Top Banner
KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN POSITIF SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh : ANDI SITTI HR CHAERUNNISA NIM. 11140460000002 PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAT) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M
97

KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

Jun 05, 2019

Download

Documents

duongque
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN

PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN POSITIF

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

ANDI SITTI HR CHAERUNNISA

NIM. 11140460000002

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAT)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2019 M

Page 2: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

i

KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN

PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN POSITIF

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

ANDI SITTI HR CHAERUNNISA

NIM. 11140460000002

Pembimbing :

NIP. 196912161996031001

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAT)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2019 M

Page 3: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

ii

Page 4: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 2 Januari 2019

Andi Sitti HR Chaerunnisa

Page 5: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

iv

ABSTRAK

Andi Siti HR Chaerunnisa. NIM 11140460000002. Kebijakan Ketidaktahuan

Nasabah Atas Perjanjian Penjaminan Syariah Menurut Hukum Islam dan

Positif. Program Studi Hukum Ekonomi Islam (Muamalat), Fakultas Syariah dan

Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2008 M.

Iv + 83 halaman + 25 lampiran.

Studi ini bertujuan untuk menjelaskan tinjauan Hukum Islam dan Positif dengan

menggunakan metode Sadd Al-Dzari’ah dan KUHPerdata terhadap ketidaktahuan

nasabah atas perjanjian penjaminan syariah yang dilaksanakan berdasarkan

ketentuan POJK Nomor 6/POJK.05/2004 Tentang Penyelenggaraan Usaha

Lembaga Penjaminan bahwa nasabah diwakilkan oleh penerima jaminan untuk

melakukan permohonan penjaminan. Berdasarkan sumber data primer yang

dilakukan berupa wawancara pada Bank BJB Syariah Cab. Ciputat, bahwa

nasabah tidak dilibatkan atas perjanjian penjaminan yang dilakukan antara

Perbankan dan Penjamin. Berdasarkan hal tersebut, ketidaktahuan nasabah ini

akan berpotensi pada risiko karena tidak terpenuhinya asas perjanjian.

Penelitian ini menggunaka metode penelitian kualitatif, mempunyai jenis

penelitian hukum normatif dan library reasearch dengan melakukan pengkajian

terhadap undang-undang, buku-buku, dan kitab-kitab fikih yang berkaitan dengan

judul skripsi.

Hasil penelitian menurut ketentuan dalam KUHPerdata bahwa ketidaktahuan

nasabah atas perjanjian penjaminan adalah dibolehkan berdasarkan ketentuan

pada Pasal 1823 dan 1316 KUHPerdata. Dan menurut hukum Islam merupakan

upaya untuk menghindari tindakan-tindakan oleh nasabah yang dapat merugikan

pihak perbankan. Hal tersebut selaras dengan kewajiban perbankan untuk

menerapkan prinsip kehati-hatian atas tindakan moral hazard yang dilakukan oleh

nasabah. Menurut analsis menggunakan Sadd Al-Dzari’ah, tidak dilibatkannya

nasabah merupakan wasilah dengan menutup jalan agar melindungi para pihak

dari fasad berupa tindakan moral hazard yang merupakan bagian dari dharar.

Oleh karenanya jika nasabah mengetahui adanya jeminan atas pembiayaannya,

akan lebih besar unsur mudharat dibanding maslahah yang ditimbulkan.

Kata Kunci : Sadd Al-Dzari’ah, Perjanjian Penjaminan, KUHPerdata

Pembimbing : Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A.

Daftar Pustaka : Tahun 1991 s.d 2018

Page 6: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

v

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala

yang telah memberikan berkah, rahmat, dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga

penulis diberikan kemudahan untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Kebijakan Ketidaktahuan Nasabah Atas Perjanjian Penjaminan Syariah Menurut

Prinsip Sadd Al-Dzari’ah”. Shalawat serta salam tak lupa tercurah kepada

junjungan kita, Nabi Muhammad SAW.

Skripsi ini penulis persembahkan seutuhnya untuk motivator terbesar

sepanjang perjalanan hidup penulis, terkhusus kedua orang tua tercinta, Ayahanda

(Almarhum) Andi Koro dan Ibunda (Almarhumah) Nurwana Rahman beserta

saudara tercinta Andi Akbar, orang tua atau paman dan bibi yang terhormat dan

tercinta, Nasrullah Hafid dan Dian Ekawati yang telah mendidik dan memberi

motivasi penulis sejak kecil hingga saat ini dan tiada lelahnya selalu memberi

semangat, motivasi, bimbingan, dukungan, kasih sayangnya, dan do’a-do’a yang

diberikan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan rahmat

dan kasih sayangnya kepada mereka semua.

Selama proses penulisan skripsi ini, sedikit banyaknya hambatan dan

kesulitan yang penulis hadapi, atas berkat rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan

dukungan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Dengan demikian, sudah sepatutnya penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

tak terhingga kepada seluruh pihak yang telah membantu, khususnya :

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan sekaligus selaku

dosen pembimbing yang sangat memberikan semangat dan dukungan sejak

awal bimbingna hingga penulis menyelesaikan skripsi ini. Beliau yang sangat

memiliki sikap ramah dan rendah hati serta sabar sehingga bmbingan skripsi

yang telah dijalani selama ini tidak terasa berat atas arahan dan motivasi dari

Page 7: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

vi

Beliau. Semoga Bapak senantiasa selalu dalam lindungan Allah Subhanahu

wa Ta’ala.

3. AM. Hasan Ali, M.A., selaku Ketua dan Dr. Abdurrauf, Lc., M.A., selaku

Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah yang telah memberikan

arahan dan saran yang terbaik bagi mahasiswanya.

4. Seluruh staf pengajar pada lingkungan Program Studi Hukum Ekonomi

Syariah Fakultas Syriah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada

penulis dan telah menginspirasi penulis untuk selalu belajar.

5. AH. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H. selaku dosen yang selalu memberi

inspirasi dan semangat kepada segenap mahasiswa/i prodi Hukum Ekonomi

Syariah khususnya kepada penulis secara pribadi.

6. Segenap jajaran Staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah

dan Hukum dan Perpustakaan Utama, terutama yanng telah membantu

penulis dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.

7. Pak Fajrian Septiawan selaku Account Officer Ritel pada Bank BJB Syariah

Ciputat, yang telah bersedia meluangkan waktu sebagai narasumber dalam

wawancara untuk memberikan data dan informasi kepada penulis demi

kelancaran penyusunan skripsi ini.

8. Keluarga dan sahabat-sahabat C.O.I.N.S yang selalu memberi motivasi dan

saran keilmuan kepada penulis selama berjalannya perkuliahan.

9. Sahabat Khalifah Lummi dan sahabat-sahabat kajian New Forward (Farihah,

Desya, Aisyah, Kholid, Alen, Fahmi F, Fauzan, Sami, dan Adam). Terima

kasih telah selalu mengingatkan, memberi semangat, memberi support,

hiburan, dan saran keilmuan kepada penulis selama perkuliahan hingga

terselesaikannya skripsi ini. Semoga silaturahim dapat terus terjalin.

10. Sahabat sahabat GenBI (Generasi Baru Indonesia) yang memberi motivasi,

diskusi, dan pengalaman berorgaisasi kepada penulis.

11. Sahabat-sahabat yang selalu ada sejak awal perkuliahan khsusnya di kelas A

dan umumnya angkatan 2014 Hukum Ekonomi Syariah. Sahabat yang selalu

Page 8: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

vii

menemani, dan selalu berbagi suka dan duka, sahabat yang selalu setia, serta

kenangan indah yang penulis tidak dapat lupakan bersama kalian semua.

Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan dukungannya,

limpahan do’a dan semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah Subhanahu wa

Ta’ala.

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis

khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran

yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempuranaan skripsi ini.

Ciputat, 2 Januari 2018

Penulis

Page 9: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii

ABSTRAK ............................................................................................................ iv

KATA PENGANTAR ........................................................................................... v

DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ......................................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .................. 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 11

D. Telaah Pustaka ........................................................................ 12

E. Metode Penelitian ................................................................... 14

F. Sistematika Penulisan ............................................................. 16

BAB II SADD AL-DZARI'AH

A. Pengertian Sadd Al-Dzari’ah .................................................. 18

B. Macam-macam Sadd Al-Dzari’ah .......................................... 25

C. Dasar hukum Sadd Al-Dzari’ah ............................................. 28

D. Kedudukan Sadd Al-Dzari’ah dalam Hukum Islam ............... 31

BAB III PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH

A. Gambaran Umum Tentang Kafalah ....................................... 38

B. Penjaminan Menurut Hukum Positif (Borgtocht) .................. 41

C. Dasar Hukum Penjaminan Pembiayaan ................................. 44

D. Penjaminan Sebagai Bentuk Kehati-hatian Penyaluran

Pembiayaan ............................................................................ 49

Page 10: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

ix

BAB IV KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS

PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT

PRINSIP SADD AL-DZARI’AH

A. Penggunaan Metode Sadd Al-Dzari’ah dalam

Konteks Ekonomi ................................................................... 57

B. Analisis Prinsip Sadd Al-Dzari’ah dan KUHPerdata Atas

Ketidaktahuan Nasabah Dalam Pelaksanaan Perjanjian

Penjaminan Syariah ............................................................... 62

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ................................................................................. 75

B. Saran ....................................................................................... 77

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 78

LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 84

1. Surat permohonan Data Wawancara ke Bank BJB Syariah Ciputat

2. Hasil wawancara dengan Occount Officer Bank BJB Syariah Ciputat

3. Peraturan-Peraturan

4. Dokumentasi gambar melakukan wawancara

Page 11: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Usaha Mikro, Kecil dan Menengah merupakan kegiatan usaha yang

mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan dampak serta berperan

penting dalam peroses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat

yang akan mencapai tujuan stabilitas nasional. Demi mewujidkan amanat

Undang-Undang UMKM dan didukung oleh UMKM yang berupaya

mempertahankan eksistensinya atau untuk mengembangkan usahanya, maka

perlu adanya pemberdayaan terhadap UMKM tersebut. Sesuai dengan

pernyataan Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Kementiran

Koordinator Bidang Perekonomian, Iskandar Simorangkir bahwa pemerintah

akan terus berupaya meningkatkan akses pembiayaan UMKM dengan

lembaga keuangan dengan pola penjaminan dan pembiayaan Kredit Usaha

Rakyat (KUR).1

Kredit usaha rakyat atau KUR adalah kredit atau pembiayaan modal

kerja terhadap usaha individu atau badan usaha yang produktif dan layak

namun belum memiliki agunan tambahan atau belum mencukupi persyaratan

pembiayaan dari lembaga keuangan yang menyalurkan pembiayaan baik

dengan prinsip konvensional maupun syariah. Program KUR memiliki tujuan

untuk meningkatkan akses perbankan yang bukan hanya bisa memberi

pembiayaan terbatas pada usaha yang berskala besar, tapi juga bisa

menjangkau UMKM seperti usaha rumah tangga, dan jenis usaha mikro lain

yang bersifat informal dan mempercepat pengembangan sektor riil.2

1 https://ekon.go.id/berita/view/peningkatan-peranan.3871.html diakses pada tanggal 1

Juli 2018 pukul 10.37 WIB

2 Siti Maryama, Kendala Usaha Mikro Dalam Mengakses Kredit Usaha Rakyat (KUR),

Jurnal Liquidity, IV, 1, (Januari-Juni, 2015), h.,83.

Page 12: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

2

Dalam peraturan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Nomor 11

Tahun 2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat pada pasal

12 Agunan KUR terdiri atas agunan pokok yaitu usaha atau obyek yang

dibiayai dan agunan tambahan bersifat tidak wajib bagi pembiayaan KUR

mikro dan tanpa perikatan. Sedangkan sebagian besar permasalahan bagi

UMKM dalam memperoleh pembiayaan adalah tidak terpenuhinya agunan.

Sehingga dengan peraturan tersebut UMKM yang mengajukan pembiayaan

mikro tidak lagi mengalami kendala.

Perbankan syariah di Indonesia sebagai pihak yang menyalurkan dana,

setiap pelaksanaan aktifitas internal harus berpangkal pada asas tujuan

perbankan syariah yang ditetapkan undang-undang. Asas tersebut

mengamanahkan perbankan syariah untuk melakukan kegiatan usahanya

dengan prinsip syariah, prinsip kehati-hatian, dan demokrasi ekonomi. Diatur

pula oleh Bank Indonesia Nomor 11/33/PBI/2009 mengatur tentang Good

Corporate Governance (GCG) untuk bank syariah menekankan organisasi

perusahaan menerapkan mekanisme manajemen resiko, pengendalian

internal, dan kepatuhan. Para ahli ekonomi melihat kedudukan manajemen

resiko memiliki peran penting pada praktik perbankan syariah.3

Dalam melakukan kontrak pembiayaan yang dilakukan oleh bank dan

nasabah tentu memiliki risiko yang akan dipikul oleh pihak bank. Sehingga

untuk mengantisipasi risiko pembiayaan sebelum kontraknya di setujui oleh

kedua pihak, bank terlebih dahulu menerapkan prinsip kehati-hatian dengan

melakukan penilaian guna mengurangi risiko yang akan timbul dikemudian

hari. Pelaksanaannya diwujudkan dengan melaksanakan kriteria-kriteria

yanng dinamakan prinsip 5C yaitu Character, Capacity, Capital, Colateral,

dan Condition selain itu dalam penilaian bank dikenal juga dengan metode 7P

3 Bayu Tri Cahya, Kilas Kebijakan Good Corporate Governance Pada Perbankan

Syariah, LA Riba Jurnal Ekonomi Islam, Vol. VII No.3, (Juli, 2013), h.,17.

Page 13: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

3

yaitu Party, Purpose, Prospect, Personality, Payment, Profitability,

Protection.4

Berdasarkan asas-asas tersebut, salah satu bentuk perlindungan yang

diupayakan oleh perbankan dapat berupa jaminan barang, jaminan perorangan

ataupun asuransi. Namun terdapat salah satu perbedaan pada peraturan

penyaluran pembiayaan dengan pembiayaan oleh perbankan syariah dengan

skema KUR yang dalam ketentuannya tidak mewajibkan adanya jaminan

tambahan. Sehingga peran penting dari diterapkannya prinsip kehati-hatian

dengan lebih memperhatikan kelayakan nasabah.

Hingga saat ini ketidak hatian-hatian bank dalam menyalurkan dana

pihak ketiga atau pembiayaan merupakan kategori tindakan moral hazard.

Secara harfiah moral hazard berarti “jebakan moral”. Moral hazard yang

melanda perbankan di Indonesia yang berakibat pada krisis moneter pada

tahun 1998, membuat fundamental industri perbankan rapuh. Moral hazard

dalam dunia perbankan dapat terjadi diakibatkan oleh dua pihak, yaitu akibat

oleh perbankan dan akibat oleh nasabah. Moral hazard pada tingkat bank

terjadi ketika bank syariah tidak berhati-hati dalam menyalurkan dana atau

ketidak patuhan bank syariah terhadap prinsip-prinsip syariah. Sedangkan

moral hazard pada nasabah umumnya akibat dari pembiayaan yang diberikan

dalam bentuk profit loss sharing. Pembiayaan yang tidak mensyaratkan

jaminan dan juga memberikan hak penuh kepada nasabah untuk mengelola

dana, akan mengakibatkan pembiayaan tersebut rentan terhadap tindakan

moral hazard.5

Permasalahan moral hazard debitur atau nasabah terhadap bank juga

disebabkan karena asimetri informasi setelah perjanjian dilakukan. Hal ini

terjadi karena nasabah dapat memperoleh keuntungan untuk mengalihkan

dana pembiayaan yang diperolehnya pada pemanfaatan dana yang tidak

4 Ashofatul Lailiyah, Urgansi Analisa 5C Pada Pemberian Kredit Perbankan Untuk

Meminimalisir Resiko,Jurnal Yuridika, XXIX, 2, (Mei-Agustus,2014), h.,224.

5 Siti Aisiyah, Indikasi Moral Hazard Pada Pembiayaan Mudharabah, Jurnal Dinamika

Ekonomi dan Bisnis, XIV, 1, (Maret, 2017), h.,74.

Page 14: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

4

dikehendaki oleh bank.6 Moral hazard juga dapat terjadi akibat dari lembaga

perbankan yang melakukan transfer risiko pembiayaan melalui penjaminan

pembiayaan dengan dalih jaminan untuk debitur akibat tidak terpenuhinya

jaminan kepada kreditur. Tujuan penjaminan pembiayaan adalah atas

kepentingan terjamin dari sisi penggantian agunan dan kepentingan penerima

jaminan dalam menyalurkan pembiayaan. Dengan adanya penjaminan

pembiayaan, pihak debitur akan berupaya mendapatkan pinjaman yang

beresiko tinggi dan kegagalan pembayarannya akan ditanggung oleh lembaga

penjaminan.7

Institusi penjamin pembiayaan syariah sebagai salah satu mitra strategis

lembaga keuangan syariah dalam menjalankan usahanya menyalurkan

pembiayaan kepada nasabah. Perjanjian yang subjek hukumnya melibatkan

tiga pihak antara lain penjamin, penerima jaminan dan terjamin, p enjamin

dalam proses penjaminan syariah adalah lembaga penjaminan pembiayaan

syariah. Penerima jaminan adalah bank syariah yang telah bekerja sama

dengan Penjamin, dan Terjamin adalah nasabah atau debitur pembiayaan

bank syariah tersebut.

Tujuan dari adanya lembaga penjamin pembiayaan syariah adalah untuk

memberikan dana talangan terhadap keadaan ketidak mampuan pembayaran

kewajiban nasabah kepada lembaga keuangan syariah yang disebabkan oleh

terjamin dalam ketentuan yang disyaratkan sepanjang tidak mengandung

unsur Fraud, Fiktif, dan Sidestreaming dimana nantinya bila telah

dilaksanakan kewajiban dalam hal ta’widh atau pembayaran dana klaim oleh

lembaga penjamin pembiayaan, maka selanjutnya akan timbul hak subrogasi

6 Taswan Ibrahim dan Ragimun, Moral Hazard dan Pencegahannya Pada Industri

Perbankan Di Indonesia, Peneliti pada Pusat Kebijakan Ekonomi Mikro Badan Kebijakan Fiskal,

h.,16.

7 Taswan Ibrahim dan Ragimun, Moral Hazard dan Pencegahannya Pada Industri

Perbankan Di Indonesia, Peneliti pada Pusat Kebijakan Ekonomi Mikro Badan Kebijakan Fiskal,

h.,18.

Page 15: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

5

yang berasal dari agunan atau cicilan yang tetap menjadi kewajiban nasabah

kepada lembaga keuangan syariah.8

Pelaksanaan penjaminan syariah ini diatur dalam beberapa kebijakan

yaitu, Fatwa DSN-MUI No.74/DSN-MUI/I/2009 tentang penjaminan syariah,

Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2016 Tentang Penjaminan.

Pada dasarnya, akad perjanjian penjaminan syariah menggunakan ketentuaan

umum Kafalah yang diatur dalam Fatwa No. 11/DSN-MUI/IV/2000 dan

penjaminan syariah menggunakan akad Kafalah bil ujrah yang bersifat

mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.9 Selain itu juga

pelaksanaan Lembaga Penjaminan Syariah diatur dalam POJK No.

6/POJK.05/2014 untuk pengaturan kegiatan usaha yang dilakukan

perusahaan penjaminan syariah yaitu melakukan penjaminan dengan

menanggung pembayaran atas kewajiban finansial terjamin kepada penerima

jaminan apabila terjamin tidak dapat memenuhi kewajibannya.

Jamnan pembiayaan mempunyai peranan penting bagi pengamanan dana

LKS yang telah disalurkan kepada nasabah sebagai upaya yang dapat

dilakukan atas resiko gagal bayar dari nasabah. Lembaga penjaminan syariah

sebagai Personal Guarantee atau Corporate Guarantee, dengan adanya

penanggung tersebut maka kreditur akan mempunyai kedudukan hukum yang

lebih kuat. Dengan demikian perjanjian jaminan perorangan diadakan bukan

untuk kepentingan debitur saja tapi juga untuk kepentingan kreditur.

Dalam Undang-undang Penjaminan diatur dua jenis penjaminan yaitu

penjaminan langsung dan penjaminan tidak langsung. Pada penelitian ini

penulis akan fokus pada bentuk perjanjian penjaminan tidak langsung dengan

persyaratan sebagai berikut:10

1. Telah dilakukan analisis kelayakan calon terjamin yang dilakukan oleh

calon penerima jaminan

8 Laporan Tahunan 2015 PT Jaminan Pembiayaan Askrindo Syaria.

9 Fatwa DSN No.74/DSN-MUI/I/2009 Tentang Penjaminan Syariah

10 POJK No. 6/POJK.05/2014 tentang pelaksanaan Lembaga Penjaminan Syariah

Page 16: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

6

2. Terdapat permohonan penjaminan dari calon terjamin melalui penerima

jaminan

3. Terdapat perjanjian kerjasama antara penerima jaminan dan perusahaan

penjamin syariah

4. Telah dilakukan pembayaran IJK (Imbal Jasa Kafalah) kepada

perusahaan penjaminan syariah

5. Telah diterbitkan sertifikat penjaminan

Pada peraturan tersebut terjadi modifikasi pada bentuk perjanjian dalam

hal permohonan penjaminan diwakilkan oleh penerima jaminan. Namun

menurut KHES tentang Akad Kafalah pasal 293 ayat 1 “Peminjam atau

terjamin harus dikenal oleh penjamin dan terjamin sanggup menyerahkan

jaminannya kepada penjamin”.11 Selain itu diatur pula dalam ketentuan

rukun dan syarat akad Kafalah pada Fatwa DSN No. 11/DSN-MUI/IV/2000

bahwa “pihak terjamin sanggup menyerahkan tanggungannya kepada

penjamin dan terjamin dikenal oleh penjamin”.

