KRITIK MODERNISASI PERTANIAN ORDE BARU PANDANGAN MAJALAH TRUBUS (1969-1978) APRILIA DAN KASIJANTO PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH, FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA, UNIVERSITAS INDONESIA [email protected]Abstrak Skripsi ini membahas pandangan kritis Majalah Trubus mengenai modernisasi pertanian pada masa Orde Baru. Modernisasi pertanian tersebut mencakup tiga kebijakan diantaranya intensifikasi, ekstensifikasi dan mekanisasi pertanian. Trubus memandang bahwa modernisasi pertanian tersebut memang sudah berhasil mengantarkan Indonesia berswasembada beras pada tahun 1984, namun sayangnya beberapa hal tidak diperhatikan oleh pemerintah salah satunya adalah kehidupan para petani. Oleh karena itu, skripsi ini menampilkan pandangan kritis Trubus sebagai bentuk kontrol terhadap kebijakan modernisasi pertanian Orde Baru yang dimuat dalam artikel yang terdapat pada rubrik pertanian Trubus. Melalui pengkajian terhadap sumber tertulis seperti majalah, surat kabar dan wawancara dapat menunjukan bagaimana Trubus mengkritisi upaya modernisasi tersebut. Kata kunci : Majalah Trubus; modernisasi pertanian Orde Baru; Pandangan kritis. Abstract This thesis discusses a critical Trubus Magazine about agricultural modernization in New Order Era. The agricultural modernization includes three policies including intensification, extensification and agricultural mechanization. Trubus magazine considers that agricultural modernization is already successfully delivering Indonesia to self-sufficient in rice in 1984, but unfortunately some things are not considered by the government which one is about life of the farmers. Therefore, this thesis showing a critical view as a form of control on agricultural modernization policies of the New Order Era, published in the article contained in Trubus agriculture rubrics . Through assessment of written sources such as magazines , newspapers and interviews can show how Trubus criticized the agricultural modernization. Keywords : agricultural modernization in New Order Era; Critics; Trubus Magazine. Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015
17
Embed
KRITIK MODERNISASI PERTANIAN ORDE BARU PANDANGAN …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KRITIK MODERNISASI PERTANIAN ORDE BARU PANDANGAN MAJALAH TRUBUS (1969-1978)
APRILIA DAN KASIJANTO
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH, FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA, UNIVERSITAS INDONESIA
Skripsi ini membahas pandangan kritis Majalah Trubus mengenai modernisasi pertanian pada masa Orde Baru. Modernisasi pertanian tersebut mencakup tiga kebijakan diantaranya intensifikasi, ekstensifikasi dan mekanisasi pertanian. Trubus memandang bahwa modernisasi pertanian tersebut memang sudah berhasil mengantarkan Indonesia berswasembada beras pada tahun 1984, namun sayangnya beberapa hal tidak diperhatikan oleh pemerintah salah satunya adalah kehidupan para petani. Oleh karena itu, skripsi ini menampilkan pandangan kritis Trubus sebagai bentuk kontrol terhadap kebijakan modernisasi pertanian Orde Baru yang dimuat dalam artikel yang terdapat pada rubrik pertanian Trubus. Melalui pengkajian terhadap sumber tertulis seperti majalah, surat kabar dan wawancara dapat menunjukan bagaimana Trubus mengkritisi upaya modernisasi tersebut.
Kata kunci : Majalah Trubus; modernisasi pertanian Orde Baru; Pandangan kritis.
Abstract
This thesis discusses a critical Trubus Magazine about agricultural modernization in New Order Era. The agricultural modernization includes three policies including intensification, extensification and agricultural mechanization. Trubus magazine considers that agricultural modernization is already successfully delivering Indonesia to self-sufficient in rice in 1984, but unfortunately some things are not considered by the government which one is about life of the farmers. Therefore, this thesis showing a critical view as a form of control on agricultural modernization policies of the New Order Era, published in the article contained in Trubus agriculture rubrics . Through assessment of written sources such as magazines , newspapers and interviews can show how Trubus criticized the agricultural modernization.
Keywords : agricultural modernization in New Order Era; Critics; Trubus Magazine.
UI, Perpustakaan Nasional RI, Perpustakaan Wisma Hijau, Perpustakaan Pusat Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, dan Arsip Nasional.
Sumber lain yang menjadi acuan peneliti, yaitu sumber sekunder. Sumber sekunder
yang telah didapatkan oleh peneliti berupa buku-buku mengenai pembangunan pertanian,
pembangunan nasional di Indonesia, dan pers pada masa Orde Baru. Sumber sekunder yang
telah peneliti dapatkan berguna untuk membantu dalam penelitian. Selain itu, untuk
memperkaya pengetahuan dalam melakukan penelitian penelitian ini. Sumber sekunder juga
menjadi pelengkap dalam penelitian ini.
