BAB II
TINJAUAN TEORI
KONSEP KEGAWAT DARURATAN PADA PASIEN DENGAN TRAUMA
MUSKULOSKELETAL
A. Penilaian Awal Trauma Muskuloskeletal
Penderita trauma/multitrauma memerlukan penilaian dan
pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa
penderita. Waktu berperan sangat penting, oleh karena itu
diperlukan cara yang mudah, cepat dan tepat. Proses awal ini
dikenal dengan Initial assessment ( penilaian awal ).
Penilaian awal meliputi:
1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Secondary survey
Urutan kejadian diatas diterapkan seolah-seolah berurutan namun
dalam praktek sehari-hari dapat dilakukan secara bersamaan dan
terus menerus.
1. Persiapan
1) Fase Pra-Rumah Sakit
a. Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dan petugas
lapangan
b. Sebaiknya terdapat pemberitahuan terhadap rumah sakit sebelum
penderita mulai diangkut dari tempat kejadian.
c. Pengumpulan keterangan yang akan dibutuhkan di rumah sakit
seperti waktu kejadian, sebab kejadian, mekanisme kejadian dan
riwayat penderita.
2) Fase Rumah Sakit
a. Perencanaan sebelum penderita tiba
b. Perlengkapan airway sudah dipersiapkan, dicoba dan diletakkan
di tempat yang mudah dijangkau
c. Cairan kristaloid yang sudah dihangatkan, disiapkan dan
diletakkan pada tempat yang mudah dijangkau
d. Pemberitahuan terhadap tenaga laboratorium dan radiologi
apabila sewaktu-waktu dibutuhkan.
e. Pemakaian alat-alat proteksi diri
2. Triase
Triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan
terapi dan sumber daya yang tersedia. Dua jenis triase :
a. Multiple Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma tidak melampaui kemampuan
rumah sakit. Penderita dengan masalah yang mengancam jiwa dan multi
trauma akan mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu.
b. Mass Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma melampaui kemampuan rumah
sakit. Penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar dan
membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga yang paling sedikit akan
mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu.
3. Primary Survey
a. Airway dengan kontrol servikal
1) Penilaian
Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)
Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
2) Pengelolaan airway
Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal
in-line immobilisasi
Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan
alat yang rigid
Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal Pasang airway
definitif sesuai indikasi.
3) Fiksasi leher
4) Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada
setiap penderita multi trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran
atau perlukaan diatas klavikula.
5) Evaluasi
b. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi
1) Penilaian
Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan
kontrol servikal in-line immobilisasi
Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali
kemungkinan terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris
atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera
lainnya.
Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
Auskultasi thoraks bilateral
2) Pengelolaan
Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask 11-12
liter/menit)
Ventilasi dengan Bag Valve Mask
Menghilangkan tension pneumothorax
Menutup open pneumothorax
Memasang pulse oxymeter
3) Evaluasi
c. Circulation Dengan Kontrol Perdarahan
1) Penilaian
Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
Mengetahui sumber perdarahan internal
Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus
paradoksus. Tidak diketemukannya pulsasi dari arteri besar
merupakan pertanda diperlukannya resusitasi masif segera.
Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
Periksa tekanan darah
2) Pengelolaan
Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah
serta konsultasi pada ahli bedah.
Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil
sampel darah untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan
(pada wanita usia subur), golongan darah dan cross-match serta
Analisis Gas Darah (BGA).
Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan
cepat.
Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada
pasien-pasien fraktur pelvis yang mengancam nyawa.
Cegah hipotermia
3) Evaluasi
d. Disability
1) Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS
2) Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan
awasi tanda-tanda lateralisasi
3) Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan
circulation.
e. Exposure/Environment
1) Buka pakaian penderita
2) Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada
ruangan yang cukup hangat.
4. Resusitasi
a. Re-evaluasi ABCDE
b. Dosis awal pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml
pada dewasa dan 20 mL/kg pada anak dengan tetesan cepat ( lihat
tabel 2 )
c. Evaluasi resusitasi cairan
Nilailah respon penderita terhadap pemberian cairan awal Nilai
perfusi organ ( nadi, warna kulit, kesadaran dan produksi urin )
serta awasi tanda-tanda syok
d. Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap
pemberian cairan awal.
