TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH ANTARA PT.
BANK TABUNGAN NEGARA (Persero) Tbk DAN NASABAHSiti Maghfirotun
NimahProgram Studi S-1 Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial,
Universitas Negeri Surabaya,[email protected]
AbstrakPenelitian ini dilatarbelakangi oleh klausula baku yang
terdapat dalam perjanjian kredit pemilikan rumah yang
ditandatangani oleh para pihak, terindikasi adanya unsur klausula
eksonerasi. Hal tersebut merugikan debitur selaku konsumen
perumahan dan menguntungkan kreditur selaku lembaga penyedia dana.
Menimbulkan pertanyaan mengenai akibat hukum adanya klausula
eksonerasi dalam perjanjian kredit pemilikan rumah. Tujuan dari
penulisan skripsi ini adalah untuk menjawab apakah terdapat
unsur-unsur klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit pemilikan
rumah antara PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk sebagai
kreditur dan Muhammad Shalakhudin Al Yazidi sebagai debitur dan
apakah akibat hukum adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian
kredit pemilikan rumah. Metode penelitian yang digunakan adalah
penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan
pendekatan konsep. Teknik analisis secara evaluatif yang diawali
dengan menentukan fokus utama dari peraturan perundang-undangan
kemudian dikaji aspeknya merujuk pada pendapat umum ataupun
pendapat para pakar kemudian dianalisis dengan memberikan kontra
argumen dan diilustrasikan berdasarkan argumen yang tepat pada
alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Hasil pembahasan dalam
skripsi ini menunjukkan bahwa terdapat unsur-unsur klausula
eksonerasi dalam perjanjian kredit pemilikan rumah antara PT.Bank
Tabungan Negara (Persero) Tbk sebagai kredtur dan Muhammad
Shalakhudin Al Yazidi sebagai debitur. Akibat hukum adanya klausula
eksonerasi yang terdapat dalam perjanjian kredit pemilikan rumah
adalah klausula eksonerasi tersebut dapat dimintakan pembatalan
pada pengadilan. Konsekuensinya adalah utang debitur tetap ada dan
debitur tetap diwajibkan melakukan pelunasan utang berdasarkan
hukum, kepatutan dan kelayaan. Dengan demikian maka tujuan awal
yakni masing-masing pihak memperoleh keuntungan atas perjanjian
kredit bank tersebut.
Kata Kunci : Klausula Baku, Perjanjian Kredit, Klausula
Eksonerasi
ABSTRACTThis research was background by standart clause listed
in credit agreement of home ownership which were signed by the
parties, it indicated that there is exoneration clause. The things
caused loss to debtor as a costumer of residence and benefit to
creditor as funding agency. It makes question regarding the legal
effect of the existence of exoneration clause in credit agreement
of home ownership. The purpose of this thesis is to answer are
there elements of exoneration clause in credit agreement of home
ownership between PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk as
creditor and Muhammad Shalakhudin Al Yazidi as debtor and what
legal cause of the existence of exoneration clause in credit
agreement of home ownership. This research method used is normative
legal research with statute approach and conceptual approach. The
analysis technique used evaluative beinning with deciding which
main focus of stating legal rules then reviewed the aspect
referring to common argument or master argument then it was
analyzed by the contra argument and illustrated based on the right
argument on the legal reasons. The result of the discussion in this
thesis is showing that there are elements of exoneration clause in
credit agreement of home ownership between PT. Bank Tabungan Negara
(Persero) Tbk as creditor and Muhammad Shalakhudin Al Yazidi as
debtor. The legal of exoneration clause can be asked for
cancelation in the court. The concequences is debtors debt still
exist and debtor is obliged to make acquittance based on law,
compiance and expedience. Thus the purpose of bank credit agreement
can be redirected to the initial purpose that each party gains
profit on that bank credit agreement.
Keyword :Standart Clause, Credit Agreement, Customer
Protection
Header halaman gasal: Penggalan Judul Artikel Jurnal
2
PENDAHULUAN
Rumah sebagaimana terdapat dalam pasal 1 angka 7 Undang-Undang
Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman (untuk
selanjutnya disebut UU PP) merupakan bangunan gedung yang berfungsi
sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga,
cerminan harkat dan martabat penghuninya serta aset bagi
pemiliknya. Sejak dulu rumah telah menjadi kebutuhan primer bagi
semua orang untuk menjamin kelangsungan hidupnya.Negara telah
menjamin adanya kemudahan dalam setiap pemenuhannya, sebagaimana
disebutkan dalam hal menimbang huruf b UU PP:Bahwa negara
bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui
penyelengaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat
mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan
terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan
berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia.
Amanat untuk mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang
layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis
dan berkelanjutan di wilayah Indonesia masih belum sepenuhnya
terpenuhi. Salah satu penyebabnya adalah adanya kesenjangan
pemenuhan kebutuhan perumahan yang relatif masih besar yakni
terjadi selisih antara kebutuhan perumahan dengan pasokannya atau
backlog 15 juta unit.[footnoteRef:1] [1: Merdeka.com, Pada 24 Mei
2014, Bangun Perumahan Rakyat, BTN Gandeng Korporasi dan
Pemda,http://www.merdeka.com/uang/bangun-perumahan-rakyat-btn-gandeng-korporasi-dan-pemda.html
diakses tanggal 02 Juli 2014.]
Kemudahan pemenuhan unit perumahan dipertegas pula dalam bagian
penjelasan umum UU PP :Sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia,
idealnya rumah harus dimiliki oleh setiap keluarga, terutama bagi
masyarakat berpenghasilan rendah dan bagi masyarakat yang tinggal
di daerah padat penduduk di perkotaan. Negara juga bertanggung
jawab dalam menyediakan dan memberikan kemudahan perolehan rumah
bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman serta keswadayaan masyarakat. Penyediaan dan kemudahan
perolehan rumah tersebut merupakan satu kesatuan fungsional dalam
wujud tata ruang, kehidupan ekonomi dan sosial budaya yang mampu
menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan penyemangat
demokrasi, otonomi daerah dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Rumusan ini menyiratkan bahwa kemudahan pemenuhan kebutuhan akan
perumahan bagi masyarakat merupakan tanggung jawab negara.
Seharusnya hal ini dapat menjadi angin segar bagi masyarakat
sehingga dapat dengan mudah memiliki unit perumahan.Bertolak dari
uraian tersebut, dalam upaya kemudahan pemenuhan unit perumahan
sebagai tempat tinggal atau hunian dengan harga terjangkau,
masyarakat dapat membeli rumah secara kredit melalui lembaga
perbankan dengan cara mengajukan Kredit Pemilikan Rumah (untuk
selanjutnya disebut KPR). Pengajuan KPR tersebut dapat dilakukan
oleh perorangan secara langsung melalui bank maupun melalui
perusahaan pengembang (developer) selaku pihak yang kegiatan
usahanya adalah membangun dan menjual perumahan kepada konsumen.
Pembelian rumah oleh konsumen melalui pengembang dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu:[footnoteRef:2] [2: Edwyn Agung, 2008,
Pelaksanaan Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di PT. Bank
Danamond Indonesia, Tbk Cabang Semarang Pemuda, Tesis Pascasarjana
tidak diterbitkan. Semarang: Program Magister Kenotariatan
Pascasarjana Universitas Diponegoro, hlm.4.]
a. Sistem tunai bertahap, yakni konsumen membayar secara
bertahap dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun langsung
kepada pengembang.b. Sistem KPR, yakni dengan cara kredit yang
pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu sampai dengan 20
tahun.Pengajuan KPR yang dilakukan oleh debitur membuat para pihak
menandatangani perjanjian kredit. Adapun menurut pasal 1 angka 21
Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan
Perumahan Dalam Rangka Pengadaan Perumahan Melalui
Kredit/Pembiayaan Pemilikan Rumah Sejahtera (untuk selanjutnya
disebut Permenpera No 4 Tahun 2014) yang dimaksud dengan perjanjian
kredit adalah kesepakatan tertulis antara Bank Pelaksana dan
debitur yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing
pihak sesuai dengan prinsip konvensional. Prinsip konvensional
dapat diartikan sebagai suatu prinsip perbankan yang menggunakan
sistem bunga (interest) sebagai balas jasa atas penyertaan modal
baik simpanan ataupun pinjaman.Perjanjian kredit yang
ditandatangani antara bank dengan debitur dapat dikategorikan
sebagai perjanjian baku. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian
baku adalah perjanjian yang memuat syarat-syarat tertentu sehingga
terlihat lebih menguntungkan pihak pembuatnya, yakni untuk
pembebasan dirinya dari beban dan tanggung jawab dalam suatu
permasalahan hukum tertentu.[footnoteRef:3] Seringkali terjadi,
pihak debitur tidak memiliki kemampuan menawar dalam isi perjanjian
sehingga menjadi pihak yang lemah sedangkan pihak bank dalam posisi
kuat harus selalu mendahulukan kepentingannya selaku pemilik dana
serta cenderung melihat kepada sisi kewajiban debitur terhadapnya.
