kehadiran yang transformatif..kapitel2014..halaman 1 // 20 Jadikan hidup kita sebagai kehadiran yang transformatif (Bahan persiapan Kapitel Umum 2014)
kehadiran yang transformatif..kapitel2014..halaman 1 // 20
Jadikan hidup kita
sebagai
kehadiran yang transformatif
(Bahan persiapan Kapitel Umum 2014)
kehadiran yang transformatif..kapitel2014..halaman 2 // 20
Pengantar:
Huijbergen: 21-10-2013
Sesama bruder yang baik,
Untuk kapittel umumtahun 2014 kita mengambil alih tema
Konferensi Fransiskan International di Asisi awal tahun 2013:
"Transforming Presence", dan dengan demikian menyambung
tema kapitel tahun 2011 "Disturbing Presence", yakni kehadiran
yang mengusik. Dengan tema "KehadiranTransformatif"
perhatian akan diarahkan pada pemekaran diri sebagai bruder
dan pengaruhnya pada sesama kita. Menurut kesan sepintas
kiranya tema ini cukup tepat untuk suatu kongregasi yang sejak
semula mengabdikan diri demi perkembangan orang lain,
khususnya anak-anak dan pemuda. Namun pendalaman lebih
saksama akan menunjukkan bahwa dampak kehadiran yang
dimaksud tidak pertama-tama menunjuk pada jabatan, keahlian
atau karya kita, malainkan pada pengaruh penghayatan
panggilan kita sebagai religius dan bruder.
Baik panggilan kongregasi maupun pangilan pribadi setiap
bruder menemukan wujudnya dalam konteks spiritual, sosial
dan budaya tertentu. Buah hasil para pendahulu kita berelasi
dengan lingkungan spiritual, sosial dan budaya mereka menjadi
khasanah warisan kita. Warisan itu pertama-tama tidak
berkaitan dengan arsip dan objek yang pantas dimuseumkan,
tetapi dengan inspirasi iman yang memberi mereka motivasi,
serta energi yang mengajak mereka untuk suatu pengabdian
kreatif yang mengesankan. Sebagai ahliwaris kita, sadar atau
kehadiran yang transformatif..kapitel2014..halaman 3 // 20
tidak, telah membiarkan kepribadian kita dibentuk oleh warisan
tersebut. Namun selain ahliwaris kita pun berperan sebagai
pewaris yang harus bertanggungjawab kepada mereka yang
menyusul sesudah kita. Bagaimana meneruskan panggilan
seorang bruder sebagai sumber iman yang inspiratif dan energi
yang kreatif kepada mereka yang berusaha memekarkan diri
sebagai manusia yang utuh dalam konteks spiritual, sosial dan
budaya sekarang? Jembatan antara inspirasi iman para
pendahulu dan kebutuhan masa kini tidak terletak dalam
keterampilan dan keahlian kita, malainkan dalam kepribadian
kita, dalam manusia yang terwujud dalam diri kita dan yang
terus diusahakan perwujudannya.
Perhatian kita diminta untuk proses pemekaran seorang bruder
MTB sebagai pribadi yang beriman, penuh kasih dan
pengharapan. Proses pertumbuhan kepribadian yang utuh dan
bermakna tetap menjadi tantangan untuk kita masing-masing,
tua atau muda, dimanapun kita berada dan tugas apapun yang
diusahakan.Sebab itu kami tawarkan bukukecil ini dengan
senang hati.
br. bram
kehadiran yang transformatif..kapitel2014..halaman 4 // 20
kehadiran yang transformatif..kapitel2014..halaman 5 // 20
Jadikan hidup kita sebagai kehadiran yang transformatif *)
Manusia beradab dibentuk dan sekaligus dibatasi oleh kebudayaan
Dalam kebudayaan kita belajar melakukan apa, bagaimana dan
mengapa melakukannya. Kebudayaan membentuk orang jadi suatu
kelompok tertentu dalam masyarakat: suku atau bangsa, kelompok
profesional (budaya petani, budaya pedagang), religius atau pun
narapidana (terbentuk oleh budaya penjara), dan lainnya. Tentu saja
sebagai manusia, kita semua adalah satu dan sama di dalam
kemanusiaan, sebagai umat manusia. Dalam peradaban manapun, kita
hidup dalam transformasi, dalam proses perubahan; dari bayi tak
berdaya tumbuh menjadi manusia dewasa mandiri. Peradaban itu
sendiri tumbuh dan berkembang.