Respon cepat
- Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance
- Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau
pemberian darah
- Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan
- Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif
mungkin masih diperlukan
Respon Sementara
- Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian
darah
- Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan
operatif
- Konsultasikan pada ahli bedah
Tanpa respon
- Konsultasikan pada ahli bedah
- Perlu tindakan operatif sangat segera
- Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade
jantung atau kontusio miokard
- Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya
B. Trauma Muskuloskeletal yang Mengancam Jiwa
1. Kerusakan pelvis berat dengan perdarahan
a.Trauma
Fraktur pelvis yang disertai perdarahan seringkali disebabkan
fraktur sakroiliaka, dislokasi, atau fraktur sacrum. Arah gaya yang
membuka pelvic ring akan merobek pleksus vena di pelvis dan
kadang-kadang merobek system, arteri iliakainterna (trauma
komprresi anterior-posterior). Pada tabrakan kendaraan, mekanisme
fraktur pelvis yang tersering adalah tekanan yang mengenai sisi
lateral pelvis dan cenderung menyebabkan hemipelvis rotasi ke
dalam, mengecilkan rongga pelvis dan mengurangi regangan system
vaskularisasi pelvis. Gerakan rotasi ini akan menyebabkan pubis
mendesak ke arah sistem urogenital bawah,sehingga menyebabkan
trauma uretra atau buli-buli.
b. Pemeriksaan
Diagnosis harus dibuat secepat mungkin agar dapat dilakukan
resusitasi. Tanda klinis yang paing penting adalah adanya
pembengkakan atau hematom yang progresif pada daerah panggul,
skrotum dan perianal. Tanda-tanda trauma pelvicring yang tidak
stabil adalah adanya patah tulang terbuka daerah pelvix (terutama
daerah perineum, rectum atau bokong), high riding prostate
(prostate letak tinggi), perdarahan di meatus uretra, dan
didapatkannya instabilitas mekanik. Instabilitas mekanik dari
pelvic ring diperiksa dengan manipulasi manuual dari pelvis.
Petunjuk awalnya adalah dengan ditemukannya perbedaan panjang
tungkai atau rotasi tungkai ( biasanya rotasi eksternal ) tanpa
adanya fraktur pada ekstremitas tersebut. Bila penderita sudah
stabil, maka foto rontgen AP pelvis akan menunjang pemeriksaan
klinis.
c. Pengelolaan
Pengelolaan awal disrupsi pelvis berat disertai perdarahan
memerlukan penghentian perdarahan dan resusitasi cairan dengan
cepat. Penghentian perdarahan dilakukan dengan stabilisasi mekanik
dari pelvic ring dan eksternal counter pressure. Teknik sederhana
dapat dilakukan untuk stabilisasi pelvissebelum penderita dirujuk.
Traksi kulit longitudinal atau traksi skeletal dapat dikerjakan
sebagai tindakan pertama. Prosedur ini dapat ditambah
denganmemasang kain pembungkus melilit pelvis yang berfungsi
sebagai siling atau vacuum type long spine splinting device atau
PASG. Cara-cara sementara inidapat membantu stabilisasi awal.
Fraktur pelvis terbuka dengan perdarahan yang jelas, memerlukan
balut tekan dengan tampon untuk menghentikan perdarahan.
2. Perdarahan Besar Arterial
a. Trauma
Luka tusuk di ekstremitas dapat menimbulkan trauma arteri.
Trauma tumpul yangmenyebabkan fraktur atau dislokasi sendi dekat
arteri dapat merobek arteri. Cedera ini dapat menimbulkan
perdarahan besar pada luka terbuka atau perdarahan di dalam
jaringan lunak.
b. Pemeriksaan
Trauma ekstremitas harus diperiksa adanya perdarahan eksternal,
hilangnya pulsasinadi yang sebelumnya masih teraba, perubahan
kualitas nadi, dan perubahan pada pemeriksaan Doppler dan
ankle/brachial index. Ekstremitas yang dingin, pucat, dan
menghilangnya pulsasi menunjukkan gangguan aliran darah arteri.
