Page 1
KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN
PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN POSITIF
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
ANDI SITTI HR CHAERUNNISA
NIM. 11140460000002
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAT)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
Page 2
i
KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN
PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN POSITIF
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
ANDI SITTI HR CHAERUNNISA
NIM. 11140460000002
Pembimbing :
NIP. 196912161996031001
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAT)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
Page 4
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 2 Januari 2019
Andi Sitti HR Chaerunnisa
Page 5
iv
ABSTRAK
Andi Siti HR Chaerunnisa. NIM 11140460000002. Kebijakan Ketidaktahuan
Nasabah Atas Perjanjian Penjaminan Syariah Menurut Hukum Islam dan
Positif. Program Studi Hukum Ekonomi Islam (Muamalat), Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2008 M.
Iv + 83 halaman + 25 lampiran.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan tinjauan Hukum Islam dan Positif dengan
menggunakan metode Sadd Al-Dzari’ah dan KUHPerdata terhadap ketidaktahuan
nasabah atas perjanjian penjaminan syariah yang dilaksanakan berdasarkan
ketentuan POJK Nomor 6/POJK.05/2004 Tentang Penyelenggaraan Usaha
Lembaga Penjaminan bahwa nasabah diwakilkan oleh penerima jaminan untuk
melakukan permohonan penjaminan. Berdasarkan sumber data primer yang
dilakukan berupa wawancara pada Bank BJB Syariah Cab. Ciputat, bahwa
nasabah tidak dilibatkan atas perjanjian penjaminan yang dilakukan antara
Perbankan dan Penjamin. Berdasarkan hal tersebut, ketidaktahuan nasabah ini
akan berpotensi pada risiko karena tidak terpenuhinya asas perjanjian.
Penelitian ini menggunaka metode penelitian kualitatif, mempunyai jenis
penelitian hukum normatif dan library reasearch dengan melakukan pengkajian
terhadap undang-undang, buku-buku, dan kitab-kitab fikih yang berkaitan dengan
judul skripsi.
Hasil penelitian menurut ketentuan dalam KUHPerdata bahwa ketidaktahuan
nasabah atas perjanjian penjaminan adalah dibolehkan berdasarkan ketentuan
pada Pasal 1823 dan 1316 KUHPerdata. Dan menurut hukum Islam merupakan
upaya untuk menghindari tindakan-tindakan oleh nasabah yang dapat merugikan
pihak perbankan. Hal tersebut selaras dengan kewajiban perbankan untuk
menerapkan prinsip kehati-hatian atas tindakan moral hazard yang dilakukan oleh
nasabah. Menurut analsis menggunakan Sadd Al-Dzari’ah, tidak dilibatkannya
nasabah merupakan wasilah dengan menutup jalan agar melindungi para pihak
dari fasad berupa tindakan moral hazard yang merupakan bagian dari dharar.
Oleh karenanya jika nasabah mengetahui adanya jeminan atas pembiayaannya,
akan lebih besar unsur mudharat dibanding maslahah yang ditimbulkan.
Kata Kunci : Sadd Al-Dzari’ah, Perjanjian Penjaminan, KUHPerdata
Pembimbing : Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A.
Daftar Pustaka : Tahun 1991 s.d 2018
Page 6
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang telah memberikan berkah, rahmat, dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga
penulis diberikan kemudahan untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Kebijakan Ketidaktahuan Nasabah Atas Perjanjian Penjaminan Syariah Menurut
Prinsip Sadd Al-Dzari’ah”. Shalawat serta salam tak lupa tercurah kepada
junjungan kita, Nabi Muhammad SAW.
Skripsi ini penulis persembahkan seutuhnya untuk motivator terbesar
sepanjang perjalanan hidup penulis, terkhusus kedua orang tua tercinta, Ayahanda
(Almarhum) Andi Koro dan Ibunda (Almarhumah) Nurwana Rahman beserta
saudara tercinta Andi Akbar, orang tua atau paman dan bibi yang terhormat dan
tercinta, Nasrullah Hafid dan Dian Ekawati yang telah mendidik dan memberi
motivasi penulis sejak kecil hingga saat ini dan tiada lelahnya selalu memberi
semangat, motivasi, bimbingan, dukungan, kasih sayangnya, dan do’a-do’a yang
diberikan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan rahmat
dan kasih sayangnya kepada mereka semua.
Selama proses penulisan skripsi ini, sedikit banyaknya hambatan dan
kesulitan yang penulis hadapi, atas berkat rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
dukungan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Dengan demikian, sudah sepatutnya penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
tak terhingga kepada seluruh pihak yang telah membantu, khususnya :
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan sekaligus selaku
dosen pembimbing yang sangat memberikan semangat dan dukungan sejak
awal bimbingna hingga penulis menyelesaikan skripsi ini. Beliau yang sangat
memiliki sikap ramah dan rendah hati serta sabar sehingga bmbingan skripsi
yang telah dijalani selama ini tidak terasa berat atas arahan dan motivasi dari
Page 7
vi
Beliau. Semoga Bapak senantiasa selalu dalam lindungan Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
3. AM. Hasan Ali, M.A., selaku Ketua dan Dr. Abdurrauf, Lc., M.A., selaku
Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah yang telah memberikan
arahan dan saran yang terbaik bagi mahasiswanya.
4. Seluruh staf pengajar pada lingkungan Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah Fakultas Syriah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada
penulis dan telah menginspirasi penulis untuk selalu belajar.
5. AH. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H. selaku dosen yang selalu memberi
inspirasi dan semangat kepada segenap mahasiswa/i prodi Hukum Ekonomi
Syariah khususnya kepada penulis secara pribadi.
6. Segenap jajaran Staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum dan Perpustakaan Utama, terutama yanng telah membantu
penulis dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
7. Pak Fajrian Septiawan selaku Account Officer Ritel pada Bank BJB Syariah
Ciputat, yang telah bersedia meluangkan waktu sebagai narasumber dalam
wawancara untuk memberikan data dan informasi kepada penulis demi
kelancaran penyusunan skripsi ini.
8. Keluarga dan sahabat-sahabat C.O.I.N.S yang selalu memberi motivasi dan
saran keilmuan kepada penulis selama berjalannya perkuliahan.
9. Sahabat Khalifah Lummi dan sahabat-sahabat kajian New Forward (Farihah,
Desya, Aisyah, Kholid, Alen, Fahmi F, Fauzan, Sami, dan Adam). Terima
kasih telah selalu mengingatkan, memberi semangat, memberi support,
hiburan, dan saran keilmuan kepada penulis selama perkuliahan hingga
terselesaikannya skripsi ini. Semoga silaturahim dapat terus terjalin.
10. Sahabat sahabat GenBI (Generasi Baru Indonesia) yang memberi motivasi,
diskusi, dan pengalaman berorgaisasi kepada penulis.
11. Sahabat-sahabat yang selalu ada sejak awal perkuliahan khsusnya di kelas A
dan umumnya angkatan 2014 Hukum Ekonomi Syariah. Sahabat yang selalu
Page 8
vii
menemani, dan selalu berbagi suka dan duka, sahabat yang selalu setia, serta
kenangan indah yang penulis tidak dapat lupakan bersama kalian semua.
Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan dukungannya,
limpahan do’a dan semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempuranaan skripsi ini.
Ciputat, 2 Januari 2018
Penulis
Page 9
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .................. 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 11
D. Telaah Pustaka ........................................................................ 12
E. Metode Penelitian ................................................................... 14
F. Sistematika Penulisan ............................................................. 16
BAB II SADD AL-DZARI'AH
A. Pengertian Sadd Al-Dzari’ah .................................................. 18
B. Macam-macam Sadd Al-Dzari’ah .......................................... 25
C. Dasar hukum Sadd Al-Dzari’ah ............................................. 28
D. Kedudukan Sadd Al-Dzari’ah dalam Hukum Islam ............... 31
BAB III PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH
A. Gambaran Umum Tentang Kafalah ....................................... 38
B. Penjaminan Menurut Hukum Positif (Borgtocht) .................. 41
C. Dasar Hukum Penjaminan Pembiayaan ................................. 44
D. Penjaminan Sebagai Bentuk Kehati-hatian Penyaluran
Pembiayaan ............................................................................ 49
Page 10
ix
BAB IV KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS
PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT
PRINSIP SADD AL-DZARI’AH
A. Penggunaan Metode Sadd Al-Dzari’ah dalam
Konteks Ekonomi ................................................................... 57
B. Analisis Prinsip Sadd Al-Dzari’ah dan KUHPerdata Atas
Ketidaktahuan Nasabah Dalam Pelaksanaan Perjanjian
Penjaminan Syariah ............................................................... 62
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................. 75
B. Saran ....................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 78
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 84
1. Surat permohonan Data Wawancara ke Bank BJB Syariah Ciputat
2. Hasil wawancara dengan Occount Officer Bank BJB Syariah Ciputat
3. Peraturan-Peraturan
4. Dokumentasi gambar melakukan wawancara
Page 11
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah merupakan kegiatan usaha yang
mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan dampak serta berperan
penting dalam peroses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat
yang akan mencapai tujuan stabilitas nasional. Demi mewujidkan amanat
Undang-Undang UMKM dan didukung oleh UMKM yang berupaya
mempertahankan eksistensinya atau untuk mengembangkan usahanya, maka
perlu adanya pemberdayaan terhadap UMKM tersebut. Sesuai dengan
pernyataan Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Kementiran
Koordinator Bidang Perekonomian, Iskandar Simorangkir bahwa pemerintah
akan terus berupaya meningkatkan akses pembiayaan UMKM dengan
lembaga keuangan dengan pola penjaminan dan pembiayaan Kredit Usaha
Rakyat (KUR).1
Kredit usaha rakyat atau KUR adalah kredit atau pembiayaan modal
kerja terhadap usaha individu atau badan usaha yang produktif dan layak
namun belum memiliki agunan tambahan atau belum mencukupi persyaratan
pembiayaan dari lembaga keuangan yang menyalurkan pembiayaan baik
dengan prinsip konvensional maupun syariah. Program KUR memiliki tujuan
untuk meningkatkan akses perbankan yang bukan hanya bisa memberi
pembiayaan terbatas pada usaha yang berskala besar, tapi juga bisa
menjangkau UMKM seperti usaha rumah tangga, dan jenis usaha mikro lain
yang bersifat informal dan mempercepat pengembangan sektor riil.2
1 https://ekon.go.id/berita/view/peningkatan-peranan.3871.html diakses pada tanggal 1
Juli 2018 pukul 10.37 WIB
2 Siti Maryama, Kendala Usaha Mikro Dalam Mengakses Kredit Usaha Rakyat (KUR),
Jurnal Liquidity, IV, 1, (Januari-Juni, 2015), h.,83.
Page 12
2
Dalam peraturan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Nomor 11
Tahun 2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat pada pasal
12 Agunan KUR terdiri atas agunan pokok yaitu usaha atau obyek yang
dibiayai dan agunan tambahan bersifat tidak wajib bagi pembiayaan KUR
mikro dan tanpa perikatan. Sedangkan sebagian besar permasalahan bagi
UMKM dalam memperoleh pembiayaan adalah tidak terpenuhinya agunan.
Sehingga dengan peraturan tersebut UMKM yang mengajukan pembiayaan
mikro tidak lagi mengalami kendala.
Perbankan syariah di Indonesia sebagai pihak yang menyalurkan dana,
setiap pelaksanaan aktifitas internal harus berpangkal pada asas tujuan
perbankan syariah yang ditetapkan undang-undang. Asas tersebut
mengamanahkan perbankan syariah untuk melakukan kegiatan usahanya
dengan prinsip syariah, prinsip kehati-hatian, dan demokrasi ekonomi. Diatur
pula oleh Bank Indonesia Nomor 11/33/PBI/2009 mengatur tentang Good
Corporate Governance (GCG) untuk bank syariah menekankan organisasi
perusahaan menerapkan mekanisme manajemen resiko, pengendalian
internal, dan kepatuhan. Para ahli ekonomi melihat kedudukan manajemen
resiko memiliki peran penting pada praktik perbankan syariah.3
Dalam melakukan kontrak pembiayaan yang dilakukan oleh bank dan
nasabah tentu memiliki risiko yang akan dipikul oleh pihak bank. Sehingga
untuk mengantisipasi risiko pembiayaan sebelum kontraknya di setujui oleh
kedua pihak, bank terlebih dahulu menerapkan prinsip kehati-hatian dengan
melakukan penilaian guna mengurangi risiko yang akan timbul dikemudian
hari. Pelaksanaannya diwujudkan dengan melaksanakan kriteria-kriteria
yanng dinamakan prinsip 5C yaitu Character, Capacity, Capital, Colateral,
dan Condition selain itu dalam penilaian bank dikenal juga dengan metode 7P
3 Bayu Tri Cahya, Kilas Kebijakan Good Corporate Governance Pada Perbankan
Syariah, LA Riba Jurnal Ekonomi Islam, Vol. VII No.3, (Juli, 2013), h.,17.
Page 13
3
yaitu Party, Purpose, Prospect, Personality, Payment, Profitability,
Protection.4
Berdasarkan asas-asas tersebut, salah satu bentuk perlindungan yang
diupayakan oleh perbankan dapat berupa jaminan barang, jaminan perorangan
ataupun asuransi. Namun terdapat salah satu perbedaan pada peraturan
penyaluran pembiayaan dengan pembiayaan oleh perbankan syariah dengan
skema KUR yang dalam ketentuannya tidak mewajibkan adanya jaminan
tambahan. Sehingga peran penting dari diterapkannya prinsip kehati-hatian
dengan lebih memperhatikan kelayakan nasabah.
Hingga saat ini ketidak hatian-hatian bank dalam menyalurkan dana
pihak ketiga atau pembiayaan merupakan kategori tindakan moral hazard.
Secara harfiah moral hazard berarti “jebakan moral”. Moral hazard yang
melanda perbankan di Indonesia yang berakibat pada krisis moneter pada
tahun 1998, membuat fundamental industri perbankan rapuh. Moral hazard
dalam dunia perbankan dapat terjadi diakibatkan oleh dua pihak, yaitu akibat
oleh perbankan dan akibat oleh nasabah. Moral hazard pada tingkat bank
terjadi ketika bank syariah tidak berhati-hati dalam menyalurkan dana atau
ketidak patuhan bank syariah terhadap prinsip-prinsip syariah. Sedangkan
moral hazard pada nasabah umumnya akibat dari pembiayaan yang diberikan
dalam bentuk profit loss sharing. Pembiayaan yang tidak mensyaratkan
jaminan dan juga memberikan hak penuh kepada nasabah untuk mengelola
dana, akan mengakibatkan pembiayaan tersebut rentan terhadap tindakan
moral hazard.5
Permasalahan moral hazard debitur atau nasabah terhadap bank juga
disebabkan karena asimetri informasi setelah perjanjian dilakukan. Hal ini
terjadi karena nasabah dapat memperoleh keuntungan untuk mengalihkan
dana pembiayaan yang diperolehnya pada pemanfaatan dana yang tidak
4 Ashofatul Lailiyah, Urgansi Analisa 5C Pada Pemberian Kredit Perbankan Untuk
Meminimalisir Resiko,Jurnal Yuridika, XXIX, 2, (Mei-Agustus,2014), h.,224.
5 Siti Aisiyah, Indikasi Moral Hazard Pada Pembiayaan Mudharabah, Jurnal Dinamika
Ekonomi dan Bisnis, XIV, 1, (Maret, 2017), h.,74.
Page 14
4
dikehendaki oleh bank.6 Moral hazard juga dapat terjadi akibat dari lembaga
perbankan yang melakukan transfer risiko pembiayaan melalui penjaminan
pembiayaan dengan dalih jaminan untuk debitur akibat tidak terpenuhinya
jaminan kepada kreditur. Tujuan penjaminan pembiayaan adalah atas
kepentingan terjamin dari sisi penggantian agunan dan kepentingan penerima
jaminan dalam menyalurkan pembiayaan. Dengan adanya penjaminan
pembiayaan, pihak debitur akan berupaya mendapatkan pinjaman yang
beresiko tinggi dan kegagalan pembayarannya akan ditanggung oleh lembaga
penjaminan.7
Institusi penjamin pembiayaan syariah sebagai salah satu mitra strategis
lembaga keuangan syariah dalam menjalankan usahanya menyalurkan
pembiayaan kepada nasabah. Perjanjian yang subjek hukumnya melibatkan
tiga pihak antara lain penjamin, penerima jaminan dan terjamin, p enjamin
dalam proses penjaminan syariah adalah lembaga penjaminan pembiayaan
syariah. Penerima jaminan adalah bank syariah yang telah bekerja sama
dengan Penjamin, dan Terjamin adalah nasabah atau debitur pembiayaan
bank syariah tersebut.
Tujuan dari adanya lembaga penjamin pembiayaan syariah adalah untuk
memberikan dana talangan terhadap keadaan ketidak mampuan pembayaran
kewajiban nasabah kepada lembaga keuangan syariah yang disebabkan oleh
terjamin dalam ketentuan yang disyaratkan sepanjang tidak mengandung
unsur Fraud, Fiktif, dan Sidestreaming dimana nantinya bila telah
dilaksanakan kewajiban dalam hal ta’widh atau pembayaran dana klaim oleh
lembaga penjamin pembiayaan, maka selanjutnya akan timbul hak subrogasi
6 Taswan Ibrahim dan Ragimun, Moral Hazard dan Pencegahannya Pada Industri
Perbankan Di Indonesia, Peneliti pada Pusat Kebijakan Ekonomi Mikro Badan Kebijakan Fiskal,
h.,16.
7 Taswan Ibrahim dan Ragimun, Moral Hazard dan Pencegahannya Pada Industri
Perbankan Di Indonesia, Peneliti pada Pusat Kebijakan Ekonomi Mikro Badan Kebijakan Fiskal,
h.,18.
Page 15
5
yang berasal dari agunan atau cicilan yang tetap menjadi kewajiban nasabah
kepada lembaga keuangan syariah.8
Pelaksanaan penjaminan syariah ini diatur dalam beberapa kebijakan
yaitu, Fatwa DSN-MUI No.74/DSN-MUI/I/2009 tentang penjaminan syariah,
Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2016 Tentang Penjaminan.
Pada dasarnya, akad perjanjian penjaminan syariah menggunakan ketentuaan
umum Kafalah yang diatur dalam Fatwa No. 11/DSN-MUI/IV/2000 dan
penjaminan syariah menggunakan akad Kafalah bil ujrah yang bersifat
mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.9 Selain itu juga
pelaksanaan Lembaga Penjaminan Syariah diatur dalam POJK No.
6/POJK.05/2014 untuk pengaturan kegiatan usaha yang dilakukan
perusahaan penjaminan syariah yaitu melakukan penjaminan dengan
menanggung pembayaran atas kewajiban finansial terjamin kepada penerima
jaminan apabila terjamin tidak dapat memenuhi kewajibannya.
Jamnan pembiayaan mempunyai peranan penting bagi pengamanan dana
LKS yang telah disalurkan kepada nasabah sebagai upaya yang dapat
dilakukan atas resiko gagal bayar dari nasabah. Lembaga penjaminan syariah
sebagai Personal Guarantee atau Corporate Guarantee, dengan adanya
penanggung tersebut maka kreditur akan mempunyai kedudukan hukum yang
lebih kuat. Dengan demikian perjanjian jaminan perorangan diadakan bukan
untuk kepentingan debitur saja tapi juga untuk kepentingan kreditur.
Dalam Undang-undang Penjaminan diatur dua jenis penjaminan yaitu
penjaminan langsung dan penjaminan tidak langsung. Pada penelitian ini
penulis akan fokus pada bentuk perjanjian penjaminan tidak langsung dengan
persyaratan sebagai berikut:10
1. Telah dilakukan analisis kelayakan calon terjamin yang dilakukan oleh
calon penerima jaminan
8 Laporan Tahunan 2015 PT Jaminan Pembiayaan Askrindo Syaria.
9 Fatwa DSN No.74/DSN-MUI/I/2009 Tentang Penjaminan Syariah
10 POJK No. 6/POJK.05/2014 tentang pelaksanaan Lembaga Penjaminan Syariah
Page 16
6
2. Terdapat permohonan penjaminan dari calon terjamin melalui penerima
jaminan
3. Terdapat perjanjian kerjasama antara penerima jaminan dan perusahaan
penjamin syariah
4. Telah dilakukan pembayaran IJK (Imbal Jasa Kafalah) kepada
perusahaan penjaminan syariah
5. Telah diterbitkan sertifikat penjaminan
Pada peraturan tersebut terjadi modifikasi pada bentuk perjanjian dalam
hal permohonan penjaminan diwakilkan oleh penerima jaminan. Namun
menurut KHES tentang Akad Kafalah pasal 293 ayat 1 “Peminjam atau
terjamin harus dikenal oleh penjamin dan terjamin sanggup menyerahkan
jaminannya kepada penjamin”.11 Selain itu diatur pula dalam ketentuan
rukun dan syarat akad Kafalah pada Fatwa DSN No. 11/DSN-MUI/IV/2000
bahwa “pihak terjamin sanggup menyerahkan tanggungannya kepada
penjamin dan terjamin dikenal oleh penjamin”.
Dalam hukum Islam, penjaminan berupa jaminan perorangan yaitu suatu
perjanjian antara yang memberikan utang dengan pihak ketiga sebagai
penjamin yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban pihak yang
berutang.12 Pengertian lain mengatakan bahwa kafalah adalah jaminan dari
penjamin (pihak ketiga), baik berupa jaminan diri maupun harta kepada
pihak kedua sehubungan dengan adanya hak dan kewajiban pihak kedua
tersebut kepada pihak lain (pihak pertama).13
Perjanjian kafalah dilakukan antara kafil (penjamin) dan ashil (terjamin
atau makful’ anhu). Akad kafalah dilakukan atas utang milik terjamin yang
sudah tidak mempunyai kemampuan untuk membayar kewajibannya. Pada
11 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Buku II
12 Soebekti, Jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), h.,15.
13 Destri Budi, Analisis Fatwa DSN Tentang Wakalah, Hawalah, dan Kafalah Dalam
Kegiatan Jasa Perusahaan Pembiayaan Syariah, Jurnal Media Hukum, XXIV, 2 (Desember,
2017), h.,134.
