DAFTAR ISI
Halaman
iKATA PENGANTAR
iiDAFTAR ISI
iiiDAFTAR TABEL
1BAB 1 PENDAHULUAN
2BAB 2 PEMBAHASAN
22. 1 Keracunan
32. 2 Narkotika
42. 3 Opium
42. 3. 1 Definisi
52. 3. 2 Reseptor Opioid
52. 3. 3 Klasifikasi Opioid
72. 4 Pemeriksaan Toksikologi Narkotika
72. 4. 1 Pemeriksaan Fisik
92. 4. 2 Sindrom Toksik
122. 5 Morfin (Gambaran Forensik)
122. 5. 1 Pemeriksaan Barang Bukti Hidup Pada Kasus Pemakai
Morfin
142. 5. 2 Pemeriksaan Barang Bukti Mati Pada Kasus Pemakai
Morfin
162. 5. 3 Pemeriksaan pada Kematian Akibat Pemakaian Opioid
(Morfin Atau Heroin)
192. 6 Heroin
21BAB 3 SIMPULAN
213. 1 Simpulan
22DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Halaman
9Tabel 2. 1 Gambaran Klinik dari Berbagai Golongan Obat
BAB 1PENDAHULUAN
Kematian yang disebabkan oleh keracunan menyumbang 20, 8 % dari
seluruh kematian akibat cedera yang terjadi di Amerika Serikat,
melebihi kematian yang disebabkan oleh senjata api dan kecelakaan
lalu lintas. Hal ini juga disebabkan oleh adanya peran toksikologi
(keracunan) pada kecelakaan lalu lintas, berdasarkan penyelidikan
yang dilakukan. Narkotika, menurut Pasal 1 butir 1 UU No. 35 Tahun
2009 tentang Narkotika (UU 35/2009), adalah zat atau obat yang
berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun
semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam
golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang. Kasus
keracunan baik fatal maupun non fatal hampir selalu dijumpai setiap
tahun. Walaupun bukan penyebab utama dari kasus forensik, namun
kasus keracunan perlu mendapat cukup perhatian. Secara definisi,
racun merupakan suatu zat yang apabila kontak atau masuk ke dalam
tubuh dalam jumlah tertentu (dosis toksik) merusak faal tubuh baik
secara kimia ataupun fisiologis sehingga menyebabkan sakit atau
kematian. BAB 2PEMBAHASAN1.1 KeracunanPada keracunan, yang pertama
kali penting untuk diperhatikan adalah identifikasi keracunan dan
pengobatan atau pertolongan pertama. pada peristiwa keracunan atau
kecelakaan yang disebabkan oleh bahan-bahan kimia beracun atau
bahan-bahan racun/toksis lainnya, yang mula-mula harus dilakukan
ialah mengenali (mengidentifikasi) bahan-bahan yang diduga menjadi
penyebab keracunan. Bahan-bahan racun dapat mengakibatkan berbagai
efek pada tubuh. Pengaruh bahan bahan beracun pada tubuh dapat
mengakibatkan gangguan antara lain:
1. Mempengaruhi sistem sirkulasi darah
a. Jaringan darah (pembuluh darah), menimbulkan shock disebabkan
berkurangnya aliran darah (vasogenic shock) dan berkurangnya
volume, darah pada jaringan sel-sel otak disebabkan adanya
penyempitan pembuluh-. pembuluh darah. b. Jantung merendahkan
tekanan/denyut jantung (hypotentie cardiac) terlalu banyak darah
mengalir ke jantung atau terlalu banyak darah dalam jantung
(kongesti jantung). c. Irama detak jantung tidak teratur (cardiac
arrhytrnias). d. Jantung mendadak berhenti (cardiac arrest). 2.
Mempengaruhi sistem saraf pusat:
a. Rasa sakit
b. Rangsangan sarap sentral yang berlebihan (hyperexitability),
banyak bicara/mengaco (dellirium), timbulnya kejang-kejang
(konvulsi) dan berkurangnya zat pembakaran (oksigen) dalam darah.
c. Depresi (penekanan) terhadap sarap pusat ditandai dengan
timbulnya kelumpuhan reflek umum, terhentinya alat pernapasan
(asphyxia) dan gangguan metabolisme dalam sel-sel otak. d. Gangguan
atau kelainan psikis (kejiwaan). 3. Pengaruh terhadap alat
pencernaan seperti rongga mulut (gastro intestinal tracts), seperti
rasa mual (nausea), muntah, rasa sakit daerah lambung (abdominal
pain) dan mencret (diare). 4. Pengaruh terhadap alat perkencingan,
seperti gangguan pengeluaran air kencing/ kencing sedikit-sedikit
(urinary retention) gejala kerusakan ginjal. 5. Kerusakan pada hati
(hepar), pingsan disebabkan gangguan pada hati (hepatic coma). 6.