Segala aspek kehidupan manusia diungkapkan dalam dan melalui
budaya. Demikian juga ungkapan iman serta hidup religius kita. Di luar
peradaban, ungkapan iman dan hidup religius menjadi abstrak dan tak-
dapat dikenal, hampa makna. Mengingat adanya berbagai macam
budaya, sadarlah kita bahwa ekspresi hidup beriman dan hidup religius
kita terbatas dan sebagian saja atau tak-genap (parsial).
Mesti kita akui bahwa selama berabad-abad, (barangkali masih sampai sekarang), pembinaan hidup religius lebih mengacu pada “budaya” pendiri atau daerah asal kongregasi atau zaman tertentu. Hal ini kiranya menghambat kehidupan religius untuk berakar dan berkembang di dalam kebhinekaan budaya. Karenanya hidup religius menjadi kurang subur, sebab orang harus menjalani hidup berimannya dengan „cara asing‟ atau tidak berakar pada budaya sendiri. Padahal Sang Immanuel, „Tuhan menyertai kita‟, mendatangi kita di dunia ini; Dia berjalan beserta umatNya yang hidup dalam berbagai budaya atau peradaban. Karena
kehadiran yang transformatif..kapitel2014..halaman 6 // 20
itu hendaknya kita terbuka kepada kemajemukan atau aneka-ragamam bentuk ekspresi hidup religius kita. Sebenarnya dengan kebhinekaan ekspresi iman dan hidup religius ini,
kita bisa saling melengkapi, saling memberi kesaksian, yang saling
meneguhkan dan memperkaya pemahaman, yang mengarahkan kita
kepada masyarakat persaudaraan yang adil, yakni yang saling
menghormati hak pihak lain.
Yang kita inginkan adalah masyarakat hidup interkultural bukan sekedar multikultural. Bayangkan dalam suatu pameran lukisan, terpasang banyak lukisan yang biarpun disusun serasi dengan suatu tema tertentu, masing-masing lukisan bisa „saling bersaing‟ keindahan. Begitulah gambaran multikultural. Sedangkan interkultural, bagaikan satu lukisan mozaik, terdiri banyak unsur yang bersinergi menampilkan keindahan menyeluruh, yang mungkin saja dengan keindahan multidimensi. Dalam kehidupan interkultural demikian, setiap unsur (bagian atau anggota) dihormati hak keunikannya. Setiap unsur bertekad diri atau berkomitmen untuk mendukung keharmonisan keseluruhan; bila perlu dengan mengabaikan kenyamanan relatif pribadi.
Ingatlah dalam InkarnasiNya, Yesus tidak mau berpegang teguh pada
kemuliaanNya, Dia turun meninggalkan surga dan masuk ke kerapuhan
dunia munusia. Ingatlah pula pesan Fransiskus Assisi, “... hendaklah
engkau memandang rendah apa yang selama ini kau sukai; dan
hendaklah kau menyukai apa yang selama ini kau benci”. Hanya kalau
kita berakar dalam semangat pengosongan diri Kristus seperti itu dan
dipupuk oleh pesan hidup Fransiskus itu, kita dapat optimis untuk terus
melanjutkan perutusan kita dalam dunia kontemporer ini; kita optimis
untuk melukis mozaik Kerajaan Kasih Allah; untuk menjadi penyebar
cinta-kasihNya; menjadi pembawa keselamatanNya. (lihat Konst. Art. 8).