Pembahasan
Pembangunan pertanian di Indonesia dilaksanakan secara terencana dimulai sejak
Repelita I tahun 1969, yang tertuang dalam strategi besar pembangunan nasional berupa Pola
Umum Pembangunan Jangka Panjang (PU-PJP) yaitu PU-PJP I (1969-1994) dan PU-PJP II
(1994-2019). Repelita tahun pertama ini menjadi rencana pembangunan nasional pertama
yang berencana, berkesinambungan, serta berjangka panjang. Repelita tahun pertama menjadi
tahap permulaan dari serangkaian Repelita selanjutnya. Melalui serangkaian Repelita yang
masing-masing berjangka waktu lima tahun tersebut, bangsa Indonesia berusaha mewujudkan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila (Dept. Pertanian 1993).
Dalam PU-PJP I ini, pembangunan dilaksanakan melalui lima serangkaian Repelita
yang semuanya dititik beratkan pada sektor pertanian sebagai berikut:
1. Repelita I: titik berat pada sektor pertanian dan industri pendukung sektor pertanian. 2. Repelita II: titik berat pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri pengolah
bahan mentah menjadi bahan baku.
3. Repelita III: titik berat pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri pengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
4. Repelita IV: titik berat pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha menuju swasembada pangan dengan meningkatkan industri penghasil mesin-mesin.
5. Repelita V: melanjutkan Repelita IV.
Pelaksanaan Repelita I dimulai pada 1 April 1969 bertepatan dengan dimulainya
tahun anggaran baru 1969/70, dan berakhir pada 31 Maret 1974 bertepatan dengan berakhirnya
Terdapat pula tulisan yang berjudul Sikap Petani Terhadap PB pada edisi September
1970 yang mengandung kritik terhadap anjuran penggunaan bibit unggul berjenis PB 5 dan
PB 8 yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam tulisan ini, terdapat nada sumbang yang
dikeluarkan oleh para petani di daerah Lampung Selatan. Salah seorang petani di daerah
tersebut menyatakan bahawa benih PB ini tidak dapat menghasilkan padi yang berkualitas
baik dikarenakan jenis benih PB ini tidak cocok untuk ditanam ditanah yang kering dan
kurang pengairannya. Di wilayah Lampung Selatan ini, sistem pengairannya masih
mengandalkan air hujan, karena tidak memungkinkan untuk membuat sistem irigasi yang
memadai.
Tidak hanya itu, dalam proses penanamannya, benih PB ini membutuhkan pupuk
buatan yang cukup banyak, meskipun pada akhirnya PB dapat menghasilkan beras lebih
banyak jika dibandingkan dengan benih lokal, namun tetap saja dari segi kualitas rasa, masih
sangatlah jauh tertinggal dari benih lokal. Penggunaan pupuk selama penanaman benih PB
ini, dirasakan cukup memberatkan oleh para petani, pasalnya mereka harus mengeluarkan
uang lebih untuk pembelian pupuk.
Padi PB minumnja harus dari selokan dan kami hanja bisa memberi minum dari langit makanja hasilnja beda dengan hasil PB di Djawa. Tidak hanja perlu minum jang banjak, PB ini juga menuntut lauk jang enak dan banjak dari kami. Djadi, kalau mau hasilnja baik, kasih sadja pupuk sekwintal pupuk urea untuk per-hektarnja, padahal kantong kami tipis.
Tidak hanya petani di daerah Lampung Selatan yang merasa diberatkan dengan
penanaman benih ini, salah seorang petani di daerah Kemusu yang merupakan daerah
kelahiran Presiden Soeharto, juga turut mengungkapkan masalah yang dirasakan ketika
menanam benih PB ini. Selain memerlukan pupuk yang banyak, dan membutuhkan biaya
ekstra untuk membelinya, petani juga merasa direpotkan seusai memanen padi PB tersebut.
Kontur tanah yang sebelumnya telah diberikan pupuk selama masa penanaman padi berubah
menjadi lebih keras sehingga petani membutuhkan tenaga ekstra untuk kembali
menggemburkan tanah dengan cara membajak sawah dengan sapinya.
Memang padi PB umurnja pendek, hanja 130 hari, tapi kami kan lalu enggak tempo lagi? Begitu padi sudah mulai muntjul satu-satu, kami sudah harus ngurit (tanam bibit). Begitu panen sudah harus membadjak. Tanahnja enggak sempet makan zat asam, akibatnja, tanah djadi keras.
Berita mengenai meningkatnja hasil produksi beras di Sulawesi Selatan sudah tersiar hingga ke seluruh pendjuru Indonesia. Namun seiring dengan tersebarnja berita tersebut, terdapat kabar selandjutnja mengatakan bahwa beras yang meningkat tersebut hanja tertumpuk sadja di Sulawesi Selatan, tertimbun tidak dimanfaatkan.
Beras yang dihasilkan di Sulawesi pada dasarnya kualitasnya memang kurang baik
hal tersebut di perparah dengan beberapa masalah dibawah ini yang semakin membuat mutu
beras yang dihasilkan makin rendah. Hal tersebut dikarenakan beberapa hal berikut ini:
- Kurangnya gudang untuk penyimpanan gabah dan beras. Terdapat beberapa gudang
penyimpanan hasil panen gabah dan beras, namun kondisi gudang yang kurang
memadai mengakibatkan beras dan gabah cepat membusuk.