Pengaruh terhadap keseimbangan air dalam elektrolit dalam tubuh
(dehydrasi), yaitu keseimbangan garam (NaCl), keseimbangan asam dan
basa (acidosis dan alkalosis), gangguan keseimbangan postasium dan
kalsium dalam darah. 7. Luka bakar kimia pada kulit, selaput lendir
pada mulut/tenggorok (moucus membrance) dan selaput lendir mata.
1.2 NarkotikaMenurut Undang-undang Republik Indonesia No. 35 Tahun
2009 tentang narkotika pasal 6 ayat 1, penggolongan narkotika
terdiri dari 3 golongan, yaitu:
1. Golongan I
a. Hanya digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan
b. Tidak digunakan dalam terapi
c. Potensi ketergantungan sangat tinggi
Contoh: tanaman Papaver somniferum L, Opium, tanaman koka (daun
koka, kokain merah) heroin, morfin dan ganja. 2. Golongan II
a. Untuk pengobatan pilihan terakhir
b. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan
c. Potensi ketergantungan tinggi
Contoh: Alfasetilmetadol, Benzetidin, Betametadol
3. Golongan III
a. Digunakan dalam terapi
b. Potensi ketergantungan ringan
Contoh: Opium obat, codein, petidin, fenobarbital
Dalam bidang kedokteran beberapa jenis narkotika biasa digunakan
misalnya:
1. Kokain digunakan sebagai penekan rasa sakit dikulit,
digunakan untuk anestesi (bius) khususnya untuk pembedahan mata,
hidung dan tenggorokan. 2. Kodein merupakan analgesic lemah. Kodein
tidak digunakan sebagai analgesic tetapi sebagai anti batuk yang
kuat. 3. Morfin adalah hasil olahan dari opium atau candu mentah.
Morfin mempunyai rasa pahit, berbentuk tepung halus berwarna putih
atau cairan berwarna putih. Morfin terutama digunakan untuk
menghilangkan rasa nyeri yang hebat yang tidak dapat diobati dengan
analgetik non narkotika. Apabila rasa nyeri makin hebat maka dosis
yang digunakan juga makin tinggi. Morfin juga digunakan untuk
mengurangi rasa tegang pada penderita yang akan dioperasi. 4.
Heroin digunakan sebagai obat penghilang sakit (pain killer).
Heroin merupakan abat bius yang sangat mudah membuat seseorang
kecanduan karena efeknya sangat kuat. Heroin disebut juga putaw.
1.3 OpiumSumber opium, zat-zat dari opium yang belum diolah dan
morfin bersumber dari bunga opium Papaver somniferum. Tanaman ini
telah digunakan selama lebih dari 6000 tahun dan penggunaanya
terdapat dalam dokumen-dokumen kuno Mesir, Yunani dan Romawi. Dasar
dari farmakologi modern telah diletakkan oleh Sertner, seorang ahli
farmasi Jerman, yang mengisolasi suatu zat alkali murni yang aktif
dari opium pada tahun 1803. Hal ini peristiwa penting dimana telah
dimungkinkan untuk menstandarisasi potensi suatu produk alamiah.
Setelah melakukan pengujian pada dirinya sendiri dan beberapa
kawannya, Sertner mengajukan morfin untuk senyawa ini, yang berasal
dari bahasa Yunani ; Morpheus yang berarti mimpi dari Dewa (God of
dreams). 1.3.1 DefinisiSecara definisi, opiod adalah semua zat baik
sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin.
Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering
digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan
dan nyeri paska pembedahan. 1.3.2 Reseptor OpioidReseptor opioid
yang terdapat didalam susunan saraf pusat sama baiknya dengan yang
ada disepanjang jaringan perifer. Reseptor-reseptor ini normalnya
distimulasi oleh peptida endogen (endorphins, enkephalins dan
dynorphins) diproduksi untuk merespon rangsangan yang berbahaya.