Page 17
7
ketentuannya dijelaskan bahwa akad kafalah dalam pandangan jumhur ulama
tidak mengakibatkan pihak yang berutang atau terjamin bebas dari kewajiban
untuk membayar utangnya. 14
Pada ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang
Penjaminan diatur bahwa pengajuan klaim oleh penerima jaminan atau
dalam hal ini pihak pemberi utang kepada perusahaan penjamin dapat
dilakukan apabila terjamin gagal memenuhi kewajiban finansialnya. Jika
dilihat dalam ketentuan KUR diatur pula pada Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 135/PMK.05/208 tentang Fasilitas Penjaminan Kredit Usaha Rakyat
pasal 5 ayat (4) menentukan: “Persentase jumlah penjaminan
kredit/pembiayaan yang dijaminkan kepada Perusahaan Penjaminan
sebesar 70% dari kredit atau pembiayaan yang diberikan Bank Pelaksana
kepada UMKM”. Sejak klaim dibayar oleh penjamin, hak tagih penerima
jaminan kepada terjamin beralih menjadi hak tagih perusahaan penjaminan.
Pada ketentuan selanjutnya perusahaan penjamin dapat membuat perjanjian
dengan penerima jaminan agar penerima jaminan melakukan upaya
penagihan atas hak tagih tersebut.
Berdasarkan penelitian awal yang dilakukan pada Bank BJB Syariah,
untuk menerapkan manajemen risiko Bank BJB Syariah melakukan
kerjasama dengan lembaga penjaminan pembiayaan yaitu Jamkrinda dengan
tujuan mengcover utang nasabah yang wanprestasi dan berkedudukan
sebagai terjamin. Namun, terjamin tidak dilibatkan dalam perjanjian
penjaminan pembiayaan tersebut sehingga dapat disimpulkan nasabah atau
terjamin tidak mengetahui adanya penjaminan pembiayaan yang dilakukan
oleh pihak perbankan syariah.15
Jika fokus pada resiko dalam perjanjian akan terjadi jika proses perikatan
para pihak tidak memenuhi ketentuan hukum yang berlaku dan tidak
14 Hasanuddin, Fikih Muamalah Maliyyah:Akad Tabarru’ (Bandung: Simbiosa Rekatama
Media,2017), h.,200.
15 Pak Fajrian Septiawan, Supervisior BJB Syariah Ciputat, Interview pribad, Ciputat, 23
Juli 2018
Page 18
8
terlaksananya asas-asas hukum perikatan. Idealnya suatu perjanjian
dilakukan dengan sepengetahuan semua pihak. Kata sepakat merupakan
implementasi dari asas konsensualisme yaitu kesepakatan para pihak untuk
mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, juga tidak
lepas dari asas iktikad baik, serta terpenuhinya asas kebebasan berkontrak
dan asas pacta sun servanda yang diatur secara jelas dalam KUHPerdata
sebagai pedoman dalam perikatan. Selain itu juga dalam ruang lingkup
lembaga keuangan syariah harus patuh pada prinsip-prinsip syariah yang
menjunjung tinggi kemaslahatan.
Sejalan dengan perkembangan transaksi dalam lembaga keuangan di
masyarakat modern ini, berkembang pula jenis resiko dalam melakukan
transaksi keuangan sehingga semakin berpotensi untuk menjadi ancaman
bagi para pihak, juga terhadap transaksi-transaksi yang menerapkan prinsip
syariah. Kenyataan inilah yang mendorong pentingnya mengetahui bentuk
perlindungan hukum dan hubungan hukum yang jelas pihak-pihak yang
terlibat dalam perjanjian penjamian terhadap harapan-harapan sah yang ingin
dicapai melalui transaksi-transaksi yang dilakukan khususnya dalam
mengantisipasi terjadinya resiko-resiko yang dapat menghambat upaya
tersebut.16
Nasabah atau terjamin yang tidak dilibatkan dalam perjanjian penjaminan
antara penerima jaminan dan penjamin adalah salah satu contoh tidak
terpenuhinya asas-asas dalam perjanjian yang melibakan tiga pihak. Namun
ketidak terlibatnya terjamin, merupakan bagian dari upaya bank untuk
menerapkan prinsip kehati-hatian atas dana yang disalurkannya. Apabila
dikaitkan dengan keberadaan Hukum Islam sebagai sistem yang turut
mengendalikan dan mengkontrol setiap perubahan dan perbuatan manusia,17
dan KUH Perdata yang menjadi landsan hukum Positif di Indoensia
16 Akhyar Ari Gayo, Dinamika Legislasi Hukum Islam: Analisa Atas Upaya pembentukan
hukum perikatan syariah, Jurnal RechtsVinding, IV, 3, (Desember,2015), h.,486.
17 Karimatul Ummah, Pengembangan Konstruksi Metodologi Hukum Silam bagi
Perubahan Masyarakat Indonesia, Jurnal Hukum, XI, 25 (Januari,2014), h.,119.
Page 19
9
khususnya dalam konteks hubungan hukum ant ara hubungan keperdataan.
Sehingga dalam konteks tidak dilibatkannya terjamin tersebut merupakan
produk pemikiran manusia terhadap suatu kondisi dan persoalan namun tetap
harus dijaga relevansinya dengan kehendak dan pedoman hukum Islam dan
juga tetap merujuk pada hukum positif.18
Penerapan prinsip kehati-hatian sebagai suatu upaya untuk terlindung
dari tindakan yang diduga keras akan menimbulkan kerusakan, maka
dilaranglah hal-hal yang mengarahkan kepada perbuatan terlarang tersebut.
Untuk menjaga relevansinya dengan pedoman Hukum Islam, salah satu
metode yang digunakan adalah Sadd Al-Dzari’ah merupakan sebuah metode
penggalian hukum dalam Hukum Islam dengan cara menutup jalan yang
membawa kepada kebinasaan (bahaya) atau kejahatan (hal yanng dilarang).19
Maka penulis menganalisis menurut hukum positif dan juga menggunakan
Sadd Al-Dzari’ah untuk mengetahui bagaimana metode tersebut menjadi
landasan dibolehkannya ketidaktahuan nasabah atas perjanjian penjaminan.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, Penulis
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: Kebijakan
Ketidaktahuan Nasabah Atas Perjanjian Penjaminan Syariah Analisis
Menurut Hukum Islam dan Positif
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Seperti yang telah dijelaskan dalam latar belakang, terdapat beberapa
permasalahan yang Penulis temukan yaitu :
a. Nasabah pembiayaan mikro khususnya KUR dalam peraturan Mentri
Koordinator bidang Perekonomian Nomor 11 tahun 2017 tentang
pedoman pelaksanaan kredit usaha rakyat tidak mewajibkan jaminan
tambahan dan tidak diikat.
18 Karimatul Ummah, Pengembangan Konstruksi Metodologi Hukum Silam bagi
Perubahan Masyarakat Indonesia, Jurnal Hukum, XI, 25 (Januari,2014), h.,114.
19 Satria Effendi, Ushul fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), h.,33.
Page 20
10
b. Tidak terpenuhijnya jaminan, bertentangan dengan prinsip kehati-
hatian bank dalam menyalurkan dana pihak ketiga melalui
pembiayaan.
c. Dalam ketentuan GCG (Good Coorporate Gofernance) bagi
Perbankan untuk menerapkan manajemen risiko salah satunya dalam
bentuk penjaminan pembiayaan
d. Untuk mengcover dana pembiayaan, Bank BJB Syariah melakukan
kerjasama dengan PT Jamkrindo Syariah dan Jamkrinda.
e. Dalam ketentuan penjaminan pembiayaan, akad yang diterapkan
adalah Akad Kafalah bil Ujrah atau yang dalam KUHPerdata
dikenal dengan Borgtocht.
f. Berdasarkan peraturan perjanjian penjaminan syariah, salah satu
bentuk perjanjiannya terdapat modifikasi berupa penjaminan tidak
langsung. Dalam hal ini penerima jaminan mewakilkan terjamin
untuk memohon jaminan atas pembiayaannya.
g. Penjamin dan Bank BJB Syariah tidak melibatkan nasabah atas
perjanjian penjaminan pembiayaan.
h. Analisis Sadd Al-Dzari’ah dan KUH Perdata terhadap ketidaktahuan
nasabah atas perjanjian penjamian pembiayaan antara perbankan dan
penjamin.
2. Pembatasan Masalah
Setelah latar belakang dan identifikasi masalah diuraikan, untuk
membuat penelitian ini menjadi lebih terarah, pembatasan masalah perlu
dilakukan. Untuk memfokuskan penelitian dan memudahkan proses analisis,
maka penelitian ini dibatasi hanya membahas tentang :
a. Peraturan pelaksanaan penjaminan pembiayaan yang tidak
melibatkan nasabah secara langsung
b. Analisis Sadd Al-Dzari’ah dan KUH Perdata terhadap ketidaktahuan
nasabah atas perjanjian penjamian pembiayaan antara perbankan dan
penjamin.
Page 21
11
3. Rumusan masalah
Bagaimana analisis kebijakan ketidaktahuan nasabah atas perjanjian
penjaminan yang dilakukan kreditur dan penjamin menurut Hukum Islam dan
Hukum Positif?
Untuk menjelaskan rumusan masalah diatas, penulis mengajukan
pertanyaan penelitian, yaitu:
a. Apa faktor-faktor yang menjadi landasan dibuatnya kebijakan
ketidaktahuan nasabah atas penjaminan pembiayaan syariah yang
dilakukan antara kreditur dan penjamin?
b. Bagaimana analisis hukum kebijakan ketidaktahuan nasabah atas
perjanjian penjaminan pembiayaan syariah perspektif Sadd Al-
Dzari’ah dan menurut KUH Perdata?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui untuk mengetahui alasan
hukum ketidaktahuan nasabah atas penjaminan pembiayaan yang dilakukan
oleh kreditur dan penjamin perspektif Sadd Al-Dzari’ah dan KUHPerdasata,
serta mengetahui faktor-faktor dan analisis hukum yang menjadi landasan
konstruksi kebijakan tersebut.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat secara teoritis penelitian ini diharapkan memberikan
sumbangan pemikiran, mengenai alasan hukum penerapan kebijakan
yang dilakukan lembaga keuangan bank yang bekerja sama dengan
pihak penjaminan agar tetap eksis dan sukses dalam
mengembangkan produk dan manajemen usahanya.
b. Manfaat praktis
1) Manfaat bagi akademisi untuk menambah ilmu pengetahuan
serta wawasan mangenai pelaksanaan analisis hukum atas
kebijakan yang dilaksanakan lembaga keuangan syariah.
2) Manfaat bagi lembaga adalah sebagai masukan bagi pihak-pihak
lembaga penjaminan syariah supaya dapat menerapkan
Page 22
12
ketentuan hukum sesuai dengan hukum syariah dan memenuhi
segala aspek hukum dalam perjanjiannya
3) Memberikan informasi dan kontribusi dalam pengembangan
lembaga keuangan syariah dan masukan bagi masyarakat terkait
pelaksanaan perjanjian penjaminan syariah.
D. Telaah Pustaka
Telaah pustaka berisi tentang uraian sistematis mengenai hasil-hasil
penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu dan memiliki
keterkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan. Sejauh penelusuran data
yang penyusun lakukan, telah ada pembahasan tetang metode penemuan
hukum menggunakan Sadd Al-Dzari’ah. Demi penelaahan yang lebih
komprehensif, penyusun melakukan telaah pustaka berkaitan dengan
penelitian ini. Beberapa literatur yang penyusun gunakan:
1. Maymunah Datul Yasar Dalam dalam penelitiannya yang berjudul
“Analisis Sadd Al-Dzari’ah Terhadap Ketentuan PBI 13/23/2011
Tantang Penerapan Manajemen Risiko Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah” pada penelitainnya membahas mengenai analisis tentang
Sadd Al-Dzari’ah terhadap 10 risiko dalam ketentuan PBI 13/23/2011
tentang penerapan manajemen resiko bank umum syariah dan unit usaha
syariah, Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa penerapan manajemen
resiko bagi Bank umum syariahd an unit usaha syariah dari bank
konvensional bisa juga diterapkan di dalam manajemen risiko bank
syariah dengan ketentuan proses manajemen risiko harus beroperasional
sesuai dengan prinsip syariah.20 Kesamaan antara penelitian ini dengan
penelitian yang penyusun lakukan adalah memiliki metode yang sama
dalam menganalisis pelaksanaan sebuah kebijakan berdasarkan prinsip
Sadd Al-Dzari’ah. Namun perbandingan terletak pada objek kajian yang
diteliti.
20 Maymunah Datul Yasar, Analisis Sadd Al-Dzari’ah Terhadap Ketentuan PBI 13/23/2011
Tantang Penerapan Manajemen Risiko Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (Skripsi S-1
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2014)
Page 23
13
2. Sulaeman Faaruk “Analisis Sadd Al-Dzari’ah Terhadap Pelarangan
Dana Talangan Haji Oleh Kementrian Agama Republik Indonesia”
penelitian ini menganalisis kebijakan pemerintah dalam melarang
pengadaan dana talangan haji menurut prinsip Sadd Al-Dzari’ah. Hasil
penelitiannya menyimpulkan bahwa akan terjadi dampak negatif oleh
adanya dana talagan haji dibanding dampak positif, sebagaimana kaidah
fiqh: menolak mafsadat (bahaya) lebih utama daripada mengambil
manfaat.21
Kesamaan antara penelitian ini dengan penelitian yang penyusun lakukan
adalah memiliki metode analisis yang sama terkait Sadd Al-Dzari’ah.
Namun perbandingan terletak pada objek kajian yaitu penulis hendak
meneliti pengaturan hubungan hukum dalam ruang lingkup perjanjian
penjaminan.
3. Ayief Fathurrahman dalam jurnal yang berjudul “Meninjau Ulang
Landasan Normatif Perbankan Syariah Di Indonesia (Telaah Atas Teori
Konstruksi Fiqh Klasik)” pada penelitian ini membahas mengenai
diterapkannya perbankan syariah di Indonesia kebanyakan merujuk pada
jenis-jenis transaksi konntrak dalam fiqh klasik dan hasil penelitiannya
menemukan terdapat kondisi yang memunculkan kesulitan-kesulitan
dalam mengkaji permasalahan yang terkait dengan perekonomian
terutama ruang lingkup perbankan dan keuangan, sehingga metorde fiqh
klasik dirasa kurang relevan lagi untuk menjawab problem
kontemporer.22
Kesamaan dengan penelitian sebelumnya adalah membahas ruang
lingkup permasalahan yang terjadi dalam perbankan yang terdapat
21 Sulaeman Faruk, Analisis Sadd Al-Dzari’ah Terhadap Pelarangan Dana Talangan Haji
Oleh Kementrian Agama Republik Indonesia, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah, Institut Agama Islam
Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2013)
22 Ayief Fathurrahman, Meninjau Ulang Landasan Normatif Perbankan Syariah di
Indonesia, Jurnal Al Mawarid, XI ,1 (Februari-Agustus 2010).
Page 24
14
pertentangan antara kebijakan dengan asas-asas hukum yang berlaku
dalam kajian hukum Islam.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini mendasarkan kepada penelitian hukum normatif yang dapat
disebut dengan penelitian hukum doktriner dan disebut juga sebagai
penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian hukum
doktriner, karena penelitian ini dilakukan untuk ditujukan hanya pada
peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Sebagai penelitian
kepustakaan atau studi dokumen disebabkan penelitian ini dilakukan terhadap
data yang bersifat sekunder.23
Penelitian hukum ini dilakukan dengan pendekatan konseptual
(conceptual Approach), dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari
aturan hukum yang ada, pendekatan ini untuk menemukan dan membangun
sebuah konsep untuk dijadikan sebuah acuan didalam penelitian.24
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang
bersifat deskriptif analisis. Penelitian kualitatif yakni penelitian yang
mendasarkan data-data penelitiannya pada data-data kualitatif. Data kualitatif
dapat berupa dokumentasi tertulis, foto/gambar, dan hasil wawancara.25
Penelitian kualitatif bisa menghasilkan informasi yang deskriptif yaitu
memberikan gambaran menyeluruh dan jelas terhadap situasi sosial yang
diteliti.26 Dalam kasus ketidaktahuan nasabah atas perjanjian penjaminan,
yang kemudian dihubungkan dengan konsep Sadd Al-Dzari’ah dan analaisis
menurut KUHPerdata sehingga ditemukan kesimpulan atas konsep
23 Bambang Waluyo, Penelitian Huk um Dalam Prak tik , (Jakarta: Sinar Grafika,
2008, Cet. Keempat), h., 17.
24 Dr.Peter Mahmud, Penelitian Hukum, (Jakarta:Kencana, 2005), h., 177.
25 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Huk um,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h., 9.
26 Prof.Dr.Sugianto, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung:Alfabeta, 2012), h., 21.
Page 25
15
penjaminan, kebijakan, sehingga ditemukan kesimpulan yang objektif,
logis, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki.
3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari :27
a. Data Primer
Data yang diperoleh melalui penelitian lapangan yaitu
berupa keterangan-keterangan yang berasal dari pihak-pihak yang
terlibat dalam objek penelitian yang dimaksud untuk lebih memahami
maksud dan tujuan dari data sekunder yang ada. Data primer ini pada
pelaksanaannya hanya berfungsi sebagai penunjang dari data sekunder.
b. Data Sekunder
Data hukum sekunder yaitu semua publikasi tentang hukum yang
merupakan dokumen yang tidak resmi. Yang memiliki kegunaan sebagai
petunjuk kepada peneliti untuk menentukan permasalahan. Bahan
hukum ini dapat menjadi panduan berpikir dalam menyusun argumentasi
yang akan diajukan dalam hasil penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi Pustaka
Metode ini dipergunakan untuk mengumpulkan data sekunder, yang
dilakukan dengan cara mencari, menginventarisasi, dan mempelajari
peraturan perundang-undangan, doktrin-doktrin, dan data sekunder
lainnya. Data yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini yaitu Sadd
Al-Dzari’ah, KUHPerdata, konsep penjaminan syariah, dan kepustakaan
lain yang relevan dengan penelitian ini. Pengolahan data studi pustaka
dengan cara dibaca, dikaji, dan dikelompokkan sesuai dengan pokok
masalah yang akan diteliti.
b. Wawancara
Metode ini dipergunakan untuk mengumpulkan data primer, yang
dilakukan dengan cara melakukan wawancara secara bebas dan
27 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum , (Jakarta:Sinar Grafika, 2009), h., 54.
Page 26
16
terstruktur, yang dilakukan dengan pihak yang terkait dengan perjanjian
penjaminan yakni Bank BJB Syariah Ciputat. Kemudian hasil
wawancara digunakan untuk menjadi sumber referensi dan memperkuat
data.
5. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang telah terkumpul dan telah diolah akan dibahas dengan
menggunakan metode normatif kualitatif, yakni suatu pembahasan yang
dulakukan dengan cara menafsirkan dan mendiskusikan data-data yang telah
diperoleh dan diolah berdasark an norma-norma hukum, doktrin, dan teori
hukum Islam yang ada.
Pada penelitian ini, deskriptif analisis dengan jenis penelitian kualitatif
yang akan digunakan untuk menemukan justifikasi hukum atas kebijakan
yang diterapkan dalam perjanjian penjaminan syariah tanpa melibatkan
nasabah berdasarkan doktrin dan norma-norma hukum Islam.
Langkah yang dilakukan dengan mengumpulkan data-data yang
diperlukan dalam penelitian ini, baik data primer dan data sekunder. Setelah
data terkumpul, kemudian dipili kategori mana yang relevan dan mana yang
tidak relevan terhadap penelitian ini. Setelah itu disusun menjadi rancangan
yang sistemis untuk ditampilkan sehingga pada kesimpulan akhir didapatkan
suatu hasil berdasarkan data yang dianalisis.
F. Sistematika Penulisan
Dalam Penelitian ini, penulis membagi sistematika penulisan skripsi
kedalam lima BAB, diantaranya sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan, memuat latar belakang masalah,
identifikasi, batasan masalah dan rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori,
metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II Kajian Pustaka, penulis menguraikan tentang Sadd
Al-Dzari’ah memuat kajian berdasarkan konsep
pengertian Sadd Al-Dzari’ah, dasar hukum, pendapat
Page 27
17
ulama, dan kehujjahan Sadd Al-Dzari’ah.
BAB III Penulis membahas mengenai gambaran umum
tentang penjaminan menurut KUHPerdata dan
Syariah, landasan hukum pelaksanaan dan
pengoperasian Lembaga Penjaminan Syariah, serta
Urgensi Penjaminan dalam menjaga resiko dalam
penyaluran pembiayaan perbankan.
BAB IV Analisis dan Interpretasi Temuan, memuat
pembahasan penelitian berdasarkan atas data-data
yang di analisis.
BAB V
Penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian
yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya dan
rekomendasi yang diharapkan memiliki nilai guna
dan manfaat secara luas
Page 28
18
BAB II
SADD AL-DZARI’AH
A. Pengertian Sadd Al-Dzari’ah
Metode Ijtihad sering kali digunakan oleh para ulama untuk menemukan
sumber hukum atas perbuatan manusia dimana metode ijtihad ini digunakan
jika tidak ditemukannya illat hukum yang ada dalam sumber hukum utama
yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Seperti yang dilakukan oleh para Sahabat dalam
berbagai riwayat telah menggunakan lafaz (istilah) maslahat di dalam
penalaran atau proses ijtihad ketika mereka berupaya merumuskan hukum
syara’ (menemukan ketentuan fikih) dengan tujuan untuk mengetahui apa
kemaslahatan yang akan dicpai atau apa kemudharatan yang dapat
dihindarkan dengan penentuan hukum syara’ tersebut.28
Zaman modern saat ini yang dihadapkan pada ilmu dan teknologi,
industri bahkan bioteknologi menjadikan pentingnya metode penalaran untuk
terus dikembangkan yang dimaksudkan untuk menjadikan pemahaman atas
Al-Qur’an dan Sunnah menjadi lebih dekat. Hal ini sesuai dengan pendapat
Al Yasa’ Abubakar yang mengamati secara kritis dalil yang selama ini
dipahami sebagai maslahah mursalah dan metode maqashid al syariah, yanng
kemudian dikembangkan menjadi suatu metode penalaran yang lebih
komprehensif yaitu metode penalaran Istislahiyyah.29
28 Al Yasa’ Abubakar, Metode Istilahihah:Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul
Fiqh, (Jakarta:Kencana,2016), h., 38.