Hematoma yangmembesar dengan cepat, menunjukkan adanya trauma
vaskuler.
c. Pengelolaan
Pengelolaan perdarahan besar arteri berupa tekanan langsung dan
resusitasi cairan yang agresif. Penggunaan torniket pneumatic
secara bijaksana mungkin akan menolong menyelamatkan nyawa.
Penggunaan klem vaskular ditempat perdarahan pada ruang gawat
darurat tidak dianjurkan, kecuali pembuluh darahnya terletak
disuperfisial dan tampak dengan jelas. Jika fraktur disertai luka
terbuka yang berdarah aktif, harus segera diluruskan dan dipasang
bidai serta balut tekan diatasluka. Pemeriksaan arteriografi dan
penunjang yang lain baru dikerjakan jika penderita telah
teresusitasi dan hemodinamik normal.
3. Crush Syndrome ( Rabdomiolisis Traumatik )
a. Trauma
Crush syndrome adalah keadaan klinis yang disebabkan kerusakan
otot, yang jika tidak ditangani akan menyebabkan kegagalan ginjal.
Kondisi ini terjadi akibatcrush injury pada massa sejumlah otot,
yang tersering paha dan betis. Keadaan ini disebabkan oleh gangguan
perfusi otot, iskemia dan pelepasan mioglobin.
b. Pemeriksaan
Mioglobin menimbulkan urine berwarna kuning gelap yang akan
positif bila diperiksa untuk adanya hemoglobin. Rabdomiolisis dapat
menyebabkan hipovodemi, asidosis metabolik, hiperkalemia,
hipokalsemia dan DIC (Disseminated intravascular coagulation).
c. Pengelolaan
Pemberian cairan IV selama ekstrikasi sangat penting untuk
melindungi ginjal dari gagal ginjal. Gagal ginjal yang disebabkan
oleh mioglobin dapat dicegah dengan pemberian cairan dan diuresis
osmotic untuk meningkatkan isis tubulus dan aliranurine. Dianjurkan
untuk mempertahankan output urine 100ml/jam sampai bebasdari
mioglobin uria.C. Trauma Yang Mengancam Muskuloskeletal
1. Patah Tulang Terbuka dan Trauma Sendi
a. Trauma
Pada patah tulang terbuka terdapat hubungan antara tulang dengan
dunia luar.Kerusakan ini disertai kontaminasi bakteri menyebabkan
patah tulang terbuka mengalami masalah infeksi, gangguan
penyembuhan dan gangguan fungsi.
b. Pemeriksaan
Diagnosa didasarkan atas riwayat trauma dan pemeriksaan fisik
ekstermitas yang menemukan fraktur dengan luka terbuka, dengan atau
tanpa kerusakaan luas otot serta kontaminasi.Jika terdapat luka
terbuka didekat sendi, harus dianggap luka ini berhubungan dengan
atau masuk kedalam sendi, dan konsultasi bedah harus dikerjakan.
Tidak boleh memasukkan zat warna atau cairan untuk membuktikan
rongga sendi berhubungan dengan luka atau tidak. Cara terbaik
membuktikan luka terbuka padasendi adalah dengan eksplorasi bedah
dan pembersihan luka.
c. Pengelolaan
Setelah deskripsi atau trauma jaringan lunak, serta menentukan
ada atau tidaknya gangguan sirkulasi atau trauma saraf maka segera
dilakukan imobilisasi. Penderita segera diresusitasi secara adekuat
dan hemodinamik sedapat mungkinstabil. Profilaksis tetanus segera
diberikan.
2. Trauma Vaskuler, termasuk amputasi traumatik
a. Riwayat dan pemeriksaan
Trauma vaskuler harus dicurigai jika terdapat insufisensi
vaskuler yang menyertai trauma tumpul, remuk (crushing), puntiran,
atau trauma tembus ekstremitas.Trauma vaskuler parsial menyebabkan
ekstremitas bagian distal dingin, pengisian kapiler lambat, pilsasi
melemah dan ankle/brachial index abnormal. Aliran yang terputus
menyebabkan ekstremitas dingin, pucat dan nadi tidak teraba.