Dalam dokumen-dokumen yunani nama-nama dari reseptor opioid
berdasarkan atas bentuk dasar agonistnya:1. Mu () (agonis morphine)
reseptor-reseptor Mu terutama ditemukan di batang otak dan thalamus
medial. Reseptor-reseptor Mu bertanggung jawab pada analgesia
supraspinal, depresi pernapasan, euphoria, sedasi, mengurangi
motilitas gastrointestinal, ketergantungan fisik. Yang termasuk
bagiannya ialah Mu1 dan Mu2, yang mana Mu1 berhubungan dengan
analgesia, euphoria dan penenang, Mu2 berhubungan dengan depresi
pernapasan, preritus, pelepasan prolaktin, ketergantungan,
anoreksia dan sedasi. Ini juga disebut sebagai OP3 atau MOR
(morphine opioid receptors). 2. Kappa () (agonis ketocyklazocine)
reseptor reseptor Kappa dijumpai didaerah limbik, area
diensephalon, batang otak dan spinal cord dan bertanggung jawab
pada analgesia spinal, sedasi, dyspnea, ketergantungan, dysphoria
dan depresi pernapasan. Ini juga dikenal dengan nama OP2 atau KOR
(kappa opioid receptors). 3. Delta () (agonis
delta-alanine-delta-leucine-enkephalin) reseptor reseptor Delta
lokasinya luas di otak dan efek efeknya belum deketahui dengan
baik. Mungkin bertanggung jawab pada psykomimetik dan efek
dysphoria. Ini juga dikenal dengan nama OP1 dan DOR (delta opioid
receptors). 4. Sigma () (agonis N-allylnormetazocine) reseptor
reseptor Sigma bertanggung jawab pada efek efek psykomimetik,
dysphoria dan stres-hingga depresi. 1.3.3 Klasifikasi OpioidYang
termasuk golongan opioid ialah:
Obat yang berasal dari opium-morfin Senyawa semisintetik morfin
Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin. Di dalam klinik
opioid dapat digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin).
Akan tetapi pembagian ini sebetulnya lebih banyak didasarkan pada
efikasi relatifnya dan bukannya pada potensinya. Opioid kuat
mempunyai rentang efikasi yang lebih luas dan dapat menyembuhkan
nyeri yang berat lebih banyak dibandingkan dengan opioid lemah.
Penggolongan opioid lain adalah opioid natural (morfin, kodein,
pavaperin dan tebain), semisintetik (heroin, dihidro
morfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil,
alfentanil, sufentanil dan remifentanil). Berikut ini merupakan
turunan opioid yang sering disalahgunakan:1. CanduGetah tanaman
Papaver Somniferum didapat dengan menyadap (menggores) buah yang
hendak masak. Getah yang keluar berwarna putih dan dinamai Lates.
Getah ini dibiarkan mengering pada permukaan buah sehingga berwarna
coklat kehitaman dan sesudah diolah akan menjadi suatu adonan yang
menyerupai aspal lunak. Inilah yang dinamakan candu mentah atau
candu kasar. Candu kasar mengandung bermacam-macam zat-zat aktif
yang sering disalahgunakan. Candu masak warnanya coklat tua atau
coklat kehitaman. Diperjual belikan dalam kemasan kotak kaleng
dengan berbagai macam cap. Pemakaiannya dengan cara dihisap. 2.
MorfinMorfin adalah hasil olahan dari opium/candu mentah. Morfin
merupaakan alkaloida utama dari opium ( C17H19NO3 ). Morfin rasanya
pahit, berbentuk tepung halus berwarna putih atau dalam bentuk
cairan berwarna. Pemakaiannya dengan cara dihisap dan disuntikkan.
3. Heroin (putaw)Heroin mempunyai kekuatan yang dua kali lebih kuat
dari morfin dan merupakan jenis opiat yang paling sering
disalahgunakan orang di Indonesia pada akhir akhir ini. Heroin,
yang secara farmakologis mirip dengan morfin menyebabkan orang
menjadi mengantuk dan perubahan mood yang tidak menentu. Walaupun
pembuatan, penjualan dan pemilikan heroin adalah ilegal, tetapi
diusahakan heroin tetap tersedia bagi pasien dengan penyakit kanker
terminal karena efek analgesik dan euforik-nya yang baik. 4.
KodeinCodein termasuk garam / turunan dari opium / candu. Efek
codein lebih lemah daripada heroin dan potensinya untuk menimbulkan
ketergantungaan rendah. Biasanya dijual dalam bentuk pil atau
cairan jernih. Cara pemakaiannya ditelan dan disuntikkan. 5.
DemerolNama lain dari Demerol adalah pethidina. Pemakaiannya dapat
ditelan atau dengan suntikan. Demerol dijual dalam bentuk pil dan
cairan tidak berwarna. 1.4 Pemeriksaan Toksikologi Narkotika1.4.1
Pemeriksaan FisikPemeriksaan yang cepat harus dilakukan dengan
penekanan pada daerah yang paling mungkin memberikan petunjuk ke
arah diagnosis toksikologi, termasuk tanda vital, mata dan mutut,
kulit, abdomen dan sistem saraf. 1. Tanda-tanda vitalEvaluasi
dengan teliti tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut nadi,
pernapasan dan suhu tubuh) merupakan hal yang esensial dalam
kedaruratan toksikologi. Hipertensi dan takikardia adalah khas pada
obat-obat amfetamin, kokain, fensiklidin, nikotin dan
antimuskarinik. Hipotensi dan bradikardia, merupakan gambaran
karakteristik dari narkotika, kionidin, sedatif-hipnotik dan beta
bloker. Takikardia dan hipotensi sering terjadi dengan antidepresan
trisiklik, fenotiazin dan teofihin. Pernapasan yang cepat adalah
khas pada amfetamin dan simpatomimetik lainnya, salisilat, karbon
monoksida dan toksin lain yang menghasilkan asidosis metabolik.
