber penularan paling sering adalah sayuran.
Bahwa rata-rata ditemukan 1,44 telur perspesimen sayur atau 42,8 %
sayuran mengandung telur Ascaris lumbricoides. Lebih jauh dikatakan