29 Penalaran Istislahiyyah (al Istishlah, al mashalih al mursalah yang diindonesiakan
dengan Istislahiah) adalah kegiatan penalaran terhadap nash (Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah)
yang bertumpu pada penggunaan istilah maslahat dalam upaya untuk (a) menemukan
(merumuskan atau membuat) hukum syara’ dari seuatu masalah dan (b) merumuskan atau
membuat pengertian dari suatu perbuatan (perbuatan hukum). Al Yasa’ Abubakar, Metode
Istilahihah:Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana,2016), h., 33.
Istislahiyyah adalah ijtihad terhadap masalah-masalah yang tidak ditunjukkan hukumnya secara
khusus atau tidak ada nash yang serupa alasannya. Penetapan hukum dilakukan berdasarkan
pendekatan kemaslahatan yanng menjadi tujuan dari hukum. Lihat Dedy Supriyadi, Sejarah
Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h., 142.
Page 29
19
Model penalaran Istislahi adalah penggalian hukum yang berpedoman
pada prinsip-prinsip kemaslahatan yang disimpulkan dari sumber hukum
Islam utama yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Dalam artian, kemaslahatan yang
dimaksudkan disini adalah kemaslahatan yang berlaku secara umum dan
merujuk pada kedua sumber hukum tersebut. Dalam perkambangan
pemikiran fiqh, corak penalaran istislahiah ini terdiri dari beberapa metode
ijtihad, diantaranya metode al maslahah al mursalah30 dan Sadd Al-
Dzari’ah.31
Berdasarkan metode ijtihad tersebut yang mengutamakan kemaslahatan
dan bersumber dari hukum Islam, namun konteks kemaslahatan itu tidak
untuk dikembalikan kepada satu ayat atau hadis secara langsung melainkan
dikembalikan pada prinsip umum kemaslahatan yang terkandung oleh nash.
Pada penelitian ini akan fokus membahas mengenai kemaslahatan yang
diperoleh melalui adanya unsur Al-Dzari’ah.
Sebelum menjelaskan pengertian Sadd Al-Dzari’ah, penulis akan
memberikan pengantar mengenai Al-Dzari’ah. pada umumnya, manusia
dalam melakukan sesuatu secara sadar sudah pasti mempunyai tujuan yang
jelas dan mengenaympingkan persoalan baik atau buruk, mendatangkan
manfaat atau mudharat. Untuk menuju pada hal tersebut, terdapat beberapa
perbuatan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tersebut.
Seperti yang dipaparkan oleh Amir bahwa perbuatan-perbuatan pokok
dan menjadi tujuan seseorang telah jelas diatur dan menjadi hukum taklifi (al-
ahkam al-khamsah). Baik itu perbuatan dilarang atau dianjurkan, terdapat
perbuatan yang pastinya mendahului perbuatan inti yang dituju. Keharusan
30 Maslahah berarti mendatangkan manfaat, sedangkan mursalah berarti diutus, dikirim,
atau dipakai. Jadi maslahah mursalah berarti prinsip kemaslahatan yang diapaki untuk
menetapkan hukum Islam. Atau suatu perbuatan yang mengandung nilai bermanfaat. Dan metode
ini digunakan untuk menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ditemukan dalam Al-Qur’an,
Sunnah Nabi, amupun Ijma’. Lihat, Abdul Fatah, Menggugat Istinbath Hukum Ibnu Qayyim,
(Semarang:Pustaka zaman, 2007), h.,138.
31 Yusna Zaidah, Model Hukum Islam:Suatu Konsep Metode Penemuan Hukum melalui
Pendekatan Ushuliyyah, Jurnal Syariah: Jurnal Ilmu Hukum dan Pemikiran, XVII, 2 (Desember,
2017), h.,154.
Page 30
20
untuk menghindarkan datau melakukan perbuatan yang mendahului tujuan
pokok tersebut ada yang telah diatur secara jelas oleh syara’ ada juga yang
tidak diatur secara langsung. Contohnya :32
1. Wudhu adalah suatu perbuatan yang harus didahulukan untuk
melaksanakan shalat. Dan wudhu juga merupakan kewajiban yang
telah diatur hukumnya dalam Al-Qur’an;
2. Wajib menuntut ilmu berdasarkan hadis Nabi, dan untuk
terlaksananya proses menuntur ilmu tersebut harus dengan jalan
mendirikan sekolah. Namun, mendirikan sekolah tidak ada dalil
hukumnya secara langsung, maka hukum membuat sekolah wajib
sebagaimana wajibnya menuntut ilmu sebagai tujuannya;
3. Berzina adalah perbuatan haram yang harus dijauhi. Untuk dapat
menjauhi zina itu maka harus menghindari perbuatan-perbuatan yang
mendahuluinya yang akan mengantar pada zina. Karena perbuaatan
yang menghantarkan pada perbuatan haram sama dengan hukum
perantara yang mengantarkan pada tujuan tersebut.
Berdasarkan hal diatas, untuk itu berlakulah qaidah :
للو سا ئل كحكم المقا صد Bagi wasila (perantara) itu hukumnya adalah sebagaimana hukum
yang berlaku pada apa yang dituju.
Persoalan yang diperbincangkan para ulama adalah perantara atas
perbuatan yang belum mempunyai dasar hukumnya. Perbuatan perantara itu
disebut dengan al-Dzari’ah (الذ ريعة).
Berdasarkan pengertian segi etimologi, Dzari’ah berarti wasilah
(perantara). Sedangkan Al-Dzari’ah menurut istilah hukum Islam berarti
sesuatu yang menjadi perantara ke arah perbuatan yang diharamkan atau
32 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta:Kencana,2011), h.,397.
Page 31
21
dihalalkan.33 Al-Dzari’ah secara lughawi (bahasa) berarti Jalan yang
membawa kepada sesuatu, secara hissi atau ma’nawi, baik atau buruk.
Pengertian terebut mengandung makna netral tanpa memberikan penilaian
kepada hasil perbuatan. Ibnu Qayyim memberikan definisi netral tersebut
kedalam rumusan :34
ىء ما كا ن وسيلة وطريق الى الش
Apa-apa yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu.
Abu Ishaq al-Syatibi dalam Al-Muwafaqat yang dikutip oleh Nasrun
Haroen mendefinisikan Al-Dzari’ah yaitu melakukan suatu pekerjaan yang
semula mengandung kemaslahatan untuk menuju kepada suatu
kemafsadatan.35 Pengertian tersebut bermakna suatu pekerjaan yang pada
dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan
lain yang akan dicapai akan menimbulkan kemafsadatan.
Berdasarkan pengerian tersebut dapat dipahami bahwa Al-Dzari’ah
merupaka suatu jalan atau perantara yang menjadi wasilah untuk menuju
kepada suatu perbuatan hukum yang baru. Dimana perbuatan hukum itu dapat
bersifat maslahah ataupun menimbulkan kemudharatan.
Ketentuan hukum yang dikenakan Al-Dzari’ah selalu mengikuti
ketentuan hukum yang terdapat pada perbuatan yang menjadi sasarannya.
Adapun sumber ketetapan hukum terbagi atas dua bagian yaitu: 36
1. Maqasid (tujuan atau sasaran), yakni perkara-perkara yang mengandung
maslahah atau mafsadah.
33 Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Saefullah Ma’shum dkk, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), h.,
438-439.
34 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta:Kencana, 2011), h.,424.
35 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 161.
36 Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Saefullah Ma’shum dkk, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), h.,
439.
Page 32
22
2. Wasail (perantara), yaitu jalan atau perantara yang membawa maqasid, di
mana hukumnya mengikuti hukum dari perbuatan yang menjadi
sasarannya (maqasid), baik berupa halal atau haram.
Wahbah Zuhaili juga menjelaskan pembagian dua bentuk Al-Dzari’ah
dikarenakan apabila dikaitkan dengan pembahasan dalam ruang lingkup
hukum syariah, maka kata Al-Dzari’ah terdiri dari dua kategori, yaitu:37
1. Sadd Al-Dzari’ah dimaksudkan ketika ketidak bolehan untuk
menggunakan alasan atau tujuan tersebut, karena akan mengakibatkan
kerusakan. Maka penggunaan tujuan atau sasaran itu tidak
diperbolehkan.
2. Fath Al-Dzari’ah ditujukan untuk kebolehan menggunakan dan
mengambil jalan atau sarana tersebut, dikarenakan akan mengarah pada
kebaikan dan kemaslahatan. Kebolehan ini dikarenakan realisasi aspek
kebaikan dan kemasalahatan merupakan sebuah keharusan.
Pembatasan mengenai Al-Dzari’ah kepada sesuatu yang dilarang saja
tidak tepat, karena Dzari’ah jugaa mengandung sesuatu yang dianjurkan.
Oleh sebab itu pengertian Al-Dzari’ah lebih baik dikemukakan yang bersifat
umum sehingga Dzari’ah dapat dibuat menjadi dua pengertian dalam konteks
yang dilarang dan dituntut untuk dilaksanakan.38 Namun dalam beberapa
literatur dan dikalangan para ulama hanya berfokus pada penggunaan metode
Sadd Al-Dzari’ah saja. Al-Dzari’ah disebut secara sendiri dan tidak disebut
secara kalimat majemuk maka kata itu selalu digunakan untuk pengertian
Sadd Al-Dzari’ah walaupun Dzari’ah yang dikenal secara khusus dibagi
menjadi dua yaitu, Sadd Al-Dzari’ah dan Fath Al-Dzar’ah.39
Metode Sadd Al-Dzari’ah ini dikenal dengan istilah metode pemblokiran
sarana yang menghantarkan kepada mudharat, yang digunakan oleh para
37 Wahbah az-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Iskami, Juz II (Beirut: Dar al-Fikri al- Muasir,
1986), h., 173.
38 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 160.
39 Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), h., 236.
Page 33
23
fuqaha sebagai sumber legislasi khususnya Imam Mazhab Maliki. Mayoritas
ulama mazhab tersebut menyebutkan bahwa Sadd Al-Dzari’ah bukan
merupakan dalil mandiri, tetapi dimasukkan kedalam kemaslahatan.40 Metode
ini tidak hanya bersifat menghindarkan kerusakan namun Dzari’ah juga
untuk menarik kemanfaatan, kemanfaatan dan kerusakan yanng dapat terjadi
inlah yang manjadi parameter prinsip digunakannya Dzari’ah. Jika kerusakan
lebih besar dari manfaatnya maka hukum yang ditetapkan menggunakan
metode Dzari’ah akan menjadi dilarang.
Dari segi bahasa Sadd adalah menutup sedangkan Dzari’ah merupakan
kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (washilah) dan
jalan ke suatu tujuan. Dengan demikian Sadd Al-Dzari’ah secara bahasa
berarti menutup jalan kepada suatu tujuan.41 Nasrun Haroen berpendapat
bahwa seseorang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya
diperbolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan yang
akan dia capai berakhir pada suatu kemafsadatan.42
Ibn Asyur menjelsakan Sadd Al-Dzari’ah sebagai sebuah istilah yang
digunakan oleh para Fuqaha terkait sebuah upaya pembatalan, pencegahan,
dan pelarangan atas perbuatan-perbuatan yang diduga mengakibatkan
kerusakan yang jelas. Hal senada disampaikan oleh al-Mazri yang dikutip
oleh Ibn Asyhur, bahwa Sadd Al-Dzari’ah adalah pelarangan atas apa saja
yang pada dasarnya itu boleh dilakukan, agar dia tidak mengarah pada yang
dilarang untuk dilakukan.43 Sadd Al-Dzari’ah (makna generik:menutup jalan)
ialah, mencegah suatu perbuatan agar tidak sampai menimbulkan mafsadah
40 Jaser audah, Membumikan Al Qur’an melalui Maqasidus Syariah, Terj Rosidin dan Ali
Abd el Munim, (Bandung:Mizan, 2015), h., 171.
41 Masjkur Anhari, Ushul Fiqh, (Surabaya: Diantama, 2008), h., 117.
42 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 161.
43 Muhammad Thahir Ibn Asyur, Maqasid Syari’ah al-Islamiyyah (Petaling Jaya
Malaysia: Dar An-Nafais, 2001), h., 65.
Page 34
24
(kerusakan), jika perbuatan itu menimbulkan mafsadah. Pencegahan ini
dilakukan karena bersifat terlarang.44
Dari segi pandangan Imam Malik pada hakikat Sadd Al-Dzari’ah adalah
bahwa setiap yang membawa kepada haram adalah haram, dan yang
membawa kepada yang halal adalah halal.45 Ibnu Qayim berpendapat yanng
dikutip oleh Muslehuddin bahwa apapun yang dilarang sebagai suatu
tundakan preventif, yaitu Sadd Al-Dzari’ah, menjadi boleh dilihat berdasar
pada kebutuhan masyarakat, tetapi apa yang dilarang dengan tujuan tertentu
tidak dapat diperbolehkan kecuali karena terpaksa.46
Dari pengertian Sadd Al-Dzari’ah diatas maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa yang dimaksud dengan Sadd Al-Dzari’ah yaitu sebuah jalan atau
wasilah yang digunakan untuk menutup atau mencegah terjadinya perbuatan
yang dilarang atau mengakibatkan kemudharatan jika perbuatan yang
dibolehkan atau mubah itu dilaksanakan. Jalan yang dimaksudkan dalam hal
ini adalah jalan yang mengakibatkan pelarangan untuk dilakukan sehingga
kemaslahatan akan timbul dengan cara menutup jalan yang berakibat
pelarangan tersebut.47
44 Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), h., 236.
45 Iskandar Usman, Istihsan dan pembaharuan dalam Islam, (Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada, 1994), h., 146
46 Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis (Studi
Perbandingan Hukum Islam), Terj Yudian Wahyuni Salim dkk, (Yugyakarta:Tiara Wacana,
1991), h., 148
47 Lebih lanjut, Sadd Al-Dzari’ah sebagai salah satu metode dalam penafsiran atau
penggalian hukum Islam, yang aplikasiannya senantiasa bersandar pada konsep maslahah dengan
berbagai ragamnya. Metode yang lebih berkesan preventif, karena segala sesuatu yang pada
mulanya mengandung pengertian boleh (mubah) menjadi dilarang (haram) karena akibat yang
ditimbulkan dari perbuatan tersebut berindikasi pada mafsadat baik dari jenis maupun kualitasnya.
Lihat, Ali Imron, Menerapkan Hukum Islam yang Inovatif dengan metode Sadd Al-Dzari’ah,
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI, h., 67.
Page 35
25
B. Macam-macam Sadd Al-Dzari’ah
Para ulama berbeda-beda dalam membagi Al-Dzari’ah Secara sederhana
bisa kita lihat paparan para ulama. Al-Dzari’ah dikelompokkan dengan
melihat kepada beberapa segi :48
1. Berdasarkan dampak atau akibat yang ditimbulkannya menurut Ibnu
Qayyim, Al-Dzari’ah dibagi menjadi empat, yaitu :49
a. Dzari’ah yang memang pada dasarnya membawa pada kerusakan.
Dalam arti bila perbuatan berupa jalan atau Dzari’ah itu tidak
dilarang, pasi akan terjadi kerusakan. Contohnya meminum
minuman yang memabukkan dan membawa pada kerusakan akal
atau mabuk, dan berzina yang membawa pada kerusakan tata
keturunan. Kedua akbiat ini merupakan kemafsadatan dan sudah
dilarang keras oleh syara’.
b. Dzari’ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun
ditujukan untuk perbuatan buruk yang merusak baik yang disengaja
ataupun yang tidak disengaja. Seperti contoh yang disengaja yaitu
nikah muhallil yang pada dasarnya menikah boleh, namun karena
dilakukan dengan menghalalkan yang haram menjadi tidak boleh
hukumnya.
c. Dzari’ah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujuakn
untuk kerusakan, namun biasanya sampai juga pada kerusakan yang
mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya. Contohnya yaitu
mencaci sembahan agama lain bahwa mencaci sembahan agama lain
itu mubah, namun jika perbuatan itu akan menjadikan perantara bagi
agama lain untuk mencaci Allah, maka melakukan hal tersebut
menjadi terlarang.
48 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta:Kencana, 2011), h.,427.
49 Nasrun Haroen menambahkan keempat Al-Dzari’ah ini dibentuk oleh dua hal yaitu : a)
Dzari’ah yang kemaslahatan pekerjaan itu lebih kuat dari kemafsadatannya. b) Al-Dzari’ah yang
kemaslahatannya lebih besar dari kemafsadatannya. Lihat, Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 166.
Page 36
26
d. Dzari’ah yang semula ditentukan untuk mubah, namun terkadang
membawa pada kerusakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil
dibanding kebaikannya. Contohnya dalam hal ini melihat wajah
perempuan saat dipinang.
2. Dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkan, Abu Ishak al Syatibi
membagi Dzari’ah kepada empat macam, yaitu:
a. Dzari’ah yang membawa kepada kerusakan secara pasti, jika
Dzari’ah itu tdak dihindarkan pasti akan terjadi kerusakan.
Seperti contoh seseorang menggali sumur di depan pintu rumah
orang lain pada malam hari, dan pemilik rumah tidak
mengetahuinya. Sehingga sudah pasti kemafsadatan akan timbul
karena pemilik rumah akan terjatuh jika melalui jalan berlubang.
Sebenarnya menggali lubang sumur itu boleh-boleh saja, namun
penggalian dalam keadaan seperti itu akan menimbulkan kerugian
dan kemafsadatan.
b. Dzari’ah yang membawa kapda kerusakan menurut biasanya,
dengan arti kalau Dzari’ah itu dilakukan, maka kemungkinan besar
akan timbul kerusakan atau akan dilakukan perbuatan yang dilarang
Contohnya, menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuman
keras, atau menjual pisau kepada penjahat yang sedang mencari
musuhnya. Sebenarnya, menjual objek-objek tersebut boleh-boleh
saja, namun jika tujuan dengan djualnya objek tersebut yang pada
umumnya pabrik minuman keras membeli anggur untuk diproduksi
menjadi minuman keras, maka akan timbul kemafsadatan akibat dari
menjual objek tersebut.
c. Dzari’ah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut
kebanyakannya. Bila Dzari’ah itu tidak dihindarkan seringkali
sesudah itu akan mengakibatkan berlangsungnya perbuatan yang
terlarang.
Page 37
27
Contohnya, jual beli dengan kredit, pada dasarnya tidak semua jual
beli kredit itu membawa pada riba namun dalam praktiknya sering
dijadikan sarana untuk riba.
d. Dzari’ah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan, dalam hal
ini seandainya perbauatan itu dilakukan, belum tentu akan
menimbulkan kerusakan, namun memungkinkan untuk terjadi
kemafsadatan.
Contohnya, menggali lubang di kebun sendiri yang pada
kebiasaannya jarang orang melalui di tempat tersebut. Namun tidak
menutup kemungkinan ada orang yang melewati kebun itu dan tanpa
sengaja terjatuh kedalam lubang.
Guna mengetahui apakah sarana atau wasilah (Al – Dzari’ah bisa
dipergunakan atau tidak karena manfaatnya unutk mengetahui dan
menentukan boleh tidaknya suatu perbautan untuk dilakukan, maka secara
umum hal itu bisa dilihat dari dua hal, yaitu :50
1. Motif atau tujuan yang mendorong untuk melaksanakan suatu perbuatan,
apakah perbuatan itu akan berdampak kepada sesuatu yang diharamkan
atau dihalalkan
2. Akibat yang terjadi dari perbuatan, tanpa harus melihat kepada motif dan
niat si pelaku. Jika akibat atau dampak yang terjadi dari perbuatan adalah
sesuatu yang dilarang atau mengakibatkan kemafsadatan, maka
perbuatan itu harus dicegah. Dan jika akibat atau dampak yang terjadi
dari suatu perbuatan mendatangkan maslahah amaka perbuatan itu boleh
dilakukan.
Dikutip oleh Amir, Mustafa Syalabi mambagi beberapa pendapat ulama
tentang Sadd Al-Dzari’ah kedalam tiga kelompok, yaitu:51
50 Wahbah az-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Iskami, Juz II (Beirut: Dar al-Fikri al- Muasir,
1986), h., 178-179.
51 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta:Kencana,2011), h.,404.
Page 38
28
1. Dzari’ah yang membawa kepada kerusakan secara pasti, atau berat
dugaan akan menimbulkan kerusakan, seperti yang telah dijelaskan
menurut Syatibi
2. Dzari’ah yang kemudian mendatangkan kemudharatan atau larangan
3. Dzari’ah yang terletak ditengah-tengah antara kemungkinan membawa
kerusakan dan tidak merusak. Syalabi mengemukakakn bahwa terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama, Imam Malik dan Ahmad bin
Hanbal mengharuskan melarang Dzari’ah tersebut, sedangkan Syafi’i
dan Abu Hanifah menyatakan tidak perlu melarangnya.
C. Dasar hukum Sadd Al-Dzari’ah
Alasan ulama menjadikan Sadd Al-Dzari’ah sebagai dalil hukum syara’
adalah :
1. Sumber Al Qur’an
a. Firman Allah dalam Q.S An-Nur (24) : 31
وتوب ... ولا يضربن بارجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن واا الى ال
جميعا اي ه المؤمنون لعل كم تفلحون
Artinya : .... Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agart
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah
kamu semua kapda Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar
kamu beruntung.
b. Firman Allah dalam Q.S Al-An’am (6) : 108
عدوا ب فيسب وا ال ر عل غي ولا تسب وا ال ذين يدعون من دون ال
رجعهم فينب ئهم بما ة عملهم ثم الى رب هم م ام ن ا لكل كذلك زي
كانوا يعملون
Page 39
29
Artinya : Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah
dengan melampaui batas tanpa dasr pengetahuan. Demikian, Kami
jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian
kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan
memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.