Dalam hukum Islam, penjaminan berupa jaminan perorangan yaitu suatu

perjanjian antara yang memberikan utang dengan pihak ketiga sebagai

penjamin yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban pihak yang

berutang.12 Pengertian lain mengatakan bahwa kafalah adalah jaminan dari

penjamin (pihak ketiga), baik berupa jaminan diri maupun harta kepada

pihak kedua sehubungan dengan adanya hak dan kewajiban pihak kedua

tersebut kepada pihak lain (pihak pertama).13

Perjanjian kafalah dilakukan antara kafil (penjamin) dan ashil (terjamin

atau makful’ anhu). Akad kafalah dilakukan atas utang milik terjamin yang

sudah tidak mempunyai kemampuan untuk membayar kewajibannya. Pada

11 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Buku II

12 Soebekti, Jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia

(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), h.,15.

13 Destri Budi, Analisis Fatwa DSN Tentang Wakalah, Hawalah, dan Kafalah Dalam

Kegiatan Jasa Perusahaan Pembiayaan Syariah, Jurnal Media Hukum, XXIV, 2 (Desember,

2017), h.,134.

Page 17: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

7

ketentuannya dijelaskan bahwa akad kafalah dalam pandangan jumhur ulama

tidak mengakibatkan pihak yang berutang atau terjamin bebas dari kewajiban

untuk membayar utangnya. 14

Pada ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang

Penjaminan diatur bahwa pengajuan klaim oleh penerima jaminan atau

dalam hal ini pihak pemberi utang kepada perusahaan penjamin dapat

dilakukan apabila terjamin gagal memenuhi kewajiban finansialnya. Jika

dilihat dalam ketentuan KUR diatur pula pada Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 135/PMK.05/208 tentang Fasilitas Penjaminan Kredit Usaha Rakyat

pasal 5 ayat (4) menentukan: “Persentase jumlah penjaminan

kredit/pembiayaan yang dijaminkan kepada Perusahaan Penjaminan

sebesar 70% dari kredit atau pembiayaan yang diberikan Bank Pelaksana

kepada UMKM”. Sejak klaim dibayar oleh penjamin, hak tagih penerima

jaminan kepada terjamin beralih menjadi hak tagih perusahaan penjaminan.

Pada ketentuan selanjutnya perusahaan penjamin dapat membuat perjanjian

dengan penerima jaminan agar penerima jaminan melakukan upaya

penagihan atas hak tagih tersebut.

Berdasarkan penelitian awal yang dilakukan pada Bank BJB Syariah,

untuk menerapkan manajemen risiko Bank BJB Syariah melakukan

kerjasama dengan lembaga penjaminan pembiayaan yaitu Jamkrinda dengan

tujuan mengcover utang nasabah yang wanprestasi dan berkedudukan

sebagai terjamin. Namun, terjamin tidak dilibatkan dalam perjanjian

penjaminan pembiayaan tersebut sehingga dapat disimpulkan nasabah atau

terjamin tidak mengetahui adanya penjaminan pembiayaan yang dilakukan

oleh pihak perbankan syariah.15

Jika fokus pada resiko dalam perjanjian akan terjadi jika proses perikatan

para pihak tidak memenuhi ketentuan hukum yang berlaku dan tidak

14 Hasanuddin, Fikih Muamalah Maliyyah:Akad Tabarru’ (Bandung: Simbiosa Rekatama

Media,2017), h.,200.

15 Pak Fajrian Septiawan, Supervisior BJB Syariah Ciputat, Interview pribad, Ciputat, 23

Juli 2018

Page 18: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

8

terlaksananya asas-asas hukum perikatan. Idealnya suatu perjanjian

dilakukan dengan sepengetahuan semua pihak. Kata sepakat merupakan

implementasi dari asas konsensualisme yaitu kesepakatan para pihak untuk

mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, juga tidak

lepas dari asas iktikad baik, serta terpenuhinya asas kebebasan berkontrak

dan asas pacta sun servanda yang diatur secara jelas dalam KUHPerdata

sebagai pedoman dalam perikatan. Selain itu juga dalam ruang lingkup

lembaga keuangan syariah harus patuh pada prinsip-prinsip syariah yang

menjunjung tinggi kemaslahatan.

Sejalan dengan perkembangan transaksi dalam lembaga keuangan di

masyarakat modern ini, berkembang pula jenis resiko dalam melakukan

transaksi keuangan sehingga semakin berpotensi untuk menjadi ancaman

bagi para pihak, juga terhadap transaksi-transaksi yang menerapkan prinsip

syariah. Kenyataan inilah yang mendorong pentingnya mengetahui bentuk

perlindungan hukum dan hubungan hukum yang jelas pihak-pihak yang

terlibat dalam perjanjian penjamian terhadap harapan-harapan sah yang ingin

dicapai melalui transaksi-transaksi yang dilakukan khususnya dalam

mengantisipasi terjadinya resiko-resiko yang dapat menghambat upaya

tersebut.16

Nasabah atau terjamin yang tidak dilibatkan dalam perjanjian penjaminan

antara penerima jaminan dan penjamin adalah salah satu contoh tidak

terpenuhinya asas-asas dalam perjanjian yang melibakan tiga pihak. Namun

ketidak terlibatnya terjamin, merupakan bagian dari upaya bank untuk

menerapkan prinsip kehati-hatian atas dana yang disalurkannya. Apabila

dikaitkan dengan keberadaan Hukum Islam sebagai sistem yang turut

mengendalikan dan mengkontrol setiap perubahan dan perbuatan manusia,17

dan KUH Perdata yang menjadi landsan hukum Positif di Indoensia

16 Akhyar Ari Gayo, Dinamika Legislasi Hukum Islam: Analisa Atas Upaya pembentukan

hukum perikatan syariah, Jurnal RechtsVinding, IV, 3, (Desember,2015), h.,486.

17 Karimatul Ummah, Pengembangan Konstruksi Metodologi Hukum Silam bagi

Perubahan Masyarakat Indonesia, Jurnal Hukum, XI, 25 (Januari,2014), h.,119.

Page 19: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

9

khususnya dalam konteks hubungan hukum ant ara hubungan keperdataan.

Sehingga dalam konteks tidak dilibatkannya terjamin tersebut merupakan

produk pemikiran manusia terhadap suatu kondisi dan persoalan namun tetap

harus dijaga relevansinya dengan kehendak dan pedoman hukum Islam dan

juga tetap merujuk pada hukum positif.18

Penerapan prinsip kehati-hatian sebagai suatu upaya untuk terlindung

dari tindakan yang diduga keras akan menimbulkan kerusakan, maka

dilaranglah hal-hal yang mengarahkan kepada perbuatan terlarang tersebut.

Untuk menjaga relevansinya dengan pedoman Hukum Islam, salah satu

metode yang digunakan adalah Sadd Al-Dzari’ah merupakan sebuah metode

penggalian hukum dalam Hukum Islam dengan cara menutup jalan yang

membawa kepada kebinasaan (bahaya) atau kejahatan (hal yanng dilarang).19

Maka penulis menganalisis menurut hukum positif dan juga menggunakan

Sadd Al-Dzari’ah untuk mengetahui bagaimana metode tersebut menjadi

landasan dibolehkannya ketidaktahuan nasabah atas perjanjian penjaminan.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, Penulis

tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: Kebijakan

Ketidaktahuan Nasabah Atas Perjanjian Penjaminan Syariah Analisis

Menurut Hukum Islam dan Positif

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Seperti yang telah dijelaskan dalam latar belakang, terdapat beberapa

permasalahan yang Penulis temukan yaitu :

a. Nasabah pembiayaan mikro khususnya KUR dalam peraturan Mentri

Koordinator bidang Perekonomian Nomor 11 tahun 2017 tentang

pedoman pelaksanaan kredit usaha rakyat tidak mewajibkan jaminan

tambahan dan tidak diikat.

18 Karimatul Ummah, Pengembangan Konstruksi Metodologi Hukum Silam bagi

Perubahan Masyarakat Indonesia, Jurnal Hukum, XI, 25 (Januari,2014), h.,114.

19 Satria Effendi, Ushul fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), h.,33.

Page 20: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

10

b. Tidak terpenuhijnya jaminan, bertentangan dengan prinsip kehati-

hatian bank dalam menyalurkan dana pihak ketiga melalui

pembiayaan.

c. Dalam ketentuan GCG (Good Coorporate Gofernance) bagi

Perbankan untuk menerapkan manajemen risiko salah satunya dalam

bentuk penjaminan pembiayaan

d. Untuk mengcover dana pembiayaan, Bank BJB Syariah melakukan

kerjasama dengan PT Jamkrindo Syariah dan Jamkrinda.

e. Dalam ketentuan penjaminan pembiayaan, akad yang diterapkan

adalah Akad Kafalah bil Ujrah atau yang dalam KUHPerdata

dikenal dengan Borgtocht.

f. Berdasarkan peraturan perjanjian penjaminan syariah, salah satu

bentuk perjanjiannya terdapat modifikasi berupa penjaminan tidak

langsung. Dalam hal ini penerima jaminan mewakilkan terjamin

untuk memohon jaminan atas pembiayaannya.

g. Penjamin dan Bank BJB Syariah tidak melibatkan nasabah atas

perjanjian penjaminan pembiayaan.

h. Analisis Sadd Al-Dzari’ah dan KUH Perdata terhadap ketidaktahuan

nasabah atas perjanjian penjamian pembiayaan antara perbankan dan

penjamin.

2. Pembatasan Masalah

Setelah latar belakang dan identifikasi masalah diuraikan, untuk

membuat penelitian ini menjadi lebih terarah, pembatasan masalah perlu

dilakukan. Untuk memfokuskan penelitian dan memudahkan proses analisis,

maka penelitian ini dibatasi hanya membahas tentang :

a. Peraturan pelaksanaan penjaminan pembiayaan yang tidak

melibatkan nasabah secara langsung

b. Analisis Sadd Al-Dzari’ah dan KUH Perdata terhadap ketidaktahuan

nasabah atas perjanjian penjamian pembiayaan antara perbankan dan

penjamin.

Page 21: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

11

3. Rumusan masalah

Bagaimana analisis kebijakan ketidaktahuan nasabah atas perjanjian

penjaminan yang dilakukan kreditur dan penjamin menurut Hukum Islam dan

Hukum Positif?

Untuk menjelaskan rumusan masalah diatas, penulis mengajukan

pertanyaan penelitian, yaitu:

a. Apa faktor-faktor yang menjadi landasan dibuatnya kebijakan

ketidaktahuan nasabah atas penjaminan pembiayaan syariah yang

dilakukan antara kreditur dan penjamin?

b. Bagaimana analisis hukum kebijakan ketidaktahuan nasabah atas

perjanjian penjaminan pembiayaan syariah perspektif Sadd Al-

Dzari’ah dan menurut KUH Perdata?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui untuk mengetahui alasan

hukum ketidaktahuan nasabah atas penjaminan pembiayaan yang dilakukan

oleh kreditur dan penjamin perspektif Sadd Al-Dzari’ah dan KUHPerdasata,

serta mengetahui faktor-faktor dan analisis hukum yang menjadi landasan

konstruksi kebijakan tersebut.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat secara teoritis penelitian ini diharapkan memberikan

sumbangan pemikiran, mengenai alasan hukum penerapan kebijakan

yang dilakukan lembaga keuangan bank yang bekerja sama dengan

pihak penjaminan agar tetap eksis dan sukses dalam

mengembangkan produk dan manajemen usahanya.

b. Manfaat praktis

1) Manfaat bagi akademisi untuk menambah ilmu pengetahuan

serta wawasan mangenai pelaksanaan analisis hukum atas

kebijakan yang dilaksanakan lembaga keuangan syariah.

2) Manfaat bagi lembaga adalah sebagai masukan bagi pihak-pihak

lembaga penjaminan syariah supaya dapat menerapkan

Page 22: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

12

ketentuan hukum sesuai dengan hukum syariah dan memenuhi

segala aspek hukum dalam perjanjiannya

3) Memberikan informasi dan kontribusi dalam pengembangan

lembaga keuangan syariah dan masukan bagi masyarakat terkait

pelaksanaan perjanjian penjaminan syariah.

D. Telaah Pustaka

Telaah pustaka berisi tentang uraian sistematis mengenai hasil-hasil

penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu dan memiliki

keterkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan. Sejauh penelusuran data

yang penyusun lakukan, telah ada pembahasan tetang metode penemuan

hukum menggunakan Sadd Al-Dzari’ah. Demi penelaahan yang lebih

komprehensif, penyusun melakukan telaah pustaka berkaitan dengan

penelitian ini. Beberapa literatur yang penyusun gunakan:

1. Maymunah Datul Yasar Dalam dalam penelitiannya yang berjudul

“Analisis Sadd Al-Dzari’ah Terhadap Ketentuan PBI 13/23/2011

Tantang Penerapan Manajemen Risiko Bank Umum Syariah dan Unit

Usaha Syariah” pada penelitainnya membahas mengenai analisis tentang

Sadd Al-Dzari’ah terhadap 10 risiko dalam ketentuan PBI 13/23/2011

tentang penerapan manajemen resiko bank umum syariah dan unit usaha

syariah, Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa penerapan manajemen

resiko bagi Bank umum syariahd an unit usaha syariah dari bank

konvensional bisa juga diterapkan di dalam manajemen risiko bank

syariah dengan ketentuan proses manajemen risiko harus beroperasional

sesuai dengan prinsip syariah.20 Kesamaan antara penelitian ini dengan

penelitian yang penyusun lakukan adalah memiliki metode yang sama

dalam menganalisis pelaksanaan sebuah kebijakan berdasarkan prinsip

Sadd Al-Dzari’ah. Namun perbandingan terletak pada objek kajian yang

diteliti.

20 Maymunah Datul Yasar, Analisis Sadd Al-Dzari’ah Terhadap Ketentuan PBI 13/23/2011

Tantang Penerapan Manajemen Risiko Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (Skripsi S-1

Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2014)

Page 23: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

13

2. Sulaeman Faaruk “Analisis Sadd Al-Dzari’ah Terhadap Pelarangan

Dana Talangan Haji Oleh Kementrian Agama Republik Indonesia”

penelitian ini menganalisis kebijakan pemerintah dalam melarang

pengadaan dana talangan haji menurut prinsip Sadd Al-Dzari’ah. Hasil

penelitiannya menyimpulkan bahwa akan terjadi dampak negatif oleh

adanya dana talagan haji dibanding dampak positif, sebagaimana kaidah

fiqh: menolak mafsadat (bahaya) lebih utama daripada mengambil

manfaat.21

Kesamaan antara penelitian ini dengan penelitian yang penyusun lakukan

adalah memiliki metode analisis yang sama terkait Sadd Al-Dzari’ah.

Namun perbandingan terletak pada objek kajian yaitu penulis hendak

meneliti pengaturan hubungan hukum dalam ruang lingkup perjanjian

penjaminan.

3. Ayief Fathurrahman dalam jurnal yang berjudul “Meninjau Ulang

Landasan Normatif Perbankan Syariah Di Indonesia (Telaah Atas Teori

Konstruksi Fiqh Klasik)” pada penelitian ini membahas mengenai

diterapkannya perbankan syariah di Indonesia kebanyakan merujuk pada

jenis-jenis transaksi konntrak dalam fiqh klasik dan hasil penelitiannya

menemukan terdapat kondisi yang memunculkan kesulitan-kesulitan

dalam mengkaji permasalahan yang terkait dengan perekonomian

terutama ruang lingkup perbankan dan keuangan, sehingga metorde fiqh

klasik dirasa kurang relevan lagi untuk menjawab problem

kontemporer.22

Kesamaan dengan penelitian sebelumnya adalah membahas ruang

lingkup permasalahan yang terjadi dalam perbankan yang terdapat

21 Sulaeman Faruk, Analisis Sadd Al-Dzari’ah Terhadap Pelarangan Dana Talangan Haji

Oleh Kementrian Agama Republik Indonesia, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah, Institut Agama Islam

Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2013)

22 Ayief Fathurrahman, Meninjau Ulang Landasan Normatif Perbankan Syariah di

Indonesia, Jurnal Al Mawarid, XI ,1 (Februari-Agustus 2010).

Page 24: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

14

pertentangan antara kebijakan dengan asas-asas hukum yang berlaku

dalam kajian hukum Islam.

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini mendasarkan kepada penelitian hukum normatif yang dapat

disebut dengan penelitian hukum doktriner dan disebut juga sebagai

penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian hukum

doktriner, karena penelitian ini dilakukan untuk ditujukan hanya pada

peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Sebagai penelitian

kepustakaan atau studi dokumen disebabkan penelitian ini dilakukan terhadap

data yang bersifat sekunder.23

Penelitian hukum ini dilakukan dengan pendekatan konseptual

(conceptual Approach), dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari

aturan hukum yang ada, pendekatan ini untuk menemukan dan membangun

sebuah konsep untuk dijadikan sebuah acuan didalam penelitian.24

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang

bersifat deskriptif analisis. Penelitian kualitatif yakni penelitian yang

mendasarkan data-data penelitiannya pada data-data kualitatif. Data kualitatif

dapat berupa dokumentasi tertulis, foto/gambar, dan hasil wawancara.25

Penelitian kualitatif bisa menghasilkan informasi yang deskriptif yaitu

memberikan gambaran menyeluruh dan jelas terhadap situasi sosial yang

diteliti.26 Dalam kasus ketidaktahuan nasabah atas perjanjian penjaminan,

yang kemudian dihubungkan dengan konsep Sadd Al-Dzari’ah dan analaisis

menurut KUHPerdata sehingga ditemukan kesimpulan atas konsep

23 Bambang Waluyo, Penelitian Huk um Dalam Prak tik , (Jakarta: Sinar Grafika,

2008, Cet. Keempat), h., 17.

24 Dr.Peter Mahmud, Penelitian Hukum, (Jakarta:Kencana, 2005), h., 177.

25 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Huk um,

(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h., 9.

26 Prof.Dr.Sugianto, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung:Alfabeta, 2012), h., 21.

Page 25: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

15

penjaminan, kebijakan, sehingga ditemukan kesimpulan yang objektif,

logis, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki.

3. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari :27

a. Data Primer

Data yang diperoleh melalui penelitian lapangan yaitu

berupa keterangan-keterangan yang berasal dari pihak-pihak yang

terlibat dalam objek penelitian yang dimaksud untuk lebih memahami

maksud dan tujuan dari data sekunder yang ada. Data primer ini pada

pelaksanaannya hanya berfungsi sebagai penunjang dari data sekunder.

b. Data Sekunder

Data hukum sekunder yaitu semua publikasi tentang hukum yang

merupakan dokumen yang tidak resmi. Yang memiliki kegunaan sebagai

petunjuk kepada peneliti untuk menentukan permasalahan. Bahan

hukum ini dapat menjadi panduan berpikir dalam menyusun argumentasi

yang akan diajukan dalam hasil penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Studi Pustaka

Metode ini dipergunakan untuk mengumpulkan data sekunder, yang

dilakukan dengan cara mencari, menginventarisasi, dan mempelajari

peraturan perundang-undangan, doktrin-doktrin, dan data sekunder

lainnya. Data yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini yaitu Sadd

Al-Dzari’ah, KUHPerdata, konsep penjaminan syariah, dan kepustakaan

lain yang relevan dengan penelitian ini. Pengolahan data studi pustaka

dengan cara dibaca, dikaji, dan dikelompokkan sesuai dengan pokok

masalah yang akan diteliti.

b. Wawancara

Metode ini dipergunakan untuk mengumpulkan data primer, yang

dilakukan dengan cara melakukan wawancara secara bebas dan

27 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum , (Jakarta:Sinar Grafika, 2009), h., 54.

Page 26: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

16

terstruktur, yang dilakukan dengan pihak yang terkait dengan perjanjian

penjaminan yakni Bank BJB Syariah Ciputat. Kemudian hasil

wawancara digunakan untuk menjadi sumber referensi dan memperkuat

data.

5. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah terkumpul dan telah diolah akan dibahas dengan

menggunakan metode normatif kualitatif, yakni suatu pembahasan yang

dulakukan dengan cara menafsirkan dan mendiskusikan data-data yang telah

diperoleh dan diolah berdasark an norma-norma hukum, doktrin, dan teori

hukum Islam yang ada.

Pada penelitian ini, deskriptif analisis dengan jenis penelitian kualitatif

yang akan digunakan untuk menemukan justifikasi hukum atas kebijakan

yang diterapkan dalam perjanjian penjaminan syariah tanpa melibatkan

nasabah berdasarkan doktrin dan norma-norma hukum Islam.

Langkah yang dilakukan dengan mengumpulkan data-data yang

diperlukan dalam penelitian ini, baik data primer dan data sekunder. Setelah

data terkumpul, kemudian dipili kategori mana yang relevan dan mana yang

tidak relevan terhadap penelitian ini. Setelah itu disusun menjadi rancangan

yang sistemis untuk ditampilkan sehingga pada kesimpulan akhir didapatkan

suatu hasil berdasarkan data yang dianalisis.

F. Sistematika Penulisan

Dalam Penelitian ini, penulis membagi sistematika penulisan skripsi

kedalam lima BAB, diantaranya sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan, memuat latar belakang masalah,

identifikasi, batasan masalah dan rumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori,

metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi.

BAB II Kajian Pustaka, penulis menguraikan tentang Sadd

Al-Dzari’ah memuat kajian berdasarkan konsep

pengertian Sadd Al-Dzari’ah, dasar hukum, pendapat

Page 27: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

17

ulama, dan kehujjahan Sadd Al-Dzari’ah.

BAB III Penulis membahas mengenai gambaran umum

tentang penjaminan menurut KUHPerdata dan

Syariah, landasan hukum pelaksanaan dan

pengoperasian Lembaga Penjaminan Syariah, serta

Urgensi Penjaminan dalam menjaga resiko dalam

penyaluran pembiayaan perbankan.

BAB IV Analisis dan Interpretasi Temuan, memuat

pembahasan penelitian berdasarkan atas data-data

yang di analisis.