b. Pengelolaan
Otot tidak mampu hidup tanpa aliran darah lebih dari 6 jam dan
nekrosis akan segera terjadi. Saraf juga akan sangat sensitif
terhadap keadaan tanpa oksigen.Operasi revaskularisasi segera
diperlukan untuk mengembalikan aliran darah pada ekstermitas distal
yang terganggu. Jika gangguan vaskularisasi disertai fraktur harus
dikoreksi segera dengan meluruskan dan memasang bidai. Iskemia
menimbulkan nyeri hebat dan konsisten. Amputasi traumatik merupakan
bentuk terberat dari fraktur terbuka yang menimbulkan kehilangan
ekstermitas dan memerlukan konsultasi dan intervensi bedah. Patah
tulang terbuka dengan iskemia berkepanjangan, trauma saraf dan
kerusakan otot mungkin memerlukan amputasi. Penderita dengan trauma
multipel yang memerlukan resusitasi intensif dan operasi gawat
darurat bukan kandidat untuk reimplantasi. Anggota yang teramputasi
dicuci dengan larutan isotonic dan dibungkus kasa steril dan
dibasahi lautan penisilin (100.000 unit dalam 50 ml RL ) dan
dibungkus kantong plastik. Kantong plastik ini dimasukkan dalam
termos berisi pecahan es, lalu dikirimkan bersama penderita.
3. Cedera Syaraf akibat Fraktur Dislokasi
a. Trauma
Fraktur atau/dan dislokasi, dapat menyebabkan trauma saraf yang
disebabkan hubungan anatomi atau dekatnya posisi saraf dengan
persendian. Kembalinya fungsi hanya akan optimal bila keadaan ini
diketahui dan ditangani secara cepat.
b. Pemeriksaan
Pemeriksaan neurologis yang teliti selalu dilakukan pada
penderita dengan trauma musculoskeletal. Kelainan neurologis atau
perubahan neurologis yang progresif harus dicatat. Pada pemeriksaan
biasanya akan didapatkan deformitas dari musculoskeletal.
Pemeriksaan fungsi saraf memerlukan kerja sama penderita. Setiap
saraf perifer yang besar diperiksa fungssi motorik dan sensorik
perlu diperiksa secara sistematik.
c. Pengelolaan
Ekstremitas yang cedera harus segera diimobilisasi dalam posisi
dislokasi dan konsultasi bedah segera dikerjakan. Setelah reposisi,
fungsi saraf di reavaluasi dan ekstremitas dipasang bidai.
4. Trauma Ekstremitas Yang Lain
a. Kontusio dan Laserasi
Secara umum laserasi memerlukan debridemen dan penutupan luka.
Jika laserasi meluas sampai dibawah fasia, perlu intervensi operasi
untuk membersihkan luka dan memeriksa struktur-struktur di bawahnya
yang rusak. Kontusio umumnya dikenal karena ada nyeri dan penurunan
fungsi. Palpasi menunjukkan adanya pembengkakan lokal dan nyeri
tekan. Kontusio diobati dengan kistirahat dan pemakaian kompres
dingin pada fase awal.
b. Trauma Sendi
Trauma sendi bukan dislokasi (sendi masih dalam konfigurasi
anatomi normal tetapi terdapat trauma ligamen) biasanya tidak
mengancam muskuloskeletal, walaupun dapat menurunkan fungsi
musculoskeletal. Biasanya ditemukan adanya gaya abnormal terhadap
sebagian contoh tekanan terhadap bagian anterior yang mendorong
kebelakang, tekanan terhadap bagian lateral tungkai yang
menimbulkan regangan valgus pada lutut atau dengan lengan ekstensi
sehingga menimbulkan trauma hiperfleksi siku.
c. Fraktur
Definisi fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang
menimbulkan gerakan abnormal disertai krepitasi dan nyeri.
Krepitasi dan gerakan abnormal ditempat fraktur kadang-kadang
dilakukan untuk memastikn diagnosis, tetapi hal ini dapat menambah
sangat nyeri kerusakan jaringan lunak. Pembengkakan, nyeri tekan
dan deformitas biasanya cukup untuk membuat diagnosis fraktur.
