BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Katarak kongenital merupakan kekeruhan lensa yang terjadi sebelum perkembangan refleks fiksasi terjadi yaitu sebelum usia 2-3 bulan. Kelainan lensa pada anak yang meliputi kekeruhan, kelainan bentuk, ukuran, lokasi, dan gangguan perkembangan lensa dapat menyebabkan kerusakan penglihatan pada anak. Katarak kongenital bertanggungjawab sekitar 10% dari seluruh kehilangan penglihatan pada anak, diperkirakan 1 dari 250 bayi lahir memiliki beberapa bentuk katarak (AAO, 2011). Katarak kongenital dapat berdiri sendiri atau berhubungan dengan beberapa kondisi, seperti abnormalitas kromosom, sindrom atau penyakit sistemik tertentu, infeksi kongenital, trauma, atau radiasi (Fkih et al., 2007). Gejala gangguan penglihatan tergantung dari letak kekeruhan lensa, ukuran, dan densitasnya. Lensa yang keruh dapat terlihat tanpa bantuan alat khusus dan tampak sebagai warna putih pada pupil atau disebut dengan leukokoria. Untuk menegakkan diagnosis, dilakukan anamnesa dan pemeriksaan mata lengkap dan untuk mencari kemungkinan penyebabnya perlu dilakukan pemeriksaan tambahan lainnya (Paul dan John, 2007). Katarak kongenital merupakan penyebab kebutaan pada bayi yang cukup berarti terutama akibat penanganan yang kurang tepat. Penatalaksanaan katarak kongenital meliputi tindakan pembedahan baik dengan atau tanpa pemasangan lensa intraokular, dilakukan untuk mendukung fungsi penglihatan yang berkembang secara normal. Jika penyebabnya diketahui, maka dilakukan 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Katarak kongenital merupakan kekeruhan lensa yang terjadi sebelum
perkembangan refleks fiksasi terjadi yaitu sebelum usia 2-3 bulan. Kelainan lensa
pada anak yang meliputi kekeruhan, kelainan bentuk, ukuran, lokasi, dan gangguan
perkembangan lensa dapat menyebabkan kerusakan penglihatan pada anak.
Katarak kongenital bertanggungjawab sekitar 10% dari seluruh kehilangan
penglihatan pada anak, diperkirakan 1 dari 250 bayi lahir memiliki beberapa bentuk
katarak (AAO, 2011).
Katarak kongenital dapat berdiri sendiri atau berhubungan dengan beberapa
kondisi, seperti abnormalitas kromosom, sindrom atau penyakit sistemik tertentu,
infeksi kongenital, trauma, atau radiasi (Fkih et al., 2007). Gejala gangguan
penglihatan tergantung dari letak kekeruhan lensa, ukuran, dan densitasnya. Lensa
yang keruh dapat terlihat tanpa bantuan alat khusus dan tampak sebagai warna putih
pada pupil atau disebut dengan leukokoria. Untuk menegakkan diagnosis, dilakukan
anamnesa dan pemeriksaan mata lengkap dan untuk mencari kemungkinan
penyebabnya perlu dilakukan pemeriksaan tambahan lainnya (Paul dan John, 2007).
Katarak kongenital merupakan penyebab kebutaan pada bayi yang cukup
berarti terutama akibat penanganan yang kurang tepat. Penatalaksanaan katarak
kongenital meliputi tindakan pembedahan baik dengan atau tanpa pemasangan
lensa intraokular, dilakukan untuk mendukung fungsi penglihatan yang berkembang
secara normal. Jika penyebabnya diketahui, maka dilakukan pengobatan terhadap
nystagmus, dan esotropia sensory deprivasi dd esotropia kongenital. Pasien
direncanakan untuk dilakukan operasi ekstraksi katarak dengan ECCE tanpa IOL.
KIE yang diberikan kepada keluarga pasien meliputi kondisi pasien saat ini, rencana
operasi, komplikasi, dan prognosis nya.