BAB V

Penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian

yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya dan

rekomendasi yang diharapkan memiliki nilai guna

dan manfaat secara luas

Page 28: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

18

BAB II

SADD AL-DZARI’AH

A. Pengertian Sadd Al-Dzari’ah

Metode Ijtihad sering kali digunakan oleh para ulama untuk menemukan

sumber hukum atas perbuatan manusia dimana metode ijtihad ini digunakan

jika tidak ditemukannya illat hukum yang ada dalam sumber hukum utama

yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Seperti yang dilakukan oleh para Sahabat dalam

berbagai riwayat telah menggunakan lafaz (istilah) maslahat di dalam

penalaran atau proses ijtihad ketika mereka berupaya merumuskan hukum

syara’ (menemukan ketentuan fikih) dengan tujuan untuk mengetahui apa

kemaslahatan yang akan dicpai atau apa kemudharatan yang dapat

dihindarkan dengan penentuan hukum syara’ tersebut.28

Zaman modern saat ini yang dihadapkan pada ilmu dan teknologi,

industri bahkan bioteknologi menjadikan pentingnya metode penalaran untuk

terus dikembangkan yang dimaksudkan untuk menjadikan pemahaman atas

Al-Qur’an dan Sunnah menjadi lebih dekat. Hal ini sesuai dengan pendapat

Al Yasa’ Abubakar yang mengamati secara kritis dalil yang selama ini

dipahami sebagai maslahah mursalah dan metode maqashid al syariah, yanng

kemudian dikembangkan menjadi suatu metode penalaran yang lebih

komprehensif yaitu metode penalaran Istislahiyyah.29

28 Al Yasa’ Abubakar, Metode Istilahihah:Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul

Fiqh, (Jakarta:Kencana,2016), h., 38.

29 Penalaran Istislahiyyah (al Istishlah, al mashalih al mursalah yang diindonesiakan

dengan Istislahiah) adalah kegiatan penalaran terhadap nash (Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah)

yang bertumpu pada penggunaan istilah maslahat dalam upaya untuk (a) menemukan

(merumuskan atau membuat) hukum syara’ dari seuatu masalah dan (b) merumuskan atau

membuat pengertian dari suatu perbuatan (perbuatan hukum). Al Yasa’ Abubakar, Metode

Istilahihah:Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana,2016), h., 33.

Istislahiyyah adalah ijtihad terhadap masalah-masalah yang tidak ditunjukkan hukumnya secara

khusus atau tidak ada nash yang serupa alasannya. Penetapan hukum dilakukan berdasarkan

pendekatan kemaslahatan yanng menjadi tujuan dari hukum. Lihat Dedy Supriyadi, Sejarah

Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h., 142.

Page 29: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

19

Model penalaran Istislahi adalah penggalian hukum yang berpedoman

pada prinsip-prinsip kemaslahatan yang disimpulkan dari sumber hukum

Islam utama yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Dalam artian, kemaslahatan yang

dimaksudkan disini adalah kemaslahatan yang berlaku secara umum dan

merujuk pada kedua sumber hukum tersebut. Dalam perkambangan

pemikiran fiqh, corak penalaran istislahiah ini terdiri dari beberapa metode

ijtihad, diantaranya metode al maslahah al mursalah30 dan Sadd Al-

Dzari’ah.31

Berdasarkan metode ijtihad tersebut yang mengutamakan kemaslahatan

dan bersumber dari hukum Islam, namun konteks kemaslahatan itu tidak

untuk dikembalikan kepada satu ayat atau hadis secara langsung melainkan

dikembalikan pada prinsip umum kemaslahatan yang terkandung oleh nash.

Pada penelitian ini akan fokus membahas mengenai kemaslahatan yang

diperoleh melalui adanya unsur Al-Dzari’ah.

Sebelum menjelaskan pengertian Sadd Al-Dzari’ah, penulis akan

memberikan pengantar mengenai Al-Dzari’ah. pada umumnya, manusia

dalam melakukan sesuatu secara sadar sudah pasti mempunyai tujuan yang

jelas dan mengenaympingkan persoalan baik atau buruk, mendatangkan

manfaat atau mudharat. Untuk menuju pada hal tersebut, terdapat beberapa

perbuatan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tersebut.

Seperti yang dipaparkan oleh Amir bahwa perbuatan-perbuatan pokok

dan menjadi tujuan seseorang telah jelas diatur dan menjadi hukum taklifi (al-

ahkam al-khamsah). Baik itu perbuatan dilarang atau dianjurkan, terdapat

perbuatan yang pastinya mendahului perbuatan inti yang dituju. Keharusan

30 Maslahah berarti mendatangkan manfaat, sedangkan mursalah berarti diutus, dikirim,

atau dipakai. Jadi maslahah mursalah berarti prinsip kemaslahatan yang diapaki untuk

menetapkan hukum Islam. Atau suatu perbuatan yang mengandung nilai bermanfaat. Dan metode

ini digunakan untuk menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ditemukan dalam Al-Qur’an,

Sunnah Nabi, amupun Ijma’. Lihat, Abdul Fatah, Menggugat Istinbath Hukum Ibnu Qayyim,

(Semarang:Pustaka zaman, 2007), h.,138.

31 Yusna Zaidah, Model Hukum Islam:Suatu Konsep Metode Penemuan Hukum melalui

Pendekatan Ushuliyyah, Jurnal Syariah: Jurnal Ilmu Hukum dan Pemikiran, XVII, 2 (Desember,

2017), h.,154.

Page 30: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

20

untuk menghindarkan datau melakukan perbuatan yang mendahului tujuan

pokok tersebut ada yang telah diatur secara jelas oleh syara’ ada juga yang

tidak diatur secara langsung. Contohnya :32

1. Wudhu adalah suatu perbuatan yang harus didahulukan untuk

melaksanakan shalat. Dan wudhu juga merupakan kewajiban yang

telah diatur hukumnya dalam Al-Qur’an;

2. Wajib menuntut ilmu berdasarkan hadis Nabi, dan untuk

terlaksananya proses menuntur ilmu tersebut harus dengan jalan

mendirikan sekolah. Namun, mendirikan sekolah tidak ada dalil

hukumnya secara langsung, maka hukum membuat sekolah wajib

sebagaimana wajibnya menuntut ilmu sebagai tujuannya;

3. Berzina adalah perbuatan haram yang harus dijauhi. Untuk dapat

menjauhi zina itu maka harus menghindari perbuatan-perbuatan yang

mendahuluinya yang akan mengantar pada zina. Karena perbuaatan

yang menghantarkan pada perbuatan haram sama dengan hukum

perantara yang mengantarkan pada tujuan tersebut.

Berdasarkan hal diatas, untuk itu berlakulah qaidah :

للو سا ئل كحكم المقا صد Bagi wasila (perantara) itu hukumnya adalah sebagaimana hukum

yang berlaku pada apa yang dituju.

Persoalan yang diperbincangkan para ulama adalah perantara atas

perbuatan yang belum mempunyai dasar hukumnya. Perbuatan perantara itu

disebut dengan al-Dzari’ah (الذ ريعة).

Berdasarkan pengertian segi etimologi, Dzari’ah berarti wasilah

(perantara). Sedangkan Al-Dzari’ah menurut istilah hukum Islam berarti

sesuatu yang menjadi perantara ke arah perbuatan yang diharamkan atau

32 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta:Kencana,2011), h.,397.

Page 31: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

21

dihalalkan.33 Al-Dzari’ah secara lughawi (bahasa) berarti Jalan yang

membawa kepada sesuatu, secara hissi atau ma’nawi, baik atau buruk.

Pengertian terebut mengandung makna netral tanpa memberikan penilaian

kepada hasil perbuatan. Ibnu Qayyim memberikan definisi netral tersebut

kedalam rumusan :34

ىء ما كا ن وسيلة وطريق الى الش

Apa-apa yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu.

Abu Ishaq al-Syatibi dalam Al-Muwafaqat yang dikutip oleh Nasrun

Haroen mendefinisikan Al-Dzari’ah yaitu melakukan suatu pekerjaan yang

semula mengandung kemaslahatan untuk menuju kepada suatu

kemafsadatan.35 Pengertian tersebut bermakna suatu pekerjaan yang pada

dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan

lain yang akan dicapai akan menimbulkan kemafsadatan.

Berdasarkan pengerian tersebut dapat dipahami bahwa Al-Dzari’ah

merupaka suatu jalan atau perantara yang menjadi wasilah untuk menuju

kepada suatu perbuatan hukum yang baru. Dimana perbuatan hukum itu dapat

bersifat maslahah ataupun menimbulkan kemudharatan.

Ketentuan hukum yang dikenakan Al-Dzari’ah selalu mengikuti

ketentuan hukum yang terdapat pada perbuatan yang menjadi sasarannya.

Adapun sumber ketetapan hukum terbagi atas dua bagian yaitu: 36

1. Maqasid (tujuan atau sasaran), yakni perkara-perkara yang mengandung

maslahah atau mafsadah.

33 Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Saefullah Ma’shum dkk, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), h.,

438-439.

34 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta:Kencana, 2011), h.,424.

35 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 161.

36 Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Saefullah Ma’shum dkk, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), h.,

439.

Page 32: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

22

2. Wasail (perantara), yaitu jalan atau perantara yang membawa maqasid, di

mana hukumnya mengikuti hukum dari perbuatan yang menjadi

sasarannya (maqasid), baik berupa halal atau haram.

Wahbah Zuhaili juga menjelaskan pembagian dua bentuk Al-Dzari’ah

dikarenakan apabila dikaitkan dengan pembahasan dalam ruang lingkup

hukum syariah, maka kata Al-Dzari’ah terdiri dari dua kategori, yaitu:37

1. Sadd Al-Dzari’ah dimaksudkan ketika ketidak bolehan untuk

menggunakan alasan atau tujuan tersebut, karena akan mengakibatkan

kerusakan. Maka penggunaan tujuan atau sasaran itu tidak

diperbolehkan.

2. Fath Al-Dzari’ah ditujukan untuk kebolehan menggunakan dan

mengambil jalan atau sarana tersebut, dikarenakan akan mengarah pada

kebaikan dan kemaslahatan. Kebolehan ini dikarenakan realisasi aspek

kebaikan dan kemasalahatan merupakan sebuah keharusan.

Pembatasan mengenai Al-Dzari’ah kepada sesuatu yang dilarang saja

tidak tepat, karena Dzari’ah jugaa mengandung sesuatu yang dianjurkan.

Oleh sebab itu pengertian Al-Dzari’ah lebih baik dikemukakan yang bersifat

umum sehingga Dzari’ah dapat dibuat menjadi dua pengertian dalam konteks

yang dilarang dan dituntut untuk dilaksanakan.38 Namun dalam beberapa

literatur dan dikalangan para ulama hanya berfokus pada penggunaan metode

Sadd Al-Dzari’ah saja. Al-Dzari’ah disebut secara sendiri dan tidak disebut

secara kalimat majemuk maka kata itu selalu digunakan untuk pengertian

Sadd Al-Dzari’ah walaupun Dzari’ah yang dikenal secara khusus dibagi

menjadi dua yaitu, Sadd Al-Dzari’ah dan Fath Al-Dzar’ah.39

Metode Sadd Al-Dzari’ah ini dikenal dengan istilah metode pemblokiran

sarana yang menghantarkan kepada mudharat, yang digunakan oleh para

37 Wahbah az-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Iskami, Juz II (Beirut: Dar al-Fikri al- Muasir,

1986), h., 173.

38 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 160.

39 Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), h., 236.

Page 33: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

23

fuqaha sebagai sumber legislasi khususnya Imam Mazhab Maliki. Mayoritas

ulama mazhab tersebut menyebutkan bahwa Sadd Al-Dzari’ah bukan

merupakan dalil mandiri, tetapi dimasukkan kedalam kemaslahatan.40 Metode

ini tidak hanya bersifat menghindarkan kerusakan namun Dzari’ah juga

untuk menarik kemanfaatan, kemanfaatan dan kerusakan yanng dapat terjadi

inlah yang manjadi parameter prinsip digunakannya Dzari’ah. Jika kerusakan

lebih besar dari manfaatnya maka hukum yang ditetapkan menggunakan

metode Dzari’ah akan menjadi dilarang.

Dari segi bahasa Sadd adalah menutup sedangkan Dzari’ah merupakan

kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (washilah) dan

jalan ke suatu tujuan. Dengan demikian Sadd Al-Dzari’ah secara bahasa

berarti menutup jalan kepada suatu tujuan.41 Nasrun Haroen berpendapat

bahwa seseorang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya

diperbolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan yang

akan dia capai berakhir pada suatu kemafsadatan.42

Ibn Asyur menjelsakan Sadd Al-Dzari’ah sebagai sebuah istilah yang

digunakan oleh para Fuqaha terkait sebuah upaya pembatalan, pencegahan,

dan pelarangan atas perbuatan-perbuatan yang diduga mengakibatkan

kerusakan yang jelas. Hal senada disampaikan oleh al-Mazri yang dikutip

oleh Ibn Asyhur, bahwa Sadd Al-Dzari’ah adalah pelarangan atas apa saja

yang pada dasarnya itu boleh dilakukan, agar dia tidak mengarah pada yang

dilarang untuk dilakukan.43 Sadd Al-Dzari’ah (makna generik:menutup jalan)

ialah, mencegah suatu perbuatan agar tidak sampai menimbulkan mafsadah

40 Jaser audah, Membumikan Al Qur’an melalui Maqasidus Syariah, Terj Rosidin dan Ali

Abd el Munim, (Bandung:Mizan, 2015), h., 171.

41 Masjkur Anhari, Ushul Fiqh, (Surabaya: Diantama, 2008), h., 117.

42 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 161.

43 Muhammad Thahir Ibn Asyur, Maqasid Syari’ah al-Islamiyyah (Petaling Jaya

Malaysia: Dar An-Nafais, 2001), h., 65.

Page 34: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

24

(kerusakan), jika perbuatan itu menimbulkan mafsadah. Pencegahan ini

dilakukan karena bersifat terlarang.44

Dari segi pandangan Imam Malik pada hakikat Sadd Al-Dzari’ah adalah

bahwa setiap yang membawa kepada haram adalah haram, dan yang

membawa kepada yang halal adalah halal.45 Ibnu Qayim berpendapat yanng

dikutip oleh Muslehuddin bahwa apapun yang dilarang sebagai suatu

tundakan preventif, yaitu Sadd Al-Dzari’ah, menjadi boleh dilihat berdasar

pada kebutuhan masyarakat, tetapi apa yang dilarang dengan tujuan tertentu

tidak dapat diperbolehkan kecuali karena terpaksa.46

Dari pengertian Sadd Al-Dzari’ah diatas maka dapat ditarik kesimpulan

bahwa yang dimaksud dengan Sadd Al-Dzari’ah yaitu sebuah jalan atau

wasilah yang digunakan untuk menutup atau mencegah terjadinya perbuatan

yang dilarang atau mengakibatkan kemudharatan jika perbuatan yang

dibolehkan atau mubah itu dilaksanakan. Jalan yang dimaksudkan dalam hal

ini adalah jalan yang mengakibatkan pelarangan untuk dilakukan sehingga

kemaslahatan akan timbul dengan cara menutup jalan yang berakibat

pelarangan tersebut.47

44 Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), h., 236.

45 Iskandar Usman, Istihsan dan pembaharuan dalam Islam, (Jakarta:PT Raja Grafindo

Persada, 1994), h., 146

46 Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis (Studi

Perbandingan Hukum Islam), Terj Yudian Wahyuni Salim dkk, (Yugyakarta:Tiara Wacana,

1991), h., 148

47 Lebih lanjut, Sadd Al-Dzari’ah sebagai salah satu metode dalam penafsiran atau

penggalian hukum Islam, yang aplikasiannya senantiasa bersandar pada konsep maslahah dengan

berbagai ragamnya. Metode yang lebih berkesan preventif, karena segala sesuatu yang pada

mulanya mengandung pengertian boleh (mubah) menjadi dilarang (haram) karena akibat yang

ditimbulkan dari perbuatan tersebut berindikasi pada mafsadat baik dari jenis maupun kualitasnya.

Lihat, Ali Imron, Menerapkan Hukum Islam yang Inovatif dengan metode Sadd Al-Dzari’ah,

Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI, h., 67.

Page 35: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

25

B. Macam-macam Sadd Al-Dzari’ah

Para ulama berbeda-beda dalam membagi Al-Dzari’ah Secara sederhana

bisa kita lihat paparan para ulama. Al-Dzari’ah dikelompokkan dengan

melihat kepada beberapa segi :48

1. Berdasarkan dampak atau akibat yang ditimbulkannya menurut Ibnu

Qayyim, Al-Dzari’ah dibagi menjadi empat, yaitu :49

a. Dzari’ah yang memang pada dasarnya membawa pada kerusakan.

Dalam arti bila perbuatan berupa jalan atau Dzari’ah itu tidak

dilarang, pasi akan terjadi kerusakan. Contohnya meminum

minuman yang memabukkan dan membawa pada kerusakan akal

atau mabuk, dan berzina yang membawa pada kerusakan tata

keturunan. Kedua akbiat ini merupakan kemafsadatan dan sudah

dilarang keras oleh syara’.

b. Dzari’ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun

ditujukan untuk perbuatan buruk yang merusak baik yang disengaja

ataupun yang tidak disengaja. Seperti contoh yang disengaja yaitu

nikah muhallil yang pada dasarnya menikah boleh, namun karena

dilakukan dengan menghalalkan yang haram menjadi tidak boleh

hukumnya.

c. Dzari’ah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujuakn

untuk kerusakan, namun biasanya sampai juga pada kerusakan yang

mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya. Contohnya yaitu

mencaci sembahan agama lain bahwa mencaci sembahan agama lain

itu mubah, namun jika perbuatan itu akan menjadikan perantara bagi

agama lain untuk mencaci Allah, maka melakukan hal tersebut

menjadi terlarang.

48 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta:Kencana, 2011), h.,427.

49 Nasrun Haroen menambahkan keempat Al-Dzari’ah ini dibentuk oleh dua hal yaitu : a)

Dzari’ah yang kemaslahatan pekerjaan itu lebih kuat dari kemafsadatannya. b) Al-Dzari’ah yang

kemaslahatannya lebih besar dari kemafsadatannya. Lihat, Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta:

Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 166.

Page 36: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

26

d. Dzari’ah yang semula ditentukan untuk mubah, namun terkadang

membawa pada kerusakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil

dibanding kebaikannya. Contohnya dalam hal ini melihat wajah

perempuan saat dipinang.

2. Dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkan, Abu Ishak al Syatibi

membagi Dzari’ah kepada empat macam, yaitu:

a. Dzari’ah yang membawa kepada kerusakan secara pasti, jika

Dzari’ah itu tdak dihindarkan pasti akan terjadi kerusakan.

Seperti contoh seseorang menggali sumur di depan pintu rumah

orang lain pada malam hari, dan pemilik rumah tidak

mengetahuinya. Sehingga sudah pasti kemafsadatan akan timbul

karena pemilik rumah akan terjatuh jika melalui jalan berlubang.

Sebenarnya menggali lubang sumur itu boleh-boleh saja, namun

penggalian dalam keadaan seperti itu akan menimbulkan kerugian

dan kemafsadatan.

b. Dzari’ah yang membawa kapda kerusakan menurut biasanya,

dengan arti kalau Dzari’ah itu dilakukan, maka kemungkinan besar

akan timbul kerusakan atau akan dilakukan perbuatan yang dilarang

Contohnya, menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuman

keras, atau menjual pisau kepada penjahat yang sedang mencari

musuhnya. Sebenarnya, menjual objek-objek tersebut boleh-boleh

saja, namun jika tujuan dengan djualnya objek tersebut yang pada

umumnya pabrik minuman keras membeli anggur untuk diproduksi

menjadi minuman keras, maka akan timbul kemafsadatan akibat dari

menjual objek tersebut.

c. Dzari’ah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut

kebanyakannya. Bila Dzari’ah itu tidak dihindarkan seringkali

sesudah itu akan mengakibatkan berlangsungnya perbuatan yang

terlarang.

Page 37: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

27

Contohnya, jual beli dengan kredit, pada dasarnya tidak semua jual

beli kredit itu membawa pada riba namun dalam praktiknya sering

dijadikan sarana untuk riba.

d. Dzari’ah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan, dalam hal

ini seandainya perbauatan itu dilakukan, belum tentu akan

menimbulkan kerusakan, namun memungkinkan untuk terjadi

kemafsadatan.

Contohnya, menggali lubang di kebun sendiri yang pada

kebiasaannya jarang orang melalui di tempat tersebut. Namun tidak

menutup kemungkinan ada orang yang melewati kebun itu dan tanpa

sengaja terjatuh kedalam lubang.

Guna mengetahui apakah sarana atau wasilah (Al – Dzari’ah bisa

dipergunakan atau tidak karena manfaatnya unutk mengetahui dan

menentukan boleh tidaknya suatu perbautan untuk dilakukan, maka secara

umum hal itu bisa dilihat dari dua hal, yaitu :50

1. Motif atau tujuan yang mendorong untuk melaksanakan suatu perbuatan,

apakah perbuatan itu akan berdampak kepada sesuatu yang diharamkan

atau dihalalkan

2. Akibat yang terjadi dari perbuatan, tanpa harus melihat kepada motif dan

niat si pelaku. Jika akibat atau dampak yang terjadi dari perbuatan adalah

sesuatu yang dilarang atau mengakibatkan kemafsadatan, maka

perbuatan itu harus dicegah. Dan jika akibat atau dampak yang terjadi

dari suatu perbuatan mendatangkan maslahah amaka perbuatan itu boleh

dilakukan.

Dikutip oleh Amir, Mustafa Syalabi mambagi beberapa pendapat ulama

tentang Sadd Al-Dzari’ah kedalam tiga kelompok, yaitu:51

50 Wahbah az-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Iskami, Juz II (Beirut: Dar al-Fikri al- Muasir,

1986), h., 178-179.

51 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta:Kencana,2011), h.,404.

Page 38: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

28

1. Dzari’ah yang membawa kepada kerusakan secara pasti, atau berat

dugaan akan menimbulkan kerusakan, seperti yang telah dijelaskan

menurut Syatibi

2. Dzari’ah yang kemudian mendatangkan kemudharatan atau larangan

3. Dzari’ah yang terletak ditengah-tengah antara kemungkinan membawa

kerusakan dan tidak merusak. Syalabi mengemukakakn bahwa terdapat

perbedaan pendapat di kalangan ulama, Imam Malik dan Ahmad bin

Hanbal mengharuskan melarang Dzari’ah tersebut, sedangkan Syafi’i

dan Abu Hanifah menyatakan tidak perlu melarangnya.