Dalam ayat ini Allah melarang untuk memaki sesembahan kaum
musyrikin, karena kaum musyrik itu pun akan memaki Allah dengan
makian yang sama, bahkan lebih
c. Firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah (2) : 104
ها ال ذين امنوا لا تقولوا راعنا وقولوا انظرنا واسمعوا وللك ااي فرين ي
عذاب اليم
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
katakan, Raa’inaa52, tetapi katakanlah, “Unzurnaa”, dan
dengarkanlah. Dan orang-orang kafir akan emndapat azab yang
pedih.
Kata Raa’ina berarti: Sudihlah lamu memperhatikan Kami. Ketika
para sahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudi
juga memakai kata ini digunakan seakan menyebut raa’inah padahal
mereka mengatakan ru’uunah yang artinya kebodohan yang sangat,
sebagai ejekan kepada Rasulullah. Itu sebabnya Allah menyuruh supaya
sahabat mengganti dari kata raa’inah menjadi Unzhurnaa yang memiliki
52 Raa’inaa artinya perhatikanlah kami. Tetapi orang-orang Yahudi bersungut
mengucapkannya, sehingga yang mereka maksud adalah Ru’uunah yang artinya bodoh sekali,
sebagai ejekan kepada Rasulullah. Itulah sebabnya Allah menyuruh sahabat-sahabat menukar
Raa’inaa dengan Uzurnaa yang sama artinya dengan Raa’inaa. Lihat, Mushaf Ar-rasyid, Al-
Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta:Maktabah Al fatih, cetakan 2016).
Page 40
30
arti yanng sama.53 Degan kata lain larangan tersebut merupakan salah
satu bentuk Sadd Al-Dzari’ah.
2. Sunnah
معا صيه فمن حام حول الحمى يوشك ان يواقعه الاوان حمى ال
(متفق عليه)
Artinya : “Ketahuilah jurang Allah itu adalah kemaksiatan kepadaNya,
maka barang siapa yanng bermain-main di sekeliling jurang itu
dikhawatirkan akan jatuh ke dalamnya.” (HR Muttafaqun Alaih)54
(رواه التر مذى) .دع ما يريبك الى مالا يريبك
Artinya : “Bralihlah dari hal yang meragukan kepada hal yang tidak
meragukan.” (HR. At-Tarmidzi)55
ال بي ن إون الحرام بي ن وبينهما مشب هات ن الحلا Artinya : “Perkara yang halal itu sungguh sudah jelas dan perkara yang
haram juga sungguh sudah jelas. Diantara keduanya ada perkara yang
syubhat (samar-samar)”. (HR. Al Bukhari dan Muslim)56
53 Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), h., 240.
54 Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh satu dan dua, (Jakarta:Kencana,2010), h.,167.
55 Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh satu dan dua, (Jakarta:Kencana,2010), h.,167.
56 Asmawi, Perbandingan ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), h., 145.
Page 41
31
3. Pendapat Ulama
a. Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa:
لا لانه مفسدة فى نفسه يشر ع إذا ,وما كان منهيا عنه لسد الذر يعة
ولاتفو ت المصلحة لغير مفسدةراجح,ان فيه مصلحة را جحة Artinya : “Sesuatu yang dilarang karena alasan sadd Al-Dzari’ah,
bukan karena haram karena hukum aslinya, maka keharaman itu
bisa ditempuh utuk mencapai maslahah yang lebih besar dan tidak
menimbulkan mafsadah yang lebih besar.”
b. Ibnu Qayyim al-Jauziyya
ما حرم سدا اذريعة أبيح المصلحة الر اجحة
Artinya: “Sesuatu yang diharamkan karena alasan sadd Al-
Dzari’ah, maka menjadi boleh dilakukan jika ada maslahah yang
lebih besar.
c. As-Syatibi
الذريعةإلى الفساد يجب سد ها إذا لم تعار ضها مصلحة راجحةArtinya : “Jalan menuju kerusakan itu wajib ditutup jika tidak
mengakibatkan maslahat yang lebih besar”
D. Kedudukan Sadd Al-Dzari’ah dalam Hukum Islam
Banyak ulama yang memperselisihkan kedudukan Dzari’ah sebagai
suatu dalil dalam menetapkan hukum. Hal ini mengandung arti bahawa
meskipun dalil yang ada tidak menetapkan secara jelas mengenai hukum
suatu perbuatan, namun karena sebuah perbuatan tersebut ditetapkan sebagai
washilah bagi suatu perbuatan yang dilarang secara jelas, maka hal ini
Page 42
32
menjadi petunjuk atau dalil bahwa washilah itu adalah sebagaimana dengan
hukum yang ditetapkan syara’ terhadap perbuatan pokok.57
Malik bin Anas dan Ahmad bin Hambal, menerima sadd sebagai hujjah
syar’iyyah. Sedangkan Syafi’i dan Abu Hanifah, menerima sadd sebagai
Hujjah syar’iyyah dalam kasus-kasus tertentu dan menolaknya untuk kasus-
kasus lain. Golongan Ulama Zahiriyyah, terutama Ibnu Hazm menolak sama
sekali sadd, dalam artian ia bukanlah hujjah syar’iyyah.58 Husain Hamid
Hasan dikutip oleh Nasrun Haroen mengatakan bahwa ulama Hanafiyyah dan
Syafi’iyah dapat menerima kaidah Sadd Al-Dzari’ah apabila kemafsadatan
yang akan muncul itu dapat dipastikan akan terjadi atau minimal diduga keras
akan terjadi kemafsadatan.59
Perbedaan pendapat antara Malikiyyah dan Hanabilah dengan pendapat
Hanafiyyah dengan Syafiiyyah dalam berhujjah dengan Sadd Al-Dzari’ah
adalah disebabkan karena perbedaan pandangan tentang niat dan lafal dalam
masalah transaksi (akad). Menurut Wahbah al Zuhaili, yang dikutip oleh
Nasrun Haroen, Malikiyyah dan Hanabilah dalam menilai perbuatan
seseorang berpegang kepada tujuan dan akibat hukum perbuatan itu,
sedangkan Syafi’iyah dan Hanafiyyah berpegang kepada bentuk akad dan
perbuatan yang dilakukan.60 Oleh karenanya, perbedaan pendapat tersebut
hanya ada pada konteks penggunaan metode sasaran dari perilakunya. Selama
57 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta:Kencana,2011), h.,426.
58 Dr.Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), h., 144. Lihat juga
Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), h., 239. Lihat Juga Wahbah az-Zuhaili,
Usul al-Fiqh al-Iskami, Juz II (Beirut: Dar al-Fikri al- Muasir, 1986), h., 889-891.
59 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 169. selanjutnya
menurut Muhammad ibn Ali asy-Syaukani sebagaimana dikutip oleh Ahmad Hilmi dalam kajian
ushul fiqh, ada dalil-dalil yang disepakati penggunaannya (muttafaq’alaih) dan ada juga dalil-dalil
yang diperselisihkan (mukhtalaf fih). Sebagaimana Al-Dzari’ah yang terdiri atas Fath dan Sadd
termasuk dalam kategori dalil yang muktalaf fih. Dari kalangan Malikiyyah dan Hanabilah
menganggap Sadd Al-Dzari’ah merupakan salah satu isntrumen dalil, sedangkan Hanafiyyah dan
Syafi’iyyah tidak menganggapnya sebagai dalil. Lihat, Muhammad ibn Ali asy-Syaukani (w. 1250
H), Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-Haqq min Tim al ushl, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyyah, 1994),
Juz 2, h.,193.
60 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 170-171.
Page 43
33
sumber hukum hasil ijtihad itu menimbulkan kemafsadatan maka setiap
metode digunakan oleh para Ulama dengan menyesuaikan kondisi kasusnya.
Salah satu contoh yang dipaparkan oleh Ulama Hanafiyyah dalam
menggunakan kaidah Sadd Al-Dzari’ah dalam kasus hukum bahwa orang
yang melaksanakan puasa yaum al-syakk (Akhir bulan Sya’ban yang
diragukan apakah telah masuk bulan Ramadhan atau belum), sebaiknya
dilakukan secara diam-diam, apalagi kalau ia adalah seorang mufti, sehingga
ia tidak dituduh melakukan puasa pada yaum al-syakk tersebut sedangkan
Rasulullah saw. melarang orang yang berpuasa pada yaum al-syakk.61 Dengan
diamnya seorang atau mufti tersebut, akan menghindarkan dari perkara
kesalah pahaman.
Para ulama dalam menggunakan metode Sadd Al-Dzari’ah sebagai
hujjah pada dasarnya sama tidak ada perbedaan. Karena dengan
mennggunakan dasar ini dapatlah menghindari sebuah pekerjaan yang mubah
yang telah dijadikan wasilah kepada mafsadah dan menimbulkan
kemudharatan kepada masyarakat, dan tindakan ini dapat digunakan sebagai
suatu pokok dari pokok-pokok hukum.62
Alasan yang dikemukakan ulama mazhab Malikiyyah dan ulama mazhab
Hanabilah yang dikutip oleh Narun Haroen dalam hadis Rasulullah saw.63
ن رسول وعنه أ صل ى ال م الر من الكبا نر شت )) :قال عليه وسل م ال
يارسىول :قالوا ((!خل والد يه ال :قال !شىتم الر جل والد يه وهل ي
61 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 168
62 Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang 1975), h., 325-
326.
63 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 167.
Page 44
34
باالر جل يسب ,نعم )) اب ,أ ه ,اه فيسب م
أ ه ,ويسب م
أ فق مت) ((.فيسب
(عليهArtinya : “Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radiallahu anhu, juga
Rasulullah saw. Bersabda : “Diantara dosa besar adalah makian seorang
kepada kedua orang tuanya.” Para sahabat bertanya : “Wahai Rasulallah,
adakah seseorang yang memaki kedua orang tuanya?” Beliau menjawab :
“Ada, dia yang memaki ayah orang lain sehingga orang itupun memaki
ayahnya, dan dia memaki ibu orang lain, sehingga orang itupun memaki
ibunya.” (Muttafaq ‘alaih).64
Pegangan ulama untuk menggunakan Sadd Al-Dzari’ah yaitu sifat
kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi suatu kasus yang
menimbulkan benturan antara maslahat dan mafsadat dengan mengambil
keputusan hukum atas mana yang lebih dominan atasnya.
Berlakunya prinsip yang ada pada kaidah jika sama kuat diantara
maslahat dan mafsadat. Maka untuk menjaga kehati-hatian, ulama
menetapkan bersadarkan rumusan dalam kaidah:65
م على جلب المصالح درءالمفاسد مقد
“Mencegah Mafsadah (kerusakan) harus didahulukan daripada mengambil
kemaslahatan”
إذا اجتمع الحلال و الحرام غل ب الحرام “Bila berbaur yang haram dengan yang halal, maka yang haram
mengalahkan yang halal”.
64 Syaikh Salim, Syarah Riyadhush Shalihin, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i,2005),
h., 50-51
65 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta:Kencana,2011), h.,405.
Page 45
35
Sebagai pegangan bagi ulama yang mengambil tindakan kehati-hatian
dalam beramal, adalah sabda Nabi :
دع ما ير يبك إلى ما لا ير يبك
“Tinggalkan apa-apa yang meragukanmu untuk mengambil apa yang tidak
meragukanmu”. (HR. At-Tirmidzi)
Umar Bin Khattab pada kasusnya diceritakan bahwa setelah Rasulullah
meninggal, tepatnya pada masa kekhalifahan Umar, banyak yang mendatangi
pohon yang pernah diadakan Baiat Ridhwan pada zaman Nabi, dan mereka
saat itu melakukan shalat di bawahnya. Melihat fenomena tersebut, Umar
kemudian memerintahkan untuk menebang pohon itu untuk ditebang, dan
dirobohkan pohon itu.66
Pada metode ijtihad Umar bin Khattab yang pada praktiknya telah
menerapkan metode Sadd Al-Dzari’ah. Hal ini dilakukan Umar ketika ia
melihat pada suatu perkara untuk dijalankan dengan cara yang lain.
Maksudnya, ada suatu perbuatan yang asalnya adalah mubah dan boleh
dilakukan, namun perbuatan ini pada perkembangannya dijadikan sarana
untuk melakukan suatu tindakan yang tidak diperbolehkan.
Yusuf al Qardawi tokoh yang peduli terhadap kajian hukum Islam, yang
menwarkan idenya melalui konsep ijtihad yang dipandang ideal dan
representatif untuk kondisi saat ini. Menurut yang dikutip oleh Abd. Majdid,
salah satunya adalah pengambilan konklusi hukum baru atas persoalan-
persoalan yang belum ditegaskan sama sekali dasar hukumnya oleh ulama
terdahulu, ijtihad yang dilakukan untuk persoalan-persoalan lama yang
memang tidak ditegaskan dasar hukumnya oleh ulama terdahulu dan tidak
ditunjuk oleh nash dengan mengupayakan melahirkan hukum yang bersifat
orisinil. Menurut Yusuf Al-Qardawi, dalam melakukan ijtihad di masa
modern ini seorang mujtahid dituntut memahami metode-metode yang
66 Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar Bin Khattab, (Kairo-Mesir:Dar As-
Salam, 2003), h., 487.
Page 46
36
digunakan oelh ulama-ulama salaf, seperti qiyas, istihsan, istishab, dan Sadd
Al-Dzari’ah.67
Metode-metode diatas hingga saat ini masih digunakan dan
diperbincangkan, bahkan masih dipertentangkan. Dalam ruang lingkup
Indonesia, metode ijtihad tersebut telah berkembang dan digunakan sehingga
melahirkan Kompilasi Hukum Islam dan juga metode yang diterapkan oleh
Muhammadiyah.
Muhammadiyah menggunakan metode Sadd Al-Dzari’ah, dengan
maksud untuk menghindari mafsadat. Dengan tujuan untuk memelihara
maslahat yang menjadi unsur dari maqashid al syari’at. Organinsasi ini
menerapkan metode ini dalam menyelesaikan kasusu perkawinan antara
pemeluk agama yang berbeda, terutama antara muslim dengan wanita ahlu al-
kitab, seperti Yahudi dan Nasrani sekarang ini. Muhammadiyah mencoba
menerapkan teori maqashid al syari’at karena memelihara agama suami,
menurut Muhammadiyah termasuk dalam aspek maslahat yang mempunyai
peringkat daruriyyat. Hasil ijtihad ini didasari oleh prinsip umum yang juga
diambil dari ayat Al-Qur’an dan Hadis, terutama dalam teori maqashid al
syari’at.68
Persoalan tersebut tidak secara jelas dalam Al-Qur’an dan Hadis,
melainkan merupakan persoalan baru. Jika ketetapan hukum atas persoalan
baru itu dilakukan dalam rangka mempertahankan eksistensi agama, jiwa,
ketuhanan, akal, dan harta, maka tindakan itu dapat diterima dan dibenarkan.
Sehingga kemaslahatan menjadi tolak ukur utama dalam menyelesaikan
persoalan fiqh kontemporer yang secara eksplisit tidak dijelaskan dalam Al-
Qur’an dan Hadis.
67 Abd. Majdid, Ijtihad dan Relevansinya Dalam Pembaharuan Pemikiran Hukum
Islam:Studi Atas Pemikiran Yusuf Al-Qardawi, Jurnal Penelitian Agama, XVII, 2 (Mei-Agustus,
2008), h., 460.
68 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlid Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta:Logos
Publishing House, 1995), h., 154-155.
Page 47
37
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah musyawarah para ulama,
zu’ama, dan cendikiawan muslim yang dipandang sebagai lembaga paling
berkompeten dalam pemberian jawaban masalah sosial keagamaan yang
senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat Indonesia. MUI mengeluarkan
Pedoman Penetapan Fatwa sebagai prosedur dan mekanisme dalam
menetapkan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI.
Sumber metode ijtihad yang digunakan oleh MUI yaitu harus mempunyai
dasar atas Kitabullah dan Sunnah Rasul yang mu’tarabah, serta tidak
bertentangan dengan kemaslahatan umat. Jika sumber hukum tidak dijelaskan
dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul, maka Fatwa diupayakan agar tidak
bertentangan dengan Ijma, Qiyas yang mu’tabar, dan dalil-dalil hukum yang
lain, seperti Istihsan, Maslahah Mursalah, dan Sadd Al-Dzari’ah.69 Oleh
karenanya salah satu metode yaitu Sadd Al-Dzari’ah sangat diperlukan
seiring berkembangnya waktu jika para Mujtahid tidak menemukan pendapat
hukum di kalangan mazhab, maka dilakukanlah ijtihad jama’i (kolektif)
dengan beberapa metode yang salah satunya yaitu Sadd Al-Dzari’ah.
Ulama dalam menghadapi berbagai permasalahan yang baru dan bersifat
kontemporer inilah para ahli hukum Islam dituntut untuk selalu berkreasi
secara inovatif dengan menggunakan berbagai metode penafsiran atau
penggalian hukum yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah. Adapun
upaya untuk mencari jawaban hukum dalam kajian hukum Islam pada
umumnya yang dikenal dengan istinbath hukum yang terdiri dari berbagai
jalan. Sadd Al-Dzari’ah merupakan salah satu dari sekian banyak metode
penafsiran yang digunakan dalam kajian hukum Islam. Adapun dasar
pengambilannya menurut para ulama adalah hanya semata-mata ijtihad
dengan berdasarkan pada tindakan hati-hati dalam beramal dan jangan sampai
melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan.
69 Lihat Departemen Agama RI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, bagian
Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal DIRJEN Bimbaga Islam, 2003, h., 861.
Page 48
38
BAB III
PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH
A. Gambaran Umum Tentang Kafalah
Secara bahasa, Al Kafalah berarti al dhamm (jaminan/pengamanan) atau
al iltizam (wajib dan mengikat).70 Secara etimologis, kafalah, dhaman,
za’amh, hawalah mengandung arti yang sama yaitu jaminan. Secara
etimologis kafalah/dhaman adalah menjamin tanggungan orang yang dijamin
dalam melaksanakan hak yang wajib baik seketika maupun akan datang.71
Menurut istilah, Al kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh kafil
(penangung) kepada pihak ketiga atas kewajiban yang harus ditunaikan pihak
kedua (tertanggung).72
Dalam Kompilasi Hukum Ekonnomi Syariah (KHES) pasal 20 ayat 12,
kafalah didefinisikan sebagai jaminan atau garansi yang diberikan oleh
peminjam kepada pihak ketiga atau pemberi pinjaman untuk memenuhi
kewajiban pihak kedua atau peminjam.73 Sedangkan dalam Fatwa DSN No.
11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah menyebutkan bahwa Kafalah adalah
akad dari para pihak dan dinyatakan untuk menunjukkan kehendak mereka,
dapat berupa perjanjian yang mengikat dimana tidak dapat dibatalkan secara
70 Jaih Mubarok dan Hasanudin, Fiqih Muamalah Maliyah:Akad Tabarru, (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2017), h.,190.
71 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah:Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), h.,307
selanjutnya, menurut kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mendifinisikan Kafalah
sebagai jaminan yanng diberikan seorang kepada orang lain yang mempunyai tanggung jawab
menunaikan hak membayar utang. Lihat, Imam Mustafa, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2016), h., 220.
72 Azharudin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2011), h.,162. definisi
lain adalah, jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga –pihak yanng
memberikan hutang/kreditor- (makful lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua –pihak yang
berutang/debitur- atau yang ditannggung (makful ‘anhu, ashil). Lihat, Syafi’i Antonio, Bank
Syari’ah: Dari Teori ke Praktek (Jakarta: Tazkia Cendekia, 2001), h.,123.
73 Lihat, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Buku II Tentang Akad, Bab I Pasal 20.
Page 49
39
sepihak, pihak penjamin tersebut bisa mendapatkan imbalan dari pihak yang
tertanggung selagi tidak memberatkan pihak tertanggung.74
Dalil atau dasar hukum akad kafalah bersumber yang bersumber dari Al-
Qur’an yaitu Q.S Yusuf (12) ayat 72
اناولمن جاء به ع الملك صوا نفقد اقالو به زعيم حمل بعير و
Artinya: “Penyeru-penyeru itu berkata, ‘Kami kehilangan shuwa’ (alat
penakar atau wadah tempat minum milik raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan seberat beban unta,
dan aku menjamin terhadapnya.”
Ibn Abbas menegaskan bahwa yang dimaksud dengan al-za’im adalah al
kafil, yaitu penjamin.75
a. Rukun kafalah
Menurut Mazhab Hanafi bahwa rukun al kafalah adalah satu yaitu ijab
dan kabul. Sedangkan menurut ulama lainnya bahwa rukun dan sayarat
kafalah adalah sebagai berikut :76
1) Dhamin atau kafil yaitu orang yang menjamin
2) Madmun lah, yaitu orang yang berpiutang dengan syarat diketahui
oleh yang menjamin.
3) Madun anhu atau makful lahu adalah orang yang berutang
4) Makful bih adalah utang, barang atau orang
5) Lafadz diisyaratkan kepada lafaz itu bearti menjamin.
b. Syarat Kafalah77
74 Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No: 11/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Kafalah,
Ketentuan Umum Kafalah, h., 2-3.
75 Jaih Mubarok dan Hasanudin, Fiqih Muamalah Maliyah:Akad Tabarru, (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2017), h.,193.
76 Azharudin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2011), h.,163.
77 Andi Ali Akbar, Prinsip-prinsip Dasar transaksi Syariah, (Jawa Timur: Yayasan PP.
Darussalam Blokagung, 2014), h.,61.