[3: AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar,
Diadit Media, Jakarta, 2002, hlm.95.]
Klausula baku sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 10
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(untuk selanjutnya disebut UUPK) adalah:setiap aturan atau
ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan terlebih dahulu
secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu
dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen.
Pengertian klausula baku ini tampak penekanannya lebih tertuju
pada prosedur pembuatannya yang dilakukan secara sepihak oleh
kreditur, dan bukan isinya.[footnoteRef:4] [4: Ahmadi Miru dan
Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2004, hlm. 19.]
Pencantuman klausula baku dalam perjanjian kredit yang telah
disiapkan oleh pihak kreditur sebelumnya harus tetap berpedoman
bahwa perjanjian tersebut rumusannya tidak boleh kabur atau tidak
jelas. Selain itu juga perjanjian tersebut sekurang-kurangnya harus
memperhatikan keabsahan dan persyaratan secara
hukum.[footnoteRef:5] Dengan demikian dalam perjanjian kredit
tersebut, debitur tetap terlindungi haknya serta tidak selalu
berada dalam posisi tersudut dan sulit menentukan pilihan. [5: M.
Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2006, hlm. 502.]
Demikian halnya dengan klausula baku yang tertera dalam
perjanjian kredit antara PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk.
(untuk selanjutnya disebut PT. BTN) sebagai kreditur dan Muhammad
Shalakhudin Al Yazidi (untuk selanjutnya disebut MSA) sebagai
debitur, dimana pembuatan klausula baku tersebut telah ditentukan
sebelumnya secara sepihak oleh pelaku usaha, dalam hal ini adalah
PT. BTN. Berkenaan dengan hal tersebut, MSA selaku debitur
dihadapkan pada dua pilihan yakni menyetujui atau menolak
perjanjian yang diajukan kepadanya. Demikian ini menurut Sidharta
menjadi penyebab perjanjian standar dikenal dengan nama take it or
leave it contract.[footnoteRef:6] [6: Sidharta, Hukum Perlindungan
Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000, hlm. 120.]
Mencermati uraian tersebut di atas, maka diperlukan kajian hukum
untuk memahami unsur-unsur klausula eksonerasi yang terdapat dalam
perjanjian kredit pemilikan rumah serta akibat hukum adanya
klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit pemilikan rumah.
Penelitian ini penting dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan
jawaban yang komprehensif atas indikasi adanya klausula eksonerasi
dalam perjanjian kredit pemilikan rumah serta akibat hukum adanya
klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit pemilikan rumah.
METODE PENELITIANJenis penelitian ini menggunakan penelitian
hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan berdasarkan
norma dan kaidah dari peraturan
perundang-undangan.[footnoteRef:7]dalam Dalam penelitian ini sumber
utamanya adalah bahan hukum bukan data atau fakta sosial karena
dalam penelitian hukum normatif yang dikaji adalah bahan hukum yang
berisi aturan-aturan yang bersifat normatif.[footnoteRef:8]
Pemilihan jenis penelitian didasarkan pada pemikiran bahwa
penelitian ini hendak menganalisis norma yang mengatur tentang
klausula baku dan klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit rumah
(BTN). [7: H. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum,
Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 30.] [8: Bahder Johan Nasution, 2008,
Metode Penelitian Hukum, Bandung: Mandar Maju, hlm.86.]
Jenis bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri dari berbagai
peraturan perundang-undangan yang berakitan dengan permasalahan
yang dibahas. Sedangkan bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum
yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.Bahan hukum
primer dikumpulkan dengan cara mencari ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian kredit serta
klausla eksonerasi. Bahan hukum sekunder dikumpulkan dengan cara
menelaah bahan kepustakaan yang dianggap mempunyai relevansi serta
hubungan dengan permasalahan yang diteliti. Semua bahan hukum yang
berkaitan dengan masalah yang dikaji, akan dikumpulkan untuk
kemudian diolah. Teknik pendekatan bahan hukum yang digunakan
adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep.Teknik
analisis yang digunakan dalam kajian ini adalah dengan menggunakan
cara evaluatif. Teknik analisa bahan hukum diawali dengan
menentukan fokus utama dari peraturan perundang-undangan yang ada.
Kemudian dari peraturan perundang-undangan tersebut dikaji aspeknya
merujuk pendapat umum ataupun pendapat para pakar. Setelah mengkaji
melalui pendapat para ahli, kemudian menganalisisnya dengan
memberikan kontra argumen tentang pendapat tersebut yang dikaitkan
dengan rumusan masalah yang ada. Analisa tersebut kemudian
diilustrasikan berdasarkan argumentasi yang tepat pada
alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANHasil PenelitianSebagaimana telah
diuraikan sebelumnya mengenai perjanjian kredit, klausula baku
serta klausula eksonerasi maka suatu perjanjian kredit bank
selayaknya tidak berat sebelah. Perjanjian kredit tidak boleh hanya
melindungi kepentingan-kepentingan kreditur saja atau
kepentingan-kepentingan debitur saja.[footnoteRef:9] Dalam hal
perjanjian kredit, kedudukan bank sebagai kreditur dan nasabah
sebagai debitur tidak pernah seimbang. Pembuatan perjanjian kredit
bank yang dilandaskan hanya pada asas kebebasan berkontrak
semata-mata, isinya atau klausul-klausulnya dapat sangat berat
sebelah, yaitu akan lebih banyak melindungi kepentingan pihak yang
kuat.[footnoteRef:10] [9: Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit, hlm.179]
[10: Ibid, hlm.3 ]
Di dalam praktek perbankan yang lazim di Indonesia, pada umumnya
perjanjian kredit bank yang dipakai adalah perjanjian standar atau
perjanjian baku yang klausul-klausulnya telah disusun sebelumnya
oleh bank. Dengan demikian maka nasabah sebagai calon debitur hanya
mempunyai pilihan antara menerima seluruh isi atau klausul-klausul
perjanjian itu atau tidak bersedia menerima klausul-klausul itu
baik sebagian atau seluruhnya, yang berakibat nasabah tidak akan
menerima kredit tersebut.[footnoteRef:11] [11: Ibid]
Klausula eksonerasi dapat dimaknai sebagai klausul yang
bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah
satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang
bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan
kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian
tersebut.[footnoteRef:12] [12: Ibid, hlm.75]
Tabel 3.1Klausula EksonerasiNoUnsur Klausula Eksonerasi /
Klausula yang memberatkan DebiturPerjanjian Kredit Pemilikan Rumah
Nomor 0006120120928000009
1
Bank Berwenang secara sepihak menentukan harga jual dari barang
agunan dalam hal penjualan barang agunan karena kredit nasabah
debitur macet1. Pasal 19 ayat (1) menyatakan bahwa: apabila debitur
wanprestasi sebagaimana disebutkan pada pasal 15 ataupun debitur
meninggalkan rumah dalam keadaan kosong dalam jangka waktu
sebagaimana disebutkan pada ayat (3) pasal 14, maka setelah
memperingatkan debitur sebagaimana dimaksud pada pasal 15
perjanjian kredit ini, bank berhak untuk melakukan
tindakan-tindakan sebagai berikut:a. Melaksanakan eksekusi terhadap
barang agunan berdasarkan hak tanggungan dan atau fidusia yang
dimilikinya sebagaimana ketentuan perundang-undangan yang berlakub.
Melaksanakan penjualan terhadap barang agunan berdasarkan surat
kuasa untuk menjual yang dibuat oleh debitur.2. Pasal 19 ayat (3)
menyatakan bahwa: apabila berdasarkan pasal ini Bank menggunakan
haknya untuk menagih pelunasan sekaligus atas utang debitur dan
debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya membayar pelunasan
tersebut walaupun telah mendapatkan peringatan-peringatan dari bank
maka bank berhak untuk setiap saat melaksanakan hak eksekusinya dan
atas penjualan barang agunan yang diserahkan debitur kepada bank
menurut cara dan dengan harga yang dianggap baik oleh bank termasuk
dan tidak terkecuali bank berhak sepenuhnya mengambil dan
mencarikan debitur baru untuk mengambil alih atau mengoper utang
debitur.
2.