C. Dasar hukum Sadd Al-Dzari’ah

Alasan ulama menjadikan Sadd Al-Dzari’ah sebagai dalil hukum syara’

adalah :

1. Sumber Al Qur’an

a. Firman Allah dalam Q.S An-Nur (24) : 31

وتوب ... ولا يضربن بارجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن واا الى ال

جميعا اي ه المؤمنون لعل كم تفلحون

Artinya : .... Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agart

diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah

kamu semua kapda Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar

kamu beruntung.

b. Firman Allah dalam Q.S Al-An’am (6) : 108

عدوا ب فيسب وا ال ر عل غي ولا تسب وا ال ذين يدعون من دون ال

رجعهم فينب ئهم بما ة عملهم ثم الى رب هم م ام ن ا لكل كذلك زي

كانوا يعملون

Page 39: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

29

Artinya : Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka

sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah

dengan melampaui batas tanpa dasr pengetahuan. Demikian, Kami

jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian

kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan

memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.

Dalam ayat ini Allah melarang untuk memaki sesembahan kaum

musyrikin, karena kaum musyrik itu pun akan memaki Allah dengan

makian yang sama, bahkan lebih

c. Firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah (2) : 104

ها ال ذين امنوا لا تقولوا راعنا وقولوا انظرنا واسمعوا وللك ااي فرين ي

عذاب اليم

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu

katakan, Raa’inaa52, tetapi katakanlah, “Unzurnaa”, dan

dengarkanlah. Dan orang-orang kafir akan emndapat azab yang

pedih.

Kata Raa’ina berarti: Sudihlah lamu memperhatikan Kami. Ketika

para sahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudi

juga memakai kata ini digunakan seakan menyebut raa’inah padahal

mereka mengatakan ru’uunah yang artinya kebodohan yang sangat,

sebagai ejekan kepada Rasulullah. Itu sebabnya Allah menyuruh supaya

sahabat mengganti dari kata raa’inah menjadi Unzhurnaa yang memiliki

52 Raa’inaa artinya perhatikanlah kami. Tetapi orang-orang Yahudi bersungut

mengucapkannya, sehingga yang mereka maksud adalah Ru’uunah yang artinya bodoh sekali,

sebagai ejekan kepada Rasulullah. Itulah sebabnya Allah menyuruh sahabat-sahabat menukar

Raa’inaa dengan Uzurnaa yang sama artinya dengan Raa’inaa. Lihat, Mushaf Ar-rasyid, Al-

Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta:Maktabah Al fatih, cetakan 2016).

Page 40: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

30

arti yanng sama.53 Degan kata lain larangan tersebut merupakan salah

satu bentuk Sadd Al-Dzari’ah.

2. Sunnah

معا صيه فمن حام حول الحمى يوشك ان يواقعه الاوان حمى ال

(متفق عليه)

Artinya : “Ketahuilah jurang Allah itu adalah kemaksiatan kepadaNya,

maka barang siapa yanng bermain-main di sekeliling jurang itu

dikhawatirkan akan jatuh ke dalamnya.” (HR Muttafaqun Alaih)54

(رواه التر مذى) .دع ما يريبك الى مالا يريبك

Artinya : “Bralihlah dari hal yang meragukan kepada hal yang tidak

meragukan.” (HR. At-Tarmidzi)55

ال بي ن إون الحرام بي ن وبينهما مشب هات ن الحلا Artinya : “Perkara yang halal itu sungguh sudah jelas dan perkara yang

haram juga sungguh sudah jelas. Diantara keduanya ada perkara yang

syubhat (samar-samar)”. (HR. Al Bukhari dan Muslim)56

53 Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), h., 240.

54 Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh satu dan dua, (Jakarta:Kencana,2010), h.,167.

55 Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh satu dan dua, (Jakarta:Kencana,2010), h.,167.

56 Asmawi, Perbandingan ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), h., 145.

Page 41: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

31

3. Pendapat Ulama

a. Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa:

لا لانه مفسدة فى نفسه يشر ع إذا ,وما كان منهيا عنه لسد الذر يعة

ولاتفو ت المصلحة لغير مفسدةراجح,ان فيه مصلحة را جحة Artinya : “Sesuatu yang dilarang karena alasan sadd Al-Dzari’ah,

bukan karena haram karena hukum aslinya, maka keharaman itu

bisa ditempuh utuk mencapai maslahah yang lebih besar dan tidak

menimbulkan mafsadah yang lebih besar.”

b. Ibnu Qayyim al-Jauziyya

ما حرم سدا اذريعة أبيح المصلحة الر اجحة

Artinya: “Sesuatu yang diharamkan karena alasan sadd Al-

Dzari’ah, maka menjadi boleh dilakukan jika ada maslahah yang

lebih besar.

c. As-Syatibi

الذريعةإلى الفساد يجب سد ها إذا لم تعار ضها مصلحة راجحةArtinya : “Jalan menuju kerusakan itu wajib ditutup jika tidak

mengakibatkan maslahat yang lebih besar”

D. Kedudukan Sadd Al-Dzari’ah dalam Hukum Islam

Banyak ulama yang memperselisihkan kedudukan Dzari’ah sebagai

suatu dalil dalam menetapkan hukum. Hal ini mengandung arti bahawa

meskipun dalil yang ada tidak menetapkan secara jelas mengenai hukum

suatu perbuatan, namun karena sebuah perbuatan tersebut ditetapkan sebagai

washilah bagi suatu perbuatan yang dilarang secara jelas, maka hal ini

Page 42: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

32

menjadi petunjuk atau dalil bahwa washilah itu adalah sebagaimana dengan

hukum yang ditetapkan syara’ terhadap perbuatan pokok.57

Malik bin Anas dan Ahmad bin Hambal, menerima sadd sebagai hujjah

syar’iyyah. Sedangkan Syafi’i dan Abu Hanifah, menerima sadd sebagai

Hujjah syar’iyyah dalam kasus-kasus tertentu dan menolaknya untuk kasus-

kasus lain. Golongan Ulama Zahiriyyah, terutama Ibnu Hazm menolak sama

sekali sadd, dalam artian ia bukanlah hujjah syar’iyyah.58 Husain Hamid

Hasan dikutip oleh Nasrun Haroen mengatakan bahwa ulama Hanafiyyah dan

Syafi’iyah dapat menerima kaidah Sadd Al-Dzari’ah apabila kemafsadatan

yang akan muncul itu dapat dipastikan akan terjadi atau minimal diduga keras

akan terjadi kemafsadatan.59

Perbedaan pendapat antara Malikiyyah dan Hanabilah dengan pendapat

Hanafiyyah dengan Syafiiyyah dalam berhujjah dengan Sadd Al-Dzari’ah

adalah disebabkan karena perbedaan pandangan tentang niat dan lafal dalam

masalah transaksi (akad). Menurut Wahbah al Zuhaili, yang dikutip oleh

Nasrun Haroen, Malikiyyah dan Hanabilah dalam menilai perbuatan

seseorang berpegang kepada tujuan dan akibat hukum perbuatan itu,

sedangkan Syafi’iyah dan Hanafiyyah berpegang kepada bentuk akad dan

perbuatan yang dilakukan.60 Oleh karenanya, perbedaan pendapat tersebut

hanya ada pada konteks penggunaan metode sasaran dari perilakunya. Selama

57 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta:Kencana,2011), h.,426.

58 Dr.Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), h., 144. Lihat juga

Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), h., 239. Lihat Juga Wahbah az-Zuhaili,

Usul al-Fiqh al-Iskami, Juz II (Beirut: Dar al-Fikri al- Muasir, 1986), h., 889-891.

59 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 169. selanjutnya

menurut Muhammad ibn Ali asy-Syaukani sebagaimana dikutip oleh Ahmad Hilmi dalam kajian

ushul fiqh, ada dalil-dalil yang disepakati penggunaannya (muttafaq’alaih) dan ada juga dalil-dalil

yang diperselisihkan (mukhtalaf fih). Sebagaimana Al-Dzari’ah yang terdiri atas Fath dan Sadd

termasuk dalam kategori dalil yang muktalaf fih. Dari kalangan Malikiyyah dan Hanabilah

menganggap Sadd Al-Dzari’ah merupakan salah satu isntrumen dalil, sedangkan Hanafiyyah dan

Syafi’iyyah tidak menganggapnya sebagai dalil. Lihat, Muhammad ibn Ali asy-Syaukani (w. 1250

H), Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-Haqq min Tim al ushl, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyyah, 1994),

Juz 2, h.,193.

60 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 170-171.

Page 43: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

33

sumber hukum hasil ijtihad itu menimbulkan kemafsadatan maka setiap

metode digunakan oleh para Ulama dengan menyesuaikan kondisi kasusnya.

Salah satu contoh yang dipaparkan oleh Ulama Hanafiyyah dalam

menggunakan kaidah Sadd Al-Dzari’ah dalam kasus hukum bahwa orang

yang melaksanakan puasa yaum al-syakk (Akhir bulan Sya’ban yang

diragukan apakah telah masuk bulan Ramadhan atau belum), sebaiknya

dilakukan secara diam-diam, apalagi kalau ia adalah seorang mufti, sehingga

ia tidak dituduh melakukan puasa pada yaum al-syakk tersebut sedangkan

Rasulullah saw. melarang orang yang berpuasa pada yaum al-syakk.61 Dengan

diamnya seorang atau mufti tersebut, akan menghindarkan dari perkara

kesalah pahaman.

Para ulama dalam menggunakan metode Sadd Al-Dzari’ah sebagai

hujjah pada dasarnya sama tidak ada perbedaan. Karena dengan

mennggunakan dasar ini dapatlah menghindari sebuah pekerjaan yang mubah

yang telah dijadikan wasilah kepada mafsadah dan menimbulkan

kemudharatan kepada masyarakat, dan tindakan ini dapat digunakan sebagai

suatu pokok dari pokok-pokok hukum.62

Alasan yang dikemukakan ulama mazhab Malikiyyah dan ulama mazhab

Hanabilah yang dikutip oleh Narun Haroen dalam hadis Rasulullah saw.63

ن رسول وعنه أ صل ى ال م الر من الكبا نر شت )) :قال عليه وسل م ال

يارسىول :قالوا ((!خل والد يه ال :قال !شىتم الر جل والد يه وهل ي

61 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 168

62 Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang 1975), h., 325-

326.

63 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 167.

Page 44: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

34

باالر جل يسب ,نعم )) اب ,أ ه ,اه فيسب م

أ ه ,ويسب م

أ فق مت) ((.فيسب

(عليهArtinya : “Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radiallahu anhu, juga

Rasulullah saw. Bersabda : “Diantara dosa besar adalah makian seorang

kepada kedua orang tuanya.” Para sahabat bertanya : “Wahai Rasulallah,

adakah seseorang yang memaki kedua orang tuanya?” Beliau menjawab :

“Ada, dia yang memaki ayah orang lain sehingga orang itupun memaki

ayahnya, dan dia memaki ibu orang lain, sehingga orang itupun memaki

ibunya.” (Muttafaq ‘alaih).64

Pegangan ulama untuk menggunakan Sadd Al-Dzari’ah yaitu sifat

kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi suatu kasus yang

menimbulkan benturan antara maslahat dan mafsadat dengan mengambil

keputusan hukum atas mana yang lebih dominan atasnya.

Berlakunya prinsip yang ada pada kaidah jika sama kuat diantara

maslahat dan mafsadat. Maka untuk menjaga kehati-hatian, ulama

menetapkan bersadarkan rumusan dalam kaidah:65

م على جلب المصالح درءالمفاسد مقد

“Mencegah Mafsadah (kerusakan) harus didahulukan daripada mengambil

kemaslahatan”

إذا اجتمع الحلال و الحرام غل ب الحرام “Bila berbaur yang haram dengan yang halal, maka yang haram

mengalahkan yang halal”.

64 Syaikh Salim, Syarah Riyadhush Shalihin, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i,2005),

h., 50-51

65 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta:Kencana,2011), h.,405.

Page 45: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

35

Sebagai pegangan bagi ulama yang mengambil tindakan kehati-hatian

dalam beramal, adalah sabda Nabi :

دع ما ير يبك إلى ما لا ير يبك

“Tinggalkan apa-apa yang meragukanmu untuk mengambil apa yang tidak

meragukanmu”. (HR. At-Tirmidzi)

Umar Bin Khattab pada kasusnya diceritakan bahwa setelah Rasulullah

meninggal, tepatnya pada masa kekhalifahan Umar, banyak yang mendatangi

pohon yang pernah diadakan Baiat Ridhwan pada zaman Nabi, dan mereka

saat itu melakukan shalat di bawahnya. Melihat fenomena tersebut, Umar

kemudian memerintahkan untuk menebang pohon itu untuk ditebang, dan

dirobohkan pohon itu.66

Pada metode ijtihad Umar bin Khattab yang pada praktiknya telah

menerapkan metode Sadd Al-Dzari’ah. Hal ini dilakukan Umar ketika ia

melihat pada suatu perkara untuk dijalankan dengan cara yang lain.

Maksudnya, ada suatu perbuatan yang asalnya adalah mubah dan boleh

dilakukan, namun perbuatan ini pada perkembangannya dijadikan sarana

untuk melakukan suatu tindakan yang tidak diperbolehkan.

Yusuf al Qardawi tokoh yang peduli terhadap kajian hukum Islam, yang

menwarkan idenya melalui konsep ijtihad yang dipandang ideal dan

representatif untuk kondisi saat ini. Menurut yang dikutip oleh Abd. Majdid,

salah satunya adalah pengambilan konklusi hukum baru atas persoalan-

persoalan yang belum ditegaskan sama sekali dasar hukumnya oleh ulama

terdahulu, ijtihad yang dilakukan untuk persoalan-persoalan lama yang

memang tidak ditegaskan dasar hukumnya oleh ulama terdahulu dan tidak

ditunjuk oleh nash dengan mengupayakan melahirkan hukum yang bersifat

orisinil. Menurut Yusuf Al-Qardawi, dalam melakukan ijtihad di masa

modern ini seorang mujtahid dituntut memahami metode-metode yang

66 Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar Bin Khattab, (Kairo-Mesir:Dar As-

Salam, 2003), h., 487.

Page 46: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

36

digunakan oelh ulama-ulama salaf, seperti qiyas, istihsan, istishab, dan Sadd

Al-Dzari’ah.67

Metode-metode diatas hingga saat ini masih digunakan dan

diperbincangkan, bahkan masih dipertentangkan. Dalam ruang lingkup

Indonesia, metode ijtihad tersebut telah berkembang dan digunakan sehingga

melahirkan Kompilasi Hukum Islam dan juga metode yang diterapkan oleh

Muhammadiyah.

Muhammadiyah menggunakan metode Sadd Al-Dzari’ah, dengan

maksud untuk menghindari mafsadat. Dengan tujuan untuk memelihara

maslahat yang menjadi unsur dari maqashid al syari’at. Organinsasi ini

menerapkan metode ini dalam menyelesaikan kasusu perkawinan antara

pemeluk agama yang berbeda, terutama antara muslim dengan wanita ahlu al-

kitab, seperti Yahudi dan Nasrani sekarang ini. Muhammadiyah mencoba

menerapkan teori maqashid al syari’at karena memelihara agama suami,

menurut Muhammadiyah termasuk dalam aspek maslahat yang mempunyai

peringkat daruriyyat. Hasil ijtihad ini didasari oleh prinsip umum yang juga

diambil dari ayat Al-Qur’an dan Hadis, terutama dalam teori maqashid al

syari’at.68

Persoalan tersebut tidak secara jelas dalam Al-Qur’an dan Hadis,

melainkan merupakan persoalan baru. Jika ketetapan hukum atas persoalan

baru itu dilakukan dalam rangka mempertahankan eksistensi agama, jiwa,

ketuhanan, akal, dan harta, maka tindakan itu dapat diterima dan dibenarkan.

Sehingga kemaslahatan menjadi tolak ukur utama dalam menyelesaikan

persoalan fiqh kontemporer yang secara eksplisit tidak dijelaskan dalam Al-

Qur’an dan Hadis.

67 Abd. Majdid, Ijtihad dan Relevansinya Dalam Pembaharuan Pemikiran Hukum

Islam:Studi Atas Pemikiran Yusuf Al-Qardawi, Jurnal Penelitian Agama, XVII, 2 (Mei-Agustus,

2008), h., 460.

68 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlid Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta:Logos

Publishing House, 1995), h., 154-155.

Page 47: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

37

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah musyawarah para ulama,

zu’ama, dan cendikiawan muslim yang dipandang sebagai lembaga paling

berkompeten dalam pemberian jawaban masalah sosial keagamaan yang

senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat Indonesia. MUI mengeluarkan

Pedoman Penetapan Fatwa sebagai prosedur dan mekanisme dalam

menetapkan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI.

Sumber metode ijtihad yang digunakan oleh MUI yaitu harus mempunyai

dasar atas Kitabullah dan Sunnah Rasul yang mu’tarabah, serta tidak

bertentangan dengan kemaslahatan umat. Jika sumber hukum tidak dijelaskan

dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul, maka Fatwa diupayakan agar tidak

bertentangan dengan Ijma, Qiyas yang mu’tabar, dan dalil-dalil hukum yang

lain, seperti Istihsan, Maslahah Mursalah, dan Sadd Al-Dzari’ah.69 Oleh

karenanya salah satu metode yaitu Sadd Al-Dzari’ah sangat diperlukan

seiring berkembangnya waktu jika para Mujtahid tidak menemukan pendapat

hukum di kalangan mazhab, maka dilakukanlah ijtihad jama’i (kolektif)

dengan beberapa metode yang salah satunya yaitu Sadd Al-Dzari’ah.

Ulama dalam menghadapi berbagai permasalahan yang baru dan bersifat

kontemporer inilah para ahli hukum Islam dituntut untuk selalu berkreasi

secara inovatif dengan menggunakan berbagai metode penafsiran atau

penggalian hukum yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah. Adapun

upaya untuk mencari jawaban hukum dalam kajian hukum Islam pada

umumnya yang dikenal dengan istinbath hukum yang terdiri dari berbagai

jalan. Sadd Al-Dzari’ah merupakan salah satu dari sekian banyak metode

penafsiran yang digunakan dalam kajian hukum Islam. Adapun dasar

pengambilannya menurut para ulama adalah hanya semata-mata ijtihad

dengan berdasarkan pada tindakan hati-hati dalam beramal dan jangan sampai

melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan.

69 Lihat Departemen Agama RI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, bagian

Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal DIRJEN Bimbaga Islam, 2003, h., 861.

Page 48: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

38

BAB III

PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH

A. Gambaran Umum Tentang Kafalah

Secara bahasa, Al Kafalah berarti al dhamm (jaminan/pengamanan) atau

al iltizam (wajib dan mengikat).70 Secara etimologis, kafalah, dhaman,

za’amh, hawalah mengandung arti yang sama yaitu jaminan. Secara

etimologis kafalah/dhaman adalah menjamin tanggungan orang yang dijamin

dalam melaksanakan hak yang wajib baik seketika maupun akan datang.71

Menurut istilah, Al kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh kafil

(penangung) kepada pihak ketiga atas kewajiban yang harus ditunaikan pihak

kedua (tertanggung).72

Dalam Kompilasi Hukum Ekonnomi Syariah (KHES) pasal 20 ayat 12,

kafalah didefinisikan sebagai jaminan atau garansi yang diberikan oleh

peminjam kepada pihak ketiga atau pemberi pinjaman untuk memenuhi

kewajiban pihak kedua atau peminjam.73 Sedangkan dalam Fatwa DSN No.

11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah menyebutkan bahwa Kafalah adalah

akad dari para pihak dan dinyatakan untuk menunjukkan kehendak mereka,

dapat berupa perjanjian yang mengikat dimana tidak dapat dibatalkan secara

70 Jaih Mubarok dan Hasanudin, Fiqih Muamalah Maliyah:Akad Tabarru, (Bandung:

Simbiosa Rekatama Media, 2017), h.,190.

71 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah:Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), h.,307

selanjutnya, menurut kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mendifinisikan Kafalah

sebagai jaminan yanng diberikan seorang kepada orang lain yang mempunyai tanggung jawab

menunaikan hak membayar utang. Lihat, Imam Mustafa, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada, 2016), h., 220.

72 Azharudin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2011), h.,162. definisi

lain adalah, jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga –pihak yanng

memberikan hutang/kreditor- (makful lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua –pihak yang

berutang/debitur- atau yang ditannggung (makful ‘anhu, ashil). Lihat, Syafi’i Antonio, Bank

Syari’ah: Dari Teori ke Praktek (Jakarta: Tazkia Cendekia, 2001), h.,123.

73 Lihat, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Buku II Tentang Akad, Bab I Pasal 20.

Page 49: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

39

sepihak, pihak penjamin tersebut bisa mendapatkan imbalan dari pihak yang

tertanggung selagi tidak memberatkan pihak tertanggung.74

Dalil atau dasar hukum akad kafalah bersumber yang bersumber dari Al-

Qur’an yaitu Q.S Yusuf (12) ayat 72

اناولمن جاء به ع الملك صوا نفقد اقالو به زعيم حمل بعير و

Artinya: “Penyeru-penyeru itu berkata, ‘Kami kehilangan shuwa’ (alat

penakar atau wadah tempat minum milik raja, dan siapa yang dapat

mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan seberat beban unta,

dan aku menjamin terhadapnya.”

Ibn Abbas menegaskan bahwa yang dimaksud dengan al-za’im adalah al

kafil, yaitu penjamin.75

a. Rukun kafalah

Menurut Mazhab Hanafi bahwa rukun al kafalah adalah satu yaitu ijab

dan kabul. Sedangkan menurut ulama lainnya bahwa rukun dan sayarat

kafalah adalah sebagai berikut :76

1) Dhamin atau kafil yaitu orang yang menjamin

2) Madmun lah, yaitu orang yang berpiutang dengan syarat diketahui

oleh yang menjamin.

3) Madun anhu atau makful lahu adalah orang yang berutang

4) Makful bih adalah utang, barang atau orang

5) Lafadz diisyaratkan kepada lafaz itu bearti menjamin.

b. Syarat Kafalah77

74 Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No: 11/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Kafalah,

Ketentuan Umum Kafalah, h., 2-3.

75 Jaih Mubarok dan Hasanudin, Fiqih Muamalah Maliyah:Akad Tabarru, (Bandung:

Simbiosa Rekatama Media, 2017), h.,193.

76 Azharudin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2011), h.,163.

77 Andi Ali Akbar, Prinsip-prinsip Dasar transaksi Syariah, (Jawa Timur: Yayasan PP.

Darussalam Blokagung, 2014), h.,61.