Mempertimbangkan status hemodinamik pasien, foto rontgen harus
mencakup sendiatas dan bawah tulang yang fraktur, untuk
menyingkirkan dislokasi dan trauma lain.
D. Definisi Kompartement Syndrome
Syndrome kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi
peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas
yakni kompartemen osteofasial yang tertutup. Sehingga mengakibatkan
berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan.
Syndrome kompartemen yang paling sering terjadi adalah pada
daerah tungkai bawah (yaitu kompartemen anterior, lateral,
posterior superficial, dan posterior profundus) serta lengan atas
(kompartemen volar dan dorsal)
Sindroma kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi
penekanan terhadap syaraf, pembuluh darah dan otot didalam
kompatement osteofasial yang tertutup. Hal ini mengawali terjadinya
peningkatan tekanan interstisial, kurangnya oksigen dari penekanan
pembuluh darah, dan diikuti dengan kematian jaringan. Dapat dibagi
menjadi akut, subakut dan kronik.
E. Penyebab Kompartement Syndrome
Terdapat berbagai penyebab dapat meningkatkan tekanan jaringan
lokal yang kemudian memicu timbullny sindrom kompartemen, yaitu
antara lain:
1. Penurunan volume kompartemen
Kondisi ini disebabkan oleh:
Penutupan defek fascia
Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas
2. Peningkatan tekanan eksternal
Balutan yang terlalu ketat
Berbaring di atas lengan
Gips
3. Peningkatan tekanan pada struktur komparteman
Beberapa hal yang bisa menyebabkan kondisi ini antara lain:
Pendarahan atau Trauma vaskuler
Peningkatan permeabilitas kapiler
Penggunaan otot yang berlebihan
Luka bakar
Operasi
Gigitan ular
Obstruksi vena
Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering
adalah cedera, dimana 45 % kasus terjadi akibat fraktur, dan 80%
darinya terjadi di anggota gerak bawah.
F. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang terjadi pada syndrome kompartemen dikenal
dengan 5 P yaitu:
1. Pain (nyeri) : nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada
otot-otot yang terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan
gejala dini yang paling penting. Terutama jika munculnya nyeri
tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak
semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari
biasanya). Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang
spesifik dan sering.
2. Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke
daereah tersebut.
3. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi )
4. Parestesia (rasa kesemutan)
5. Paralysis : Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi
saraf yang berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena
kompartemen sindrom.
Sedangkan pada kompartemen syndrome akan timbul beberapa gejala
khas, antara lain:
1. Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olehraga.
Biasanya setelah berlari atau beraktivitas selama 20 menit.
2. Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat
15-30 menit.
3. Terjadi kelemahan atau atrofi otot.
G. Penatalaksanaan Kompartement Syndrome
Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi
defisit fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran
darah lokal, melalui bedah dekompresi. Walaupun fasciotomi
disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun beberapa hal, seperti
timing, masih diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa adanya
disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan
fasciotomi
Penanganan kompartemen secara umum meliputi:
1. Terapi Medikal/non bedah
Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih
dalam bentuk dugaan sementara. Berbagai bentuk terapi ini
meliputi:
a. Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan
ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat
menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat iskemia.
b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka
dan pembalut kontriksi dilepas.
c. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat
menghambat perkembangan sindroma kompartemen.
d. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk
darah.
e. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan
manitol dapat mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi
edema seluler, dengan memproduksi kembali energi seluler yang
normal dan mereduksi sel otot yang nekrosis melalui kemampuan dari
radikal bebas.2. Terapi Bedah
Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai >
30 mmHg. Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan
dengan memperbaiki perfusi otot.
Jika tekanannya < 30 mm Hg maka tungkai cukup diobservasi
dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau
keadaan tungkai membaik, evaluasi terus dilakukan hingga fase
berbahaya terlewati. Akan tetapi jika memburuk maka segera lakukan
fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah
6 jam.
Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal
dan insisi ganda. Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering
digunakan karena lebih aman dan lebih efektif, sedangkan insisi
tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko kerusakan
arteri dan vena
peronealhttp://nikomang-sugiartini.blogspot.com/2011/11/konsep-kegawatdaruratan-pada-pasien_14.htmlASUHAN
KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA SISTEM MUSKULOSKELETALA.ASUHAN
KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA FRAKTUR1.PengertianFraktur atau
patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer,
2000).