4.2 Analisa Kasus
Gejala yang di keluhkan oleh orang tua pasien pada kasus ini adalah adanya
bintik putih pada mata serta pandangan yang tidak fokus. Dari pemeriksaan
ophthalmologi didapatkan lensa ODS keruh tidak rata. Tanda yang sangat mudah
untuk mengenali katarak kongenital adalah bila pupil terlihat berwana putih atau abu-
abu. Hal ini disebut dengan leukokoria. Bila katarak binokular, maka penglihatan
kedua mata buruk sehingga orang tua biasanya membawa anaknya dengan keluhan
23
anak kurang mampu melihat, tidak dapat fokus, atau kurang beraksi terhadap
sekitarnya (Paul dan John, 2007).
Pada pemeriksaan visus didapatkan blink refleks ODS positif. Pemeriksaan
mata yang dianjurkan pada seluruh bayi baru lahir untuk skrining katarak kongenital,
yaitu pemeriksaan red reflex dengan menggunakan oftalmoskop secara simultan
pada kedua mata dan pemeriksaan retinoskop melalui pupil yang tidak berdilatasi.
Penilaian fungsi visus dapat digunakan untuk menentukan penanganan terhadap
katarak. Kekeruhan kapsul anterior seringkali tidak signifikan secara visual. Namun
kekeruhan sentral/posterior yang cukup densitasnya, diameter >3 mm, biasanya
cukup bermakna mempengaruhi visual (Paul dan John, 2007). Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan antara lain slit lamp, funduskopi, atau USG mata
apabila dengan funduskopi segemen posterior tidak dapat dievaluasi karena
kekeruhan lensa. Seperti hal nya pada pasien ini, karena hasil funduskopi refleks
fundus ODS dim, maka dilakukan USG mata.
Bintik putih pada mata tersebut muncul sejak lahir. Hal ini menjelaskan
bahwa proses kekeruhan katarak telah terjadi pada masa perkembangan janin
intrauterin. Lensa mata berasal dari lapisan ectoderm permukaan, yang kemudian
mengadakan invaginasi (lens pit) dan melepaskan diri dari ectoderm permukaan
membentuk vesikel lensa (lens vesicle). Segera setelah vesikel lensa terlepas dari
ectoderm permukaan, sel-sel bagian posterior membentuk serat lensa primer
(nukleus embrionik). Serat-serat lensa sekunder memanjang dari daerah ekuatorial
dan tumbuh ke depan di bawah epitel subkapsular, dan ke belakang di bawah
kapsul posterior, membentuk nukleus fetal. Pertumbuhan dan proliferasi dari serat-
serat sekunder berlangsung terus namun dengan lambat, karenanya lensa menjadi
bertambah besar secara lambat. Epitel lensa akan membentuk serat primer lensa
secara terus menerus sehingga mengakibatkan memadatnya serat lensa di bagian
sentral lensa yang membentuk nukleus lensa (Paul dan John, 2007). Pada katarak
kongenital, kelainan utama terjadi di pada saat pembentukan nukleus lensa, nukleus
fetal, atau nukleus embrional, tergantung pada waktu stimulus karaktogenik atau di
kutub anterior atau posterior lensa apabila kelainannya terletak di kapsul lensa.