Denda keterlambatan merupakan bunga terselubung3. Pasal 1 huruf
(l) menyatakan bahwa: denda tunggakan : **1.50% per bulan4. Pasal 9
ayat 1 menyatakan bahwa: kewajiban angsuran yang tidak dilunasi
selambat-lambatnya sebagaimana tercantum pada pasal 1 huruf (k)
perjanjian kredit ini merupakan tunggakan angsuran.5. Pasal 9 ayat
2 menyatakan bahwa: atas tunggakan angsuran sebagaimana disebutkan
pada ayat (1) pasal ini dikenakan denda sebesar prosentase yang
tercantum pada pasal 1 huruf (i) perjanjian kredit ini atas
angsuran yang tertunggak, yang diperhitungkan sejak tanggal jatuh
tempo pembayaran angsuran sebagaimana tercantum pada pasal 2 huruf
(j) perjanjian kredit ini sampai saat dimana seluruh tunggakan
dilunasi oleh debitur.
PEMBAHASAN1. Terdapat Unsur-Unsur Klausula Eksonerasi dalam
perjanjian kredit pemilikan rumaha. Bank berwenang secara sepihak
menentukan harga jual dari barang agunan dalam hal penjualan barang
agunan karena kredit nasabah debitur macet.Perjanjian kredit
pemilikan rumah merupakan suatu perjanjian yang bersifat
konsensuil. Maksudnya adalah perjanjian yang lahir karena adanya
kata sepakat atau persesuaian kehendak dari para
pihak.[footnoteRef:13] Dengan adanya kata sepakat tersebut maka
lahirlah hak dan kewajiban pada masing-masing pihak. Hal ini
berarti pada prinsipnya syarat tertulis sama sekali tidak
diwajibkan dalam suatu perjanjian. Hanya saja untuk memberikan
kemudahan dalam hal pembuktian, akan lebih baik apabila kesepakatan
tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis.[footnoteRef:14] [13:
Purwahid Patrik, Op.Cit. hlm 66] [14: Munir Fuady, Op.Cit,
hlm.29]
Untuk mengetahui atau menilai unsur-unsur klausula eksonerasi
dalam perjanjian kredit pemilikan rumah yang dituangkan dalam
perjanjian standar, terlebih dahulu dikaji mengenai bagaimana hukum
kontrak mengatur tentang syarat-syarat keabsahan suatu
perjanjian.[footnoteRef:15] Hal tersebut dikarenakan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata merupakan rujukan utama dalam kajian
hukum perdata, terlebih mengenai perjanjian. Pasal 1320 KUHPerdata
menentukan adanya 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian, yakni:
(1) adanya kata sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (2)
kecakapan para pihak untuk membuat suatu prikatan; (3) harus ada
suatu hal tertentu; (4) Harus ada suatu sebab (causa) yang
halal.[footnoteRef:16] Keempat syarat tersebut merupakan syarat
utama sahnya suatu perjanjian. Apabila syarat tersebut tidak
dipenuhi maka akan memberikan akibat hukum masing-masing. Apabila
syarat 1 dan 2 atau yang biasa disebut sebagai syarat subjektif
perjanjian tidak dipenuhi, tidak mengakibatkan batalnya perjanjian
tetapi hanya dapat dibatalkan melalui putusan pengadilan. Dapat
diartikan juga apabila sepanjang perjanjian tersebut belum atau
tidak dibatalkan pengadilan, maka perjanjian yang bersangkutan
masih terus berlaku. Apabila persyaratan 3 dan 4 atau yang biasa
disebut sebagai syarat objektif perjanjian tidak dipenuhi, maka
perjanjian tersebut batal demi hukum. Perjanjian yang batal demi
hukum merupakan perjanjian yang sejak semula sudah batal, hukum
menganggap perjanjian tersebut tidak pernah ada.[footnoteRef:17]
[15: RM. Panggabean, Op.Cit. 654] [16: Ibid] [17: Ibid]
Perjanjian Kredit Bank merupakan salah satu contoh dari
perjanjian. Biasanya sudah berbentuk perjanjian baku, yaitu
perjanjian yang telah disusun terlebih dahulu, bersifat standar dan
tidak adanya unsur kebebasan memilih sebagai unsur tradisional
dalam kebebasan berkontrak.[footnoteRef:18] Demikian halnya
perjanjian kredit pemilikan rumah antara PT. BTN dan MSA Nomor
0006120120928000009 yang dituangkan dalam bentuk tertulis berupa
akta perjanjian kredit notariil (otentik). Yang dimaksud dengan
akta perjanjian kredit notariil (otentik) adalah perjanjian
pemberian kredit oleh bank (kreditur) kepada nasabah (debitur) yang
hanya dibuat oleh atau di hadapan notaris.[footnoteRef:19] Definisi
akta otentik sebagaimana terdapat pada pasal 1868 KUHPerdata yakni:
[18: Sutan Remi Sjahdeini, Loc.Cit, hlm.10] [19: H.R Daeng Naja,
Op.Cit, hlm.183]
suatu akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta
dibuatnya.Selanjutnya definisi akta notaris sebagaimana terdapat
dalam pasal 1 angka (7) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang
Jabatan Notaris adalah:Akta Notaris yang selanjutnya disebut akta
adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris
menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang
ini.Akta otentik perjanjian kredit pemilikan rumah nomor
0006120120928000009 telah disiapkan terlebih dahulu oleh pihak
kreditur sedangkan pihak debitur cukup menandatangani perjanjian
sebagai bentuk kesepakatan. Dengan adanya kata sepakat, maka
lahirlah hak dan kewajiban pada masing-masing pihak.Terdapat
indikasi adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit
pemilikan rumah. Yang dimaksud dengan Klausula eksonerasi
adalah:Klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi
tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya
dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya
melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian
tersebut[footnoteRef:20]. [20: Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit,
hlm.75]
Klausul-klausul eksonerasi tersebut dapat muncul dalam berbagai
bentuk. Klausul tersebut dapat berbentuk pembebasan sama sekali
dari tanggung jawab yang harus dipikul oleh pihaknya apabila
terjadi ingkar janji (wanprestasi). Dapat pula berbentuk pembatasan
ganti rugi yang dapat dituntut. Dapat pula berbentuk pembatasan
waktu bagi orang yang dirugikan untuk dapat mengajukan gugatan atau
ganti rugi. Dalam hal ini yang terakhir ini batas waktu tersebut
sering kali lebih pendek dari batas waktu yang ditentukan oleh
undang-undang bagi seseorang untuk dapat mengajukan gugatan atau
ganti rugi.[footnoteRef:21] [21: Ibid, hlm.76]
Klausula eksonerasi yang biasanya dimuat dalam perjanjian
sebagai klausula tambahan atas unsur esensial dari suatu
perjanjian, pada umumnya ditemukan dalam perjanjian baku. Klausula
tersebut merupakan klausula yang sangat merugikan konsumen yang
pada umumnya memiliki posisi lemah jika dibandingkan dengan
produsen, karena beban yang seharusnya dipikul oleh produsen,
dengan adanya klausula tersebut menjadi beban
konsumen.[footnoteRef:22] [22: Ahmadi Miru & Sutarman Yodo,
Op.Cit, hlm.114]
Apabila dicermati keseluruhan isi perjanjian maka para pihak
bebas menentukan apa saja yang menjadi undang-undang baginya selama
tidak bertentangan dengan syarat sah perjanjian dalam 1320
KUHPerdata. Tetapi karena terdapat aturan lain yang lebih khusus
mengenai tata cara penulisan klausula baku, maka aturan yang lebih
khususlah yang digunakan atau dapat dikatakan lex specialist legi
generalist. Sejatinya, kebebasan berkontrak berpangkal pada
kedudukan kedua belah pihak yang sama kuatnya, memiliki posisi
tawar (bargaining position) yang sama, sehingga masing-masing pihak
berkedudukan sebagai mitra kontrak. Kenyataannya tidaklah begitu,
dalam perjanjian kredit pemilikan rumah nomor 0006120120928000009
masing-masing pihak terutama kreditur sebagai pihak yang berada
dalam posisi ekonomi kuat berusaha untuk merebut dominasi atas
pihak debitur dan saling berhadapan sebagai lawan kontrak sehingga
perjanjian kredit tersebut dirasa berat sebelah atau tidak adil.
