Sumber Ajaran Islam yang Diperselisihkan Oleh: Kelompok 9 Kelas PAI 7.1 Abdurrozaq (122010101086) Elisa Ratnasari (122010101087) Diastri Nur Suprobo Dewi (122010101088) Maulidiah Ayuningtyas (122010101089)
Sumber Ajaran Islam yang Diperselisihkan
Oleh:
Kelompok 9 Kelas PAI 7.1
Abdurrozaq (122010101086)
Elisa Ratnasari (122010101087)
Diastri Nur Suprobo Dewi (122010101088)
Maulidiah Ayuningtyas (122010101089)
Ahmad Hashemi (122010101090)
Universitas Jember
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan
Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Sumber Ajaran
Islam yang Diperselisihkan”
Makalah ini berisikan tentang informasi mengenai “Sumber Ajaran Islam
yang Diperselisihkan”, Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada
kita semua tentang “Sumber Ajaran Islam yang Diperselisihkan”.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah
SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Jember, 27 September 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar....................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang...................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 3
2.1. Ihtihsan.................................................................................................. 3
2.1.1. Pengertian Ihtihsan........................................................................ 3
2.1.2. Dasar Dasar Ihtihsan..................................................................... 3
2.1.3. Macam Macam Ihtihsan................................................................ 5
2.1.4. Kehujjahan Ihtihsan....................................................................... 8
2.2. Istishab.................................................................................................. 10
2.2.1. Pengertian Istishab........................................................................ 10
2.2.2. Macam Macam Istishab................................................................ 11
2.2.3. Kehujjhan Istishab......................................................................... 12
2.3. Maslahah Mursalah............................................................................... 14
2.3.1. Pengertian Maslahah Mursalah..................................................... 14
2.3.2. Syarat Syarat Maslahah Mursalah................................................. 14
2.3.3. Macam Macam Maslahah Mursalah............................................. 15
2.3.4. Kehujjahan Maslahah Mursalah.................................................... 18
2.3.5. Alasan Ulama menjadikannya sebagai Hujjah.............................. 19
2.4. Saddu Dzari’ah...................................................................................... 20
2.4.1. Pengertian Saddu Dzari’ah............................................................ 20
2.4.2. Dasar Hukum Saddu Dzari’ah....................................................... 21
2.4.3. Obyek Saddu dzari’ah................................................................... 23
2.4.4. Ketentuan Dasar Mengamalkan Saddu Dzari’ah.......................... 23
2.5. Uruf....................................................................................................... 25
2.5.1. Pengertian Uruf............................................................................. 25
2.5.2. Macam Macam Uruf..................................................................... 25
2.5.3. Kehujjahan Uruf............................................................................ 29
BAB III PENUTUP............................................................................................... 31
3.1 Kesimpulan............................................................................................ 31
3.2 Saran....................................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 32
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Kata-kata “Sumber Hukum Islam’ merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir
al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang
ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti ‘sumber
hukum Islam’, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir
al-Ahkâm oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti
dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah1. Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah
dalil-dalil hukum syara’ yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk
menemukan hukum’.
Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan
ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang
disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga
sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan
Qiyas).
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para
ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân, istishab, maslahah
mursalah, saddu dzari’ah, dan uruf.
Oleh karena itu, penyusun membuat makalah tentang “Sumber Ajaran Islam
yang Diperselisihkan” ini dengan di dalamnya terdapat lima hal yaitu istihsan,
istishab, maslahah mursalah, saddu dzari’ah dan uruf dengan tujuan menjelaskan
terhadap pembaca dan menggali khazanah yang lebih dalam lagi.
1 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu), 1999, hal 82.
1.2. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu istihsan?
2. Apa itu istishab?
3. Apa itu maslahah mursalah?
4. Apa itu saddu dzari’ah?
5. Apa itu uruf?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. IHTIHSAN
2.1.1. Pengertian Ihtihsan
Secara harfiah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni
menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan.
Menurut pengertian ulama ushul, istihsan adalah adalah sebagai berikut ini:
1. Menurut Al-khozali dalam kitabnya Al-Mustashfa juz 1 : 137, “istihsan adalah
semuua hal yang di anggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.”
2. Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata: istihsan adalah suatu keadilan
terhadap hukum dan pandangannya karena ada dalil tertentu dari Al-Qur’an dan
sunnah.
3. Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam mazhab Al-Maliki berkata, “istihsan adalah
pengambilan suatu kemaslahatan yang bersifat Juz’I dalam menanggapi dalil
yang bersifat global.”
4. Menurut Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi, “istihsan adalah perbuatan adil
terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain,
karena adanya sesuatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan.”
5. Menurut Muhammad Abu zahrah,” definisi yang lebih baik adalah menurut Al-
Hasan Al-kurkhi di atas.”
6. Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa istihsan adalah perbuatan adil dalam
hukum yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia, dan lain-
lain.[1][1]
2.1.2. Dasar-Dasar Istihsan
Dasar-dasar terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits rasulullah Saw, antara lain:
1. Dasar-Dasar Istihsan Dalam Al-qur’an:
[1][1] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, ( Bandung : Pustaka Setia,1998 ), Hal. 111.
الذين أولئك أحسنه فيتبعون القول يستمعون الذين
اآللباب أولو هم وأولئك الله هداهمArtinya: “yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik
diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah SWT petunjuk dan
mereka itulah yang mempunyai akal”.(Qs.Az-Zumar:18).
2. Dasar-Dasar Istihsan Dalam Hadits
: صلى الله رسول قال قال عنه الله رضي أنس عن
). : رواه العبادةالفقه وخير أيسره خيردينكم وسلم عليه الله
( البر عبد ابنArtinya: “Anas ra, berkata, rasulullah Saw, sebaik-baik agamamu adalah yang
lebih mudah ajarannya, dan sebaik-baik ibadah adalah yang dipahami syarat-syarat
dan rukun-rukunnya”.(HR.Ibnu Abdul Barr).