Hipertermia dapat disebabkan karena obat-obat simpatomimetik,
antimuskarinik. salisilat dan obat-obat yang menimbulkan kejang
atau kekakuan otot. Hipotermia dapat disebabkan oleh obat narkotik,
fenotiazin dan obat sedatif, terutama jika disertai dengan
pemaparan pada lingkungan yang dingin atau infus intravena pada
suhu kamar. 2. MataKonstriksi pupil (miosis) adalah khas untuk
keracunan narkotika, klonidin, fenotiazin, insektisida organofosfat
dan penghambat kolinesterase lainnya, serta kornea yang dalatasi
akibat obat sedatif. Dilatasi pupil (midriasis) umumnya terdapat
pada amfetamin, kokain, LSD, atropin dan obat antirnuskarinik lain.
Nistagmus horizontal dicirikan pada keracunan dengan fenitoin,
alkohol, barbiturat dan obat seclatit lain. Adanya nistagmus
horizontal dan vertikal memberi kesan yang kuat keracunan
fensiklidin. Ptosis dan oftalmoplegia merupakan gambaran
karakteristik dari botulinum. 3. MulutMulut dapat memperlihatkan
tanda-tanda luka bakar akibat zat-zat korosif atau jelaga dan
inhalasi asap. Bau yang khas dan alkohol, pelarut hidrokarbon,
Paraldehid, atau amonia mungkin perlu dicatat. Keracunan dengan
sianida dapat dikenali oleh beberapa pemeiriksa sebagai bau seperti
bitter almonds. Arsen dan organofosfat telah dilaporkan
menghasilkan bau seperti bau bawang putih. 4. KulitKulit sering
tampak merah, panas dan kering pada keracunan dengan atropin dan
antim, muskarinik lain. Keringat yang herlebihan ditemukan pada
keracunan dengan organofosfat, nikotin dan obat-obat
simpatomimetik. Sianosis dapat disehabkan oleh hipoksemia atau
methemoglohinemia. Ikterus dapat memberi kesan adanya nekrosis hati
akilat keracunan asetaminofen atau jamur A manila phailoides. 5.
AbdomenPemeriksaan abdomen dapat menunjukkan ileus, yang khas pada
keracunan dengan antimuskarinik, narkotik dan obat sedatif. Bunyi
usus yang hiperaktif, kram perut dan diare adalah umum terjadi pada
keracunan dengan organofosfat, besi, arsen, teofihin dan A.
phalloides. 6. Sistem sarafPemeriksaan neurologik yang teliti
adalah esensial. Kejang fokal atau defisit motorik lebih
menggambarkan lesi struktural (seperti perdarahan intrakranial
akibat trauma) daripada ensefalopati toksik atau metabolik.
Nistagmus, disartria dan ataksia adalah khas pada keracunan
fenitoin, alkohol, barbiturat dan keracunan sedatif lainnya.