- Masalah pengeringan gabah. Kalau di pulau Jawa, pengeringan gabah dapat dengan
mudah dilakukan, karena lahan pertanian yang ada dipulau Jawa cenderung lebih
sempit dan tenaga kerja yang tersedia cukup banyak, sehingga proses pengeringan
gabah dapat dengan mudah dilakukan. Berbeda dengan yang terjadi di Sulawesi.
Lahan pertanian yang telah diekstensifikasi pemerintah cenderung lebih luas, namun
tenaga kerja yang tersedia tidak cukup jumlahnya. Di samping itu, faktor curah hujan
yang tinggi di Sulawesi mengakibatkan gabah yang dikeringkan dengan sinar matahari
tidak kering secara menyeluruh, hal itulah yang kemudian mengakibatkan ketika
dilakukan penggilingan, gabah yang masih lembab tersebut dapat cepat hancur.
- Masalah lainnya adalah masalah pada tahap penggilingan. Pemerintah menganjurkan
untuk menggunakan huller untuk menggiling gabah. Namun sayangnya, proses
penggilingan menggunakan huller ini justru membuat padi hasil gilingan tersebut
retak-retak.
Di samping ketiga masalah tersebut, transportasi atau pengangkutan padi juga menjadi
permasalahan. Kondisi jalan yang panjang dan rusak menyulitkan petani untuk
mendistribusikan dan memasarkan hasil panennya, di samping itu, maraknya pungutan di
pasar juga membuat petani kesulitan. Pungutan tersebut dinamakan ‘susun pasar’. Beras yang
masuk pasar dikenakan pungutan antara Rp. 1,- per kilonya. Beras yang dibeli Bulog
dikenakan biaya Rp. 1,- per kilo, sedangkan beras yang dibeli pihak swasta dikenakan Rp. 2,-
per kilonya. Hal tersebut yang kemudian membuat harga beras yang dijual keluar daerah
menjadi meningkat. Hal tersebut juga membuat daerah lain justru lebih memilih
mendatangkan beras dari luar negeri, disamping karena mutunya lebih baik, harganya pun
Kalau sawahnja sedang lembut, maka saja tidak perlu menggunakan kerbau untuk membadjak. Kebanjakannja sawah di sini seperti itu, ada djuga jang menggunakan badjak, patjul dan garu seperti petani di daerah lainnja.
Di akui oleh petani, sudah ada beberapa petani di daerah tersebut yang menggunakan
alat-alat penunjang produksi pertanian seperti huller. Tidak semua petani menggunakan huller
untuk menggiling gabah mereka. Hal tersebut untuk memiliki huller dibutuhkan uang yang
tidak sedikit. Meskipun pemerintah telah memberikan kredit dengan tujuan petani dapat
membeli huller dan alat lainnya dengan bunga yang rendah, tetap saja petani enggan untuk
mengajukan kredit tersebut. Petani cenderung takut untuk mengajukan kredit dikarenakan
takut tidak bisa membayar cicilan kredit ketika datang masa jatuh tempo. Meskipun petani
memang mengetahui keuntungan bila memakai mesin tersebut. Beras yang dihasilkan dapat
lebih banyak, warna beras hasil dari penggilingan dengan menggunakan huller ini lebih putih
jika dibandingkan dengan cara menumbuk.
Huller memang bagus, berasnja djadi banjak dan putih-putih warnanja, tapi harganja mahal nak. Kebanjakkan dari petani di sini djarang pake huller karena harganja itu. Kalau ambil kredit di balai desa djuga susah bajar tjitjilannja. Saja sendiri takut ngga bisa bajar nak. Bukan dengan mesin saja bergulat tapi dengan otot-otot kaki dengan diindjak-indjak. Terus dengan bantuan tongkat-tongkat bergerak terus untuk mengirik padi supaja lepas padinja.
Namun, perlu dilihat juga bagaimana mesin tersebut bekerja. Dari beberapa petani,
banyak yang mengeluh karena mesin-mesin tersebut tidak berjalan dengan benar. Petani juga
mengeluh cara kerja alat ini yang dinilai lambat dan tidak sesuai dengan apa yang dikatakan
oleh penyuluh di lapangan. Dikatakan kapasitas mencapai 100 kg/jam dalam sekali
penggilingan. Namun faktanya, 25 kg/jam saja sulit, dan petani memilih menggunakan
manual karena lebih mudah. Kapasitas 100 kg mungkin jika digunakan oleh petani yang
sudah terbiasa, namun bagi yang belum terbiasa, akan sulit.
Ada teman tani saja jang pakai huller tapi malah susah. Hullernja suka rusak, tjara pakainja djuga susah ngga seperti jang petugas bilang. Kalau rusak terus kasihan teman tani saja pada rugi beli huller. Mesin rusak, tjitjilan harus tetap bajar.
Disinilah perlunya pembiasaan penggunaan teknologi baru kepada para petani. Tidak
sedikit petani yang mengatakan bahwa alat tersebut tidak dapat digunakan dikarenakan
terbuat dari bahan mudah rusak. Oleh karenanya, pemerintah dinilai perlu membenahi
jalannya mekanisasi pertanian ini, dengan kembali melihat dan memeriksa kualitas dari alat