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Mazhab Hanafi, menurut mereka
istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jalli
atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang
ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu
kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan
hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan
karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang
berlainan. Disamping Mazhab Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan
ialah sebagian Mazhab Maliki dan sebagian Mazhab Hambali.
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah
Mazhab Syafi'i. Istihsan menurutnya adalah menetapkan hukum syara' berdasarkan
keinginan hawa nafsu. Imam Syafi'i berkata: "Siapa yang berhujjah dengan istihsan
berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara' berdasarkan keinginan hawa
nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara' hanyalah Allah SWT."
Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan: "Perumpamaan orang
yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang
menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka'bah,
tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara' untuk menentukan arah Ka'bah itu."
Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta
pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan
menurut pendapat Mazhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Mazhab
Syafi'i. Menurut Mazhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada
suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Mazhab Syafi'i,
istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih
enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan
pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena
itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan: "orang yang menetapkan
hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata,
akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai
dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara' dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah
syara' yang umum".
2.1.3. Macam-Macam Istihsan
Ditinjau dari segi pengertian istihsan menurut ulama ushul fiqh di atas, maka
istihsan itu terbagi atas dua macam, yaitu:
1. Pindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang mengharuskan
pemindahan.
2. Pindah dari hukum kulli kepada hukum juz-i, karena ada dalil yang
mengharuskannya. Istihsan macam ini oleh Madzhab Hanafi disebut istihsan
darurat, karena penyimpangan itu dilakukan karena suatu kepentingan atau karena
darurat.
A. Contoh istihsan macam pertama:
1. Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian,
maka yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air di atas
tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan. Menurut qiyas jali
hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu
dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari
penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang
penting ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh
dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa
yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang
kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting
pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang
sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika
waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan
tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena
itu perlu dicari asalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada
persamaan 'illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi
qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya
tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi,
yang disebut istihsan.
2. Menurut Madzhab Hanafi: sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang
burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan
dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing
dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah
bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang
buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke
tempat minumnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya
dengan mulut binatang huas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram
dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang
atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu
sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram
dimakan, sebab diantara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini
keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan
binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali
kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
B. Contoh istihsan macam kedua
1. Syara' melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian
tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan.
Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum
kuIIi. Tetapi syara' memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang
dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu
yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam).
Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas
perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu merupakan
pengecualian (istitana) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz-i,
karena keadaan memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam
masyarakat.
2. Menurut hukum kulli, seorang pemboros yang memiliki harta berada di bawah
perwalian seseorang, karena itu ia tidak dapat melakukan transaksi hartanya
tanpa izin walinya. Dalam hal ini dikecualian transaksi yang berupa waqaf.
Orang pemboros itu dapat melakukan atas namanya sendiri, karena dengan waqaf
itu hartanya terpelihara dari kehancuran dan sesuai dengan tujuan diadakannya
perwalian, yaitu untuk memelihara hartanya (hukum juz-i).
Dari contoh di atas nampak bahwa karena adanya suatu kepentingan atau
keadaan maka dilaksanakanlah hukum juz-i dan meninggalkan hukum kulli.
Ditinjau dari segi sandarannya, maka istihsan terbagi kepada:
1. Istihsan dengan sandaran qiyas khafi;
2. Istihsan dengan sandaran nash;
3. Istihsan dengan sandaran 'urf; dan
4. Istihsan dengan sandaran keadaan darurat.[2][2]
2.1.4. Kehujjahan Ihtihsan
Pandangan para ulama tentang istihsan:
1. Ulama hanafiah
Abu Zahrah berpendapat bahwa bahwa Abu Hanifah banyak sekali
menggunakan istihsan. Begitu pula dalam keterangan yang ditulis dalam
beberapa kitab ushul yang menyebutkan bahwa Hanifah mengikuti adanya
istihsan.
2. Ulama malikiyah
Asy-syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat
dalam hukum sebagaimana pendapat imam maliki dan imam Abu Hanifah.
3. Ulama hanabilah
Dalam beberapa kitab ushul disebutkan bahwa golongan hanabilah mengikuti
adanya istihsan, sebagai mana dikatakan oleh imam Al Amudi dan Ibnu Hazib.
Akan tetapi, Al-jalal al-mahalli dalam kitab Syarh Al-Jam’ Al-Kawami
mengatakan bahwa istihsan itu di akui oleh Abu Hanifah, namun ulama yang
lain mengingkari termasuk didalamnya golongan hanabilah.
4. Ulama syafi’iyah
Golongan Al-Syafi’I secara mashyur tidak mengakui adanya istihsan, dan
mereka benar-benar menjahui untuk menggunakannya dalam istimbat hukum
dan tidak menggunakan sebagai dalil. Bahkan, imam syafi’I berkata: “barang
siapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah membuat syari’at.” Beliau
juga berkata : ”sesungguhnya urusan itu telah diatur oleh Allah SWT,
[2][2].http://makalah-gratis.blogspot.com/2007/09/istihsan-kumpulan-makalah-ushul-
fiqh.html.
setidaknya ada yang menyerupainya sehingga dibolehkan menggunakan qiyas,
namun tidak boleh menggunakan istihsan.”[3][3]
Menurut ulama hanafiyyah, malikiyyah dan sebagaian ulama hanabilah,
ihtihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Alasan
yang mereka ungkapkan adalah:
Ayat-ayat yang mengacu kepada mengangkatkan kesulitan dan kesempitan
dari umat manusia, yaitu firman Allah SWT dalam surat Al-Baqorah Ayat
185:
العسر بكم يريد اليسر بكم الله يريدArtinya:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
kepadamu”. (Qs.Al-Bakarah. 185)
Dalam surat Az-zumar ayat 55 Allah berfirman:
ربكم من إليكم أبزل ما أحسن واتبعواArtinya:
“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”,
(Qs. Az-zumar 55)
Rasulullah dalam riwayat Abdullah Ibn Mas’ud mengatakan:
حسن الله عند فهو حسنا المسلمون ماراهArtinya:
“sesuatu yang dipandang baik oleh umat islam, maka ia juga baik dihadapan
Allah SWT”. (HR. Ahmad Ibnu Hanbal dan Abdullah bin mas’ud).