Berakar dalam budaya, berakar dalam Kristus, pada Allah
kehadiran yang transformatif..kapitel2014..halaman 7 // 20
Dalam masyarakat, orang tumbuh dengan sehat dengan melewati masa
kanak-kanak, remaja dan menjadi dewasa. Dalam proses sosialisasi
begitu orang belajar hidup; dia menyerap dan berakar dalam peradaban
masyarakatnya. (Zaman sekarang boleh dipertimbangkan adanya masyarakat
globalisasi, masyarakat cyber). Segenap pengenalan, pengetahuan dan
ketrampilan yang diserapnya diwarnai oleh peradaban masyarakatnya.
Seorang dewasa yang mantap ditandai oleh proses pertumbuhan
sosialisasi yang sehat, berakar dalam peradabannya, dan oleh karenanya
dia mampu mengambil peran sosial masyarakat bahkan dalam
masyarakat yang lebih luas. Bagaikan cabang pohon besar berakar
dalam, orang berakar kuat dalam peradabannya mampu „mengulurkan‟
dirinya jauh-jauh, menjangkau dan berinteraksi dengan peradaban lain
tanpa harus tercabut dari peradaban asalnya.
Demikian juga kita harus berakar kuat pada Kristus, pada Allah yang
memanusia. Dengan demikian kita bisa dengan mantap hidup
interkultural bersama unsur-unsur lain masyarakat; untuk melibatkan
diri dengan mereka secara eksistensial dan penuh makna tanpa harus
tercabut dari penghayatan hidup religius kita; untuk ikut menyumbang
warna pada mozaik Kerajaan Allah di dunia. Dengan kata lain, “untuk
menjadi pewarta dan penyebar cinta kasih, dan pembawa keselamatan; untuk
berada di tengah-tengah dunia seraya mendengarkan dan melayani, untuk
melihat Roh Allah giat dalam orang lain, untuk memajukan berkatNya yang
menyelamatan, dan bersedia membawa pembaharuan dan pendalaman.”
(Konst. Art. 8).
Berakar pada Kristus mengandaikan pengenalan akan Dia sebagai Guru
Kehidupan. Mengenal pribadi guru lebih dari sekedar mengetahui
tentangnya. Orang yang banyak pengetahuan belum tentu bisa
mengenal lebih mendalam. Pengenalan akan guru mengandaikan
keterlibatan pengalaman personal secara fisik dan terutama secara
mental spiritual. Bukan sebagai siswa yang tiap hari ke sekolah atau
kursus, melainkan menjadi murid yang „magang hidup bersama sang
kehadiran yang transformatif..kapitel2014..halaman 8 // 20
guru‟. Yesus mengundang muridNya untuk hidup bersama dan belajar
dari pribadinya. “Marilah dan kamu akan melihatnya“. Merekapun datang
dan melihat di mana Ia tinggal, dan hari itu mereka tinggal bersama-sama
dengan Dia”. (Yoh. 1:39). “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan
berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang
Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena ....” (Mat. 11.28-29).
Dalam interaksi yang seperti itu orang saling memberikan diri, saling
mengomunikasikan diri. Kristus Sang Guru bukan sekedar menyam-
paikan pengetahuan atau pelajaran; melainkan memberi sebagian
diriNya: isi hati, buah pikiran, perasaan, harapan dan keprihatinanNya
kepada sang murid. Sedangkan muridNya bukan sekedar
mengumpulkan bahan pelajaran; melainkan memberi sebagian diri: hati
yang murni, pikiran yang polos untuk membiarkan dirinya dibentuk.
Dengan demikian isi ajaran yang diperoleh murid seringkali tidak
ditangkap oleh cendikiawan dengan cara pembelajaran di sekolah. “Aku
bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu
Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau
nyatakan kepada orang kecil”. (Mat 11:25).