Padahal keadilan dalam berkontrak lebih terwujud apabila
kepentingan kedua belah pihak saling terpenuhi sesuai dengan hak
serta kewajibannya. Dengan begitu, kontrak dalam perjanjian kredit
dapat menguntungkan para pihak secara timbal balik.Dalam
perkembangannya, penerapan kebebasan berkontrak mengalami
pembatasan-pembatasan, terutama terhadap akibat negatif yang
ditimbulkannya yaitu keadilan dalam berkontrak. Dengan otoritas
yang dimilikinya, negara melalui peraturan perundang-undangan
maupun oleh putusan peradilan memberi pembatasan terhadap penerapan
asas kebebasan berkontrak ini. Hukum kontrak berkembang menjadi
lebih publik dengan mengubah nuansa kepentingan privat menjadi
kepentingan masyarakat. Dapat dicermati menyusutnya elemen-elemen
hukum privat dan sebaliknya bertambahnya elemen-elemen hukum
publik. Akibat nyata dari perkembangan ini adalah berkurangnya
kebebasan individu. Namun seperti juga dikatakan oleh Friedmann,
kebebasan berkontrak masih dianggap aspek yang esensial dari
kebebasan individu, tetapi tidak lagi mempunyai nilai absolut
seperti satu abad yang lalu.[footnoteRef:23] [23: Muhammad Arifin,
Op.Cit. hlm. 283]
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa klausula
eksonerasi hanyalah salah satu perwujudan dari klausul yang secara
tidak wajar sangat memberatkan. Suatu klausul yang tidak
membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap
gugatan pihak lainnya, dapat saja dirasakan sebagai memberatkan
pihak lainnya. Misalnya apabila di dalam perjanjian kredit bank ada
ketentuan yang memberikan hak kepada bank untuk tanpa ada alasan
apapun juga menghentikan, baik untuk sementara maupun selanjutnya,
izin tarik kredit oleh nasabah debitur, adalah tentu saja merupakan
ketentuan yang sangat memberatkan bagi nasabah debitur, sekalipun
ketentuan itu tidak merupakan ketentuan yang membebaskan atau
membatasi tanggung jawab bank terhadap gugatan nasabah debitur.
Klausul yang demikian itu tetap saja berarti bank tidak mungkin
dapat dimintai tanggung jawab atas tindakannya yang berupa menolak
penggunaan selanjutnya atas kredit itu oleh nasabah debitur tanpa
perlu ada alasan untuk itu.[footnoteRef:24] [24: Sutan Remi
Sjahdeini, Op.Cit, hlm.77]
Terdapat dua aturan dasar bagi berlaku dan mengikatnya
klausul-klausul perjanjian baku bagi mitra perjanjiannya yang harus
diperhatikan oleh pihak yang menyodorkan perjanjian baku
sebagaimana berlaku di luar negeri. Aturan dasar yang pertama ialah
menyangkut substansi atau isi dari perjanjian baku tersebut. Aturan
dasar yang kedua adalah menyangkut prosedurnya. Yaitu aturan dasar
yang menyangkut klausul tersebut disajikan atau dihadirkan oleh
pihak yang menyodorkan perjanjian baku tersebut.[footnoteRef:25]
[25: Ibid, hlm.118]
Dalam hukum perjanjian Indonesia (KUHPerdata) terdapat tolok
ukur dalam menentukan klausul dalam perjanjian baku merupakan suatu
klausul yang secara tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak
lainnya. Pasal yang dapat digunakan sebagai salah satu tolok
ukurnya adalah pasal 1337 KUHPerdata dan 1339
KUHPerdata.[footnoteRef:26] Pasal 1337 KUHPerdata menjelaskan bahwa
suatu kausa adalah terlarang apabila kausa itu dilarang oleh
undang-undang, atau bertentangan dengan moral atau dengan
ketertiban umum. Pasal ini dapat ditafsirkan bahwa isi atau
klausul-klausul suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan
dengan undang-undang, moral dan atau ketertiban umum. Sedangkan
pasal 1339 KUHPerdata dijelaskan bahwa: [26: Ibid]
Persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat dari persetujuan itu diharuskan oleh
kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.Pasal ini haruslah
ditafsikan bahwa bukan hanya ketentuan-ketentuan dari kepatutan,
kebiasaan dan undang-undang yang membolehkan atau berisi suruhan
saja yang mengikat atau berlaku bagi suatu perjanjian, tetapi juga
ketentuan-ketentuan yang melarang atau berisi larangan mengikat
atau berlaku bagi perjanjian itu. Dengan kata lain
larangan-larangan yang ditentukan (atau hal-hal yang dilarang) oleh
kepatutan, kebiasaan dan undang-undang merupakan juga syarat-syarat
dari suatu perjanjian. Khusus mengenai kebiasaan, hanya mengikat
perjanjian itu apabila syarat-syarat tertulis di dalam perjanjian
itu tidak menentukan lain. Dengan demikian sebenarnya pasal 1337
KUHPerdata dan 1339 KUHPerdata mempunyai tujuan yang
sama.[footnoteRef:27] [27: Ibid]
Ada tiga tolok ukur dalam pasal 1337 KUHPerdata untuk menentukan
klausul dalam suatu perjanjian baku dapat berlaku dan mengikat para
pihak, diantaranya adalah undang-undang (wet), moral (goede zeden),
dan ketertiban umum (openbare orde). Sedangkan dalam pasal 1339
KUHPerdata tolok ukurnya adalah kepatutan (bilijkheid), kebiasaan
(gebruik), dan undang-undang (wet). Jika digabungkan tolok ukur
kedua pasal tersebut adalah undang-undang, moral, ketertiban umum,
kepatutan dan kebiasaan.Wajar apabila undang-undang merupakan tolok
ukur yang pertama, yaitu sebagaimana dikatakan oleh Padilla bahwa
para pihak tidak dapat memasukkan sarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan hukum ke dalam suatu
perjanjian, karena hukum mempunyai supresmasi dan selalu dianggap
bahwa ketentuan-ketentuan hukum merupakan bagian yang integral dari
setiap perjanjian.[footnoteRef:28] [28: Ibid, hlm.119]
Lain halnya dengan dua tolok ukur yang lain, yaitu yang
bertentangan dengan dengan moral (goede zeden) dan bertentangan
dengan ketertiban umum (openbare orde). Kedua tolok ukur ini adalah
pengertian-pengertian yang bersifat relatif, yang tidak sama di
seluruh dunia, melainkan tergantung kepada sifat-sifat hidupnya
negara masing-masing. Pengertian moral atau kesusilaan harus
diartikan sebagai moral yang dalam suatu masyarakat diakui oleh
umum atau khalayak ramai. Sedangkan yang dimaksudkan dengan
ketertiban umum adalah kepentingan masyarakat yang dilawankan
dengan kepentingan perseorangan itu dipermasalahkan apakah
kepentingan masyarakat itu terinjak-injak atau tidak. Menurut
Yurisprudensi Philipina, morale berkaitan dengan salah satu dan
benar dan dengan hati nurani manusia. Sedangkan ketertiban umum
atau public order berkaitan dengan kesejahteraan umum dan termasuk
keamanan umum sebagaimana menurut laporan Code
Commission.[footnoteRef:29] [29: Ibid, hlm.119-120]
Kepatutan mempunyai isi yang lebih luas dari moral dan
ketertiban umum. Artinya bahwa apa yang tidak sesuai dengan moral
dan melanggar ketertiban umum adalah juga tidak sesuai dengan
kepatutan. Tetapi oleh karena pasal-pasal tersebut secara explisit
menyebutkan pula moral dan ketertiban umum disamping kepatutan,
maka kepatutan harus diartikan sempit yaitu tidak termasuk moral
dan ketertiban umum. Selain dari moral dan ketertiban umum adalah
keadilan yang dapat dimasukkan di dalam arti kepatutan. Dengan
demikian sesuatu yang tidak adil berarti tidak patut. Dengan kata
lain bila dikaitkan dengan kepatutan dalam arti keadilan, maka isi
atau klausul-klausul suatu perjanjian tidak boleh tidak adil.
Klausul-klausul perjanjian yang secara tidak wajar sangat
memberatkan pihak lainnya adalah syarat-syarat yang bertentangan
dengan keadilan.[footnoteRef:30] [30: Ibid, hlm.120]
Terdapat tolok ukur lain yang juga harus diperhatikan yaitu
itikad baik. Dalam ketentuan pasal 1338 (3) KUHPerdata menyatakan
bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Adapun yang
dimaksud dengan itikad baik adalah niat dari para pihak yang satu
dalam suautu perjanjian untuk tidak merugikan kepentingan umum.
Istilah baik adalah juga istilah bermakna ganda. Baik dapat
memiliki muatan moral, dan dalam arti ini baik disini dipergunakan.
