LAPORAN KASUS FORENSIK PATOLOGI KORBAN TENGGELAM DISUSUN OLEH: Syarif Hidayatullah (H1A003047) Gede Bayu Marguna Putra (H1A006015) Aldy Valentino Maehca Rendak (HA1007001) Muhammad Fadillah (H1A007041) DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN FORENSIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM RUMAH SAKIT BHAYANGKARA 2012
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN KASUS FORENSIK PATOLOGI
KORBAN TENGGELAM
DISUSUN OLEH:
Syarif Hidayatullah (H1A003047)
Gede Bayu Marguna Putra (H1A006015)
Aldy Valentino Maehca Rendak (HA1007001)
Muhammad Fadillah (H1A007041)
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Berdasarkan World Health Organization (WHO), 0,7% kematian di dunia atau
500.000 kematian setiap tahunnya disebabkan oleh tenggelam. Tenggelam merupakan
penyebab utama kematian didunia diantara anak laki-laki berusia 5- 14 tahun. Di amerika
serikat, tenggelam merupakan penyebab kedua kematian yang disebabkan oleh kecelakaan
diantara anak-anak usia 1 sampai 4 tahun, dengan angka kematian rata-rata 3 per 1000 orang.
Berdasarkan definisi terbaru dari WHO pada tahun 2002, tenggelam merupakan suatu proses
gangguan respirasi yang disebabkan subumersi atau imersi oleh cairan. Sebagian besar
korban tenggelam hanya mengisap sebagian kecil air dan akan baik dengan sendirinya.
Kurang dari 6 % dari korban tenggelam membutuhkan perawatan medis dirumah sakit. Jika
korban tenggelam diselamatkan secepatnya maka proses tenggelam selanjutnya dapat dicegah
yang berarti tidak akan menjadi fatal. 1
Tenggelam merupakan salah satu kematian yang disebabkan oleh asfiksia. Kematian
karena asfiksia sering terjadi, baik secara wajar maupun tidak wajar, sehingga tidak jaranmg
dokter diminta bantuannya oleh pihak polisi/penyidik untuk membantu memecahkan kasus-
kasus kematian karena aspiksia terutama bila ada kecurigaan kematian tidak wajar.
Tenggelam merupakan kematian tipe asfiksia yang disebabkan adanya air yang menutup.
Jalan saluran pernapasan sampai ke paru-paru. Keadaan ini merupakan penyebab kematian
jika kematian terjadi dalam waktu 24 jam dan jika bertahan lebih dari 24 jam setelah
tenggelam memperlihatkan adanya pemulihan telah terjadi ini disebut near drowning.
Penelitian pada akhir tahun 1940-an hingga awal 1950-an menjelaskan bahwa kematian
disebabkan adanya gangguan elekrolit atau terjadinya hipoksia dan asidosis yang
menyebabkan aritmia jantung akibat masuknya air dengan volume besar ke dalam sirkulasi
melalui paru-paru. 2,3
Tenggelam pada umumnya merupakan kecelakaan, baik kecelakaan secara langsung
maupun tenggelam yang terjadi oleh karena korban dalam keadaan mabuk, berada di bawah
pengaruh obat atau pada mereka yang terserang epilepsi. Pembunuhan dengan cara
menenggelamkan jarang terjadi, korban biasanya bayi atau anak-anak. Pada orang dewasa
dapat terjadi tanpa sengaja, yaitu korban sebelumnya dianiaya, disangka sudah mati, padahal
hanya pingsan. Untuk menghilangkan jejak korban dibuang ke sungai, sehingga mati karena
tenggelam. Bunuh diri dengan cara menenggelamkan diri juga merupakan peristiwa yang
1
jarang terjadi. Korban sering memberati dirinya dengan batu atau besi, baru kemudian terjun
ke air. 4
Pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai temuan otopsi korban tenggelam pada
tanggal 12 Desember 2012 atas nama Tri Subagio, laki-laki, usia 17 tahun.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tenggelam adalah suatu bentuk sufokasi dimana korban terbenam dalam air/cairan dan
benda tersebut terhisap masuk ke jalan nafas sampai alveoli paru-paru. Hal-hal yang perlu
diketahui pada kasus tenggelam:5
1. Apakah korban meningal pada kasus tenggelam ?
2. Apakah meninggal di air tawar atau asin ?
3. Apakah ada cedera ante-mortem, bila ada apakah berpengaruh dengan pada kematiannya?
4. Apakah ada sebab kematian wajar atau keracunan, dan apakah ini menyebabkan
kematian?