Page 50
40
1) Kafil, disyaratkan sudah baligh, berakal, merdeka dan mengelola
harta bedanya atau tidak dicah membelanjakan hartanya dan
dilakukan dengan kehendaknya sendiri serta sepihak penjamin
harus mengetahui objek yang dijaminnya. Selain itu, menurut
kalangan Hanafiyah, pihak penjamin harus ada dimajelis akad agar
mengetahui siapa dan apa yang dijaminnya.
2) Makful lahu, syaratnya yang berpiutang diketahui oleh orang yang
menjamin, harus cakap hukum dan harus ada pada saat akad. Selain
itu, pihak yang berpiutang harus berakal.
3) Makful anhu, disyaratkan mempunyai kemampuan untuk
menyerahkan objek yang dijamin dan pihak yang dijamin harus
dikatehui oleh pihak penjamin. Menurut kalangan Syafi’iyah, pihak
yang ditannggung tidak harus cakap hukum, bahkan menanggung
orang yang telah meninggl diperbolehkan
4) Makful bih, merupakan tanggungan peminjam baik berupa
uang/benda/pekerjaan dapar dilaksanakan oleh penjamin,
perupakan piutang yang mengikat, jelas nilai dan spesifikasinya,
serta tidak diharamkan
5) Sighat atau lafadz, disyaratkan keadaan sighat mengandung makna
menjamin, tidak digantungkan kepada sesuatu dan tidak berarti
sementara.
c. Kafalah dibagi menjadi beberapa jenis yaitu:78
1) Kafalah bin nafs Merupakan akad memberikan jaminan atas diri
(personal guarantee)
2) Kafalah bil maal merupakan jamiann pembayaran barang atau
pelunasan utang
3) Kafalah bi taslim merupakan jaminan pengembalian atas barang
yang disewa pada waktu masa sewa berakhir
78 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah:Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), h.,308.
Page 51
41
4) Kafalah al munajazah yaitu jaminan mutlaak uang tidak dibatasi
jangka waktu dan untuk kepentingan dan tujuan tertentu
5) Kafalah mutlaqah bentuk jaminan yang merupakan
penyederhanaan dari kafalah al munajazah yang dilakukan oleh
perbankan maupun asuransi
Dalam konteks penjaminan atas harta, utang tersebut bersifat mengikat
pada waktu terjadinya transaksi jaminan, sedangkan menuurt pendapat abu
Hanifah, Malik dan Abu Yusuf berpendapat boleh menjamin suatu utang
yang belum mengikat . hendaknya barang yang dijamin tersebut diketahui.
Menurut mazhab Syafi’i dan Ibnu Hazm, seorang tidak sah menjamin barang
yang tidak diketahui, sebab perbuatan tersebut adalah gharar, sedangkan
menurut Abu Hanifah, Malik dan Ahmad berpendapat bahwa seorang boleh
menjamin sesuatu yang tidak diketahui.79 Menurut Adiwarman Karim, pada
perkembangannya, kafalah identik dengan kafalah al wajhi (personal
guarantee, jaminan diri), sedangkan dhamman identik dengan jaminan yang
berbentuk barang atau harta benda.80
B. Penjaminan Menurut Hukum Positif (Borgtocht)
Perjanjian jaminan merupakan perjanjian yang tidak dapat berdiri sendiri
tanpa adanya perjanjian pokok yang mendahuluinya atau disebut juga dengan
perjanjian asesoir. Dalam perjanjian utang piutang, diperjanjikan pula antara
debitur dan kreditur bahwa pinjaman tersebut dibebani dengan adanya
jaminan, yang selanjutnya diikuti dengan pengikatan jaminan, yang terdiri
dari dua jenis yaitu jaminan kebendaan atau jaminan perseorangan. Soebekti
mengartikan jaminan perorangan merupakan suatu perjanjian antara seorang
berpiutang (kreditur) dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya
79 Azharudin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2011), h.,166.
80 Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: Gema
Insani, 2001), h.,106.
Page 52
42
kewajiban pihak berutang (debitur). Ia bahkan dapat diadakan diluar atau
tanpa adanya pihak berhutang.81
Jaminan perorangan ini diatur dalam Buku III pasal 1820-1850
Burgerlijk Wetboek atau disebut BW.
“Penjaminan atau penanggunagan ialah suatu perjanjian
dimana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berhutang
mengikatkan diri untuk memenuhi perutangan si berutang manakala
orang ini sendiri tidak memenuhinnya”.
Pada umumnya jaminan perorangan ini digunakan untuk melindungi kreditur
atas kepastian hukum akan pelunasan piutangnya dan merasa aman dari tidak
adanya jaminan dalam bentuk kebendaan sama sekali.
Perjanjian penanggungan ini sering kali dikacaukan dengan asuransi
kredit (kredietverzekering). Kedudukan dari penanggung (borg) adalah
berbeda dengan verzekeraar pada perjanjian asuransi. Karena pada perjanjian
asuransi pihak yang menanggung mempunyai kewajiban untuk emngganti
kerugian yang didertita pihak tertanggung, dan kewajiban ini bersifat berdiri
sendiri. Sedangkan pada perjanjian penanggunagna kewajiban untuk
memenuhi prestasi itu adalah bersifat subsidair yaitu kewajiban untuk
memenuhi prestasi dalam hal debitur tidak dapat memenuhinya.82
Pada umumnya penanggungan itu dapat diberikan untuk menjamin
pemenuhan perutangan yang timbul dari segala macam hubungan hukum,
lazimnya hubungan hukum yang bersifat keperdataan. Namun dimungkinkan
juga bahwa penanggungan diberikan untuk menjamin pemenuhan prestasi
yang lahir dari hubungan hukum yang bersifat hukum publik. Perjanjian
penanggungan dapat diminta oleh kreditur dengan menunjuk seorang
penanggung tertentu, atau yang diajukan oleh debitur, yang menjamin akan
81 Selanjutnya Soebekti mengkaji jaminan perorangan dari dimensi kontraktual antara
kreditur dengan pihak ketiga. adanya jaminan ini adalah untuk pemenuhan kewajiban si
berrhutang, yang dijamin pemenuhan seluruhnya atau sampai bagian tertentu. Lihat, H.Salim,
Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta:PT Raja Grafindo persada, 2004), h., 218.
82 Sri Soedewi, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan
Jaminan Perorangan, (Jogjakarta: Liberty offseta, 2001), h.,83.
Page 53
43
memenuhi perutangan manakala debitur wanprestasi. Bahkan kreditur dapat
menunjuk seorang penanggung untuk memenuhi perutangan debitur tanpa
persetujuan dan tanpa sepengetahuan debitur.83
Terkait hubungan dan akibat hukum antara penanggung dan kreditur,
dalam jurisprudensi dan prktik perbankan, lazimnya dibuat perjanjian khusus
antara kreditur dan penanggung untuk melepaskan hak-haknya tertentu
sebagaimana yang diberikan oleh undang-undang dalam hal ini bertujuan
untuk melindungi kepentingan kreditur.84 Namun, praktik tersebut tidak serta
merta menimbulkan kerugian bagi penanggung meskipun penanggung
mengikatkan diri untuk kepentingan kreditur karena seperti halnya perjanjian
yang lain pada asasnya setiap perjanjian harus didasarkan iktikad baik.
Selain itu, penjaminan juga terdapat hubungan hukum antara Penanggung
dan Debitur yaitu berupa hak regres dan hak subrogasi. Berdasarkan
ketentuan undang-undang, penanggung yang telah membayar mempunyai hak
menuntut kembali yang merupakan hak menuntut langsung kepada debitur
(ps. 1839 KUHPerdata). Atau penangung yang telah membayar itu karena
hukum bertindak menggantikan kedudukan kreditur mengenai hak-haknya
terhadap debitur. Dalam hal ini menggantikan hak-hak kreditur yang terjadi
karena subrogasi (ps. 1840 KUHPerdata).85 Berdasarkan hal ini dapat
disimpulkan terdapat dua akibat hukum yaitu penanggung memiliki hak
regres yaitu dapat meminta pengembalian dana yang telah dijamin beserta
83 Sri Soedewi, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan
Jaminan Perorangan, (Jogjakarta: Liberty offseta, 2001), h., 85-86.
84 Lihat, Sri Soedewi, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan
Jaminan Perorangan, (Jogjakarta: Liberty offseta, 2001), h.,91. Hak penanggung menurut
ketentuan undang-undang yang diatur dalam KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) diantaranya:
1. Hak untuk menuntut lebih dahulu (Ps.1834)
2. Hak unutk membagi hutang (Ps.1836)
3. Hak untuk mengajukan tangkisan atau gugat (Ps.1832)
4. Hak untuk diberhentikan dari penanggungan (karena terhalang melakukan
subrogasi akibat kesalahan kreditur. (Ps.1848)
85 Sri Soedewi, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan
Jaminan Perorangan, (Jogjakarta: Liberty offseta, 2001), h., 104-103
Page 54
44
kerugian-kerugian yang dialami oleh penjamin. Sedangkan subrogasi yaitu
memperoleh hak kreditur terhadap debitur karena telah menanggung hak
kreditur, termasuk segala aspek yang melekat pada hak kreditur yang telah
diganti oleh penanggung.
Timbulnya penanggungan dengan alasan dan kemungkinan bergantung
pada perjanjian pokoknya, maka Sri Soedewi membagi bentuk-bentuk atau
jenis-jenis penanggungan dengan mengingat untuk kepentingan apa kredit itu
diberikan dan oleh siapa penanggungan itu dilakukan (yang bertindak selaku
penanggung). Pada umumnya praktik penanggungan yang dikenal di luar
negeri dan praktik perbankan di Indoensia ialah sebagai berikut:86
a. Jaminan hutang/jaminan kredit (kredit garansi)
b. Jaminan bank (bank Garansi)
c. Jaminan pembangunan (Bouw Garansi)
d. Jaminan saldo (saldo garansi)
e. Jaminan oleh lembaga pemerintah (Staats Garansi)
C. Dasar Hukum Penjaminan Pembiayaan
Dasar diadakannya penjaminan pembiayaan pada bank Syariah tidak
terlepas dari adanya penjaminan Kredit pada Bank Konvensional. Secara
spesifik pelaksanaannya berpedoman pada fatwa DSN MUI nomor 74/DSN-
MUI/I/2009 tentang Penjaminan syariah yaitu penjaminan antara para pihak
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana yang diatur dalam fatwa tentang
Penjaminan Syariah yang menggunakan akad Kafalah Bil Ujrah. Perjanjian
penjaminan dalam ketentuan fatwa juga mengatur tentang imbal jasa kafalah
sebagai fee atas penggunnaan fasilitas penjaminan untuk penjaminan
pembiayaan (kafalah bil ujrah). Berdasarkan ketentuan akad kafalah bil ujrah
sebagai berikut :
86 Sri Soedewi, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan
Jaminan Perorangan, (Jogjakarta: Liberty offseta, 2001), h., h.105
Page 55
45
1. Objek yanng dijamin dapat seluruh atau sebagian dari kewajiban bayar
(dayn) yang timbul dari transaksi syariah atau hal lain yang dapat dijamin
berdasarkan prinsip syariah.
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak para pihak dalam kontrak (akad)
3. Besaran fee harus ditetapkan dalam akad berdasarkan kesepakatan
4. Akad kafalah bil ujrah bersifat mengikat dan tidak booleh dibatalkan
secara sepihak
Dalam fatwa ini juga disebutkan beberapa ketentuan dan batasan;87 1)
Bahwa pihak terjamin harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi
pada waktunya. 2) Dalam hal terjadi pembayaran kalim penjaminan, maka
pihak penjamin berhak menagih kepada pihak terjamin sebesar pembayaran
kalim atau melepaskan haknya. 3) Penjaminan dapat dilakukan atas
kemampuan bayar, kemampuan penyelesaian kualitas dan kuantitas objek
pembiayaan atau pekerjaan.
Berdasarkan fatwa tersebut, selanjutnya diterbitkan dasar pelaksanaannya
yang diatur pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan,
ketentuan Undang-undang ini mengatur secara umum tentang penjaminan
baik yang dilaksanakan oleh lembaga keuangan Konvensional dan juga
Lembaga keuangan syariah. Ketentuaan tentang penyelenggaraan Penjaminan
yang dilaksanakan dengan prinsip syariah yang menakurt mekasnismenya
yaitu:88
1. Kegiatan penjaminan syariah melibatkan 3 (tiga) pihak, yaitu Penerima
Jaminan, Terjamin, dan Penjamin. Jika penjamin telah membayar atau
menunaikan kewajibannya untuk memenuhi hak finansial Penerima
Jaminan jika Terjamin gagal memenuhi kewajibannya, Pemjamin
memiliki hak tagih atas pemenuhan kewajiban finansial Terjanmin.
87 Fatwa DSN MUI nomor 74/DSN-MUI/I/2009 tentang Penjaminan Syariah, h.,9.
88 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Penjaminan BAB X (Penyelenggaraan
Penjaminan Pasal 38 – Pasal 50)
Page 56
46
Sebagai bukti akan adanya hak dan kewajiban para pihak, Kegiatan
penjaminan syariah harus dituangkan dalam sertifikat kafalah.89
2. Pelaksanaan penjaminan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
penjaminan langsung maupun penjaminan tidak langsung.90
3. Dalam melakukan usahanya, perusahaan penjmaminan syariah menerima
imbal jasa Kafalah (IJK) namun ketentuan mengenai IJK bagi
penjaminan dan penjaminana syariah yang merupakan program
pemerintah diatur dalam perundang-undangan tersendiri.91
4. Pengajuan klaim oleh penerima jaminan kepada perusahaan penjaminan
syariah dapat dilakukan apabila terjamin gagal memenuhi kewajiban
finansial.92
5. Sejak klaim dibayar oleh perusahaan penjaminan syariah, hak tagih
penerima jaminan kepada terjamin beralih menjadi hak tagih perusahaan
penjaminan syariah dan perusahaan penjaminan syariah dapat membuat
perjanjian dengan penerima jaminan agar penerima jaminan melakukan
upaya penagihan atas hak tagih perusahaan penjaminan syariah untuk dan
atas nama perusahaan penjaminan syariah.93
Lebih lengkap diatur dalam POJK nomor 6/POJK.05/2014 pelaksanaan
dibuat dengan lebih jelas dengan ketentuan kegiatan usaha penjaminan
syariah dapat berupa Penjaminan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah yang disalurkan oleh lembaga keuangan, penjaminan atas pinjaman
atau pembiayaan berdasrkan prinsip syariah yang disalurkan oleh koperasi
simpan pinjam kepada anggotannya, penjaminan atas pinjaman atau
89 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Penjaminan Pasal 38 Ayat 1-3
90 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Penjaminan Pasal 39 ayat 1 selanjutnya
secara detail dijelaskan pada POJK nomor 6/POJK.05/2014
91 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Penjaminan Pasal 43 ayat 2 dan 5
92 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Penjaminan Pasal 54
93 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Penjaminan Pasal 47 ayat 1 dan 2
selanjutnya dalam POJK nomor 6/POJK.05/2014 pasal 20 disebutkan perusahaan penjaminan akan
memperoleh pengembalian dana klaim secara proporsional
Page 57
47
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atas program kemitraan yang
disalurkan oleh badan usaha milik negara dalam rangka program kemitraan
dan bina lingkungan.94
Seperti yang disebutkan pada UU Nomor 1 tahun 2016 pada pasal 39
ayat 1 bahwa penjaminan dapat dilakukan dalam dua bentuk dan dengan
persyaratan sebagai berikut:95
1. Penjaminan langsung:
a. Telah dilakukan analisis kelayakan calon terjamin yang dilakukan
oleh calon penerima jaminan
b. Terdapat permohonann penjaminan dari calon terjamin kepada
perusahaan penjaminan syariah
c. Terdapat surat penegasan permintaan penjaminan dari calon
penerima jaminan kepada perusahaan penjaminan syariah
d. Telah dilakukan analisis kelayakan calon terjamin yang dilakukan
oleh perusahaan penjaminan syariah
e. Telah diterbitkan sertifikat penjaminan
f. Telah dilakukan pembayaran IJK kepada penjamin
2. Penjaminan tidak langsung :
a. Telah dilakukan analisis kelayakan calon terjamin yang dilakukan
oleh calon penerima jaminan
b. Terdapat permohonan penjaminan dari calon terjamin melalui
penerima jaminan
c. Terdapat perjanjian kerjasama antara penerima jamianan dan
perusahaan penjaminan syariah
d. Telah dilakukan pembayaran IJK kepada perusahaan penjaminan
atau perusahaan penjaminan syariah
e. Telah diterbitkan sertifikat penjaminan
94 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.05/2004 Tentang Penyelenggaraan
Usaha Lembaga Penjaminan BAB II (Kegiatn Usaha) Pasal 3
95 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.05/2004 Tentang Penyelenggaraan
Usaha Lembaga Penjaminan Pasal 12
Page 58
48
Ketentuan mengenai sertifikat penjaminan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 12 harus memuat paling kurang ketentuan mengenai :96
1. Nama dan alamat perusahaan penjaminan, penerima jaminan dan
terjamin;
2. Uraian manfaat penjaminan
3. Jenis penjaminan
4. Nilai penjaminan
5. Nilai Imbal Jasa Kafalah
6. Jangka waktu penjaminan
Adanya ketentuan Perjanjian kerjasama sebagaimana dimaksud dalam
penjaminan tidak langsung harus memuat paling kurang :97
1. Nama dan alamat perusahaan penjaminan syariah dan penerima jaminan
2. Uraian manfaat penjaminan
3. Hak dan kewajiban perusahaan penjaminan syariah, penerima jaminan,
dan terjamin
4. Cara pembayaran IJK
5. Waktu yang diakui sebagai saat diterimanya IJK
6. Pembatalan kontrak perjanjian penjaminan, baik dari pihak Perusahaan
penjaminan syariah maupun penerima jaminan termasuk syarat dan
penyebabnya
7. Syarat dan tatacara pengajuan klaim, termasuk bukti pendukung yang
diperlukan dalam pengajuan klaim
8. Tatacara pelaksanaan peralihan hak tagih setelah klaim dibayar oleh
perusahaan penjaminan syariah
96 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.05/2004 Tentang Penyelenggaraan
Usaha Lembaga Penjaminan Pasal 13
97 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.05/2004 Tentang Penyelenggaraan
Usaha Lembaga Penjaminan Pasal 14
Page 59
49
9. Pemilihan tempat penyelesaian perselisihan
POJK ini mengatur dengan spesifik untuk perusahaan penjaminan
pembiayaan yang beroperasi dengan menggunakan prinsip syariah diatur
sebagai berikut :
1. Perusahaan penjamainan syariah harus memenuhi prinsip keadilan
(‘adl), dapat dipercaya (amanah), keseimbangan (tawazun),
kemaslahatan (maslahah), dan keuniversalan (syumul) dan tidak
mengandung hal-hal yang diharamkan seperti ketidak pastian atau
ketidak jelasan (gharar), perjudian (maysir), bunga (riba), penganiayaan
(zhulum), suap (risywah), maksiat, dan obyek haram.98
2. Perjanjian penjaminan dengan prinsip syariah wajib menggunakan akad
kafalah bil ujrah yang dalam akad tersbeut paling sedikit memuat:99
a. Objek yang dijamin dapat seluruh atau sebagian dari kewajiban bayar
yang timbul dari transaksi syariah dan hal lain yang dapat dijamin
berdarkan prinsip syariah
b. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad)
c. Besaran IJK harus ditetapkan dalam akad berdasarkan kesepakatan
d. Kafalah bil ujrah bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara
sepihak
D. Penjaminan Sebagai Bentuk Kehati-hatian Penyaluran Pembiayaan
Pada dasarnya, bank yang menjalankan suatu usaha apa pun pasti
mengandung tingkat kerugian. Dalam hal pembiayaan yang diberikan oleh
perbankan resiko berupa kerugian dari nasabah penerima pembiayaan tidak
sanggup lagi membayar semua kewajibannya baik untuk sementara waktu
98 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.05/2004 Tentang Penyelenggaraan
Usaha Lembaga Penjaminan Pasal 25
99 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.05/2004 Tentang Penyelenggaraan
Usaha Lembaga Penjaminan Pasal 26
Page 60
50
atau dalam jangka waktu yang seterusnya. Karena hal tersebut perbankan
harus berupaya mengantisipasi kerugian yang terjadi. Pada pasal 38 Undang-
udang perbankan syariah diatur bahwa Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah
wajib menerapkan menajemen risiko, prinsip mengenal nasabah, dan
perlindungan nasabah. Salah satu fungsi manajemen risiko adalah sebagai
metologi yang digunakan untuk mengendalikan resiko yang timbul dari
kegiatan usaha bank.100
Bank Indonesia memberikan penegasan tentang pentingnya penerapan
Manajemen Resiko Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (PBI
Nomor 13/23/PBI/2011). Hal tersebut berkaitan dengan urgensinya penerapan
prinsip kehati-hatian bank dalam menyalurkan dana melalui skim
pembiayaan.101 Penilaaian suatu bank syariah untuk memberikan persetujuan
terhadap suatu permohonan pembiayaan syariah dilakukan dengan
berpedoman pada Prinsip 5C, prinsip-prinsip tersebut ialah watak,
kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha atau kemampuan oleh
Debitur.102 Keharusan bank untuk menerapkan prinsip kehati-hatian ini untuk
mencegah terjadinya pembiayaan yang bermaslaah dikemudian hari.
Untuk menghindari timbulnya kredit macet setiap bank perulu
melakukan pembinaaan kredit sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku dari segi hukum. Setiap kredit yang diberikan harus
berpedoman pada 3 hal :103
100 Praturan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Bank Indonesia nomor
13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Resiko bagi Bank Umum Syariah dan UUS,
dijelaskan bahwa kegiatan usaha perbankan syariah tidak terlepas dari risiko yang dapat
menggaggu kelangusngan bank dikarenakan produk dan jasa perbankan syariah memiliki
karakteristik produk dengan harus diterapkannya identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian risiko yang sesuai dengan kegiatan usaha perbankan syariah.