Namun baik juga dapat memiliki suatu muatan yang netral misalnya
dalam putusan hitungan itu telah dikerjakan dengan baik atau cuaca
hari ini baik.[footnoteRef:31] Niat adalah sesuatu yang ada di
dalam batin seseorang dan memang adalah sesuatu yang intangible and
abstract quality seperti yang dijelaskan oleh Black itu. Niat
tersebut harus merupakan niat yang jujur untuk tidak merugikan
mitra janjianya, yaitu seperti yang dikatakan oleh Black adalah an
honest intention to abstain frm taking any unconscientious
advantage of another.[footnoteRef:32] [31: Dr. Mr. JJ. Bruggink,
2011, Refleksi tentang hukum Pengertian-Pengertian Dasar Dalam
Teori Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm.223.] [32: Sutan
Remi Sjahdeini, Op.Cit, hlm.122]
Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa hakim diberikan
kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, jangan
sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan atau keadilan. Ini
berarti, hakim itu berkuasa untuk menyimpang dari isi perjanjian
menurut hurufnya, manakala pelaksanaan menurut huruf itu
bertentangan dengan itikad baik. Pasal 1338 (1) KUHPerdata dapat
dipandang sebagai suatu syarat atau tuntutan kepastian hukum (janji
itu mengikat), maka pasal 1338 (3) KUHPerdata ini dipandang sebagai
tuntutan keadilan. Hal tersebut dikarenakan hukum mengejar dua
tujuan yaitu menjamin kepastian (ketertiban) dan memenuhi tuntutan
keadilan.[footnoteRef:33] [33: Sutan Remi Sjahdeini, Loc.Cit,
hlm.120]
Kepastian hukum menghendaki supaya apa yang dijanjikan harus
dipenuhi (ditepati). Namun dalam menuntut dipenuhinya janji itu,
janganlah orang meninggalkan norma-norma keadilan atau kepatutan.
Berlakulah adil dalam menuntut pemenuhan janji itu demikian maksud
dari pasal 1338 (3) KUHPerdata itu. Bahwa hakim dengan memaknai
alasan itikad baik itu dapat mengurangi atau menambah
kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam suatu perjanjian. Hal
tersebut adalah suatu hak yang sudah diterima oleh Hoge Raad di
Negeri Belanda. Pokoknya dengan pedoman bahwa semua perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik, hakim berkuasa mencegah
suatu pelaksanaan yang terlalu amat menyinggung rasa
keadilan.[footnoteRef:34] [34: Ibid]
Itikad baik tidak saja bekerja setelah perjanjian dibuat tetapi
juga telah mulai bekerja sewaktu pihak-pihak akan memasuki atau
menghendaki untuk memasuki perjanjian yang bersangkutan. Ketentuan
dalam pasal 1338 (3) KUHPerdata ini merupakan ketentuan yang tidak
dapat disimpangi oleh para pihak. Dengan kata lain bahwa sekalipun
para pihak telah bersepakat untuk dimuatnya suatu ketentuan dalam
perjanjian yang sifatnya demikian berat sebelahnya sehingga
dirasakan tidak adil, namun tetap saja ketentuan itu tidak dapat
diberlakukan karena bertentangan dengan asas itikad
baik.[footnoteRef:35] [35: Ibid, hlm.122]
Adanya perkembangan baru mengenai sikap pengadilan Indonesia,
yaitu sebagaimana hal itu ternyata dari putusan-putusannya dalam
menilai tindakan-tindakan bank terhadap nasabah debitur dalam
rangka pelaksanaan perjanjian kredit bank dengan menggunakan tolok
ukur penyalahgunaan keadaan. Konsep baru mengenai penyalahgunaan
keadaan (misbruik van omstandigheden) atau penyalahgunaan kekuasaan
ekonomi adalah untuk mencakup keadaan yang tidak dapat dimaksudkan
dalam itikad baik, patut, dan adil atau bertentangan dengan
ketertiban umum sebagai pengertian klasik, akan memperkaya tolok
ukur bagi hukum Indonesia dalam menentukan ada atau tidak adanya
bargaining power yang seimbang dalam suatu
perjanjian.[footnoteRef:36] [36: Ibid, hlm..124]
Kebebasan berkontrak dibatasi oleh faktor penyalahgunaan keadaan
yang berhubungan dengan terjadinya kontrak. Penyalahgunaan keadaan
tidak semata berhubungan dengan isi perjanjian, melainkan
berhubungan dengan apa yang telah terjadi pada saat lahirnya
perjanjian karena para pihak tidak bebas menentukan kehendaknya
dalam kontrak. Penyalahgunaan keadaan menyangkut keadaan-keadaan
yang berperan pada terjadinya kontrak yakni menikmati keadaan orang
lain tidak menyebabkan isi atau maksud kontrak menjadi tidak
dibolehkan, tetapi menyebabkan kehendak yang
disalahgunakan.[footnoteRef:37] Hal tersebut menjadikan kebebasan
berkontrak menjadi terbatas. [37: Muhammad Arifin, Op.Cit. hlm.
287]
Seseorang yang memiliki keunggulan posisi tawar akan dapat
mendominasi dan mempengaruhi kehendak pihak lainnya dalam suatu
kontrak, sehingga pihak lain terpaksa menyetujui kontrak tersebut.
Sedikit banyaknya harus ada kedudukan terpaksa dari pihak yang
membutuhkan dimana dalam keadaan tersebut tidak ada alternatif lain
dalam membuat kontrak, dan dengan demikian juga tidak ada
kemungkinan untuk mengadakan tawar menawar lagi. Keunggulan tidak
berimbang akan dapat melahirkan kesepakatan yang timpang, sehingga
melahirkan kontrak yang dilandasi dengan kesepakatan semu, yang
dibuat karena keterpaksaan pihak yang lebih lemah untuk memenuhi
keperluannya. Sepintas peristiwa tersebut dilindungi dengan asas
kebebasan berkontrak dan karenanya mempunyai kekuatan mengikat.
Namun karena kesepakatan yang diberi tidak didasarkan atas
kesepakatan bersama, melainkan karena keterpaksaan debitur untuk
memenuhi keperluannya maka kontrak itu dapat dibatalkan atas dasar
penyalahgunaan keadaan. Kiranya dapat dikatakan bahwa kebebasan
berkontrak yang tidak seimbang akan cenderung dapat menimbulkan
penyalahgunaan keadaan. Pada penyalahgunaan keadaan masalahnya
adalah mengenai keunggulan salah satu pihak. Keunggulan itu tidak
saja bersifat ekonomi, tetapi juga keunggulan psikologis atau
keduanya. Apabila dilakukan penyalahgunaan keunggulan, terjadilah
penyalahgunaan keadaan. Penyalahgunaan keadaan terjadi karena
adanya inequality of bargaining power yang tak dapat dihindari oleh
pihak yang lemah dan pihak yang lebih kuat menyalahgunakannya
dengan memaksakan isi kontrak yang memberinya keuntungan yang tidak
seimbang.[footnoteRef:38] [38: Ibid]
Penyalahgunaan karena keunggulan ekonomi dapat terjadi dengan
persyaratan dasar: (1) salah satu pihak dalam perjanjian harus
lebih unggul dalam bidang ekonomi daripada pihak lainnya; sehingga
(2) pihak lain terdesak mengadakan perjanjian atau
kontrak.[footnoteRef:39] Dalam perjanjian kredit pemilikan rumah,
debitur sebagai pihak yang membutuhkan jasa kreditur selaku pihak
yang lebih unggul dalam bidang ekonomi, terdesak untuk
menandatangani kontrak yang telah dibuat terlebih dahulu oleh
kreditur. Dengan demikian para pihak tidak memungkinkan lagi untuk
mengadakan perundingan. [39: Ahmadi Miru & Sutaran Yodo,
Op.Cit, hlm.121]
Sementara itu terhadap penyalahgunaan karena keunggulan
psikologi dapat terjadi apabila: (1) adanya ketergantungan dari
pihak lemah yang disalahgunakan oleh pihak yang mempunyai
keunggulan psikologi (2) salah satu pihak menyalahgunakan keadaan
jiwa yang istimewa dari pihak lawan, yang dapat disebabkan oleh
gangguan jiwa, usia lanjut, tidak berpengalaman, gegabah, kurang
pengetahuan, dan kondisi badan yang tidak baik. Dengan kondisi
kejiwaan yang demikian, debitur sebagai pihak yang dirugikan berada
dalam keadaan yang sangat mudah dipengaruhi.[footnoteRef:40] [40:
Ibid, hlm.288]
Faktor yang memberi indikasi adanya penyalahgunaan keadaan dalam
perbuatan hukum atau kontrak adalah: (1) adanya syarat-syarat yang
diperjanjikan yang sebenarnya tidak masuk akal atau tidak patut
atau yang bertentangan dengan perikemanusiaan (unfair contract
terms). (2) Nampak atau ternyata pihak debitur berada dalam keadaan
tertekan. (3) Apabila terdapat keadaan dimana bagi debitur tidak
ada pilihan lain kecuali membuat perjanjian tersebut dengan
syarat-syarat yang termuat dalam perjanjian, yang memberatkan.(4)
Ternyata nilai hak dan kewajiban bertimbal balik kedua pihak adalah
sangat tidak seimbang.[footnoteRef:41] Dalam perjanjian kredit
pemilikan rumah nomor 0006120120928000009 nampak jelas apabila
dikaitkan dengan faktor tersebut. Debitur yang tidak ikut membuat
perjanjian kredit menjadi pihak yang tidak memiliki pilihan lain
kecuali menyepakatinya. Meskipun telah jelas hal tersebut dilarang
dalam pasal 18 ayat (1) huruf (d) UUPK. Apabila perjanjian tersebut
terus dilanjutkan maka kedudukan kedua belah pihak menjadi tidak
seimbang. [41: Ibid, hlm.291]
Secara umum isi (model) perjanjian kredit yang berlaku di
bank-bank umum tidak mencantumkan suatu ketentuan yang memberikan
perlindungan bagi debitur. Bahkan dalam proses pra negosiasi maupun
pada proses penandatangan perjanjian kredit, pihak kreditur lebih
menekankan syarat-syarat yuridis dan/atau syarat-syarat ekonomis
yang harus dipenuhi debitur.[footnoteRef:42] Bahkan pihak debitur
berada dalam kedudukan yang tidak seimbang dalam negoisasi
mendapatkan fasilitas kredit bank.[footnoteRef:43] [42: H.P.