Dalam interaksi yang demikian mendalam murid akan bersatu dengan
Sang Guru. “Aku berdoa supaya Ia, menurut kekayaan kemuliaan-Nya,
menguatkan dan meneguhkan kamu oleh Roh-Nya di dalam batinmu, sehingga
oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta
berdasar di dalam kasih.” (Ef. 3:16-17). Maka akhirnya murid Kristus akan
mencapai pemahaman, pencerahan; yang baginya lalu menjadi sumber
energi yang mendorongnya bertindak.
Sebagai murid Kristus orang harus berakar pada kebudayaannya dan
berakar pada Kristus. Kedua-duanya haruslah terintegrasi, menjadi
inkulturasi. Dalam inkulturasi, sikap dan tindakan luhur budaya dijiwai
oleh pesan-pesan keselamatan Allah yang kita imani. Karya-karya luhur
budaya diterangi oleh sinar iman, dan dengan karya-karya budaya itu
kehadiran yang transformatif..kapitel2014..halaman 9 // 20
kita menunjuk kepada keselamatan Allah. Kegembiraan iman dan
pergulatan iman menuju keselamatan Allah diwujudkan dalam bahasa
atau simbol budaya yang dikenal akrab oleh masyarakat.
Dengan inkulturasi kita hormati identitas budaya orang, yang
dengannya dia mengungkapkan dan mewujudkan iman. Dengan terang
iman, sikap luhur beradab dan aktivitas seni budaya kita tertuju kepada
pengharapan teguh akan keselamatan abadi.
Kehadiran yang transformatif
Misi kehadiran Yesus Kristus di dunia adalah untuk menyatakan
Kerajaan Allah sudah dekat serta mengajak semua orang untuk menjadi
pesertanya. Sejak awal Gereja Perdana menyadari panggilannya untuk
ambil bagian dalam perutusan Kristus itu, yakni menyebar luaskan
Kerajaan Allah Mahakasih yang menampakkan Karya
PenyelamatanNya dalam Kebangkitan Kristus. Hidup religius dan juga
Kongregasi kita sejak didirikannya hidup dalam semangat perutusan
ini. Menjalani hidup religius di tengah dunia kita mau „membangun
kebahagiaan umat manusia‟(Konst. Art. 5), „bersama dunia ini kita
berkembang ....menuju penyelesaian dunia dalam Allah‟, (Konst. Art. 6),
‟melihat Roh Allah giat dalam orang lain, untuk memajukan berkatNya
yang menyelamatkan. (Konst. Art. 8).
Melalui penghayatan hidup kita, kita mau menyumbang bagi perluasan
buah Penyelamatan Allah; agar sebanyak mungkin orang mengalami
pengaruh Keselamatan Allah. Untuk itu kita „bersedia membawa
pembaharuan dan pendalaman, seraya mendengarkan dan melayani‟.
(lihat Konst. Art. 8). Misi hidup kita mempunyai tujuan; mengajak orang
kepada Kebaikan, atau menuju yang lebih Baik, atau yang semakin Baik.
Proses pencapaiannya mengandaikan pembaharuan, terjadi perubahan
dan perbaikan atau peningkatan mutu hidup.
kehadiran yang transformatif..kapitel2014..halaman 10 // 20
Tentu saja kita sendiri lebih dulu hendaknya bersedia berubah dan
diubah. “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah
oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah
kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang
sempurna”.(Rom 12:2). Kesediaan diri untuk diubah merupakan sikap iman
yang mengantar orang kepada kekekalan ilahi: “Sebab nafiri akan
berbunyi dan orang-orang mati akan dibangkitkan dalam keadaan yang tidak
dapat binasa dan kita semua akan diubah”.(1Kor 15:52).