Katarak kongenital dapat berdiri sendiri atau berhubungan dengan beberapa
kondisi, seperti abnormalitas kromosom, sindrom atau penyakit sistemik tertentu,
infeksi kongenital, trauma, atau radiasi (Fkih et al., 2007). Faktor resiko yang
ditemukan dari anamnesa pada kasus ini adalah riwayat infeksi intrauterin. Ibu
pasien mengeluh sering demam saat usia kehamilan muda disertai keputihan yang
gatal dan berbau. Selain itu, riwayat diet yang kurang higienis, yaitu sering
24
mengkonsumsi lalapan dengan sayuran yang tidak direbus. Kecurigaan adanya
infeksi intrauterin dibuktikan dengan hasil uji serologis yang menunjukkan kadar IgM
dan IgG anti Rubella postitif, IgG anti Toxoplasma positif, dan IgM anti Toxoplasma
negatif. Hal ini medukung ke arah infeksi maternal TORCH yang seringkali
memberikan gejala katarak kongenital bilateral. Temuan lain yang mendukung
adalah adanya mikrosefali dan penyakit jantung bawaan berupa PDA. Kelainan
kongenital lain perlu ditelusuri pada kasus katarak kongenital, karena mungkin terkait
dengan sindrom tertentu. Pada kasus ini, katarak kongenital yang terjadi dikaitkan
dengan suatu sindrom yang disebut Sindrom Rubella Kongenital. Sindrom Rubella
Kongenital merupakan sekelompok kelainan fisik yang terjadi pada bayi akibat infeksi
ibu dan infeksi janin oleh virus rubella. Trias kelainan yang didapatakan antara lain :
tuli sensorineural, kelainan mata (retinopathy, katarak, microphthalmia), dan kelainan
jantung terutama PDA. Kecacatan lain yang dapat ditemukan : retardasi mental,
mikosefali, BBLR, kelainan hepar, lien, dan bone marrow, dan mikrognathia
(Hussain, 2006).
Penatalaksanaan katarak kongenital pada kasus ini adalah dengan dilakukan
ekstraksi katarak dengan teknik ECCE. Katarak yang memberi efek pada penglihatan
dipertimbangkan pembedahan untuk mengeluarkan lensa (AAO, 2011). Operasi
dilakukan dengan anestesi general dengan pertimbangan pasien bayi dan memiliki
kelainan jantung bawaan. Pada tehnik ECCE, bagian depan kapsul dipotong dan
diangkat, lensa dibuang dari mata, sehingga menyisakan kapsul bagian belakang.
Lensa intraokuler buatan dapat dimasukkan kedalam kapsul tersebut
(Khurana,2007). Namun pada pasien ini tidak dilakukan pemasangan IOL, kedua
mata dibuat menjadi afakia. Beberapa ahli merekomendasikan penggunaan lensa
kontak untuk anak-anak atau bayi dibandingkan dengan implant IOL. Karena lensa
kontak tidak ditanam ke dalam mata, sehingga mereka akan lebih mudah mengganti
atau melepas sesuai kebutuhan koreksi karena mata masih terus tumbuh dan
berkembang. Pemasangan secondary implant IOL dapat dilakukan bila pada operasi
ekstraksi lensa pertama dilakukan pemasangan IOL (Khurana,2007)
Monitoring paska operasi yang perlu diperhatikan antara lain mengenai
perawatan luka, masalah infeksi, refraksi, dan ambliopia. Setelah operasi, mata
mungkin akan terasa tidak nyaman dan gatal. Mata akan ditutup untuk beberapa hari
untuk membantu proses penyembuhan dan melindunginya. Obat tetes mata
antibiotik profilaksis segera dipakai setelah penutup mata dilepas, biasanya sehari
setelah operasi hingga satu bulan paska operasi. Jika mata masih terasa tidak
nyaman, dapat dipertimbangkan pemberian analgetik (Khurana,2007). Prioritas
25
utama yang lain adalah segera mengkoreksi afakia dengan menggunakan kacamata
atau lensa kontak. Kacamata tetap menjadi pilihan untuk kemungkinan mendapatkan
penglihatan yang terbaik. Kacamata harus disesuaikan sesegera mungkin saat anak
sudah bisa menggunakannya. Refraksi harus di periksa secara reguler, setidaknya
setiap 4 bulan sampai berumur 2 tahun, dan menjadi setahun sekali setelah berumur
5 tahun (Khurana,2007)
Kebanyakan anak-anak dengan katarak kongenital akan menjadi ambliopia.
Karena gambaran retina menjadi buram oleh katarak, penglihatan tidak berkembang
sebagaimana mestinya, dan otak tidak dapat menangkap sensitivitas informasi dari
mata. Ekstraksi katarak dan koreksi apakia akan mengembalikan kejernihan gambar,
tetapi otak masih butuh pembelajaran untuk melihat, dan hal ini membutuhkan waktu.