Fraktur tertutup adalah bila tidak ada hubungan patah tulang
dengan dunia luar. Fraktur terbuka adalah fragmen tulang meluas
melewati otot dan kulit, dimana potensial untuk terjadi infeksi
(Sjamsuhidajat, 1999).
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang
bisa terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh
dari ketinggian), dan biasanya lebih banyak dialami oleh laki-laki
dewasa. Patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang
cukup banyak, mengakibatkan pendertia jatuh dalam syok (FKUI,
1995)Fraktur olecranon adalah fraktur yang terjadi pada siku yang
disebabkan oleh kekerasan langsung, biasanya kominuta dan disertai
oleh fraktur lain atau dislokasi anterior dari sendi tersebut
(FKUI, 1995).
2.EtiologiMenurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi
menjadi tiga yaitu :
a.Cedera traumatik Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan
oleh :
1)Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang
sehingga tulang pata secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan
fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.
2)Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh
dari lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan
menyebabkan fraktur klavikula.
3)Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari
otot yang kuat.
b.Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana
dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi
pada berbagai keadaan berikut :
1)Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru
yang tidak terkendali dan progresif.
2)Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat
infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang
progresif, lambat dan sakit nyeri.
3)Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh
defisiensi Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain,
biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang
dapat disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena
asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
c.Secara spontan : disebabkan oleh stress tulang yang terus
menerus misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas
dikemiliteran.
3.Patofisiologi
Proses penyembuhan luka terdiri dari beberapa fase yaitu :
a.Fase hematum
1)Dalam waktu 24 jam timbul perdarahan, edema, hematume
disekitar fraktur
2)Setelah 24 jam suplai darah di sekitar fraktur meningkat
b. Fase granulasi jaringan
1)Terjadi 1 5 hari setelah injury
2)Pada tahap phagositosis aktif produk neorosis
3)Itematome berubah menjadi granulasi jaringan yang berisi
pembuluh darah baru fogoblast dan osteoblast.
c.Fase formasi callus
1)Terjadi 6 10 harisetelah injuri
2)Granulasi terjadi perubahan berbentuk callus
d. Fase ossificasi
1)Mulai pada 2 3 minggu setelah fraktur sampai dengan sembuh
2)Callus permanent akhirnya terbentuk tulang kaku dengan endapan
garam kalsium yang menyatukan tulang yang patah.
e.Fase consolidasi dan remadelling
Dalam waktu lebih 10 minggu yang tepat berbentuk callus
terbentuk dengan oksifitas osteoblast dan osteuctas (Black, 1993 :
19 ).
4.Tanda dan Gejalaa.DeformitasDaya terik kekuatan otot
menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya perubahan
keseimbangan dan contur terjadi seperti :
1)Rotasi pemendekan tulang
2) Penekanan tulang
b.Bengkak : edema muncul secara cepat dari lokasi dan
ekstravaksasi darah dalam jaringan yang berdekatan dengan
fraktur
c.Echumosis dari Perdarahan Subculaneous
d.Spasme otot spasme involunters dekat fraktur
e.Tenderness/keempukan
f.Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang
dari tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang
berdekatan.
g.Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya
saraf/perdarahan)
h.Pergerakan abnormal
i.Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
j.Krepitasi (Black, 1993 : 199).
5.Pemeriksaan Penunjanga.Foto Rontgen
1. Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara
langsung
2. Mengetahui tempat dan type fraktur
3. Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan
selama proses penyembuhan secara periodic
b.Skor tulang tomography, skor C1, Mr1 : dapat digunakan
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c.Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler
d.Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi )
atau menrurun ( perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ
jauh pada trauma multiple)Peningkatan jumlah SDP adalah respon
stres normal setelah trauma
e. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan
darah transfusi multiple atau cedera hati (Doenges, 1999 : 76
).