Demikianlah hendaknya kita sebagai religius mampu membuat hidup
kita di tengah masyarakat sebagai kehadiran yang transformatif. Melalui
kesaksian cara hidup kita, kita mau turut serta dalam upaya
mentransformasikan dunia, bersama pihak-pihak yang sadar akan
ketidak-beresan dunia sekitar kita sekarang; yang kualitas hidup
manusiawinya rendah; yang gaya dan trend hidupnya kadang
menyesatkan; sebut saja misalnya: ketidak-adilan hukum dan
kesejahteraan sosial, korupsi para pejabat, penindasan terhadap yang
lemah, materialistis hedonis dan lain sebagainya.
Dengan transformasi dimaksudkan adalah suatu perubahan dalam
proses yang rasional namun mendasar. Perubahannya radikal me-
nyentuh akar permasalahan. Dalam seminar IFC di Assisi 2013, Pater
Anthony J. Gittins, CSSp, mengilustrasikan transformasi itu bagaikan air
yang berubah, terjadi transformasi, saat mendidih. Perbedaan panasnya
air 99 derajad Celsius dengan air 100 derajad Celsius tidaklah besar.
Namun ketika telah mencapai titik didihnya, air menjadi uap yang
mampu menggerakkan mesin, kapal, kreta dan sebagainya. Sama
halnya bahan plutonium yang ditransformasikan menjadi tenaga nuklir.
Transformasi sungguh mengubah dunia! Transformasi juga bisa
mengubah orang secara radikal yang digerakkan oleh rahmat Allah dan
disambut oleh keterbukaan hatinya. Ingatlah akan Paulus yang dari
seorang penganiaya jemaat menjadi rasul pembangun jemaat;
kehadiran yang transformatif..kapitel2014..halaman 11 // 20
Fransiskus Assisi yang biasa hidup dalam keluarga kaya menjadi si
Miskin.
Perlu kita pahami juga bahwa transformasi tidaklah mengandaikan
mujizat yang melawan hukum alam. Para tokoh besar dapat kita
telusuri riwayatnya, pengalaman-pengalaman eksistensial mereka yang
membawa tahap-tahap perubahan pada pribadi mereka. Juga
perubahan-perubahan besar masa lalu dalam masyarakat dapat kita
pelajari sejarahnya, peristiwa-peristiwa yang menjelaskan dalam proses
perubahannya. Maka di dalam upaya menjadikan keterlibatan kita
sebagai kehadiran yang transformatif, kita sadar perlu proses yang
lazim. Kita sadar bahwa „batu tidaklah akan menjadi roti‟; dari dusta takkan
lahir kebenaran; kekerasan atau pun pemaksaan takkan melahirkan kedamaian.
Dan benar pula tanpa iman yang teguh dan harapan yang tak-kunjung putus
serta kasih yang rela berkorban sampai mati, takkan kita bisa diubah dan
sanggup memikul panenan Kebun Anggur Tuhan (Kerajaaan Allah). (Anthony J.
Gittins, CSSp). Tanpa iman-harapan-kasih demikian manalah kita bisa
menunjuk kepada Allah Sang Penyelamat.
Para pendahulu kita telah membuktikan “kehadiran mereka yang
transformatif”. Sebagai guru mereka bukan sekedar memberi pelajaran
di depan kelas. Mereka turut menyumbang jasa dalam perkembangan
dunia pendidikan, misalnya dalam hal metode dan bahan-bahan
pengajaran; juga dalam memberi perhatian khusus kepada anak-anak
yang lemah. Di Kalbar mereka turut berperan dalam pendidikan
masyarakat, bukan hanya melalui pelajaran sekolah, lebih luas dalam
hal kehidupan dalam bermasyarakat; hidup disiplin di asrama;
kelompok (musik-) harmoni, padvinder, pasar amal; sekolah dagang;
bina kelompok masyarakat.