Panggabean, Praktik Standart Contract dalam Perjanjian Kredit
Perbankan, Alumni, Bandung, 2012, hlm.116] [43: Ibid, hlm. 119]
Kedudukan yang tidak seimbang menjadikan kreditur sebagai pihak
yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat dapat menekan pihak
debitur yang posisi tawarnya lebih lemah, yaitu memaksakan isi
kontrak sesuai keinginannya yang merugikan pihak dengan posisi
tawar yang lebih lemah tersebut. Hal tersebut tentu saja
menyimpangi maksud diundangkannya UUPK agar para pihak berada dalam
posisi yang seimbang berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.
Idealnya para pihak dalam kontrak harus memiliki posisi tawar yang
seimbang dimana kebebasan berkontrak yang sebenarnya akan eksis
jika para pihak memiliki keseimbangan secara ekonomi dan
sosial.[footnoteRef:44] [44: H.P. Panggabean, Op.Cit, hlm.117]
Seyogjanya sesuai dengan asas kepatutan dan itikad baik bank
tidak menentukan sendiri harga jual atas barang-barang agunan dalam
rangka penyelesaian kredit macet nasabah debitur. Seyogjanya
penafsiran harga dilakukan oleh suatu apparsial company yang
independen dan telah mempunyai reputasi baik. Di samping itu juga
undang-undang telah menentukan cara menjual barang-barang agunan
berdasarkan bentuk pengikatan jaminannya.[footnoteRef:45] [45:
Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit, hlm.199]
Dalam pasal 19 ayat (3) perjanjian kredit pemilikan rumah
menentukan bahwa:apabila berdasarkan pasal ini, bank menggunakan
haknya untuk menagih pelunasan sekaligus atas utang debitur dan
debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya membayar pelunasan
tersebut walaupun telah mendapat peringatan-peringatan dari bank,
maka bank berhak untuk setiap saat melaksanakan hak eksekusinya dan
atas penjualan barang agunan yang diserahkan debitur kepada bank
menurut cara dan dengan harga yang dianggap baik oleh bank termasuk
dan tidak terkecuali bank berhak sepenuhnya mengambil cara
mencarikan debitur baru untuk mengambil alih atau mengoper utang
debitur.Tidak dijelaskan mengenai tata cara pengambil alihan atau
penagihan oleh pihak bank. Diilustrasikan sebagai berikut ketika
nasabah debitur gagal untuk membayar angsuran pertama dari beberapa
angsuran yang ditentukan dalam perjanjian kredit pemilikan rumah,
bank telah menegosiasi syarat-syarat dari pinjaman tersebut. Ketika
pembayaran yang telah dijadwalkan kembali itu tidak juga dibayar
oleh debitur pada waktu jatuh temponya, kembali bank dan nasabah
debitur melakukan negoisasi-negoisasi. Dalam negosisasi tersebut,
debitur meminta penundaan pembayaran dan bank meminta tambahan
barang agunan. Ketika kedua belah pihak tidak mencapai kesepakatan,
bank tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur, telah
menyita barang agunan sebagaimana diperjanjikan di dalam perjanjian
kredit pemilikan rumah dan mengkompensasikannya dengan rekening
debitur.[footnoteRef:46] [46: Ibid, hlm.201]
Pengadilan berpendapat bahwa rangkaian transaksi-transaksi yang
telah terjadi sebelumnya antara kedua belah pihak dan persetujuan
bank untuk menerima angsuran-angsuran nasabah debitur yang
terlambat, telah menubah syarat-syarat tertulis dari perjanjian
kredit sehingga kreditur harus memberitahukan terlebih dahulu
kepada debitur mengenai maksudnya untuk menguasai barang-barang
agunan itu.[footnoteRef:47] [47: Ibid]
b. Denda keterlambatan merupakan bunga terselubungMahkamah Agung
dalam putusannya No. 2027 K/Pdt./1984 tanggal 23 April 1986 telah
memutuskan bahwa denda (penalty) yang telah diperjanjikan oleh para
pihak atas keterlambatan pembayaran pokok pinjaman pada hakikatnya
merupakan suatu bunga terselubung, maka berdasarkan asas keadilan
hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Karena itu tuntutan tentang
pembayaran denda harus ditolak.[footnoteRef:48] [48: Sutan Remi
Sjahdeini, Op.Cit, 233]
Suatu klausul dalam perjanjian yang secara tidak wajar sangat
memberatkan pihak lainnya sebagai tidak mengikat atas dasar
bertentangan dengan keadilan. Sekalipun perjanjian telah
ditandatangani oleh para pihak namun tidaklah terikat sepenuhnya
pada perjanjian itu sebagaimana menganut asas pacta sunt servanda
(asas daya mengikat perjanjian, perjanjian berlaku sebagai
undang-undang bagi para pihak) yang ditentukan oleh pasal 1338
KUHPerdata dan asas kebebasan berkonrak yang tidak
terbatas.[footnoteRef:49] [49: Ibid, hlm.234]
2. Akibat Hukum adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian
kredit pemilikan rumahKonsekuensi yuridis dari perjanjian yang
bertentangan dengan undang-undang, moral, ketertiban umum,
kepatutan atau itikad baik tidaklah perlu seluruh perjanjian
terkena akibat. Namun hanya klausul yang dinilai bertentangan
dengan undang-undang, moral, ketertiban umum, kepatutan atau
keadilan, itikad baik saja yang terkena akibat. Klausul yang
dinilai sebagai bertentangan dengan undang-undang maka klausul
tersebut batal demi hukum (van rechtswege nietig atau void).