Hasil penelitian dari berbagai ayat dan hadits terdapat berbagai permasalahan
yang terperinci menunjukan bahwa memberlakukan hukum sesuai dengan
kaidah umum dan qiyas adakalanya membawa kesulitan bagi umat manusia,
[3][3] Rachmat Syafe’i,Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia, 1998), Hal.112.
sedangkan syari’at islam ditunjukkan untuk menghasilkan dan mencapai
kemaslahatan manusia. Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid dalam
menetapkan hukum memandang bahwa kaidah umum atau qiyas tidak tepat
diberlakukan, maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang memberikan
hukum lebih sesuai dengan kemaslahatan manusia.[4][4]
2.2. ISTISHAB
2. 2.1. Pengertian Istishab
Menurut Hasby Ash-Shidiqy
) دكون اعتقا الغير نعدام ال عليه ن كا ما على ن كا ما ابقاء
فىالحال ته ثبو ظن يوجب ضر اوالحا ضى الما فى الشىء
ل واالستقبا’Mengekalkan apa yang sudah ada atas keadaan yang telah ada, karena tidak ada
yang mengubah hukum atau karena sesuatu hal yang belum di yakini.
Definisi lain yang hampir sama dengan itu dinyatakan oleh Ibnu al-Qayyim
al-Jauziyah,beliau adalah tokoh Ushul Fiqh Hanbali yaitu : menetapkan berlakunya
suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tidak ada sampai
ada yang mengubah kedudukanya atau menjadikan hukum yang telah di tetapkan
pada masa lampau yang sudah kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang
menunjukkan perubahannya.
Secara bahasa istishab adalah tuntutan pemeliharaan dan melanjutkanya.
Adapun arti istishab secara istilah dijelaskan oleh ulama dengan redaksi yang
berbeda-beda. Imam Syihab al-Din Abu al-Abbas al-Qurafi, dalam karyanya,
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan istishab adalah: keyakinan (mujtahid)
tentang sesuatu pada masa lalu atau sekarang ini; ia mewajibkan untuk menetapkan
(hukumnya) berdasarkan dugaan sekarang dan masa yang akan datang. Imam al-
[4][4] Chaerul Umam, Ushul Fiqh, ( Bandung : Cv.Pustaka Satia,1989), Hal. 129.
Syaukani, pengarang kitab Irsyad al-Fukhul, menjelaskan bahwa yang dimaksud
istishab adalah: tetapnya sesuatu selama tidak ada sesuatu yang lain yang
mengubahnya.
Selain itu istishab secara bahasa berarti menemani atau membarengi. Orang
mengatakan “Istashhabtufi Safariyl Kitaba Awir Rafiqa”, berarti: saya menjadikan
kitab sebagai teman dalam berpergianku. “Istashhabtu makana fil madhi”, berarti:
saya menjadikan sesuatu yang lalu sebagai teman hingga sekarang.
Maka apabila hukum suatu perkara telah ditetapkan pada suatu masa yang
telah lalu, maka hukum tersebut tetap berlaku pada masa sesudahnya, kecuali jika
terdapat dalil yang merubahnya. Dan apabila perkara tersebut tidak ditetapkan
hukumnya pada suatu waktu maka ia tetap tidak ada hukumnya pada masa
sesudahnya, sehingga terdapat dalil yang menetapkan hukumnya.
2.2.2. Macam Macam Istishab
Menurut “Muhammad Abu Zahrah”, Istishab dibagi menjadi 4,yaitu:
a) Istishab Al-Ibarah Al Ashliyah, yaitu: Istishab yang didasarkan atas hukum asal
dari sesuatu yang mubah(boleh). Istishab semacam ini banyak berperan dalam
menetapkan hukum di bidang muamalat. Landasannya adalah sebuah prinsip yang
mengatakan bahwa hukum dasar suatu yang bermanfaat boleh dilakukan dalam
kehidupan umat Islam selama tidak ada dalil yang melarangnya. Misalnya makanan,
minuman, hewan, tumbuh-tumbuhan, dll. Selama tidak ada dalil yang melarangnya,
adalah halal dimakan atau boleh dikerjakan.
Dialah (Allah), yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu. ( QS. Al-Baqarah: 29)
b) Istishab Al-baraah al-ashliyah, yaitu: Istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa
pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan bebas taklif sampai ada dalil yang
mengubah statusnya itu, dan bebas dari utang atau kesalahan sampai ada bukti yang
mengubah status itu. Seseorang yang menuntut bahwa haknya terdapat pada diri
seseorang, maka ia harus mampu membuktikannya. Karena pihak tertuduh pada
dasarnya bebas dari segala tuntutan, dan status bebasnya itu tidak bisa diganggu gugat
kecuali dengan bukti yang jelas. Jadi seseorang dalam prinsip Istishab akan selalu
dianggap berada dalam status tidak bersalah sampai ada bukti yang mengubah status
itu.
c) Istishab Al-hukm, yaitu: Istishab yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang
sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya.
Contoh: seseorang yang jelas berhutang pada fulan, akan selalu dianggap berhutang
sampai ada yang mengubahnya, seperti membayarnya sendiri, atau pihak yang
berpiutang membebaskannya dari utang itu.
d) Istishab Al-wasf, yaitu: Istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya
sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya.
Contoh: air yang diketahui bersih, tetap dianggap bersih selama tidak ada bukti yang
mengubah statusnya.
2.2.3. Kehujjahan Istishab
Ahli ushul fiqh berbeda pendapat tentang ke-Hujjah-an Istishab ketika tidak
ada dalil Syara’ yang menjelaskannya,antara lain :
1. Menurut mayoritas Mutakallimin (ahli kalam) Istishab tidak dapat di jadikan
dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya
dalil. Demikian pula untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang
dan masa yang akan datang, harus berdasarkan dalil.