Tantangan dan Peluang
A. Membawa transformasi bagi dunia? Tantangannya memang besar.
Situasi dan kondisi kita sendiri kiranya adalah tantangan utama. Kita,
perorangan atau pun tarekat, hidup „terperangkap‟ oleh kemapanan.
kehadiran yang transformatif..kapitel2014..halaman 12 // 20
Kita sepertinya hidup dalam „wilayah aman‟ di tengah-tengah dua
kutub ketegangan; kita tidak kaya namun jauh dari miskin; kita bukan
penguasa zalim namun juga tidak masuk kalangan tertindas atau ter-
tekan; kita bukan majikan yang boleh segalanya namun juga bukan
pekerja yang terpaksa ikut bos-nya. Keadaan moderat (jalan tengah)
begini mengingatkan kita akan hidup yang „panas tidak, dingin pun
tidak‟. “Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas,
Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku”. (Why 3:16). Kita sepertinya
„terjerat‟ dalam situasi-kondisi begini dan merasa tak berdaya. Apakah
kita sudah berupaya sungguh-sungguh untuk keluar dari jerat ini?
Apakah kita siap untuk berjuang dengan resiko ketidak-nyamanan?
B. Tantangan lain adalah situasi Gereja (-Katolik) keseluruhan. Pada masa kini aib dan cercahan semakin kuat menerpah Gereja terutama di dunia belahan barat: kasus pelecehan seksual oleh para petinggi gereja, korupsi dan penyalah-gunaan wewenang, ketegaran hati menolak pentahbisan awam atau pun wanita, penolakan keterlibatan aktif kaum homo/lesbi dalam liturgi; umat yang semakin menjauh dari hidup gerejawi. Tentu saja situasi demikian membuat langkah kita semakin berat untuk membawa „kehadiran yang transformatif‟ di tengah masyarakat sambil membawa nilai-nilai iman Kristen kita. Fransiskus Assisi juga hidup dalam situasi gereja yang „miring dan hampir roboh‟. Bukan dengan mengutuk atau pun memrotes para penguasa gereja, juga tidak lari dari gereja, melainkan dia menunjukkan dengan cara hidupnya, bagaimana seharusnya murid Kristus hidup di dunia. C. Tantangan lain lagi adalah bahwa kita hidup dalam masyarakat yang majemuk. Kita berinteraksi dengan berbagai (sub-) suku, etnis, agama, kelompok dan golongan. Di bagian depan tulisan ini, sudah kita lihat betapa perlunya bersama-sama mengembangkan hidup yang interkultural dan membangun suatu mozaik Kerajaan Allah. D. Dari tarekat kita menerima warisan spiritual maupun material, riwayat sejarah dan nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan; antara lain
kehadiran yang transformatif..kapitel2014..halaman 13 // 20
adalah karya. Sejak awal berdirinya kongregasi, karya selalu menjadi medan pelayanan dan bericiri kerasulan (Konst. Art. 205). Karya merupakan lapangan tempat kita mempraktekkan nilai-nilai hidup religius kita. Sabar, tabah, pasrah diri, yakin, berharap, mengasihi dan semua nilai lainnya hanya menjadi pengalaman nyata di dalam lapangan kerja dan dalam hidup harian kita. Warisan karya, dengan nilai material dan spiritualnya, menjadi sebagian pilar yang menopang hidup religius kita, dan sekaligus menjadi beban tanggungjawab. Kita mengemban tanggung jawab untuk kelanjutan, peningkatan atau pun pemekarannya; termasuk membangun dan memelihara kesejahteraan para rekan kerja. Dalam melaksanakan karya pelayanan apostolik ini kita diatur oleh undang-undang (pemerintah) dan sangat dipengaruhi oleh hukum pasar. Kita menghadapi banyak tuntutan antara lain: kualitas (formal dan real) pengajar; tuntutan prasarana dan sarana pendukung, kurikulum, administrasi; tuntutan pembayaran gaji yang adil, tuntutan ciri sosial karitatif apostolik. Di satu pihak, semua tuntutan ini meneguhkan fungsi karya sebagai pilar penopang hidup religius kita. Menghadapi tuntutan dan tantangan demikian iman dan nilai-nilai religius kita lebih berisi dan penghayatannya lebih konkret. Namun di lain pihak, semua tuntutan itu (ditambah lagi rayuan sesat hukum pasar) menjadi beban yang amat berat sehingga melemahkan energi dan semangat hidup kita, juga mengancam aspek finansial. Mengalami situasi begini kita seolah-olah sampai di jalan buntu untuk menawarkan perubahan demi perbaikan. Di Belanda para bruder sudah lama melepas karya institusionalnya. Dan di masa kini, manakala jumlah anggota yang semakin menciut, tarekat juga melepas „kebiasaan-kebiasaan‟ baik dan luhur yang sekarang (hampir-) tidak bisa lagi dija-lankan. Dari pengalaman ini kiranya kita bisa belajar, di satu pihak bagaimana kita sebagai tarekat harus mampu mengemban warisan itu dan bertanggung-jawab untuk kelanjutannya; dan di lain pihak bagaimana kita harus bisa melepaskan tanpa harus mati karenanya.