Sedangkan klausul yang bertentangan dengan moral, ketertiban umum,
kepatutan dan itikad baik tidak batal demi hukum tetapi dapat
dibatalkan oleh hakim (vernietigbaar atau voidable) dan tidak
mengikat bagi pihak yang terkena.[footnoteRef:50] [50: Sutan Remi
Sjahdeini, Op.Cit, hlm.126]
Sebagaimana syarat sah perjanjian yang terdapat dalam pasal 1320
KUHPerdata, terhadap perjanjian kredit yang tidak memenuhi syarat
dapat berakibat batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Terhadap
perjanjian kredit yang tidak memenuhi syarat subjektif yaitu
terdapatnya kesepakatan sepihak dalam perjanjian kredit, atau
terdapatnya fraud, misrepresentation atau plea of non est factum
dalam perjanjian kredit, atau terdapatnya klasula baku yang
memberatkan salah satu pihak, atau terdapatnya kesepakatan yang
tidak wajar dan bertentangan dengan hukum, kepatutan, ketelitian,
kehati-hatian, kesusilaan, dan keadilan dan atau terjadi kesalahan
pihak yang membuat perjanjian kredit atau pihak yang membuat
perjanjian kredit tidak cakap hukum, atau pihak yang membuat
perjanjian kredit tidak berwenang secara hukum, maka perjanjian
kredit tersebut dapat dibatalkan apabila salah satu pihak
menginginkannya.[footnoteRef:51] [51: Amin Imanuel Bureni, Op.Cit,
hlm.77]
Sebagaimana dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata,
terhadap perjanjian kredit yang tidak memenuhi syarat objektif
yaitu mengenai suatu sebab tertentu yang tidak bernilai ekonomis
atau yang tidak dapat ditaksir harganya, dan atau terhadap suatu
sebab yang dilarang oleh hukum, kepatutan, ketelitian,
kehati-hatian, kesusilaan, maka perjanjian kredit tersebut wajib
dinyatakan batal demi hukum jika pihak yang dirugikan memintakan
pembatalannya kepada hakim. Batal demi hukum dapat diartikan juga
bahwa dari semula tidak pernah disepakati suatu perjanjian dan
tidak pernah timbul perikatan diantara para pihak.[footnoteRef:52]
Selain pembatalan perjanjian kredit karena tidak memenuhi syarat
pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian kredit juga dapat menjadi
batal oleh karena salah satu pihak ingkar janji, cidera janji atau
melakukan wanprestasi, maka pihak yang merasa dirugikan dapat
mengajukan wanprestasi kepada hakim untuk diadili persengketaan
diantara mereka.[footnoteRef:53] [52: Sunu Widi Purwoko, Catatan
Hukum Seputar Perjanjian Kredit dan Jaminan, Nine Seasons
Communication, Jakarta, 2011, hlm.8] [53: Amin Imauel Bureni,
Op.Cit. hlm 78]
KUHPerdata tidak memberikan rujukan tegas mengenai maksud dari
batalnya suatu perjanjian. Ketidakjelasan tersebut memberikan
kewenangan bagi hakim untuk menafsirkan maksud batalnya suatu
perjanjian, akibatnya penafsiran hukum menjadi berbeda-beda. Dari
berbagai literatur, secara umum pengertian batal ditujukan untuk
keadaan batalnya suatu perjanjian secara utuh, dan dalam berbagai
kasus, batalnya perjanjian kredit diarahkan pada batalnya klausula
yang memberatkan nasabah debitur saja. Batalnya perjanjian kredit
harus dimaknai sebagai batalnya klausula perjanjian kredit yang
mengandung eksonerasi saja. Dibatalkannya klausula eksonerasi dalam
perjanjian kredit bank, menjadikan perjanjian kredit tersebut tetap
berlaku dan pembatalan hanya sepanjang klausula eksonerasi saja.
Konsekuensinya utang nasabah debitur tetap ada dan nasabah debitur
tetap diwajibkan melakukan pelunasan utang berdasarkan hukum,
kepatutan, dan kelayakan. Misalnya klausula bunga kredit yang
tinggi dibatalkan oleh hakim dan oleh hakim menetapkan besaran
bunga kredit baru yang sesuai dengan hukum, kepatutan dan
kelayakan.[footnoteRef:54] [54: Ibid, hlm. 110]
Dengan dilakukan pembatalan atas klausula eksonerasi maka tujuan
perjanjian kredit bank dapat diarahkan kembali pada tujuan awal
yaitu masing-masing pihak memperoleh keuntungan atas perjanjian
kredit bank tersebut. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa
pihak-pihak yang terikat dalam suatu perjanjian kredit bank adalah
pihak-pihak yang saling membutuhkan dan karena itu harus saling
melengkapi. Untuk itu perlu diciptakan iklim perjanjian kredit bank
yang baik dan bersahabat, menghindari adanya tekanan dan paksaan
serta mengedepankan negosisasi sebagai kebebasan melindungi
kepentingan masing-masing dan mencari keseimbangan kepentingan.
Kesepakatan yang lahir dari keseimbangan kepentingan adalah hukum
yang berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. Penerapan yang
demikian merupakan pengaplikasian asas keseimbangan dalam
perjanjian kredit bank.[footnoteRef:55] [55: Ibid, hlm. 111]
Syarat sahnya suatu perjanjian dalam pasal 1320 (1) KUHPerdata
ialah sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Sepakat merupakan
kecocokan antara kehendak atau kemauan kedua belah pihak yang
mengadakan persetujuan.[footnoteRef:56] Pernyataan pihak yang
menawarkan serta pernyataan pihak yang menerima tawaran merupakan
proses awal terjadinya suatu kesepakatan diantara para pihak dalam
suatu perjanjian. Pada akhirnya persetujuan bersifat final dan
tidak lagi ada tawar-menawar.[footnoteRef:57] Dalam pasal 1321
KUHPerdata dijelaskan bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat
itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan
atau penipuan. Dengan demikian apabila dalam perjanjian kredit
tersebut pihak debitur terpaksa menandatangai atau terpaksa
mengikuti karena sesuatu hal maka dapat dijadikan alasan untuk
meminta pembatalan perjanjian. Dalam perjanjian kredit pemilikan
rumah antara PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk dan Nasabah,
debitur tidak dalam keadaan terpaksa dalam menyepakati perjanjian,
hanya saja terdapat indikasi adanya kekaburan norma karena
interprestasi gramatikal yang berbeda. Hal tersebut menjadikan
perjanjian dapat dibatalkan sebagaimana tidak tercapainya syarat
subjektif dalam 1320 KUHPerdata. Digunakannya pasal 1320KUHPerdata
dalam interpretasi perjanjian ini dikarenakan perjanjian kredit
pemilikan rumah merupakan lex specialist (Undang-Undang khusus bagi
para pihak). [56: R.M. Suryodiningrat, Op.Cit, hlm.86] [57: Abdul
Kadir Muhammad, Loc.Cit, hlm. 299]
PENUTUPSimpulan Berdasarkan Berdasarkan hasil penelitian dari
pembahasan yang telah dikemukakan maka penulis dapat menyimpulkan
dalam penelitian ini bahwa:1. Terdapat unsur-unsur klausula
eksonerasi dalam perjanjian kredit pemilikan rumah antara PT. Bank
Tabungan Negara (Persero) Tbk sebagai kreditur dan Muhammad
Shalakhudin Al Yazidi sebagai debitur. Diantaranya mengenai
kewenangan bank secara sepihak untuk menentukan harga jual dari
barang agunan dalam hal penjualan barang agunan karena kredit
nasabah debitur macet serta mengenai denda keterlambatan yang dapat
dikategorikan sebagai bunga terselubung.2. Akibat hukum adanya
klausula eksonerasi tersebut dinyatakan bahwa klausula eksonerasi
dapat dibatalkan atau dapat dimintakan pembatalan pada pengadilan.
Konsekuensinya adalah utang debitur tetap ada dan debitur tetap
diwajibkan melakukan pelunasan utang berdasarkan hukum, kepatutan
dan kelayakan. Dengan demikian maka tujuan perjanjian kredit bank
dapat diarahkan kembali pada tujuan awal yakni masing-masing pihak
memperoleh keuntungan atas perjanjian kredit bank
tersebut.SaranDengan hasil penelitian tersebut, maka saran yang
dapat diberikan oleh peneliti yakni:1. Debitur dapat lebih cermat
dalam menyepakati perjanjian kredit pemilikan rumah, terlebih
mengenai klausula yang ada dalam perjanjiannya.1. Kreditur agar
tetap memperhatikan kepentingan para pihak, terlebih mengenai hak
dan kewajibannya dalam membuat perjanjian kredit.1. Bagi pembuat
undang-undang agar tetap memperhatikan kepentingan kreditur dan
debitur dalam membuat peraturan perundang-undangan.
DAFTAR PUSTAKALiteratur
Ali, Zainuddin. 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar
Grafika.
Badrulzaman, Mariam Darus. 1994. Aneka Hukum Bisnis. Bandung:
Alumni.
2011. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni.
Budiono, Herlin. 2006. Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian
Indonesia Hukum Perjanjian Berandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia.
Bandung: PT. Citra Aditia Bakti.
Bruggink, JJ, H. 2011. Refleksi Tentang Hukum
Pengertian-Pengertian Dasar dalam Teori Hukum. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti
Chatamarrasjid. 2006. Hukum Perbankan Nasional Indonesia.
Jakarta: Prenada Media Group.
Djumhana, M. 2006. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad. 2009. Dualisme Penelitian
Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fuady, Munir. 1999. Hukum Kontrak dari Sudut Pandangan Hukum
Bisnis. Bandung: Citra Aditya.
Gazali, Djoni.S dan Rachmadi Usman. 2010. Hukum Perbankan.
Jakarta: Sinar Grafika.
Hadjon, Philipus. M. 2005. Argumentasi Hukum. Yogjakarta: Gajah
Mada University Press.
Harahap, M. Yahya. 1985. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Jakarta:
PT. Intermasa.