2. Menurut mayoritas Ulama’ Hanafiyah, khususnya Muta’akhirin, Istishab bisa
dijadikan Hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan
menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak
bisa menetapkan hukum yang akan ada.
3. Ulama’ Malikiyyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zahiriyyah dan Syi’ah berpendapat
bahwa Istishab bisa dijadikan Hujjah secara mutlaq untuk menetapkan hukum
yang telah ada selama belum ada dalil yang mengubahnya. Alasan mereka
adalah bahwa sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu,selama tidak ada
dalil yang mengubahnya baik secara qath’I maupun Zhanni,maka hukum yang
telah ditetapkan itu berlaku terus, karena diduga keras belum ada perubahanya.
2.3 MASLAHAH MURSALAH
2.3.1. Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah menurut lugat terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan
mursalah.Perpaduan dua kata menjadi ``marsalah mursalah``yang berarti prinsip
kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum islam. Juga
dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).
Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta`rif yang diberikan di antaranya:
:
1. Imam Ar-Razi mena`rifkan sebagai berikut:
``Maslahah ialah, perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh
Musyarri` (Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya,
akalnya, keturunannya dan harta bendanya).``
2. Imam Al-Ghazali mena`rifkan sebagai berikut:
``Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat``
3. Menurut Muhammad Hasbi As-Siddiqi, maslahah ialah :
``Memelihara tujuan syara` dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusakkan
makhluk.``
2.3.2. Syarat-Syarat Maslahah Mursalah
Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam
pembentukkan hukum (Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang
dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan
keinginan yang merusakkan manusia dan agama. Sehingga seseorang tidak
menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai
syari`atnya.
Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :
1. Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan, Ahlul hilli wal aqdi dan mereka yang
mempunyai disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukumitu
harus didasarkan pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk
manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka.
Maka maslahah-maslahahyang bersifat dugaan, sebagaimana yang dipandang
sebagian orang dalam sebagian syari`at, tidaklah diperlukan, seperti dalih
malsalah yang dikatakan dalam soal larangan bagi suami untuk menalak
isterinya, dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua
keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini menurut pandangan
kami tidak mengandung terdapat maslahah. Bahkan hal itu dapat mengakibatkan
rusaknya rumah tangga dan masyarakat, hubungan suami dengan isterinya
ditegakkan di atas suatu dasar paksaan undang-undang, tetapi bukan atas dasar
keikhlasan, kasih sayang, dan cinta-mencintai.
2. Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu
dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam-Ghazali
memberi contoh tentang maslahah yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu
contoh: orang kafir telah membentengi diri dengan sejumlah orang dari kaum
muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang membunuh mereka demi memelihara
kehidupan orang Islam yang membentengi mereka, maka orang kafir akan
menang, dan mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan
apabila kaum muslimin memerangi orang islam yang membentengi orang kafir
maka tertolaklah bahaya ini dari seluruh orang Islam yang membentengi orang
kafir tersebut. Demi memlihara kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan
cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh mereka.
3. Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh
syari`.Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan oleh
Syari`.Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah
tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju oleh Islam. Bahkan tidak
dapat disebut maslahah.
4. Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar, di mana nash yang sudah ada tidak
membenarkannya, dan tidak menganggap salah.
2.3.3. Macam-Macam Maslahah
Ulama ushul membagi maslahah kepada tiga bagian, yaitu:
1. Maslahah dharuriyah
Maslahah dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya
kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan manusia,
yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan, merajalelalah kerusakan,
timbullah fitnah, dan kehancuran yang hebat.
Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara, yang merupakan
perkara pokok yang harus dipelihara, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta.
Di antara syri`at yang diwajibkan untuk memelihara agama adalah kewajiban
jihad (berperang membela agama) untuk mempertahankan akidah Islmiyah.
Begitu juga menghancurkan orang-orang yang suka memfitnah kaum muslimin
dari agamanya. Begitu juga menyiksa orang yang keluar dari agama Islam.
Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara jiwa adalah kewajiban
untuk berusaha memperoleh makanan, minuman, dan pakaian untuk
mempertahankan hidupnya. Begitu juga kewajiban mengqshas atau mendiat
orang yang berbuat pidana.
Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara akal adalah kewajiban
untuk meninggalkan minum khamar dan segala sesuatu yang memabukkan.
Begitu juga menyiksa orang yan meminumnya.
Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara keturunan adalah
kewajiban untuk menghidarkan diri dari berbuat zina. Begitu juga hukuman yang
dikenakan kepada pelaku zina, laki-laki atau perempuan.
2. Maslahah Hajjiah
``Maslahah hajjiyah ialah, semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak
terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan
oleh masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan
menghilangkan kesempitan``
Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan
dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlakudalam lapangan ibadah, adat, muamalat, dan
dan bidang jinayat.
Dalam hal ibadah misalnya, qashar shalat, berbuka puasa bagi yang musafir.
Dalam adat dibolehkan berburu, memakan, dan memakai yag bak-baikbdan yang
indah-indah. Dalam hal muamalat, dibolehkan jual-beli secara salam, dibolehkan
talak untuk menghindarkan kemaslahatan dari suami-istri. Dalam hal uqubat/jinayat,
menolak hudud lantaran adalah kesamaan-kesamaan pada perkara.
Termasuk dalam hal hajjiyah ini, memelihara kemerdekaan pribadi,
kemerdekaan beragama. Sebab dengan adanya kemerdekaan pribadi dan
kemerdekaan beragama, luaslah gerak langkah hidup manusia.
Melarang/mengharamkan rampasandan penodongan termasuk juga dalam hajjiyah.
3. Maslahah tahsiniyah
``Maslahah tasiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas
yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul
akhlak``.
Tahsiniyah juga masuk dalam lapanganan ibadah, adat, muamalah, dan bidang
uqubat. Lapangan ibadah misalnya, kewajiban bersuci dari najis, enutup
aurat,memakai pakaian yang baik-baik ketika akan shalat mendekatkan diri kepada
Allah melalui amalan-amalan sunah, seperti shalat sunah, puasa sunah, bersedekah
dan lain-lain.