101 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 2 : Perbankan Syariah dalam
melakukan kegiatan usahanya berdasar Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-
hatian.
102 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h., 64.
103 Supaijo, Aspek-aspek Hukum Perdata Dalam Penyaluran Kredit Perbankan Kepada
Masyarakat, Jurnal ASAS, III , 1 (Januari, 2011), h.,15.
Page 61
51
1. Aman dalam arti legal risk setiap pembiayaan yang diberikan telah
terbebas dari segala kekurangan, baik mengenai kewenangan subjek
hukum, objek hukum, maupun jaminan dan yang menyangkut pihak-
pihak lain. Menjadi kedudukan hukum bagi bank bila dikemudian hari
terjadi pembiayaan atau kredit bermasalah
2. Terarah dalam arti setiap pembiayaan yang diberikan harus sesuai dengan
peruntukannya baik dari sisi penerima maupun dari sisi kegunaannya
3. Menghasilkan yaitu setiap penyaluran pembiayaan akan memberikan
keuntungan pada bank dan meningkatkan kesejahteraan rakyat
Sehubungan dengan risiko yang kemungkinan terjadi, maka salah satu
hal yang penting dalam pemberian pembiayaan tidak terlepas dari adanya
suatu jaminan. Jaminan ini merupakan suatu bentuk kepercayaan bank kepada
nasabahnya dalam hal kemampuan nasabah debitur untuk dapat melunasi
kredit atau pembiayaan yang diterimanya. Salah satu contohnya diterapkan
pada peraturan pemberian Kredit Usaha Rakyat yang dikenal dengan KUR.
Dalam pelaksanaannya bank pelaksana umumnya hanya bermodalkan
kepercayaan terhadap Nasabah Mikro. Berdasarkan kasus tersebut, apabila
diperlukan bank penyalur KUR juga dapat menambahkan agunan dengan
ketentuan sebagai berikut :104
1. Agunan pokok yaitu usaha atau obyek yang dibiayai oleh KUR
2. Agunan tambahan105 be rdasarkan yaitu agunan yang diminta sesuai
dengan kebijakan atau penilaian oleh penyalur KUR
104 KEP-20 /D.I.M.EKON/11/2010 Tentang Standar Operasional Dan Prosedur
Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat bagian D (Agunan dan Pengikatan), Lihat Juga PerMen Koord
Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017 tetang Pedoman Pelaksanaan
Kredit Usaha Rakyat Pasal 12
105 Selanjutnya Kasmir menambahkan dalam bukunya , pada praktiknya, yang dapat dijadikan
jaminan kredit oleh calon debitur adalah sebagai berikut:
1. Jaminan dengan barang-barang, seperti tanah, bangunan, kendaraan bermotor, peralatan,
barng dagangan, tanaman, dan barang berharga lainnya.
2. Jaminan surat berharga, seperti sertifikat saham, obligasi, sertifikat tanah, sertifikat
deposito promis, wesel, dan surat berharga lainnya.
3. Jaminan orang atau perusahaan, yaitu jaminan yang diberikan oleh seseorang atau
perusahaan kepada bank terhadap fasilitas kredit yang diberikan. Apabila kredit tersebut
Page 62
52
Sebagai antisipasi dari kreditor bila dikemudian hari debitur ingkar janji
atau melakukan wanprestasi, maka bank akan meminta debitor atau nasabah
memberikan jaminan bagi utangnya. Selain jaminan dalam bentuk kebendaan,
penjamin dapat juga berupa personal guarantee (penjaminan perorangan)
ataupun corporate guarantee (penjaminan perusahaan), yang dimintakan
sebagai jaminan pelengkap disamping jaminan utama atas perjanjian
pemberian pembiayaan dimana perjanjian penjaminan ini juga sebagai
perjanjian asesoir (accessoir), tambahan, atau ikutan yang dimana utang-
piutang atau pembiayaan merupakan perjanjian pokoknya.106
Jaminan kredit atau pembiayaan apapun bentuknya yang disetujui dan
diterima oleh bank selanjutnya akan mempunyai beberapa fungsi dan salah
satunya adalah unutuk mengamankan pelunasan kredit atau pembiayaan bila
pihak peminjam cidera janji. Selain itu fungsi jaminan dalam rangaka
pemberian pembiayaan berkaitan juga dengan kesungguhan pihak peminjam
untuk memenuhi kewajibannya untuk melunasi pembiayaan sesuai dengan
yang diperjanjikan dan menggunakan dananya secara baik dan hat-hati.107
Berdasarkan hal tersebut, pentingnya adanya jaminan dalam bentuk apapun
terhadap pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan.
macet maka orang atau perusahaan yang memberikan jaminan itulah yang diminta
pertanggungjawabannya atau menanggung risikonya.
4. Jaminan asuransi, yaitu bank menjaminkan kredit tersebut kepada pihak asuransi terutama
terhadap fisik objek seperti kendaraan, gedung, dan lainnya. Jadi, apabila terjadi
kehilangan atau kebakaran, maka pihak asuransi yang akan menanggung kerugian
tersebut.
Lihat Kasmir, Manajemen Perbankan, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2007),h.,80-
81.
106 Lenny dan Isis, Implementasi Hukum Personal Guarantee Dalam Praktik Kepailitan,
Jurnal Pagaruyuang Law Journal, Wol 1 No.2, Januari 2018, h.,146. Jaminan perorangan seperti
telah dijelaskan sebelumnya yaitu suatu perjanjian antara seorang yang berpiutang (kreditor)
dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban-keajiban debitur, bahkan
perjanjian-perjanjian tersebut dapat diadakan diluar atau tanpa sepengetahuan debitur. Lihat,
Subekti., Jaminan-jaminan untuk pemberian kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung: Citra
Aditya Bhakti,1999), h.,15.
107 Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta:PT
Rajagrafindo Persada, 2007), h.,4-5. Selanjutnya, Bahsan menambahkan fungsi jaminan kredit
yang ditinjau dari sisi bank maupun dari sisi debitur yaitu 1) Jaminan pembiayaan sebagai
pengaman pelunasan pembiayaan, 2) Jaminan pembiayaan sebagai pendorong motivasi debitur, 3)
Fungsi yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan perbankan.
Page 63
53
Menurut Sri Sudewi mengatakan bahwa secara khusus jaminan
perorangan sering digunakan dalam praktek dengan alasan sebagai berikut :108
1. Penanggung mempunya persamaan kepentingan ekonomi didalam usaha
dari si peminjam
2. Penanggun memesan pesan piutang dan banyak terjadi dalam bentuk
Bank Garansi, dimana yang bertindak sebagai penangung adalah bank
3. Penanggungan juga mempunyai peran penting karena dewasa ini
lembaga-lembaga pemerintah lazim mensyaratkan adanya penanggungan
untuk kepentingan pengusaha-pengusaha kecil.
Dalam hal pembiayaan yang jaminannya terdiri dari dua bentuk yaitu
jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Dalam hal jaminan kebendaan
diharuskan adanya upaya penilaian terhadap barang jaminan, agar kreditur
mendapat kepastian apabila pengembalian pinjaman nantinya terjadi hal yang
tidak diinginkan oleh kreditur, dan sebagai upaya unutk mencegah lahirnya
wanprestasi. Dan selain itu, upaya meminimalisir terjadinya wanprestasi,
maka diharuskan adanya penyediaan penjamin (borgrocht) guna menjamin
kepastian serta keteriban dari pihak peminjam dalam pelunasan utangnya.109
Fungsi jaminan kredit untuk mengamankan pelunasan kredit sangat berkaitan
dengan kepentingan bank yang menyalurkan dananya kepada debitur yang
sering kali mengandung resiko.
Terkait praktik pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat yang tidak tidak
disyaratkan adanya jaminan maka menjadi tantangan tersendiri bagi pihak
perbankan dalam menyalurkan dana terlebih dalam penerapan prinsip kehati-
hatian. Diatur pada pasal 4 ayat 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
22/PMK.05/2010 tentang Perubahan keduaa atas Peraturan Menteri
108 Sri Soedewi, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan
Jaminan Perorangan, (Yogjakarta: BPHN dan Liberty, 2001), h., 80-81.
109 Cok Istri Ratih, Tanggung Jawab Penjamin Terhadap Debitur Yang Tidak Dapat
Memnuhi Prestasi Kepada Kreditur, (Ringkasan Skripsi S-1 Hukum Bisnis Fakultas Hukum,
Universitas Udayana), h.,4.
Page 64
54
Keuangan Nomor 135/PMK.05/2008 tentang Fasilitas Penjaminan Kredit
Usaha Rakyat bahwa bank Bank Pelaksana memutuskan pemberian KUR
berdasarkan penilaian terhadap kelayakan usaha sesuai dengan asas-asas
perkreditan yang sehat, serta dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku.
Dalam hal ini perbankan dituntut untuk menerapkan peraturan internal yang
berlaku demi diterapkannya prinsip kehati-hatian perbankan.
Tugas perbankan sangatlah kompleks dalam hal pembiayaan atau kredit
yang hanya memegang jaminan berupa kepercayaan, dengan tidak mengenal
karakteristik nasabah, resiko besar dapat terjadi yang dapat disebabkan
Asymetric Information. Ketidak merataan informasi ini mengakibatkan
kesalah pahaman bagi masyarakat dalam pemanfaatan dana pembiayaan.
Oleh karenanya, haruslah dipahami bahwa esensi perlunya jaminan tambahan
adalah jika pihak bank menilai adanya resiko yang besar dan ketidak pastian
atas pembiayaan atau kredit sehingga diperlukan jaminan tambahan.110
Dengan pemahaman ini program penjaminan atau jaminan tambahan atas
pembiayaan jelas bukanlah hak tapi suatu opsi yang ditawarkan oleh pihak
bank bagi nasabah. Opsi ini berupa jaminan yang semula dalam bentuk aset
menjadi jaminan dalam bentuk Corporate Guarantee.
Seiring peerkambangan bentuk pembiayaan dalam ranah keuangan
syariah, berkembang pula bentuk perjanjian pada ketentuaannya diharuskan
untuk tetap merujuk pada penerapan prinsip syariah. Salah satunya perjanjian
penjaminan dalam ketentuannya diatur pada fatwa DSN MUI nomor
74/DSN-MUI/I/2009 tentang Penjaminan syariah, Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 6/POJK.05/2004 Tentang Penyelenggaraan Usaha
Lembaga Penjaminan, serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang
Penjaminan. Segala aspek ketentuan tersebut juga merujuk pada peraturan
dalam ketentuan KUHPerda dan konsep Kafalah serta Fatwa DSN No.
11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah. Tujuan dari diterapkannya akad
Kafalah bil Ujrah ini merupakan sebagai bagian dari perkembangan akad
110 Kasmir, Manajemen Perbankan, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2007), h.,80.
Page 65
55
kontemporer yang diterapkan pada lembaga keuangan syariah diantaranya
Perbankan Syariah dan Lembaga Penjaminan yang berperan penting dalam
berkembangnya transaksi keuangan dalam masyarakat dan sekaligus
berkewajiban menjaga agar prinsip syariah tetap diterapkan.
Page 66
57
BAB IV
KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN
PENJAMINAN SYARIAH MENURUT PRINSIP SADD AL-DZARI’AH
A. Penggunaan Metode Sadd Al-Dzari’ah dalam Konteks Ekonomi
Terdapat pergerakan dari realita yang terjadi di kehidupan masyarakat
yang tidak bisa dihindari, dan di sisi lain tetap harus memperhatikan
keberadaan hukum. Hal ini menunjukkan kedinamisan hidup manusia sebagai
mukallaf. Sebagai Al-Mukhatab bi Al-Hukm, manusia idealnya dipertuhankan
oleh hukum, bukan sebaliknya. Pemahaman tentang hukum tidak dinamis,
tidak mampu beradaptasi dan tidak responsif terhadap persoalan manusia
yang terus berkembang diakibatkan oleh realita hukum yang dipandang
sebagai suatu produk pemikiran yang statis dan final.111
Segala perbuatan dan perkataan yang dilakukan mukallaf yang dilarang
syara’ terkadang dengan sendirinya menyebabkan kerusakan tanpa adanya
perantara. Syara’ dalam mencegah kemafsadatan tidak semata-mata
menghalangi pada perbuatan yang mengakibatkan mafsadah dengan
sendirinya, karena agama menghambat segala hal atau jalan yang
mengakibatkan kepada mafsadah, walaupun perbuatan itu mubah atau tidak
mengandung mafsadah.112
Hal tersebut juga berlaku dalam penetapan hukum dalam ruang lingkup
masyarakat. Agama sangat memperhatikan kondisi masyarakat sehingga
dengan adanya metode penetapan hukum, kaidah, dan pengaturan yang
mampu mengikuti dinamika permasalahan yang timbul dan tetap dapat
responsif. Hal ini pulalah yang terkait dengan metode Sadd Al-Dzari’ah yang
digunakan sebagai metode ijtihad dan mengenyampingkan Fath Al-Dzari’ah
111 Maulidi, Paradigma Progresif dan Maqashid Syariah:Manhaj Baru Menemukan
Hukum Responsif , Jurnal Asy-Syir’ah, 49, 1, (Juni, 2015), h., 294.
112 Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h., 320-
322.
Page 67
58
dan seringkali dalam kondisi berbeda yang terjadi juga harus sebaliknya,
keduanya berdasarkan pada adanya kemungkinan-kemungkinan kasusnya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, metode Sadd Al-Dzari’ah
adalah metode ijtihad yang penggunaannya bergantung pada jenis akibat yang
ditimbulkannya, metode ini hanya dapat digunakan apabila akibat yang
ditimbulkan perbuatan tersebut mengarah pada kerusakan atau hal negatif saja
sehingga metode ini tidak bersifat mutlak. Namun, kemungkinan untuk
melihat aspek positif dari penggunaan metode, sarana, atau jalan atas suatu
kasus atau perbuatan juga perlu dilihat atas kemungkinan diwujudkannya
Maqashid Syari’ah yang lain, yaitu kemaslahatan.113
Alasan kesamaan oleh para ulama secara umum untuk menggunakan
metode Sadd Al-Dzari’ah sebagai salah satu sumber hukum, hal ini menjadi
dasar yang ditetapkan Al Qur’an dan As-Sunnah dan telah digunakan oleh
sahabat-sahabat Rasul dalam berbagai kasus misalnya keharusan ijab qabul
dengan lisan oleh Hasbi Ash Shiddigiey yang menggunakan metode Sadd Al-
Dzari’ah selain menggunakan metode maslahah mursalah. Hasbi beristinbat
bahwa suatu yang mendatangkan manfaat kepada manusia maka kita
diwajibkan mengerjakannya dan menolak mafsadat yaitu suatu yang
menyebabkan kerusakan maka kita dilarang mengerjakannya. Karena itu
dalam keharusan ijab qabul denga lisan dalam jual beli menurut Hasbi baik
itu kecil atau besar sangat diwajibkan sekali karena akan menimbulkan
manfaat baik bagi penjual dan pembeli yang berujung pada terhindar dari
kecurangan dan terwujudnya kerelaan.114
Penggunaan metode Sadd Al-Dzari’ah diterapkan juga pada
pengharaman riba yaitu pendapat ulama Mazhab Hanafi tentang illat riba
fadhl yang berpandangan bahwa barang yang sejenis dan dapat ditimbang dan
113 Jasser Audah, Al-Maqasid Untuk Pemula, alih bahasa ‘Ali ‘Abdelmon’im
(Yogyakarta: SUKA Press UIN Sunan Kalijaga, 2013), h., 98-100.
114 AH Muzaki, Studi Analisis Pendapat Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy
Tentang keharusan Ijab Qabul dengan Lisan, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah, Institut Islam Negeri
Wali Songo Semarang, 2009), h., 49-50.
Page 68
59
kemudian diperjual belikan dan terdapat tambahan dari salah satunya dari hal
itu terjadilah riba fadhl. Adapun jual beli pada selain barang-barang yang
ditimbang, seperti hewan, kayu, dan lainnya tidaklah dikatakan riba meskipun
ada tambahan dari salah satunya, seperti menjual satu kambing dengan dua
kambing sebab tidak termasuk barang yang bisa ditimbang. Diantara hikmah
diharamkannya riba adalah untuk menghilangkan tipu-menipu diantara
manusia dan juga menghindari kemudharatan. Asal keharamannya adalah
Sadd Al-Dzari’ah (menutup pintu kemudharatan). Akan tetapi ada juga yang
betul-betul dilarang seperti menukar barang yang baik dengan yang buruk,
sebab hal yang keluar dari ketetapan harus adanya kesamaan.115
Dalam konteks perbankan yang menerapkan bunga, para ulama dan
cendikiawan muslim masih berbeda pendapat tentang keharamannya.
Pendapat yang secara garis besar mengharamkan bunga bank atau riba yaitu
menegaskan bahwa riba itu haram dalam segala bentuknya. Pendapat ini
dikemukakan oleh Muhammad Darraz, seorang ahli hukum dari Saudi Arabia
yang mengatakan bahwa baik secara moral maupun sosiologis, riba itu sangat
merusak. Persoalan riba sekarang bukanlah persoalan sebab, illat, atau
prinsip-prinsip dasar tentang riba, melainkan persoalan bagaimana
menerapkan konsep riba itu. Dan berpendapat bahwa keharaman riba
merupakan Sadd Adh-Dhari’ah.116
Dalam ruang lingkup pesantren, fenomena metode istinbath hukum dari
metode qauli yang sudah mentradisi menjadi metode manhaji yang lebih
progresif. Pada dasarnya, ciri khas pesantren adalah menganut fiqh mazhab
Syafi’i salah satunya dalam ruang lingkup muamalah dan sangat jarang
merujuk pada kitab-kitab non-syafi’iyyah, tetapi justru langsung merujuk
pada kaidah-kaidah fiqhiyyah sebagi solusi terakhir dalam istinbath hukum
115 Abdul Aziz dan Retina Sri, Riba Dalam Perspektif Fiqih Muamalah dan teori Bunga
Atas Produk Lembaga Keuangan Konvensional, MPRA Paper No. 88079, (Juli, 2018), h., 7.
116 Abdul Aziz dan Retina Sri, Riba Dalam Perspektif Fiqih Muamalah dan teori Bunga
Atas Produk Lembaga Keuangan Konvensional, MPRA Paper No. 88079, (Juli, 2018), h., 14.
Page 69
60
yang bersumber dari kitab-kitab fikih.117 Hal positif dari penerapan tersebut
menunjukkan adanya dinamika metode istinbath hukum yang terjadi di
lingkungan pesantren.
Seperti pada kasus di pesantren Ploso yang menerapkan metode Al-
Dzari’ah dalam kasus penjualan ampas tahu yang kebiasaannya untuk
memberi makan babi. Jika yakin bahwa ampas tahu itu dijual untuk makanan
babi maka hukumnya jual beli itu haram, jika tidak yakin maka makruh,
meskipun ampas tahu itu termasuk barang suci yang sah dijual dan secara
formalitas fiqh bentuk akad jual beli itu sah asal sudah ada ijab qabul, namun
pada akhirnya barang itu digunakan untuk sesuatu yang haram.118
Penggunaan metode Sadd Al-Dzari’ah pada keharaman multi akad salaf
dan jual beli. Akad utang piutang dengan syarat jaminan objek barang yang
belum lunas cicilannya. Hal itu termasuk kategori akad berganda yang
dilarang dalam hukum Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. :
عليه و سل م عن بيع و سلف ن صل ى ال هى رسول ال
Rasulullah Saw melarang jual beli dan pinjaman. (HR Ahmad Dari Abu
Hurairah Ra)
Jumhur ulama melarang praktik multi akad ini, yakni terjadi
perhimpunan akad jual beli (mu’awadhah) dengan pinjaman (qardh) apabila
dipersyaratkan. Nabi melarang melarang multi akad antara akad jual dan salaf
karena sebagai upaya mencegah (Sadd Adh-Dhari’ah) jatuh kepada yang
diharamkan berupa transaksi ribawi. 119
117 Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, (Jakarta:Kencana,2008), h., 313-314.
118 Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, (Jakarta:Kencana,2008), h., 318.
119 Hidayatina, Tinajuan hukum Islam tentang pelaksanaan pinjaman dengan jaminan
emas pada pembiayaan mulia di pegadaian syariah, Jurnal Ilmiah Syariah, XV, 1 (Januari-Juni,
2016), h., 60.
Page 70
61
Golongan Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa akad jual beli salam itu
menjadi batal demi hukum dan tidak diperbolehkan melakukan penundaan
penyerahan objek barang oleh penjual pada saat jatuh tempo. Ulama
berpendapat bahwa objek dari akad jual beli salam itu pada dasarnya
merupakan utang piutang. Golongan ulama ini berpendapat menggunakan
metode Sadd Al-Dzari’ah karena penundaan penyerahan objek jual beli salam
itu bisa menjerumuskan akad kedalam akad jual beli utang piutang yang
dilarang oleh syara’.120
Perbedaan pendapat ulama tentang jual beli hewan dengan hewan perihal
jual beli yang dilakukan secara tempo. Ulama Malikiyyah berpendapat
keharaman jual beli secara tempo antara suatu hewan dengan hewan lain yang
mempunyai kesamaan atau keserupaan manfaat dan kualitas dan kuantitas
yang berbeda antara keduanya. Penjelasannya bahwa selama kedua hewan itu
mempunyai kesamaan, tidak ada gunanya jual beli dengan cara tempo dan ia
termasuk jual beli salaf yang menarik keuntungan tanpa resiko sehingga
hukumnya haram.121
Ada tidaknya hukum senantiasa ditentukan oleh illat namun tidak
menutup kemungkinan perkembangan dinamika sosial masyarakat yang terus
bergerak akan mempengaruhi dinamika sistem hukum yang ada di dalamnya.