Hernoko, Agus Yudho. 2011. Hukum Perjanjian Asas
Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Imaniyati, Neni Sri. 2010. Pengantar Hukum Perbankan. Bandung:
PT. Refika Aditama
Kadir, Abdul Muhamad. 1992. Hukum Perikatan. Bandung: Citra
Abadi.
2010. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti.
Kristiyanti, Celina Tri Siwi. 2009. Hukum Perlindungan Konsumen.
Jakarta: Sinar Grafika.
Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada
Media.
. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media
Goup.
Meliala, A. Qiram Syamsudin. 1985. Pokok-Pokok Hukum Perjanjian
Beserta Perkembangannya. Yogyakarta: Liberty.
Mertokusumo, Sudikno.1999. Mengenal Hukum Suatu Pengantar.
Yogyakarta: Liberty.
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. 2004. Hukum Perlindungan
Konsumen. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Miru, Ahmadi. 2013. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi
Konsumen di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. 2003. Perikatan yang Lahir
dari Perjanjian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Naja, H.R.Daeng. 2005. Hukum Kredit Bank dan Bank Garansi (The
Banker Hand Book). Bandung: PT. Citra Abadi.
Nasution, AZ. 2002. Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu
Pengantar. Jakarta: Diadit Media.
Nasution, Bahder Johan. 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum.
Bandung: Mandar Maju.
Niewenhuis. 1985. Pokok-Pokok Hukum Perikatan (terjemahan
Djasadin Saragih). Surabaya: Universitas Airlangga.
Nurmandjito. 2000. Kesiapan Perangkat Perundang-Undangan Tentang
Perlindungan Konsumen. Bandung: Mandar Maju.
Panggabean,H.P. 2012. Praktik Standart Contrack dalam Perjanjian
Kredit Perbankan. Bandung: Alumni.
Patrik, Purwahid. 1994. Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan
yang Lahir dari Perjanjian dan dari Undang-Undang). Bandung: Mandar
Maju.
Prodikoro, Wirjono. 1960. Asas-Asas Hukum Perjanjian. Bandung:
Sumber.
Prodjodikoro, Wirjono. 1992. Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung:
Sumur.
Purwoko, Sunu Widi. 2011. Catatan Hukum Seputar Perjanjian
Kredit dan Jaminan. Jakarta: Nine Seasons Communication.
Raharjo, Handri 2009. Hukum Perikatan di Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Yustisia.
Rahardjo, Satjipto. 1991. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti.
Saliman, Abdul R dkk. 2007. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan (Teori
dan Contoh Kasus). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Satrio, J. 1995. Hukum Perikatan Yang Timbul dari Perjanjian,
Buku I. Bandung: Citra Aditya Bakti.
. 2001. Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian
Buku I). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Sidharta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta:
Grasindo.
Sjahdeini, Sutan Remy. 1993. Kebebasan Berkontrak dan
Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit
Bank di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia.
. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Shofie, Yusuf. 2008. Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen
di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Simorangkir, O.P. 1989. Kamus Perbankan. Cetakan Kedua. Jakarta:
Bina Aksara.
Sp, Iswardono. 1991. Uang dan Bank. Edisi Keempat. Cetakan
Pertama. Yogjakarta: BPFE.
Subekti, R. 1985. Hukum Perjanjian. Jakarta: Pradnya
Paramita.
. 1995. Aneka Perjanjian. Cet.10. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Suryodiningrat, R.M. 1995. Azaz-Azaz Hukum Perikatan. Bandung:
Tarsito.
Taufik, Ady Imam. 2011. Agar KPR Langsung Disetujui Bank:
Bagaimana Caranya?. Jakarta: Media Pressindo.
Usman, Rachmadi. 2003. Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Widjaja, Gunawan. 2003. Seri Hukum Bisnis Lisensi. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Widjaya, I.G. Rai. 2004. Merancang Suatu Kontrak (Contact
Drafting Teori dan Praktik), Edisi Revisi. Jakarta: Kesaint
Blanc.
Widyadharma, Ignatius Ridwan. 1997. Hukum Sekitar Perjanjian
Kredit. Cet.1. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Skripsi, Tesis
Agung, Edwyn. 2008. Pelaksanaan Perjanjian Kredit Pemilikan
Rumah (KPR) di PT. Bank Danamond Indonesia, Tbk Cabang Semarang
Pemuda. Tesis. Program Magister Kenotariatan Pascasarjana.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Bawazier, Mirwan Syarief. 2010. Akibat Hukum Jika Debitur
Wanprestasi dalam Pembiayaan Konsumen dengan Jaminan Fidusia pada
PT.FIF di Kota Pekalongan. Tesis. Program Pascasarjana Magister
Kenotariatan. Universitas Diponegoro. Semarang.
Bureni, Amin Imanuel. 2013. Asas Keseimbangan dalam Perjanjian
Kredit Bank (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung RI
No.3956K/Pdt/2000 Jo Putusan Pengadilan Tinggi Sby
No.628/Pdt/1999/PT.Sby Jo Putusan Pengadilan Negeri GS
No.37/Pdt.G/1998/PN.GS). Tesis. Program Pascasarjana Magister Hukum
Kekhususan Praktek Peradilan. Universitas Indonesia. Jakarta.
Marcus, Elisabeth Elvira A. 2006. Perjanjian Kredit Bank sebagai
Upaya Pengamanan Pihak Bank di Perusahaan Daerah Bank Perkreditan
Rakyat Badan Kredit Kecamatan (BPR BKK) Ungaran Cabang Banyubiru.
Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Semarang.
Mardin, Irjayanti. 2011. Analisis Perbandingan Perlindungan
Debitur Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Bank Konvensional X
dan Akad Pembiayaan Al Murabhah (KPR Syariah) Bank Syariah Y.
Skripsi. Fakultas Hukum. Universitas Indonesia. Depok.
Primadyanta, Ary. 2006. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen
dalam Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor di Surakarta. Tesis.
Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Semarang.
Rillifani, Nadia. 2012. Analisis Yuridis terhadap Perjanjian
Lisensi secara Sepihak (Studi Kasus Sengketa Larutan Cap Kaki Tiga
Putusan Pengadilan No.362/Pdt.G/2008/PN-BKS jo. No.362/Pdt/PT.BDG
jo. No.1758K/Pdt/2010). Skripsi. Fakultas Ilmu Hukum. Universitas
Indonesia. Depok.
Perundang-UndanganKitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek), diterjemahkan oleh R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 2006)Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 182 tahun 1998,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790.Undang-Undang Nomor 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 42 tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3821.Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan
Permukiman, Lembaran Negara Nomor 7 tahun 2011, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 5188.Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Republik
Indonesia Nomor 4 tahun 2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Fasilits
Likuiditas Pembiayaan Perumahan Dalam Rangka Pengadaan Perumahan
Melalui Kredit/Pembiayaan emilikan Rumah Sejahtera, Berita Negara
Republik Indonesia Nomor 592 tahun 2014.Perjanjian Kredit antara
PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. dan Muhammad Shalakhudin Al
Yazidi Nomor 0006120120928000009
Website
Merdeka.com. Pada 24 Mei 2014. Bangun Perumahan Rakyat, BTN
Gandeng Korporasi dan Pemda.
http://www.merdeka.com/uang/bangun-perumahan-rakyat-btn-gandeng-korporasi-dan-pemda.html.
Diakses tanggal 02 Juli 2014.
Bank Indonesia. Memiliki Rumah Sendiri dengan KPR.
http://www.bi.go.id/id/iek/produk-jasa-perbankan/jenis/Dokuments/KPRumah.pdf.
Diakses tanggal 31 Agustus 2014.
MakalahYuherawan, Deni SB. 2014. Penelitian Hukum. Disampaikan
pada Workshop Metode Penelitian Hukum, yang diselenggarakan oleh
Prodi Ilmu Hukum, Jurusan PMP-KN Unesa, Jawa Timur. Surabaya, 5
Juni 2014.
JurnalArifin, Muhammad. 2011. Penyalahgunaan Keadaan sebagai
Faktor Pembatas Kebebasan Berkontrak. Jurnal Ilmu Hukum.
Vol.14/Nomor 2/September.Panggabean, RM. 2010. Keabsahan Perjanjian
dengan Klausul Baku. Jurnal Hukum. Vol.17/Nomor 4/Oktober.Widyanti,
Yenny Eta. 2011. Perjanjian Baku Ditinjau dari Prinsip-Prinsip
Pemberian Kredit dan Tolok Ukur Perjanjian Baku Agar Mengikat Para
Pihak. Poli Humaniora. Vol.1/Nomor 2/Agustus.