Lapangan adat, seperti menjaga adat makan, minum, memilih makanan-
makanan yang baik-baik dari yang tiak baik/bernajis. Dalam lapangan muamalah,
misalnya larangan menjual benda-benda yang bernajis, tidak memberikan sesuatu
kepada orang lain melebihi dari kebutuhannya. Dalam lapangaan uqubat, misalnya
dilarang berbuat curang dalam timbangan ketika berjual beli, dalam peperangan tidak
boleh membunuh wanita, anak-anak, pendeta, dan orang-orang yang sudah lanjut
usia.
Imam Abu Zahrah, menambahkan bahwa termasuk lapangan tahsiniyah, yaitu
melarang wanita-wanita muslimat keluar kejalan-jalan umum memakai pakaian-
pakaian yang seronok atau perhiasan yang mencolok mata. Sebab hal ini bisa
menimbulkan fitnah di kalangan masyarakat banyak yang pada gilirannya akan
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh keluarga dan terutama oleh agama.
Selanjutnya dikatakan bahwa adanya larangan tersebut bagi wanita sebenarnya
merupakan kemuliaan baginya untuk menjaga kehormatan dirinya agar tetap bisa
menjadi wanita-wanita yang baik menjadi kebanggaan.
2.3.4. Kehujjahan Maslahah Mursalah
Dalam kehujjahan maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat
dikalangan ulama ushul di antaranya :
a. Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulam-ulama
syafi`iyyah, ulama hanafiyyah, dan sebagian ulama malikiyah seperti ibnu Hajib dan
ahli zahir .
b. Maslahah mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama imam
maliki dan sebagian ulam syafi`i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh ulama-ulama ushul. Jumhur Hanafiyyah dan syafi`iyyah
mensyaratkan tentang maslah ini, hendaknya dimasukkan dibawah qiyas, yaitu bila
terdapat hukum ashl yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat
mudhabit (tepat), sehiggga dalam hubungan hukumitu terdpat tempat untuk merealisir
kemaslahatan. Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada kemaslahatan
yang dibenarkan syara`, tetapi mereka lebih leluasa dalam menganggap maslahah
yang dibenarkan syara` ini, karena luasnya pengetahuan mereka dalam soal
pengakuan Syari` (Allah) terhadap illat sebagai tempat bergantungnya hukum, yang
merealisir kemaslahatan. Hal ini hampir tidak ada maslahah mursalah yang tidak
memiliki dalil yang mengakui kebenarannya.
c. Imam Al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah `` Sesungguhnya berhujjah
dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua mazhab, karena mereka
membedakn antara satu dengan yang lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan
hukum yang mengikat``. Diantara ulama yang paling banyak melakukan atau
menggunakan maslahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan; Allah mengutus
utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemaslahahan. Kalau memang
mereka diutus demi membawa kemaslahahn manusia maka jelaslah bagi kita bahwa
maslahah itu satu hal yang dikehendaki oleh syara`/agama mengingat hukum Allah
diadakan untuk kepentingan umat manusia baik dunia maupun akhirat.
2.3.5. Alasan Ulama Menjadikannya Sebagai Hujjah
Jumhur ulama berpendapat bahwa maslahah mursalah hujjah syara’ yang
dipakai sebagai landasan penetapan hukum. Karma kejadian tersebut tidak hukumnya
dalam nash, hadist, ijma’ dan qiyas. Maka dengan ini maslahah mursalah ditetapkan
sebagai hukum yang dituntut untuk kemaslahatan umum. Alasan mereka dalam hal
ini antara lain :
1. kemaslahatan umat manusia itu selalu baru dan tidak ada habisnya, maka
jika hukum tidak ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan manusia yang baru dan
sesuai dengan perkembangan mereka, maka banyak kemaslahatan manusia diberbagai
zaman dan tempat menjadi tidak ada. Jadi tujuan penetapan hukum ini antara lain
menerapkan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan zamannya.
2. Orang yang mau meneliti dan menetapkan hukum yang dilakukan para
sahabat nabi, tabi’in, imam-imam mujtahid akan jelas, bahwa banyak sekali hokum
yang mereka tetapkan demi kemaslahatan umum, bukan karena adanya saksi yang
dianggap oleh syar’i.
Seperti yang dilakukan oleh abu bakar dalam mengumpulkan berkas-berkas
yang tercecer menjadi suatu tulisan al-qur’an, dan memerangi orang-orang yang tidak
mau membayar zakat, lalu mengangkat umar bin khattab sebagai gantinya. Umar
menetapkan jatuhnya talaq tiga dengan sekali ucapan, menetapkan kewajiban pajak,
menyusun administrasi, membuat penjara dan menghentikan hukuman potong tangan
terhadap pencuri dimasa krisis pangan. Semua bentuk kemaslahatn tersebut menjadi
tujuan diundangkannya hukum-hukum sebagai kemaslahatan umum, karna tidak ada
dalil syara’ yang menolaknya.
2.4. SADDU DZARI’AH
2.4.1. Pengertian Saddu Dzari'ah
Saddu Adz-Dzari'ah secara etimologi bermakna menutupi kekurangan,
menyumbat lobang, dan menahan sesuatu. Kata artinya سد Menutup celah atau
mencegah sesuatu, sedangkan ذريعة berarti wasilah (sarana).
Pengertian Saddu Dzari’ah menurut para ‘ulama:
”Mencegah sarana-sarana yang dapat menjadi sarana kepada keharaman, atau
menyumbat jalan yang menyampaikan seseorang kepada kerusakan dan
menolaknya.”
Maksudnya, menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan
yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.
Tujuan penetapan hukum Saddu dan Dzari’ah ini ialah untuk memudahkan
tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau
terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan
ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan menjauhkan
diri dari kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini, Syari’at menetapkan perintah-
perintah dan larangan-larangan. Dalam memenuhi perintah dan menghentikan
larangan itu, ada yang dapat dikerjakan secara langsung dan ada pula yang tidak
dapat dilaksanakan secara langsung, perlu ada hal yang harus dikerjakan sebelumnya.