5. Bagaimanakah cara kematiannya ?
Pembagian tenggelam (drowing)
Dibagi menjadi 2 kelompok besar, sebagai berikut:5
I. Primary drowing
Korban meninggal dalam beberapa menit setelah permulaan peristiwa tenggelam tanpa
pertolongan pernafasan buatan. Ada dua macam :
1. Dry drowing
Kematian korban oleh karena cardiac arrest yang mendadak dan sirkulasi refleks
oleh karena vagal refleks dan sirkulasi kolaps.
Tidak ada air yang masuk ke dalam traktus gastrointestinalis maupun traktus
respiratorius.
Tidak ditemukan kelainan patologis yang bermakna.
2. Wet drowing
Tenggelam di air tawar (fresh water)
Secara teoritis adalah akibat ventrikular fibrilasi. Kelainan patologis yang
ditemukan berupa hipervolemia, hemolisis, hiperkalemia, hipoklorida,
hiponatremia.
Tenggelam di air asin (salt water)
Kematian akibat oedema pulmoner. Kelainan patologis yang ditemukan berupa
Merupakan evaluasi pelaksanaan DVI, seperti melaporkan temuan yang telah terdata.
Pada kasus ini, proses identifikasi telah sesuai dilakukan yakni melalui 5 fase tersebut,
yaitu ditemukan seorang korban berjenis kelamin laki-laki berusia tujuh belas tahun dengan
status gizi cukup yang telah meninggal dan terapung di sungai, sedangkan saat kematian
diperkirakan lebih dari dua hari. Kemudian korban dibawa ke RS Bhayangkara untuk
diperiksa. Identifikasi awal dilakukan dengan mengumpulkan data-data ante-mortem maupun
post-mortemnya, kemudian dilakukan pencocokan data-data yang dikumpulkan tersebut.
Pencocokan dilakukan dengan mencocokan sidik jari (identifikasi primer) dan pengenalan
ciri-ciri fisik dan sesuatu yang dikenakan korban melalui informasi yang diperoleh dari
anggota keluarganya (identifikasi sekunder).
Bila jenazah sudah beberapa hari berada dalam air maka terjadi bleaching dan terjadi
pembusukan dimana kulit ari banyak yang terkelupas. Pembusukan terjadi dalam 2 hari
setelah tenggelam dalam iklim yang panas. Pada iklim yang dingin dapat tahan sampai 1
21
minggu. Pembusukan dimulai pada bagian kepala dan atas tubuh, karena dalam air kepala
mempunyai kecenderungan lebih rendah letaknya oleh karena lebih berat.5 Pada kasus ini,
korban ditemukan terapung di sungai dan diperkirakan telah meninggal selama 4 hari, hal ini
sesuai dengan yang ditemukan pada korban yakni telah terjadi bleaching dan pembusukan.
Keadaan tersebut terjadi karena enzim proteolitik dan mikroorganisme dan umumnya proses
pembusukan dimulai 18 sampai 24 jam setelah seseorang meninggal. Korban terapung di
sungai karena telah terjadi proses pembusukan yang merata di seluruh tubuh akibat timbunan
gas (disebut sebagai Floater).
Pada pemeriksaan luar korban tenggelam didapatkan : 5
- Tidak ada yang patognomonis untuk drowning.
- Hanya beberapa penemuan memperkuat diagnosis drowning, antara lain : kulit basah,
dingin dan pucat.
- Lebam mayat biasanya sianosis, kecuali bila air sangat dingin maka lebam mayat akan
berwarna merah muda.
- Kadang-kadang terdapat kutis anserina (goose flesh) pada lengan, paha dan bahu. Ini
disebabkan suhu air dingin menyebabkan kontraksi m.errector pillorum.
- Buih putih halus pada mulut dan hidung, sifatnya lekat (cairan kental dan berbuih)
- Kadang terdapat cadaveric spasme pada tangan dan kotoran dapat tenggelam.