Page 50: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

40

1) Kafil, disyaratkan sudah baligh, berakal, merdeka dan mengelola

harta bedanya atau tidak dicah membelanjakan hartanya dan

dilakukan dengan kehendaknya sendiri serta sepihak penjamin

harus mengetahui objek yang dijaminnya. Selain itu, menurut

kalangan Hanafiyah, pihak penjamin harus ada dimajelis akad agar

mengetahui siapa dan apa yang dijaminnya.

2) Makful lahu, syaratnya yang berpiutang diketahui oleh orang yang

menjamin, harus cakap hukum dan harus ada pada saat akad. Selain

itu, pihak yang berpiutang harus berakal.

3) Makful anhu, disyaratkan mempunyai kemampuan untuk

menyerahkan objek yang dijamin dan pihak yang dijamin harus

dikatehui oleh pihak penjamin. Menurut kalangan Syafi’iyah, pihak

yang ditannggung tidak harus cakap hukum, bahkan menanggung

orang yang telah meninggl diperbolehkan

4) Makful bih, merupakan tanggungan peminjam baik berupa

uang/benda/pekerjaan dapar dilaksanakan oleh penjamin,

perupakan piutang yang mengikat, jelas nilai dan spesifikasinya,

serta tidak diharamkan

5) Sighat atau lafadz, disyaratkan keadaan sighat mengandung makna

menjamin, tidak digantungkan kepada sesuatu dan tidak berarti

sementara.

c. Kafalah dibagi menjadi beberapa jenis yaitu:78

1) Kafalah bin nafs Merupakan akad memberikan jaminan atas diri

(personal guarantee)

2) Kafalah bil maal merupakan jamiann pembayaran barang atau

pelunasan utang

3) Kafalah bi taslim merupakan jaminan pengembalian atas barang

yang disewa pada waktu masa sewa berakhir

78 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah:Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), h.,308.

Page 51: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

41

4) Kafalah al munajazah yaitu jaminan mutlaak uang tidak dibatasi

jangka waktu dan untuk kepentingan dan tujuan tertentu

5) Kafalah mutlaqah bentuk jaminan yang merupakan

penyederhanaan dari kafalah al munajazah yang dilakukan oleh

perbankan maupun asuransi

Dalam konteks penjaminan atas harta, utang tersebut bersifat mengikat

pada waktu terjadinya transaksi jaminan, sedangkan menuurt pendapat abu

Hanifah, Malik dan Abu Yusuf berpendapat boleh menjamin suatu utang

yang belum mengikat . hendaknya barang yang dijamin tersebut diketahui.

Menurut mazhab Syafi’i dan Ibnu Hazm, seorang tidak sah menjamin barang

yang tidak diketahui, sebab perbuatan tersebut adalah gharar, sedangkan

menurut Abu Hanifah, Malik dan Ahmad berpendapat bahwa seorang boleh

menjamin sesuatu yang tidak diketahui.79 Menurut Adiwarman Karim, pada

perkembangannya, kafalah identik dengan kafalah al wajhi (personal

guarantee, jaminan diri), sedangkan dhamman identik dengan jaminan yang

berbentuk barang atau harta benda.80

B. Penjaminan Menurut Hukum Positif (Borgtocht)

Perjanjian jaminan merupakan perjanjian yang tidak dapat berdiri sendiri

tanpa adanya perjanjian pokok yang mendahuluinya atau disebut juga dengan

perjanjian asesoir. Dalam perjanjian utang piutang, diperjanjikan pula antara

debitur dan kreditur bahwa pinjaman tersebut dibebani dengan adanya

jaminan, yang selanjutnya diikuti dengan pengikatan jaminan, yang terdiri

dari dua jenis yaitu jaminan kebendaan atau jaminan perseorangan. Soebekti

mengartikan jaminan perorangan merupakan suatu perjanjian antara seorang

berpiutang (kreditur) dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya

79 Azharudin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2011), h.,166.

80 Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: Gema

Insani, 2001), h.,106.

Page 52: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

42

kewajiban pihak berutang (debitur). Ia bahkan dapat diadakan diluar atau

tanpa adanya pihak berhutang.81

Jaminan perorangan ini diatur dalam Buku III pasal 1820-1850

Burgerlijk Wetboek atau disebut BW.

“Penjaminan atau penanggunagan ialah suatu perjanjian

dimana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berhutang

mengikatkan diri untuk memenuhi perutangan si berutang manakala

orang ini sendiri tidak memenuhinnya”.

Pada umumnya jaminan perorangan ini digunakan untuk melindungi kreditur

atas kepastian hukum akan pelunasan piutangnya dan merasa aman dari tidak

adanya jaminan dalam bentuk kebendaan sama sekali.

Perjanjian penanggungan ini sering kali dikacaukan dengan asuransi

kredit (kredietverzekering). Kedudukan dari penanggung (borg) adalah

berbeda dengan verzekeraar pada perjanjian asuransi. Karena pada perjanjian

asuransi pihak yang menanggung mempunyai kewajiban untuk emngganti

kerugian yang didertita pihak tertanggung, dan kewajiban ini bersifat berdiri

sendiri. Sedangkan pada perjanjian penanggunagna kewajiban untuk

memenuhi prestasi itu adalah bersifat subsidair yaitu kewajiban untuk

memenuhi prestasi dalam hal debitur tidak dapat memenuhinya.82

Pada umumnya penanggungan itu dapat diberikan untuk menjamin

pemenuhan perutangan yang timbul dari segala macam hubungan hukum,

lazimnya hubungan hukum yang bersifat keperdataan. Namun dimungkinkan

juga bahwa penanggungan diberikan untuk menjamin pemenuhan prestasi

yang lahir dari hubungan hukum yang bersifat hukum publik. Perjanjian

penanggungan dapat diminta oleh kreditur dengan menunjuk seorang

penanggung tertentu, atau yang diajukan oleh debitur, yang menjamin akan

81 Selanjutnya Soebekti mengkaji jaminan perorangan dari dimensi kontraktual antara

kreditur dengan pihak ketiga. adanya jaminan ini adalah untuk pemenuhan kewajiban si

berrhutang, yang dijamin pemenuhan seluruhnya atau sampai bagian tertentu. Lihat, H.Salim,

Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta:PT Raja Grafindo persada, 2004), h., 218.

82 Sri Soedewi, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan

Jaminan Perorangan, (Jogjakarta: Liberty offseta, 2001), h.,83.

Page 53: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

43

memenuhi perutangan manakala debitur wanprestasi. Bahkan kreditur dapat

menunjuk seorang penanggung untuk memenuhi perutangan debitur tanpa

persetujuan dan tanpa sepengetahuan debitur.83

Terkait hubungan dan akibat hukum antara penanggung dan kreditur,

dalam jurisprudensi dan prktik perbankan, lazimnya dibuat perjanjian khusus

antara kreditur dan penanggung untuk melepaskan hak-haknya tertentu

sebagaimana yang diberikan oleh undang-undang dalam hal ini bertujuan

untuk melindungi kepentingan kreditur.84 Namun, praktik tersebut tidak serta

merta menimbulkan kerugian bagi penanggung meskipun penanggung

mengikatkan diri untuk kepentingan kreditur karena seperti halnya perjanjian

yang lain pada asasnya setiap perjanjian harus didasarkan iktikad baik.

Selain itu, penjaminan juga terdapat hubungan hukum antara Penanggung

dan Debitur yaitu berupa hak regres dan hak subrogasi. Berdasarkan

ketentuan undang-undang, penanggung yang telah membayar mempunyai hak

menuntut kembali yang merupakan hak menuntut langsung kepada debitur

(ps. 1839 KUHPerdata). Atau penangung yang telah membayar itu karena

hukum bertindak menggantikan kedudukan kreditur mengenai hak-haknya

terhadap debitur. Dalam hal ini menggantikan hak-hak kreditur yang terjadi

karena subrogasi (ps. 1840 KUHPerdata).85 Berdasarkan hal ini dapat

disimpulkan terdapat dua akibat hukum yaitu penanggung memiliki hak

regres yaitu dapat meminta pengembalian dana yang telah dijamin beserta

83 Sri Soedewi, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan

Jaminan Perorangan, (Jogjakarta: Liberty offseta, 2001), h., 85-86.

84 Lihat, Sri Soedewi, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan

Jaminan Perorangan, (Jogjakarta: Liberty offseta, 2001), h.,91. Hak penanggung menurut

ketentuan undang-undang yang diatur dalam KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) diantaranya:

1. Hak untuk menuntut lebih dahulu (Ps.1834)

2. Hak unutk membagi hutang (Ps.1836)

3. Hak untuk mengajukan tangkisan atau gugat (Ps.1832)

4. Hak untuk diberhentikan dari penanggungan (karena terhalang melakukan

subrogasi akibat kesalahan kreditur. (Ps.1848)

85 Sri Soedewi, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan

Jaminan Perorangan, (Jogjakarta: Liberty offseta, 2001), h., 104-103

Page 54: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

44

kerugian-kerugian yang dialami oleh penjamin. Sedangkan subrogasi yaitu

memperoleh hak kreditur terhadap debitur karena telah menanggung hak

kreditur, termasuk segala aspek yang melekat pada hak kreditur yang telah

diganti oleh penanggung.

Timbulnya penanggungan dengan alasan dan kemungkinan bergantung

pada perjanjian pokoknya, maka Sri Soedewi membagi bentuk-bentuk atau

jenis-jenis penanggungan dengan mengingat untuk kepentingan apa kredit itu

diberikan dan oleh siapa penanggungan itu dilakukan (yang bertindak selaku

penanggung). Pada umumnya praktik penanggungan yang dikenal di luar

negeri dan praktik perbankan di Indoensia ialah sebagai berikut:86

a. Jaminan hutang/jaminan kredit (kredit garansi)

b. Jaminan bank (bank Garansi)

c. Jaminan pembangunan (Bouw Garansi)

d. Jaminan saldo (saldo garansi)

e. Jaminan oleh lembaga pemerintah (Staats Garansi)

C. Dasar Hukum Penjaminan Pembiayaan

Dasar diadakannya penjaminan pembiayaan pada bank Syariah tidak

terlepas dari adanya penjaminan Kredit pada Bank Konvensional. Secara

spesifik pelaksanaannya berpedoman pada fatwa DSN MUI nomor 74/DSN-

MUI/I/2009 tentang Penjaminan syariah yaitu penjaminan antara para pihak

berdasarkan prinsip syariah sebagaimana yang diatur dalam fatwa tentang

Penjaminan Syariah yang menggunakan akad Kafalah Bil Ujrah. Perjanjian

penjaminan dalam ketentuan fatwa juga mengatur tentang imbal jasa kafalah

sebagai fee atas penggunnaan fasilitas penjaminan untuk penjaminan

pembiayaan (kafalah bil ujrah). Berdasarkan ketentuan akad kafalah bil ujrah

sebagai berikut :

86 Sri Soedewi, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan

Jaminan Perorangan, (Jogjakarta: Liberty offseta, 2001), h., h.105

Page 55: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

45

1. Objek yanng dijamin dapat seluruh atau sebagian dari kewajiban bayar

(dayn) yang timbul dari transaksi syariah atau hal lain yang dapat dijamin

berdasarkan prinsip syariah.

2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk

menunjukkan kehendak para pihak dalam kontrak (akad)

3. Besaran fee harus ditetapkan dalam akad berdasarkan kesepakatan

4. Akad kafalah bil ujrah bersifat mengikat dan tidak booleh dibatalkan

secara sepihak

Dalam fatwa ini juga disebutkan beberapa ketentuan dan batasan;87 1)

Bahwa pihak terjamin harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi

pada waktunya. 2) Dalam hal terjadi pembayaran kalim penjaminan, maka

pihak penjamin berhak menagih kepada pihak terjamin sebesar pembayaran

kalim atau melepaskan haknya. 3) Penjaminan dapat dilakukan atas

kemampuan bayar, kemampuan penyelesaian kualitas dan kuantitas objek

pembiayaan atau pekerjaan.

Berdasarkan fatwa tersebut, selanjutnya diterbitkan dasar pelaksanaannya

yang diatur pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan,

ketentuan Undang-undang ini mengatur secara umum tentang penjaminan

baik yang dilaksanakan oleh lembaga keuangan Konvensional dan juga

Lembaga keuangan syariah. Ketentuaan tentang penyelenggaraan Penjaminan

yang dilaksanakan dengan prinsip syariah yang menakurt mekasnismenya

yaitu:88

1. Kegiatan penjaminan syariah melibatkan 3 (tiga) pihak, yaitu Penerima

Jaminan, Terjamin, dan Penjamin. Jika penjamin telah membayar atau

menunaikan kewajibannya untuk memenuhi hak finansial Penerima

Jaminan jika Terjamin gagal memenuhi kewajibannya, Pemjamin

memiliki hak tagih atas pemenuhan kewajiban finansial Terjanmin.

87 Fatwa DSN MUI nomor 74/DSN-MUI/I/2009 tentang Penjaminan Syariah, h.,9.

88 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Penjaminan BAB X (Penyelenggaraan

Penjaminan Pasal 38 – Pasal 50)

Page 56: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

46

Sebagai bukti akan adanya hak dan kewajiban para pihak, Kegiatan

penjaminan syariah harus dituangkan dalam sertifikat kafalah.89

2. Pelaksanaan penjaminan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu

penjaminan langsung maupun penjaminan tidak langsung.90

3. Dalam melakukan usahanya, perusahaan penjmaminan syariah menerima

imbal jasa Kafalah (IJK) namun ketentuan mengenai IJK bagi

penjaminan dan penjaminana syariah yang merupakan program

pemerintah diatur dalam perundang-undangan tersendiri.91

4. Pengajuan klaim oleh penerima jaminan kepada perusahaan penjaminan

syariah dapat dilakukan apabila terjamin gagal memenuhi kewajiban

finansial.92

5. Sejak klaim dibayar oleh perusahaan penjaminan syariah, hak tagih

penerima jaminan kepada terjamin beralih menjadi hak tagih perusahaan

penjaminan syariah dan perusahaan penjaminan syariah dapat membuat

perjanjian dengan penerima jaminan agar penerima jaminan melakukan

upaya penagihan atas hak tagih perusahaan penjaminan syariah untuk dan

atas nama perusahaan penjaminan syariah.93

Lebih lengkap diatur dalam POJK nomor 6/POJK.05/2014 pelaksanaan

dibuat dengan lebih jelas dengan ketentuan kegiatan usaha penjaminan

syariah dapat berupa Penjaminan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip

syariah yang disalurkan oleh lembaga keuangan, penjaminan atas pinjaman

atau pembiayaan berdasrkan prinsip syariah yang disalurkan oleh koperasi

simpan pinjam kepada anggotannya, penjaminan atas pinjaman atau

89 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Penjaminan Pasal 38 Ayat 1-3

90 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Penjaminan Pasal 39 ayat 1 selanjutnya

secara detail dijelaskan pada POJK nomor 6/POJK.05/2014

91 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Penjaminan Pasal 43 ayat 2 dan 5

92 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Penjaminan Pasal 54

93 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Penjaminan Pasal 47 ayat 1 dan 2

selanjutnya dalam POJK nomor 6/POJK.05/2014 pasal 20 disebutkan perusahaan penjaminan akan

memperoleh pengembalian dana klaim secara proporsional

Page 57: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

47

pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atas program kemitraan yang

disalurkan oleh badan usaha milik negara dalam rangka program kemitraan

dan bina lingkungan.94

Seperti yang disebutkan pada UU Nomor 1 tahun 2016 pada pasal 39

ayat 1 bahwa penjaminan dapat dilakukan dalam dua bentuk dan dengan

persyaratan sebagai berikut:95

1. Penjaminan langsung:

a. Telah dilakukan analisis kelayakan calon terjamin yang dilakukan

oleh calon penerima jaminan

b. Terdapat permohonann penjaminan dari calon terjamin kepada

perusahaan penjaminan syariah

c. Terdapat surat penegasan permintaan penjaminan dari calon

penerima jaminan kepada perusahaan penjaminan syariah

d. Telah dilakukan analisis kelayakan calon terjamin yang dilakukan

oleh perusahaan penjaminan syariah

e. Telah diterbitkan sertifikat penjaminan

f. Telah dilakukan pembayaran IJK kepada penjamin

2. Penjaminan tidak langsung :

a. Telah dilakukan analisis kelayakan calon terjamin yang dilakukan

oleh calon penerima jaminan

b. Terdapat permohonan penjaminan dari calon terjamin melalui

penerima jaminan

c. Terdapat perjanjian kerjasama antara penerima jamianan dan

perusahaan penjaminan syariah

d. Telah dilakukan pembayaran IJK kepada perusahaan penjaminan

atau perusahaan penjaminan syariah

e. Telah diterbitkan sertifikat penjaminan

94 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.05/2004 Tentang Penyelenggaraan

Usaha Lembaga Penjaminan BAB II (Kegiatn Usaha) Pasal 3

95 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.05/2004 Tentang Penyelenggaraan

Usaha Lembaga Penjaminan Pasal 12

Page 58: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

48

Ketentuan mengenai sertifikat penjaminan sebagaimana dimaksud dalam

pasal 12 harus memuat paling kurang ketentuan mengenai :96

1. Nama dan alamat perusahaan penjaminan, penerima jaminan dan

terjamin;

2. Uraian manfaat penjaminan

3. Jenis penjaminan

4. Nilai penjaminan

5. Nilai Imbal Jasa Kafalah

6. Jangka waktu penjaminan

Adanya ketentuan Perjanjian kerjasama sebagaimana dimaksud dalam

penjaminan tidak langsung harus memuat paling kurang :97

1. Nama dan alamat perusahaan penjaminan syariah dan penerima jaminan

2. Uraian manfaat penjaminan

3. Hak dan kewajiban perusahaan penjaminan syariah, penerima jaminan,

dan terjamin

4. Cara pembayaran IJK

5. Waktu yang diakui sebagai saat diterimanya IJK

6. Pembatalan kontrak perjanjian penjaminan, baik dari pihak Perusahaan

penjaminan syariah maupun penerima jaminan termasuk syarat dan

penyebabnya

7. Syarat dan tatacara pengajuan klaim, termasuk bukti pendukung yang

diperlukan dalam pengajuan klaim

8. Tatacara pelaksanaan peralihan hak tagih setelah klaim dibayar oleh

perusahaan penjaminan syariah

96 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.05/2004 Tentang Penyelenggaraan

Usaha Lembaga Penjaminan Pasal 13

97 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.05/2004 Tentang Penyelenggaraan

Usaha Lembaga Penjaminan Pasal 14

Page 59: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

49

9. Pemilihan tempat penyelesaian perselisihan

POJK ini mengatur dengan spesifik untuk perusahaan penjaminan

pembiayaan yang beroperasi dengan menggunakan prinsip syariah diatur

sebagai berikut :

1. Perusahaan penjamainan syariah harus memenuhi prinsip keadilan

(‘adl), dapat dipercaya (amanah), keseimbangan (tawazun),

kemaslahatan (maslahah), dan keuniversalan (syumul) dan tidak

mengandung hal-hal yang diharamkan seperti ketidak pastian atau

ketidak jelasan (gharar), perjudian (maysir), bunga (riba), penganiayaan

(zhulum), suap (risywah), maksiat, dan obyek haram.98

2. Perjanjian penjaminan dengan prinsip syariah wajib menggunakan akad

kafalah bil ujrah yang dalam akad tersbeut paling sedikit memuat:99

a. Objek yang dijamin dapat seluruh atau sebagian dari kewajiban bayar

yang timbul dari transaksi syariah dan hal lain yang dapat dijamin

berdarkan prinsip syariah

b. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk

menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad)

c. Besaran IJK harus ditetapkan dalam akad berdasarkan kesepakatan

d. Kafalah bil ujrah bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara

sepihak

D. Penjaminan Sebagai Bentuk Kehati-hatian Penyaluran Pembiayaan

Pada dasarnya, bank yang menjalankan suatu usaha apa pun pasti

mengandung tingkat kerugian. Dalam hal pembiayaan yang diberikan oleh

perbankan resiko berupa kerugian dari nasabah penerima pembiayaan tidak

sanggup lagi membayar semua kewajibannya baik untuk sementara waktu

98 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.05/2004 Tentang Penyelenggaraan

Usaha Lembaga Penjaminan Pasal 25

99 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.05/2004 Tentang Penyelenggaraan

Usaha Lembaga Penjaminan Pasal 26

Page 60: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

50

atau dalam jangka waktu yang seterusnya. Karena hal tersebut perbankan

harus berupaya mengantisipasi kerugian yang terjadi. Pada pasal 38 Undang-

udang perbankan syariah diatur bahwa Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah

wajib menerapkan menajemen risiko, prinsip mengenal nasabah, dan

perlindungan nasabah. Salah satu fungsi manajemen risiko adalah sebagai

metologi yang digunakan untuk mengendalikan resiko yang timbul dari

kegiatan usaha bank.100

Bank Indonesia memberikan penegasan tentang pentingnya penerapan

Manajemen Resiko Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (PBI

Nomor 13/23/PBI/2011). Hal tersebut berkaitan dengan urgensinya penerapan

prinsip kehati-hatian bank dalam menyalurkan dana melalui skim

pembiayaan.101 Penilaaian suatu bank syariah untuk memberikan persetujuan

terhadap suatu permohonan pembiayaan syariah dilakukan dengan

berpedoman pada Prinsip 5C, prinsip-prinsip tersebut ialah watak,

kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha atau kemampuan oleh

Debitur.102 Keharusan bank untuk menerapkan prinsip kehati-hatian ini untuk

mencegah terjadinya pembiayaan yang bermaslaah dikemudian hari.

Untuk menghindari timbulnya kredit macet setiap bank perulu

melakukan pembinaaan kredit sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

yang berlaku dari segi hukum. Setiap kredit yang diberikan harus

berpedoman pada 3 hal :103

100 Praturan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Bank Indonesia nomor

13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Resiko bagi Bank Umum Syariah dan UUS,

dijelaskan bahwa kegiatan usaha perbankan syariah tidak terlepas dari risiko yang dapat

menggaggu kelangusngan bank dikarenakan produk dan jasa perbankan syariah memiliki

karakteristik produk dengan harus diterapkannya identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan

pengendalian risiko yang sesuai dengan kegiatan usaha perbankan syariah.