kehadiran yang transformatif..kapitel2014..halaman 14 // 20
Penutup Kehadiran yang transformatif, kehadiran yang mengajak atau mengin-spirasikan orang untuk perubahan demi perbaikan. Transformasi, perubahan yang memang mengandaikan kesinambungan, namun juga pergantian, suatu kebaruan yang mendasar/radikal. Api Roh Allah telah dinyalakan dalam diri kita. Namun kita masih harus memilih: menjadi bara yang semakin meredup atau api yang tetap berkobar. Bersama Fransiskus Assisi dan bersama para pengikut Fransiskus sedunia kita mau tetap optimis dan bertekad: marilah kita mulai lagi! Melengkapi bahan perenungan ini saya tutup dengan kutipan Statemen hasil dari Konferensi Fransiskan Internasional 2013. Huijbergen, 31 Agustus 2013 *) Menjelang kapitel 2011 yang lalu kita diajak untuk merenungkan tema “Kehadiran yang Menggugah (atau mengusik; Disturbing Presence)”. Menyambung tema tersebut dipililah tema sekarang ini “Kehadiran yang Transformatif (atau Transforming Presence)”. Tulisan ini disusun oleh Thomas B, diinspirasikan oleh ceramah Pater Anthony J. Gittins, CSSp. dalam seminar IFC di Assisi 2013; dan sebagian merupakan saduran bebas dari makalahnya: Rooted in Christ, On fire with the Spirit, Go ...Transform the world!
kehadiran yang transformatif..kapitel2014..halaman 15 // 20
Sidang IFC-TOR 2013
Assisi, 25-30 April 2013
Pernyataan /Statement Dalam melaksanakan perutusan Allah sebagai bruder dan suster,
kita berakar dan tumbuh-subur dalam Kristus dan dinyalakan oleh Roh.
Mengenali tantangan dunia zaman ini,
kita menerima tanggungjawab demi seluruh ciptaan Allah. Dalam kontemplasi dan tindakan kenabian,
kita bercita-cita luhur, menjajagi dan mengambil risiko baru.
Bersama-sama di dalam kesederhanaan dan kegembiraan Fransiskan, sebagai alat Tuhan,
kita berpartisipasi dalam transformasi dunia.
Dengan prinsip bhineka-tunggal-ika dalam keluarga umat manusia dan hormat akan manusia dari semua budaya,
kita berkomitmen dalam kesatuan kita mau menghayati Injil secara interkultural.
Kita ulurkan tangan bagi orang-orang terpinggirkan
dalam masyarakat dan Gerja, khususnya kaum perempuan,
kita bertekad bakti untuk membela mereka.
Kita paham, hal ini menuntut agar kita diubah baik secara perorangan maupun komunitas
oleh tindakan Roh Kudus.
