BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Autisme Autisme berasal dari bahasa Yunani yaitu autos yang berarti “diri sendiri”. Autisme merupakan suatu keadaan atau pendirian atau sikap hidup di mana orang terserap oleh gagasan, pemikiran, pendirian, kehendak dan gaya hidupnya sendiri, sampai tidak mementingkan sesama, masyarakat, dan keadaan sekitarnya (Mangunharjana, 1997). Pada awalnya autisme dipandang sebagai gangguan yang disebabkan oleh faktor psikologis, yaitu pola pengasuhan orangtua yang tidak hangat secara emosional. Barulah sekitar tahun 1960 dimulai penelitian neurologis yang membuktikan bahwa autisme disebabkan oleh adanya abnormalitas pada otak (Minshew dalam Ginanjar 2007). Menurut Sacharin, M.Rossa dalam Ivana (2009) autisme adalah suatu keadaan dimana seseorang asyik dengan dunianya sendiri. Keadaan ini biasanya dijumpai untuk pertama kali pada masa kanak-kanak sebelum usia dua setengah tahun. Penderita juga biasanya menarik diri dari kenyataan atau keadaan disekitarnya dan memasuki fikiran serta dunia fantasinya sendiri dan akan lebih parah lagi pada kasus-kasus berat penderita akan terbenam dalam halusinasinya sendiri. Autisme merupakan suatu kumpulan sindrom akibat kerusakan syaraf. Penyakit ini mengganggu perkembangan anak. Diagnosisnya diketahui dari gejala- gejala yang tampak dan ditunjukkan dengan adanya penyimpangan perkembangan.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Autisme
Autisme berasal dari bahasa Yunani yaitu autos yang berarti “diri sendiri”.
Autisme merupakan suatu keadaan atau pendirian atau sikap hidup di mana orang
terserap oleh gagasan, pemikiran, pendirian, kehendak dan gaya hidupnya sendiri,
sampai tidak mementingkan sesama, masyarakat, dan keadaan sekitarnya
(Mangunharjana, 1997).
Pada awalnya autisme dipandang sebagai gangguan yang disebabkan oleh
faktor psikologis, yaitu pola pengasuhan orangtua yang tidak hangat secara
emosional. Barulah sekitar tahun 1960 dimulai penelitian neurologis yang
membuktikan bahwa autisme disebabkan oleh adanya abnormalitas pada otak
(Minshew dalam Ginanjar 2007).
Menurut Sacharin, M.Rossa dalam Ivana (2009) autisme adalah suatu
keadaan dimana seseorang asyik dengan dunianya sendiri. Keadaan ini biasanya
dijumpai untuk pertama kali pada masa kanak-kanak sebelum usia dua setengah
tahun. Penderita juga biasanya menarik diri dari kenyataan atau keadaan disekitarnya
dan memasuki fikiran serta dunia fantasinya sendiri dan akan lebih parah lagi pada
kasus-kasus berat penderita akan terbenam dalam halusinasinya sendiri.
Autisme merupakan suatu kumpulan sindrom akibat kerusakan syaraf.
Penyakit ini mengganggu perkembangan anak. Diagnosisnya diketahui dari gejala-
gejala yang tampak dan ditunjukkan dengan adanya penyimpangan perkembangan.
Menurut Mardhani dalam Prasetya (2009) beberapa anak autisme sudah
menunjukkan perilaku tertentu sejak lahir namun yang sering diperhatikan keluarga
mulai tampak pada usia 18-36 bulan. Perilaku tersebut meliputi tingkah laku yang
aneh, menolak kehadiran orang lain serta mengalami kemunduran dalam berbahasa,
bicara, sosialisasi dan ketrampilan yang pernah dimilikinya.
2.1.1. Epidemiologi Autisme
Prevalensi atau peluang timbulnya penyakit autisme semakin tinggi, pada
tahun 1988 terdapat sekitar 1 dari 10.000 anak terkena autisme. Pada tahun 2003, 1
dari 1000 anak, tahun 2007 1 dari 166 anak, dan saat ini 1 dari 150 anak atau setiap
tahun timbul sekitar 9000 anak autisme baru (Winarno dan Agustina, 2008).
Banyaknya jumlah autisme diatas sangat mengkhawatirkan mengingat sampai
saat ini penyebab autisme masih misterius dan menjadi bahan perdebatan diantara
para ahli dan dokter di dunia.
Menurut Lestiani, penyebab autisme sangat kompleks diantaranya dapat
disebabkan oleh genetik, virus, gangguan fungsi imun, kelainan organ otak, gangguan
gastrointestinal dan paparan logam berat.