101 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 2 : Perbankan Syariah dalam

melakukan kegiatan usahanya berdasar Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-

hatian.

102 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h., 64.

103 Supaijo, Aspek-aspek Hukum Perdata Dalam Penyaluran Kredit Perbankan Kepada

Masyarakat, Jurnal ASAS, III , 1 (Januari, 2011), h.,15.

Page 61: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

51

1. Aman dalam arti legal risk setiap pembiayaan yang diberikan telah

terbebas dari segala kekurangan, baik mengenai kewenangan subjek

hukum, objek hukum, maupun jaminan dan yang menyangkut pihak-

pihak lain. Menjadi kedudukan hukum bagi bank bila dikemudian hari

terjadi pembiayaan atau kredit bermasalah

2. Terarah dalam arti setiap pembiayaan yang diberikan harus sesuai dengan

peruntukannya baik dari sisi penerima maupun dari sisi kegunaannya

3. Menghasilkan yaitu setiap penyaluran pembiayaan akan memberikan

keuntungan pada bank dan meningkatkan kesejahteraan rakyat

Sehubungan dengan risiko yang kemungkinan terjadi, maka salah satu

hal yang penting dalam pemberian pembiayaan tidak terlepas dari adanya

suatu jaminan. Jaminan ini merupakan suatu bentuk kepercayaan bank kepada

nasabahnya dalam hal kemampuan nasabah debitur untuk dapat melunasi

kredit atau pembiayaan yang diterimanya. Salah satu contohnya diterapkan

pada peraturan pemberian Kredit Usaha Rakyat yang dikenal dengan KUR.

Dalam pelaksanaannya bank pelaksana umumnya hanya bermodalkan

kepercayaan terhadap Nasabah Mikro. Berdasarkan kasus tersebut, apabila

diperlukan bank penyalur KUR juga dapat menambahkan agunan dengan

ketentuan sebagai berikut :104

1. Agunan pokok yaitu usaha atau obyek yang dibiayai oleh KUR

2. Agunan tambahan105 be rdasarkan yaitu agunan yang diminta sesuai

dengan kebijakan atau penilaian oleh penyalur KUR

104 KEP-20 /D.I.M.EKON/11/2010 Tentang Standar Operasional Dan Prosedur

Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat bagian D (Agunan dan Pengikatan), Lihat Juga PerMen Koord

Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017 tetang Pedoman Pelaksanaan

Kredit Usaha Rakyat Pasal 12

105 Selanjutnya Kasmir menambahkan dalam bukunya , pada praktiknya, yang dapat dijadikan

jaminan kredit oleh calon debitur adalah sebagai berikut:

1. Jaminan dengan barang-barang, seperti tanah, bangunan, kendaraan bermotor, peralatan,

barng dagangan, tanaman, dan barang berharga lainnya.

2. Jaminan surat berharga, seperti sertifikat saham, obligasi, sertifikat tanah, sertifikat

deposito promis, wesel, dan surat berharga lainnya.

3. Jaminan orang atau perusahaan, yaitu jaminan yang diberikan oleh seseorang atau

perusahaan kepada bank terhadap fasilitas kredit yang diberikan. Apabila kredit tersebut

Page 62: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

52

Sebagai antisipasi dari kreditor bila dikemudian hari debitur ingkar janji

atau melakukan wanprestasi, maka bank akan meminta debitor atau nasabah

memberikan jaminan bagi utangnya. Selain jaminan dalam bentuk kebendaan,

penjamin dapat juga berupa personal guarantee (penjaminan perorangan)

ataupun corporate guarantee (penjaminan perusahaan), yang dimintakan

sebagai jaminan pelengkap disamping jaminan utama atas perjanjian

pemberian pembiayaan dimana perjanjian penjaminan ini juga sebagai

perjanjian asesoir (accessoir), tambahan, atau ikutan yang dimana utang-

piutang atau pembiayaan merupakan perjanjian pokoknya.106

Jaminan kredit atau pembiayaan apapun bentuknya yang disetujui dan

diterima oleh bank selanjutnya akan mempunyai beberapa fungsi dan salah

satunya adalah unutuk mengamankan pelunasan kredit atau pembiayaan bila

pihak peminjam cidera janji. Selain itu fungsi jaminan dalam rangaka

pemberian pembiayaan berkaitan juga dengan kesungguhan pihak peminjam

untuk memenuhi kewajibannya untuk melunasi pembiayaan sesuai dengan

yang diperjanjikan dan menggunakan dananya secara baik dan hat-hati.107

Berdasarkan hal tersebut, pentingnya adanya jaminan dalam bentuk apapun

terhadap pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan.

macet maka orang atau perusahaan yang memberikan jaminan itulah yang diminta

pertanggungjawabannya atau menanggung risikonya.

4. Jaminan asuransi, yaitu bank menjaminkan kredit tersebut kepada pihak asuransi terutama

terhadap fisik objek seperti kendaraan, gedung, dan lainnya. Jadi, apabila terjadi

kehilangan atau kebakaran, maka pihak asuransi yang akan menanggung kerugian

tersebut.

Lihat Kasmir, Manajemen Perbankan, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2007),h.,80-

81.

106 Lenny dan Isis, Implementasi Hukum Personal Guarantee Dalam Praktik Kepailitan,

Jurnal Pagaruyuang Law Journal, Wol 1 No.2, Januari 2018, h.,146. Jaminan perorangan seperti

telah dijelaskan sebelumnya yaitu suatu perjanjian antara seorang yang berpiutang (kreditor)

dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban-keajiban debitur, bahkan

perjanjian-perjanjian tersebut dapat diadakan diluar atau tanpa sepengetahuan debitur. Lihat,

Subekti., Jaminan-jaminan untuk pemberian kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung: Citra

Aditya Bhakti,1999), h.,15.

107 Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta:PT

Rajagrafindo Persada, 2007), h.,4-5. Selanjutnya, Bahsan menambahkan fungsi jaminan kredit

yang ditinjau dari sisi bank maupun dari sisi debitur yaitu 1) Jaminan pembiayaan sebagai

pengaman pelunasan pembiayaan, 2) Jaminan pembiayaan sebagai pendorong motivasi debitur, 3)

Fungsi yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan perbankan.

Page 63: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

53

Menurut Sri Sudewi mengatakan bahwa secara khusus jaminan

perorangan sering digunakan dalam praktek dengan alasan sebagai berikut :108

1. Penanggung mempunya persamaan kepentingan ekonomi didalam usaha

dari si peminjam

2. Penanggun memesan pesan piutang dan banyak terjadi dalam bentuk

Bank Garansi, dimana yang bertindak sebagai penangung adalah bank

3. Penanggungan juga mempunyai peran penting karena dewasa ini

lembaga-lembaga pemerintah lazim mensyaratkan adanya penanggungan

untuk kepentingan pengusaha-pengusaha kecil.

Dalam hal pembiayaan yang jaminannya terdiri dari dua bentuk yaitu

jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Dalam hal jaminan kebendaan

diharuskan adanya upaya penilaian terhadap barang jaminan, agar kreditur

mendapat kepastian apabila pengembalian pinjaman nantinya terjadi hal yang

tidak diinginkan oleh kreditur, dan sebagai upaya unutk mencegah lahirnya

wanprestasi. Dan selain itu, upaya meminimalisir terjadinya wanprestasi,

maka diharuskan adanya penyediaan penjamin (borgrocht) guna menjamin

kepastian serta keteriban dari pihak peminjam dalam pelunasan utangnya.109

Fungsi jaminan kredit untuk mengamankan pelunasan kredit sangat berkaitan

dengan kepentingan bank yang menyalurkan dananya kepada debitur yang

sering kali mengandung resiko.

Terkait praktik pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat yang tidak tidak

disyaratkan adanya jaminan maka menjadi tantangan tersendiri bagi pihak

perbankan dalam menyalurkan dana terlebih dalam penerapan prinsip kehati-

hatian. Diatur pada pasal 4 ayat 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor

22/PMK.05/2010 tentang Perubahan keduaa atas Peraturan Menteri

108 Sri Soedewi, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan

Jaminan Perorangan, (Yogjakarta: BPHN dan Liberty, 2001), h., 80-81.

109 Cok Istri Ratih, Tanggung Jawab Penjamin Terhadap Debitur Yang Tidak Dapat

Memnuhi Prestasi Kepada Kreditur, (Ringkasan Skripsi S-1 Hukum Bisnis Fakultas Hukum,

Universitas Udayana), h.,4.

Page 64: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

54

Keuangan Nomor 135/PMK.05/2008 tentang Fasilitas Penjaminan Kredit

Usaha Rakyat bahwa bank Bank Pelaksana memutuskan pemberian KUR

berdasarkan penilaian terhadap kelayakan usaha sesuai dengan asas-asas

perkreditan yang sehat, serta dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku.

Dalam hal ini perbankan dituntut untuk menerapkan peraturan internal yang

berlaku demi diterapkannya prinsip kehati-hatian perbankan.

Tugas perbankan sangatlah kompleks dalam hal pembiayaan atau kredit

yang hanya memegang jaminan berupa kepercayaan, dengan tidak mengenal

karakteristik nasabah, resiko besar dapat terjadi yang dapat disebabkan

Asymetric Information. Ketidak merataan informasi ini mengakibatkan

kesalah pahaman bagi masyarakat dalam pemanfaatan dana pembiayaan.

Oleh karenanya, haruslah dipahami bahwa esensi perlunya jaminan tambahan

adalah jika pihak bank menilai adanya resiko yang besar dan ketidak pastian

atas pembiayaan atau kredit sehingga diperlukan jaminan tambahan.110

Dengan pemahaman ini program penjaminan atau jaminan tambahan atas

pembiayaan jelas bukanlah hak tapi suatu opsi yang ditawarkan oleh pihak

bank bagi nasabah. Opsi ini berupa jaminan yang semula dalam bentuk aset

menjadi jaminan dalam bentuk Corporate Guarantee.

Seiring peerkambangan bentuk pembiayaan dalam ranah keuangan

syariah, berkembang pula bentuk perjanjian pada ketentuaannya diharuskan

untuk tetap merujuk pada penerapan prinsip syariah. Salah satunya perjanjian

penjaminan dalam ketentuannya diatur pada fatwa DSN MUI nomor

74/DSN-MUI/I/2009 tentang Penjaminan syariah, Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 6/POJK.05/2004 Tentang Penyelenggaraan Usaha

Lembaga Penjaminan, serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang

Penjaminan. Segala aspek ketentuan tersebut juga merujuk pada peraturan

dalam ketentuan KUHPerda dan konsep Kafalah serta Fatwa DSN No.

11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah. Tujuan dari diterapkannya akad

Kafalah bil Ujrah ini merupakan sebagai bagian dari perkembangan akad

110 Kasmir, Manajemen Perbankan, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2007), h.,80.

Page 65: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

55

kontemporer yang diterapkan pada lembaga keuangan syariah diantaranya

Perbankan Syariah dan Lembaga Penjaminan yang berperan penting dalam

berkembangnya transaksi keuangan dalam masyarakat dan sekaligus

berkewajiban menjaga agar prinsip syariah tetap diterapkan.

Page 66: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

57

BAB IV

KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN

PENJAMINAN SYARIAH MENURUT PRINSIP SADD AL-DZARI’AH

A. Penggunaan Metode Sadd Al-Dzari’ah dalam Konteks Ekonomi

Terdapat pergerakan dari realita yang terjadi di kehidupan masyarakat

yang tidak bisa dihindari, dan di sisi lain tetap harus memperhatikan

keberadaan hukum. Hal ini menunjukkan kedinamisan hidup manusia sebagai

mukallaf. Sebagai Al-Mukhatab bi Al-Hukm, manusia idealnya dipertuhankan

oleh hukum, bukan sebaliknya. Pemahaman tentang hukum tidak dinamis,

tidak mampu beradaptasi dan tidak responsif terhadap persoalan manusia

yang terus berkembang diakibatkan oleh realita hukum yang dipandang

sebagai suatu produk pemikiran yang statis dan final.111

Segala perbuatan dan perkataan yang dilakukan mukallaf yang dilarang

syara’ terkadang dengan sendirinya menyebabkan kerusakan tanpa adanya

perantara. Syara’ dalam mencegah kemafsadatan tidak semata-mata

menghalangi pada perbuatan yang mengakibatkan mafsadah dengan

sendirinya, karena agama menghambat segala hal atau jalan yang

mengakibatkan kepada mafsadah, walaupun perbuatan itu mubah atau tidak

mengandung mafsadah.112

Hal tersebut juga berlaku dalam penetapan hukum dalam ruang lingkup

masyarakat. Agama sangat memperhatikan kondisi masyarakat sehingga

dengan adanya metode penetapan hukum, kaidah, dan pengaturan yang

mampu mengikuti dinamika permasalahan yang timbul dan tetap dapat

responsif. Hal ini pulalah yang terkait dengan metode Sadd Al-Dzari’ah yang

digunakan sebagai metode ijtihad dan mengenyampingkan Fath Al-Dzari’ah

111 Maulidi, Paradigma Progresif dan Maqashid Syariah:Manhaj Baru Menemukan

Hukum Responsif , Jurnal Asy-Syir’ah, 49, 1, (Juni, 2015), h., 294.

112 Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h., 320-

322.

Page 67: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

58

dan seringkali dalam kondisi berbeda yang terjadi juga harus sebaliknya,

keduanya berdasarkan pada adanya kemungkinan-kemungkinan kasusnya.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, metode Sadd Al-Dzari’ah

adalah metode ijtihad yang penggunaannya bergantung pada jenis akibat yang

ditimbulkannya, metode ini hanya dapat digunakan apabila akibat yang

ditimbulkan perbuatan tersebut mengarah pada kerusakan atau hal negatif saja

sehingga metode ini tidak bersifat mutlak. Namun, kemungkinan untuk

melihat aspek positif dari penggunaan metode, sarana, atau jalan atas suatu

kasus atau perbuatan juga perlu dilihat atas kemungkinan diwujudkannya

Maqashid Syari’ah yang lain, yaitu kemaslahatan.113

Alasan kesamaan oleh para ulama secara umum untuk menggunakan

metode Sadd Al-Dzari’ah sebagai salah satu sumber hukum, hal ini menjadi

dasar yang ditetapkan Al Qur’an dan As-Sunnah dan telah digunakan oleh

sahabat-sahabat Rasul dalam berbagai kasus misalnya keharusan ijab qabul

dengan lisan oleh Hasbi Ash Shiddigiey yang menggunakan metode Sadd Al-

Dzari’ah selain menggunakan metode maslahah mursalah. Hasbi beristinbat

bahwa suatu yang mendatangkan manfaat kepada manusia maka kita

diwajibkan mengerjakannya dan menolak mafsadat yaitu suatu yang

menyebabkan kerusakan maka kita dilarang mengerjakannya. Karena itu

dalam keharusan ijab qabul denga lisan dalam jual beli menurut Hasbi baik

itu kecil atau besar sangat diwajibkan sekali karena akan menimbulkan

manfaat baik bagi penjual dan pembeli yang berujung pada terhindar dari

kecurangan dan terwujudnya kerelaan.114

Penggunaan metode Sadd Al-Dzari’ah diterapkan juga pada

pengharaman riba yaitu pendapat ulama Mazhab Hanafi tentang illat riba

fadhl yang berpandangan bahwa barang yang sejenis dan dapat ditimbang dan

113 Jasser Audah, Al-Maqasid Untuk Pemula, alih bahasa ‘Ali ‘Abdelmon’im

(Yogyakarta: SUKA Press UIN Sunan Kalijaga, 2013), h., 98-100.

114 AH Muzaki, Studi Analisis Pendapat Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy

Tentang keharusan Ijab Qabul dengan Lisan, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah, Institut Islam Negeri

Wali Songo Semarang, 2009), h., 49-50.

Page 68: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

59

kemudian diperjual belikan dan terdapat tambahan dari salah satunya dari hal

itu terjadilah riba fadhl. Adapun jual beli pada selain barang-barang yang

ditimbang, seperti hewan, kayu, dan lainnya tidaklah dikatakan riba meskipun

ada tambahan dari salah satunya, seperti menjual satu kambing dengan dua

kambing sebab tidak termasuk barang yang bisa ditimbang. Diantara hikmah

diharamkannya riba adalah untuk menghilangkan tipu-menipu diantara

manusia dan juga menghindari kemudharatan. Asal keharamannya adalah

Sadd Al-Dzari’ah (menutup pintu kemudharatan). Akan tetapi ada juga yang

betul-betul dilarang seperti menukar barang yang baik dengan yang buruk,

sebab hal yang keluar dari ketetapan harus adanya kesamaan.115

Dalam konteks perbankan yang menerapkan bunga, para ulama dan

cendikiawan muslim masih berbeda pendapat tentang keharamannya.

Pendapat yang secara garis besar mengharamkan bunga bank atau riba yaitu

menegaskan bahwa riba itu haram dalam segala bentuknya. Pendapat ini

dikemukakan oleh Muhammad Darraz, seorang ahli hukum dari Saudi Arabia

yang mengatakan bahwa baik secara moral maupun sosiologis, riba itu sangat

merusak. Persoalan riba sekarang bukanlah persoalan sebab, illat, atau

prinsip-prinsip dasar tentang riba, melainkan persoalan bagaimana

menerapkan konsep riba itu. Dan berpendapat bahwa keharaman riba

merupakan Sadd Adh-Dhari’ah.116

Dalam ruang lingkup pesantren, fenomena metode istinbath hukum dari

metode qauli yang sudah mentradisi menjadi metode manhaji yang lebih

progresif. Pada dasarnya, ciri khas pesantren adalah menganut fiqh mazhab

Syafi’i salah satunya dalam ruang lingkup muamalah dan sangat jarang

merujuk pada kitab-kitab non-syafi’iyyah, tetapi justru langsung merujuk

pada kaidah-kaidah fiqhiyyah sebagi solusi terakhir dalam istinbath hukum

115 Abdul Aziz dan Retina Sri, Riba Dalam Perspektif Fiqih Muamalah dan teori Bunga

Atas Produk Lembaga Keuangan Konvensional, MPRA Paper No. 88079, (Juli, 2018), h., 7.

116 Abdul Aziz dan Retina Sri, Riba Dalam Perspektif Fiqih Muamalah dan teori Bunga

Atas Produk Lembaga Keuangan Konvensional, MPRA Paper No. 88079, (Juli, 2018), h., 14.

Page 69: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

60

yang bersumber dari kitab-kitab fikih.117 Hal positif dari penerapan tersebut

menunjukkan adanya dinamika metode istinbath hukum yang terjadi di

lingkungan pesantren.

Seperti pada kasus di pesantren Ploso yang menerapkan metode Al-

Dzari’ah dalam kasus penjualan ampas tahu yang kebiasaannya untuk

memberi makan babi. Jika yakin bahwa ampas tahu itu dijual untuk makanan

babi maka hukumnya jual beli itu haram, jika tidak yakin maka makruh,

meskipun ampas tahu itu termasuk barang suci yang sah dijual dan secara

formalitas fiqh bentuk akad jual beli itu sah asal sudah ada ijab qabul, namun

pada akhirnya barang itu digunakan untuk sesuatu yang haram.118

Penggunaan metode Sadd Al-Dzari’ah pada keharaman multi akad salaf

dan jual beli. Akad utang piutang dengan syarat jaminan objek barang yang

belum lunas cicilannya. Hal itu termasuk kategori akad berganda yang

dilarang dalam hukum Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. :

عليه و سل م عن بيع و سلف ن صل ى ال هى رسول ال

Rasulullah Saw melarang jual beli dan pinjaman. (HR Ahmad Dari Abu

Hurairah Ra)

Jumhur ulama melarang praktik multi akad ini, yakni terjadi

perhimpunan akad jual beli (mu’awadhah) dengan pinjaman (qardh) apabila

dipersyaratkan. Nabi melarang melarang multi akad antara akad jual dan salaf

karena sebagai upaya mencegah (Sadd Adh-Dhari’ah) jatuh kepada yang

diharamkan berupa transaksi ribawi. 119

117 Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, (Jakarta:Kencana,2008), h., 313-314.

118 Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, (Jakarta:Kencana,2008), h., 318.

119 Hidayatina, Tinajuan hukum Islam tentang pelaksanaan pinjaman dengan jaminan

emas pada pembiayaan mulia di pegadaian syariah, Jurnal Ilmiah Syariah, XV, 1 (Januari-Juni,

2016), h., 60.

Page 70: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

61

Golongan Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa akad jual beli salam itu

menjadi batal demi hukum dan tidak diperbolehkan melakukan penundaan

penyerahan objek barang oleh penjual pada saat jatuh tempo. Ulama

berpendapat bahwa objek dari akad jual beli salam itu pada dasarnya

merupakan utang piutang. Golongan ulama ini berpendapat menggunakan

metode Sadd Al-Dzari’ah karena penundaan penyerahan objek jual beli salam

itu bisa menjerumuskan akad kedalam akad jual beli utang piutang yang

dilarang oleh syara’.120

Perbedaan pendapat ulama tentang jual beli hewan dengan hewan perihal

jual beli yang dilakukan secara tempo. Ulama Malikiyyah berpendapat

keharaman jual beli secara tempo antara suatu hewan dengan hewan lain yang

mempunyai kesamaan atau keserupaan manfaat dan kualitas dan kuantitas

yang berbeda antara keduanya. Penjelasannya bahwa selama kedua hewan itu

mempunyai kesamaan, tidak ada gunanya jual beli dengan cara tempo dan ia

termasuk jual beli salaf yang menarik keuntungan tanpa resiko sehingga

hukumnya haram.121

Ada tidaknya hukum senantiasa ditentukan oleh illat namun tidak

menutup kemungkinan perkembangan dinamika sosial masyarakat yang terus

bergerak akan mempengaruhi dinamika sistem hukum yang ada di dalamnya.

Sehingga hukum harus terus ikut berkembang dan dituntut untuk terus

mengikuti perubahan yang ada. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,

metode Sadd Al-Dzari’ah sebagai salah satu sumber untuk dapat menentukan

pokok hukum atas sebuah keadaan dalam ruang lingkup masyarakat di segala

aspek kehidupan khususnya di bidang Muamalah. Melihat unsur maslahat dan

mafsadat serta tujuan syara’ yang menjadi pilar utama, dengan menggunakan

metode Sadd Al-Dzari’ah diharapkan hukum Islam akan selalu

mengedepankan kemanfaatan dan kemaslahatan hukum.