Inilah yang dimaksud dengan kaidah:
واجب فهو به إال الواجب يتم ال ماArtinya:
"Semua yang menyempurnakan perbuatan wajib, maka ia tiada lain hanyalah wajib
pula.
Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat yang lima waktu.
Seseorang baru dapat mengerjakan shalat itu bila telah belajar shalat terlebih dahulu,
tanpa belajar ia tidak akan dapat mengerjakannya. Dalam hal ini tampak bahwa
belajar shalat itu tidak wajib.
Tetapi karena ia menentukan apakah kewajiban itu dapat dikerjakan atau
tidak, sangat tergantung kepadanya. Berdasarkan hal ini ditetapkanlah hukum wajib
belajar shalat, sebagaimana halnya hukum shalat itu sendiri.
Demikian pula halnya dengan larangan. Ada perbuatan itu yang dilarang
secara langsung dan ada yang dilarang secara tidak langsung. Yang dilarang secara
langsung, ialah seperti minum khamar, berzina dan sebagainya. Yang dilarang secara
tidak langsung seperti membuka warung yang menjual minum khamar, berkhalwat
antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram. Menjual khamar
pada hakikatnnya tidak dilarang, tetapi perbuatan itu membuka pintu yang menuju
pada minum khamar, maka perbuatan itu dilarang. Demikian pula halnya dengan
berkhalwat yang dapat membuka jalan kepada perbuatan zina, maka iapun dilarang.
Dengan menetapkan hukumnya sama dengan perbuatan yang sebenarnya, maka
tertutuplah pintu atau jalan yang menuju kearah perbuatan-perbuatan maksiat.
2.4.2. Dasar Hukum Saddu Dzari'ah
Dasar hukum Saddu dan Dzari’ah ialah dari Al-Qu’an dan Hadits, yaitu:
a. Firman Allah SWT yang artinya:
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan." (Al-Anam: 108).
Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi ayat ini melarang kaum
muslimin mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu ke
arah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan memaki Allah secara melampaui
batas.
b. Dan firman Allah SWT:
"...Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan
yang mereka sembunyikan..." (An-Nur: 31)
Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang
kakinya tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan menarik hati laki-Iaki lain
untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha
untuk menutup pintu yang menuju kearah perbuatan zina.
c. Nabi Muhammad SAW bersabda:
”Termasuk dosa besar adalah seseorang memaki kedua orangtuanya” mereka
bertanya, ’wahai Rasulullahg apakah ada seseorang memaki kedua
orangtuanya?”Beliau menjawab, ”Ya, seseorang memaki bapak orang lain lalu orang
tersebut memaki bapaknya dan memaki ibu orang lain lalu orang lain memaki
ibunya” (HR. Tirmidzi)
Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah
kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan
kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu.
Tindakan yang paling
selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu
2.4.3. Obyek Saddu Dzari'ah
Perbuatan yang mengarah kepada perbuatan terlarang ada kalanya:
Perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang. Perbuatan itu
mungkin menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang. Macam yang pertama
tidak ada persoalan dan perbuatan ini jelas dilarang mengerjakannya sebagaimana
perbuatan itu sendiri dilarang. Macam yang kedua inilah yang merupakan obyek
Saddu dan Dzari’ah karena perbuatan tersebut sering mengarah kepada perbuatan
dosa. Dalam hal ini para ulama harus meneliti seberapa jauh perbuatan itu rnendorong
orang yang melakukannya untuk rnengerjakan perbuatan dosa.
Di samping itu Imam As-Syatibi menyatakn bahwa, dilihat dari segi kualitas
ke-mafsadat-annya, Dzari,ah dapat dibagi kepada empat macam :
a. Perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada ke-mafsadat-an secara pasti
(qath’i).
b. Perbuatan yang dilakukan itu boleh dilakukan, karena jarang membawa kepada ke-
mafsadat-an.
c. Perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa kepada
ke-mafsadat-an.
d. Pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemashlahatan, tetapi ada
kemungkinan perbuatan itu membawa kepada ke-mafsadat-an.
2.4.4. Ketentuan Dasar Mengamalkan Saddu Dzari’ah
Untuk mengamalkan Saddu Az-Dzari’ah, ada beberapa point yang harus
diperhatikan:
1. Perbuatan yang dibolehkan tersebut menjadi sarana kerusakan atau kerusaka secara
dominan. apabila perbuatan tersebut menjadi sarana kerusakan hanya kadang-kadang
atau tidak dominan, maka tidak dilarang dan tetap pada hukum asalnya, tidak butuh
mencari dalil kebolehannya.
2. Mafsadah yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut harus sama atau lebih besar
dari maslahatnya.
3. Tidak disyaratkan dalam mengamalkan kaidah ini adanya tujuan mukallaf berbuat
kerusakan, bahkan cukup banyak tujuan itu secara adat, sebab niat atau tujuan
tersebut pada umumnya tidak dapat dibuat baku, karena masalah batin yang sulit
dijadikan pedoman.
4. Semua yang dilarang dalam rangka saddu adz-Dzara’i’ dibolehkan apabila
dibutuhkan (hajat membutuhkannya). contohnya melihat wanita bukan mahromnya
bagi orang yang akan melamar.
5. Kehujjahan kaidah Saddu Adz-Dzari’ah
Dzari’ah dari sisi wajibnya untuk ditutup atau dicegah terbagi tiga dalam pendapat
para ulama :
1. Ijma’ menyatakan kewajiban mencegahnya dan itu pada perbuatan yang menjadi
sarana kerusakan dalam perkara agama dan dunia, karena perbuatan itu memang
menjadi sarana kerusakan secara pasti. contoh:larangan minum minuman
memabukkan, karena sarana yang mengantar kepada mabuk yang merusak akal.
2. Ijma’ menyatakan itu sebagai dzari’ah, namun tidak wajib dicegah. seperti
menanam anggur walaupun mungin ada yang membeli dan memiliki serta
memerasnya untuk dijadikan Khomr.