Kekakuan dan hiperaktivitas otot umum ditemukan pada metakualon,
haloperidol, fensiklidin (PCP) dan obat-obat simpatomimetik. Kejang
sering disebabkan oleh antidepresan trisiktik, teotilin, isoniazid
dan fenotiazin. Koma ringan tanpa refleks dan bahkan EEG
isoelektrik mungkin terlihat pada koma yang dalam karena obat
narkotika dan sedatif-hipnotik dan mungkin menyerupai kematian
otak. 1.4.2 Sindrom ToksikBerdasarkan pemeriksaan Fisik awal,
diagnosis tentatif jenis keracunan dapat dimungkinkan. Dicantumkan
dalam tabel daftar karakteristik dari beberapa sindrom keracunan
yang penting. Tabel 2. 1 Gambaran Klinik dari Berbagai Golongan
Obat
1.5 Morfin (Gambaran Forensik)1.5.1 Pemeriksaan Barang Bukti
Hidup Pada Kasus Pemakai MorfinKasus keracunan merupakan kasus yang
cukup pelik, karena gejala pada umumnya sangat tersamar, sedangkan
keterangan dari penyidik umumnya sangat minim. Hal ini, tentu saja
akan menyulitkan dokternya, apalagi untuk racun-racun yang sifat
kerjanya mempengaruhi sistemik korban. Akibatnya pihak
dokter/laboratorium akan terpaksa melakukan pendeteksian yang
sifatnya meraba-raba, sehingga harus melakukan banyak sekali
percobaan yang mana akan menambah biaya pemeriksaan. Untuk
memudahkan pemeriksaan, dilakukan pembagian kasus keracunan sebagai
berikut:
Anamnesa dan Pemeriksaan fisik
Gejala klinis:
1. Pada umumnya sama dengan gejala klinis keracunan barbiturate;
antara lain nausea, vomiting, nyeri kepala, otot lemah, ataxia,
suka berbicara, suhu menurun, pupil menyempit, tensi menurun dan
sianosis. 2. Pada keracunan akut: miosis, koma dan respirasi
lumpuh. 3. Gejala keracunan morfin lebih cepat nampak daripada
keracunan opium. 4. Gejala ini muncul 30 menit setelah masuknya
racun, kalau parenteral, timbulnya hanya beberapa menit sesudah
masuknya morfin. Pada keracunan akibat morfin, terdapat 3 tahap
yang menandai terjadinya gejala klinis yang berbeda yaitu:1. Tahap
1, tahap eksitasi, Berlangsung singkat, bahkan kalau dosisnya
tinggi, tanpa ada tahap 1, terdiri dari: Kelihatan tenang dan
senang, tetapi tak dapat istirahat. Halusinasi. Kerja jantung
meningkat, wajah kemerahan dan kejang-kejang. Dapat menjadi maniak.
2. Tahap 2, tahap stupor, dapat berlangsung beberapa menit sampai
beberapa jam (gejala ini selalu ada), terdiri dari: Kepala sakit,
pusing berat dan kelelahan. Merasa ngantuk dan selalu ingin tidur.
Wajah sianosis, pupil amat mengecil. Pulse dan respirasi normal. 3.
Tahap 3, tahap koma, tidak dapat dibangunkan kembali, terdiri dari:
Tidak ada reaksi nyeri, refleks menghilang, otot-otot relaksasi.
Proses sekresi. Pupil pinpoint, refleks cahaya negative. Pupil
melebar kalau ada asfiksisa dan ini merupakan tanda akhir.
Respirasi cheyne stokes. Pulse menurun, kadang-kadang ada kejang,
akhirnya meninggal. Pemeriksaan Toksikologi sebagai Barang
Bukti
1. Urin, cairan empedu dan jaringan tempat suntikan. 2. Darah
dan isi lambung, diperiksa bila diperkirakan keracunannya peroral.
3. Nasal swab, kalau diperkirakan melalui cara menghirup. 4. Barang
bukti lainnya. Metode yang digunakan:
1. Dengan Thin Layer Chromatography atau dengan Gas
Chromatography (Gas Liquid Chromatography) Pada metode TLC,
terutama pada keracunan peroral: barang bukti dihidroliser terlebih
dahulu sebab dengan pemakaian secara oral, morfin akan
dikonjugasikan terlebih dahulu oleh glukuronida dalam sel mukosa
usus dan dalam hati. Kalau tanpa hidrolisa terlebih dahulu, maka
morfin yang terukur hanya berasal dari morfin bebas, yang mana
untuk mencari beberapa morfin yang telah digunakan, hasil
pemeriksaan ini kurang pasti. 2. Nalorfine Test. Penafsiran hasil
test: Kadar morfin dalam urin, bila sama dengan 5 mg%, berarti
korban minum heroin atau morfin dalam jumlah sangat banyak. Bila
kadar morfin atau heroin dalam urin 5-20 mg%, atau kadar
morfin/heroin dalam darah 0, 1-0, 5 mg%, berarti pemakaiannya lebih
besar dosis lethalis. Permasalahan timbul bila korban memakai
morfin bersama dengan heroin atau bersama kodein. Sebab hasil
metabolic kodein, juga ada yang berbentuk morfin, sehingga morfin
hasil metabolic narkotika tadi berasal dari morfinnya sendiri dan
dari kodein. Sebagai patokan dapat ditentukan, kalau hasil
metabolit morfinnya tinggi, sedang mensuplai morfin hanya sedikit,
dapat dipastikan korban telah mensuplai juga kodein cukup banyak.
1.5.2 Pemeriksaan Barang Bukti Mati Pada Kasus Pemakai
MorfinPenyelidikan pada kasus kematian akibat pemakaian narkoba
memerlukan kerja sama dalam satu tim yang terdiri dari kepolisian
(penyidik), ahli forensic, psikiater maupun ahli toksikologi.