Jika mata tidak pernah memiliki penglihatan yang jernih, maka tidak akan pernah
melihat atau memandang secara benar dan dapat menyebabkan nistagmus. Seperti
hal nya yang terjadi pada pasien kasus ini, nistagmus telah terjadi pada kedua mata.
Jika penglihatan diperbaiki, nistagmus dapat membaik, jadi nistagmus pada anak-
anak bukanlah kontraindikasi untuk pembedahan (Khurana,2007)
Prognosis visual untuk pasien katarak anak yang membutuhkan operasi tidak
sebagus pada pasien dengan katarak senilis pada orang dewasa. Terjadinya
amblyopia dan anomali nervus optik atau retina membatasi tingkat visus yang cukup
bermakna. Prognosis untuk perbaikan ketajaman visus paska operasi lebih baik pada
katarak kongenital bilateral (Paul dan John, 2007).
26
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Katarak kongenital merupakan kekeruhan lensa yang terjadi sejak pertumbuhan
janin intrauterin.
Katarak kongenital dapat berdiri sendiri atau berhubungan dengan beberapa
kondisi, seperti abnormalitas kromosom, sindrom atau penyakit sistemik tertentu,
infeksi kongenital, trauma, atau radiasi.
Diagnosis katarak kongenital ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan
ophthalmologi, dan pemeriksaan penunjang.
Penatalaksanaan katarak kongenital meliputi tindakan pembedahan baik dengan
atau tanpa pemasangan lensa intraokular, dilakukan untuk mendukung fungsi
penglihatan yang berkembang secara normal. Jika penyebabnya diketahui,
maka dilakukan pengobatan terhadap penyebab terjadinya katarak kongenital.
5.2 Saran
Dari penulisan makalah kasus panjang ini untuk ke depan nya disarankan
untuk ditambahkan bahasan mengenai bagaimana peran dokter umum dalam kasus
katarak kongenital.
27
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Ophthalmology. 2011. Childhood Cataracts and Other Pediatric Lens Disorders. Pediatric Ophthalmology and Strabismus, section 6, chapter 21, page 245-262
American Academy of Ophthalmology. 2011. Lens and Cataract, section 11, chapter 1 – 4
Christopher F. 2012. Congenital cataract is a lens opacity that is present at birth or shortly after birth. Access on 2nd November 2013 at http://www.merckmanuals.com/professional/pediatrics/eye_defects_and_conditions_in_children/congenital_cataract.html
Elizabeth, Joseph. 2006. Management of Congenital Cataract. Kerala Journal of Ophthalmology, vol. XVIII, no. 3, page 224-230
Fkih, El L, Hmaied W, El Hif S, Moalla S, Marakchi S, Tabib N, Azzouz H. 2007. Congenital Cataract Etiology. Tunis Med, vol. 85, no.12, page 1025-1029
Hejtmancik, J. Fielding. 2008. Congenital Cataracts and their Molecular Genetics. Semin Cell Dev Biol, vol. 19, no. 2, page 134–149
Hussain, N. 2006. Congenital Rubella Syndrome. Professional Med J, vol. 13, no. 1, page 11-16
Ilyas S. 2007. Ilmu Penyakit Mata.Edisi ketiga. FKUI. Jakarta
Kanksi Jack J. dan Nischal Ken K. 2000. Differential Diagnosis of Childhood Cataract. The Lens. Ophthalmology Clinical Sign and Differential Diagnosis, chapter 9, page 224-227
Khurana, A.K. 2007. Disease of the Orbit. Comprehensive Ophthalmology. Fourth Edition, page : 280-283
Paul Riordan-Eva dan John P. Whitcher. 2007. Childhood Cataract. Lens. Vaughan dan Asbury’s General Ophthalmology 17th Edition. chapter 8. The McGraw-Hill Companies.