Sehingga hukum harus terus ikut berkembang dan dituntut untuk terus
mengikuti perubahan yang ada. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
metode Sadd Al-Dzari’ah sebagai salah satu sumber untuk dapat menentukan
pokok hukum atas sebuah keadaan dalam ruang lingkup masyarakat di segala
aspek kehidupan khususnya di bidang Muamalah. Melihat unsur maslahat dan
mafsadat serta tujuan syara’ yang menjadi pilar utama, dengan menggunakan
metode Sadd Al-Dzari’ah diharapkan hukum Islam akan selalu
mengedepankan kemanfaatan dan kemaslahatan hukum.
120 Asmawi, Perbandingan ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), h., 151.
121 Asmawi, Perbandingan ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), h., 148.
Page 71
62
B. Analisis Prinsip Sadd Al-Dzari’ah dan KUHPerdata Atas Ketidaktahuan
Nasabah Dalam Pelaksanaan Perjanjian Penjaminan Syariah
Penjaminan merupakan salah satu upaya oleh lembaga keuangan untuk
menjamin dana yang disalurkannya kepada pihak pemohon pembiayaan.
Pada praktiknya jaminan yang diartikan secara luas menjadi dua bentuk yaitu
agunan dan penanggungan baik bersifat perorangan maupun perusahaan.
Penjaminan perorangan atau perusahaan yang menggunakan akad Kafalah Bil
Ujrah harus berpedoman pada fatwa DSN MUI Nomor 74/DSN-MUI/I/2009
tentang Penjaminan Syariah dan diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 6/POJK.05/2004 Tentang Penyelenggaraan Usaha
Lembaga Penjaminan yang terdiri atas dua bentuk yaitu penjaminan langsung
dan tidak langsung.
Menurut penulis, kedua bentuk penjaminan yang menggunakan akad
Kafalah bil Ujrah ini memiliki implikasi hukum yang berbeda. Berbagai
literatur menjelaskan tentang bentuk perjanjian, rukun sarat dan akibat serta
hubungan hukum dari pelaksanaan penjaminan namun tidak menjelaskan
secara kongkret bagaimana bentuk implikasinya. Menurut Rini Fatma, relasi
hukum dan konsekuensi dari akad kafalah yang dilakukan oleh para pihak
akan berbeda-beda karena terdiri atas 3 pihak yaitu kafil, makful anh dan
makful lah. Perjanjian penjaminan yang sifatnya accesoir, dikarenakan
perjanjian pokoknya dari hubungan hukum yang utama terjadi antara pihak
pertama yaitu makful anh dan pihak kedua sebagai makful lah. Dan
berdasarkan kesepakatan yang dibuat, kafil menjadi pihak yang menjamin
perbuatan hukum yang menjadi tanggung jawab makful anh kepada makful
lah.122
Bila dilihat berdasarkan syarat subjektif dan objektifnya, perjanjian
penjaminan yang dilaksanakan dalam penjaminan pembiayaan di lembaga
keuangan telah sesuai dengan konsep Kafalah. Namun, berdasarkan konsep
122 Rini Fatma, Jaminan Dalam Pembiayaan Syariah (Kafalah dan Rahn), Jurnal
Kordinat, XV, 2 (Oktober,2016), h., 14.
Page 72
63
perjanjian yang ada pada lembaga keuangan telah banyak penafsiran atas
pengertiaan dari penjaminan. Hal ini dapat dilihat dari dua bentuk perjanjian
penjaminan yang banyak digunakan oleh para pihak yang terlibat. Namun,
bukan berarti hubungan hukum tersebut batal atau terlarang. Salah satu
bentuk penjaminan tersebut adalah penjaminan tidak langsung123 dalam hal
ini pihak terjamin diwakilkan oleh penerima jaminan untuk melakukan
permohonan penjaminan kepada pihak penjamin. Berdasarkan hasil
wawancara yang penulis lakukan pada Bank BJB Syariah kcp Ciputat, bahwa
pihak terjamin tidak mengetahui bahwa adanya pihak penjamin atas
permohonan pembiayaan yang dilakukan debitur yang dalam hal ini juga
selaku terjamin.124 Dalam ketentuan selanjutnya, terjamin tetap harus
membayar kewajibannya dalam bentuk pengalihan hak tagih.125
Mengenai dua bentuk praktik penjaminan yang diterapkan pada lembaga
keuangan syariah, baik diketahui oleh para pihak ataupun tidak, keduanya
memiliki landasan hukum. Hal ini sesuai dengan perbedaan pendapat dari
para ulama tentang syarat-sayarat menanggung, Ibnu Rusyd menjelaskan
bahwa Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i mensyaratkan harus atas seizin
orang yang ditanggung. Jika dilakukan atas seizin orang ditanggung,
penanggung boleh menagih hak yang telah dibayarkan sedangkan Imam
Malik tidak mensyaratkan hal itu. Imam Syafi’i menambahkan tidak boleh
menanggung orang yang tidak dikenal, atau terhadap hak-hak yang tidak
wajib dipenuhi.126
123 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.05/2004 Tentang Penyelenggaraan
Usaha Lembaga Penjaminan Pasal 12 ayat 2
124 Hasil wawancara bersama Pak Fajrian Septiawan, Supervisior BJB Syariah Ciputat,
Interview pribad, Ciputat, 23 Juli 2018
125 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.05/2004 Tentang Penyelenggaraan
Usaha Lembaga Penjaminan Pasal 20 ayat 1 yang berbunyi:
“Sejak laim dibayar oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah,
hak tagi penerima jaminan kepda terjamin beralih menjadi hak tagi perusahaan
penjaminan atau perusahaan penjaminan syairah (subrogasi).”
126Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, (Jakarta: Akbar Media,
2013), h.,494.
Page 73
64
Penulis berpendapat, berdasarkan syarat penanggungan dari ulama bahwa
penanggungan itu harus seizin orang yang ditanggung, penulis kemudian
menganalisis hal tersebut telah sesuai pula dengan konsep perjanjian dalam
hukum positif dikarenakan keterlibatan terjamin atau orang yang ditanggung,
merupakan bagian dari penerapan asas perjanjian dalam hukum perikatan
yaitu asas kepastian hukum (Konsensus)127 selain itu dalam penerapan sahnya
suatu perjanjian (dalam KUHPerdata pasal 1320) juga harus memenuhi
beberapa unsur yang salah satunya adalah sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya.
Telah penulis paparkan pula pada bab sebelumnya bahwa, umumnya
penanggungan itu dapat diberikan untuk menjamin pemenuhan perutangan
yang timbul dari segala macam hubungan hukum yang lazimnya hubungan
keperdataan. Namun dimungkinkan pula penanggungan diberikan untuk
menjamin pemenuhan prestasi yang lahir dari hubungan hukum yang bersifat
hukum publik. Sri Soedewi memaparkan bahwa perjanjian penjaminan dapat
diminta oleh kreditur dengan menunjuk seorang penanggung, atau yang
diajukan oleh debitur yang akan menanggung jika debitur wanprestasi.
Dri Soedewi menambahkan dibolehkan pula kreditur menunjuk seorang
penanggung untuk memenuhi perutangan debitur tanpa persetujuan debitur.
Hal ini sesuai dengan konsep penjaminan yang dilaksanakan dan juga
berlandaskan pada kutipan pasal 1823 KUHPerdata tentang penanggungan
utang bahwa seorang dengan kehendaknya dapat mengajukan diri sebagai
penanggung tanpa mengetahui untuk siapa ia mengikatkan dirinya dan
bahkan diluar pengetahuan orang yang ditanggung.
Walaupun undang-undang membatasi bahwa tidak dibolehkan membuat
perjanjian dengan orang lain dan mengatas namakan pihak lain dalam
perjanjian yang dibuat (pasal 1315 KUHPerdata), pembatasan dalam
127 Pada dasarnya seuatu perjanjian dibuat anatar dua orang atau lebih bersifat mengikat,
dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian
tersebut. Lihat, Kertini dan Gunawan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2004), h., 34-35.
Page 74
65
mengatasnamakan pihak lain dibolehkan jika dalam hal perjanjian yang
dibuat adalah untuk menjamin pihak ketiga atas kewajibannya (pasal 1316
KUHPerdata).128 Dengan kata lain penanggung berkewajiban mengganti
kerugian kreditur jika pihak ketiga (debitur) tidak melaksanakan
kewajibannya.
Mengenai akibat penanggungan yang diatur pada pasal 1839
KUHPerdata bahwa penanggung yang telah membayar klaim dapat menuntut
apa yang telah dibayarnya kepada debitur, dengan ketentuan tanpa
memperhatikan apakah perjanjian penanggungan itu diadakan atas
persetujuan ataupun tanpa persetujuan debitur. Dalam hal ini sesuai dengan
ketentuan pada POJK Nomor 6/POJK.05/2004 Tentang Penyelenggaraan
Usaha Lembaga Penjaminan bahwa terjamin tetap harus membayar
kewajibannya dikarenakan adanya pengalihan hak tagih, mengharuskan
terjamin mengetahui adanya pihak penjamin.
Selanjutnya berdasarkan hukum Islam menggunakan hasil analisis
penulis, dalam hal terjamin mengetahui dan terlibat dalam perjanjian
penjaminan, dapat menjadi terlarang atau menimbulkan kemafsadatan bila
dianalisa menggunakan teori Sadd Al-Dzari’ah merupakan suatu metode
istinbath hukum terhadap kasus yang belum ada nash. Dalam hal ini Sadd Al-
Dzari’ah merupakan bentuk wasilah atau perantara. Nasrun Haroen
mendefinisikan Al-Dzari’ah yaitu melakukan suatu pekerjaan yang semula
mengandung kemaslahatan untuk menuju kepada suatu kemafsadatan.129
Pengertian tersebut bermakna suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan
karena mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan lain yang akan dicapai
akan menimbulkan kemafsadatan.
Menurut penulis, praktik penjaminan yang tidak adanya hubungan
hukum antara penjamin dan terjamin dalam praktik pelaksanaan penjaminan
128 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bab Ke Dua tentang Perikatan-perikatan yang
dilahirkan dari kontrak atau perjanjian.
129 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 161.
Page 75
66
pembiayaan di perbankan syariah, merupakan salah satu jalan atas ditutupnya
atau menghindari tindakan yang menimbulkan mafsadat diantaranya jika
pihak terjamin mengetahui adanya penjamin, maka terjamin akan melakukan
tindakan yang membahayakan pihak perbankan yaitu moral hazard dari
debitur atau penerima pembiayaan. al-Mazri yang dikutip oleh Ibn Asyhur,
bahwa Sadd Al-Dzari’ah adalah pelarangan atas apa saja yang pada dasarnya
itu boleh dilakukan, agar dia tidak mengarah pada yang dilarang untuk
dilakukan.130 Sehingga dalam hal ini menjadi alasan terjamin boleh tidak
mengetahui pihak penjamin agar menghindari tindakan yang mengarah pada
mafsadat.
Berikut ini merupakan tingkatan Al-Dzari’ah yang dikemukakan oleh
Ibnu Qayyim, Al-Dzari’ah dibagi menjadi empat yang ditinjau berdasarkan
dampak atau akibat yang ditimbulkannya :131
e. Al-Dzari’ah yang memang pada dasarnya membawa pada kerusakan
f. Al-Dzari’ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun
ditujukan untuk perbuatan buruk yang merusak baik yang disengaja
ataupun yang tidak disengaja.
g. Al-Dzari’ah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujuakn untuk
kerusakan, namun biasanya sampai juga pada kerusakan yang mana
kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya.
h. Al-Dzari’ah yang semula ditentukan untuk mubah, namun terkadang
membawa pada kerusakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil
dibanding kebaikannya.
Nasrun Haroen menambahkan keempat Adh-Dhariah ini dibentuk oleh dua
hal, yaitu Al-Dzari’ah yang kemaslahatan pekerjaan itu lebih kuat dari
130 Muhammad Thahir Ibn Asyur, Maqasid Syari’ah al-Islamiyyah (Petaling Jaya
Malaysia: Dar An-Nafais, 2001), h., 365.
131 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 166.
Page 76
67
kemafsadatannya dan Al-Dzari’ah yang kemafsadatanya lebih kuat dari
kemaslahatannya.132
Selanjutnya, Guna mengetahui apakah sarana atau wasilah (Adh-
Dhari’ah) bisa dipergunakan atau tidak karena manfaatnya untuk mengetahui
dan menentukan boleh tidaknya suatu perbautan untuk dilakukan, maka
secara umum hal itu bisa dilihat dari dua hal, yaitu :133
3. Motif atau tujuan yang mendorong untuk melaksanakan suatu perbuatan,
apakah perbuatan itu akan berdampak kepada sesuatu yang diharamkan
atau dihalalkan
4. Akibat yang terjadi dari perbuatan, tanpa harus melihat kepada motif dan
niat si pelaku. Jika akibat atau dampak yang terjadi dari perbuatan adalah
sesuatu yang dilarang atau mengakibatkan kemafsadatan, maka
perbuatan itu harus dicegah. Dan jika akibat atau dampak yang terjadi
dari suatu perbautan mendatangkan maslahah maka perbuatan itu boleh
dilakukan.
Penulis berpendapat, praktik penjaminan yang tidak melibatkan pihak
terjamin, merupakan salah satu bentuk upaya mencapai kemaslahatan
dikarenakan jika nasabah mengetahui adanya penjaminan akan cenderung
melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian atau mafsadat. Mafsadat
tersebut sudah diketahui dan dapat di prediksi oleh perbankan karena sudah
menjadi kewajiban perbankan untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam
penyaluran pembiayaan. Salah satu contohnya yaitu pada pembiayaan KUR
(kredit Usaha Rakyat) yang tidak mewajibkan adanya jaminan tambahan
sehingga perbankan hanya bermodalkan jaminan pokok dan kepercayaan atas
nasabah yang tidak memenuhi persyaratan penyaluran pembiayaan. Dan
kalaupun nasabah yang berskala mikro mampu memenuhi jaminan tambahan,
132 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 166.
133 Wahbah az-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Iskami, Juz II (Beirut: Dar al-Fikri al- Muasir,
1986), h., 178-179.
Page 77
68
namun tetap menjadi tugas perbankan untuk menjaga resiko dari hal-hal yang
tidak diiginkan melalui adanya pihak penjamin selain dengan adanya jaminan
dalam bentuk aset. Sehingga, untuk menjaga keamanan dana perbankan,
Pemohon pembiayaan KUR (debitur) tidak dilibatkan dalam perjanjian
penjaminan berdasarkan hasil prediksi dan analisis atas nasabah yang
dilakukan oleh perbankan untuk mecegah resiko.
Maka hal ini sesuai pendapat Imam As Syatibi :
الذريعةإلى الفساد يجب سد ها إذا لم تعار ضها مصلحة راجحة
Artinya : “Jalan menuju kerusakan itu wajib ditutup jika tidak
mengakibatkan maslahat yang lebih besar”
Merujuk pada hasil wawancara yang dilakukan penulis, akibat dari
perjanjian penjaminan yang melibatkan nasabah, akan menimbulkan masalah
jika perbankan juga tidak mengenal karakteristik nasabah dan resiko besar
dapat terjadi yang akhirnya mengarah pada perbuatan moral hazard. Menurut
Taswan Ibrahim dan Ragimun, moral hazard telah luas digunakan untuk
menjelaskan perilaku debitur ataupun kreditur yang berani mengambil resiko.
Perilaku pihak-pihak tersebut yang menciptakan intensif untuk memiliki
agenda dan tidakan yang tersembunyi yang berlawanan dengan etika bisnis
dan hukum yang berlaku untuk keuntungan dirinya. Dalam tindakan tersebut,
dilakukan atas nama koorporasi, demi kepentingan korporasi, berdasarkan
hubungan kerja atau hubungan lain, dalam lingkup usaha, baik diri sendiri
atau bersama-sama.134 Tindakan moral hazard ini sangat besar kemungkinan
untuk merugikan pihak lain yang berkepentingan135 dan hal ini dapat terjadi
134 Selanjutnya Taswan Ibrahim dan Ragimun menambahkan bahwa secara singkat
penyabab moral hazard adalah persoalan regulasi dan perundang-undangan yang lemah, aspek
penjaminan simpanan, dan aspek penjaminan kredit. Taswan Ibrahim dan Ragimun, Moral Hazard
dan Pencegahannya Pada Industri Perbankan di Indonesia, Kementrian Keuangan Republik
Indonesia. h., 5-7.
135 Moral hazard yang terjadi karena peminjam (dibitur) terhadap pemberi pinjaman. Hal
ini merupakan masalah asimetri informasi yang terjadi setelah transaksi pembiayaan dilakukan.
Page 78
69
jika nasabah mengetahui adanya pihak penjamin atas dana yang diperolehnya
dari pembiayaan.
Menurut Imam Malikiyyah dan Hanabilah, bahwa yang dijadikan
patokan boleh atau tidaknya transaksi tidak hanya dari segi niat saja, tapi juga
dari segi akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut. Sekalipun sifatnya
masih dugaan, namun dalam banyak kasus, dalam berijtihad dan penentuan
hukum berdsarkan dugaan berat dan menekankan akan perlunya bersikap
waspada salam beramal136 Jika fokus pada akibat dari perjanjian penjaminan
yang diketahui oleh terjamin, maka secara umum diduga keras akan
membawa pada kemafasadatan yaitu tindakan moral hazard.
Selanjutnya penulis menganalisis, perilaku diatas yang menjurus pada
tindakan yang merugikan jika dilihat berdasarkan hukum Islam merupakan
bentuk Dharar. Secara bahasa, Dharar berarti sempit atau mengurangi hak
orang lain terkait harta dan jiwa.137 Arti Dharar dalam Al-Qur’an yang
dijelaskan oleh Ahmad Muwafi salah satunya adalah gangguan dan ujian
yang terjadi dalam bisnis138 mengenai Dharar, Allah SWT berfirman dalam
QS Ali-Imran (3): 111
ثم لا ينصرون 139 قاتلوكم يول وكم الادبار ا اذى وان ي وكم ال ا لن ي ضر
Akibatnya memberikan kedudukan pada pemberi pembiayaan untuk berasa dalam posisi penerima
resiko dari usaha yang dilakukan pihak peminjam. Permaslahan ini dapat terjadi karena peminjam
dapat mengalihkan kewajibannya pada hal yang beresiko tinggi tanpa sepengetahuan pemberi
pinjaman. Dan apabila mengalami kerugian, akan ditanggung oleh pemberi pinjaman (pembiayaan
yang diberikan tidak kembali). Lihat, Taswan Ibrahim dan Ragimun, Moral Hazard dan
Pencegahannya Pada Industri Perbankan di Indonesia, Kementrian Keuangan Republik
Indonesia. h., 16.
136 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 164
137 Jaih Mubarok dan Hasanudin, Prinsip-prinsip Perjanjian, (Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, 2017), h., 249.
138 Jaih Mubarok dan Hasanudin, Prinsip-prinsip Perjanjian, (Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, 2017), h., 251.
139 Quraish Shihab menambahkan, kata وكم yang dipahami)ضرر( terambil dari kataيضر
oleh para ulama dalam arti menyakitkan badan. Beliau menambahkan, gangguan-gangguan kecil
(cemoohan) itu bukanlah mudharat, tetapi sebaliknya yang melakukan itulah yang mendapat
Page 79
70
Artinya : Mereka tidak akan membahayakan kamu, kecuali gangguan-
gangguan kecil saja, dan jika mereka memerangi kamu, niscaya mereka
mundur berbalik kebelakang (kalah). Selanjutnya mereka tidak mendapat
pertolongan.
Selnjutnya hadis riwayat Imam Al Tarmizi, dari Abu Bakr al Siddiq r.a.,
Rasulullah Saw. bersabda yang artinya Dilaknat orang yang membuat
kesulitan bagi orang mukmin atau melakukan penipuan terhadapya. Dalam
hadis ini menjelaskan membuat mukmin terkena/tertimpa fasad (kerusakan)
atau tersakiti, baik agama, fisik, akal, kehormatan, amupun hartannya, yang
termasuk dalam lima pokok tujuan syariah yang harus dipelihara.140
Sebagaimana metode Sadd Adh-Dhari’ah, Dharar juga merupakan topik
yang paling sering digunakan dalam kajian ilmu kaidah fiqh. dalam tujuan
atas perbuatan yang diduga membawa pada suatu kemafsadatan, kaidah yang
bisa dijadikan dasar atas tindakan tersebut adalah :141
م على جلب المصالح درءالم فاسد مقد
“Mencegah Mafsadah (kerusakan) harus didahulukan daripada mengambil
kemaslahatan”
رر يدفع بقدرالاء مكان ا ض
“Segala mudharat harus dihindarkan sedapat mungkin”
mudharat. Lihat, Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah (Pesan, Kesan, dan eserasian Al-Qur’an),
(Ciputat: Lentera Hati, 2007), h.,187
140 Jaih Mubarok dan Hasanudin, Prinsip-prinsip Perjanjian, (Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, 2017), h.,255.
141 Jaih Mubarok dan Hasanudin, Prinsip-prinsip Perjanjian, (Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, 2017), h., 266.
Page 80
71
Dari uraian diatas, tindakan moral hazard yang dapat terjadi akibat dari
terjamin atau nasabah akan merugikan pihak-pihak yang berkepentingan
dalam hubungan hukum tersebut. Dan kerugian tersebut mengandung unsur
Dharar yang dalam Islam dianjurkan untuk dihindarkan karena akan
menghilangkan unsur manfaat.
Tindakan moral hazard ini bertentangan dengan karakteristik bisnis
dalam Islam yang memadukan prinsip-prinsip bisnis dan moral secara
sekaligus. Karena Islam dalam bisnis dituntut untuk menciptakan
kemaslahatan sehingga terwujudnya maqashid syariah yaitu menjaga lima
pokok kemaslahatan itu; agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Menurut A.
Kadir, tujuan utama bisnis syariah adalah memelihara solidaritas masyarakat
dan memperkenalkan moralitas yang tinggi di lapangan bisnis berdasarkan
hukum Allah SWT.142
Tujuan ketidak terlibatan nasabah dalam perjanjian penjaminan yang
mana untuk menghindari adanya tindakan moral hazard oleh nasabah,
menurut penulis merupakan upaya untuk menjaga salah satu dari lima pokok
kemaslahatan yaitu menjaga harta (hifzh al-maal). A.Kadir menambahkan,
menjaga harta merupakan sebuah isyarat bahwa umat Islam harus
memanfaatkan hartanya dalam kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi.