- Bila berada cukup lama dalam air, kulit telapak tangan dan kaki mengeriput (washer
women’s hands) dan pucat (bleached).
- Kadang terdapat luka berbagai jenis pada yang tenggelam di pemandian atau yang
meloncat dari tempat tinggi. Ini dapat merobek paru, hati, otak, atau iga.
Temuan-temuan pada pemeriksaan luar korban sesuai dengan teori di atas. Pada
pemeriksaan luar korban didapatkan rumput-rumput di sekitar tubuh korban, hampir seluruh
bagian tubuh (dari wajah hingga ekstrimitas bawah) mengalami pembengkakan, kulit pada
telapak tangan dan kaki mengeriput (washer women’s hands), pucat (bleaching) dan dua
buah luka pada kepala serta adanya lebam mayat.
Pada kasus diatas, keluarga korban menolak untuk dilakukan pemeriksaan dalam
walaupun penyidik menginginkan untuk dilakukan pemeriksaan dalam untuk memastikan
penyebab kematian dari jenasah yang ditemukan.
22
Pasal 222 KUHP5
“Barangsiapa dengan sengaja mencegah,menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan,dipidana dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”
Karena dokter hanya merupakan pelaksana permintaan polisi, maka pihak keluarga
dipersilahkan menghadapa polisi untuk mengutarakan keberatannya. Dalam intruksi Kapolri
INS/E/20/IX/75 ditentukan siapa yang boleh mencabut permintaan visum et repertum:5
1. Bila ada keluarga korban/mayat keberatan jika diadakan visum et repertum bedah mayat maka adalah kewajibana dari petugas polri pemeriksa untuk secara persuasif memberikan penjelasan perlu dan pentingnya otopsi untuk kepentingan penyidikan, kalau perlu, bahwa ditegakannya pasal 222 KUHP.
2. Pada dasarnya penarikan/ pencabutan kembali visum et repertum tidak daat dibenarkan. Bila terpaksa Visum at Repertum yang sudah diminta harus diadakan pencabutan/penarikan kembali, maka hal tersebut hanya dapat diberikan oleh komandan-komandan kesatuan paling paling rendah tingkat Kompres (sekarang Kapolres) dan untuk kota besar hanya oleh DanTabes (sekarang Kapolwil/tabes).
Keluarga yang meninggal dunia pernyataan tertulis bahwa jika dikemudian hari ada
hal-hal yang tidak dapat diterimanya begitu saja kematian korban dan mayat harus segera
digali, maka segala sesuatu ditanggung oleh keluarga dan keluarga tidak dapat menuntut
siapapun. Bilamana permintaan visum et repertum dicabut, konsekuensinya ialaha dokter
tidak dapat melakukan pemeriksaan apapun, dokter hanya menyatakan korban meninggal dan
pada keluarga diberikan surat yang diperlukan untuk pemakamam.
Karena pada proses otopsi korban tidak dapat dilakukan pemeriksaan dalam. Sehingga
kami menuliskan hasil pemeriksaan dalam dengan berlandaskkan teori untuk memperkirakan
berdasarkan hasil temuan luar korban, kira-kira kemungkinan temuan apa yang akan
ditemukan pada pemeriksaan dalam korban. Pada pemeriksaan dalam, ditemukan perdarahan
pada jaringan leher disebabkan karena pendarahan di otot dilaporkan sebagai sekuele yang
disebabkan oleh kejang axogonal, hiperkontraksi, dan overeksersi pada otot selama proses
tenggelam. Masuknya cairan selama proses tenggelam meningkatkan tekanan dijalan nafas
dan menyebabkan edema pulmonum. Gabungan antara air dengan cairan edema paru, sekresi
dari bronkus dan surfaktan dari paru-paru menghasilkan buih yang dimana karena usaha
bernafas saat tenggelam dapat mencapai saluran nafas bagian atas dan keluar melalui hidung
dan mulut. Pleura dapat berwarna kemerahan dan terdapat bintik bintik perdarahan yang
terjadi karena adanya kompresi terhadap septum interalveolar atau oleh terjadinya fase
konvulsi akibat kekurangan oksigen. Paru-paru tampak membesar, memenuhi seluruh rongga
23
paru-paru sehingga tampak impresi dari iga-iga pada paru-parunya Aspirasi cairan kedalam