Pertanyaanpertanyaan yang sering muncul sehubungan dengan hal di
atas meliputi apakah kejadian tersebut merupakaan kesengajaan
(bunuh diri), kecelakaan, ataupun kemungkianan pembunuhan, jenis
obat apakah yang digunakan, melalui cara bagaimanakah pemakaian
obat tersebut, adakah hubungan antara waktu pemakaian dengan saat
kematian, apakah korban baru pertama kali memakai, atau sudah
beberapa kali memakai, ataupun sudah merupakan pecandu berat,
adakah riwayat alergi terhadap obat tersebut, apakah jenis narkoba
yang digunakan memprovokasi penyakit-penyakit yang mungkin sudah
ada pada korban, apakah mungkin penyakit tersebut terlibat
sehubungan dengan kematian korban. Ringksnya, penyidikan terhadap
kasus narkoba meliputi 4 aspek, yaitu:
1. TKP (Tempat Kejadian Perkara). 2. Riwayat korban. 3. Otopsi.
4. Pemeriksaan Toksikologi
Dalam kaitannya dengan TKP, dapat ditemukan bukti-bukti adanya
pemakaian narkoba. Semua pakaian maupun perhiasan dan juga barang
bukti narkoba yang ditemukan di TKP harus diperiksa dan dianalisa
lebih lanjut. Riwayat dari korban yang perlu digali meliputi
riwayat pemakaian narkoba yang bisa didapatkan melalui catatan
kepolisian, informasi dari keluarga, teman, maupun saksi-saksi yang
berkaitan dengan informasi penggunaan narkoba. Otopsi
dikonsentrasikan pada pemeriksaan luar dan dalam dan juga pada
pengumpulan sampel yang adekuat untuk pemerikasaan toksikologi.
Biasanya temuan yang paling sering didapatkan pada pemeriksaan luar
adalah busa yang berasal dari hidung dan mulut. Hal ini merupakan
karakteristik kematian yang disebabkan oleh pemakaian narkoba
meskipun tidak bersifat diagnostik, karena pada kasus tenggelam,
asfiksia, maupun gagal jantung dapat juga ditemukan tanda kematian
di atas. Selain itu pada pemeriksaan luar dapat juga ditemukan
bekas penyuntikan maupun sayatan-sayatan di kulit yang khas pada
pemakaian narkoba. Pada pemeriksaan dalam, penyebab kematian harus
digali dengan cara mencari tanda-tanda dari komplikasi akibat
pemakaian narkoba. Pembukaan cavum pleura dan jantung dibarengi
dengan mengguyur air untuk melihat adanya pneumothoraks, maupun
emboli udara. Pada pemeriksaan paru, biasanya didapatkan paru
membesar sebagai akibat adanya edema dan kongesti. Pada pemeriksaan
getah lambung jarang didapatkan bahan bahan narkoba yang masih utuh
tetapi warna dari cairan lambung daapt memberi petunjuk mengenai
jenis narkoba yang dikonsumsi. Saluran pencernaan harus diperiksa
secara keseluruhan untuk mencari bukti adanya usaha usaha
penyelundupan narkoba. Pemeriksaan makroskopis meliputi pemeriksaan
kulit dan vena pada daerah-daerah yang dicurigai merupakn tempat
suntikan. Penilaian mengenai adanya perdarahan, peradangan,
benda-benda asing dan tingkat ketebalan vena akan dapat memberikan
informasi mengenai berapa lama telah dilakukan kebiasaan menyuntik.
Ahli toksikologi perlu mendapatkan riwayat paling lengkap dan
berbagai macam barang bukti untuk dilakukan pemeriksaan. Jaringan
dan cairan tubuh yang diperiksa meliputi hepar, ginjal, paru, otak,
getah lambung, urine, darah dan cairan empedu. . Cairan empedu dan
urine secara khusus sangat penting pada kasus-kasus kematian akibat
pemakaian opiate. Rambut dan kuku kadang-kadang perlu diperiksa
untuk pemeriksaan toksikologi lain. Usapan mukosa hidung
kadang-kadang dapat menunjukkan bekas hisapan pada pemakaian kokain
maupun heroin. 1.5.3 Pemeriksaan pada Kematian Akibat Pemakaian
Opioid (Morfin Atau Heroin)Pemeriksaan Luar
Tanda-tanda yang khas sukar didapat, namun masih ada beberapa
petunjuk yang dapat dipakai sebagai acuan membuat kesimpulan sebab
kematian. 1. Lokasi needle marks: fossa ante cubiti, lengan atas
dan punggung tangan dan kaki. Tempat lain adalah leher, dibawah
lidah, perineal dan pada perempuan disekitar papilla mamae. Needle
marks yang masih baru sering disertai tanda-tanda perdarahan sub
kutan, perivenous, yaitu kalau dipencet akan keluar cairan serum
atau darah. Pada kasus ketagihan, banyak terdapat bekas suntikan
yang lama berupa jaringan parut titik-titik sepanjang lintasan vena
dan disebut intravenous mainline tracks. Kadang kadang untuk
menyamarkan needle marks itu dituttup dengan gambaran tattoase.