2.1.2. Gangguan Gizi pada Autisme
Menurut Soenarti dan Soetardjo dalam Yanti (2009) Adapun beberapa gangguan
gizi yang sering ditemukan pada penyandang autisme adalah sebagai berikut :
1. Kekurangan seng yang ditemui hampir 90% pada anak autisme. Seng
antara lain diperlukan untuk perkembangan sistem imun yang sempurna.
2. Kekurangan kalsium dan magnesium. Kalsium bermanfaat untuk
pembentukan tulang dan gigi sedangkan magnesium berfungsi sebagai
katalisator reaksi yang berkaitan dengan metabolise.
3. Kekurangan asam lemak omega 3, serat makanan, antioksidan dan vitamin
lain hampir terlihat pada semua anak autisme.
4. Hampir 90% anak autisme kelebihan zat tembaga (cooper). Zat tembaga
yang belebihan dapat berperan sebagai prooksidan yang dapat
meningkatkan penghancuran asam lemak dalam sel, terutama pada sel
otak.
Konsekuensi gangguan gizi tersebut dapat berdampak pada otak, sistem imun,
dan saluran cerna anak autisme. Pengaturan makanan sesuai dengan kondisi anak
sangat membantu memperbaiki keadaan kurang gizi (Wijayakusuma, 2004).
2.2. Pemberian Makan pada Anak Autisme
Pola pemberian makan yang baik sangat menentukan keadaan gizi pada
seorang anak. Pemberian makanan yang sehat, beragam dan sesuai kebutuhan dapat
mendorong seorang anak untuk dapat hidup sehat. Namun hal ini berbeda untuk anak
autisme. Pada anak autisme terdapat beberapa jenis makanan yang tidak boleh
dikonsumsi, hal ini disebabkan karena adanya gangguan pada sistem pencernaan
anak. Makanan yang mengandung zat-zat gizi tinggi tidak selamanya dapat dicerna
dan diterima oleh anak penyandang autisme dimana gangguan saluran cerna yang
dialami oleh anak autisme antara lain seperti alergi makanan, intoleransi makanan,
intoleransi gluten, intoleransi casein dan sebagainya (Judarwanto 2009). oleh karena
itu anak autisme memerlukan diet khusus sebagai terapi penyembuhan dan
menghindari masalah kekurangan gizi yang berdampak pada pertumbuhannya secara
fisik dan perkembangannya.
2.3. Faktor Penyebab Gangguan Makan pada Anak Autisme
Terdapat berbagai macam faktor dapat yang menyebabkan gangguan makan
pada autisme, antisipasi secara dini dapat dilakukan untuk menghindari hal-hal yang
dapat memperparah kondisi pada anak autisme. Menurut Soenardi dan Soetardjo
dalam Yanti (2009), terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya
gangguan makan pada autisme antaralain sebagai berikut :
2.3.1. Gangguan Pencernaan Protein Gluten dan Kasein
Gluten adalah protein tepung terigu dan kasein adalah protein susu. Anak
dengan gangguan autisme sering mengalami gangguan mencerna gluten dan kasein.
Menurut P. Deufemia, anak dengan gangguan autisme banyak mengalami leaky guts
(kebocoran usus). Pada usus yang normal sejumlah kecil peptida dapat juga
merembes ke aliran darah, tetapi sistem imun tubuh dapat segera mengatasinya.
Peptida berasal dari gluten (gluteomorphin) dan peptida kasein (caseomorphin) yang
tidak tercerna sempurna, bersama aliran darah masuk ke otak lalu ke reseptor
“opioid”. Peningkatan aktivitas opioid akan menyebabkan gangguan susunan saraf
pusat dan dapat berpengaruh terhadap persepsi, emosi, perilaku dan sensitivitas.
Opioid adalah zat yang bekerjanya mirip morphine dan secara alami dikenal sebagai
“beta endorphin”.
Endorphin adalah penekan/pengurang rasa sakit yang secara alami diproduksi
oleh tubuh. Pada anak dengan gangguan autisme, kadang-kadang endorphin bekerja
terlalu jauh dalam menekan rasa sakit sehingga anak akan tahan terhadap rasa sakit
yang berlebihan. Menurut ilmuwan Christopher Gillberg, pada anak autisme, kadar
zat semacam endorphin pada otak meningkat sehingga dapat menyebabkan gangguan
pada fungsi otak. Dari beberapa penelitian pemberian diet tanpa gluten dan kasein
ternyata memberikan respon yang baik terhadap 81% anak autisme.