Namun harta ini bisa menjadi nikmat atau bencana tergantung pada niat, cara
mendapatkan, dan cara pandang terhadap harta. Berkaitan dengan usaha
menjaga harta, hukum bisnis syariah mengizinkn kepada pemilik harta untuk
mempertahankan miliknya dengan sagala cara.143
Berkata Abi Al-A’war Sa’id bin Zaid bin Amr bin Naufal, Saya
mendengar Rasulullah Saw. telah bersabda :144
...من قتل دون ماله فهو شهيد
142 A.Kadir, Hukum Bisnis Syariah dalam Al Qur’an, (Jakarta : Amzah, 2010), h.,119.
143 A.Kadir, Hukum Bisnis Syariah dalam Al Qur’an, (Jakarta : Amzah, 2010), h.,133.
144 A.Kadir, Hukum Bisnis Syariah dalam Al Qur’an, (Jakarta : Amzah, 2010), h.,135.
Page 81
72
Artinya : “Barang siapa mati karena membela hartanya, maka ia mati dalam
keadaan syahid....”
Jika ditinjau berdasarkan konsep penjaminan untuk pembiayaan,
Menurut ijma’ secara garis besar kaum muslimin sepakat bahwa adh-dhaman
(jaminan) adalah boleh, karena memang dibutuhkan oleh manusia dan guna
membantu untuk menghilangkan beban dari diri orang yang berutang.145
Selanjutnya, akad kafalah memiliki tiga fungsi bagi masing-masing
personalia hukumnya, yaitu:146
1. Akad kafalah bagi ashiil merupakan istiqrah (permintaan pinjaman untuk
membayar/melunasi utangnya)
2. Akad kafalah bagi kafil (setelah membayar atau melunasi utang ashil)
merupakan iqradh (mengutangi pihak ashil) dan kafil berkedudukan
sebagai wakil dari ashil
3. Akad kafalah bagi makful lah merupakan at-tamlik (kepemilikan) atas
utang ashil yang wajib dibayar kepadanya
Pada dasarnya ashiil harus diketahui oleh pihak kafiil, bertujuan untuk
mengetahui dan mengenal keadaan ashiil atau makful anhu, apakah ia
mempunyai kondisi perekonomian yang lapang, termasuk orang yang
memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk membayar kewajibannya,
ataukah ia termasuk orang yang berhak dibantu atau tidak. Namun, sebagian
fuqaha juga memperbolehkan kafalah dengan pihak ashiil yang tidak
diketahui secara pasti siapa orangnya. Menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah
tidak disyaratkan harus mengetahui pihak makful anhu (ashiil). Hal ini
diqiyaskan atau disamakan dengan masalah persetujuan dari makful anhu
tidak termasuk syarat di dalam kafalah. 147 Secara prioritas hal itu juga sah
145 Wahbah Az Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu,Jild 6 (Damaskus: Darul Fikr, 2007),
h.,35.
146 Jaih Mubarok dan Hasanudin, Fiqih Muamalah Maliyah:Akad Tabarru, (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2017), h., 203.
147 Wahbah Az Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu,Jild 6 (Damaskus: Darul Fikr, 2007),
h.,49.
Page 82
73
jika memang itu berdasarkan adanya al iltizaam (komitmen).148 Pendapat ini
sesuai dengan hadist riwayat Al Bukhari dari Salamah bin Al-Akhwa’
yaitu:149
تيى بىجنا زة رجل ليصل يى ع عليه وسل م أ :ليه فقال ان الن بي ى صل ى ال
:قال ف .ديناران ,نعم :قالوا ,هل عليه دين :قال .لا :قالوا ,هل ترك شيىئا
.صل وا على صاحبكم فصل ى .هما علي ى يا رسول ال :بو قتادة قال أ
عليه وسل م 150 عليه الن بي ى صل ى ال
Artinya : “Telah dihadapkan kepada Rasulullah s.a.w. jenazah seorang laki-
laki untuk dishalatkan. Rasulullah bertanya, ‘apakah ia mempunyai hitang?’
sahabat menjawab, ‘Tidak’. Maka Beliau menshalatkannya. Kemudian
dihadapkan lagi jelzah lain, Rasulullah pun bertanya, ‘apakah ia mempunyai
hitang?’ mereka menjawab, ‘Ya’. Rasulullah berkata, ‘Shalatkanlah
temanmu itu’ (Beliau sendiri tidak mau menshalatkannya). Abu Qatadah
berkata, ‘Saya menjamin utangnya, ya Rasulullah’. Maka Rasulullah pun
menshalatkan jenazah tersebut.”
Ketentuan mengenai ketidaktahuan nasabah itu dibolehkan jika dianalisis
menurut hukum Islam. Penulis menggunakan metode Sadd Al-Dzari’ah untuk
menganalisis kebolehan ketidaktahuan terjamin dalam perjanjian penjaminan
syariah khsusnya penjaminan untuk pembiayaan. Hal ini didukung oleh
148 Wahbah Az Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu,Jild 6 (Damaskus: Darul Fikr, 2007),
h.,39.
149 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo, 2002), h., 190.
Page 83
74
kesepakatan fuqaha yang tidak mengharuskan terjamin mengetahui adanya
penjamin yang telah penulis uraikan pada penjelasan diatas. Sesuai dengan
salah satu bentuk penjaminan tidak langsung yang berimplikasi pada
perjanjian penjaminan yang tidak melibatkan terjamin dan seharusnya
penjamin tidak memiliki hak untuk menagih kembali dana jaminan.
Tujuan maqashid syariah untuk mencapai kemaslahatan dapat ditempuh
dengan berbagai metode ijtihad dalam perkembangan kehidupan masyarakat
khususnya dalam ibadah muamalah. Salah satunya penggunaan metode Sadd
Al-Dzari’ah yang telah dikenal dan digunakan oleh para ulama dan bahkan
telah ada setelah wafatnya Rasulullah saw. yang mana tidak lagi ada sumber
hukum selain dengan berijtihad.
Dalam konteks penjaminan yang juga merupakan permasalahan
kontemporer, penulis menganalisis bagaimana penggunaan metode Sadd Al-
Dzari’ah dalam permasalahan ketidaktahuan nasabah atau terjamin atas
perjanjian penjaminan syariah antara penjamin dan penerima jaminan dengan
upaya untuk menonjolkan sisi kemaslahatan atas penerapan ketentuan
tersebut. Berda sarkan kebolehan dari pendapat ulama, telah penulis uraikan
faktor-faktor dan alasan mengapa dianjurkan bagi nasabah untuk tidak
mengetahui atau tidak terlibat dalam perjanjian penjaminan. Adapun
akibatnya akan menimbulkan tindakan moral hazard yang dalam hal ini
tindakan moral hazard akan merugikan pihak lain yang memiliki kepentinga
dan kerugian tersebut masuk dalam kategori Dharar yang harus dihindarkan
dalam syariat Islam.
Page 84
75
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Dari penelitian yang telah diuraikan dalam pembahasan bab-bab yang
lalu, bisa ditarik kesimpulan bahwa perjanjian penjaminan yang dilakukan
tanpa sepengetahuan nasabah yang sekaligus sebagai terjamin, jika dianalisis
menggunakan hukum positif dan hukum Islam memiliki kesamaan yaitu
memolehkan nasabah tidak mengetahui. Namun, terdapat beberapa perbedaan
pada bentuk analisis dan ditemukan perbedaan pada alasan hukum mengapa
kebijakan ketidak tahuan tersebut diperbolehkan.
Adapun faktor-faktor yang mendasari kebolehan nasabah tidak terlibat
dalam perjanjian penjaminan adalah :
1. Pasal 1832 KUHPerdatam, bahwa boleh menanggung diluar
pengetahuan orang yang ditanggung (terjamin)
2. Pasal 1316 KUHPerdata memberikan pengecualian dalam hal wajibnya
perjanjian untuk menjamin pihak ketiga atas kewajibannya.
3. Adanya kecenderungan dari nasabah untuk melakukan perbuatan moral
hazard ini yang salah satu contohnya adalah ketidak merataan informasi
dari nasabah kepada perbankan dalam menggunakan dana pembiayaan
4. perbankan wajib untuk mengutamakan penerapan prinsip kehati-hatian
dalam menyalurkan pembiayaan
5. dharar yaitu mengurangi hak orang lain terkait harta dan jiwa dan tidak
dilibatkannya terjamin merupakan upaya untuk menjaga kemaslahatan
6. diwujudkannya salah satu maqashid syariah yaitu menjaga harta (hifzh
al-maal);
Analisis yang dilakukan penulis dalam mengetahui landasan hukum
kebolehan ketidak tahuan nasabah atas perjanjian penjaminan yaitu, menurut
Hukum Positif ketentuan mengenai perjanjian yang diatur berdasarkan pasal
1320 KUHPerdata adalah diaturnya sepakat mereka yang mengikatkan diri
Page 85
76
dan dengan tujuan penerapan asas kepastian hukum (Konsensus). Namun,
khusus untuk penanggungan, diatur pada Pasal 1823 tentang penanggungan
utang bahwa dibolehkan seorang menanggung tanpa mengetahui untuk siapa
dan bahkan diluar sepengetahuan orang yang ditanggung.
Berdasarkan peraturan bahwa tidak dibolehkan membuat perjanjian
dengan mengatasnamakan pihak lain (Perwakilan), ketentuan itu dikecualikan
untuk menanggung kewajiban pihak ketiga (debitur) kepada kreditur (Pasal
1316 KUHPerdata). Dan mengenyampingkan ketentuan perjanjian bahwa
diwajibkan adanya perikatan antara dua pihak atau lebih. Adapun akibat dari
Penjaminan diatur pada pasal 1839 KUHPerdata bahwa penanggung tetap
berhak memperoleh kembali dana klaim yang telah dibayarnya, tanpa
memperhatikan apakah perjanjian itu dilakukan atas persetujuan ataupun
tanpa persetujuan debitur.
Tinjauan berdasarkan hukum Islam menggunakan teori Sadd Al-
Dzari’ah, berdasarkan pengertian Sadd Al-Dzari’ah adalah menutup jalan
yang pada dasarnya dibolehkan namun jika dilakukan akan menimbulkan
kemudharatan yang lebih besar. Tujuan yang seharusnya terjadi dalam
perjanjian dengan melibatkan para pihak adalah menghindari gharar karena
ketidak pastian hukum. Namun, jika dalam kasus ini jika nasabah mengetahui
adanya jaminan makan nasabah (terjamin) akan cenderung melakukan
tindakan yang merugikan kreditur.
Perjanjian penjaminan yang tidak melibatkan nasabah merupakan jalan
untuk menutup perbuatan yang merugikan atau menimbulkan mafsadat.
Tidak dilibatkannya terjamin merupakan wasilah atau jalan agar melindungi
pihak lain dari fasad. Walaupun kemudharatan yang terjadi masih dalam
bentuk perkiraan, ulama menekankan pada mengutamakan prinsip
pemeliharaan kemaslahatan dan keselamatan. Sekalipun terlibatnya terjamin
dalam perjanjian penjaminan pembiayaan dibolehkan, namun hal tersebut
akan cenderung mengakibatkan nasabah akan dengan sewenang-wenang
menggunakan dana pembiayaan karena mengetahui adanya jaminan atas
pembiayaannya.
Page 86
77
B. Saran
1. Untuk terus dapat mengembangkan ilmu dalam aspek hukum Islam,
disarankan bagi para pembaca umumnya dan khususnya untuk mahasiswa
program studi Hukum Ekonomi Syariah untuk memahami lebih mendalam
penggunaan metode istinbath hukum dalam syariat Islam agar dapat
dipahami dan terus dikembangkan. Salah satunya yaitu metode Sadd Adh-
Dhari’ah yang banyak digunakan oleh para ulama untuk menetapkan
sebuah hukum pada permasalahan kontemporer.
2. Ketentuan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.05/2004
Tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjaminan bahawa adanya
pengalihan hak tagih dari penerima jaminan kepada penjamin (subrogasi),
penulis memberikan saran kepada penelitian selanjutnya untuk meninjau
menurut pandangan Islam mengenai pengalihan hak tagih dalam perjanjian
penjaminan yang mana perjanjian tersebut tidak diketahui oleh terjamin.
Page 87
78
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Ghofur, Pokok-Pokok Perjanjian Islam Di Indonesia, Yogyakarta: Citra
Media, 2006.
Abubakar, Al Yasa’, Metode Istilahihah:Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam
Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana,2016.
Ahmadi, Muhammad Fahmi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Huk um,
Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Akbar, Andi Ali, Prinsip-prinsip Dasar transaksi Syariah, Jawa Timur: Yayasan
PP. Darussalam Blokagung, 2014Dahlan, Abd Rahman, Ushul Fiqh,
Jakarta: Amzah, 2010.
Anhari, Masjkur, Ushul Fiqh, Surabaya: Diantama, 2008.
Antonio, Syafi’i, Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Tazkia Cendekia,
2001
Ar-rasyid, Mushaf, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Maktabah Al fatih,
2016
Asmawi, Dr, Perbandingan ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011.
Asyur, Muhammad Thahir Ibn, Maqasid Syari’ah al-Islamiyyah, Petaling Jaya
Malaysia: Dar An-Nafais, 2001.
Asy-Syaukani, Muhammad ibn Ali (w. 1250 H), Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-
Haqq min Tim al ushl, Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyyah, 1994.
Audah, Jasser, Al-Maqasid Untuk Pemula, alih bahasa ‘Ali ‘Abdelmon’im
Yogyakarta: SUKA Press UIN Sunan Kalijaga, 2013.
, Membumikan Al Qur’an melalui Maqasidus Syariah, Terj Rosidin
dan Ali Abd el Munim, Bandung: Mizan, 2015.
Az-Zuhaili, Wahbah, Usul al-Fiqh al-Iskami, Juz II , Beirut: Dar al-Fikri al-
Muasir, 1986.
Page 88
79
Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2007
Baltaji, Muhammad, Metodologi Ijtihad Umar Bin Khattab, Kairo-Mesir: Dar As-
Salam, 2003.
Bambang, Waluyo , Penelitian Huk um Dalam Prak tik , Cet. Keempat
Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
DIRJEN Bimbaga Islam, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, bagian
Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, Jakarta: Departemen Agama
RI, 2003
Djalil, Basiq, Ilmu Ushul Fiqh satu dan dua, Jakarta: Kencana,2010.
Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majlid Tarjih Muhammadiyah, Jakarta:
Logos Publishing House, 1995
Fatah, Abdul, Menggugat Istinbath Hukum Ibnu Qayyim, Semarang: Pustaka
zaman, 2007.
Gunawan, Wijadja, Penanggungan utang dan perikatan tanggug menanggung,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Hasanuddin, Fikih Muamalah Maliyyah:Akad Tabarru’, Bandung:Simbiosa
Rekatama Media, 2017
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.
Iskandar Usman, Istihsan dan pembaharuan dalam Islam, (Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada, 1994)
Karim, Adiwarman A., Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta:
Gema Insani, 2001
Kasmir, Manajemen Perbankan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Lathif, Azharudin, Fiqh Muamalat, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2011
Page 89
80
Mardani, Dr, Fiqh Ekonomi Syariah:Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana, 2012.
Mubarok, Jaih dan Hasanudin, Fiqih Muamalah Maliyah:Akad Tabarru,
Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2017.
Mughits, Abdul, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, Jakarta: Kencana, 2008.
Mustafa, Imam, Fiqh Muamalah Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2016.
Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis (Studi
Perbandingan Hukum Islam), Terj Yudian Wahyuni Salim dkk,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991
Peter, Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2005
Salim, H., Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: PT Raja
Grafindo persada, 2004.
Salim, Syaikh, Syarah Riyadhush Shalihin, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i,
2005.
Satri, Effendi, Ushul fiqh, Jakarta: Kencana, 2011.
Shiddieqy, Hasbi Ash, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Soedewi, Sri, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan
Jaminan Perorangan, Jogjakarta: Liberty offseta, 2001.
Subekti., Jaminan-jaminan untuk pemberian kredit Menurut Hukum Indonesia,
Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1999.
Sugianto, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2012
Supriyadi, Dedy, Sejarah Hukum Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2010
Syamsul, Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,
2007.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh 2, Jakarta: Kencana, 2011.
Zahrah, Abu, Ushul Fiqh, Saefullah Ma’shum dkk, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005
Page 90
81
Zainuddin, Ali, Metode Penelitian Hukum , Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Penelitian
Ashofatul, Lailiyah, Urgansi Analisa 5C Pada Pemberian Kredit Perbankan
Untuk Meminimalisir Resiko,Jurnal Yuridika, Vol. 29 No. 2, Mei-Agustus,
2014.
Ayief, Fathurrahman, Meninjau Ulang Landasan Normatif Perbankan Syariah di
Indonesia, Jurnal Al Mawarid, Vol XI No.1 Februari-Agustus 2010.
Aziz, Abdul dan Retina Sri, Riba Dalam Perspektif Fiqih Muamalah dan teori
Bunga Atas Produk Lembaga Keuangan Konvensional, MPRA Paper No.
88079, Juli 2018.
Cahya, Tri Bayu, Kilas Kebijakan Good Corporate Governance Pada Perbankan
Syariah, LA Riba Jurnal Ekonomi Islam, Vol. VII No.3, Juli, 2013
Gayo, Ari Akhyar, Dinamika Legislasi Hukum Islam: Analisa Atas Upaya
pembentukan hukum perikatan syariah, Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No.
3, Desember 2015.
Hidayatina, Tinajuan hukum Islam tentang pelaksanaan pinjaman dengan jaminan
emas pada pembiayaan mulia di pegadaian syariah, Jurnal Ilmiah Syariah
Vol.15, No. 1, Januari-Juni 2016.
Ibrahim Taswan dan Ragimun, Moral Hazard dan Pencegahannya Pada Industri
Perbankan Di Indonesia, Peneliti pada Pusat Kebijakan Ekonomi Mikro
Badan Kebijakan Fiskal
Karimatul, Ummah, Pengembangan Konstruksi Metodologi Hukum Silam bagi
Perubahan Masyarakat Indonesia, Jurnal Hukum, Vol. 11 No. 25, Januari,
2014.
Laporan Tahunan PT Jaminan Pembiayaan Askrindo Syariah, 2015
Majdid, Abd., Ijtihad dan Relevansinya Dalam Pembaharuan Pemikiran Hukum
Islam:Studi Atas Pemikiran Yusuf Al-Qardawi, Jurnal Penelitian Agama,
Vol. XVII, No. 2, Mei-Agustus, 2008.
Page 91
82
Maulidi, “Paradigma Progresif dan Maqashid Syariah:Manhaj Baru Menemukan
Hukum Responsif ”, dalam Jurnal Asy-Syir’ ah, Volume 49, No 1, Juni,
2015.
Muzaki, AH, Studi Analisis Pendapat Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy
Tentang keharusan Ijab Qabul dengan Lisan, Skripsi S-1 Fakultas
Syariah, Institut Islam Negeri Wali Songo Semarang, 2009.
Nurdhin, Baroroh, Metamorfosis “illat hukum” dalam sad az-Dariah dan Fath
ad-Dzariah (sebuah kajian perbandingan, Al-Mazahib Vol.5 No. 2,
Desember, 2017.
Ratih, Cok Istri, Tanggung Jawab Penjamin Terhadap Debitur Yang Tidak Dapat
Memnuhi Prestasi Kepada Kreditur, (Ringkasan Skripsi S-1 Hukum
Bisnis Fakultas Hukum, Universitas Udayana
Siti, Maryama, Kendala Usaha Mikro Dalam Mengakses Kredit Usaha Rakyat
(KUR), Jurnal Liquidity, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni, 2015.
Siti, Aisiyah, Indikasi Moral Hazard Pada Pembiayaan Mudharabah, Jurnal
Dinamika Ekonomi dan Bisnis, Vol 14 No. 1, Maret, 2017.
Supaijo, Aspek-aspek Hukum Perdata Dalam Penyaluran Kredit Perbankan
Kepada Masyarakat, Jurnal ASAS, Vol.3, No.1, Januari 2011
Sulaeman, Faruk, Analisis Sadd Az zari’ah Terhadap Pelarangan Dana Talangan
Haji Oleh Kementrian Agama Republik Indonesia, Skripsi S-1 Fakultas
Syariah, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2013.
Yasar, Datul Maymunah, Analisis Sadd Adh Dhari’ah Terhadap Ketentuan PBI
13/23/2011 Tantang Penerapan Manajemen Risiko Bank Umum Syariah
dan Unit Usaha Syariah. Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2014.
Zaidah,Yusna, Model Hukum Islam:Suatu Konsep Metode Penemuan Hukum
melalui Pendekatan Ushuliyyah, Jurnal Syariah: Jurnal Ilmu Hukum dan
Pemikiran Vol. 17, No. 2, Desember, 2017.
Page 92
83
Peraturan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Penjaminan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
KEP-20 /D.I.M.EKON/11/2010 Tentang Standar Operasional Dan Prosedur
Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat
PerMen Koord Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017
tetang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor: 11/110/Kep.Dir/UPPB Tentang
pemberian Jaminan oleh Bank dan Pemberian Jaminan oleh Lembaga
Keuangan non-Bank
Lampiran SE BI No. 5/26/BPS Tentang Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah
POJK No. 6/POJK.05/2014 Tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga
Penjaminan
Fatwa DSN MUI No.74/DSN-MUI/I/2009 Tentang Penjaminan
Fatwa DSN MUI No: 11/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Kafalah
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Internet
Pemerintah akan terus berupaya meningkatkan akses pembiayaan UMKM diakses
pada tanggal 1 Juli 2018 dari https://ekon.go.id/berita/view/peningkatan-
peranan.3871.html
Wawancara
Pak Fajrian Septiawan, Supervisior BJB Syariah Ciputat, Interview pribad,
Ciputat, 23 Juli 2018
Page 93
84
LAMPIRAN-LAMPIRAN