120 Asmawi, Perbandingan ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), h., 151.

121 Asmawi, Perbandingan ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), h., 148.

Page 71: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

62

B. Analisis Prinsip Sadd Al-Dzari’ah dan KUHPerdata Atas Ketidaktahuan

Nasabah Dalam Pelaksanaan Perjanjian Penjaminan Syariah

Penjaminan merupakan salah satu upaya oleh lembaga keuangan untuk

menjamin dana yang disalurkannya kepada pihak pemohon pembiayaan.

Pada praktiknya jaminan yang diartikan secara luas menjadi dua bentuk yaitu

agunan dan penanggungan baik bersifat perorangan maupun perusahaan.

Penjaminan perorangan atau perusahaan yang menggunakan akad Kafalah Bil

Ujrah harus berpedoman pada fatwa DSN MUI Nomor 74/DSN-MUI/I/2009

tentang Penjaminan Syariah dan diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 6/POJK.05/2004 Tentang Penyelenggaraan Usaha

Lembaga Penjaminan yang terdiri atas dua bentuk yaitu penjaminan langsung

dan tidak langsung.

Menurut penulis, kedua bentuk penjaminan yang menggunakan akad

Kafalah bil Ujrah ini memiliki implikasi hukum yang berbeda. Berbagai

literatur menjelaskan tentang bentuk perjanjian, rukun sarat dan akibat serta

hubungan hukum dari pelaksanaan penjaminan namun tidak menjelaskan

secara kongkret bagaimana bentuk implikasinya. Menurut Rini Fatma, relasi

hukum dan konsekuensi dari akad kafalah yang dilakukan oleh para pihak

akan berbeda-beda karena terdiri atas 3 pihak yaitu kafil, makful anh dan

makful lah. Perjanjian penjaminan yang sifatnya accesoir, dikarenakan

perjanjian pokoknya dari hubungan hukum yang utama terjadi antara pihak

pertama yaitu makful anh dan pihak kedua sebagai makful lah. Dan

berdasarkan kesepakatan yang dibuat, kafil menjadi pihak yang menjamin

perbuatan hukum yang menjadi tanggung jawab makful anh kepada makful

lah.122

Bila dilihat berdasarkan syarat subjektif dan objektifnya, perjanjian

penjaminan yang dilaksanakan dalam penjaminan pembiayaan di lembaga

keuangan telah sesuai dengan konsep Kafalah. Namun, berdasarkan konsep

122 Rini Fatma, Jaminan Dalam Pembiayaan Syariah (Kafalah dan Rahn), Jurnal

Kordinat, XV, 2 (Oktober,2016), h., 14.

Page 72: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

63

perjanjian yang ada pada lembaga keuangan telah banyak penafsiran atas

pengertiaan dari penjaminan. Hal ini dapat dilihat dari dua bentuk perjanjian

penjaminan yang banyak digunakan oleh para pihak yang terlibat. Namun,

bukan berarti hubungan hukum tersebut batal atau terlarang. Salah satu

bentuk penjaminan tersebut adalah penjaminan tidak langsung123 dalam hal

ini pihak terjamin diwakilkan oleh penerima jaminan untuk melakukan

permohonan penjaminan kepada pihak penjamin. Berdasarkan hasil

wawancara yang penulis lakukan pada Bank BJB Syariah kcp Ciputat, bahwa

pihak terjamin tidak mengetahui bahwa adanya pihak penjamin atas

permohonan pembiayaan yang dilakukan debitur yang dalam hal ini juga

selaku terjamin.124 Dalam ketentuan selanjutnya, terjamin tetap harus

membayar kewajibannya dalam bentuk pengalihan hak tagih.125

Mengenai dua bentuk praktik penjaminan yang diterapkan pada lembaga

keuangan syariah, baik diketahui oleh para pihak ataupun tidak, keduanya

memiliki landasan hukum. Hal ini sesuai dengan perbedaan pendapat dari

para ulama tentang syarat-sayarat menanggung, Ibnu Rusyd menjelaskan

bahwa Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i mensyaratkan harus atas seizin

orang yang ditanggung. Jika dilakukan atas seizin orang ditanggung,

penanggung boleh menagih hak yang telah dibayarkan sedangkan Imam

Malik tidak mensyaratkan hal itu. Imam Syafi’i menambahkan tidak boleh

menanggung orang yang tidak dikenal, atau terhadap hak-hak yang tidak

wajib dipenuhi.126

123 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.05/2004 Tentang Penyelenggaraan

Usaha Lembaga Penjaminan Pasal 12 ayat 2

124 Hasil wawancara bersama Pak Fajrian Septiawan, Supervisior BJB Syariah Ciputat,

Interview pribad, Ciputat, 23 Juli 2018

125 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.05/2004 Tentang Penyelenggaraan

Usaha Lembaga Penjaminan Pasal 20 ayat 1 yang berbunyi:

“Sejak laim dibayar oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah,

hak tagi penerima jaminan kepda terjamin beralih menjadi hak tagi perusahaan

penjaminan atau perusahaan penjaminan syairah (subrogasi).”

126Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, (Jakarta: Akbar Media,

2013), h.,494.

Page 73: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

64

Penulis berpendapat, berdasarkan syarat penanggungan dari ulama bahwa

penanggungan itu harus seizin orang yang ditanggung, penulis kemudian

menganalisis hal tersebut telah sesuai pula dengan konsep perjanjian dalam

hukum positif dikarenakan keterlibatan terjamin atau orang yang ditanggung,

merupakan bagian dari penerapan asas perjanjian dalam hukum perikatan

yaitu asas kepastian hukum (Konsensus)127 selain itu dalam penerapan sahnya

suatu perjanjian (dalam KUHPerdata pasal 1320) juga harus memenuhi

beberapa unsur yang salah satunya adalah sepakat mereka yang mengikatkan

dirinya.

Telah penulis paparkan pula pada bab sebelumnya bahwa, umumnya

penanggungan itu dapat diberikan untuk menjamin pemenuhan perutangan

yang timbul dari segala macam hubungan hukum yang lazimnya hubungan

keperdataan. Namun dimungkinkan pula penanggungan diberikan untuk

menjamin pemenuhan prestasi yang lahir dari hubungan hukum yang bersifat

hukum publik. Sri Soedewi memaparkan bahwa perjanjian penjaminan dapat

diminta oleh kreditur dengan menunjuk seorang penanggung, atau yang

diajukan oleh debitur yang akan menanggung jika debitur wanprestasi.

Dri Soedewi menambahkan dibolehkan pula kreditur menunjuk seorang

penanggung untuk memenuhi perutangan debitur tanpa persetujuan debitur.

Hal ini sesuai dengan konsep penjaminan yang dilaksanakan dan juga

berlandaskan pada kutipan pasal 1823 KUHPerdata tentang penanggungan

utang bahwa seorang dengan kehendaknya dapat mengajukan diri sebagai

penanggung tanpa mengetahui untuk siapa ia mengikatkan dirinya dan

bahkan diluar pengetahuan orang yang ditanggung.

Walaupun undang-undang membatasi bahwa tidak dibolehkan membuat

perjanjian dengan orang lain dan mengatas namakan pihak lain dalam

perjanjian yang dibuat (pasal 1315 KUHPerdata), pembatasan dalam

127 Pada dasarnya seuatu perjanjian dibuat anatar dua orang atau lebih bersifat mengikat,

dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian

tersebut. Lihat, Kertini dan Gunawan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: PT Raja

Grafindo, 2004), h., 34-35.

Page 74: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

65

mengatasnamakan pihak lain dibolehkan jika dalam hal perjanjian yang

dibuat adalah untuk menjamin pihak ketiga atas kewajibannya (pasal 1316

KUHPerdata).128 Dengan kata lain penanggung berkewajiban mengganti

kerugian kreditur jika pihak ketiga (debitur) tidak melaksanakan

kewajibannya.

Mengenai akibat penanggungan yang diatur pada pasal 1839

KUHPerdata bahwa penanggung yang telah membayar klaim dapat menuntut

apa yang telah dibayarnya kepada debitur, dengan ketentuan tanpa

memperhatikan apakah perjanjian penanggungan itu diadakan atas

persetujuan ataupun tanpa persetujuan debitur. Dalam hal ini sesuai dengan

ketentuan pada POJK Nomor 6/POJK.05/2004 Tentang Penyelenggaraan

Usaha Lembaga Penjaminan bahwa terjamin tetap harus membayar

kewajibannya dikarenakan adanya pengalihan hak tagih, mengharuskan

terjamin mengetahui adanya pihak penjamin.

Selanjutnya berdasarkan hukum Islam menggunakan hasil analisis

penulis, dalam hal terjamin mengetahui dan terlibat dalam perjanjian

penjaminan, dapat menjadi terlarang atau menimbulkan kemafsadatan bila

dianalisa menggunakan teori Sadd Al-Dzari’ah merupakan suatu metode

istinbath hukum terhadap kasus yang belum ada nash. Dalam hal ini Sadd Al-

Dzari’ah merupakan bentuk wasilah atau perantara. Nasrun Haroen

mendefinisikan Al-Dzari’ah yaitu melakukan suatu pekerjaan yang semula

mengandung kemaslahatan untuk menuju kepada suatu kemafsadatan.129

Pengertian tersebut bermakna suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan

karena mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan lain yang akan dicapai

akan menimbulkan kemafsadatan.

Menurut penulis, praktik penjaminan yang tidak adanya hubungan

hukum antara penjamin dan terjamin dalam praktik pelaksanaan penjaminan

128 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bab Ke Dua tentang Perikatan-perikatan yang

dilahirkan dari kontrak atau perjanjian.

129 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 161.

Page 75: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

66

pembiayaan di perbankan syariah, merupakan salah satu jalan atas ditutupnya

atau menghindari tindakan yang menimbulkan mafsadat diantaranya jika

pihak terjamin mengetahui adanya penjamin, maka terjamin akan melakukan

tindakan yang membahayakan pihak perbankan yaitu moral hazard dari

debitur atau penerima pembiayaan. al-Mazri yang dikutip oleh Ibn Asyhur,

bahwa Sadd Al-Dzari’ah adalah pelarangan atas apa saja yang pada dasarnya

itu boleh dilakukan, agar dia tidak mengarah pada yang dilarang untuk

dilakukan.130 Sehingga dalam hal ini menjadi alasan terjamin boleh tidak

mengetahui pihak penjamin agar menghindari tindakan yang mengarah pada

mafsadat.

Berikut ini merupakan tingkatan Al-Dzari’ah yang dikemukakan oleh

Ibnu Qayyim, Al-Dzari’ah dibagi menjadi empat yang ditinjau berdasarkan

dampak atau akibat yang ditimbulkannya :131

e. Al-Dzari’ah yang memang pada dasarnya membawa pada kerusakan

f. Al-Dzari’ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun

ditujukan untuk perbuatan buruk yang merusak baik yang disengaja

ataupun yang tidak disengaja.

g. Al-Dzari’ah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujuakn untuk

kerusakan, namun biasanya sampai juga pada kerusakan yang mana

kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya.

h. Al-Dzari’ah yang semula ditentukan untuk mubah, namun terkadang

membawa pada kerusakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil

dibanding kebaikannya.

Nasrun Haroen menambahkan keempat Adh-Dhariah ini dibentuk oleh dua

hal, yaitu Al-Dzari’ah yang kemaslahatan pekerjaan itu lebih kuat dari

130 Muhammad Thahir Ibn Asyur, Maqasid Syari’ah al-Islamiyyah (Petaling Jaya

Malaysia: Dar An-Nafais, 2001), h., 365.

131 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 166.

Page 76: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

67

kemafsadatannya dan Al-Dzari’ah yang kemafsadatanya lebih kuat dari

kemaslahatannya.132

Selanjutnya, Guna mengetahui apakah sarana atau wasilah (Adh-

Dhari’ah) bisa dipergunakan atau tidak karena manfaatnya untuk mengetahui

dan menentukan boleh tidaknya suatu perbautan untuk dilakukan, maka

secara umum hal itu bisa dilihat dari dua hal, yaitu :133

3. Motif atau tujuan yang mendorong untuk melaksanakan suatu perbuatan,

apakah perbuatan itu akan berdampak kepada sesuatu yang diharamkan

atau dihalalkan

4. Akibat yang terjadi dari perbuatan, tanpa harus melihat kepada motif dan

niat si pelaku. Jika akibat atau dampak yang terjadi dari perbuatan adalah

sesuatu yang dilarang atau mengakibatkan kemafsadatan, maka

perbuatan itu harus dicegah. Dan jika akibat atau dampak yang terjadi

dari suatu perbautan mendatangkan maslahah maka perbuatan itu boleh

dilakukan.

Penulis berpendapat, praktik penjaminan yang tidak melibatkan pihak

terjamin, merupakan salah satu bentuk upaya mencapai kemaslahatan

dikarenakan jika nasabah mengetahui adanya penjaminan akan cenderung

melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian atau mafsadat. Mafsadat

tersebut sudah diketahui dan dapat di prediksi oleh perbankan karena sudah

menjadi kewajiban perbankan untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam

penyaluran pembiayaan. Salah satu contohnya yaitu pada pembiayaan KUR

(kredit Usaha Rakyat) yang tidak mewajibkan adanya jaminan tambahan

sehingga perbankan hanya bermodalkan jaminan pokok dan kepercayaan atas

nasabah yang tidak memenuhi persyaratan penyaluran pembiayaan. Dan

kalaupun nasabah yang berskala mikro mampu memenuhi jaminan tambahan,

132 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 166.

133 Wahbah az-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Iskami, Juz II (Beirut: Dar al-Fikri al- Muasir,

1986), h., 178-179.

Page 77: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

68

namun tetap menjadi tugas perbankan untuk menjaga resiko dari hal-hal yang

tidak diiginkan melalui adanya pihak penjamin selain dengan adanya jaminan

dalam bentuk aset. Sehingga, untuk menjaga keamanan dana perbankan,

Pemohon pembiayaan KUR (debitur) tidak dilibatkan dalam perjanjian

penjaminan berdasarkan hasil prediksi dan analisis atas nasabah yang

dilakukan oleh perbankan untuk mecegah resiko.

Maka hal ini sesuai pendapat Imam As Syatibi :

الذريعةإلى الفساد يجب سد ها إذا لم تعار ضها مصلحة راجحة

Artinya : “Jalan menuju kerusakan itu wajib ditutup jika tidak

mengakibatkan maslahat yang lebih besar”

Merujuk pada hasil wawancara yang dilakukan penulis, akibat dari

perjanjian penjaminan yang melibatkan nasabah, akan menimbulkan masalah

jika perbankan juga tidak mengenal karakteristik nasabah dan resiko besar

dapat terjadi yang akhirnya mengarah pada perbuatan moral hazard. Menurut

Taswan Ibrahim dan Ragimun, moral hazard telah luas digunakan untuk

menjelaskan perilaku debitur ataupun kreditur yang berani mengambil resiko.

Perilaku pihak-pihak tersebut yang menciptakan intensif untuk memiliki

agenda dan tidakan yang tersembunyi yang berlawanan dengan etika bisnis

dan hukum yang berlaku untuk keuntungan dirinya. Dalam tindakan tersebut,

dilakukan atas nama koorporasi, demi kepentingan korporasi, berdasarkan

hubungan kerja atau hubungan lain, dalam lingkup usaha, baik diri sendiri

atau bersama-sama.134 Tindakan moral hazard ini sangat besar kemungkinan

untuk merugikan pihak lain yang berkepentingan135 dan hal ini dapat terjadi

134 Selanjutnya Taswan Ibrahim dan Ragimun menambahkan bahwa secara singkat

penyabab moral hazard adalah persoalan regulasi dan perundang-undangan yang lemah, aspek

penjaminan simpanan, dan aspek penjaminan kredit. Taswan Ibrahim dan Ragimun, Moral Hazard

dan Pencegahannya Pada Industri Perbankan di Indonesia, Kementrian Keuangan Republik

Indonesia. h., 5-7.

135 Moral hazard yang terjadi karena peminjam (dibitur) terhadap pemberi pinjaman. Hal

ini merupakan masalah asimetri informasi yang terjadi setelah transaksi pembiayaan dilakukan.

Page 78: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

69

jika nasabah mengetahui adanya pihak penjamin atas dana yang diperolehnya

dari pembiayaan.

Menurut Imam Malikiyyah dan Hanabilah, bahwa yang dijadikan

patokan boleh atau tidaknya transaksi tidak hanya dari segi niat saja, tapi juga

dari segi akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut. Sekalipun sifatnya

masih dugaan, namun dalam banyak kasus, dalam berijtihad dan penentuan

hukum berdsarkan dugaan berat dan menekankan akan perlunya bersikap

waspada salam beramal136 Jika fokus pada akibat dari perjanjian penjaminan

yang diketahui oleh terjamin, maka secara umum diduga keras akan

membawa pada kemafasadatan yaitu tindakan moral hazard.

Selanjutnya penulis menganalisis, perilaku diatas yang menjurus pada

tindakan yang merugikan jika dilihat berdasarkan hukum Islam merupakan

bentuk Dharar. Secara bahasa, Dharar berarti sempit atau mengurangi hak

orang lain terkait harta dan jiwa.137 Arti Dharar dalam Al-Qur’an yang

dijelaskan oleh Ahmad Muwafi salah satunya adalah gangguan dan ujian

yang terjadi dalam bisnis138 mengenai Dharar, Allah SWT berfirman dalam

QS Ali-Imran (3): 111

ثم لا ينصرون 139 قاتلوكم يول وكم الادبار ا اذى وان ي وكم ال ا لن ي ضر

Akibatnya memberikan kedudukan pada pemberi pembiayaan untuk berasa dalam posisi penerima

resiko dari usaha yang dilakukan pihak peminjam. Permaslahan ini dapat terjadi karena peminjam

dapat mengalihkan kewajibannya pada hal yang beresiko tinggi tanpa sepengetahuan pemberi

pinjaman. Dan apabila mengalami kerugian, akan ditanggung oleh pemberi pinjaman (pembiayaan

yang diberikan tidak kembali). Lihat, Taswan Ibrahim dan Ragimun, Moral Hazard dan

Pencegahannya Pada Industri Perbankan di Indonesia, Kementrian Keuangan Republik

Indonesia. h., 16.

136 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 164

137 Jaih Mubarok dan Hasanudin, Prinsip-prinsip Perjanjian, (Bandung: Simbiosa

Rekatama Media, 2017), h., 249.

138 Jaih Mubarok dan Hasanudin, Prinsip-prinsip Perjanjian, (Bandung: Simbiosa

Rekatama Media, 2017), h., 251.

139 Quraish Shihab menambahkan, kata وكم yang dipahami)ضرر( terambil dari kataيضر

oleh para ulama dalam arti menyakitkan badan. Beliau menambahkan, gangguan-gangguan kecil

(cemoohan) itu bukanlah mudharat, tetapi sebaliknya yang melakukan itulah yang mendapat

Page 79: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

70

Artinya : Mereka tidak akan membahayakan kamu, kecuali gangguan-

gangguan kecil saja, dan jika mereka memerangi kamu, niscaya mereka

mundur berbalik kebelakang (kalah). Selanjutnya mereka tidak mendapat

pertolongan.

Selnjutnya hadis riwayat Imam Al Tarmizi, dari Abu Bakr al Siddiq r.a.,

Rasulullah Saw. bersabda yang artinya Dilaknat orang yang membuat

kesulitan bagi orang mukmin atau melakukan penipuan terhadapya. Dalam

hadis ini menjelaskan membuat mukmin terkena/tertimpa fasad (kerusakan)

atau tersakiti, baik agama, fisik, akal, kehormatan, amupun hartannya, yang

termasuk dalam lima pokok tujuan syariah yang harus dipelihara.140

Sebagaimana metode Sadd Adh-Dhari’ah, Dharar juga merupakan topik

yang paling sering digunakan dalam kajian ilmu kaidah fiqh. dalam tujuan

atas perbuatan yang diduga membawa pada suatu kemafsadatan, kaidah yang

bisa dijadikan dasar atas tindakan tersebut adalah :141

م على جلب المصالح درءالم فاسد مقد

“Mencegah Mafsadah (kerusakan) harus didahulukan daripada mengambil

kemaslahatan”

رر يدفع بقدرالاء مكان ا ض

“Segala mudharat harus dihindarkan sedapat mungkin”

mudharat. Lihat, Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah (Pesan, Kesan, dan eserasian Al-Qur’an),

(Ciputat: Lentera Hati, 2007), h.,187

140 Jaih Mubarok dan Hasanudin, Prinsip-prinsip Perjanjian, (Bandung: Simbiosa

Rekatama Media, 2017), h.,255.

141 Jaih Mubarok dan Hasanudin, Prinsip-prinsip Perjanjian, (Bandung: Simbiosa

Rekatama Media, 2017), h., 266.

Page 80: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

71

Dari uraian diatas, tindakan moral hazard yang dapat terjadi akibat dari

terjamin atau nasabah akan merugikan pihak-pihak yang berkepentingan

dalam hubungan hukum tersebut. Dan kerugian tersebut mengandung unsur

Dharar yang dalam Islam dianjurkan untuk dihindarkan karena akan

menghilangkan unsur manfaat.

Tindakan moral hazard ini bertentangan dengan karakteristik bisnis

dalam Islam yang memadukan prinsip-prinsip bisnis dan moral secara

sekaligus. Karena Islam dalam bisnis dituntut untuk menciptakan

kemaslahatan sehingga terwujudnya maqashid syariah yaitu menjaga lima

pokok kemaslahatan itu; agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Menurut A.

Kadir, tujuan utama bisnis syariah adalah memelihara solidaritas masyarakat

dan memperkenalkan moralitas yang tinggi di lapangan bisnis berdasarkan

hukum Allah SWT.142

Tujuan ketidak terlibatan nasabah dalam perjanjian penjaminan yang

mana untuk menghindari adanya tindakan moral hazard oleh nasabah,

menurut penulis merupakan upaya untuk menjaga salah satu dari lima pokok

kemaslahatan yaitu menjaga harta (hifzh al-maal). A.Kadir menambahkan,

menjaga harta merupakan sebuah isyarat bahwa umat Islam harus

memanfaatkan hartanya dalam kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi.