2.3.2. Infeksi Jamur/yeast
Dalam usus terdapat berbagai jenis mikroorganisme misalnya bakteri dan
jamur, yang hidup berdampingan tanpa mengganggu kesehatan. Yeast yang dimaksud
di sini adalah sejenis jamur, berupa organisme bersel tunggal yang hidup pada
permukaan buah, sayuran, butir/bulir, kulit, dan usus. Candida albican adalah sejenis
yeast yang hidup dalam saluran cerna, yang dalam keadaan normal tidak mengganggu
kesehatan. Apabila keseimbangan dengan mikroorganisme lain terganggu, maka
salah satu akan tumbuh berlebihan dan dapat menyebabkan penyakit. Pemberian
antibiotika seperti amoxicillin, ampicillin, tetracycline, keflex yang terlalu lama dan
sering akan menyebabkan bakteri baik (lactobacillus) akan ikut terbunuh sehingga
akan mengganggu kesehatan. Antibiotik tidak membunuh candida, akibatnya jamur
akan tumbuh subur dan dapat mengeluarkan racun yang melemahkan sistem imun
tubuh sehingga mudah terjadi infeksi.
2.3.3. Alergi dan Intoleransi Makanan
Hal lain yang diduga berperan pada masalah autisme adalah alergi dan
intoleransi makanan. Gejalanya bermacam-macam, misalnya sakit kepala, sakit perut,
diare, mual, gangguan tidur, cengeng, hiperaktif, agresif, gampang marah, infeksi
telinga, dan lain-lain.
Alergi makanan adalah reaksi tubuh terhadap makanan atau komponen
makanan yang menyimpang dari normal, melibatkan sistem imun, dan menimbulkan
gejala yang merugikan tubuh. Semua zat yang menyebabkan reaksi imunologi disebut
alergen. Apabila alergen masuk ke dalam tubuh, maka zat antibodi terhadap alergen
tersebut dilepas sehingga memicu terjadninya alergi. Potensi terjadinya alergi
makanan pada seseorang sering merupakan keturunan. Beberapa makanan yang
sering menimbulkan alergi antara lain ikan, udang, telur, dan susu.
Intoleransi makanan merupakan reaksi negatif terhadap makanan dan
menimbulkan beberapa gejala, namun tidak melibatkan sistem imun tubuh.
Intoleransi makanan disebabkan kekurangan enzim untuk mencerna zat tertentu
dalam makanan. Misalnya toleransi susu dapat diakibatkan kekurangan enzim laktase
yaitu enzim yang memecah laktosa (gula susu). Makanan yang sering menimbulkan
reaksi intoleransi adalah susu, telur, gandum, dan kacang-kacangan, serupa dengan
makanan yang dapat menyebabkan masalah pada anak autisme. Untuk mendiagnosa
alergi dan intoleransi makanan tertentu, orangtua sering mengalami kesulitan karena
reaksi dapat terjadi segera atau sampai 72 jam setelah makan.
2.3.4. Keracunan Logam Berat
Ada hubungan yang jelas antara keracunan logam berat dan berbagai
gangguan syaraf. Logam berat seperti timbal (Pb), merkuri (Hg), arsenik, aluminium,
dan lainnya masuk ke dalam tubuh secara tidak sengaja melalui udara, air, makanan,
obat, kosmetik, vaksinasi, dan sebagainya. Timbal dipakai misalnya dalam bensin,
minyak pelumas, cat tembok, batu batere, dan aki mobil/motor. Sedangkan merkuri
(Hg) banyak dipakai dalam bidang kedokteran sebagai tambal gigi, obat tetes mata,
thermometer, tensimeter, kosmetik, juga digunakan dalam mendulang emas,
menyamak kulit, dan mengawetkan gandum supaya tidak berjamur. Aluminium
banyak digunakan sebagai alat masak seperti wajan dan panci.
Logam berat merupakan racun keras terhadap susunan saraf pusat, terutama
pada anak karena metabolismenya lebih cepat. Keracunan logam berat juga dapat
menyebabkan masalah pada sistem organ tubuh. Misalnya, keracunan merkuri dapat
menyebabkan gangguan keseimbangan sel-sel imun dalam tubuh, mengganggu
respon imun terhadap makanan, dan dapat mengakibatkan kekurangan seng dan
selenium.
Tes keracunan logam berat dapat dilakukan melalui darah, rambut, dan
urin/air seni. Bila ternyata menderita keracunan logam berat, maka cara membuang
logam beracun dari tubuh antara lain dengan terapi chelasi.
2.4. Penanganan Gangguan Makan pada Autisme
Gangguan pencernaan kronis tampaknya sebagai penyebab yang paling
penting dalam gangguan makan yang terjadi pada anak autisme. Gangguan saluran
cerna kronis yang terjadi adalah imaturitas saluran cerna, alergi makanan, intoleransi
makanan, penyakit coeliac dan gangguan reaksi simpang makanan lainnya. Sebagian
besar kelainan reaksi simpang makanan tersebut terjadi karena adanya jenis makanan
yang mengganggu saluran cerna anak sehingga menimbulkan kesulitan makan.
Berkaitan dengan hal ini tampaknya pendekatan diet merupakan penatalaksanaan
terkini yang cukup inovatif (Judarwanto, 2009).