3. Yang masih diperselisihkan para ulama, yaitu sarana mubah yang mengantar
kepada keharaman secara mayoritas atau dominan.
Dalam masalah ini pendapat mereka dikategorikan dalam dua pendapat:
a. Harus dicegah. inilah pendapat madzhab Malikiyah dan Hanabilah.
b. Tidak memberlakukan kaidah ini. Inilah pendapat madzhab Syafi’iyah dan
Hanafiyah.
Yang Rajih adalah pendapat pertama, karena sebagaiman disebutkan dalam
kitab Ushul Fiqh Karya Muhammad Abu Zahrah, bahawa penetapan Saddu Adz-
Dzari’ah sebagai salah satu Sumber Hukum (Mashadir Al-Ahkam), adalah Madzhab
Malikiyah dan Hanabilah. Meskipun Syafi’iyah, Hanafiyah dan ulama-ulama lainnya
tidak memandangnya sebagai Mashadir Al-Ahkam, akan tetapi hasil formulasi dari
Saddu Adz-Dzari’ah ada ditemukan dalam hasil ijtihad mereka. Pendapat pertama
inilah yang dirojihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam pernyataan beliau,
”Dzari’at-dzari’at ini apabila mengantar pada kerusakan (mafsadat)secara pasti
(yakin) atau dominan maka syari’at mengharamkannya secar mutlak.”
2.5 URUF
2.5.1. Pengertian Uruf
Uruf secara etimologi berarti sesuatu yang dipandang baik, yang dapat diterima
akal sehat. Menurut kebanyakan ulama, uruf dinamakan juga adat sebab perkara yang
sudah dikenal itu berulang kali dilakukan manusia.
Namun, sebenarnya adat itu lebih luas daripada uruf sebab, adat kadang-kadang
terdiri atas adat perseorangan atau bagi orang tertentu, sehingga hal ini tidak bisa
dinamakan uruf. Dan kadang-kadang terdiri atas adat masyarakat. Maka inilah yang
disebut uruf, baik uruf itu bersifat khusus atau umum.
Para ulama ushul fiqih membedakan antara adat dengan uruf dalam membahas
kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Adat
didefinisikan sebagai:
عقلية قة رمنغيرعال لمتكر مرا ال ا
Artinya:
“Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional.”
Adapun uruf menurut ulama ushul fiqih adalah:
فعل و ا ل قو في م رقو جمهو ة د عا
Artinya:
“Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan.”
2.5.2. Macam Macam Uruf
Para ulama ushul fiqih membagi uruf dalam tiga macam yaitu:
1. Dari segi objeknya, uruf dibagi dalam:
a. Al-urf al-lafzhi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan
lafal/ungkapan tertentu untuk mengungkapkan sesuatu, sehingga makna
ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat.
Misalnya, ungkapan daging yang berarti daging sapi; padahal kata daging
mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual
daging, lalu pembeli mengatakan “Saya beli daging satu kilogram” pedagang itu
langsung mengambilkan daging sapi, Karena kebiasaan masyarakat setempat
yang mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.
b. Al-urf al-amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan
biasa atau muamalah keperdataan. Yang dimaksud perbuatan biasa adalah
perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait
dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari
tertentu memakan makanan khusus atau meminum tertentu dan kebiasaan
masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam acara-acara khusus.
Adapun yang berkaitan dengan muamalah perdata adalah kebiasaan masyarakat
dalam melakukan akad/transaksi dengan cara tertentu. Misalnya, kebiasaan
masyarakat dalam berjual beli bahwa barang-barang yang dibeli itu diantarkan ke
rumah pembeli oleh penjual, apabila barang dibeli itu berat dan besar, seperti ,lemari
es dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan. Contoh lain
adalah kebiasaan masyarakt dalam berjual beli dengan cara mengambil barang dan
membayar uang, tanpa adanya akad secara jelas, seperti yang berlaku di pasar-pasar
swalayan. Jual-beli seperti ini dalam fiqih islam disebut dengan bay’u al-mu’atab.
2. Dari segi cakupannya, uruf terbagi dua yaitu:
a. Al-urf al-‘am adalah kebiasaan terntentu yang berlaku secara luas di seluruh
masyarakat dan di seluruh daerah. Misalnya, dalam jual-beli mobil, seluruh alat
yang diperlukan untuk memperbaiki mobil, seperti kunci, tang, dongkrak, dan
ban serep, termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri, dan biaya tambahan.
b. Al-urf al-khas adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu.
Misalnya, di kalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang
yang dibeli dapat dikembalikan, sedangkan untuk cacat lainnya dalam barang itu,
tidak dapat dikembalikan. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi
terhadap barang tertentu.
3. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, uruf terbagi dua yaitu:
a. Al-urf al-sahih adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang
tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadis), tidak menghilangkan
kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat bagi mereka.
Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada
pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.
b. Al-urf al-fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan
kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Misalnya, kebiasaan yang berlaku di
kalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjam uang antara
sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam tempo
satu bulan harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo,
dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungannya yang diraih
peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah memberatkan, karena
keuntungan yang diraih sepuluh juta rupiah tersebut mungkin melebihi bunganya
yang 10%. Akan tetapi, praktek inia bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong
menolong dalam pandangan syara’, karena pertukaran barang sejenis, menurut
syara’ tidak boleh saling melebihi (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad Ibnu
Hanbal). Selain itu praktek seperti ini adalah praktek peminjaman yang berlaku
di zaman Jahiliyah, yang dikenal dengan sebutan riba al-nasi’ah (riba yang
muncul dari utang piutang). Oleh sebab itu, kebiasaan seperti ini, menurut ulama
ushul fiqih, termasuk dalam kategori al-urf al-fasid.
Uruf yang menjadi tempat kembalinya para mujtahid dalam berijtihad dan
berfatwa, dan para hakim dalam memutuskan perkara diisyaratkan sebagai berikut:
1. Uruf tidak bertentangan dengan qath’i. oleh karena itu, tidak dibenarkan sesuatu
yang sudah dikenal orang yang bertentangan dengan nash qath’I, seperti makan
riba. Seperti disebutkan dalam firman Allah:
با لر ا وحرم لبيع ا واحلArtinya:
“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.”