Namun harta ini bisa menjadi nikmat atau bencana tergantung pada niat, cara

mendapatkan, dan cara pandang terhadap harta. Berkaitan dengan usaha

menjaga harta, hukum bisnis syariah mengizinkn kepada pemilik harta untuk

mempertahankan miliknya dengan sagala cara.143

Berkata Abi Al-A’war Sa’id bin Zaid bin Amr bin Naufal, Saya

mendengar Rasulullah Saw. telah bersabda :144

...من قتل دون ماله فهو شهيد

142 A.Kadir, Hukum Bisnis Syariah dalam Al Qur’an, (Jakarta : Amzah, 2010), h.,119.

143 A.Kadir, Hukum Bisnis Syariah dalam Al Qur’an, (Jakarta : Amzah, 2010), h.,133.

144 A.Kadir, Hukum Bisnis Syariah dalam Al Qur’an, (Jakarta : Amzah, 2010), h.,135.

Page 81: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

72

Artinya : “Barang siapa mati karena membela hartanya, maka ia mati dalam

keadaan syahid....”

Jika ditinjau berdasarkan konsep penjaminan untuk pembiayaan,

Menurut ijma’ secara garis besar kaum muslimin sepakat bahwa adh-dhaman

(jaminan) adalah boleh, karena memang dibutuhkan oleh manusia dan guna

membantu untuk menghilangkan beban dari diri orang yang berutang.145

Selanjutnya, akad kafalah memiliki tiga fungsi bagi masing-masing

personalia hukumnya, yaitu:146

1. Akad kafalah bagi ashiil merupakan istiqrah (permintaan pinjaman untuk

membayar/melunasi utangnya)

2. Akad kafalah bagi kafil (setelah membayar atau melunasi utang ashil)

merupakan iqradh (mengutangi pihak ashil) dan kafil berkedudukan

sebagai wakil dari ashil

3. Akad kafalah bagi makful lah merupakan at-tamlik (kepemilikan) atas

utang ashil yang wajib dibayar kepadanya

Pada dasarnya ashiil harus diketahui oleh pihak kafiil, bertujuan untuk

mengetahui dan mengenal keadaan ashiil atau makful anhu, apakah ia

mempunyai kondisi perekonomian yang lapang, termasuk orang yang

memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk membayar kewajibannya,

ataukah ia termasuk orang yang berhak dibantu atau tidak. Namun, sebagian

fuqaha juga memperbolehkan kafalah dengan pihak ashiil yang tidak

diketahui secara pasti siapa orangnya. Menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah

tidak disyaratkan harus mengetahui pihak makful anhu (ashiil). Hal ini

diqiyaskan atau disamakan dengan masalah persetujuan dari makful anhu

tidak termasuk syarat di dalam kafalah. 147 Secara prioritas hal itu juga sah

145 Wahbah Az Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu,Jild 6 (Damaskus: Darul Fikr, 2007),

h.,35.

146 Jaih Mubarok dan Hasanudin, Fiqih Muamalah Maliyah:Akad Tabarru, (Bandung:

Simbiosa Rekatama Media, 2017), h., 203.

147 Wahbah Az Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu,Jild 6 (Damaskus: Darul Fikr, 2007),

h.,49.

Page 82: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

73

jika memang itu berdasarkan adanya al iltizaam (komitmen).148 Pendapat ini

sesuai dengan hadist riwayat Al Bukhari dari Salamah bin Al-Akhwa’

yaitu:149

تيى بىجنا زة رجل ليصل يى ع عليه وسل م أ :ليه فقال ان الن بي ى صل ى ال

:قال ف .ديناران ,نعم :قالوا ,هل عليه دين :قال .لا :قالوا ,هل ترك شيىئا

.صل وا على صاحبكم فصل ى .هما علي ى يا رسول ال :بو قتادة قال أ

عليه وسل م 150 عليه الن بي ى صل ى ال

Artinya : “Telah dihadapkan kepada Rasulullah s.a.w. jenazah seorang laki-

laki untuk dishalatkan. Rasulullah bertanya, ‘apakah ia mempunyai hitang?’

sahabat menjawab, ‘Tidak’. Maka Beliau menshalatkannya. Kemudian

dihadapkan lagi jelzah lain, Rasulullah pun bertanya, ‘apakah ia mempunyai

hitang?’ mereka menjawab, ‘Ya’. Rasulullah berkata, ‘Shalatkanlah

temanmu itu’ (Beliau sendiri tidak mau menshalatkannya). Abu Qatadah

berkata, ‘Saya menjamin utangnya, ya Rasulullah’. Maka Rasulullah pun

menshalatkan jenazah tersebut.”

Ketentuan mengenai ketidaktahuan nasabah itu dibolehkan jika dianalisis

menurut hukum Islam. Penulis menggunakan metode Sadd Al-Dzari’ah untuk

menganalisis kebolehan ketidaktahuan terjamin dalam perjanjian penjaminan

syariah khsusnya penjaminan untuk pembiayaan. Hal ini didukung oleh

148 Wahbah Az Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu,Jild 6 (Damaskus: Darul Fikr, 2007),

h.,39.

149 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo, 2002), h., 190.

Page 83: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

74

kesepakatan fuqaha yang tidak mengharuskan terjamin mengetahui adanya

penjamin yang telah penulis uraikan pada penjelasan diatas. Sesuai dengan

salah satu bentuk penjaminan tidak langsung yang berimplikasi pada

perjanjian penjaminan yang tidak melibatkan terjamin dan seharusnya

penjamin tidak memiliki hak untuk menagih kembali dana jaminan.

Tujuan maqashid syariah untuk mencapai kemaslahatan dapat ditempuh

dengan berbagai metode ijtihad dalam perkembangan kehidupan masyarakat

khususnya dalam ibadah muamalah. Salah satunya penggunaan metode Sadd

Al-Dzari’ah yang telah dikenal dan digunakan oleh para ulama dan bahkan

telah ada setelah wafatnya Rasulullah saw. yang mana tidak lagi ada sumber

hukum selain dengan berijtihad.

Dalam konteks penjaminan yang juga merupakan permasalahan

kontemporer, penulis menganalisis bagaimana penggunaan metode Sadd Al-

Dzari’ah dalam permasalahan ketidaktahuan nasabah atau terjamin atas

perjanjian penjaminan syariah antara penjamin dan penerima jaminan dengan

upaya untuk menonjolkan sisi kemaslahatan atas penerapan ketentuan

tersebut. Berda sarkan kebolehan dari pendapat ulama, telah penulis uraikan

faktor-faktor dan alasan mengapa dianjurkan bagi nasabah untuk tidak

mengetahui atau tidak terlibat dalam perjanjian penjaminan. Adapun

akibatnya akan menimbulkan tindakan moral hazard yang dalam hal ini

tindakan moral hazard akan merugikan pihak lain yang memiliki kepentinga

dan kerugian tersebut masuk dalam kategori Dharar yang harus dihindarkan

dalam syariat Islam.

Page 84: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

75

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Dari penelitian yang telah diuraikan dalam pembahasan bab-bab yang

lalu, bisa ditarik kesimpulan bahwa perjanjian penjaminan yang dilakukan

tanpa sepengetahuan nasabah yang sekaligus sebagai terjamin, jika dianalisis

menggunakan hukum positif dan hukum Islam memiliki kesamaan yaitu

memolehkan nasabah tidak mengetahui. Namun, terdapat beberapa perbedaan

pada bentuk analisis dan ditemukan perbedaan pada alasan hukum mengapa

kebijakan ketidak tahuan tersebut diperbolehkan.

Adapun faktor-faktor yang mendasari kebolehan nasabah tidak terlibat

dalam perjanjian penjaminan adalah :

1. Pasal 1832 KUHPerdatam, bahwa boleh menanggung diluar

pengetahuan orang yang ditanggung (terjamin)

2. Pasal 1316 KUHPerdata memberikan pengecualian dalam hal wajibnya

perjanjian untuk menjamin pihak ketiga atas kewajibannya.

3. Adanya kecenderungan dari nasabah untuk melakukan perbuatan moral

hazard ini yang salah satu contohnya adalah ketidak merataan informasi

dari nasabah kepada perbankan dalam menggunakan dana pembiayaan

4. perbankan wajib untuk mengutamakan penerapan prinsip kehati-hatian

dalam menyalurkan pembiayaan

5. dharar yaitu mengurangi hak orang lain terkait harta dan jiwa dan tidak

dilibatkannya terjamin merupakan upaya untuk menjaga kemaslahatan

6. diwujudkannya salah satu maqashid syariah yaitu menjaga harta (hifzh

al-maal);

Analisis yang dilakukan penulis dalam mengetahui landasan hukum

kebolehan ketidak tahuan nasabah atas perjanjian penjaminan yaitu, menurut

Hukum Positif ketentuan mengenai perjanjian yang diatur berdasarkan pasal

1320 KUHPerdata adalah diaturnya sepakat mereka yang mengikatkan diri

Page 85: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

76

dan dengan tujuan penerapan asas kepastian hukum (Konsensus). Namun,

khusus untuk penanggungan, diatur pada Pasal 1823 tentang penanggungan

utang bahwa dibolehkan seorang menanggung tanpa mengetahui untuk siapa

dan bahkan diluar sepengetahuan orang yang ditanggung.

Berdasarkan peraturan bahwa tidak dibolehkan membuat perjanjian

dengan mengatasnamakan pihak lain (Perwakilan), ketentuan itu dikecualikan

untuk menanggung kewajiban pihak ketiga (debitur) kepada kreditur (Pasal

1316 KUHPerdata). Dan mengenyampingkan ketentuan perjanjian bahwa

diwajibkan adanya perikatan antara dua pihak atau lebih. Adapun akibat dari

Penjaminan diatur pada pasal 1839 KUHPerdata bahwa penanggung tetap

berhak memperoleh kembali dana klaim yang telah dibayarnya, tanpa

memperhatikan apakah perjanjian itu dilakukan atas persetujuan ataupun

tanpa persetujuan debitur.

Tinjauan berdasarkan hukum Islam menggunakan teori Sadd Al-

Dzari’ah, berdasarkan pengertian Sadd Al-Dzari’ah adalah menutup jalan

yang pada dasarnya dibolehkan namun jika dilakukan akan menimbulkan

kemudharatan yang lebih besar. Tujuan yang seharusnya terjadi dalam

perjanjian dengan melibatkan para pihak adalah menghindari gharar karena

ketidak pastian hukum. Namun, jika dalam kasus ini jika nasabah mengetahui

adanya jaminan makan nasabah (terjamin) akan cenderung melakukan

tindakan yang merugikan kreditur.

Perjanjian penjaminan yang tidak melibatkan nasabah merupakan jalan

untuk menutup perbuatan yang merugikan atau menimbulkan mafsadat.

Tidak dilibatkannya terjamin merupakan wasilah atau jalan agar melindungi

pihak lain dari fasad. Walaupun kemudharatan yang terjadi masih dalam

bentuk perkiraan, ulama menekankan pada mengutamakan prinsip

pemeliharaan kemaslahatan dan keselamatan. Sekalipun terlibatnya terjamin

dalam perjanjian penjaminan pembiayaan dibolehkan, namun hal tersebut

akan cenderung mengakibatkan nasabah akan dengan sewenang-wenang

menggunakan dana pembiayaan karena mengetahui adanya jaminan atas

pembiayaannya.

Page 86: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

77

B. Saran

1. Untuk terus dapat mengembangkan ilmu dalam aspek hukum Islam,

disarankan bagi para pembaca umumnya dan khususnya untuk mahasiswa

program studi Hukum Ekonomi Syariah untuk memahami lebih mendalam

penggunaan metode istinbath hukum dalam syariat Islam agar dapat

dipahami dan terus dikembangkan. Salah satunya yaitu metode Sadd Adh-

Dhari’ah yang banyak digunakan oleh para ulama untuk menetapkan

sebuah hukum pada permasalahan kontemporer.

2. Ketentuan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.05/2004

Tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjaminan bahawa adanya

pengalihan hak tagih dari penerima jaminan kepada penjamin (subrogasi),

penulis memberikan saran kepada penelitian selanjutnya untuk meninjau

menurut pandangan Islam mengenai pengalihan hak tagih dalam perjanjian

penjaminan yang mana perjanjian tersebut tidak diketahui oleh terjamin.

Page 87: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

78

DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Ghofur, Pokok-Pokok Perjanjian Islam Di Indonesia, Yogyakarta: Citra

Media, 2006.

Abubakar, Al Yasa’, Metode Istilahihah:Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam

Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana,2016.

Ahmadi, Muhammad Fahmi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Huk um,

Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Akbar, Andi Ali, Prinsip-prinsip Dasar transaksi Syariah, Jawa Timur: Yayasan

PP. Darussalam Blokagung, 2014Dahlan, Abd Rahman, Ushul Fiqh,

Jakarta: Amzah, 2010.

Anhari, Masjkur, Ushul Fiqh, Surabaya: Diantama, 2008.

Antonio, Syafi’i, Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Tazkia Cendekia,

2001

Ar-rasyid, Mushaf, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Maktabah Al fatih,

2016

Asmawi, Dr, Perbandingan ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011.

Asyur, Muhammad Thahir Ibn, Maqasid Syari’ah al-Islamiyyah, Petaling Jaya

Malaysia: Dar An-Nafais, 2001.

Asy-Syaukani, Muhammad ibn Ali (w. 1250 H), Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-

Haqq min Tim al ushl, Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyyah, 1994.

Audah, Jasser, Al-Maqasid Untuk Pemula, alih bahasa ‘Ali ‘Abdelmon’im

Yogyakarta: SUKA Press UIN Sunan Kalijaga, 2013.

, Membumikan Al Qur’an melalui Maqasidus Syariah, Terj Rosidin

dan Ali Abd el Munim, Bandung: Mizan, 2015.

Az-Zuhaili, Wahbah, Usul al-Fiqh al-Iskami, Juz II , Beirut: Dar al-Fikri al-

Muasir, 1986.

Page 88: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

79

Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Jakarta: PT

Rajagrafindo Persada, 2007

Baltaji, Muhammad, Metodologi Ijtihad Umar Bin Khattab, Kairo-Mesir: Dar As-

Salam, 2003.

Bambang, Waluyo , Penelitian Huk um Dalam Prak tik , Cet. Keempat

Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

DIRJEN Bimbaga Islam, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, bagian

Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, Jakarta: Departemen Agama

RI, 2003

Djalil, Basiq, Ilmu Ushul Fiqh satu dan dua, Jakarta: Kencana,2010.

Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majlid Tarjih Muhammadiyah, Jakarta:

Logos Publishing House, 1995

Fatah, Abdul, Menggugat Istinbath Hukum Ibnu Qayyim, Semarang: Pustaka

zaman, 2007.

Gunawan, Wijadja, Penanggungan utang dan perikatan tanggug menanggung,

Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Hasanuddin, Fikih Muamalah Maliyyah:Akad Tabarru’, Bandung:Simbiosa

Rekatama Media, 2017

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.

Iskandar Usman, Istihsan dan pembaharuan dalam Islam, (Jakarta:PT Raja

Grafindo Persada, 1994)

Karim, Adiwarman A., Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta:

Gema Insani, 2001

Kasmir, Manajemen Perbankan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.

Lathif, Azharudin, Fiqh Muamalat, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2011

Page 89: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

80

Mardani, Dr, Fiqh Ekonomi Syariah:Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana, 2012.

Mubarok, Jaih dan Hasanudin, Fiqih Muamalah Maliyah:Akad Tabarru,

Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2017.

Mughits, Abdul, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, Jakarta: Kencana, 2008.

Mustafa, Imam, Fiqh Muamalah Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2016.

Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis (Studi

Perbandingan Hukum Islam), Terj Yudian Wahyuni Salim dkk,

Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991

Peter, Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2005

Salim, H., Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: PT Raja

Grafindo persada, 2004.

Salim, Syaikh, Syarah Riyadhush Shalihin, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i,

2005.

Satri, Effendi, Ushul fiqh, Jakarta: Kencana, 2011.

Shiddieqy, Hasbi Ash, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Soedewi, Sri, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan

Jaminan Perorangan, Jogjakarta: Liberty offseta, 2001.

Subekti., Jaminan-jaminan untuk pemberian kredit Menurut Hukum Indonesia,

Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1999.

Sugianto, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2012

Supriyadi, Dedy, Sejarah Hukum Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2010

Syamsul, Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,

2007.

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh 2, Jakarta: Kencana, 2011.

Zahrah, Abu, Ushul Fiqh, Saefullah Ma’shum dkk, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005

Page 90: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

81

Zainuddin, Ali, Metode Penelitian Hukum , Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Penelitian

Ashofatul, Lailiyah, Urgansi Analisa 5C Pada Pemberian Kredit Perbankan

Untuk Meminimalisir Resiko,Jurnal Yuridika, Vol. 29 No. 2, Mei-Agustus,

2014.

Ayief, Fathurrahman, Meninjau Ulang Landasan Normatif Perbankan Syariah di

Indonesia, Jurnal Al Mawarid, Vol XI No.1 Februari-Agustus 2010.

Aziz, Abdul dan Retina Sri, Riba Dalam Perspektif Fiqih Muamalah dan teori

Bunga Atas Produk Lembaga Keuangan Konvensional, MPRA Paper No.

88079, Juli 2018.

Cahya, Tri Bayu, Kilas Kebijakan Good Corporate Governance Pada Perbankan

Syariah, LA Riba Jurnal Ekonomi Islam, Vol. VII No.3, Juli, 2013

Gayo, Ari Akhyar, Dinamika Legislasi Hukum Islam: Analisa Atas Upaya

pembentukan hukum perikatan syariah, Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No.

3, Desember 2015.

Hidayatina, Tinajuan hukum Islam tentang pelaksanaan pinjaman dengan jaminan

emas pada pembiayaan mulia di pegadaian syariah, Jurnal Ilmiah Syariah

Vol.15, No. 1, Januari-Juni 2016.

Ibrahim Taswan dan Ragimun, Moral Hazard dan Pencegahannya Pada Industri

Perbankan Di Indonesia, Peneliti pada Pusat Kebijakan Ekonomi Mikro

Badan Kebijakan Fiskal

Karimatul, Ummah, Pengembangan Konstruksi Metodologi Hukum Silam bagi

Perubahan Masyarakat Indonesia, Jurnal Hukum, Vol. 11 No. 25, Januari,

2014.

Laporan Tahunan PT Jaminan Pembiayaan Askrindo Syariah, 2015

Majdid, Abd., Ijtihad dan Relevansinya Dalam Pembaharuan Pemikiran Hukum

Islam:Studi Atas Pemikiran Yusuf Al-Qardawi, Jurnal Penelitian Agama,

Vol. XVII, No. 2, Mei-Agustus, 2008.

Page 91: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

82

Maulidi, “Paradigma Progresif dan Maqashid Syariah:Manhaj Baru Menemukan

Hukum Responsif ”, dalam Jurnal Asy-Syir’ ah, Volume 49, No 1, Juni,

2015.

Muzaki, AH, Studi Analisis Pendapat Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy

Tentang keharusan Ijab Qabul dengan Lisan, Skripsi S-1 Fakultas

Syariah, Institut Islam Negeri Wali Songo Semarang, 2009.

Nurdhin, Baroroh, Metamorfosis “illat hukum” dalam sad az-Dariah dan Fath

ad-Dzariah (sebuah kajian perbandingan, Al-Mazahib Vol.5 No. 2,

Desember, 2017.

Ratih, Cok Istri, Tanggung Jawab Penjamin Terhadap Debitur Yang Tidak Dapat

Memnuhi Prestasi Kepada Kreditur, (Ringkasan Skripsi S-1 Hukum

Bisnis Fakultas Hukum, Universitas Udayana

Siti, Maryama, Kendala Usaha Mikro Dalam Mengakses Kredit Usaha Rakyat

(KUR), Jurnal Liquidity, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni, 2015.

Siti, Aisiyah, Indikasi Moral Hazard Pada Pembiayaan Mudharabah, Jurnal

Dinamika Ekonomi dan Bisnis, Vol 14 No. 1, Maret, 2017.

Supaijo, Aspek-aspek Hukum Perdata Dalam Penyaluran Kredit Perbankan

Kepada Masyarakat, Jurnal ASAS, Vol.3, No.1, Januari 2011

Sulaeman, Faruk, Analisis Sadd Az zari’ah Terhadap Pelarangan Dana Talangan

Haji Oleh Kementrian Agama Republik Indonesia, Skripsi S-1 Fakultas

Syariah, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2013.

Yasar, Datul Maymunah, Analisis Sadd Adh Dhari’ah Terhadap Ketentuan PBI

13/23/2011 Tantang Penerapan Manajemen Risiko Bank Umum Syariah

dan Unit Usaha Syariah. Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum,

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2014.

Zaidah,Yusna, Model Hukum Islam:Suatu Konsep Metode Penemuan Hukum

melalui Pendekatan Ushuliyyah, Jurnal Syariah: Jurnal Ilmu Hukum dan

Pemikiran Vol. 17, No. 2, Desember, 2017.

Page 92: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

83

Peraturan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Penjaminan

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

KEP-20 /D.I.M.EKON/11/2010 Tentang Standar Operasional Dan Prosedur

Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat

PerMen Koord Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017

tetang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat

Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor: 11/110/Kep.Dir/UPPB Tentang

pemberian Jaminan oleh Bank dan Pemberian Jaminan oleh Lembaga

Keuangan non-Bank

Lampiran SE BI No. 5/26/BPS Tentang Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah

POJK No. 6/POJK.05/2014 Tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga

Penjaminan

Fatwa DSN MUI No.74/DSN-MUI/I/2009 Tentang Penjaminan

Fatwa DSN MUI No: 11/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Kafalah

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

Internet

Pemerintah akan terus berupaya meningkatkan akses pembiayaan UMKM diakses

pada tanggal 1 Juli 2018 dari https://ekon.go.id/berita/view/peningkatan-

peranan.3871.html

Wawancara

Pak Fajrian Septiawan, Supervisior BJB Syariah Ciputat, Interview pribad,

Ciputat, 23 Juli 2018

Page 93: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

84

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 94: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM
Page 95: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM
Page 96: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM
Page 97: KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...KEBIJAKAN KETIDAKTAHUAN NASABAH ATAS PERJANJIAN PENJAMINAN SYARIAH MENURUT HUKUM

DOKUMENTASI