Suatu studi kasus yang dilakukan oleh European Laboratory of Nutrients in
the Netherlands pada anak penyandang autisme berumur empat tahun dan mengalami
masalah serius dalam berbicara dan berbahasa, perkembangan sosial serta emosional
yang jauh tertinggal.
Setelah dianalisa ditemukan bahwa anak ini kekurangan lima jenis vitamin
dan tiga jenis mineral, serta asam amino taurine dan carnitine dalam tubuhnya sangat
rendah, selain itu sistem pencernaannya sangat payah, flora usus yang abnormal
dengan indikasi infeksi oleh yeast, test juga menunjukkan ia sensitif terhadap produk
susu serta beberapa makanan yang lain. Kondisi seperti ini adalah hal yang umum
bagi penderita autisme.
Terapi yang diberikan berupa makanan yang bebas dari susu dan kasein,
pemberian supplemen untuk mengatasi kekurangan nutrisi tadi, lalu kemudian diberi
obat anti jamur (Nystatin). Pada umur enam tahun, dia sudah dapat memasuki sekolah
untuk anak normal.
Dengan melakukan koreksi diet dan makanan dapat memberikan perbaikan
yang sangat signifikan dari penyakit autisme ini. Sebagaimana diketahui gejala dari
autisme sangat beragam, demikian juga pemicu dari penyakit ini, oleh karena itu
pedoman diet bagi anak autisme juga sangat bervariasi dan bersifat individu.
Perhatian dan pengalaman orang tua sangat diperlukan untuk mengatur makanan
yang dapat menghindarkan anak dari meningkatnya gejala autisme (Melilea
Indonesia, 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Megson dalam Lestiani pada 60 anak autisme
yang diberikan vitamin A natural dari minyak ikan (cod oliver oil) selama tiga bulan
atau lebih telah menunjukkan berbaikan gejala inti autisme seperti bahasa, kontak
mata, kemampuan sosialisasi dan pola tidur.
Terapi diet harus disesuaikan dengan gejala utama yang timbul pada anak.
Berikut beberapa contoh diet untuk anak autisme menurut Soenardi dan Soetardjo
dalam Yanti (2009).
2.4.1. Diet Tanpa Gluten dan Tanpa Kasein
Berbagai diet sering direkomendasikan untuk anak dengan gangguan autisme.
Pada umumnya, orangtua mulai dengan diet tanpa gluten dan kasein, yang berarti
menghindari makanan dan minuman yang mengandung gluten dan kasein.
Gluten adalah protein yang secara alami terdapat dalam gandum/terigu,
havermuth/oat, dan barley. Gluten memberi kekuatan dan kekenyalan pada tepung
terigu dan tepung bahan sejenis, sedangkan kasein adalah protein susu. Pada orang
sehat, mengonsumsi gluten dan kasein tidak akan menyebabkan masalah yang
serius/memicu timbulnya gejala. Pada umumnya, diet ini tidak sulit dilaksanakan
karena makanan pokok orang Indonesia adalah nasi yang tidak mengandung gluten.
Perbaikan/penurunan gejala autisme dengan diet khusus biasanya dapat dilihat dalam
waktu antara 1-3 minggu. Apabila setelah beberapa bulan menjalankan diet tersebut
tidak ada kemajuan, berarti diet tersebut tidak cocok dan anak dapat diberi makanan
seperti sebelumnya.
a. Makanan yang dihindari adalah :
- Makanan yang mengandung gluten, yaitu semua makanan dan minuman yang
dibuat dari terigu, havermuth, dan oat misalnya roti, mie, kue-kue, cake, biscuit,
kue kering, pizza, macaroni, spageti, tepung bumbu, dan sebagainya.
- Produk-produk lain seperti soda kue, baking soda, kaldu instant, saus tomat dan
saus lainnya, serta lada bubuk, mungkin juga menggunakan tepung terigu sebagai
bahan campuran. Jadi, perlu hati-hati pemakaiannya. Cermati/baca label pada
kemasannya.
- Makanan sumber kasein, yaitu susu dan hasil olahnya misalnya, es krim, keju,
mentega, yogurt, dan makanan yang menggunakan campuran susu.
- Daging, ikan, atau ayam yang diawetkan dan diolah seperti sosis, kornet, nugget,
hotdog, sarden, daging asap, ikan asap, dan sebagainya. Tempe juga tidak
dianjurkan terutama bagi anak yang alergi terhadap jamur karena pembuatan
tempe menggunakan fermentasi ragi.
- Buah dan sayur yang diawetkan seperti buah dan sayur dalam kaleng.
b. Makanan yang dianjurkan adalah :
- Makanan sumber karbohidrat dipilih yang tidak mengandung gluten, misalnya