6.Penatalaksanaana.Fraktur Reduction
1. Manipulasi atau penurunan tertutup, manipulasi non bedah
penyusunan kembali secara manual dari fragmen-fragmen tulang
terhadap posisi otonomi sebelumnya.Penurunan terbuka merupakan
perbaikan tulang-terusan penjajaran insisi pembedahan, seringkali
memasukkan internal viksasi terhadap fraktur dengan kawat, sekrup
peniti plates batang intramedulasi, dan paku. Type lokasi fraktur
tergantung umur klien.
Peralatan traksi :
a) Traksi kulit biasanya untuk pengobatan jangka pendek
b) Traksi otot atau pembedahan biasanya untuk periode jangka
panjang.
b.Fraktur ImmobilisasiPembalutan (gips)-Eksternal
Fiksasi-Internal Fiksasi-Pemilihan Fraksi-
c.Fraksi terbuka
Pembedahan debridement dan irigrasi-
Imunisasi tetanus-
Terapi antibiotic prophylactic-
Immobilisasi (Smeltzer, 2001).-
7.Asuhan Keperawatana.Pengkajian1)Pengkajian Primer
a) AirwayAdanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya
penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk
b) BreathingKelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas,
timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas
terdengar ronchi /aspirasi
c) CirculationTD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi
pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini,
disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada
tahap lanjut
2)Pengkajian Sekunder
a) Aktivitas/istirahat
1. kehilangan fungsi pada bagian yangterkena
2. Keterbatasan mobilitas
b) Sirkulasi
1. Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon
nyeri/ansietas)
2. Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
3. Tachikardi
4. Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
5. Cailary refil melambat
6. Pucat pada bagian yang terkena
7. Masa hematoma pada sisi cedera
8. Neurosensori
9. Kesemutan
10. Deformitas, krepitasi, pemendekan
11. Kelemahan
c) Kenyamanan
1. Nyeri tiba-tiba saat cidera
2. Spasme/ kram otot
d) Keamanan
1. Laserasi kulit
2. Perdarahan
3. Perubahan warna
4. Pembengkakan local
b.Diagnosa Keperawatan dan Intervensi1)Nyeri berhubungan dengan
terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema dan
cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress,
ansietas
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
Nyeri berkurang atau hilangdan klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi :
Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala
nyeri
Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang
nyeri
Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian
analgesikR/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik
berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.
2)Intoleransi aktivitas berhubungan dengan dispnea,
kelemahan/keletihan, ketidak edekuatan oksigenasi, ansietas, dan
gangguan pola tidur.
Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil :
perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri
pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas
tanpa dibantu.
Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
Intervensi dan Implementasi :
Rencanakan periode istirahat yang cukup.
R/ mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi
terkumpul dapat digunakan untuk aktivitas seperlunya secar
optimal.
Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
R/ tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas
secara perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan yang tepat,
mobilisasi dini.
Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
R/ mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih
kembali.
Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.
R/ menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh
sebagai akibat dari latihan.
3)Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan,
perubahan status metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan
sensasi dibuktikan oleh terdapat luka / ulserasi, kelemahan,
penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan
nekrotik.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil :
tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam
melakukan tindakan yang tepat.
Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan
luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah
intervensi.
Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai
adanya proses peradangan.
Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan
kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan
mencegah terjadinya infeksi.
Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan,
misalnya debridement.R/ agar benda asing atau jaringan yang
terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainnya.
Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung
kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen
pada daerah yang berisiko terjadi infeksi.
4)Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak
nyamanan, kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas,
dan penurunan kekuatan/tahanan.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil :
- penampilan yang seimbang..
- melakukan pergerakkan dan perpindahan.
- mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi,
dengan karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat Bantu.
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan,
pengawasan, dan pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi dan Implementasi :
Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan
peralatan.R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah
karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan
mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.
5)Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons
inflamasi tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan,
luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil :
tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
Pantau tanda-tanda vital.
R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu
tubuh meningkat.
Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus,
kateter, drainase luka, dll.R/ untuk mengurangi risiko infeksi
nosokomial.
Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah,
seperti Hb dan leukosit.R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah
leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses
infeksi.
Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.
6)Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan
berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang
terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.
Tujuan : pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek
prosedur dan proses pengobatan.
Kriteria Hasil :
- melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari
suatu tindakan.
- memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta
dalam regimen perawatan.
Intervensi dan Implementasi:
Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang
penyakitnya.
R/ mengetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan klien dan
keluarga tentang penyakitnya.
Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya
sekarang.R/ dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang,
klien dan keluarganya akan merasa tenang dan mengurangi rasa
cemas.
Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makanan
nya.
R/ diet dan pola makan yang tepat membantu proses
penyembuhan.
Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang
telah diberikan.
R/ mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta
menilai keberhasilan dari tindakan yang dilakukan.
TUGAS MATA KULIAH GADAR
Kegawat daruratan pada sistem muskuloskeletal
Oleh:
1. Laila magfiroh
2. Rudi prihanto
3. Sinta eka
8c
S1 keperawatan
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
INSAN CENDEKA MEDIKA
JOMBANG
2014KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
kita berbagai macam nikmat, sehingga aktifitas hidup yang kita
jalani ini akan selalu membawa keberkahan, baik kehidupan di alam
dunia ini, lebih-lebih lagi pada kehidupan akhirat kelak, sehingga
semua cita-cita serta harapan yang ingin kita capai menjadi lebih
mudah dan penuh manfaat.
Kami menyadari sekali, didalam penyusunan makalah ini masih jauh
dari kata sempurna serta banyak kekurangnya, baik dari segi tata
bahasa maupun dalam hal pengkonsolidasian kepada dosen serta
teman-teman sekalian, yang kadang kala hanya menuruti egoisme
pribadi, untuk itu besar harapan kami jika ada kritik dan saran
yang membangun untuk lebih menyempurnakan makalah-makalah kami
dilain waktu.
Harapan yang paling besar dari penyusunan makalah ini ialah,
mudah-mudahan apa yang kelompok kami susun ini penuh
manfaat,sehingga dapat di ambil hikmah dari judul ini KEGAWAT
DARURATAN PADA MUSKULOSKELETAL sebagai tambahan dalam menambah
referensi yang telah ada.
Jombang, April 2014Penyusun
BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar Belakang.
Latar belakang kelompok kami menyusun makalah tentang kegawat
daruratan pada muskuloskeletal adalah semakin meningkatnya insiden
trauma muskuloskeletal pada berbagai kecelakaan yang terjadi baik
itu akibat tenaga asselerasi maupun desselerassi, ataupun trauma
akibat pukulan, benturan, pukulan, maupun tekanan, dengan
dikupasnya materi tentang kegawat daruratan pada muskuloskeletal,
kelompok kami berharap agar para perawat dapat memberikan
penanganan yang terbaik pada pasien dengan kasus trauma dada dengan
tujuan memperbaiki prognosa suatu penyakit.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa penilaian awal dari trauma muskuloskeletal ?
b. Bagaimana penanganan pertama pada kegawat daruratan
muskuloskeletal?c. Bagaimana patofisiologi/mekanisme terjadinya
kegawat daruratan pada muskuloskeletal?d. Apa saja Komplikasi yang
muncul ?
e. Apa fungsi perawat dalam kasus trauma dada?
f. Bagaimana penatalaksanaan kegawat daruratan pada
muskuloskeletal?g. Bagaimana asuhan keperawatan keluarga pada
trauma dada ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Umum
Mahasiswa mampu memberikan, menerapkan dan melaksanakan asuhan
keperawatan keluarga pada pasien dengan kegawat daruratan
muskuloskeletal.1.3.2 Tujuan KhususSetelah membaca makalah ini,
mahasiswa diharapkan mampu :a. Memahami penilaian awal dari trauma
muskuloskeletal b. Bagaimana penanganan pertama pada kegawat
daruratan muskuloskeletal?
c. Memahami mekanisme terjadinya kegawat daruratan pada
muskuloskeletal?
d. Memahami apa saja komplikasinyae. Memahami penatalaksanaan
kegawat daruratan pada muskuloskeletalf. Memahami bagaimana asuhan
keperawatan keluarga pada kegawat daruratan pada muskuloskeletal1.4
ManfaatMahasiswa dapat memahami materi tentang kegawat daruratan
pada sistem muskuloskeletal sehingga dapat mengaplikasiannya.