2. Uruf harus umum berlaku pada semua peristiwa atau sudah umum berlaku. Oleh
karena itu, tidak dibenarkan uruf yang menyamai uruf lainnya karena adanya
pertentangan antara mereka yang mengamalkan dan yang meninggalkan.
Sebagian ulama menyebutkan contohnya, seperti apabila seorang bapak
membiayai biaya kematian anaknya dari hartanya sendiri. Kemudian anaknya
membawa perkakas tersebut kepada suaminya. Lalu terjadilah persengketaan
antara anak dan bapak tentang perkakas tadi. Bapaknya mengakui bahwa
perkakas tersebut hanya pinjaman darinya, sedangkan anaknya mengakui bahwa
perkakas itu adalah pemberian kepadanya, bukan pinjaman, tetapi keduanya tidak
mempunyai bukti atas pengakuannya itu. Dalam keadaan demikian yang diterima
(dimenangkan) adalah pengakuan pihak yang selaras dengan huruf umumnya, dan
dikuatkan dengan sumpahnya. Jika uruf yang berlaku memberi petunjuk bahwa
perkakas tersebut berarti pinjaman saja, maka yang dimenangkan adalah
pengakuan bapak. Jika menurut uruf berarti sebaliknya, maka yang dimenangkan
adalah pengakuan anaknya.
3. Uruf harus berlaku selamanya. Maka tidak dibenarkan uruf yang datang
kemudian. Oleh karena itu, syarat orang yang berwakaf harus dibawakan kepada
uruf pada waktu mewakafkan meskipun bertentangan dengan uruf yang akan
datang kemudian. Maka para Fuqaha berkata, “Tidak dibenarkan uruf yang
datang kemudian.”
2.5.3. KEHUJJAHAN URUF
Mengenai kehujjahan uruf terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul
fiqih, yang menyebabkan timbulnya dua golongan dari mereka:
1. Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa uruf adalah hujjah untuk
menetapkan huku.
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang-orang mengerjakan ma’ruf serta
berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)
Ayat ini, bersigat ‘am artinya, Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya untuk
mengerjakan yang baik, karena merupakan perintah, maka uruf dianggap oleh syara’
sebagai dalil hukum. Juga mereka beralasan dengan hadis nabi:
حسن فهوعندا حسنا لمسلمون ا ه را ماArtinya:
“Sesuatu yang dianggap baik oleh umat islam, termasuk suatu hal yang baik pula
menurut Allah.”
2. Golongan Syafi’iyyah dan Hanbaliyah, keduanya tidak menganggap uruf itu
sebagai hujjah atau dalil hukum syar’i.
Para ulama juga sepakat menyatakan bahwa ketika ayat-ayat Al-Quran
diturunkan, banyak sekali ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat di tengah-
tengah masyarakat. Misalnya, kebolehan jual-beli yang sudah ada sebelum islam.
Hadis-hadis Rasulullah SAW juga banyak sekali yang mengakui eksistensi uruf yang
berlaku di tengah masyarakat, seperti hadis yang dikaitkan dengan jual-beli pesanan
(salam). Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas dikatakan bahwa ketika Rasulullah
SAW hijrah ke Madinah, Beliau melihat penduduk setempat melakukan jual-beli
salam tersebut. Lalu Rasulullah SAW bersabda:
زن و و معلوم كيل فى تمرفليسلف في سلف ا من
معلوم اجل لى ا ٠معلومArtinya:
“Siapa yang melakukan jual-beli salam pada kurma, maka hendaklah ditentukan
jumlahnya, takarannya, dan tenggang waktunya.” (HR. Al-Bukhari)
Dari berbagai kasus uruf yang dijumpai, para ulama ushul fiqih merumuskan
kaidah-kaidah fiqih yang berkaitan dengan uruf, di antaranya adalah yang paling
mendasar:
محكمة .1 ة د لعا ا
Artinya:
“Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum.”
مكنة .2 ال وا زمنة ال بتغيرا م الحكا ينكرتغيرا ال
Artinya:
“Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat.”
طشرطا .3 و لمشر ا كا عرفا لمعروف ا
Artinya:
“Yang baik itu menjadi uruf, sebagaimana yang diisyaratkan itu menjadi
syarat.”
نص .4 ا با بت لثا كا لعرف با بت لثا ا
Artinya:
“Yang ditetapkan melalui uruf sama dengan yang ditetapkan melalui nash (ayat
dan atau hadis).”
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN1. Istihsan adalah kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya
lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun hal itu
dianggap tidak baik oleh orang lain.
2. Istishab adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan
yang bisa mengubahnya.
3. Maslahah mursalah adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya
dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik
manfaat dan menghindari kemudharatan.
4. Saddu dzari’ah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh
atau haram demi kepentinagn umat.
5. Uruf Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan
kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan
aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.
3.2 SARAN
Untuk pembaca makalah ini diharapkan bisa menambah khasanah ilmu
pengetahuan tentang islam yang terdapat dalam diri masing-masing. Diharapkan para
pembaca dapat mengambil manfaat dari makalah ini dengan sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubab fi Syarh al-Kitab, (Beirut:
Dar al-Ma’rifah, 1997).
Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm azh-Zhahiri, al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998).
______, al-Mahalli bi al-Atsar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003).
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muqi’in, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1996).
Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki asy-Syathibi, al-Muwafaqat fi
Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt).
Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
tt).
Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-
Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994).
Muhammad bin Bahadur bin Abdullah Az-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, tt).
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ ash-Shahih al-
Mukhtashar, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987).
Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab, (Beirut:
Dar Shadir, tt).
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh
Islami, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986).
MyStory.2010.MaslahahMursalah
http://tepolngo2.blogspot.com/2010/06/makalah-maslahah-mursalah.html
[27 September 2012]
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1997).
Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986).
ZakariaHasibuan.2010.SadduAdz-Zari’ah
http://zakariahasibuan.blogspot.com/2010/12/1.html [27 September 2012]