Juga dapat ditemukan abses, granuloma atau ulkus, yang mana cara
ini serinag didapatkan pada korban yang melakukannya dengan cara
suntikan subkutan. Dengan demikian efek toksikologinya diperlama,
artinya efek kenikmatannya menjadi lebih tahan lama. Pada mereka
inilah sering diketemukan adanya tanda-tanda abses dan lain
sebagainya. Bagaimana kalau tidak terdapat tanda bekas suntikan?
Bisa saja hal ini terjadi, sebab mungkin sekali korban menggunakan
cara lain, misalnya denngan menghirup bau morfin, atau merokok
dengan campuran heroin. Oleh karena itu dalam pemeriksaan
toksikologi, perlu diambil sediaan usap ingus (nasalswab). 2.
Hipertrofi kelenjar getah bening regional. Pada korban yang sering
menyuntik lengannya maka sering terdapat hipertrofi kelenjar getah
bening di regio aksiler. Hal ini merupakan Drain phenomenon.
Biasanya karena jarum suntikannya tidak steril. Dengan pemeriksaan
PA tampak hipertrofi dan hyperplasia limfositik. 3.
Gelembung-gelembung pada kulit. Sering terdapat pada telapak
tangan/kaki dan hal ini sering dilakukan untuk suntikan dalam
jumlah besar (overdosis). Harus dibedakan dengan intoksikasi gas CO
dan barbiturate. 4. Tanda mati lemas. Keluarnya busa putih dan
halus dari lubang hidung dan mulut yang makin lama tampak kemerahan
karena adanya proses autolisis. Tanda ini dianggap sebagai tanda
terjadinya edema pulmonum. Juga terdapat tanda sianosis pada muka,
kuku, ujung-ujung jari dan bibir. Juga ada tanda perdarahan
(bintik-bintik perdarahan) pada kelopak mata. Bahkan pada keracunan
dengan membau, dapat ditemukan perforasi pada septum nasi.
Pemeriksaan Dalam
Paru-paru
1. Perubahan akut: Mulai saat suntikan terakhir sampai dengan
saat kematian. Adapun perubahan awal yang terjadi adalah:a. Dari 0
sampai 3 jam: hanya terdapat edema dan kongesti sel-sel mononuclear
atau makrofag pada dinding alveoli. PA: Paru-paru tampak
voluminous, kadang-kadang bagian posterior lebih padat sehingga tak
ada krepitasi. Bagian anterior tampak ada emfisema yang difus
dengan terdapat benda-benda asing yang terisap di dalam bronkus.
Tampak ada kongesti, edema dengan sel-sel mononuclear dalam
alveoli. b. Dari 3 sampai 12 jam pertama. Terdapat narcotic lungs
(siegel). Tanda ini amat bermakna ( 25 % kasus). Secara makroskopis
tampak paru sangat mngembang (over inflated). Trakea tertutup busa
halus. Pada permukaan paru-paru dan penampangnya tampak gambaran
lobuler akibat adanya bermacam-macam tingkat aerasi (atelaksi
adalah aerasi yang normal, amat mengembang dan emfisma), kongesti
dan terdapat perdarahan di beberapa tempat terutama di bagian
belakang dan bawah (posterior dan inferior). Secara PA, tampak
sel-sel makrofag, perdarahan alveolar, intrabronkhiolar, subpleural
dan sel-sel polimorfonuklear. Dapat ditemukan juga aspirat di daalm
traktus respiratorius. Sering berupa susu, karena susu sering
dianggap antidotum opiate. c. Dari 12 sampai 24 jam. Proses
pneumoniasis tampak lebih rata, tampak sel-sel PMN. Sedangkan
proses lanjut yang dapat terjadi adalah apabila interval > 24
jam. Akan tampak pneumonia lobularis diffusa, tampak kecoklatan dan
granula. 2. Perubahan kronis. Terdapat perubahan berupa pneumonia
granulosis vascular. Akibat tanda adanya reaksi talk (magnesium
silikat, filter untuk natkotika). Talk ini juga dapat masuk bersama
narkotik saat disuntikkan. Kristal-kristal ini dapat dilihat dengan
mikroskop polarisasi, berwarna putih, bening atau kekuningan dan
terdapat garis refraksi. Granuloma-granuloma ini bisa dilihat dalam
vascular, perivascular, atau di dalam alveolus. Hati
Perubahan ini nampak lebih jelas pada korban yang sudah lama
menyandu. Terdapat pengumpulan limfosit, sel-sel PMN dan beberapa
sel-sel narkotika. Juga nampak fibrosis jaringan dan adanya sel-sel
ductus biliaris yang mengalami proliferasi. Ada 4 kelainan:1.