paru-paru memberikan efek dari gradien osmotik yang menyebabkan kerusakan integritas
membran alveoli kapiler sehingga meningkatkan permeabilitas dan eksaserbasi cairan,
plasma dan elektrolit, hal ini menyebabkan terjadinya edema pulmonum sehingga
menurunkan pertukaran gas didalam paru-paru. Air tawar akan dengan cepat diserap dalam
jumlah besar sehingga akan terjadi hemodilusi yang hebat sampai 72% yang berakibat
terjadinya hemolisis. Hemodilusi menyebabkan cairan dalam pembuluh darah dan sirkulasi
berlebihan, terjadi penurunan tekanan sistole dan dalam waktu beberapa saat terjadi fibrilasi
ventrikel. Ditemukan cairan pada lambung disebabkan pada saat tenggelam korban
menghisap cairan akibat usaha untuk bernafas. Selain itu Usaha untuk mencari diatom
(binatang bersel satu) dalam tubuh korban, karena adanya anggapan bahwa bila orang masih
hidup pada waktu tenggelam, maka akan terjadi aspirasi, dan oleh force offer respiration
terjadi kerusakan bronchi atau bronciolus sehingga terdapat jalan dari diatom untuk masuk
kedalam tubuh. Tidak ditemukan diatom dalam tubuh, tidak menyingkirkan bahwa kematian
korban bukan karena tenggelam. Pembusukan tubuh pada lingkungan yang berair terjadi kira-
kira setengah kecepatan pembusukan di udara karena temperatur air yang dingin
menghambat aktivitas bakteri dan serangga. Ketika tubuh mulai diangkat dari permukaan air
maka terjadi percepatan proses pembusukan. Beberapa faktor yang mempengaruhi
pembusukan diantaranya, temperatur dari air, kadar garam dalam air, jumlah bakteri yang
tersedia didalam air,dan juga luka antemortem dan post mortem yang dapat menjadi jalan
masuk bakteri.6
24
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pemeriksaan atas korban dengan jenis kelamin laki-laki, tujuh belas
tahun status gizi cukup, dalam keadaan telah meninggal, maka dapat disimpulkan penyebab
kematian belum jelas, sedangkan perkiraaan saat kematian lebih dari dua hari. Dari Proses
identifikasi korban diperoleh kecocokan identitas korban dengan prosedur pencocokan sidik
jari (identifikasi primer) dan pengenalan ciri-ciri fisik dan sesuatu yang dikenakan korban
melalui informasi yang diperoleh dari anggota keluarganya (identifikasi sekunder). Korban
diduga tenggelam dalam air tawa, temuan pada pemeriksaan luar adalah didapatkan rumput-
rumput di sekitar tubuh korban, hampir seluruh bagian tubuh (dari wajah hingga ekstrimitas
bawah) mengalami pembengkakan, kulit pada telapak tangan dan kaki mengeriput (washer
women’s hands), pucat (bleaching) dan dua buah luka pada kepala serta adanya lebam mayat.
Pada kasus diatas, keluarga korban menolak untuk dilakukan pemeriksaan dalam walaupun
penyidik menginginkan untuk dilakukan pemeriksaan dalam untuk memastikan penyebab
kematian dari jenasah yang ditemukan.
25
KEPUSTAKAAN
1. David Szpilman, dkk. 2012. ”Drowning”. The New England Journal of Medicine. Acesed from http://www.nejm.org/doi/pdf/.
2. Dimaio V, Dimaio D. ”Death by drowning in Forensic Pathology ; Second edition”. CRC press LLC. 2001. Page 395-403.
3. Singh R, Kumar M, ell. ”Drowning Associated Diatoms”. Department of Forensic Science Punjabi University. [cited 2008 Mar 5] available from : http://www.icmft.org.
4. Mun’im A. Tenggelam. ”Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi 1”. Binarupa Aksara.Jakarta. 1997. Hal 178-189.
5. Apuranto, Hariadi, dkk. 2007. ”Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal edisi ketiga : Asfiksia”. Bagian Ilmu Kedokteran forensik dan medikolegal FK UNAIR. Surabaya. hal. 87-89.
6. Tsokos, Michael. ”Forensic Pathology Review; volume 3”. Humana Press. New Jersey, USA. 2005.