Maka dari itu...., Mari.... Kita mulai...! So..., Let us go.... Let us begin....!
kehadiran yang transformatif..kapitel2014..halaman 16 // 20
A. Pertanyaan Renungan di bidang formation:
1. Di bidang formation, sehubungan dengan ide berakar dalam kebudayaan, berakar pada Kristus, hidup interkultural; apa yang sudah kita lakukan dan apa lagi yang masih bisa kita lakukan?
2. Bagi para calon, postulan, novis dan bruder muda, apa yang dapat kita programkan untuk meningkatkan kesadaran akan „kehadiran yang transformatif‟?
3. Sebagai bagian dari on-going formation, apa yang dapat kita tawarkan bagi para bruder medior/senior untuk meningkatkan kesadaran akan „kehadiran yang transformatif‟?
kehadiran yang transformatif..kapitel2014..halaman 17 // 20
B. Pertanyaan Renungan di bidang „hidup persekutuan‟:
1. Dalam hidup kita sebagai bruder, sehubungan dengan ide berakar dalam kebudayaan, berakar pada Kristus, hidup interkultural; apa yang sudah kita lakukan dan apa lagi yang masih bisa kita lakukan?
2. Di dalam komunitas/tarekat, hal apa yang bruder alami sebagai inspirasi atau ajakan/dorongan untuk pembaruan, perubahan ke arah perbaikan hidup kita?
3. Dalam hal apa komunitas/tarekat kita masih bisa meningkatkan mutu hidup religius kita?
kehadiran yang transformatif..kapitel2014..halaman 18 // 20
C. Pertanyaan Renungan di bidang karya atau pelayanan (antara lain melalui karya persekolahan):
1. Sebutkan hal-hal positif yang bruder alami dalam usaha untuk menghayati „kehadiran yang transformatif‟!
2a. Sebutkan tantangan-tantangan (eksternal) dan hambatan (internal) yang bruder hadapi dalam usaha untuk menghayati „kehadiran yang transformatif‟.
2b. Cobalah susun tantangan dan hambatan tersebut (2a) menurut urutan berat-ringannya!
D. Kesaksian di bidang Keadilan, Perdamaian, Keutuhan Ciptaan (KPKC/JPIC):
1. Kebaruan sikap atau cara hidup yang bagaimana yang bisa kita tawarkan kepada komunitas?
2. Tindakan apa yang bruder lakukan yang mendukung terwujudnya KPKC ?
3. Tindakan apa yang kita sebagai komunitas lakukan yang mendukung terwujudnya KPKC ?
kehadiran yang transformatif..kapitel2014..halaman 19 // 20
E. Pertanyaan Renungan Statement IFC 2013:
1. Bacalah Statement IFC 2013 itu. Unsur-unsur mana yang anda temukan ada dalam hidup persekutuan kita?
2. Unsur-unsur mana dalam Statement IFC 2013 itu yang anda kira masih bisa kita garis-bawahi /highlight dalam hidup kita? Dan bagaimana caranya?
kehadiran yang transformatif..kapitel2014..halaman 20 // 20
F. Pertanyaan Renungan bagi para bruder di Belanda dan Brasil:
1. Menjadi tua memang juga menjadi tambah usang. Meskipun demikian kebaruan macam apa yang anda alami seiring dengan memasuki usia lanjut?
2. Ketika pensiun orang kehilangan atau harus melepas pekerjaan yang sekian lama sudah ditekuninya. Sebaliknya apa yang diperoleh orang yang (harus) meninggalkan atau melepas pekerjaan/pelayanannya?
3. Bacalah Statement IFC 2013 itu. Unsur-unsur mana yang anda temukan ada dalam hidup persekutuan kita?
4. Unsur-unsur mana dalam Statement IFC 2013 yang anda kira masih bisa kita garis-bawahi/ „hightlight‟ dalam hidup kita?