Hepatitis agresif kronika: tandanya ada pembentukan septa. 2.
Hepatitis persisten kronika: adanya infiltrasi sel radang didaerah
portal
3. Hepatitis reaktif kronika. 4. Perlemakan hati. Getah
Bening
1. Lokasi: terutama di daerah portal hepatic, di sekitar kaput
pankreas dan duktus kholedocus. Makin berat menyandunya, makin
banyak kelainanya. 2. Makroskopis: tampak pembesaran3. Mikroskopis:
tampak adanya hyperplasia dan hipertropi limfosit. Pemeriksaan
Toksikologi
1. Urin, cairan empedu dan jaringan temapt suntikan. 2. Darah
dan isi lambung, diperiksa bila keracunanya peroral. 3. Nasal swab,
kalau diperkirakan melalui cara membau dan menghirup4. Barang bukti
lainnya. 1.6 HeroinHeroin adalah semi sintetik opioid yang
disintesa dari morphin yang merupakan derivat dari opium. Pada
kadar yang lebih rendah dikenal dengan sebutan putaw. Karakteristik
dari heroin dapat berupa bubuk putih, bubuk coklat dan blacktar.
Cara pemakaian heroin dapat di Injeksi, dihirup atau dihisap. Efek
jangka pendek dan jangka panjang dari heroin:
Short termLong term
GelisahAddiksi
Depresi pernafasanHIV, hepatitis
Fungsi mental berkabutKolaps vena
Mual dan muntahInfeksi bakteri
Menekan nyeriPenyakit paru (pneumonia, TBC)
Abortus spontanInfeksi jantung dan katupmnya
Penyebab kematian heroin pada heroin dapat disebabkan oleh
berbagai mekanisme yaitu:
Depresi pusat pernafasan
Edema Paru: terjadinya edema paru diakibatkan oleh peningkatan
tekanan cairan serebrospinal dan tekanan intracranial serta
berkurangnya sensitifitas pusat pernafasan terhadap CO2 Kematian
pada pemakai narkotika dapat pula diakibatkan oleh berbagai hal
lain seperti: pemakaian alat suntik dan bahan yang tidak steril
sehingga menimbulkan infeksi, misalnya: pneumonia, endokarditis,
hepatitis, tetanus, AIDS. Bila cara penyuntikan tidak benar, atau
jarum lepas dari semprit saat yang bersangkutan telah dalam keadaan
fly, dapat terjadi masuknya udara sehingga menimbulkan emboli
udara. Pemeriksaan forensik:
Bekas-bekas suntikan
Rajah yang bertujuan menutupi bekas-bekas suntikan, atau mungkin
ditemukan adanya abces, granuloma atau ulkus. Perlu diambil hapus
selaput lendir hidung (nasal-swab) untuk pemeriksaan
toksikologik
Pembesaran kelenjar getah bening setempat
Lepuh kulit (skin-blister)
Kelainan paru
Kelainan hati
BAB 3SIMPULAN1.7 Simpulan Wawancara medis, pemeriksaan tempat
ditemukannya korban dan tes toksikologi merupakan hal yang sangat
penting untuk mendeteksi jenis keracunan yang mengenai korban .
Aplikasi pemeriksaan toksikologi penting untuk mebedakan agen
penyebab keracunan yang jelas dan tanda dan gejala pada saat pasien
keracunan juga merupakan kunci untuk menegakkan diagnosis
keracunan.DAFTAR PUSTAKADavis, G. G. (2012). Forensic Toxicology
Drugs and Chemicals. Tersedia dalam: http://emedicine. medscape.
com/article/1680257-overview#showall (Diakses pada 14 Januari
2014). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika. Tersedia dalam: http://www. depkes. go.
id/downloads/uu_No. _35_Th_2009_ttg_Narkotika. pdf (Diakses pada 14
Januari 2014). Universitas Sumatera Utara (2012). Klasifikasi
Seorang Penyalahguna Narkotika Dapat Dikatakan sebagai Seorang
Pecandu Narkotika. Tersedia dalam: http://repository. usu. ac.
id/bitstream/123456789/34400/3/Chapter%20II. pdf (Diakses pada 14
Januari 2014). Universitas Gadjah Mada (2012). Penatalaksanaan Umum
Keracunan. Tersedia dalam: http://elisa. ugm. ac.
id/user/archive/download/40898/0ef442cd7a2656489416eddb02b45054
(Diakses pada 14 Januari 2014).